Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 26

PERKEMBANGAN PEMBAGIAN KEKUASAAN ORGAN NEGARA:

UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP CHECK AND BALANCES DALAM


SISTEM KETATANEGARAAN

Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Genap


Mata Kuliah Ilmu Negara
Kelas A

Oleh:
Indrianingrum
NIM. 125010107111113
Dian Laraswati Zuriah
NIM. 135010100111046
Ahmad Faiz Yusqy Ahlian NIM. 155010100111042

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2016

PERKEMBANGAN PEMBAGIAN KEKUASAAN ORGAN NEGARA:

UPAYA PERWUJUDAN PRINSIP CHECK AND BALANCES DALAM


SISTEM KETATANEGARAAN
Indrianingrum, Dian Laraswati Zuriah, dan Ahmad Faiz Yusqy Ahlian
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono No. 169, Malang
Email: indrianingrum_1202@yahoo.co.id, dianlaraswatizuriah@gmail.com, dan
ahmadfaizya@yahoo.co.id
Abstract
There are three classic functions of power known in legal theory
and politics, namely the function of the legislative, executive, and
judicial. Baron de Montesquieu idealize the three state power
instituted in each of the three organs of the state, where one organ
only perform functions without interfering in other functions. This
concept was then known as trias politica no longer relevant today,
considering no longer possible to maintain the three organs will
only deal exclusively with one of the three functions such power. In
fact, show that the relationship between the branches of power is
impossible not to touch each other, and even all three positions
together and control one another in accordance with the principle of
checks and balances. On the other hand, the development of
society in a variety of structures requires the state organs to run
more responsive, effective, and efficient in performing public
service and reach of government. What affects the structure of
state organs to the emergence of state institutions as a form of
institutional experimentation. Institutional development and
experimentation have also been experienced by the people of
Indonesia, especially in the transition to democracy after the fall of
the New Order as a form of the reform agenda.
Keywords: Distribution of Powers, Function, and States Organs.
Abstrak
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun
politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Baron de Montesquieu
mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing
dalam tiga organ negara, dimana satu organ hanya menjalankan satu fungsi tanpa
mencampuri fungsi yang lainnya. Konsepsi yang kemudian disebut sebagai trias
politica tersebut tidak relevan lagi saat ini, mengingat tidak mungkin lagi
mempertahankan ketiga organ tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah
1

satu dari ketiga fugsi kekuasaan tersebut. Kenyataannya, menunjukkan bahwa


hubungan antar cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan,
dan bahkan ketiganya menempati posisi yang sederajat serta saling mengendalikan
satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances. Di sisi lain, perkembangan
dalam masyarakat di berbagai sisi menghendaki struktur organ negara dapat berjalan
lebih responsive, efektif, dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan
mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu berpengaruh terhadap
struktur organ negara sampai dengan munculnya organ negara sebagai wujud
eksperimentasi kelembagaan. Perkembangan dan eksperimentasi kelembagaan
tersebut juga dialami oleh bangsa Indonesia terutama di masa transisi demokrasi
setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru sebagai wujud agenda Reformasi.
Kata kunci: Fungsi, Organ Negara, dan Pembagian Kekuasaan.

Latar Belakang
Berdasarkan sejarah, konsepsi kehidupan bernegara telah mengalami banyak
perubahan. Pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan
kemudian semakin beralih kepada konsep negara yang mendasarkan segalanya atas
hukum (rechstaat). Konsep negara yang didasarkan pada hukum tersebut
mengandung pengertian bahwa hukum adalah kewajiban bagi setiap penyelenggara
negara atau pemerintah untuk tunduk kepada hukum. Atas dasar itulah tidak akan
lahir suatu kekuasaan tanpa hukum itu menghendaki lahirnya kekuasaan itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidak boleh ada kekuasaan yang
sewenang-wenang dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliknya. Salah satu
cara dalam menjaga agar kewenangan dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat
tidak disalahguankan adalah dengan melakukan pemisahan dan pembagaian
kekuasaan. Hal ini merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi modern tentang
upaya pembatasan kekuasaan dengan dianutnya teori pembagian kekuasaan.1
Dalam negara kesejahteraan (welfare state), dimana negara berhak untuk ikut
campur hampir diseluruh bidang kehidupan rakyatnya, kekuasaan negara memiliki
kedudukan untuk menetapkan, melaksanakan, dan meneggakkan kepatuhan terhadap
hukum. Dengan demikian, penggunaan kekuasaan negara tersebut memiliki potensi
melanggar hak-hak rakyat yang ada dalam negara tersebut, bahkan dimungkinkan
1

M.
Ali
Safaat,
Sengketa
Kewenangan
Lembaga
Negara,
2014,
http://safaat.lecture.ub.ac.id/2014/03/sengketa-kewenangan-antar-lembaga-negara/, diakses pada 2 Mei
2016.

hak-hak rakyat yang paling mendasarpun (Hak Asasi Manusia) dapat dilanggar.
Berdasaarkan hal tersebut, lahirlah adagium "power tends to corrupt, and absolute
powes corrupts absolutely" yang dikemukakan oleh Lord Acton, yang artinya
kekuasaan

cenderung

untuk

disalahgunakan

dan

kekuasaan

mutlak

pasti

dipersalahgunakan.
Pada awalnya ketika abad pertengahan ke-14 sampai ke-15 di Eropa belum
mengenal apa yang sekarang ini disebut sebagai pembagian kekuasaan pada negaranegara moderen. Kekuasaan pada waktu itu disentralir dalam tangan raja dan
melahirkan sistem pemerintahan monarki absolut, dimana Raja tidak akan pernah
salah walau akhirnya melanggar hak-hak rakyat. Berdasarkan hal tersebut, Pada
zaman renaissane/ aufklarung (permulaan abad ke-17) timbul aliran yang melawan
sistem pemerintahan sentralists karena kurang dapat menjamin kemerdekaan individu
dan harus diubah dengan sitem pemerintahan yang dapat menjamin lebih banyak
kebebasan-kebebasan individu serta hak-hak asasi manusia.
Untuk itu, maka jalan yang ditempuh adalah dengan menghapus sistem
pemerintahan absolut dan menggantinya dengan sistem pemerintahan demokratis,
dimana sistem ini menekankan pada dua hal. Pertama, kekuasaan negara harus
dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh organ lain disamping Raja. Kedua, pelaksanaan
kekuasaan negara menghormati hak asasi manusia.
Dalam teori pembagian kekuasaan, John Locke dianggap sebagai peletak
dasar teori, karena telah menuangkan pikiran-pikirannya dalam buku "Two Treaties
on Civil Government." Kemudian diikuti oleh Montesquieu yang tertuang dallam
bukunya "L'Esprit des Lois", yang selanjutnya dikenal dengan teori Trias Politica
dimana dalam bahasa Indonesia maknanya adalah pemisahan kekusaan, namun dalam
prakteknya tidak ada yang benar-benar dapat menjalankan secara murni karena
setiap-setiap kekuasaan tidak dapat terpisah satu dengan yang lainnya.
Sehingga akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian
kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang mampu berdiri
sendiri. Hingga saat ini pun, Indonesia juga turut menjalani model pembagian
kekuasaan hingga membentuk eksperimentasi kelembagaan terutama di masa transisi
demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru sebagai wujud agenda Reformasi.
Pembahasan
3

A. Hakikat Kekuasaan Negara


Kekuasaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai dengan kehendak pemegang
kekuasaan itu sendiri.2 Menurut Miriam Budiardjo kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang
atau orang lain sedemikian rupa. Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa Negara adalah
agency atau alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam mayarakat dan menertibkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat. Pengertian dari Negara sendiri adalah organisasi yang
dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari hidup
bersama itu.3
Jika disimpulkan kekuasaan Negara adalah suatu kemampuan yang dimiliki
oleh suatu Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam suatu Negara
untuk memimpin suatu bangsa, yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat,
untuk mempengaruhi tingkah laku masyarakat, dan untuk menyadarkan atau
mengarahkan masyarakat dengan menetapkan peraturan-peraturan atau undangundang yang bersifat memaksa dan memiliki sanksi jika dilanggar.
Pandangan yang paling berpengaruh di dunia mengenai pembagian kekuasaan
adalah yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan
negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial. Walaupun ajaran
Montesquieu ini paling berpengaruh dalam penyusunan konstitusi dan didalam
praktek ketatanegaraan di dunia, namun pelaksanaannya secara murni mendapatkan
keberatan. Alasannya adalah sebagai berikut ini.
1. Pemisahan mutlak akan mengakibatkkan adanya organ kenegaraan yang tidak
ditempatkan di bawah pengawasan suatu badan kenegaraan lainnya. Tidak adanya
pengawasan berarti cenderung adanya organ kenegaraan untuk bertindak
melampaui batas kekuasaan dan bekerjasama antara badan-badan kenegaraan itu
menjadi sulit;

2
3

Moh.Kusnardi, dkk, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta, 2012, hlm. 112.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 38.

2. Karena ketiga fungsi tersebuut masing-masing hanya diperbolehkan untuk


diserahkan kepada satu organ kenegaraan tertentu saja atau dengan perkataan lain
tidak mungkin diterima sebagai azas tetap bahwa tiap-tiap organ kenegaraan itu
hanya dapat diserahi satu fungsi tertentu saja, maka hal ini akan menyukarkan
pembentukan negara hukum modern dimana badan kenegaraan yang diserahi
fungsi lebih dari satu macam.
B. Perkembangan Teori Pembagian Kekuasaan Organ Negara
Istilah organ negara bukan merupakan konsep yang memiliki istilah tunggal
dan seragam secara terminologi. Berdasarkan kepustakaan Belanda organ negara
disebut dengan istilah staat organen, sedangkan menurut kepustakaan Inggris,
disebut dengan istilah political institution. Dalam bahasa Indonesia sendiri
digunakan istilah badan negara, lembaga negara, atau organ negara.4
Menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia staat organen diartikan sebagai
alat perlengkapan negara. Dalam Kamus Hukum Fockema Andreae, kata organ
sendiri juga diartikan sebagai perlengkapan. Hal inilah yang menjadikan istilah
lembaga negara, badan negara, organ negara, serta alat perlengkapan negara sering
dipertukarkan maknanya satu dengan yang lainnya. Istilah tersebut memang
membedakan dimana yang lebih luas dan lebih sempit, tergantung pada konteks
pengertian di dalamnya. Pada intinya, dalam membedakan organ atau badan negara
yang digunakan dalam konteks dan merujuk pada pengertian yang sama, yakni
pembedaannya dengan organ yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan
untuk organ swasta atau masyarakat.5
Alat kelengkapan suatu negara yang disebut dengan organ negara adalah
institusi yang dibentuk dengan tujuan melaksanakan fungsi negara.6 Penggunaan
istilah lembaga atau organ negara mengandung pengertian secara teoritis mengacu
4

Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga


Negara, Jakarta: KRHN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia Foundation dan USAID,
2011, hlm 29.
5
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.
32-33 dan Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, hlm. 33.
6
Firmansyah Arifin, Op.Cit., hlm. 30.

pada pandangan Hans Kelsen mengenai konsep tentang organ negara, organ adalah
siapapun yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan oleh tatanan hukum.7 Di
samping itu, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat disebut sebagai organ,
dengan fungsinya yang bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau
menjalankan norma (norm applying).8
Organ dan fungsi merupakan unsur pokok yang berkaitan dengan organisasi
negara. Organ sebagai bentuk atau wadah, sedangkan fungsi sebagai isi dari wadah
sesuai dengan maksud pembentukannya. Menurut I Dewa Gede Atmadja, terdapat 3
teori organ negara, yakni:9
1. Teori Konstitusional, dimana sumber kewenangan organ negara diberikan
langsung oleh konstitusi dan tidak langsung dari konstitusi;
2. Teori Yuridis, dimana bentuk dalam struktur organ negara yang disusun melalui
tiga cara, antara lain: (i) Pemilihan, baik melalui pemilihan langsung maupun
tidak langsung oleh rakyat dalam jabatan tunggal, selain itu, pemilihan struktur
dalam lembaga negara yang majemuk ditentukan dengan tata tertib tersendiri dari
lembaga negara tersebut; (ii) Penunjukan, didasarkan pada penilaian dari pejabat
yang bersangkutan; dan (iii) Warisan, jabatan yang ditetapkan secara turuntemurun menurut garis keturunan.
3. Teori Fungsional, keberadaan dari organ negara berkaitan dengan fungsi negara
untuk mewujudkan tujuan negara.
Untuk itu, konstitusi yang dimiliki oleh setiap negara dalam penyelengaaraan
pemerintahannya memuat pencatatan (registrasi)

kekuasaan melalui pengaturan

organ-organ negara. Pengaturan ini dimaksudkan agar terciptanya keseimbangan


antara organ negara yang satu dangan organ lainnya (check and balances).
Berdasarkan fungsinya, kekuasaan ini menunjukkan adanya perbedaan tiga fungsi
dasar dalam menyelenggarakan pemerintahan yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Ketiga poros kekuasaan tersebut terpisah satu sama lain baik mengenai
orangnya maupun fungsinya. Ajaran tentang pembagian kekuasaan ke dalam tiga

Hans Kelsen, op.cit., hlm. 238


Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 36
9
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Negara dan Kajian Kenegaraan,
Malang: Setara Press, 2012, hlm. 96
8

pusat kekuasaan tersebut dikemukakan oleh Immanuel Kant dan diistilahkan sebagai
Trias Politica (Tri= tiga, As= Poros/pusat, dan politica= Kekuasaan).10
Trias Politika ini merupakan prinsip normatif yang beranggapan bahwa
kekuasaan suatu negara sebaiknya tidak diserahkan kepada pihak yang sama dengan
tujuan untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Dengan

demikian,

Trias

Politika

menganggap

bahwa

kekuasaan

negara

diklasifikasikan menjadi tiga macam kekuasaan, yaitu sebagai berikut:11


1) Kekuasaan Legislatif, merupakan kekuasaan yang memiliki wewenang untuk
membuat undang-undang (rule making function);
2) Kekuasaan eksekutif, merupakan kekuasaan yang menjalankan undang-undang
(rule application function);
3) Kekuasaan yudikatif, merupakan kekuasaan yang berhak mengadili atas
pelanggaran terhadap suatu undang-undang (rule adjudication function)
Fungsi pembagian kekuasaan negara pertama kali diimplementasikan di
Perancis (abad ke-16), dimana pada saat itu diakui lima fungsi, yaitu: 12 (a) fungsi
diplomacie; (b) fungsi defencie; (c) fungsi financie; (d) fungsi justicie; dan (e) fungsi
policie. Kemudian oleh John Locke (1632-1704) dari kelima fungsi tersebut
dibaginya menjadi tiga, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, serta federatif. Menurutnya,
di dalam fungsi eksekutif sudah tercakup fungsi peradilan, ia memandang bahwa
mengadili adalah sebagai uittvoering yang termasuk dalam pelaksanaan undangundang.
Kemudian pada 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut mengenai
pemikiran John Locke tersebut. Montesquieu membagi pembagian kekuasaan negara
menjadi tiga golongan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, serta yudikatif. Ia
berpandangan bahwa kemerdekaan individu tidak dapat tercapai jika ketiga golongan
kekuasaan tersebut dipegang oleh pihak atau organ yang tidak terpisah.13 Dalam
10

Jazim Hamidi, dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Media, 2009,
hlm.53. Lihat juga pada Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006, hlm. 15
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 281-282.
12
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 29.
13
Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm. 283.

perkembangan teori Montesquieu ini, mendapat berbagai kritikan karena sudah tidak
relevan untuk diterapkan lagi. Menurut E. Utrecht, ketiga jenis kekuasaan tersebut
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak . Ketika suatu organ negara
berdiri sendiri dan tidak ditempatkan dibawah pengawasan organ lainnya maka akan
memumngkinkan jika organ tersebut melampaui kekuasaannya. Pendapat ini
mempengaruhi perkembangan hukum modern, yang menerapkan jika satu badan
negara dapat diberi lebih dari satu fungsi sekaligus.14
Miriam Budiardjo beranggapan bahwa pada abad ke-20, suatu negara yang
berkembang semakin kompleks, pembagian kekuasaan dalam model Trias Politika
tidak lagi dapat dipertahankan.15 Sementara semua negara pada umumnya memiliki
tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare State), maka
permasalahan yang dihadapi negara tersebut juga kian kompleks. Maka dari itu, untuk
menghadapinya tidak dapat diselesaikan secara otonom oleh organ negara tertentu
saja, melainkan diperlukan adanya kerjasama antar organ negara yang ada. Keadaan
ini menuntut dibutuhkannya implemetasi fungsi yang berjalan secara cepat, tepat, dan
komprehensif dari semua organ negara yang ada.16
Sejalan dengan hal tersebutm Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa
tuntutan keadaan tersebut mendorong suatu negara untuk membuat eksperimentasi
kelembagaan (experimental intitusional) dengan dibentuknya berbagai organ negara
yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan public (public services)
dapat terjamin dengan baik. Organ-organ negara tersebut disebut dengan beberapa
istilah, yaitu dewan (council), komisi (commission), komite (comitte), badan (board),
serta otorita (authority).17 Adanya tuntutan perkembangan tersebut kemudian
mengakibatkan adanya pengalihan fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat
pada badan organ legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, menjadi fungsi organ yang
berdiri sendiri serta bersifat independen (independent bodies) atau quasi independent.

14

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia1960, hlm. 17-24.


Miriam Budiardjo, Op.Cit., hlm. 282.
16
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD dan
Kepala Daerah), Jakrta: Alumni, 2006, hlm. 74.
17
Jimly Asshidiqie, Op.Cit., hlm. 20.
15

C. Perkembangan dan Konsolidasi Organ Negara Pasca Reformasi


Di Indonesia sendiri, dalam UUD NRI 1945 (sebelum amandemen),
cenderung menggunakan istilah badan negara, bukan organ negara atau lembaga
negara, untuk maksud hal yang sama. Sedangkan pada Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (RIS) 1949 digunakan istilah alat perlengkapan negara. Dan berdasar UUD
NRI 1945 (pasca amandemen ke empat), menjadi tidak konsisten dalam
menggunakan peristilahan lembaga negara, badan negara, ataupun organ negara.18
Hanya ada satu istilah lembaga negara yang terdapat pada Pasal 24C Ayat (1) UUD
NRI 1945 yaitu, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara.
Untuk lebih memahami makna lembaga atau organ negara, maka dapat dilihat
dari pandangan Hans Kelsen mengenai the Concept of the State Organ dalam
bukunya General Theory of Law and State. Ia menjelaskan bahwa Whoever fulfills a
function determined by the legal Order is an organ (siapa saja yang menjalankan
fungsi yang ditentukan oleh tata hukum merupakan suatu organ).19 Artinya, makna
dari organ tidak selalu berbentuk organik, melainkan lebih luas lagi, bahwa setiap
jabatan yang ditentukan oleh suatu hukum dapat juga disebut dengan organ, selama
fungsi-fungsinya bersifat menciptakan hukum

(law-creating) dan/atau bersifat

menjalankan hukum (law-applying).


Singkatnya, dalam pengertian yang luas, organ negara identik dengan pihak
yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara
sehingga inilah yang diistilahkan sebagai jabatan publik (public offices) dan pejabat
public (public officials).20 Sedangkan organ negara dalam pengertian sempit memiliki
ciri-ciri penting yaitu:21 (a) dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi
tertentu; (b) fungsi tersebut dijalankan sebagai profesi utama bahkan secara hukum

18

Jimly Asshidiqie, Op.Cit., hlm. 28.


Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Rusell & Rusell, 1961,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dalam Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung:
Nusamedia dan Nuansa, 2006, hlm. 276-277.
20
Jimly Asshidiqie, Op Cit., hlm 32.
21
Hans Kelsen, Loc.Cit.
19

bersifat eksklusif; dan (c) karena menjalankan fungsinya tersebut, ia berhak


mendapatkan imbalan gaji yang berasal dari keuangan negara.
Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa konsep organ negara serta lembaga
negara sangat luas maknanya, tidak dapat dipersempit hanya meliputi tiga cabang
kekuasaan saja (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Konsep mengenai organ negara
dan lembaga negara menurutnya adalah:22
1) Organ negara dalam pengertian paling luas mencakup setiap pihak yang
menjalankan fungsi sebagai law-creating dan law-applying;
2) Organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian sebelumnya,
yaitu mencakup setiap pihak yang menjalankan fungsinya sebagai law-creating
dan law-applying serta mempunyai posisi dalam struktur jabatan kenegaraan atau
jabatan pemerintahan;
3) Organ negara dalam arti sempit yaitu badan atau organisasi yang mejalankan
fungsi law-creating dan law-applying dalam kerangka struktur dan sistem
kenegaraan atau pemerintahan. Sehingga dalam pengertian ini, lembaga negara
mencakup lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD NRI 1945, undangundang, Peraturan Presiden, ataupun peraturan maupun keputusan yang
tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat maupun daerah;
4) Organ negara dalam pengertian yang lebih sempit lagi hanya terbatas pada
lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD NRI 1945, undangundang, atau peraturan yang secara hierarkinya memiliki kedudukan yang lebih
rendah; dan
5) Untuk memberikan kekhususan kepada lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan amanah UUD NRI 1945 (Lembaga Kepresidenan, MPR, DPR, DPD,
MA, MK, dan BPK) dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara tersendiri,
namun tetap sederajat dan hanya dibedakan berdasarkan fungsinya serta
kewenangannya masing-masing. Ketujuh lembaga konstitusional inilah yang
dikaitkan dengan pengertian alat-alat utama dalam perlengkapan negara (main
organs).
22

Jimly Asshidiqi, Op.Cit., hlm. 35-36.

10

Terdapat lebih dari 34 organ, jabatan, atau lembaga negara yang secara jelas
diatur dalam UUD NRI 1945. Organ tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan dua
kriteria, yaitu:23 (a) kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan
kewenangannya, serta (b) kualitas fungsinya yang bersifat utama maupun penunjang
dalam sistem kekuasaan negara.
Lebih lanjut, dari segi hierarkinya organ atau lembaga negara terebut
dibedakan menjadi tiga lapis, yaitu:
1) Organ pada lapisan pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, yang terdiri
dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK.
Keseluruh lembaga negara terseut mendapatkan kewenangannya dari UUD NRI
1945;
2) Organ pada lapisan kedua disebut sebagai lembaga negara, yag terdiri dari
kementerian negara, TNI, Polri, KY, KPU, dan BI. Lembaga-lembaga negara
tersebut ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD NRI 1945, serta ada
pula yang mendapatkannya dari undnag-undang; dan
3) Organ pada lapisan ketiga merupakan lembaga negara yang

sumber

kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah


undang-undang, seperti Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman
Nasional.
Sedangkan dari segi fungsinya, organ atau lembaga negara ini dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu lembaga negara yang bersifat utama atau primer,
serta lembaga negara yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary).24
Pada ketentuan Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa,
Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang. Artinya, selain MA, MK, KY, dan kepolisian negara yang
telah diatur dalam UUD NRI 1945, masih terdapat organ-organ lainnya yang
mempunyai fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu pada fungsi
penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Badan lain yang dimaksud tersebut
antara lain adalah Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan lain-lain. Walaupun lembaga
23
24

Jimly Asshidiqie, Op.Cit, hlm. 49-51.


Ibid, hlm. 90.

11

negara ini tidak secara eksplisit diatur dalam UUD NRI 1945, namun sama-sama
memiliki constitutional importance dalam sistem yang berdasarkan UUD NRI 1945.
Dibentukna organ-organ lainnya tersebut yaitu sebagai wujud eksperimentasi
ketatanegaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan
negara yang semakin kompleks, sehingga dalam membantu kinerja lembaga primer/
utama (main organs) maka diperlukan pula lembaga-lembaga sekunder/ penunjang
(auxiliary organs). Perbedaan diantara lembaga utama dan lembaga penunjang
adalah, lembaga utama menempati posisi permanent institutions, sedangkan lembaga
negara penunjang dapat terus berkembang dan mungkin dapat dihapus tergantung
pada situasi serta kondisi negara tersebut.25
Para ahli hukum tata negara Indonesia tidak menggunakan peristilahan yang
sama untuk menyebut auxiliary organs ini, ada ahli yang menyebut sebagai lembaga
negara pembantu, lembaga negara melayani, lembaga negara mandiri, lembaga
negara penunjang, maupun lembaga negara independen. 26 Di antara lembaga-lembaga
tersebut ada juga yang disebut sebagai self regullatory agencies, independent
supervisory bodies, atau lembaga negara yang menjalankan fungsi campuran (mix
function) antara fungsi regulatif, administratif, serta penghukuman yang dilakukan
secara bersamaan oleh lembaga negara tersebut. Di Amerika, lembaga negara seperti
ini disebut sebagai the headless fourth branch of the government, sedangkan di
Inggris disebut sebagai quasi autonomus non governmental organizations atau
disingkat quangoss.27
Muchlis Hamdi berpendapat bahwa hampir seluruh negara memiliki lembaga
negara auxiliary organs yang umumnya berfungsi menunjang lembaga negara utama.
Pemberian kewenangan kepada organ penunjang ini didasarkan pada konstitusi

25

Sri Soemantri, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD NRI 1945, yang disampaikan pada dialog hukum dan non hukum Penataan State
Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan, diadakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI,
Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Universitas Airlangga, Surabaya, 26-29 Juni
2009.
26
Ilham Endra, Konsep Tentang Lembaga Negara Peunjang dalam http:/ilhamendra.word
press.com/2009/02/19/1konsep-tentang-lembaga-negara-penunjang/, diakses pada tanggal 3 Februari
2016.
27
Jimly Asshidiqie, Op.Cit, hlm. 7-9.

12

maupun undang-undang dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan


kekuasaan yang telah menjadi tanggung jawabnya.28
Alasan mendasar yang melatar belakangi didirikannya lembaga penunjang ini
adalah:29
1) Dasar sosiologis, yang menyatakan bahwa sebab munculnya lembaga penunjang
disebabkan oleh perkembangan kegiatan negara yang semakin kompleks sehingga
membutuhkan banyak perlengkapan negara untuk menjalankan tugas dan fungsi
negara. Hal ini menunjukkan bahwa perlengkapan negara yang dilahirkan dari
konstitusi sudah tidak mampu lagi menampung tugas-tugas spesifik yang pada
umumnya

membutuhkan

independensi

serta

profesionalitas

dalam

pelaksanaannya. Sehingga konsekuensi yang dituntut adalah dengan membentuk


lembaga baru sebagai

konsekuensi logis (condition sine qua non) bagi

perkembangan negara agar dapat mengakomodasi aspirasi serta dinamika dari


masyarakat modern.
2) Dasar administratif, yang menyatakan bahwa lahirnya lembaga independen
disebabkan adanya tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien,
dan berkeadilan. Dari hal ini, pelaksanaan satu satu fungsi atau tugas tidak selalu
harus dibebankan hanya pada satu lembaga saja untuk menghindari resiko
pelaksanaan yang tidak efektif.
Secara umum lembaga penunjang memiliki peran yang strategis dalam proses
penyelenggaraan negara, yaitu:30
1) Sebagai pengambil dan/atau pelaksana kebijakan pemerintah yang efektif, efisien,
adil serta akuntabel sesuai dengan tugas yang menjadi tanggungjawabnya;
2) Sebagai penjamin kepastian hukum serta kepastian regulasi terhadap subyek dan
obyek yang menjadi tanggungjawabnya;
3) Sebagai pengantisipasi dari adanya dominasi aktor-aktor yang terkait dengan
urusan yang telah menjadi tanggungjawabnya;
28

Muchlis Hamdi, State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara , yang disampaikan dalam
dialog hukum dan non hukum Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan,
diadakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama
dengan Universitas Airlangga, Surabaya, 26-29 Juni 2009.
29
Hendra Nurtjahyo, Lembaga Independen di Indonesia: Kajian Pendahuluan Perspektif
Yuridis, Makalah dalam Diskusi Terbatas tentang Kelembagaan Independen di Indonesia, Pusat Kajian
Hukum Administrasi Negara Jakarta, 2006.
30
Istyadi Insani, Op.Cit., hlm. 22.

13

4) Sebagai pencipta harmonisasi dan sinkronisasi iklim dari seluruh pihak terkait
dengan tugas yang telah menjadi tanggungjawabnya;
5) Sebagai investigator terhadap seluruh aktivitas

yang

telah

menjadi

tanggungjawabnya;
6) Berhak memberikan sanksi (administratif maupun hukum) sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki terkait dengan tanggungjawabnya.
Walaupun begitu, terdapat persoalan yang dihadapi oleh negara-negara yang
membentuk lembaga penunjang yaitu terkait permasalahan mekanisme akuntabilitas,
kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerja baik dengan
kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, maupun kekuasaan
kehakiman.31 Untuk itu diperlukan kejelasan pembentukan lembaga penunjang dari
segala aspek mulai dari kedudukannya hingga pertanggungjawabannya agar dalam
pelaksanaan fungsinya tidak merusak sistem ketatanegaraan yang ada.
D. Hubungan Antar OrganNegara Menurut UUD NRI 1945
Dari berbagai organ negara yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 terdapat
lembaga negara yang disebut secara tegas nama, bentuk dan susunan organisasi, serta
kewenangannya, antara lain: Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK. Ada
pula lembaga negara yang tidak disebut secara tegas, namun kewenangannya
ditentukan dalam UUD NRI 1945, meskipun tidak secara terperinci, misalnya Komisi
Pemilihan Umum (KPU).32
Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi masing-masing lembaga tersebut,
Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga negara berdasarkan dua kriteria, yaitu
kriteria hierarkis bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan
kriteria kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem
kekuasaan negara. Hierarkis antara lembaga negara itu penting untuk ditentukan,
karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap jabatan dalam
negara tersebut. Dari segi hierarkis lembaga negara dapat dibagi menjadi 3, antara
lain lembaga tinggi negara, lembaga negara dan lembaga negara di daerah yang
disebut lembaga daerah.
31

A. Ahsin Thohari, Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan


Indonesia, Jurnal Hukum Jantera, Edisi 12 Tahun III, April 2006, hlm. 7.
32
Ibrahim Amirudin, kedudukan KPU dalam Struktur ketatanegaraan RI Pasca amandemen
UUD NRI 1945, Laksbang mediatama,

14

Organ konstitusi lembaga tinggi negara adalah Presiden dan Wakil Presiden,
DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK. Organ konstitusi sebagai lembaga negara
meliputi: Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi
Yudisial, Bank Sentral, dan Komisi Pemilihan Umum. Organ konstitusi lembaga
daerah,

meliputi:

Gubernur dan DPRD Provinsi, Bupati/Walikota,

DPRD

Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, kedudukan KPU sebagai lembaga negara dapat
dianggap sejajar dan setara dengan lembaga-lembaga negara lain, Menteri Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, dan Bank Sentral.
Dilihat daru segi fungsinya dapat digolongkan sebagai organ utama atau primer
(primary constitutional organs) dan organ yang merupakan pendukung atau
penunjang (auxilary constitutional organs).33
Berikut ini merupakan struktur ketatanegraan Indonesia yang telah melampaui
transisi dan transformasi pada peralihan sistem pemerintahan Pasca Orde Baru.
Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD NRI 1945
UUD NRI 1945

DPD

Bank Sentral

DPR

MPR

KPK

KPU

PRESIDEN dan
WAKIL PRESIDEN

KY

TNI

MENTERI NEGARA

MA

KEJAGUNG

MK

BPK

POLRI

KOMNASHAM

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

GUBERNUR

DPRD

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

33

BUPATI/
DPRD
WALIKOTA
Jimly asshidiqqie, Perkembangan dan konsolidasi lembaga negara, Konspress, hal 113

15

1. Hubungan Presiden dengan MK


Hubungan Presiden dengan MK di atur di dalam:
a. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
b. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD NRI 1945 dan UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan.
Yakni, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus
perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum
kepala daerah) dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
(impeachment).
2. Hubungan Presiden dengan MA
Hubungan antar Presiden dengan MA di atur di dalam:
a. UUD NRI 1945 Pasal 24A ayat 3 yang berbunyi, Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden.
b. Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk
memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi
juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum
mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundangundangan yang mengatur pelaksanaannya.
3. Hubungan DPR dengan Presiden
Hubungan antar DPR dan Presiden di atur di dalam:
16

a. UUD NRI 1945 Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi, Presiden berhak mengajukan
rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
b. UUD NRI 1945 Pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
c. UUD NRI 1945 Pasal 7B tentang tata cara pemberhentian Presiden atau Wakil
Presiden oleh DPR.
d. UUD NRI 1945 Pasal 7C yang berbunyi, Presiden tidak dapat membekukan
dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
e. UUD NRI 1945 Pasal 11 ayat 1 yang berbunyi, Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
f. UUD NRI 1945 Pasal 13 ayat 2 yang berbunyi, Dalam hal mengangkat duta,
Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
g. UUD NRI 1945 Pasal 13 ayat 3 yang berbunyi, Presiden menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
h. UUD NRI 1945 Pasal 14 ayat 2 yang berbunyi, Presiden memberi amnesti
dan abolisi dengan memperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.
i. UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat 2 yang berbunyi, Setiap rancangan Undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
j. UUD NRI 1945 Pasal 20A mengenai hak-hak DPR
k. UUD NRI 1945 Pasal 22 mengenai tata cara pembentukan Undang-Undang
UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara diajuka oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.

17

l. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
m. UUD NRI 1945 Pasal 24A ayat 3 yang berbunyi, Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden.
n. UUD NRI 1945 Pasal 24B ayat 3 yang berbunyi, Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
o. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
p. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
4. Hubungan BPK dengan DPR
Hubungan antar DPR dan BPK di atur di dalam:
a. UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, Hasil pemeriksa keuangan
negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah,

dan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah,

sesuai

dengan

kewenangannya.
b. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
c. Seperti yang diketahui, konstitusi membentuk BPK hanya untuk
melaksanakan satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu
lembaga perwakilan rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK
melaksanakan tugas itu melalui pemeriksaan atau audit pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Naskah asli Undang-Undang Dasar
1945, yang disusun oleh the founding fathers menugaskan BPK sebagai satu18

satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung


jawab keuangan negara.
5. Hubungan MPR dengan DPR
Hubungan antar MPR dan DPR di atur di dalam:
a. UUD NRI 1945 Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, Majelis permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut
aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
b. UUD NRI 1945 Pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
c. UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat 1 yang berbunyi, Usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
d. UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat 6 yang berbunyi, Majelis Permusyawaratan
Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
6. Hubungan MPR dengan Presiden
Hubungan antar MPR dan Presiden di atur di dalam:

19

a. UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi, Majelis Permusyawaratan


Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
b. UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat 3 yang berbunyi, Majelis Permusyawaratan
Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
c. UUD NRI 1945 Pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
d. UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat 1 yang berbunyi, Usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
e. UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat 7 yang berbunyi, Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
f. UUD NRI 1945 Pasal 8 ayat 2 yang berbunyi, Dalam hal terjadi kekosongan
Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis

20

Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil


Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
g. UUD NRI 1945 Pasal 8 ayat 3 yang berbunyi, Jika Presiden dan Wakil
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah
itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi berakhir
masa jabatannya.
h. UUD NRI 1945 Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi, Sebelum memangku
jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. UU no 27 tahun 2009 Pasal 6 ayat 1
yang berbunyi, Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
7. Hubungan MPR dengan DPD
Hubungan antara MPR dan DPD dia atur didalam: UUD NRI 1945 Pasal 2 ayat 1
yang berbunyi, Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah
dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
8. Hubungan DPR dengan DPD
Hubungan antar DPR dan DPD di atur di dalam:
a. UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat 1 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah
dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.

21

b. UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat 2 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah

ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi


daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
c. UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat 3 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah

dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:


otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
Dewan

Perwakilan

Rakyat

sebagai

bahan

pertimbangan

untuk

ditindaklanjuti.
d. UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.
e. UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, Hasil pemeriksa keuangan
negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah,

dan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah,

sesuai

dengan

kewenangannya.
f. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
Hubungan DPR dengan MA Hubungan antar DPR dan MA di atur di dalam :
g. UUD NRI 1945 Pasal 24A tentang Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan
hukum acara Mahkamah Agung.
9. Hubungan DPD dengan Presiden
Hubungan antar DPD dan Presiden di atur di dalam:
22

a. UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang

anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.
b. UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 3 yang berbunyi, Apabila Dewan Perwakilan
Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara tahun yang lalu.
c. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
10. Hubungan DPD dengan BPK
Hubungan antar DPD dan BPK di atur di dalam: UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2
yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
Hubungan antar organ negara yang diterapkan oleh Indonesia menunjukkan
adanya kesinergisan hubungan untuk menjalankan tugas dan fungsinya masingmasing dengan menjalankan prinsip check and balances. Dengan demikian, secara
otomatis, hak-hak masyarakat sipil terutama hak-hak dasarnya diharapkan akan tetap
terjaga dan dilindungi oleh Negara.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan dalam tulisan
ini, yaitu sebagai berikut.
1. Kekuasaan Negara adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh suatu Negara atau
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam suatu Negara untuk memimpin
suatu bangsa, yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat, untuk
mempengaruhi tingkah laku masyarakat, dan untuk menyadarkan atau
mengarahkan masyarakat dengan menetapkan peraturan-peraturan atau undangundang yang bersifat memaksa dan memiliki sanksi jika dilanggar.
2. Dalam setiap negara modern, yang menjunjung prinsip kedaulatan rakyat dan hak
asasi manusia, pembagian kekuasaan harus diatur secara tegas dalam
23

konstitusinya,

aggar

tidak

terjadi

penyelahggunaankekuasaan

dan

terkonsentrasinya kekuasan hanya pada satu organ yang dapat melahirkan


pemerintahan tirani.
3. Indonesia berdasarkan UUD NRI juga menganut ajaran pembagian kekuasaan
sebagai mekanisme check and balances penyelenggaraan negara dan untuk
memperkokoh prinsip-prinsip kedaulatan rakyat serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil.
4. Prinsip pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi
hubungan dan mekanisme kelembagaan antar organ negara. Hal itu untuk
menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk
menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
A.

Ahsin

Thohari,

Kedudukan

Komisi-Komisi

Negara

dalam

Struktur

Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Jantera, Edisi 12 Tahun III, April


2006.
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, 1960.
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara, Jakarta: KRHN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia
Foundation dan USAID, 2011.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Rusell & Rusell, 1961,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dalam Teori Umum Tentang Hukum dan
Negara, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006.
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Negara dan Kajian
Kenegaraan, Malang: Setara Press, 2012.
Jazim Hamidi, dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Media, 2009.
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2010.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
24

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD


dan Kepala Daerah), Jakrta: Alumni, 2006.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2011.
Moh.Kusnardi, dkk, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta, 2012.
Ibrahim Amirudin, kedudukan KPU dalam Struktur ketatanegaraan RI Pasca
amandemen UUD NRI 1945, Laksbang mediatama,
Makalah
Sri Soemantri, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem
Ketatanegaraan Menurut UUD NRI 1945, yang disampaikan pada dialog
hukum dan non hukum Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem
Ketatanegaraan, diadakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, Badan
Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Universitas Airlangga,
Surabaya, 26-29 Juni 2009.
Muchlis Hamdi, State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara , yang disampaikan
dalam dialog hukum dan non hukum Penataan State Auxiliary Bodies dalam
Sistem Ketatanegaraan, diadakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI,
Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Universitas
Airlangga, Surabaya, 26-29 Juni 2009.
Hendra Nurtjahyo, Lembaga Independen di Indonesia: Kajian Pendahuluan
Perspektif Yuridis, Makalah dalam Diskusi Terbatas tentang Kelembagaan
Independen di Indonesia, Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara Jakarta,
2006.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

25

You might also like