Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Biografi Nawal El Saadawi PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

KETIDAKADILAN GENDER DALAM CERPEN QISSATU FATHIYAH

AL MISRIYYAH DALAM ANTOLOGI CERPEN ADAB AM QILLATU


ADAB NAWAL SADAWI
Oleh:

Mamdukh Budiman*

Abstract
Literature is an activity or human behavior, both forms of verbal or physical, that seek to
be understood by science. It is a fact of human activity that gave rise to a certain social
activities, political activity, as well as the cultural creatives such as philosophy, art
movement, art, sculpture, music, literature and other art. Teuw has argued that literature
is placed fourth after religion, philosophy, science and discipline.
Majazi literature, is the result of the power of reason and imagination that are
high, so the form will be contained in the form of creative literature with the stage of
creativity and initiative, if it deals with literature, essentially an exploration of creativity
and thought to literary works that are created, resulting in the psychological elements
will affect the creation of literary works, both from the impact of emotions, as well as the
impact of the motif. According to Sangidu, things were with literary term for Indonesia
community, which consists of concepts that are not causing the problem, though it is
never stated in a clear and unequivocal statement. This can be seen in situations that do
not give a rise to discuss about the use of scientific (Sangidu, 2004:31).
To understand the essence of literary work that requires some steps that are not
always easy to understand the goals, and the necessary steps should be taken before a
thorough understanding to level, with an understanding of hermeneutics, and mastered
various systems is a fairly complex code, either language or culture code, as well as
literature with unique code.
Key Words: Majazi literature, feminism, gender injustice.

DUNIA KESUSASTRAAN ARAB DAN PERIODESASI KESUSTRAAN


ARAB
astra Arab ( Arab : , al-Adab al-'Arabi) adalah tulisan yang
dihasilkan, baik prosa dan puisi, oleh penulis dalam bahasa
Arab . Kata Arab yang digunakan untuk sastra adalah adab yang
berasal dari makna etiket , dan menyiratkan kesopanan, budaya dan
pengayaan. Istilah, kata "Adab" mengalami perkembangan yang cukup
panjang dalam sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata "Adab" sejalan
dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari

* Penulis adalah Staf Pengajar di FE UNIMUS

masyarakat Arab Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah


mempunyai peradaban. Kata "Adab" terdapat banyak perbedaan mengenai
maknanya, dan perbedaan makna itu sangat dekat, maksudnya
perkembangan dan perubahan makna itu tidak terlalu kontras dengan makna
aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui perkataanperkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya kecenderungan
pendengar pendengar pada pengucapan kata "Adab" tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah kata "Adab" berarti "
(mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini
sudah jarang digunakan, kecuali pada kata "Ma'dubah" dari akar kata
yang sama yaitu "Adab". Kata "Ma'dubah" berarti jamuan atau hidangan,
dengan kata kerja "Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu atau
menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan
Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa'illi:


"Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang
orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para
penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang" Kata
"Adab" juga digunakan dalam arti "prilaku yang terpuji atau terhormat
dan sifat-sifat yang mulia" seperti yang terdapat di dalam dialoq antara
Atabah dengan Hindun, puterinya. Atabah berkata kepada puterinya
tentang
Abu
Sufyan
yang
datang
melamarnya:

".... Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat


kepada keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak
menghormatinya....".
Akhirnya Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil
berkata:

,

Sungguh, aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian,
dan aku setuju menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang
dihormati, dan dengan kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan
tidak akan berselingkuh dibelakangnya"
Dari Arti kata Adab tersebut di atas, kata Adab menjadi dua arti,
yaitu arti Umum dan Khusus. Arti Umum Adab adalah Akhlak yang baik,
seperti jujur, sopan santun, etika dan etiket. Dan dapat menjaga Amanah.
Sedangkan arti Khusus Adab adalah kata kata yang indah dan baik
yang berpengaruh pada jiwa seseorang.

Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan


perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial
atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode
diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang
ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima begitu saja tanpa
dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354)
Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra Arab
mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada
fase modern khususnya, ternyata sastra Arab memiliki berbagai aliran
sastra yang muncul silih berganti, baik karena motivasi kritikan terhadap
model sastra yang muncul sebelumnya maupun karena untuk
menyempurnakan aliran lainnya yang muncul dalam kurun waktu yang
sama
Muhammad Sa'id dan Ahmad Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi
kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:
1.
Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum
kedatangan Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2.
Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan
Islam dan berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3.
Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah
tahun 132 H dan berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau
negara-negara bagian pada tahun 334 H.
4.
Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam
pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di
tangan bangsa Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.
5.
Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa
Mongol dan berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar
tahun 1230 H.
6.
Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern
sampai sekarang.
Teeuw (1988: 311-317) bahwa perbedaan itu disebabkan empat
pendekatan utama, yaitu:
1.

Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.

2.
Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua
hal tersebut.

3.
Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang
zaman.
4.

Mengacu pada asal-usul karya sastra

Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan


bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang
mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki
sebagai superior. Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan
status sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa
gender dan jenis kelamin yaitu feminin-maskulin ditentukan secara
kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan
superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas mengandung
pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan "sebagai"
perempuan, melainkan "menjadi" perempuan (Ratna, 2004: 184-185)
Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran
membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris
atau patrialkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan
pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca,
unsur karya dan faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem
komunikasi sastra. Endraswara (2003: 146) mengungkapkan bahwa dalam
menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme yang difokuskan
adalah:
a. Kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
b. Ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek
kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan,
c. Memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan
pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Kolodny
dalam Djajanegara (2000: 20-30) menjelaskan beberapa tujuan
dari
kritik
sastra
feminis
yaitu:
a.
Dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan
kembali serta
menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di
abad
silam;
b.
Membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai
cerita-cerita
rekaan penulis perempuan.
WANITA ARAB JAMAN JAHILIYAH
Masa Jahiliyah merupakan masa dekonstruksi social dan moral.
Karena pada jaman jahiliyah pola, tatanan, dan system kehidupan
mengalami kerusakan moralitas. Bahkan kebiasaan mengubur bayi

perempuan hidup-hidup menjadi suatu tradisi masyarakat Arab


Jahiliyah,. Dengan kata lain, kaum Patriarki Arab tidak menginginkan
anak berjenis kelamin perempuan. Mereka menganggap perempuan
adalah sumber kelemahan dan tidak produktif. Wanita adalah budak, dan
diinferiorkan dan tersubordinasikan oleh system social sehingga terjadi
suatu penindasan, kekerasan, dan pelecehan seksual terhadap kaum
perempuan.
Pandangan Bangsa Arab pada masa jahiliyah tentang wanita,
mereka menganggap wanita bagaikan barang atau budak. Jika suaminya
meninggal maka wali suaminya akan datang dan mengenakan
pakaiannya, dengan demikian si wanita tdk dapat menikah kecuali dgn
persetujuan oleh wali itu, terkecuali jika ia bisa menebus dirinya dengan
harta. Kekejaman orang-orang jahiliyah terhadap kaum wanita, juga tidak
membiarkan kaum wanita untuk hidup. Jika seorang istri melahirkan
anak perempuam,
Maka sang suami akan langsung mengambilnya, dibuat lubang baginya
lalu dikubur hidup-hidup didalamnya, tanpa mempedulikan jerit tangis
sang anak. itulah sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka:

"Apabila bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup ditanya,karena dosa


apakah ia dibunuh" (Q.S.At-Takwir : 8-9)

Perlakuan buruk lainnya adalah mereka memerintahkan kepada budak-budak


wanita mereka untk melacur agar mereka dapat memetik keuntungan dari
pelacuran itu.Lalu Allah menurunkan ayat yg melarang akan hal itu:

"Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untk melakukan


pelacuran sedang mereka rendiri menginginkan kesucian. Karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yg memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang (Kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu" (QS.AnNuur:33)
Islam datang merubah paraadigma dan tatanan social tersebut,
mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dan memposisikan
sejajar dengan kaum laki laki dalam segala aspek kehidupan., sayangnya
perubahan tersebut belum mencapai totalitas. Hal ini dikarenakan adanya
globalaisme dan kapitalisme serta akulturasi budaya yang masuk ke
dalam tatanan kehidupan sehingga mengalami pergeseran makna serta
adanya penyimpangan interpretasi posisi perempuan, dan agama sebagai
topeng dalam penolakan perempuan untuk sejajar dengan laki-laki. Selain
itu, kemisikinan, krisis ekonomi, dan distruktur politik system
pemerintahan yang melanda Negara-negara Arab, khususnya mesir, juga
ikut berperan. Posisi kaum perempuan semakin terjepit, lakilaki
mendapat perlakuan istimewa dalam perundang undangan, sedangkan
perempuan sama sekali tidak mendapatkan ketegasan hukum sehingga
terjadi penindasan dan kekerasan serta pelanggaran hak azasi manusia
terhadap perempuan.
FEMINISME DUNIA ARAB
Tradisi lingkaran sastra perempuan di Dunia Arab tinggal kembali
ke masa pra-Islam ketika tokoh sastra terkemuka, Al-Khansa , akan
berdiri di pasar Ukaz 'di Mekkah , membaca puisi dan ditayangkan
pandangannya tentang beasiswa orang lain . Dari sini, budaya kritik
sastra muncul di kalangan wanita Arab, dan di bawah dinasti Umayyah ,
Sukaynah Binti Al-Husain mendirikan salon tulisan yang pertama di
rumahnya. Tradisi ini dihidupkan kembali pada abad kesembilan belas,
sebagai akibat dari menyapu perubahan sosial, politik dan ekonomi
dalam Kekaisaran Ottoman dan meningkatkan pengaruh Eropa politik
dan budaya di wilayah tersebut. Para pionir awal dari salon Arab adalah
perempuan dari keluarga kaya di Suriah Raya dan Mesir , yang
dikembalikan dipengaruhi oleh interaksi dengan wanita Eropa selama
waktu mereka dihabiskan belajar di luar negeri dan sering
mengunjungi Paris salon, atau belajar di sekolah yang dikelola oleh para
misionaris Eropa atau Amerika. Para salon malam hari, dijalankan oleh
perempuan tetapi dihadiri oleh pria dan wanita, memberikan kesempatan
unik untuk berdiskusi tentang sosial, tren politik dan sastra hari.
Meskipun tradisi mati agak setelah Perang Dunia II , telah meninggalkan
warisan abadi pada budaya sastra dan isu-isu perempuan di seluruh

Dunia Arab. Memang, lebih dari seratus tahun kemudian,


PBBPembangunan Manusia Arab Laporan gema apa yang banyak orang
dalam masyarakat Arab datang untuk menyadari pada saat itu: ". Sebuah
Renaissance Arab tidak dapat dicapai tanpa kebangkitan perempuan di
negara Arab"
Renaissance Arab ( al-Nahda atau Arab : ) adalah berusaha
untuk mencapai kompromi antara praktik kontemporer sama dengan
yang di Eropa dan warisan Arab bersama, dengan harapan membentuk
sebuah visi baru untuk masyarakat Arab di transisi. Hubungan antara
salon sastra perempuan dan Kebangkitan Arab, seperti yang juga disebut,
adalah sangat penting. Tidak hanya pertemuan tokoh sastra merupakan
bagian integral dari Renaisans, tapi dari awal Renaissance Arab di abad
kesembilan belas, wanita datang untuk mewujudkan ikatan yang kuat
antara gerakan sastra-budaya, sosial dan politik, dan bahwa sastra itu
kunci untuk membebaskan 'kesadaran kolektif' dari norma-norma
tradisional yang telah terhambat kemajuan mereka. Pria juga mulai
mengakui pentingnya emansipasi perempuan untuk pembebasan nasional
dan pembangunan pada saat ini, dan tidak ada keraguan bahwa
peningkatan interaksi antara intelektual pria dan wanita di kalangan
sastra membuat kontribusi yang tak ternilai. Salah satu orang pertama
yang menulis tentang pembebasan perempuan adalah Qasim Amin, Dan
Nawal Sadawi, dua tokoh sastra berpengaruh pada pergantian abad
kedua puluh, berpendapat untuk emansipasi wanita demi Renaisans
Arab, seperti yang dilakukan al-Tahtawi. Sangat menarik untuk dicatat
bahwa kedua pria yang sering dikunjungi salon Mayy Ziyadah di Kairo .
Perseteruan prinsip dan pemikiran serta gejolak terhadap
penolakan penindasan dan pengekangan hak-hak asasi perempuan terus
menjadi wacana sentral bagi kalangan akademisi dan politikus yang
kemudian dihadapkan dengan sebuah benturan aturan atau hukum
konnvensional dan aturan religiusitas. Perkembangan wacana tersebut
mulai merasakan akan adanya sebuah hak dan eksistensialitas. Dan akan
adanya dominitas kaum laki laki terhadap kaum perempuan bahwa
kaum perempuan merupakan masyarakat terpinggirkan.
Dengan demikian keinginan perempuan untuk emansipasi dan
impian nasionalis pria menjadi batu kunci dalam kemajuan masyarakat

BIOGRAFI NAWAL SADAWI

Nawal El Saadawi lahir di Kafr Tahla di Lower Mesir Dealta.


Ayahnya adalah seorang pegawai negeri di Departemen Pendidikan,
ibunya berasal dari keluarga kelas atas. Terhadap praktek umum, orang
tuanya menyuruh seluruh sembilan anak, bukan anak laki-laki saja, untuk
sekolah. Nawal El Saadawi adalah seorang mahasiswa yang baik, dan
pada tahun 1949 ia masuk sekolah kedokteran. Dia menjalani pendidikan
di Universitas Kairo, menerima MD-nya pada tahun 1955. Kemudian ia
belajar di Columbia University, New York, menerima gelar Master of
Public Health pada tahun 1966. Menikah dengan Ahmed Helmi, seorang
medis mahasiswa dan pejuang kemerdekaan, berakhir dengan perceraian.
Suami keduanya adalah seorang tradisionalis kaya, Nawal El Saadawi
yang bercerai ketika ia tidak menerima tulisannya - dia mulai menulis
sebagai seorang anak. Pada tahun 1964
Nawal El Saadawi menikah Sherif Hetata, seorang dokter dan
novelis. Dia telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris beberapa buku
Saadawi ini. Putrinya dan anak menjadi juga penulis kreatif. Setelah lulus,
ia bekerja sebagai dokter di universitas dan dua tahun di Pusat Kesehatan
Pedesaan di Tahla. Dari 1958-1972 El Saadawi adalah Direktur Genderal
Pendidikan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. Dia juga
bekerja sebagai editor-in-chief di majalah Kesehatan dan asisten sekretaris
Genderal untuk Asosiasi Medis Mesir. Pada tahun 1972 El Saadawi
diberhentikan dari posnya dalam pelayanan untuk penerbitan Al-mar'a
wa-al-jins, yang ditangani dengan jenis kelamin, agama, dan trauma
pembuangan klitoris perempuan - semua mata pelajaran tabu di negara
ini. Ibu tradisional Muslimnya bersikeras sunat Saadawi di usia 6.
Meskipun praktek ini dilarang untuk sementara waktu, itu disahkan lagi
di tahun 1990an. Kesehatan ditutup dan buku-bukunya disensor.
"Semuanya di negara kita adalah di tangan negara dan di bawah kontrol
langsung atau tidak langsung, dia kemudian menulis dalam Memoirs dari
Penjara Perempuan," oleh hukum yang diketahui atau tersembunyi, oleh
tradisi atau oleh ketakutan lama terbentuk, yang berakar dari otoritas
yang berkuasa
SINOPSIS CERPEN QISSATU FATHIYYAH AL MISRIYYAH
Kisah ini di mulai dari kedatangan seorang gadis yang berusia 16
tahun, ke klinik atau yayasan perempuan yang didirikan oleh Nawal
Sadawi. Perempuan ini datang dengan mencurahkan seluruh kepahitan
hidup yang ia alami. Dia adalah Fathiya. Kisah ini bermula ketika
Mahmud, sepupu ayahnya datang ke rumah dan menawarkan kepada
ayahnya kepada seorang laki-laki tua Bangka hidung belang dari Saudi.
Usianya 60 tahun lebih tua darinya saat itu Fathiya berumur 10 tahun.
Laki laki tua tersebut bernama Syekh Ali. Seorang Konglomerat minyak

dari Saudi. Ia sudah mempunyai tiga orang isteri dan 24 putra. Syekh Ali
melihat Fathiya dengan hasrat birahi yang memuncak melihat lekukan
tubuh Fathiya yang berbalut kain basah dengan membawa air. Kemudian
Syekh Ali mengutarakan keinginannya untuk menikahi Fathiya dengan
mahar 4000 Riyal. Kontan Haji Masud ayah Fathiya terkejut dan senang
mendengar kabar gembira. Kabar tersebut dianggap sebagai anugrah dari
Tuhan. Ia langsung menengadahkan tangan dan bersujud serta
memanjatkan pujian syukur atas anugrah besar yang telah Allah berikan
kepadanya.
Keluarga Fathiya adalah keluarga dari buruh tani miskin yang
tidak mempunyai tanah ladang. Selain petani miskin, ayahnya berjualan
kotoran sapid an merpati, tahi ternak dan kotoran ampas minyak.
Kedatangan Syekh Ali selain dianggap sebagai anugrah juga sebagi
penyelamat hidup. Dengan legalitas agama dan kekuatan hukum,
ayahnya dengan tega menjualnya kepada orang lain dan memperlakukan
anak perempuannya seperti budak. Pernikahan paksa yang dialami
Fathiya tanpa adanya sebuah kebahagiaan, ditambah yang harus ia
hadapi dan alami. Kemiskinan yang terus melanda membuat ayahnya
menceraikan ibunya dengan hanya sebuah alas an yang klise. Selama
lima tahun perkawinan Fathiya dengan Syekh Ali tersebut, tidak
membawa kebahagiaan untuknya. Bahkan sebaliknya, kehidupannya
selalu terkekang, tertindas, karena suaminya berbuat kasar terhadapnya.
Fathiya mencari tahu kepada Isteri-Isteri sebelumnya penyebab
kebrutalannya. Akhirnya Fathiya mengetahui penyebabnya, yaitu
suaminya mengalami penyakit kejiwaan, yakni nafsu syahwatnya yang
mati tidak akan bangkit, kecuali oleh jeritan perempuan yang didera
dengan siksaan dan pukulan.
Fathiya mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya namun
suaminya menolaknya, bahkanbahkan ia semakin bertindak kasar,
menyiksa dan memukulinya. Akibat kebrutalan dan tindakan sadis oleh
suami kepadanya, Fathiya melarikan diri dan meminta bantuan dari
beberapa kenalannya untuk membantu proses pelarian dirinya dan
anaknya. Proses perjuangan Fathiya dalam memperoleh hak dan status
kewarganegaraan mengalami terjengan badai, keduanya mendatangi
kantor imigrasi dan catatan sipil untuk mengurusi akte dan ijin tinggal di
mesir, namun keberadaannya tidak diakui layaknya orang asing. Fathiya
dan anaknya tidak tahu apa yang akan terjadi esok harinya, apakah aparat
penegak hukum akan mengejar-ngejar dan menangkap mereka serta
mendeportasikannya. Mereka juga tahu akan masa depannya juga masa
depan anaknya. Karena beban hidup kian bertambah, terbesit olehnya

untuk membunuh anaknya, namun rasa keibuannya membuatnya


mengurungkan niat tersebut.

AGAMA DAN
PEREMPUAN

KULTUR

SOSIAL

DALAM

SUBORDINASI

Perempuan menjadi kaum yang terpinggirkan


merupakan
implikasi dari konstruksi social budaya. Sosok yang mempunyai jiwa
kelembutan, kecantikan dan seksualitas. Dalam hal ini, sesosok
perempuan selalu di Tuhankan jika ego seksualitas dieksposkan yang
kemudian menjadi hasrat (desire) seksual laki laki sehingga perempuan
selalu di agungkan dari segala sesuatu. Selain itu juga, pendistorsian dan
penafsiran-penafsiran ayat (Agama) yang tidak komperhensif sebagai
dalih atau upaya untuk meng-cover bentuk bentuk pengekangan dan
penindasan terhadap kaum perempuan.
Dalam Cerpen Qissatu Fathiyyah al-Misriyyah dari karya Nawal
Sadawi pada antologi cerpen Adab am Qillatu Adab, mengemukakan ada
beberapa sisi yang mengandung unsure agama dan kultur social dalam
subordinasi terhadap perempuan seperti pada ungkapan berikut ini:

.


( : , )
Seperti yang terjadi pada diriku, katanya membeberkan, ayahku telah
menciptakan kondisi yang lebih tragis dan mengenaskan daripada sekedar
pembunuhan. Namun, hukum atau undang-undang tidak pernah menyentuh
ayahku. Juga suami Rabiah atau menyeret ayah ayah dan suami yang telah
memperjualbelikan kami dengan legalitas akad pernikahan , talak tau poligami.

.
.

(: )

Allah sendiri telah menghalalkan seorang laki-laki untuk menikahi dengan 4 istri
sekaligus. Dan tidak ada suatu teks pun dalam Al-Quran yang membatasi
masalah perbedaan usia antara suami dan isteri. Rasulullah SAW, sendiri
mengawini sayida Aisyah saat usianya 60 tahun, sementara sayida Aisyah baru
berumur 8 tahun, atau 2 tahun lebih muda darimu.
Dari penjelasan teks cerpen tersebut dapat disimpulkan bahwa
agama merupakan instrument social dalam melegalkan opresi terhadap
perempuan dalam bentuk poligami dan dikombinasikan dengan suatu
system tradisi social cultural yang telah terkonstruksi. Seperti yang
diungkapkan oleh Asghar Ali Engineer, bahwasanya di dalam masyarakat
Arab tidak mengenal istilah keadilan terhadap perempuan, melainkan
hanya kaum laki-laki yang berhak memutuskan siapa yang paling ia sukai
dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara terbatas. Para kaum
perempuan (isteri) harus menerima takdir mereka tanpa ada jalan lain
untuk proses keadilan.
Kasus poligami tersebut di atas merupakan salah satu bentuk
interpretasi yang absud yang menjadikan tolak ukur bagi kaum patriarki
untuk beristri lebih dari satu. Konsep dasar pologami pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Dengan zaman sekarang sangat jauh berbeda.
Nabi sendiri melakukan poligami dikarenakan kondisi dan
situasinya pada saat itu para sahaba Nabi banyak yang meninggal di
medan pertempuran dalam menegakkan Islam serta masih adanya asumsi
dasar masyarakat Arab bahwa makhluk yang berjenis kelamin perempuan
sebagai sumber masalah dan tidak berproduktif. Sehingga Nabi
Muhammad melakukan tindakan untuk menyelamatkan dan mengangkat
derajat kaum perempuan. Berbeda dengan kondisi dan situasi dewasa ini,
konsep poligami tersebut di atas di jadikan lisensi oleh kaum patriarki
dengan tujuan seksualitas dan ekonomi.

MARGINALISASI DAN STEREOTIPE


)
( :
Ayah Telah menceraikan ibuku, karena ibuku hanya bisa melahirkan empat orang
anak perempuan, Ayahku menginginkan seorang anak laki-laki yang dapat
membantunya dalam berdagang dan menggembala keledai yang bisa dinaikinya
untuk berkeliling sawah dan desa. (Nawal, 1999: 96)

Pada ungkapan tersebut di atas, factor pelabelan perempuan


adalah makhluk yang lemah dan hanya bisa melakukan pekerjaanpekerjaan domestic yang tidak menghasilkan atau tidak berproduktif
secara ekonomi dalam arti menghasilkan uang. Hal ini merupakan hasil
dari konstruksi peran keluarga. Seperti pandangan feminis radikal yakni
adanya yang menitikberatkan kepada aspek biologis (nature),
ketidakadilan Gender bersumber pada perbedaan biologis antara laki-laki
dan perempuan. Perbedaan biologis terkait dengan peran kehamilan
perempuan, dimana seorang perempuan menikah dengan laki-laki maka
akan melahirkan peran-peran Gender yang erat kaitannya dengan
biologis. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melahirkan dominasi
laki-laki sehingga perempuan ditindas. Sedangkan menurut Lienjte S
Mourist (dalam KR, 2005 : 13), secara fundamental kedudukan kaum
perempuan yang tersubordinasi melalui dominitas laki-laki, berawal dari
keluarga. Hak Istimewa laki laki melegetimasi hiearki Gender dalam
keluarga itulah yang mendapat perlakuan di dunia luar termasuk
ditempat kerja.
Hal senada juga terdapat marginalisasi terhadap perempuan,
seperti ungkapan pada dibawah ini:


. .
.
( : ).
Dirumah kami yang besar, di Makkah, ada seseorang pembantu dari
Mesir, aku begitu iri kepadanya, ia tidak pernah menerima pukulan sepertiku.
Dan Ia selalu mendapatkan gaji sebesar 500 riyal Saudi setiap bulannya. Dan
setiap Tahunnya ia dapat berkunjung ke keluarganya di Mesir, sedangkan diriku,
suamiku melarangku untuk berkunjung ke keluargaku selama lima tahun ini.
(Nawal, 1999: 98)
Menurut Riech (dalam, 2005: 100) masyarakat patriarki dalam
kapitalisme, berkeinginan membawa kekuasaan Negara dalam struktur
keluarga. Dalam figure sebagai seorang ayah, suatu Negara otoriter
mempresentasikan dirinya dalam setiap keluarga, sehingga keluarga
menjadi instrument utama kekuasaan. Posisi kaum patriarki (ayah) yang
demikian sebenarnya mengharuskan represi seksual yang paling keras
kepada anak dan perempuan. Hal demikian juga diungkapkan oleh
Mansur Faqih (2004:23), ketidakadilan Gender telah mengakar pada diri
masing-masing orang, keluarga, sehingga pada tingkat Negara yang
bersifat global. Hal demikian sejalan dengan teori sosialis Marxis, bahwa

institusi keluarga dibawah kapitalisme. Menurut Marx (dalam lavine,


2003:78) bahwa hubungan keluarga sekarang menjadi uang. Kapitalisme
telah membalikan nilai individu manusia menjadi sebuah komoditas
berharga di pasar. Kehidupan manusia tidak memiliki nilai moneter.
VIOLENCE (KEKERASAN DAN PELECEHAN SEXUAL)
Sebagai makhluk yang distereotipkan, perempuan bukannya
dilindungi, diberdayakan potensi-potensi dasarnya, namun justru
diberdayakan kelemahan-kelemahannya dan dieksploitasi seksualitasnya.
Baik oleh laki-laki disektor domistik maupun di sector publik. Bukti
tindakan kekerasan laki-laki terhadap perempuan tergambar dalam
ungkapan dibawah ini:

.

(: )
Selama lima tahun perkawinan aku dengannya, aku bagaikan hidup di neraka. I a
selalu memukuliku, menyiksaku di atas ranjang sampai aku menangis dan
menjerit karena sakit yang amat sangat. Dan aku tidak habis berpikir, kenapa ia
selalu memukuliku dan menyiksaku ? ( Nawal, 1999: 98)
Interpretasi budaya patrianilistik yang berpihak kepada kaum
patriarki melahirkan konsep budaya dominitas yang kemudian muncul
sikap ketidakadilan , sewenang-wenangan yang dilakukan oleh kaum
patriarki terhdap perempuan, selain tindakan sewenang-wenangan juga
perilaku tindakan kekerasan dan penyimpangan seksual baik di dalam
sektor publik, maupun tindakan KDRT (Kekerasan Dalam Rmah Tangga).
Perilaku tindakan kekerasan dan tindakan penyimpangan seksual yang di
alami oleh Fathiya, ia selalu menjadi obyek tindakan kekerasan dan
penyimpangan seksual oleh Suaminya. Menurut Sugihastuti ( 2002:308),
terjadinya kekerasan terhadap perempuan berawal dari pandangan
umum bahwa laki-laki adalah tuanperempuan, sedangkan perempuan itu
hamba laki-laki. Laki laki dianggap selalu benar, sedangkan perempuan
selalu dipersalahkan sehingga laki-laki dapat berbuat sekehendak hatinya
kepada perempuan.
BURDEN (BEBAN KERJA)
Konsepsi perempuan sebagai jenis kelamin yang terpinggirkan
yang dibentuk oleh oposisi binner patriarki melahirkan suatu bentuk dan
sikap pelimpahan beban yang diberikan kepada perempuan untuk
menanggung semua resiko atau melakukanpekerjaan diluar sektor publik

yaitu urusan domestik, yakni mengepel, mencuci, mencari air untuk


mandi, mengasuh anak, dan segala urusan kerumah tanggaan,
konsekuensinya adalah perempuan harus memeras tenaga dan pikiran
dengan tujuan mendapatkan perlakuan dan sikap yang istimewa dari
laki-laki. Pada uraian tersebut hanya pada tingkatan kaum borjuis, bila
pada tingkatan kaum miskin (proletar), maka pelimpahan beban kepada
perempuan menjadi ganda dalam arti, selain mengurusi urusan rumah
tangga, juga mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sikap dan
perilaku yang dibebankan oleh laki-laki kepada perempuan digambarkan
oleh pengarang, yaitu dengan tokoh sentral Fathiya dan laki-laki (suami)
dalam hal ini adalah Syekh Ali. Seperti ungkapan dibawah ini:

)
( :
Tua Bangka (Syekh Ali) itu telah melihatku ketika aku memanggul tempayan air
di atas kepalaku (Nawal, 1999:96)
Pelimpahan beban kerja yang dialami oleh tokoh utama tersebut di
atas, Fathiya, Ia sebagai perempuan mendapatkan perlakuan dari kaum
patrilineal untuk menanggung beban sedemikian beratnya, yang
sedemikian itu, tidak seharusnya dikerjakan oleh perempuan. Fathiya
dalam kehidupan sehari-harinya selalu mengurusi urusan rumah tangga,
salah satunya mencari air dengan beban yang amat sangat beratnya.
Karena posisi dan status perempuan belum mendapatkan eksistensi di
dalam masyarakat, maka yang ada hanyalah opresi burden kepada
perempuan. Menurut Mansur Faqih (2004:21) opresi terhadap perempuan
merupakan dari bias gender yang mengakibatkan beban kerja yang
melampaui batas, hal ini disebabkan karena adanya pandangan atau
keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat
sebagai pekerjaan jenis perempuan (domestic), dianggap dan dinilai lebih
rendah dibandingkan laki-laki, serta dikategorikan sebagai bukan
produktif.
Dari seluruh kasus tersebut, sejalan dengan teori feminis sosialis
Marxis bahwa timbulnya ketidakadilan gender terhadap kaum matrilineal
merupakan implikasi dari dominasi laki-laki dan kebudayaan kapitalisme
sehingga memunculkan kelas dan hak kepemilikan pribadi. Marx
memandang, kapitalisme sebagai hubungan kekuasaan yang eksploitatif,
yakni bermula dari hubungan antara proletariat dengan borjuis.
Bahwasannya kaum borjuis menyukai kebebasan tetapi mereka
memperolehnya di atas penderitaan orang lain dan mempertahankannya
dengan mengendalikan kelas budak yaitu dengan mengekspoitasi nilai
produktivitas mereka termasuk juga dengan hak kepemilikan pribadi dan

umum serta penundukan wanita. Kaum borjuis memperlakukan wanita


seolah olah adalah bagian dari hak milik pribadi mereka. (Crick, 2001:88)

Daftar Pustaka
Amin, Qasim. 2003. Sejarah Penindasan Perempuan. Jogjakarata: IRCiSoD
Beauvoir, Simon De. 2003. Second Sex Fakta dan Mitos.Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Brown, Phil. 2005. Psikologi Marxis.Jogjakarta: Alenia
Daughter of Isis: The Autobiography of Nawal El Saadawi, 1999 (tr. Sherif
Hetata)
Emra'a 'inda nuqtat al-sifr, 1975 - Woman at Point Zero (tr. Sherif Hetata,
1983) - Nainen nollapisteess (suom. Kaija Anttonen, 1988)
Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jogjakarta:
Pustaka Pelajar
Hitti, Philip. 2001. Sejarah Ringkas Dunia Arab.Jogjakarta. Iqra
Ismail Hamid, 1982. Pengantar Pramasastra Arab Klasik. Kuala Lumpur.
Syarikat Percetakan, TASS
Lavine, T.Z. 2003. Marx (Konflik Kelas dan Orang yang terasaing). Jogjakarta:
Jendela
Sadawi Nawal. 2002. Tiada Tempat di Surga untuknya. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
-------------------, 2003. Matinya Perempuan.Jogjakarta: IRCiSoD
Sangidu, 2003. Penelitian Sastra,Pendekatan, Teori, Metode, Tekhnik dan
Kiat.Jogjakarta. Fakultas Ilmu Budaya.UGM
Sugihastuti, 2000. Wanita dimata wanita, Bandung: Nuansa,.
Terry Egleaton, 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif,
Jogjakarta: Jalasutra,
Sutiasumarga, Males. 2001. Kesusastraan Arab, Asal Mula dan
Perkembangannya. Jakarta. Zikrul Hakim
Teuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, Jakarta:
Pustaka Jaya Girimukti Pasaka
Wallek, Rene dan Austin Waren. Teori Kesusastraan. Penerjemah: Melani
Budianta, Jakarta: Gramedia.
REFERENSI ONLINE
http://en.wikipedia.org/wiki/Women's_literary_salons_and_societies
REFERENSI SURAT KABAR
Kedaulatan Rakyat.Jogjakarta. 24. Desember.2005.

You might also like