Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Pengaruh Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Dan Kesejahteraan Masyarakat Di Provinsi Di Indonesia

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

ISSN 1693 9093

Volume 8, Nomor 3, Oktober 2012 hal 195 - 211

Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia
Rini Sulistiawati Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak. Jalan Ahmad Yani Pontianak Alamat Korespondensi, email: rini_s5300@yahoo.co.id
Abstract - The achievement of social welfare as the ultimate goal of development requires the creation of basic conditions, namely: 1) sustainable economic growth; 2) the creation of a strong economic sector; and 3) an inclusive and equitable economic development (Bappenas, 2010). The social welfare are expected to be achieved if the economy continues to grow that in turn will create more job opportunities and absorb more labor at fair wages.This study aims to examine and analyze the effect of wages on labor absorption and social welfare at province in Indonesia. The study period was five years i.e. from 2006 to 2010 by using secondary data provided by Central Bureau of Statistics in the form of combination between times series data (from 2006 to 2010) and cross section data (33 province in Indonesia) also known as panel data. Hypothesis testing in this study is conducted by using Path Analysis Model under SPSS 17.0. Test of 2 (two) hypothesis with level of significance = 0.05 obtained the following results: First, minimum wage has a negative and significance effect on labor absorption. The effect of minimum wages on employment has a path coefficient of - 0.39 with a probability value of significance (Sig) of 0.000. The results of this study indicate that the increase in minimum wages will reduce employment of low productivity labor that commonly absorb in primary sector, the sector that absorb most labor. Second, labor absorption has positive but not significance effect on social welfare. The effect of labor absorption on social welfare has a path coefficient of 0.08 with a probability value of significance (Sig) of 0.332. The results of this study indicate that the increase in labor absorption does not cause an increase in social welfare of province in Indonesia due to: 1). Minimum wages received by the labor is lower than minimum basic necessities, 2) minimum wages received by the labor is lower than taxed income level. Keywords: minimum wages, labor absorption and social welfare

I.

LATAR BELAKANG

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebutkan bahwa negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014 menyatakan bahwa pembangunan di bidang ekonomi ditujukan untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan dengan tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.. Pada tataran global, Deklarasi Millennium yang ditandatangani di New York tahun 2000 juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs) (Bappenas, 2007). Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan capaian pertumbuhan Gross National Product (GNP) baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes sendiri (trickle down effect) terhadap lapangan pekerjaan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat demi terciptanya distribusi pendapatan. Fakta yang terjadi adalah beberapa
Jurnal EKSOS

196 Rini Sulistiawati

Eksos

negara berkembang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup (kesejahteraan) masyarakatnya (Todaro, 2000: 18). Pembangunan ekonomi maupun pembangunan pada bidang-bidang lainnya selalu melibatkan sumber daya manusia sebagai salah satu pelaku pembangunan, oleh karena itu jumlah penduduk di dalam suatu negara adalah unsur utama dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar tidak selalu menjamin keberhasilan pembangunan bahkan dapat menjadi beban bagi keberlangsungan pembangunan tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu besar dan tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja akan menyebabkan sebagian dari penduduk yang berada pada usia kerja tidak memperoleh pekerjaan. Kaum klasik seperti Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Robert Malthus berpendapatan bahwa selalu ada perlombaan antara tingkat perkembangan output dengan tingkat perkembangan penduduk yang akhirnya dimenangkan oleh perkembangan penduduk. Karena penduduk juga berfungsi sebagai tenaga kerja, maka akan terdapat kesulitan dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Kalau penduduk itu dapat memperoleh pekerjaan, maka hal ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan bangsanya. Tetapi jika tidak memperoleh pekerjaan berarti mereka akan menganggur, dan justru akan menekan standar hidup bangsanya menjadi lebih rendah (Irawan dan Suparmoko, 2002:88) Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas namun jauh lebih serius dengan penyebab yang berbeda-beda. Pada dasawarsa yang lalu, masalah pokoknya tertumpu pada kegagalan penciptaan lapangan kerja yang baru pada tingkat yang sebanding dengan laju pertumbuhan output industri. Seiring dengan berubahnya lingkungan makro ekonomi mayoritas negara-negara berkembang, angka pengangguran yang meningkat pesat terutama disebabkan oleh terbatasnya permintaan tenaga kerja, yang selanjutnya semakin diciutkan oleh faktor-faktor eksternal seperti memburuknya kondisi neraca pembayaran, meningkatnya masalah utang luar negeri dan kebijakan lainnya, yang pada gilirannya telah mengakibatkan kemerosotan pertumbuhan industri, tingkat upah, dan akhirnya, penyedian lapangan kerja (Todaro,2000:307). Perkembangan keadaan ketenagakerjaan di Indonesia selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 yang ditampilkan pada Tabel 1.1 menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik, walaupun di beberapa daerah terjadi musibah bencana alam dan perubahan ekonomi global, yang berdampak terhadap aktivitas ekonomi dan lapangan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yaitu rasio antara Angkatan kerja dibandingkan dengan seluruh penduduk usia kerja (umur15 tahun ke atas) terus mengalami peningkatan yaitu dari 66,16 persen pada tahun 2006 menjadi 67,72 persen pada tahun 2010. Sementara Tingkat Pengangguran Terbuka juga mengalami penurunan yang terus menerus yaitu dari 10,28 persen tahun 2006 menjadi 7,14 persen pada tahun 2010. Menurunnya jumlah pengangguran mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi telah dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pasar tenaga kerja, seperti pasar lainnya dalam perekonomian dikendalikan oleh kekuatan penawaran dan permintaan, namun pasar tenaga kerja berbeda dari sebagian besar pasar lainnya karena permintaan tenaga kerja merupakan tenaga kerja turunan (derived demand) dimana permintaan akan tenaga kerja sangat tergantung dari permintaan akan output yang dihasilkannya (Borjas,2010:88; Mankiw,2006:487). Dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi tersebut. Dengan menelaah hubungan antara produksi barang-barang dan permintaan tenaga kerja, akan dapat diketahui faktor yang menentukan upah keseimbangan.

Volume 8, 2012

197

Tabel 1 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA TAHUN 2006 SAMPAI DENGAN 2010 No Jenis Kegiatan 2006 Penduduk Berumur 1 >15 Tahun 2 Angkatan Kerja Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) Bekerja Pengangguran Terbuka Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Bukan Angkatan 3 Kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya 160.811.498 106.388.935 66,16 95.456.935 10.932.000 10,28 54.422. 563 13.530.160 31.977.973 8 .914.430 2007 164.118.323 109.941.359 66,99 99.930.217 10.011.142 9,11 54.176.964 13.777.378 31.989.042 8 .410.544 Tahun (Jiwa) 2008 166.641.050 111.947.265 67,18 102.552.750 9.394. 515 8,39 54.693.785 13.226.066 32.770.941 8.696.778

2009 169.328.208 113.833.280 67,23 104.870.663 8. 962.617 7,87 55.494.928 13.810.846 33.346.950 8 .337.132

2010 172.070.339 116.527.546 67,72 108.207.767 8.319.779 7,14 55.542.793 14.011.778 32.971.456 8 559.559

Sumber : Badan Pusat Statistik Tahun 2010a Kebijakan upah minimum merupakan sistem pengupahan yang telah banyak diterapkan di beberapa negara, yang pada dasarnya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, upah minimum merupakan alat proteksi bagi pekerja untuk mempertahankan agar nilai upah yang diterima tidak menurun dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua, sebagai alat proteksi bagi perusahaan untuk mempertahankan produktivitas pekerja (Simanjuntak, 1992 dalam Gianie, 2009:1). Di Indonesia, pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum. Upah minimum yang ditetapkan tersebut berdasarkan pada Kebutuhan Fisik Hidup Layak berupa kebutuhan akan pangan sebesar . Dalam Pasal 1 Ayat 1 dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1/1999, upah minimum didefinisikan sebagai Upah bulanan terendah yang meliputi gaji pokok dan tunjangan tetap. Perkembangan tingkat upah minimum rata-rata nasional pada Tabel 1.2 menunjukkan dari tahun 2005 sampai tahun 2008 upah minimum mengalami kenaikan yang terus menerus dengan kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang besarnya mencapai 18,55 persen. Krisis global pada tahun 2008 hingga tahun 2009 mengakibatkan perekonomian lesu sehingga perusahaan tidak berani menaikkan upah terlalu tinggi. Baru pada tahun 2010, upah minimum menunjukkan kenaikan paling tinggi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 9 persen hingga 18 persen, yaitu menjadi sebesar 26,99 persen.

198 Rini Sulistiawati

Eksos

Tabel 2 PERKEMBANGAN UPAH MINIMUM RATA- RATA NASIONAL TAHUN 2004 SAMPAI DENGAN 2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Upah Minimum Rata-Rata Nasional (Rupiah) 506.952 608.828 683.451 756.612 841.316 1.068.399 Pertumbuhan (%) 9,99 11,95 18,55 12,97 10,99 26,99

Sumber: Depnakertrans, 2010. Direktorat Pengupahan, Jamsos & Kesejahteraan Studi Waisgrais (2003) menemukan bahwa kebijakan upah minimum menghasilkan efek positif dalam hal mengurangi kesenjangan upah yang terjadi pasar tenaga kerja. Studi Askenazy (2003) juga menunjukkan bahwa upah minimum memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi modal manusia. Implikasi upah minimum terhadap kesejahteraan akan terwujud dalam perekonomian yang kompetitif. Fakta menunjukkan bahwa nilai IPM Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai IPM negara-negara ASEAN lainnya kecuali Laos, Kamboja, dan Myanmar. Tabel 2 memperlihatkan IPM Indonesia terus meningkat, namun peningkatan ini ternyata masih jauh dari tujuan menyejahterakan masyarakat. Capaian prestasi pembangunan manusia Indonesia sudah tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga, yaitu di bawah Singapura, Brunei, dan Malaysia yang sudah masuk pada kategori High Human Developtment, sementara Indonesia masih pada kategori Medium Human developtment. Kondisi ini secara langsung juga menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia masih relatif rendah.

Tabel 3 PERINGKAT PEMBANGUNAN MANUSIA NEGARA ASEAN TAHUN 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Negara Singapura Brunai Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia Laos Kamboja Myanmar Peringkat 25 30 63 78 90 105 107 130 131 132 HDI 92.2 89.4 81.1 78.1 77.1 73.3 72.8 60.1 59.8 58.3 Indeks Harapan Hidup 0.907 0.862 0.811 0.743 0.767 0.812 0.745 0.637 0.550 0.596 Indeks Pendidikan 0.908 0.877 0.839 0.855 0.888 0.815 0.830 0.663 0.691 0.764 Kategori High Index High Index High Index Medium Index Medium Index Medium Index Medium Index Medium Index Medium Index Medium Index

Sumber: UNDP, 2008 dalam Kuncoro, 2010:149 Tercapainya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan akhir pembangunan ekonomi, memerlukan terciptanya kondisi-kondisi dasar yaitu : 1) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; 2) penciptaan sektor ekonomi yang kokoh; dan 3) pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan

Volume 8, 2012

199

(Bappenas, 2010). Kesejahteraan masyarakat diharapkan akan terwujud apabila pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat akan menciptakan lapangan kerja sehinggga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak pada tingkat upah yang layak. Fakta yang ditemui adalah IPM secara nasional maupun provinsi masih rendah, yaitu masih pada kategori Medium Human developtment. Relatif rendahnya capaian IPM tersebut berarti telah terjadi masalah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan minat dan ketertarikan untuk melakukan studi mengenai Pengaruh Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia

II.

RERANGKA TEORI

Pasar tenaga kerja, sama halnya dengan pasar-pasar lainnya dalam perekonomian diatur oleh kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran Ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja akan menentukan tingkat upah (Mankiw,2003: 4). Menurut Ricardo ( Deliarnov, 2009:53) nilai tukar suatu barang ditentukan oleh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan barang tersebut, yaitu biaya bahan mentah dan upah buruh yang besarnya hanya untuk bertahan hidup (subsisten) bagi buruh yang bersangkutan. Upah sebesar ini disebut sebagai upah alami (natural wage). Besarnya tingkat upah alami ini ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan setempat. Tingkat upah alami naik proporsional dengan standar hidup masyarakat. Sama halnya dengan harga-harga lainnya, harga tenaga kerja (upah) ditentukan oleh permintaan dan penawaran, maka dalam kondisi ekuilibrium , secara teoritis para pekerja akan menerima upah yang sama besarnya dengan nilai kontribusi mereka dalam produksi barang dan jasa (Mankiw, 2003:11). DL F G

Tingkat Upah
W2

SL

we w1

SL Le

DL

Tenaga Kerja

Gambar 1. Penentuan Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Dan Tingkat Upah: Pendekatan Pasar Bebas Sumber: Todaro (2000 : 326) Gambar 1, titik we melambangkan tingkat upah ekuilibrium (equilibrium wage rate), pada tingkat upah yang lebih tinggi seperti pada w2 , penawaran tenaga kerja melebihi permintaan sehingga persaingan di antara individu dalam rangka memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibriumnya, yakni we. Sebaliknya pada upah yang lebih rendah seperti w1, jumlah total tenaga kerja yang akan diminta oleh produsen akan melebihi kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadi persaingan diantara para pengusaha dalam memperebutkan tenaga kerja dan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekulibrium, W e. Kelemahan dari model Pasar Bebas Kompetitif Tradisional adalah kurang memberikan petunjuk yang berarti mengenai kenyataan determinasi upah dan lapangan kerja khususnya di negara berkembang. Mekanisme penyesuaian otomatis dalam pasar tidak akan mampu mendorong tingkat upah riil sampai pada tingkat we yang merupakan tingkat upah ekuilibrium.

200 Rini Sulistiawati

Eksos

Menurut Todaro (2000;327), tingkat upah dalam bentuk sejumlah uang dalam kenyataannya tidak pernah fleksibel dan cenderung terus-menerus turun karena lebih sering dan lebih banyak dipengaruhi oleh berbagai macam kekuatan institusional seperti tekanan serikat dagang atau serikat buruh. Kemerosotan ekonomi selama dekade 1980-an yang melanda negara negara Afrika-Amerika Latin mengakibatkan merosotnya upah dan gaji riil di segenap instansi pemerintah, namun ternyata masih banyak calon pekerja yang memburu posisi kerja di sektor formal meskipun mereka tahu gajinya semakin lama semakin tidak memadai untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. Tingkat pengangguran (terutama pengangguran terselubung) sangat parah dan bertambah buruk Pembayaran kepada tenaga kerja dapat dibedakan dalam 2 pengertian yaitu gaji dan upah. Gaji dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai pembayaran kepada pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti pegawai pemerintah, dosen, guru, manajer dan akuntan. Pembayaran tersebut biasanya sebulan sekali. Upah dimaksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah, seperti misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, buruh kasar dan lain sebagainya. Teori ekonomi mengartikan upah sebagai pembayaran keatas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada pengusaha, dengan demikian dalam teori ekonomi tidak dibedakan antara pembayaran kepada pegawai tetap dan pembayaran kepada pegawai tidak tetap. (Sukirno, 2008:350-351) Pengertian upah menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No.13 Tahun 2000, Bab I, pasal 1, Ayat 30): "Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha / pemberi kerja kepada pekerja / buruh yang ditetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja / buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan." Pemberian upah kepada tenaga kerja dalam suatu kegiatan produksi pada dasarnya merupakan imbalan/balas jasa dari para produsen kepada tenaga kerja atas prestasinya yang telah disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah yang diberikan tergantung pada: 1. Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya; 2. Peraturan undang-undang yang mengikat tentang upah minimum pekerja; 3. Produktivitas marginal tenaga kerja; 4. Tekanan yang dapat diberikan oleh serikat buruh dan serikat pengusaha; dan 5. Perbedaan jenis pekerjaan. Upah yang diberikan oleh para pengusaha secara teoritis dianggap sebagai harga dari tenaga yang dikorbankan pekerja untuk kepentingan produksi, sehubungan dengan hal itu maka upah yang diterima pekerja dapat dibedakan dua macam yaitu: 1. Upah Nominal, yaitu sejumlah upah yang dinyatakan dalam bentuk uang yang diterima secara rutin oleh para pekerja; 2. Upah Riil adalah kemampuan upah nominal yang diterima oleh para pekerja jika ditukarkan dengan barang dan jasa, yang diukur berdasarkan banyaknya barang dan jasa yang bisa didapatkan dari pertukaran tersebut (Sukirno, 2008:351). Kebijakan upah di Indonesia merujuk pada standar kelayakan hidup bagi para pekerja. Undang Undang Repubik Indonesia No. 13/2003 tentang Tenaga Kerja menetapkan bahwa upah minimum harus didasarkan pada standar kebutuhan hidup layak (KHL). Pasal 1 Ayat 1 dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1/1999, mendefinisikan upah minimum sebagai Upah bulanan terendah yang meliputi gaji pokok dan tunjangan tetap. Sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja, upah yang diberikan dalam bentuk tunai harus ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja, termasuk tunjangan, baik untuk pekerja itu sendiri maupun keluarganya. Upah minimum adalah upah pokok dan tunjangan yang ditetapkan secara regional, sektoral maupun subsektoral. Peraturan Menteri tersebut lebih jauh juga menetapkan upah minimum sektoral pada tingkat provinsi harus lebih tinggi sedikitnya lima persen dari standar upah minimum yang ditetapkan untuk tingkat provinsi. Demikian juga, upah minimum sektoral di tingkat kabupaten/kota harus lebih tinggi lima persen dari standar upah minimum kabupaten/kota tersebut.

Volume 8, 2012

201

Melalui suatu kebijakan pengupahan, pemerintah Indonesia berusaha untuk menetapkan upah minimum yang sesuai dengan standar kelayakan hidup. Upah minimum yang ditetapkan pada masa lalu didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum, dan selanjutnya didasarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). KHM ini adalah 20 persen lebih tinggi dalam hitungan rupiah jika dibandingkan dengan Kebutuhan Fisik Minimum. Peraturan perundangan terbaru, UU No. 13/2003, menyatakan bahwa upah minimum harus didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak, akan tetapi perundangan ini belum sepenuhnya diterapkan, sehingga penetapan upah minimum tetap didasarkan pada KHM. Pada masa sekarang, kelayakan suatu standar upah minimum didasarkan pada kebutuhan para pekerja sesuai dengan kriteria di bawah ini: 1. Kebutuhan hidup minimum (KHM); 2. Index Harga Konsumen (IHK); 3. Kemampuan perusahaan, pertumbuhannya dan kelangsungannya; 4. Standar upah minimum di daerah sekitar; 5. Kondisi pasar kerja; dan 6. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Menurut Iksan (2010), masalah dalam penetapan upah minimum regional adalah pada metode perhitungannya. Ada perbedaan nyata dari produktivitas antar sektor. Sektor-sektor yang menggunakan buruh terdidik umumnya telah membayar upah jauh di atas upah minimum karena hal ini mencerminkan produktivitas, tetapi banyak sektor lain yang produktivitasnya ada di bawah upah minimum sehingga kebijakan upah minimum akan memukul sektor ini yang umumnya sektor padat karya Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan agar dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja. Menurut Sumarsono (2009:151), pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tiga fungsi upah, yaitu : a) menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya; b) mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang; c) menyediakan insentip untuk mendorong peningkatan produktivitas pekerja. Selanjutnya Sumarsono (2009:201) menyatakan beberapa ekonom melihat bahwa penetapan upah minimum akan menghambat penciptaan lapangan kerja. Kelompok ekonom lainnya dengan bukti empirik menunjukkan bahwa penerapan upah minimum tidak selalu identik dengan pengurangan kesempatan kerja, bahkan akan mampu mendorong proses pemulihan ekonomi. Adam Smith (1776) dalam Pressman (2002:28-30), melalui The Wealth of Nations menganalisis apa yang menyebabkan standar hidup meningkat dan menunjukkan bagaimana kepentingan diri dan persaingan berperan dalam pertumbuhan ekonomi ( dan pada akhirnya menciptakan kesejahteraan). Pertumbuhan ekonomi bisa berjalan karena adanya proses mekanisasi dan pembagian kerja, selanjutnya pembagian kerja akan membuat produktivitas pekerja meningkat. Visi dari The Wealth of Nations adalah : --- dari kepentingan pribadi dan kepentingan nasional dalam harmoni yang sempurna akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang terus menerus. Menurut Bentham ( 1948) dalam Pressman (2002:37-39), pemerintah memiliki tanggung dan menjadi mekanisme untuk membantu meningkatkan kesejahteraan warganya antara melalui berbagai kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Marshall (1923) dalam Pressman (2002: 92-97) juga melihat ekonomi dari pertimbangan moral untuk membantu yang miskin, selain pertimbangan pasar, karena itu ia secara khusus memperhatikan masalah distribusi pendapatan dan kemiskinan melalui pasar tenaga kerja. Menururt Marshall, persediaan tenaga kerja yang tidak terlatih ditentukan oleh prinsip populasi Malthusian. Sebagai reaksi terhadap upah yang tinggi, populasi akan meningkat dan persediaan tenaga kerja juga akan meningkat Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka model konseptual dalam penelitian ini adalah:

202 Rini Sulistiawati

Eksos

Upah Minimum (X)

Penyerapan Tenaga Kerja (Y1)

Kesejateraan masyarakat (Y2) Gambar 2. Model Konseptual

III.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksplanatori, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Populasi penelitian ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia yang berjumlah 33 provinsi. Penelitian ini dilakukan secara sensus dengan data berbentuk times series dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, dan data cross-section yang terdiri atas 33 provinsi, sehingga merupakan data panel atau pooled the data yaitu gabungan antara data times series (tahun 2006 s.d 2010 = 5 tahun) dengan data cross-section (33 provinsi). Variabel di dalam penelitian ini terdiri dari variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen merupakan variabel independen, sedangkan variabel endogen terdiri dari variabel antara (intervening variable) dan variabel dependen. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak tiga variabel yaitu : 1. Variabel upah minimum (X) diklasifikasikan sebagai variabel eksogen, dan berperan sebagai variabel independen yaitu variabel yang keragamannya mempengaruhi variabel lain di dalam model; 2. Variabel penyerapan tenaga kerja (Y1), diklasifikasikan sebagai variabel endogen, dan berperan sebagai variabel antara (intervening variable) yaitu variabel yang keragamannya dipengaruhi dan mempengaruhi variabel lain di dalam model; dan 3. Variabel Kesejahteraan Masyarakat (Y2), diklasifikasikan sebagai variabel endogen dan berperan sebagai variabel dependen yang dipengaruhi oleh variabel lain di dalam model. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Data yang digunakan merupakan data panel yaitu gabungan antara data time series dan data cross section. Jenis data adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi lain yang terkait dengan penelitian ini. Definisi operasional atas variabel penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Upah Minimum (X1) adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah, diukur dalam satuan rupiah; 2. Penyerapan Tenaga Kerja (Y1) adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja pada setiap sektor dan di setiap provinsi di Indonesia selama periode penelitian, diukur dalam jumlah orang; 3. Kesejahteraan Masyarakat (Y2) diukur dengan menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ditetapkan oleh Bank Dunia. IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia (BPS, 2011 f ), yaitu: Hidup yang sehat dan panjang umur, diukur dengan harapan hidup saat kelahiran; Pengetahuan yang diukur dengan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan Standar kehidupan yang layak, diukur dengan indikator kemampuan daya beli ( Purchasing Power Parity). Analisis data diawali dengan analisis deskriptif, yaitu statistik yang dipergunakan untuk menganalisis data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi (Sugiyono, 2008:29). Pengolahan data menggunakan SPSS versi 17.0 dan model path analysis digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan

Volume 8, 2012

203

tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen) (Riduwan & Engkos, 2008:2). Manfaat model path analysis adalah untuk: 1. Penjelasan (explanation) terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti; 2. Prediksi nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas X, dan prediksi dengan path analysis ini bersifat kualitatif; dan 3. Faktor determinan, yaitu penentuan variabel bebas (X) mana yang berpengaruh dominan terhadap variabel terikat (Y), juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y). Pengujian model dan perhitungan terhadap koefisien jalur terlebih dahulu dilakukan dengan merumuskan hipotesis, yaitu 1. Hipotesis 1: Upah Minimum berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia; dan 2. Hipotesis 2: Penyerapan Tenaga Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Hubungan kausal empiris antara Upah Minimum terhadap (IPM), dan Penyerapan Tenaga Kerja terhadap Kesejahteraan Masyarakat (IPM), dapat dibuat melalui persamaan struktural sebagai berikut: Struktur 1: Penyerapan Tenaga Kerja = y1x1 UMR + y11it Struktur 2: IPM = y2y1 Penyerapan Tenaga Kerja + y21it

IV.

PENYAJIAN DATA
Tabel 4 Hasil Pengujian Koefisien Jalur Variabel Koefisien -0,39 t Sig Hasil Pengujian Signifikan Tidak Signifikan

Upah (X2) terhadap Penyerapan Tenaga 0,000 kerja (Y2) 6,62 Penyerapan Tenaga kerja (Y2) terhadap 0,08 0,97 0,332 Kesejahteraan Masyarakat (Y3) Sumber: Hasil pengolahan data menggunakan program SPSS versi 17.0

V.

DISKUSI

Pada pengujian analisis jalur, terlebih dahulu diperlukan pengujian tentang data yang akan dimasukkan ke dalam suatu model. Data yang digunakan pada studi ini adalah data sekunder berupa data panel, oleh karena itu tidak diperlukan uji data. Berdasarkan hasil pengujian koeffisien jalur sesuai persamaan struktur 1 dan struktur 2 diperoleh hasil bahwa variabel Upah Minimum (X1) berpengaruh signifikan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja, sedangkan variabel Penyerapan Tenaga kerja (Y1) mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel Kesejahteraan Masyarakat (Y2). Koefisisen jalur yang merupakan hipotesis dalam penelitian ini disajikan dalam persamaan sebagai berikut: Model 1 : Y1 = - 0,39 X1 Model 2 : Y2 = 0,08 Y2 Koefisien jalur dari masing-masing hubungan antar variabel secara rinci yang digunakan dalam studi ini ditampilkan pada Tabel 4. di atas. Pengaruh Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis jalur antara upah terhadap penyerapan tenaga kerja provinsi di Indonesia yang ditampikan pada Tabel 4 diperoleh nilai koefisien jalur yang bertanda negatif sebesar - 0,39 dengan nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,000

204 Rini Sulistiawati

Eksos

yang lebih kecil dari taraf signifikansi () yang ditentukan sebesar 0,05. Berdasarkan hasil pengujian ini berarti hipotesis pertama yang menyatakan bahwa upah berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di provinsi-provinsi di Indonesia dapat diterima, karena secara statistik terbukti. Koefisien jalur yang bertanda negatif bermakna bahwa pengaruh upah terhadap penyerapan tenaga kerja adalah tidak searah, artinya apabila terjadi kenaikan upah, maka berpotensi untuk menurunkan penyerapan tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang produktivitasnya rendah. Hal ini disebabkan oleh: 1. Secara teoritis, perusahaan hanya akan membayar upah tenaga kerja sesuai dengan produktivitasnya, artinya tenaga kerja yang produktivitasnya rendah akan menerima upah yang rendah dan sebaliknya. Pada kenyataannya, upah minimum yang ditetapkan lebih banyak ditentukan oleh aspek kenaikan tingkat harga dibandingkan dengan kenaikan produktivitas. Produktivitas belum menjadi determinan utama dalam penentuan upah (Bappenas (2010:61). Secara nasional sektor primer adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja tetapi mempunyai mempunyai produktivitas tenaga kerja yang paling rendah yaitu sebesar 0,54, sementara sektor sekunder merupakan sektor yang paling sedikit menyerapa tenaga kerja tetapi mempunyai produktivitas pekerja yang paling tinggi yaitu sebesar 1.82. Kondisi yang sama juga terjadi pada lingkup provinsi di mana produktivitas tenaga kerja di sektor primer adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja di sektor sekunder. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas. Rasio antara UMP dan upah yang diterima pekerja berdasarkan pendidikan menunjukkan bahwa di sebagian besar provinsi, pekerja yang Belum Pernah Sekolah, Belum Tamat SD, dan SD, menerima upah yang lebih rendah dari upah minimum. Hal ini dapat dilihat dari rasio antara UMP dengan rata-rata upah menurut pendidikan yang nilainya lebih besar dari satu (>1). Sementara itu, pekerja yang berpendidikan SLP ke atas menerima upah yang lebih tinggi dari UMP, yang dapat dilihat dari rasio antara UMP dengan upah menurut pendidikan yang nilainya lebih kecil dari satu (<1). Tenaga kerja di sektor primer pada umumnya mermpunyai pendidikan yang rendah dengan produktivitas yang rendah pula, oleh karena itu kenaikan upah minimum akan berdampak pada berkurangnya penggunaan tenaga kerja di sektor ini. 2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tujuan penetapan upah minimum adalah untuk meningkatkan taraf hidup pekerja sesuai dengan kebutuhannya hidup minimalnya, oleh karena itu penetapan upah minimum didasarkan atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pada kenyataannya upah yang diterima oleh tenaga kerja di sebagian besar provinsi adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan KHL. Kenaikan harga akan berakibat pada kenaikan KHL dan selanjutnya akan meningkatkan upah minimum. Dilihat dari sisi perusahaan, upah adalah biaya, yang selanjutnya akan dibebankan kepada konsumen melalui harga. UMP biasanya digunakan sebagai acuan untuk menetapkan upah pekerja di sektor formal, oleh karena itu kenaikan UMP yang lebih tinggi daripada produktivitas pekerja akan merugikan perusahaan karena dapat menaikkan biaya produksi. Biaya produksi yang tinggi berarti harga output menjadi tidak bersaing, dan pada gilirannya perusahaan akan mengurangi outputnya. Penurunan output selanjutnya akan menurunkan penggunaan faktor produksi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Menurut Bappenas (2010:38), dalam 5 (lima) tahun terakhir jumlah pekerja informal mencapai sekitar 70 persen, sementara pekerja formal hanya sekitar 30 persen saja. Upah di sektor informal tidak diregulasi dan sektor ini mempunyai kualitas angkatan kerja yang masih sangat rendah, sehingga mempunyai kesempatan yang terbatas untuk memperoleh pekerjaan yang baik. Di sisi lain, kegiatan ekonomi formal ditandai dengan upah rata-rata yang lebih tinggi dari UMP serta kondisi kerja yang relatif baik, namun masih belum dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Rendahnya kualitas tenaga kerja di Indonesia selain karena faktor pendidikan formal, juga disebabkan oleh ketersediaan lembaga pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerja masih belum memadai, diikuti dengan rendahnya kompetensi tenaga kerja. Di sisi lain, terdapat mismatch antara bidang kejuruan, mutu, dan kuantitas yang dibutuhkan pasar kerja dengan yang dihasilkan oleh lembaga pelatihan kerja. Ketimpangan ini terjadi karena sistem pelatihan kerja

Volume 8, 2012

205

belum berorientasi pada demand driven, diikuti lemahnya relevansi dan kordinasi di antara lembaga /institusi terkait yang bertanggung jawab dalam penyeleng- garaan pelatihan kerja (Bappenas, 2010:59). Temuan studi ini didukung oleh teori Manning (1980) dalam Kuncoro (2010:126) mencatat terdapat banyak praktik-praktik di pasar tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Segmentasi ini dapat terjadi dalam perekonomian yang mengalami perubahan yang cepat akibat masuknya investasi asing. Adanya segmentasi pasar tenaga kerja menimbulkan implikasi penting bagi kebijakan ekonomi yang menangani masalah upah dan dan alokasi tenaga kerja antara berbagai segmen ekonomi, antara daerah perdesaan dan perkotaan. Manning mengidentifikasi setidaknya terdapat empat karakter utama segmentasi pasar tenaga kerja, yaitu : a) terdapat perbedaan upah yang besar dan terus-menerus antara berbagai segmen pasar; b) terkonsentrasinya pekerja dengan karateristik yang berbeda (terutama menurut pengalaman, pendidikan, dan jenis kelamin) di segmen yang berbeda; c) kurangnya mobilitas pekerja antar segmen, d) produktivitas tenaga kerja lebih tinggi di segmen pasar dengan upah tinggi. Teori Arthur Lewis dalam Jhingan (2003:156-158) mendukung temuan studi ini. Asumsi teori Lewis yaitu perekonomian suatu negara terbagi menjadi dua sektor: (1) sektor tradisional yaitu sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan tingkat upah yang rendah,dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dengan upah yang lebih tinggi pula, dan menjadi penampung transfer tenaga kerja dari sektor tradisional. Perbedaan tingkat upah tenaga kerja pada kedua sektor ini akan menarik banyak tenaga kerja untuk berpindah (migrasi) dari sektor pertanian ke sektor industri. Produktivitas marjinal tenaga kerja di sektor industri lebih tinggi dari upah yang mereka terima, sehingga mengakibatkan terbentuknya surplus sektor industri. Surplus sektor industri dari selisih upah ini diinvestasikan kembali seluruhnya dan tingkat upah di sektor industri diasumsikan konstan serta jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian. Proses transfer tenaga kerja tersebut selanjutnya ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor industri. Sinaga (2008:29) juga mendukung temuan studi ini bahwa kebijakan pengupahan tidak hanya bertujuan untuk melindungi tenaga kerja, tetapi juga untuk menjamin kelangsungan usaha dan mendorong pertumbuhan lapangan kerja produktif. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman agar upah pekerja/buruh tidak merosot sampai tingkat yang membahayakan kesehatan dan gizi pekerja/buruh. Disisi lain pengusaha harus menyusun struktur dan skala upah sebagai dasar penetapan upah di perusahaan. Pada praktiknya, upah minimum belum dapat berfungsi sebagai jaring pengaman karena baru menjangkau sebagian kecil pekerja/buruh. Di sampaing itu upah minimum juga sering digunakan sebagai upah standar sebagai dasar penetapan upah di perusahaan. Teori yang menolak studi ini adalah teori klasik teori (Sumarsono, 2009:150; Deliarnov,1995:116) menyatakan bahwa produsen akan menggunakan faktor produksi tenaga kerja sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang digunakan akan menerima imbalan sebesar pertambahan marjinal dari faktor produksi tersebut. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Mankiw (2006:496); Borjas (2010:93) Hasil studi ini juga sejalan dengan studi Waisgrais (2003) bahwa penentuan upah berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan adanya ketimpangan antara pekerja terampil dan tidak terampil. Kebijakan upah minimum menghasilkan efek positif dalam mengurangi kesenjangan upah yang terjadi pasar tenaga kerja. Sejalan dengan studi Lembaga Penelitian SMERU (2001) yang menemukan masih adanya diskiriminasi upah baik dalam hal diskriminasi gender, pendidikan, usia, dan pengalaman kerja. Pendidikan merupakan faktor penentu yang penting dalam penetapan upah. Mereka yang hanya berpendidikan tidak lebih tinggi dari sekolah lanjutan pertama rata-rata dibayar sekitar upah minimum. Temuan studi ini didukung oleh Setiaji & Sudarsono (2004) dalam analisisnya tentang Pengaruh Diferensiasi Upah Antar Propinsi terhadap Kesempatan Kerja menemukan bahwa diferensiasi upah sangat bermanfaat untuk mengakomodasi berbagai kemampuan membayar industri. Penentuan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) yang terdiferensiasi akan berakibat positif terhadap kesempatan kerja. Hal ini berarti mewadahi pembeli marjinal yang memiliki daya beli relatif rendah. Kesenjangan antara upah minimun dan kebutuhan hidup layak (KHL) selain disebabkan oleh adanya diskriminasi seperti yang ditemukan pada studi SMERU (2001) dan Bambang & Sudarsono

206 Rini Sulistiawati

Eksos

(2004), juga disebabkan oleh frekwensi turn over yang terlalu sering. Studi Askenazy, Philippe, (2003) menemukan bahwa bila buruh terampil dan tidak terampil tidak terlalu sering diganti dalam sektor manufaktur, maka upah minimum dapat meningkatkan pertumbuhan jika perekonomiannya terbuka. Implikasi dari upah minimum terhadap kesejahteraan akan terwujud dalam perekonomian kompetitif. Studi yang menolak temuan ini berasal dari studi Gindling, TH dan Katherine Terrell (2004) yang menemukan bahwa: (1) upah minimum legal memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap upah pekerja di covered sector (sektor formal), namun tidak berpengaruh terhadap upah pekerja di uncovered sector (sektor informal). Kenaikan 10% pada upah minimum legal akan menaikkan upah rata-rata di covered sector sekitar 1%; (2) upah minimum yang legal mempunyai efek yang negatif signifikan dimana kenaikan upah minimum menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja di covered sector. Diperkirakan bahwa kenaikan 10 persen dalam upah minimum akan mengurangi kesempatan kerja sebesar 1,09 persen ; (3) upah minimum memiliki efek negatif terhadap dimensi lain dari the covered sector yaitu jam kerja, dimana kenaikan 10 persen dalam upah minimum riil menyebabkan penurunan 0,62 persen pada rata-rata jumlah jam kerja, (4) dampak upah minimum terhadap pekerjaan, upah dan jam kerja pekerja pada berbagai bidang keahlian menunjukkan bahwa upah minimum memiliki dampak terbesar pada pekerja dengan distribusi pendapatan terbawah (desil ke 2 hingga ke 5) dari distribusi pekerja menurut keahlian. Temuan pada studi ini sejalan dengan model dua economy (Iksan, 2010). yang mengasumsikan perekonomian (pasar tenaga kerja) tersegmentasi menjadi sektor formal dan sektor informal, penetapan upah minimum akan mengurangi permintaan tenaga kerja di sektor formal, dan kelebihan penawaran tenaga kerja akan diserap sektor informal yang tingkat upahnya tidak diatur oleh regulasi. Sejalan dengan penelitian Gianie (2009:53) yaitu di sektor industri, upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja yang berpendidikan rendah di perkotaan, sedangkan di sektor perdagangan, upah minimum berpengaruh positif dan juga signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Sebaliknya temuan studi ini tidak mendukung studi Knight, John, Deng Quheng, & Li Shi (2011) yang menemukan bahwa surplus tenaga kerja di pedesaan China ternyata tidak selalu mengalir ke perkotaan, seperti pada model Lewis, walaupun sudah ada kenaikan upah bagi pekerja migran. Ada kecenderungan bahwa tenaga kerja di pedesaan enggan untuk bermigrasi ke kota disebabkan karena: (1) merasa terlalu tua; (2) perlu merawat tanggungan; (3) gagal memperoleh pekerjaan di kota. Selain itu kendala kelembagaan membuat kesulitan bagi migran yang tinggal di daerah perkotaan dalam hal pekerjaan yang baik dan aman, perumahan, dan akses ke layanan publik. Kondisi ini menghalangi atau mencegah para pekerja migran membawa keluarga mereka, yang pada gilirannya membuat banyak pekerja di desa enggan meninggalkan desa, setidaknya untuk waktu yang lama. Pengaruh Penyerapan Tenaga Kerja Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis jalur antara penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan masyarakat provinsi di Indonesia yang ditampilkan pada Tabel 4, diperoleh nilai koefisien jalur 0,08 dengan nilai probabilitas signifikansi (Sig) sebesar 0,332 yang lebih besar dari taraf signifikansi () yang ditentukan sebesar 0,05. Berdasarkan hasil pengujian ini berarti bahwa hipotesis kedua yang diajukan dalam studi yaitu penyerapan tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat provinsi di Indonesia, ditolak. Koefisien jalur yang bertanda positif bermakna bahwa pengaruh penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan masyarakat berjalan searah, artinya apabila penyerapan tenaga kerja meningkat, maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyerapan tenaga kerja berpengaruh tidak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat disebabkan oleh: 1. Upah yang diterima tenaga kerja adalah lebih rendah dari kebutuhan hidup yang layak (KHL). Secara nasional, upah minimum pada tahun 2006 hanya dapat memenuhi 85 persen KHL walaupun pada tahun 2010 rata-rata upah minimum di Indonesia telah sama dengan KHL. Upah minimum tahun 2006 yang ditetapkan oleh semua provinsi di Indonesia ternyata belum memenuhi KHL. Tahun 2007 terdapat empat provinsi yang memberikan upah minimum yang nilainya sama dengan

Volume 8, 2012

207

KHL dan empat provinsi yang memberikan upah minimum lebih besar dari KHL. Empat provinsi yang memberikan upah minimum yang sama nilainya dengan KHL terdiri dari provinsi Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat, sedangkan empat provinsi yang memberikan upah diatas KHL yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Papua. Perbandingan upah minimum dan KHL pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tidak menjadi lebih baik dibandingkan kondisi tahun 2007 karena hanya terdapat 5 (lima) provinsi yang memberikan upah minimum dengan nilai yang sama atau lebih besar dari KHL, sementara tahun 2009 hanya tiga provinsi yang memberikan upah minimum lebih besar dari KHL. 2. Upah yang diterima tenaga kerja berada dibawah batas Pendapatan Tak Kena Pajak atau PTKP. Sepanjang tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, rata-rata PTKP per bulan adalah Rp 1.100.000, sementara rata-rata upah minimum adalah sekitar Rp 600.000 hingga Rp 840.000. Tahun 2009 dan 2010, PTKP mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp 1.320.000, sedangkan upah minimum berkisar antara Rp 840.000 hingga Rp 1.000.000. Hal ini mengindikasikan bahwa upah yang diterima pekerja belum dapat meningkatkan kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai jika tenaga kerja memperoleh upah yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik kebutuhan yang bersifat ekonomi maupun kebutuhan yang bersifat non ekonomi dan bukan hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan layak. Temuan studi ini mendukung teori Bentham (Pressman, 2002:37-39), yang menyatakan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness ( welfare) of the greatest number of their citizens. Pemerintah menjadi mekanisme untuk membantu meningkatkan kesejahteraan warganya antara lain melalui berbagai kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Mendukung teori Otto van Bismarck (1850) dalam Husodo (2009:65) bahwa negara bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum setiap warganegaranya, dan juga mendukung teori Spicker (1995) dalam Suharto (2008:5) yang menyatakan bahwa model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah dengan memberi peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warga negaranya. Temuan studi ini tidak mendukung teori Marshall (Pressman, 2002:95), bahwa penetapan upah minimum memungkinkan tenaga kerja meningkatkan nutrisinya sehingga dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan upah juga memungkinkan tenaga kerja untuk menyekolahkan anaknya dan memberi nutrisi yang lebih baik. Kedua hal ini dalam jangka panjang akan memberi dampak yang besar terhadap peningkatan produktivitas dan kesejahteraan. Menolak Teori Klasik (Deliarnov 1995:116; Mankiw, 2006:496; dan Borjas, 2010:90) yang percaya bahwa perekonomian yang didasarkan pada mekanisme pasar bebas mampu memanfaatkan semua sumberdaya sepenuhnya, termasuk tenaga kerja (full employment). Sumberdaya yang menganggur memunculkan tangan ajaib (invisible hands) yang akan melakukan penyesuaian dan membawa perekonomian pada keseimbangan pemanfaatan sumber daya penuh. Menolak teori Francis Ysidro Edgeworth (1877) dan Pareto (1906) dalam Pressman (2002:99-116) bahwa kesejahteraan ekonomi akan meningkat jika seseorang menjadi lebih baik dengan syarat keadaan orang lain tidak menjadi lebih buruk. Hasil studi ini juga didukung oleh studi Waisgrais, Sebastin (2003) yang menemukan bahwa: 1) perbaikan dalam tingkat kegiatan ekonomi dan investasi akan mengurangi tingkat kesenjangan upah; 2) penentuan upah berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa tingginya ketimpangan upah disebabkan oleh semakin besar kesenjangan upah antara pekerja terampil dan tidak terampil; (3) pentingnya peran kelembagaan untuk mengatasi dampak dari perubahan ekonomi di pasar tenaga kerja, terutama pada upah, manfaat sosial dan institusional agar dapat memgurangi kesenjangan: (4) tingkat stabilitas ekonomi yang memerlukan biaya sosial tinggi merupakan salah satu yang paling signifikan yang menimbulkan ketimpangan upah. Rekomendasi kebijakan dari penelitian ini adalah bahwa kebijakan ekonomi makro tidak hanya menghasilkan peningkatan tingkat output, penurunan pengangguran dan produktivitas yang lebih tinggi, tetapi juga berkontribusi bagi stabilitas dari distribusi upah, dan meningkatkan kejahteraan karyawan. pekerja belum dapat meningkatkan kesejahteraannya. Sebaliknya temuan studi ini tidak mendukung studi Sasana (2009) bahwa penyerapan tenaga kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.

208 Rini Sulistiawati

Eksos

Beberapa upaya yang telah dan yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejaheraan masyarakat adalah melalui kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan: 1. Mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin; 2. Meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin; 3. Mengembangkan dan menjamin keberlajutan Usaha Mikro dan Kecil; dan 4. Mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut di atas disesuaikan dengan visi dan misi Kabinet Indonesia bersatu II yaitu memprioritaskan: 1. Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 14,1% pada tahun 2009 menjadi 8-10% pada akhir 2014; 2. Perbaikan distribusi dan perawatan dan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat; dan 3. Perluasan kesempatan ekonomi masyarakat.

V.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan analisis hasil studi dan pembahasan tentang pengaruh upah terhadap, penyerapan tenaga kerja serta kesejahteraan masyarakat provinsi di Indonesia, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Upah berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Koefisien jalur yang bertanda negatif bermakna bahwa pengaruh upah terhadap penyerapan tenaga kerja adalah tidak searah, artinya apabila terjadi kenaikan upah, maka berpotensi untuk menurunkan penyerapan tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang produktivitasnya rendah. 2. Secara nasional, tenaga kerja yang mempunyai mempunyai produktivitas paling rendah terjadi di sektor primer, sementara sektor sekunder merupakan sektor yang paling sedikit menyerapa tenaga kerja tetapi mempunyai produktivitas pekerja yang paling tinggi yaitu sebesar 1.82. Kondisi yang sama juga terjadi pada lingkup provinsi di mana produktivitas tenaga kerja di sektor primer adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja di sektor sekunder. 3. Tenaga kerja di sektor primer pada umumnya mempunyai pendidikan yang rendah dengan produktivitas yang rendah pula, oleh karena itu kenaikan upah minimum akan berdampak pada berkurangnya penggunaan tenaga kerja di sektor ini. Rasio antara upah minimum dan upah yang diterima pekerja berdasarkan pendidikan nilainya lebih besar dari satu (>1), menunjukkan bahwa di sebagian besar provinsi, pekerja yang Belum Pernah Sekolah, Belum Tamat SD, dan SD, menerima upah yang lebih rendah dari upah minimum. Sementara itu, pekerja yang berpendidikan SLP ke atas menerima upah yang lebih tinggi dari UMP, yang dapat dilihat dari rasio antara UMP dengan upah menurut pendidikan yang nilainya lebih kecil dari satu (<1). 4. Penyerapan tenaga kerja berpengaruh tidak signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa pengaruh penyerapan tenaga kerja terhadap kesejahteraan masyarakat berjalan searah, artinya apabila penyerapan tenaga kerja meningkat, maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5. Upah minimum yang diterima tenaga kerja adalah lebih rendah dari kebutuhan hidup yang layak (KHL). Secara nasional dan provinsi, upah minimum pada tahun 2006 hanya dapat memenuhi 85 persen KHL walaupun pada tahun 2010 rata-rata upah minimum di Indonesia telah sama dengan KHL. Tahun 2007 terdapat empat provinsi yang memberikan upah minimum yang nilainya sama dengan KHL terdiri dari provinsi Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat, sedangkan empat provinsi yang memberikan upah diatas KHL yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Papua. Pada tahun 2008 hanya terdapat 5 (lima) provinsi yang memberikan upah minimum dengan nilai yang sama atau lebih besar dari KHL, sementara tahun 2009 hanya tiga provinsi yang memberikan upah minimum lebih besar dari KHL.

Volume 8, 2012

209

6. Upah minimum yang diterima tenaga kerja berada dibawah batas Pendapatan Tak Kena Pajak atau PTKP. Hal ini mengindikasikan bahwa upah yang diterima pekerja belum dapat meningkatkan kesejahteraan. Saran Beberapa saran yang diharapkan berguna untuk kepentingan praktis dan penelitian selanjutnya, yaitu: 1. Standar penetapan KHL perlu dilakukan secara bijaksana mengingat besaran KHL menjadi acuan untuk menentukan UMP. Komponen penentuan UMP sebaiknya tidak hanya melihat pada sisi kenaikan inflasi saja, tetapi perlu diimbangi dengan aspek produktivitas dan pencapaian target pekerjaan; 2. Perlu disusun suatu standar baku bagi lembaga pelatihan agar dapat memenuhi kriteria sebagai lembaga pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi kompetensi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui jalur pendidikan non formal; 3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat dengan memperluas jangkauan dan pelayanannya, mengingat pada saat ini sebagian besar tenaga kerja di Indonesia (provinsi maupun nasional) hanya berpendidikan rendah (Tamat SD) dengan Angka Harapan Hidup yang rendah pula. a. Kebijakan di bidang pendidikan antara lain dapat dilakukan dengan membangun sekolah terpadu (SD,SMP,SMA) yang dilengkapi dengan asrama di wilayah pemukiman di pedalaman, sehingga pemakaian gedung menjadi efektif karena dapat digunakan sepanjang hari (pagi untuk SD, siang hari untuk SMP, dan sore hari untuk SMA). Adanya asrama membuat pelajar dapat konsentrasi belajar tanpa harus membuang waktu menempuh perjalanan yang cukup lama karena kendala infrastruktur yang buruk; dan b. Kebijakan di bidang kesehatan dapat dilakukan dengan memperluas jangkauan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Persalinan (Jampersal) khususnya bagi penduduk yang bermukim di wilayah pedalaman dan perbatasan.

REFERENSI
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Askenazy, Philippe. 2003. Minimum Wage, Export, and Growth. European Economic Review 47 (2003), pp 114 167. Badan Pusat Statistik, 2002. Teknik Perhitungan PDRB Menurut Komponen Penggunaan. Direktorat Neraca Konsumsi. Jakarta : Badan Pusat Statistik. ------------------. 2008 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Tahun 2006 - 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ------------------. 2009 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Tahun 2008 - 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. -----------------. 2010a. Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Tahun 2006 s.d 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. -----------------. 2010b. Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ------------------. 2011b. Sensus Penduduk Tahun 1971,1980,1990,2000 dan 2010. Jakarta: BPS-RI. ------------------. 2011c. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ------------------. 2011d. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Penggunaan Tahun 2006-2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik.

210 Rini Sulistiawati

Eksos

------------------. 2011e. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Edisi Tahun 2009 , 2010 dan 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. -----------------. 2011f Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Tahun 2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Bappenas. & PBB, 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: Bappenas Bappenas. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 2014. Buku II. Jakarta: Bappenas. Borjas, George J. 2010. Labor Economic. New York: Mc Graw Hill. Boadway, Robin & Katherine Cu. 2000. A Minimum Wage Can Be Welfare Improving and Employment Enhancing. European Economic Review 45 (2001), pp 553 576. Cooper, R. Donald. & C.William Emory. 1996. Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Erlangga. Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: UI-Press. ------------. 2009. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Departemen Tenaga kerja, 1989. Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Nomor 05/ Men/ 1989, tanggal 29 Mei 1989 Tentang Upah Minimum. ------------------. 1999. Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Nomor : Per-01/ Men/1999 Tentang Upah Minimum. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Upah Minimum Provinsi. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsostek. Gianie. 2009. Pengaruh Upah Minimu Terhadap Penyerapan Tenaga kerja Berpendidikan Rendah Di Sektor Industri dan Perdagangan. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Gindling, TH and Katherine Terrell. 2004. The Effects of Multiple Minimum Wages throughout the Labor Market. IZA Discussion Paper No. 1159. Husodo, Siswono Yudo. 2009. Menuju Welfare State. Jakarta: Baris Baru. Iksan, Mohamad. 2010. Upah Minimum Regional dan Kesempatan Kerja. Mencari Jalan Tengah. http://els.bappenas.go.id. Diakses tanggal 27 Januari 2010. Irawan, & M. Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta: BPFE Jhingan, M, L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kementerian Dalam Negeri. 2009. Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia. Jakarta: Ditjen Otonomi Daerah. www.depdagri.go.id. Keputusan Presiden. 2000. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Kepres Nomor 13 Tahun 2000. Jakarta: Presiden Republik Indonesia. Knight, John. Deng Quheng. & Li Shi, 2011. The Puzzle of Migrant Labour Shortage and Rural Labour Surplus in China.China Economic Review. CHIECO-00506; pp 1-16. Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomika Pembangunan. Masalah, Kebijakan, dan Politik. Jakarta: Erlangga Kusumosuwidho, Sisdjiatmo. 1982. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mankiw, N Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga. ----------------. 2006. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Salemba Empat

Volume 8, 2012

211

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, 2010. Perekonomian Indonesia di Tengah Perekonomian Dunia. Bali: 19 April 2010 Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Jakarta. Pressman, Steven. 2002. Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Priyono, Eddy. 2002. Situasi Ketenagakerjaan dan Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan Upah Minimu. Jurnal Analisis Sosial. Volume 7, Nomor 1, Februari 2002. www.akademika.or.id. Purna, Ibnu & Adhyawarman. 2009. Indeks Pembangunan Manusia dan Mobilitas Penduduk. www.setneg.go.id. Di akses tanggal 15 November 2011. Riduwan & Engkos Achmad Kuncoro. 2008. Cara menggunakan dan Memakai Analisis Jalur ( Path Analysis). Bandung: Alfabeta. Sasana, Hadi. 2009. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antar Daerah serta Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Disertasi. Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga. Setiaji, Bambang. & Sudarsono. 2004. Pengaruh Diferensiasi Upah Antar Propinsi terhadap Kesempatan Kerj. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2, Desember 2004, pp 132.journal.uii.ac.id. Sinaga, Tianggur. 2008. Kebijakan Pengupahan Di Indonesia. Jurnal Ketenagakerjaan. Volume 3 Nomor 2 Edisi Juli Desember. pp 29-46. SMERU, Lembaga Penelitian. 2001. Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia: www.smeru.or.id. Diunduh Tanggal 12 Februari 2010. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Suharto, 2008. Islam Negara Kesejahteraan. Artikel. www.policy.hu/suharto. Di akses 12 Januari 2010. Sukirno, Sadono. 2008. Mikro Ekonomi.Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sumarsono, Sonny. 2009. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Teori dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suyanto. 2010. Ekonomi Kesejahteraan Syariah. www.msuyanto.com. Diakses tanggal 12 Januari 2010. Swasono, Sri Edi. 2005. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa. Todaro, P.Michael. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta. UNDP. 2008. Human Developtmen Report. www.hdr.undp.org.id. Di akses tgl 23 Juni 2010. Waisgrais, Sebastian, 2003. Wage Inequality and the Labor Market in Argentina: Labor Institutions, Supplyand Demand in the Period 1980-99. International Institute For Labor Studies Discussion Paper.DP/146/2003 pp 1-53, Decent Work Research Programme. Wikipedia. 2010. Indeks Pembangunan Manusia. www.wikipedia Indonesia. Wikipedia. 2012. Daftar Provinsi Indonesia. www.wikipedia Indonesia.

You might also like