Ibnu Qutaibah
Ibnu Qutaibah
Ibnu Qutaibah
Tahun 2021
Halaman 16-36
Kritik dan Penilaian Ibnu Qutaibah terhadap Puisi Arab dalam Kitab Al
syi‘ru wal syu‘ara.
Nur Kholis
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Nur.kholis10011994@gmail.com
Abstrak
Termasuk bagian dari kajian ilmu kesusastraan Arab secara umum, di dalamnya ada ilmu kritik
sastra yang lebih di kenal dengan istilah naqd al-adab. meskipun masuk dalam kajian sastra,
pembahasan naqd al-adab tidak tergolong imajinatif atau fiktif, melainkan bersifat deskriptif (al-
adab al-waṣfî). Dalam prakteknya arah dari pembahasan kritik sastra, tepatnya karya sastra berupa
puisi/syi’ir lebih fokus membicarakan tentang penilaian terhadap karya sastra berdasarkan hasil
16
penafsiran dan analisis pemahaman. Sementara itu dalam sastra Arab, kritik sastra sendiri sudah
muncul sejak masa sebelum datangnya Islam (zaman Jahiliyah) dan berkembang sampi awal
kemunculan islam hingga berlanjut pada periode setelahnya. Penelitian ini termasuk dalam kajian
pustaka yang memahami dan mendalami pendapat dengan pendekatan studi historis Tokoh. Adapun
sumber primer yang digunakan penelitian ini adalah Kitab Al-Syi’ru wa Al-Syu’ara karya dari Ibnu
Qutaibah. Data yang didapat yaitu pendapat Ibnu Qutaibah dalam kritik dan penilaiannya terhadap
puisi Arab. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu bahwa menurut Ibnu Qutaibah berpendapat ada
empat kategori tingkatan penilaian dalam puisi Arab, di antaranya: 1. Puisi yang di nilai baik dan
bagus baik dari segi pilihan lafaẓ (diksi) dan maknanya, 2. Puisi yang di nilai bagus hanya dari bentuk
lafaẓnya, tapi tidak pada maknanya, 3. Puisi yang di nilai bagus dari segi maknanya, tapi tidak pada
lafaẓnya, 4. Puisi yang lafaẓ dan maknanya baru bisa pahami dan dimengerti setelah sampai selesai
membaca keduanya. Dan menurutnya ada empat unsurkecacatan dalam sebuah puisi, 1) iqwa’, ikhfa’,
al-sinad, al-ijazah.
Kata Kunci: Kritik Sastra Puisi Arab, Ibnu Qutaibah, al-Syi‘ru wa al-Syu‘ara’
ملخص
على الرغم من تضمينه يف الدراسات.يشتمل دراسة األدب العريب بشكل عام على النقد األديب املعروف بنقد األدب
يف.) ولكنها وصفية بطبيعتها (األدب الوصفي، فإن مناقشة نقد األدب ال تصنف على أهنا خيالية، األدبية
تركز أكثر على، األعمال األدبية يف شكل شعر، على وجه الدقة، اجتاه مناقشة النقد األديب، املمارسة الع ملية
فقد ظهر النقد األديب، أما يف األدب العريب.مناقشة تقييم األعمال األدبية بناءً على نتائج التفسري وحتليل الفهم
نفسه منذ فرتة ما قبل وصول اإلسالم (عصر اجلاهلية) وتطور حىت ظهور اإلسالم املبكر حىت استمر يف الفرتة اليت
مت تضمني هذا البحث يف مراجعة األدبيات اليت تفهم وتستكشف اآلراء من خالل هنج الشخصية.تلت ذلك
البياانت اليت مت احلصول. املصدر األساسي املستخدم يف هذا البحث هو كتاب الشعر والشعراء البن قتيبة.التارخيية
أربع، حسب ابن قتيبة، وخلصت هذه الدراسة إىل أن هناك.عليها هي رأي ابن قتيبة يف نقده وتقوميه للشعر العريب
جاد معناه. .حسن لفظه وحال. .حسن لفظه وجاد معناه.: منها، فئات من مستوايت التقومي يف الشعر العريب
وأتخرلفظه
ّ أتخرمعناه ّ . .وقصرت ألفاظه
. واإلجازة، والسناد، واإلخفاء، ) اإلقواع1 : منها،وعنده أربعة عناصر للعيوب يف الشعر العريب
17
identitas Arabnya, dalam bentuk tunggal istilah sastra dalam bahasa Arab disebutkan
dengankata adab, bila di jadikan dalam bentuk plural(jamak)adalah kataadāb. Namun
berbeda secara leksikal, selain memiliki arti sastra, kata adabjuga memiliki atau mempunya
arti lain.Adab juga bisa diartikan sebagai kesantunan berperilaku (etika),tentang
kemanusiaan, dan ilmu kehumanioraan (Warson, 1984. p. 13) Sedangkan dalam bahasa
Indonesia kata adab inidiserap tidak lagi diartikan sebagai kata yang bermakna sastra,
tetapi sebagai kata yang memiliki arti lain seperti kesopanan, kesantunan, akhlak, budi
pekerti luhur, kebudayaan dan kemajuan (peradaban) (Departemen Pendidikan Nasional,
2002). Melihat proses perjalanan sejarah dari bahasa Arab, kata Adab sendiri mengalami
perkembangan dan pergeseran di dalam maknanyadari setiap masa. Seperti contoh halnya
makna kata Adab pada masa Jahiliyah (masa sebelum Islam) atau sekitar 150 tahun
sebelum kelahiran Nabi Muhammad (571 M). Kata adab selain memiliki arti kesopanan,
ternyata kata adab juga digunakan arti sebagai isyaratuntuk mengajak makan. Namun
dalam perkembangan zamankata adab mengalami perubahan bentuknya menjadi kata
ma’dūbah yang sama dari akar kata asalnya, yaitu memiliki arti jamuan atau hidangan.
Selanjutnya pada periode awal masa Islam yaitu Nabi dan Khulafâ’ al-Râsyidȗn di
sekitaran tahun 610-661 M,adab memiliki arti pendidikan, pengajaran,kebahasaan dan
akhlak. Setelah itu pada masa selanjutnya, di masa pemerintahan bani Umayyah kisaran
tahun 661-750 M, kata adabbergeser makna sebagai arti dari pengajaran puisi, orasi, dan
sejarah Arab. Lalu pada tahun 750-945 M tepatnya ketika pada masa pemerintahan bani
Abbasiyah,kata adab mengalami perluasan dalam segi makna, selain berarti pengajaran
puisi, orasi, dan sejarah Arab, kata adab juga memiliki artipengajaran bicara dan nasihat.
hal ini selaras dengan pengertian ilmu Humaniora saat ini (Kamil, 2012.p.4). Masuk pada
abad ketiga Hijriyah (sekitar abad ke 10 atau 11 M), kata adab baru memiliki arti baku
sastra yang dikenal luas seperti saat ini (masa modern), sebagaimana dalam
definisibahasanya kata adab diartikan dengan estetika bentuk dan isi, baik estetika bentuk
dan isi dari lisan maupun tulisan. Itulah sebabnya, hingga saat ini, kata adab, selain
memiliki makna kesopanan dan kesantunan, juga memiliki dua makna pengertiansekaligus
yaitu: diartikan ilmu Humaniora sebagai makna umum dan makna khususnya diartikan
sebagai sastra (As-sayyib, 1964. p.15).
18
Dalam tema besar kesusastraan Arab,adab (sastra) di bagi menjadi dua kategori :
1) al-adab al-waṣfî (sastrabersifat deskriptif, tidak berupa imajinatif dan fiksi), 2) al-adab
al-insyâ’i (sastra bersifat kreatif dan fiksi).Dan penulis dalam artikel ini hanya akan fokus
membahas pada istilah adab yang sebut sebagaiAl-adab al-waṣfîataubisa juga disebut
denganal-ulȗm al-adabiyyah (ilmu kesusastraan). Di dalam al-ulȗm al-adabiyyah atau al-
adab al-waṣfîsecara rincimemiliki tiga macam bidang keilmuan : 1) sejarah sastra (târîkh
al-adab), 2) teori sastra (naẓariyah al-adab), dan 3) kritik sastra (naqd al-adab).Sedangkan
pembahasan ini akan lebih fokus pada al-ulȗm al-adabiyyah pada kajian naqd al-adab.
Metode Penelitian
Studi dalam artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kajian pustaka
atau literatur. Beberapa serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam kajian pustaka ini
yaitu dengan membaca dengan cermat bahan penelitian tersebut. Sumber primer
penelitian ini adalah kitab karya Ibnu Qutaibah yang berjudul Al-Syi’ru wa Al-Syu’ara yang
di dalamnya membahas pendapatnya tentang kritik penilaian terhadap puisi Arab.
Kajian teori
Pengertian puisi Arab
Puisi atau yang dalam bahasa Arabnya di sebut dengan istilah katasyi‘ir secara
definisibahasa berasal dari akarkata bahasa Arabfi’il maḍi ( َش َعَرsya‘ara) atau ( َشعَُرsya‘ura)
yang berarti merasakan, meraba, menyadari, mengetahui (Ma’luf, 2003.p.391). Sedangkan
arti puisi (syi‘ir)secara definisi istilahbanyak ditemui pendapat dari para ahli bahasa dan
kesusastraan Arab yang mendefinisikannya, diantaranya seperti berikut:
19
Hamid (1995.p.28) menurut Ahmad Hasan Az-Zayyat:
الشعر هو الكالم املوزون املقفى املعرب عن األخيلة البديعة والصور املؤثرة البليغة
Artinya: “syi‘ir (puisi) adalah kalimat yang memiliki irama dan sajak (qâfiyah),
yang menggambarkan sebuah peristiwa di dalamnya dengan adanya unsur
khayal/imajinatif yang indah”.
الشعر هو الكالم الفصيح املوزون املقفى املعرب غالبا عن صور اخليال البديع
Artinya: “syi‘ir (puisi) adalah suatu kalimat (tulisan atau ucapan) yang fasih (baik
lafalnya), serta kalimat yang memiliki irama, mengandung sajak, dan
umumnyamenggambarkan keindahan daridaya khayal/imajinasi”.
Dari sekian definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tokoh bahasa dan
kesusastraan Arab seperti di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa pengertian puisi
atau syi‘ir menurut istilah adalah bentuk rasa dengan ekspresi bahasa baik secara ucapan
atau tulisan, berirama, bersajak, dan memiliki bahr, serta menggambarkan tentang
keindahan daya imajinasi (khayalan) yang lebih dominan dari sebauh prosa dengan
peristiwa yang sudah, sedang atau akan terjadi.
Kata naqddalam bahasa Indonesia diartikan kritik, yaitu suatu tanggapan, analisis,
pengecekan, penelitian yang disertai uraian penjelasan dan pertimbangan penilaian baik
buruk terhadap suatu hasil karya dan sebagainya. Sedangkan kata kritik dalam bahasa
20
Yunani diucapkan dengan katakrites (hakim) yang berarti menghakimi, membandingkan,
atau menimbang (warson, 1984.p.1551) Oleh karenanya, istilah kritik (naqd) secara
leksikal bisa diartikan dengan sederhana sebagai dari proses penelititan, juga membedakan
berdasarkanpenilaian yang baik dan yang buruk sesuai dengan aturan tertentu (Semi,
1989.p.7).
Berbeda pengertian secara istilah, kritik memiliki arti luas yaitu memberikan
sebuah penilaian/apresiasi dengan cara deskriptif berdasarkan analisis dan interpretasi
pada karya sastra. Definisi ini memberikan gambaran lebih, bahwa istilah kritik sastra
merupakan sebuah upaya dari berbagai rangkaian dialog, perdebatan, dandengan bertukar
pikiran antar berbagai subjek (Qasim, 2008p.4) Sehingga dapat disimpulkan dengan
sederhana, bahwa kata kritik mempunyai makna apresiatifsecara proposional (seimbang)
terhadap suatu objek baik dengan cara memberi pujian dan mencelanya (Kamil,
2012.p.51).
Berdasarkan penjelasan dua kata di atasyaitu naqd dan adab(kritik sastra), bila
dirangkai menjadi sebuah frase naqd adabmaka memiliki arti sebuah kajian mendalam
terhadap karya sastra melalui analisis dan penjelasan agar bisa diterima, dipaham dan
dinikmati oleh pembacanya dan kemudian mampu memberikan penilaian atau komentar
secara objektif. Pradopo dalam bukunya menyebutkan,bahwa kritik sastra (naqd adab)
adalah bagian dari ilmu kesusastraan yang bertugasmengamati, mengidentifikasi,
menyelidiki dan menganalisiskarya sastra, serta memberi masukan/pertimbangan dari
baik buruknya karya sastra, yang bernilai seni atau tidak (Djoko, 2007.p.9).
Sesuai ilmu kesusastraan Arab, naqd adab atau kritik sastra adalah salah satu di
antara tiga daridisiplin ilmu sastra yang lain, diantaranya: teori sastra (naẓariyyah al-adab),
dan sejarah sastra (târikh al-adab).Masing-masing Ketiga ilmu sastra tersebut saling
berhubungan, punya ketergantungan, danmemiliki korelasi antara satu dengan yang lain.
Misalnya, ada orang yang akan mengkaji kritik sastra, tentu kajiannya tidak mungkin
menghasilkan sebuah kesimpulan yang sempurna dan mencapai sasaran apabila tidak
diiringi denganilmu teori sastra dan sejarah sastra sebagai landasan dasar. Demikian juga
dalamilmu teori sastra dan sejarah sastra, sebab teori sastra tidak akan berhasil menjadi
21
sebuah ilmu tanpa melihat sejarah sastra dan membaca kritik sastra. Hal sama juga terjadi
dalam ilmu sejarah sastra, karena sejarah sastra tidak dapat diungkap dan disampaikan
manakalailmu teori dan kritik sastranya tidak cukup memadahi (Atmazaki, 1990.9).
Seperti bagaimana yang telah dijelaskan di atas dari mulai pengertian hingga
korelasi antara naqd adab (karya sastra) dengan dua ilmu kesusastraan lainnya yaitu
naẓariyyah al-adab (teori sastra) dantârikh al-adab (sejarah sastra),kritik sastra secara
individu telah menjelma menjadi sebuah keilmuanyaang tentu mempunyai
kegunaan/fungsi yang berbeda (karakteristik) dengan dua lainnya.Sukron Kamil dalam
bukunya menyebutkan bahwa ada tiga fungsi dari kritik sastra. 1) sebagai penjelas karya
sastra. Karena dalam karya sastra, terutama karya sastra yang berbentukpuisi, banyak
dijumpai penggunaan bahasa yang padat dan bersifat simbolik, sehingga mengandung
makna yang tentu oleh sastrawan di maksudkan bukan hanya makna yang tersurat tetapi
juga makna yang tersirat. Selain karya sastra populer, dalam sastra dikenal juga aliran yang
dinamakan dengan karya sastra filososfis, bagi pemula tentu isi dari sastra ini sulit untuk di
mengerti. Begitu pula dalam karya sastra berbentuk prosa khususnya, tentu memiliki nilai
unsur imajinatif, penokohan, gaya bahasa, sudut pandang, latar, tema, amanat, dan
alur/plot, maka kebanyakan dari karya sastra itu dibutuhkan kritik sebagai penjelas, sebab
sastra adalahproduk interpretasi subjektif sastrawan yang tidak sederhana untuk
dipahami, lain halnya dengan ilmu eksak yang berdasarkan hasil interpretasi objektif. 2)
memperbaiki kesalahan dari sisikaidah bahasa, logika, teori, nilai moral dan estetik pada
karya sastra. Fungsi yang kedua ini membuat kritik sastra sebagai stimulus pemula
dalammenciptakan karya sastra dan meningkatkan kualitas karyanya sehingga kelak
mampu berkembang menjadi sastrawan besar. 3) sebagai infrastruktur ilmu sastra. Hasil
suatu identifikasi dan analisis sastra yang dilakukan oleh kritikus memberikan sumbangsih
besar dalam pengembangan teori dan sejarah sastra, karenanya, ketiganya saling erat
berkaitan (Kami, 2012.p.51). Untuk menunjang kritik sastra sebagai dari bagian ilmu
kesusastraan yang baik, maka perlu memenuhi tiga unsur penting di dalamnya yaitu: 1)
menilai atau melihat secara objektif, sesuai fakta, adil dan jujur, bukanhasil dari prasangka,
atau berdasarkan dari penilaian subjektivitas. 2) memahami situasi (konteks), baik dari
sisilingkungan, sosial dan budaya serta mengerti aturan nilai yang berlaku, 3) mampu
22
memberi pengaruh untuk para pembaca agar berpikir kritis, serta mampu memperbaiki
pola pikir dan cara kerjasastrawan (Aziz, 2019.p.1).
Kritik sastra Arab(naqd al-adab al-arabi)dalam sejarah telah ada sejak masa pra-
Islam (Jahiliyah) tepatnya padamomenPasar Raya Ukaz yang tidak hanya menjual berbagai
pernak pernik barang material sebagaimana pasar pada umumnya, namundi dalamnya
juga menjual hasil karya sastra dan produk budaya sehingga melahirkan karya sastra yang
disebutal-mu’allaqât (kumpulan puisi/syi‘irterbaik ditulis menggunakan tinta emas yang di
gantung di dinding ka’bah). Sebagaimana al-Nâbigah al-Żibyânî, yang pernah mengkritik
beberapa puisi Hassân bin Tsâbit, ketika Hassân dalam puisinya menyebutkan tentang kata
jafnât (sarung-sarung pedang), juga kataasyâf (pedang-pedang) serta puisinya yang berisi
tentang membanggakan anak keturunan. Hal ini dikritik keras oleh al-Nâbigah, karena
menurutnya pilihan diksi yang digunakan dalam lirik dan isi puisi Hassân bin Tsabit
tersebut dirasa kurang tepat olehnya, sebabnya adalah kata jafnât dan asyâf merupakan
kata jamak yang kejamakan (memiliki arti banyak)-nya terbatas, tidak maksimal. Menurut
al-Nâbigah seharusnya diksi yang dipakai dalam lirik puisinya adalah menggunakan kata
bentuk jamakjafân dan suyȗf yang memiliki makna jamak (plural) maksimal (tidak ada
batas). Demikian pula dengan isi puisinya yang membanggakan anak, ini juga dirasa kurang
tepat dan bertentangan karena bukan tradisi dari bangsa Arab Jahiliyah secaramayoritas
(dominan). Semestinya, Hassân dalam puisinyamenyematkan kalimat yang berisi
membanggakan nenek moyangdan leluhurnya terdahulu, sebab itu sesuai dengan budaya
mayoritas bangsa Arab waktu itu.
Di awal masa Islam, Nabi juga pernah melakukan kritik (koreksi) terhadap puisi-
puisi yang bernilai unsurhajâ’ (ejekan), diantaranya seperti dari puisi Hassan bin Tsâbit,
Ka’ab bin Mâlik, dan Abdullâh bin Rawâhah pada saat mereka membalas
puisihajâ’darikaum Quraisy. Nabi menilai cukup baik terhadap puisi dari mereka bertiga,
namun yang paling baik menurut Nabi adalah puisi dari Hassan bin Tsâbit, karena
kemampuan Hassan dalam mengusai peristiwa sejarah Arab. Selanjutnya pada masa Umar
bin Khattab misalnya, dikatakan Umar pernah melontarkan pujiansebagai penyair terbaik
23
kepada Zuhair bin Abi Sulma, yang dinilai karena dalam puisi-puisinya tidak terjadi atau
hampir tidak ditemukan adanya pengulangan kata, serta tidak digunakannya kata asing,
dan juga padapuisimadḥ-nya (pujian)yang sesuai dengan kenyataan orangnya (objeknya).
Di abad ke-2 H (sekitar abad ke-8 M), muncul lah para kritikus sastra Arab seperti
Abȗ Umar bin ‘Ala dan al-Usmȗ’i yang banyak meresensi puisi-puisi Jahili dan
mengkomparasikannya antara puisisatu dengan yang lainnya. Sehingga abad ini dikenal
sebagai periode tadwîn (kodifikasi) terhadap puisi-puisi sebelumnya yang masih
berserakan (tidak beraturan) dalam hafalan orang-orang Arab. Menurut para ahli,
pengkodifikasian puisi yang telah dilakukan serta dibukukan olehal-Usmȗ’i dianggap yang
paling memiliki nilai ketepatan akurasi,oleh sebab itu periode ini tidak sama dengan
periode-periode sebelumnya, dikarenakan periode ini menjadiawal dimulainya tradisi tulis
menulis dalam kritik sastra Arab. Masuklah pada pertengahan abad ke 2 dan 3 H, kritik
sastra sudah mengalami kemajuan pesat dengankemunculan para kritikus seperti Ibnu
Qutaibah dengan bukunya al-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ’dan bersama teman sejawatnyayaitu al-
Jâḥiṭ dengan bukunyaal-Bayân wa al-Tabyîn. Kritik sasta masa ini menekankan pada
ukuran nilai ketepatan kaidah, orisinalitas puisi (plagiat atau bukan), penggunaan gaya
bahasa yang solid (padat), memiliki makna yang baik, dan menggunakan metode
perbandingan. Bahkan, pada abad ini pulapenggunaan istilah kata naqd atau kritik sendiri
pertama kali disematkan dan digunakan untuk arti kata sastra. Oleh sebabnya, abad ini
menjadi landasan awal bagi periode berikutnya (abad ke-4 H).Di abad ke 4 H, maksud dari
definisi puisi, unsur-unsur puisi mulai nampak jelas, bersamaan pula munculnya kajian
terhadap struktur puisi dan nilai estetik sastra, menjadikan sebuah keaslian dalam kritik,
juga lahirnya metode badi’. Bahkan, metode komparatif yang telah muncul sejak abad ke 2
H menjadi sangat terperinci seperti perbandingan antara Abȗ Tamâm dan al-Buhturî.
Diantara tokoh kritikus masa ini ada Hasan bin Basyar al-Āmidî yang menulis bukual-
Muwâzanah baina Abî Tamâm wa al-Buhturî, dan Qudâmah bin Ja’faryang menulis
bukuNaqd al-Syu’arâ.
Periode berikutnya yaitu di abad ke-5 H adalah disebut sebagi periode emas,
sebabkritik sastra Arab mulai lebih memfokuskan perhatiannya pada kemukjizatan lafaẓ
puitik Al-Qur’an dan sisi estetika bayânnya, di antara kritikus yang lahir pada masa ini
24
adalah Ibnu Rasyîq al-Qirawâni dengan bukunyaal-Umdah fi maḥâsin al-Syi‘ri wa Adabihi
wa Naqdihi dan ‘Abdul Qâhir al-Jurjâni yang terkenal menguasai teori sastra Yunani Plato
dan Aristotels, dengan menulis buku berjudulDalâil al-I‘jâz wa Asrâr al-Balâgah.
Namun kritik sastra pernah mengalami kemacetan pada masanyadi abad ke-6 H
hingga masa modern (mulai terjadi persentuhan antarabudaya Arab dengan kolonialisme
Barat yang terjadi pada abad ke-13 H/ abad ke-19 M). Tapi bukan berarti tidak ada tokoh
kritikus Arab yang bermunculan pada periode ini, hanya saja perkembangannya tidak
seperti halnya pada abad sebelumnya. Bahkan sejarah kritik sastra Arab mengenal
beberapa tokoh kritikus Arab, diantaranya ada Ibnu al-Asîr sebagai kritikus penting yang
memiliki karyaal-Misl al-Sâ’ir (Contoh yang berjalan) dan Ibnu Sînâ al-Malik yang menulis
tentang kaidah jenis sastra muwasysyah dalam bukunya Dâr al-Tirâz. Yang dimaksud
dengan sastra muwasysyah adalah puisi (syi‘ir) yang tidak terikat oleh aturanqâfiyah
(kesesuaian akhir satar/baris) yang menyesuaikan antara model qasîdah (puisi dalam
setiap barisnya terdiri dari dua satar) dengan model puisi yang hanya menggunakan satu
syatar saja (Al-rabi, 1440 H. p. 217).
Perlu digaris bawahi bahwadalam sejarah kritik sastra Arab pada masa klasik dan
pertengahan ini, para kritikus lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap sastra
bergenre puisi dibanding sastra bergenre prosa, itu semua tidak lepas karena secara kultur
kritik sastra Arab pramodern lebih condong pada kultur puisi bukan prosa.
Sampailah pada masa modern yaitu (sejak abad ke 13-14 H/19-20 M), yang
manaperiode ini juga menjadi kebangkitan kembali bagi sejarah kritik sastra Arab dengan
ditandai banyaknya kritikus sastra yang bermunculan dengan berbagai aliran dan
kesukaan atau denganmode/trennya. Setidaknya ditemukan ada empat modedasar
karakteristik aliran pada masa ini, 1) mode kritikus sastra klasik yang berpijak pada tradisi
kritik sastra Arab murni berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis yang dipimpin oleh Mushtafâ
Sâdiq al-Râfi’i. Mode aliran ini juga biasa disebut aliran Bayâni yang mengikuti model al-
Jâhiẓ dan ‘Abdul al-Qâhir al-Jurjâni. 2) mode atau aliran kritikus Westernis yang berpijak
pada tradisi (prinsip dan acuan) kritik sastra Barat, sebagaimana aliran kritik realisme,
marxisme, eksistensialisme, dan strukturaslisme. 3) mode atau aliran moderat yang
25
mengolaborasikan antara tradisi kritik sastra Arab Islam dan Barat seperti Al-‘Aqqâd. 4)
mode atau aliran kritikus Islamis (fundamentalisme Islam) seperti Muhammad Qutb yang
sangat menolak tradisi kritik sastra Barat, terlebih kritik sastra marxisme dan realisme
(Kamil, 2012.p.59).
Sub bab selanjutnya akan membahas tentang pandangan kritikus sastra Arab yaitu
Ibnu Qutaibah dalam bukual-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ’(puisi dan para penyair).
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-
Dainuri al-Mawarzi Al-Kufi, namun semasa kecilnya ia akrab di panggil dengan nama Abu
Muhammad.Beberapa Ulama berpendapat al-Dainuri yang disematkan dalam namanya
adalah di nisbatkan dengan daerah ia dilahirkan, sedangkan al-Mawarzi di nisbatkan
daerah ayahnya di lahirkan. Nama Qutaibah dalam beberapa literatur bahasa Arab
merupakan bentuk tasghir dari kata Qutbah yang berarti nama jeroan dari binatang
ternak. Namun belum di ketahui mengapa kata tersebut di nisbatkan kepada dirinya
(Sofwan, 2018).
Dilahirkan pada abad ke 2 H, tepatnya tahun 213 H (828 M) bertepatan pada masa
pemerintahan bani Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah al-Ma’mun bin al-Rasyid, al-
Dinawari atau al-Dinuri pada akhir namanya dinisbatkan dengan daerah sekitar beliau saat
lahir. Sebelum dikenal menjadi seorang kritikus Arab terlebih dulu dalam hidupnya beliau
pernah juga menjadi sebagaiseorang hakim agama (qadhi) di daerahnya
tersebut.Berkenaan dengan tempat kelahirannya beberapa dari Para Ulama
berselisih/berbeda pendapat, namun dari mayoritas Ulama berpendapat dan sepakat
bahwa beliau dilahirkan di Kufah, lalu setelah masuk usia remaja beliau pindah ke Baghdad
yang saat itu dikenal sebagai pusat peradaban dunia dan keilmuan untuk belajar dan
mendalami ilmu pengetahuan layaknya para remaja seusianya. Diantara buktidari
perjalanan ke Baghdad dalam pengembaraannya sebagai seorang remaja yang haus akan
ilmu, itu bisa dilihat bahwa beliau pernah belajar dari satu guru ke guru yang lain,
beberapa Ulama yang pernah di singgahinyadi antaranya seperti Ishaq bin Rahawaih,
26
Muhammad bin Ziyad bin Ubaidillah al-Ziyadi yang dikenal sebagai ulama Hadis, lalu beliau
juga belajar kepada Abu Hatim al-Sajastani tentang ilmu bahasa, nahwu, dan qiraât, dan
masih banyak Ulama yang beliau datangi lagi seperti Harmalah bin Yahya, Abul Khatab bin
Yahya al-Hassani (Abd al-Rahim, 1995.p.6).
Tidak sedikit orang yang belajar kepada Ibnu Qutaibah, di antara beberapa yang
pernah berguru kepadanya yang tidak lain adalah putranya sendiri yaitu Ahmad bin
Qutaibah, yang kelak menjadi seorang hakim di wilayah Mesir. Selain itu, juga ada dari
murid-murid yang meriwayatkan (menguraikan/menjelaskan) karya-karyanya, termasuk
Abdullah bin Ja’far bin Darustuwaih an-Nahwi, Ubaidillah bin Ahmad bin Bakar, dan
Ubaidillah as-Sukari. Seperti halnya kebanyakan Ulama yang lahir pada saat itu, Ibnu
Qutaibah juga tergolong Ulama yang produktif dan multi talenta, yang mampu menguasai
dan mampu menghasilkan karya dari berbagai lintas bidang disiplin fan keilmuan. Hal ini
bisa dilihat dan di buktikan dengan terbitan karya-karyanya yang banyak dijumpai serta
dijadikan sebagai rujukan oleh para Ulama setelahnya. Diantara karyanya : dalam bidang
al-Qur’an dan Hadis, ada I’râb al-Qur’ân, al-Qirâ’ât, al-Masâil wa Ajwibatuhâ, Musykil al-
Hadîs, al-Ru’ya, Garîb al-Qur’ân, Garîb al-Hadîs, A‘lâmun Nubuwwah, al-Musytabih min al-
Hadîs, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîs. Dalam bidang Ilmu Kalam, adaar-Raddu ‘alâ Man yaqȗlu bi
khalqi al-Qur’an, al-Ikhtilâf fî al-lafẓ wa al-Radd alâ al-jahamiyah wa al-Musyabihah, ar-
Raddu ‘alâ Syu‘ȗbiyah. Dalam bidang Ilmu Politik, adaUyȗn al-Akhbâr, al-Imâmah wa as-
Siyâsah, at-Taswiyah baina al-A’râb wa al-‘Ajam. Dalam bidang Ilmu Fikih, adaal-Fiqhu, al-
Asyribah, as-Ṣiyâmu, al-Maisir wa al-Qadâh, Adab al-Qâḍi. Dalam bidang Ilmu Umum,
adaAdab al-Kâtib, al-Ma‘ârif (Pengetahuan Umum), al-Rajul wa al-Manzil(Akhlak/Sejarah
27
politik), al-Anwâ‘ fi Mawâsim al-‘Arab (Perbintangan/Ilmu Falak). Dalam bidang Ilmu
Bahasa dan Sastra, adaal-Wahsyu, Ma‘âni al-Syi’ri, al-Farsu, an-Nabâtu, al-Hajwu, al-alfâẓ al-
Muqârabah bi al-Alqâb al-Mu‘arrabah, al-Ibil, jâmi an-Nahwî, al-Isytiqâq, tabaqât as-Syu’arâ,
al-Arab wa ‘Ulȗmuhâ, al-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ’ (Ghozali, 2014).
Dari sekian banyak karya seperti disebutkan di atas yang telah di tulis oleh Ibnu
Qutaibah, tentu banyak dari kalangan Ulama sesudahnya untuk menjadikannya sebagai
rujukan atau refrensi. Semisal kitab al-Kâtib yang dijadikan sebagai rujukan utama dalam
bidang Ilmu Bahasa oleh Ibnu khaldun selain dari kitab al-Bayân wa at-Tibyân karya al-
Jahiẓ, dan kitab al-Kâmil karya al-Mubrid. Karena itu, maka tak heran jika Ulama
sesudahnya banyak memberi pujian kepadanya, sebab dari kitab al-Kâtib,mulailah
bermunculan syarah (penjelasan/keterangan lebih luas) oleh Ulama sesudahnya. Di
antaranya Imam Abu Mansur al-Juwaliqy, dan Ibnu Sayyid al-Batliyusi (Ghozali, 2014).
Kitab ini dicetak dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1904 M di Leiden,
kemudian mengalami revisi dan pencetakan ulang beberapa kali untuk diterbitkan kembali
di Negara-negara Eropa dan Mesir. Melihat penyebarannya yang begitu luas dan masif,
semua itu timbul karena kitab ini dijadikan oleh para Ulama sesdudahnya sebagairefrensi
dan sumber utama bidang disiplin ilmu kajian kritik sastra Arab, yang di dalamnya memuat
pembahasan tentang kumpulan biografi dan riwayat dari para penyair mulai dari jaman
jahili (sebelum islam) hingga bani abbasiyyah, disertai kumpulan karya-karya mereka
dengan ditambahi adanya kritik dan penilaian darinya. Ada sisi perbedan dari kitab ini
dengan kitab al-tabaqât dan al-Ma‘âjim, karena dalam kitab al-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ’tidak
mengklasifikasikan para penyair berdasarkan urutan abjad, tapi diklasifikasi sesuai dengan
urutan zaman.
Pada buku ini memuat dua poin pembahasan: pertama, memuat tentang isi puisi
itu sendiri, termasuk di dalamnya membicarakan dari segi pembagian puisi, penilaian puisi
dari sisi bahasa, sisi makna, sisi diksi pilihan kata, juga menjelaskan macam-macam
kecacatan puisi.Kedua, membincangkan tentang persoalan para penyair, mulai dari
riwayat, termasuk juga kondisi, kemampuan, suku, keturunan, nama kuniyah serta laqab
28
nya dari penyair yang dikenal,dan juga karya puisinya, juga menyebutkan tentang jumlah
keseluruhan penyair di dalamnya yang banyaknya 206 penyair, semua itu tidak hanya
terbatas pada penyair di satu zaman saja, tetapi penyair lintas zaman termasuk memuat
penyair mulai zaman jahili (sebelum islam), munculnya islam, Umayyah, hingga penyair di
zaman Abbasiyah (Syakir, 1958.p.59).
Sebagai seorang kritikus sastra, Ibnu Qutaibah menunjukkan bahwa hasil analisis
kritisnya yang telah dituangkan dalam kitab al-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ’itu berdasarkan sesuai
penilain dari pada puisi itu sendiri, bukan menilai berdasarkan dari penciptanya, atau
keadaan dan persoalan yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, dia menetapkan dalam
karyanya atas norma dan aturan kritis yang berkualitas dalam menilaisebuah puisi, yaitu
dengan tidak memasukkan/mengaitkan masalah saat penyair hidup, serta tidak melihat
kelas sosial penyair, dan inilah yang membuat keputusannya objektif dalam kritik. karena
dia memiliki pendirian dengan mengambil sikap yang jelas untuk menilai puisi tanpa
melihat latar belakang masalah penyair itu sendiri, bahkan dia tidak membenarkan apa
yang telah dilakukan oleh para Ulama di masanya dengan menolak penilaian beberapa
penyair yang di tulis dalam buku-buku mereka, sebab mereka beranggapan penilain puisi
itu harus di sandarkan juga kepada para penyairnya.Namun dari sini cukup jelas, bahwa
Ibnu Qutaibah melihat secara adil dan independenterhadap puisi di antara para penyair,
dengan tidak terpengaruh oleh penulis lain.
1. puisi yang dinilai bagus dan baik dari segi diksi pilihan kata (lafaẓ) dan memiliki
keindahan dalam maknanya. Tingkatan pertama ini tergolong jenis puisi paling
baik. Puisi ini hanya mampu di ciptakan oleh penyair populer, seperti puisi al-
Nabigah (Syakir, 1958.p.66) :
29
ِ اسي ِه ب ِط
ِ ِيء ال َكواك ِ ٍّ انصب * و
ِ َكِلِْي ِِن ِِلٍَّّم اي أميمة
ب َ َ ْ َليل أُق
Ibnu Qutaibah menilai puisi dari al-Nabigah di atas di anggap sebagai puisi dari
kategori yang pertama, sebagaimana yang telah disebutkan dalam bukunya, yaitu حسن
(لفظه وجاد معناهbagus dari segi diksi pilihan kata dan indah dari segi maknanya).Pertama,
dilihat dari segi diksi pilihan katanya, termasuk di dalambahrnya berupa bahr thâwîl,begitu
juga dari qâfiyah dan wazan nya sangat bagus dan sesuai dengan lazimnya struktur puisi
Arab, Kedua, dilihat dari sisi maknanya puisi di atas memiliki arti ;wahai Umaimah tolong
bantu lah aku menghilangkan rasa sedih yang mendalam ini, diriku bagaikan seperti malam
gelap yang tidak mendapat percikan sinar cahaya bintang-bintang.Dari arti diatas tentu
maknanya bisa dimengerti, bahwa penyair sedang dilanda rasa gelisah yang menghantui
dirinya dengan mengumpakan seperti malam gelap yang tidak disinari cahaya bintang-
bintang, dan membutuhkan teman untuk sebagai obat penenang.
2. Puisi yang dinilai bagus dari sisi pilihan diksi katanya (lafaẓ), namun kurang
bagus dari sisi maknanya. Seperti puisi Uqbah bin Ka’ab bin Zuhairbin Abi Sulma
(Syakir, 1958.p.66) :
tingkatan yang kedua yaitu وحال ( حسن لفظهbagus dari bentuk diksi kata, namun tidak dari
sisi makna). Pertama, ditinjau dari sisi lafaẓnya puisi di atas baik, dalam artian sesuai
dengan struktur puisi Arab, tidak bertentangan antara qâfiyah dari bait kesatu, dua, dan
berharakat dammah kesemuanya.Kedua, namun dari segi makna puisi diatas tidak memiliki
30
arti yang mendalam, sebab hanya berisi sebuah cerita rekaan suatu hikayat yang
mengungkapkan pengalaman perjalanan seseorang dengan menunggang kuda saat setelah
ibadah haji, mulai dari cara menunggang sampai menarik tali dan mengikatnya. Bahkan
tidak ada makna yang tersirat di dalamnya, cuma hanya sekedar sebuah pengalaman
namun hanya di ekspresikan ceritanya dalam bentuk puisi.
3. Puisi yang dinilai tidak baik dalam segi struktur lafaẓnya, tapi dinilai baik secara
segi maknanya. Seperti puisinya Labîd bin Rabîah (Syakir, 1958.66):
الصاِلِ ُح
َّ س ِ ِ ما عاتَب املرء الكرمي كنفسه * واْملرء ي
ُ صل ُحهُ اْجلَلْي
ْ ُ ُ َْ َ َ َ َْ َ َ َ
Menurut Ibnu Qutaibah, puisi dari Labîd bin Rabîah di atas tergolong kategori
tingkatan ke tiga yaitu (جاد معناه وقصرت ألفاظهbaik secara makna, namun kurang bagus
dari pelafalan katanya). Pertama,maksud puisi di atas memiliki pemaknaan yang baik yaitu
memberi pesan tentang memilih teman yang baik perilakunya, sebab orang yang berteman
dengan orang baik maka dia tentu diajak kedalam kebaikan dengan cara yang baik pula.
Kedua, namun penilaiandalam sisi struktur pelafalan katanyamasih kurang bagus/terbatas.
Sehingga makna pesan yang baik dalam sebuah puisi harusnya diiringi dengan ungkapan
pelafalan yang baik dan sesuai struktur puisi Arab.
4. Puisi yang baru bisa dipahami setelah semua dibaca baik dari lafaẓ dan maknanya.
Seperti puisi al-A’sya dalammenggambarkan sosok perempuan (Syakir, 1958.p.69)
:
31
sendiri sampai habis begitu juga dengan makna nya yang tersirat dalam sebuah arti.Puisi
al-A’sya tersebut sedang menggambarkan seorang perempuan dengan membayangkan
mulut kekasihnya dengan jenis bunga yang sedang bermekaran, lalu membayangkan air
liur yang keluar dari mulut kekasihnya bagaikan madu yang keluar dari bunga. Maka tentu
butuh jedah untuk memahami makna yang tersirat dalam kata dan arti sebuah puisi agar
maksud nya bisa sampai kepada para pembaca.
1. Iqwâ’yaitu perbedaan i’râb (harakat akhir sebuah lafaẓ) pada qâfiyah (sajak
akhir/kesesuaian ujung akhir pada setiap baitpuisi dari akhir huruf yang mati
sampai huruf hidup yang berada sebelah huruf mati), yang awal berharakat kasrah
dan yang lain berharakat dammah (syakir, 1958.p.95).
adalah lafaẓ أَقْ و ِامyang huruf akhirnya ber harakatkasrah terletak pada huruf mim() م.
َ
Sedangkan qâfiyah dari bait kedua yaitu lafaẓإِظْ َال ُمhuruf mim pada akhiran bait tersebut
2. ikhfâ’ yaitu kurangnya huruf yang terletak padafâsilah bait (Syakir, 1958.p.96)
32
Seperti contoh puisi Hajl bin Nadlah :
irama seperti halnya dalam ilmu arȗdh qawâfi. Dan ini adalah di nilai cacat dalam
3. al-Sinâd yaitu perbedaan dari sisiharakat huruf sebelum radaf (huruf mad yang
berada sebelum huruf akhir dengan tidak adanya pemisah) sebuahqâfiyah
seperti lafad َعلَ ْينَاdan lafad( ف ْينَاSyakir, 1958.p.96).
ِ فَاصب
*حْي نَا ِ ِ*أََال هِّب بِصحن
ك
ْ
َ ْ َ ّْ ُ
*جريْ نَا ِ ِ ِ ُ*ت
َ َ ص ّف ُق َها الرَاي ُح إ َذا
َ
Termasuk bagian yang dianggap sebagai kecacatan dari nilai sebuah puisi
menurut Ibnu Qutaibah adalahsinâd seperti yang terjadi dalam dua contohsyatar dari
puisi di atas,karena terjadi perbedaan dalam segi harakatpada huruf sebelum radafdari
masing-masing arȗd dan darab (lafaẓ ujung dari masing-masing sebuah syatar). Dalam
33
berada sebelum huruf ya(( )يradaf) adalah berharakat kasrah, sedangkan qâfiyah di
syatar dari bait kedua tepatnya pada lafaẓجريْ نَا, huruf ra ( )رyang terletak sebelum huruf
ََ
ya ( )يberharakat fathah. Perbedaan dari segi harakat inilah yang dinilai cacat dalam
sebuah puisi oleh Ibnu Qutaibah, sebagaimana yang telah di kemukakan dalam
4. al-ijâzah yaitu perbedaan harakat pada huruf sebelum akhir dari qâfiyah yang
berkahiran huruf mati (Syakir, 1958.p.57).
* َّن أَفِّْر ِ
ِّ* الَيَدَّعى الْ َق ْوُم أ
ِ ِ
ُ * َوكْن َذةُ َح ْوِىل ّّجْي ًعا
*صبُ ْر
Kesimpulan
Ibnu Qutaibah adalah salah satu tokoh kritikus sastra Arab yang terkenal pada
abad ke 2 H. Tidak hanya sebatas pada bidang Ilmu bahasa dan kesusastraan, beliau juga
ahli dalam berbagai disiplin Ilmu, hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya. Diantaranya
34
yaitu kitab al-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ’termasuk hasil karyanya dalam bidang kebahasaan dan
kesusastraan, yang di dalamnya menjelaskan pendapatnya tentang penilaian dan tingkatan
puisi yang baik, dan mengkritik puisi tersebut dengan menyebutkan penyairnya. Di dalam
kitabnya, Ibnu Qutaibah juga menyebutkan para penyair dengan mengkategorikan sesuai
zamannya, dimulai dari penyair zaman Jahili, munculnya islam, hingga penyair pada
zamannya.
Ibnu Qutaibah dalam mengkritik atau memberi penilaian puisi dalam kitabnya
sangat objektif, tidak berdasarkan subjektivisme dengan melihat kelas sosial penyair.
Menurutnya Ada empat penilaian tingkatan puisi yang disebutkan olehnya, yaitu bagus dan
baik dari sisi lafad (kata) dan maknanya, bagus dari sisi lafadnya tapi kurang bagus dari sisi
maknanya, sebaliknya ada yang bagus dari sisi maknanya meskipun lafadnya tidak, dan
yang terakhir lafad dan maknanya baru bisa dipaham setelah dibaca.Dan menurutnya
sebuah puisi itu dianggap cacat bila ada empat unsur di dalamnya, diantaranya : iqwa’,
ikhfa’, al-sinad, dan al-ijazah.
Referensi
Abd al-Rahim, Muhammad. 1995. dalam Ibnu Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Editor:
Muhammad Abdul Rahim, Beirut: Dâr al-Fikr.
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra, Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya.
Aziz, Abd. 2019.“Kritik Intrinsikalitas dan Ekstrinsikalitas Sastra Modern: Kajian Sastra
Modern”, Jurnal Mumtaz, Vol. 3, No. 1.
35
Ghozali, Abdul Malik. 2014.Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam
Ta’wil Mukhtalaf al-Hadis, Jurnal Kalam, vol 8, No 1, Juni
Kamil, Sukron.2012. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ma’luf, Luis. 2003.al-Munjid fil lughoh wal ‘alam, Beirut: Dār al-Mashriq.
Sofwan, Abbas. 2018. Abrogasi al-Qur’an dengan Sunah menurut Ibnu Qutaibah dalam
Ta’wil Mukhtalaf al-Hadis, Jurnal Tsaqafah, Vol 14, No 1, Mei.
36