Pembagian Kekuasaan
Pembagian Kekuasaan
Oleh:
Indrianingrum
NIM. 125010107111113
Dian Laraswati Zuriah
NIM. 135010100111046
Ahmad Faiz Yusqy Ahlian NIM. 155010100111042
Latar Belakang
Berdasarkan sejarah, konsepsi kehidupan bernegara telah mengalami banyak
perubahan. Pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan
kemudian semakin beralih kepada konsep negara yang mendasarkan segalanya atas
hukum (rechstaat). Konsep negara yang didasarkan pada hukum tersebut
mengandung pengertian bahwa hukum adalah kewajiban bagi setiap penyelenggara
negara atau pemerintah untuk tunduk kepada hukum. Atas dasar itulah tidak akan
lahir suatu kekuasaan tanpa hukum itu menghendaki lahirnya kekuasaan itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidak boleh ada kekuasaan yang
sewenang-wenang dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliknya. Salah satu
cara dalam menjaga agar kewenangan dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat
tidak disalahguankan adalah dengan melakukan pemisahan dan pembagaian
kekuasaan. Hal ini merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi modern tentang
upaya pembatasan kekuasaan dengan dianutnya teori pembagian kekuasaan.1
Dalam negara kesejahteraan (welfare state), dimana negara berhak untuk ikut
campur hampir diseluruh bidang kehidupan rakyatnya, kekuasaan negara memiliki
kedudukan untuk menetapkan, melaksanakan, dan meneggakkan kepatuhan terhadap
hukum. Dengan demikian, penggunaan kekuasaan negara tersebut memiliki potensi
melanggar hak-hak rakyat yang ada dalam negara tersebut, bahkan dimungkinkan
1
M.
Ali
Safaat,
Sengketa
Kewenangan
Lembaga
Negara,
2014,
http://safaat.lecture.ub.ac.id/2014/03/sengketa-kewenangan-antar-lembaga-negara/, diakses pada 2 Mei
2016.
hak-hak rakyat yang paling mendasarpun (Hak Asasi Manusia) dapat dilanggar.
Berdasaarkan hal tersebut, lahirlah adagium "power tends to corrupt, and absolute
powes corrupts absolutely" yang dikemukakan oleh Lord Acton, yang artinya
kekuasaan
cenderung
untuk
disalahgunakan
dan
kekuasaan
mutlak
pasti
dipersalahgunakan.
Pada awalnya ketika abad pertengahan ke-14 sampai ke-15 di Eropa belum
mengenal apa yang sekarang ini disebut sebagai pembagian kekuasaan pada negaranegara moderen. Kekuasaan pada waktu itu disentralir dalam tangan raja dan
melahirkan sistem pemerintahan monarki absolut, dimana Raja tidak akan pernah
salah walau akhirnya melanggar hak-hak rakyat. Berdasarkan hal tersebut, Pada
zaman renaissane/ aufklarung (permulaan abad ke-17) timbul aliran yang melawan
sistem pemerintahan sentralists karena kurang dapat menjamin kemerdekaan individu
dan harus diubah dengan sitem pemerintahan yang dapat menjamin lebih banyak
kebebasan-kebebasan individu serta hak-hak asasi manusia.
Untuk itu, maka jalan yang ditempuh adalah dengan menghapus sistem
pemerintahan absolut dan menggantinya dengan sistem pemerintahan demokratis,
dimana sistem ini menekankan pada dua hal. Pertama, kekuasaan negara harus
dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh organ lain disamping Raja. Kedua, pelaksanaan
kekuasaan negara menghormati hak asasi manusia.
Dalam teori pembagian kekuasaan, John Locke dianggap sebagai peletak
dasar teori, karena telah menuangkan pikiran-pikirannya dalam buku "Two Treaties
on Civil Government." Kemudian diikuti oleh Montesquieu yang tertuang dallam
bukunya "L'Esprit des Lois", yang selanjutnya dikenal dengan teori Trias Politica
dimana dalam bahasa Indonesia maknanya adalah pemisahan kekusaan, namun dalam
prakteknya tidak ada yang benar-benar dapat menjalankan secara murni karena
setiap-setiap kekuasaan tidak dapat terpisah satu dengan yang lainnya.
Sehingga akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian
kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang mampu berdiri
sendiri. Hingga saat ini pun, Indonesia juga turut menjalani model pembagian
kekuasaan hingga membentuk eksperimentasi kelembagaan terutama di masa transisi
demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru sebagai wujud agenda Reformasi.
Pembahasan
3
2
3
Moh.Kusnardi, dkk, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta, 2012, hlm. 112.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 38.
pada pandangan Hans Kelsen mengenai konsep tentang organ negara, organ adalah
siapapun yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan oleh tatanan hukum.7 Di
samping itu, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat disebut sebagai organ,
dengan fungsinya yang bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau
menjalankan norma (norm applying).8
Organ dan fungsi merupakan unsur pokok yang berkaitan dengan organisasi
negara. Organ sebagai bentuk atau wadah, sedangkan fungsi sebagai isi dari wadah
sesuai dengan maksud pembentukannya. Menurut I Dewa Gede Atmadja, terdapat 3
teori organ negara, yakni:9
1. Teori Konstitusional, dimana sumber kewenangan organ negara diberikan
langsung oleh konstitusi dan tidak langsung dari konstitusi;
2. Teori Yuridis, dimana bentuk dalam struktur organ negara yang disusun melalui
tiga cara, antara lain: (i) Pemilihan, baik melalui pemilihan langsung maupun
tidak langsung oleh rakyat dalam jabatan tunggal, selain itu, pemilihan struktur
dalam lembaga negara yang majemuk ditentukan dengan tata tertib tersendiri dari
lembaga negara tersebut; (ii) Penunjukan, didasarkan pada penilaian dari pejabat
yang bersangkutan; dan (iii) Warisan, jabatan yang ditetapkan secara turuntemurun menurut garis keturunan.
3. Teori Fungsional, keberadaan dari organ negara berkaitan dengan fungsi negara
untuk mewujudkan tujuan negara.
Untuk itu, konstitusi yang dimiliki oleh setiap negara dalam penyelengaaraan
pemerintahannya memuat pencatatan (registrasi)
pusat kekuasaan tersebut dikemukakan oleh Immanuel Kant dan diistilahkan sebagai
Trias Politica (Tri= tiga, As= Poros/pusat, dan politica= Kekuasaan).10
Trias Politika ini merupakan prinsip normatif yang beranggapan bahwa
kekuasaan suatu negara sebaiknya tidak diserahkan kepada pihak yang sama dengan
tujuan untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Dengan
demikian,
Trias
Politika
menganggap
bahwa
kekuasaan
negara
Jazim Hamidi, dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Media, 2009,
hlm.53. Lihat juga pada Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006, hlm. 15
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 281-282.
12
Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 29.
13
Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm. 283.
perkembangan teori Montesquieu ini, mendapat berbagai kritikan karena sudah tidak
relevan untuk diterapkan lagi. Menurut E. Utrecht, ketiga jenis kekuasaan tersebut
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak . Ketika suatu organ negara
berdiri sendiri dan tidak ditempatkan dibawah pengawasan organ lainnya maka akan
memumngkinkan jika organ tersebut melampaui kekuasaannya. Pendapat ini
mempengaruhi perkembangan hukum modern, yang menerapkan jika satu badan
negara dapat diberi lebih dari satu fungsi sekaligus.14
Miriam Budiardjo beranggapan bahwa pada abad ke-20, suatu negara yang
berkembang semakin kompleks, pembagian kekuasaan dalam model Trias Politika
tidak lagi dapat dipertahankan.15 Sementara semua negara pada umumnya memiliki
tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare State), maka
permasalahan yang dihadapi negara tersebut juga kian kompleks. Maka dari itu, untuk
menghadapinya tidak dapat diselesaikan secara otonom oleh organ negara tertentu
saja, melainkan diperlukan adanya kerjasama antar organ negara yang ada. Keadaan
ini menuntut dibutuhkannya implemetasi fungsi yang berjalan secara cepat, tepat, dan
komprehensif dari semua organ negara yang ada.16
Sejalan dengan hal tersebutm Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa
tuntutan keadaan tersebut mendorong suatu negara untuk membuat eksperimentasi
kelembagaan (experimental intitusional) dengan dibentuknya berbagai organ negara
yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan public (public services)
dapat terjamin dengan baik. Organ-organ negara tersebut disebut dengan beberapa
istilah, yaitu dewan (council), komisi (commission), komite (comitte), badan (board),
serta otorita (authority).17 Adanya tuntutan perkembangan tersebut kemudian
mengakibatkan adanya pengalihan fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat
pada badan organ legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, menjadi fungsi organ yang
berdiri sendiri serta bersifat independen (independent bodies) atau quasi independent.
14
18
10
Terdapat lebih dari 34 organ, jabatan, atau lembaga negara yang secara jelas
diatur dalam UUD NRI 1945. Organ tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan dua
kriteria, yaitu:23 (a) kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan
kewenangannya, serta (b) kualitas fungsinya yang bersifat utama maupun penunjang
dalam sistem kekuasaan negara.
Lebih lanjut, dari segi hierarkinya organ atau lembaga negara terebut
dibedakan menjadi tiga lapis, yaitu:
1) Organ pada lapisan pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, yang terdiri
dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK.
Keseluruh lembaga negara terseut mendapatkan kewenangannya dari UUD NRI
1945;
2) Organ pada lapisan kedua disebut sebagai lembaga negara, yag terdiri dari
kementerian negara, TNI, Polri, KY, KPU, dan BI. Lembaga-lembaga negara
tersebut ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD NRI 1945, serta ada
pula yang mendapatkannya dari undnag-undang; dan
3) Organ pada lapisan ketiga merupakan lembaga negara yang
sumber
11
negara ini tidak secara eksplisit diatur dalam UUD NRI 1945, namun sama-sama
memiliki constitutional importance dalam sistem yang berdasarkan UUD NRI 1945.
Dibentukna organ-organ lainnya tersebut yaitu sebagai wujud eksperimentasi
ketatanegaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan
negara yang semakin kompleks, sehingga dalam membantu kinerja lembaga primer/
utama (main organs) maka diperlukan pula lembaga-lembaga sekunder/ penunjang
(auxiliary organs). Perbedaan diantara lembaga utama dan lembaga penunjang
adalah, lembaga utama menempati posisi permanent institutions, sedangkan lembaga
negara penunjang dapat terus berkembang dan mungkin dapat dihapus tergantung
pada situasi serta kondisi negara tersebut.25
Para ahli hukum tata negara Indonesia tidak menggunakan peristilahan yang
sama untuk menyebut auxiliary organs ini, ada ahli yang menyebut sebagai lembaga
negara pembantu, lembaga negara melayani, lembaga negara mandiri, lembaga
negara penunjang, maupun lembaga negara independen. 26 Di antara lembaga-lembaga
tersebut ada juga yang disebut sebagai self regullatory agencies, independent
supervisory bodies, atau lembaga negara yang menjalankan fungsi campuran (mix
function) antara fungsi regulatif, administratif, serta penghukuman yang dilakukan
secara bersamaan oleh lembaga negara tersebut. Di Amerika, lembaga negara seperti
ini disebut sebagai the headless fourth branch of the government, sedangkan di
Inggris disebut sebagai quasi autonomus non governmental organizations atau
disingkat quangoss.27
Muchlis Hamdi berpendapat bahwa hampir seluruh negara memiliki lembaga
negara auxiliary organs yang umumnya berfungsi menunjang lembaga negara utama.
Pemberian kewenangan kepada organ penunjang ini didasarkan pada konstitusi
25
Sri Soemantri, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD NRI 1945, yang disampaikan pada dialog hukum dan non hukum Penataan State
Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan, diadakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI,
Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Universitas Airlangga, Surabaya, 26-29 Juni
2009.
26
Ilham Endra, Konsep Tentang Lembaga Negara Peunjang dalam http:/ilhamendra.word
press.com/2009/02/19/1konsep-tentang-lembaga-negara-penunjang/, diakses pada tanggal 3 Februari
2016.
27
Jimly Asshidiqie, Op.Cit, hlm. 7-9.
12
membutuhkan
independensi
serta
profesionalitas
dalam
Muchlis Hamdi, State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara , yang disampaikan dalam
dialog hukum dan non hukum Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan,
diadakan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama
dengan Universitas Airlangga, Surabaya, 26-29 Juni 2009.
29
Hendra Nurtjahyo, Lembaga Independen di Indonesia: Kajian Pendahuluan Perspektif
Yuridis, Makalah dalam Diskusi Terbatas tentang Kelembagaan Independen di Indonesia, Pusat Kajian
Hukum Administrasi Negara Jakarta, 2006.
30
Istyadi Insani, Op.Cit., hlm. 22.
13
4) Sebagai pencipta harmonisasi dan sinkronisasi iklim dari seluruh pihak terkait
dengan tugas yang telah menjadi tanggungjawabnya;
5) Sebagai investigator terhadap seluruh aktivitas
yang
telah
menjadi
tanggungjawabnya;
6) Berhak memberikan sanksi (administratif maupun hukum) sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki terkait dengan tanggungjawabnya.
Walaupun begitu, terdapat persoalan yang dihadapi oleh negara-negara yang
membentuk lembaga penunjang yaitu terkait permasalahan mekanisme akuntabilitas,
kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerja baik dengan
kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, maupun kekuasaan
kehakiman.31 Untuk itu diperlukan kejelasan pembentukan lembaga penunjang dari
segala aspek mulai dari kedudukannya hingga pertanggungjawabannya agar dalam
pelaksanaan fungsinya tidak merusak sistem ketatanegaraan yang ada.
D. Hubungan Antar OrganNegara Menurut UUD NRI 1945
Dari berbagai organ negara yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 terdapat
lembaga negara yang disebut secara tegas nama, bentuk dan susunan organisasi, serta
kewenangannya, antara lain: Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK. Ada
pula lembaga negara yang tidak disebut secara tegas, namun kewenangannya
ditentukan dalam UUD NRI 1945, meskipun tidak secara terperinci, misalnya Komisi
Pemilihan Umum (KPU).32
Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi masing-masing lembaga tersebut,
Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga negara berdasarkan dua kriteria, yaitu
kriteria hierarkis bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan
kriteria kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem
kekuasaan negara. Hierarkis antara lembaga negara itu penting untuk ditentukan,
karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap jabatan dalam
negara tersebut. Dari segi hierarkis lembaga negara dapat dibagi menjadi 3, antara
lain lembaga tinggi negara, lembaga negara dan lembaga negara di daerah yang
disebut lembaga daerah.
31
14
Organ konstitusi lembaga tinggi negara adalah Presiden dan Wakil Presiden,
DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK. Organ konstitusi sebagai lembaga negara
meliputi: Menteri Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi
Yudisial, Bank Sentral, dan Komisi Pemilihan Umum. Organ konstitusi lembaga
daerah,
meliputi:
DPRD
Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, kedudukan KPU sebagai lembaga negara dapat
dianggap sejajar dan setara dengan lembaga-lembaga negara lain, Menteri Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, dan Bank Sentral.
Dilihat daru segi fungsinya dapat digolongkan sebagai organ utama atau primer
(primary constitutional organs) dan organ yang merupakan pendukung atau
penunjang (auxilary constitutional organs).33
Berikut ini merupakan struktur ketatanegraan Indonesia yang telah melampaui
transisi dan transformasi pada peralihan sistem pemerintahan Pasca Orde Baru.
Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD NRI 1945
UUD NRI 1945
DPD
Bank Sentral
DPR
MPR
KPK
KPU
PRESIDEN dan
WAKIL PRESIDEN
KY
TNI
MENTERI NEGARA
MA
KEJAGUNG
MK
BPK
POLRI
KOMNASHAM
PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI
GUBERNUR
DPRD
PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
33
BUPATI/
DPRD
WALIKOTA
Jimly asshidiqqie, Perkembangan dan konsolidasi lembaga negara, Konspress, hal 113
15
a. UUD NRI 1945 Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi, Presiden berhak mengajukan
rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
b. UUD NRI 1945 Pasal 7A yang berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
c. UUD NRI 1945 Pasal 7B tentang tata cara pemberhentian Presiden atau Wakil
Presiden oleh DPR.
d. UUD NRI 1945 Pasal 7C yang berbunyi, Presiden tidak dapat membekukan
dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
e. UUD NRI 1945 Pasal 11 ayat 1 yang berbunyi, Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
f. UUD NRI 1945 Pasal 13 ayat 2 yang berbunyi, Dalam hal mengangkat duta,
Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
g. UUD NRI 1945 Pasal 13 ayat 3 yang berbunyi, Presiden menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
h. UUD NRI 1945 Pasal 14 ayat 2 yang berbunyi, Presiden memberi amnesti
dan abolisi dengan memperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.
i. UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat 2 yang berbunyi, Setiap rancangan Undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
j. UUD NRI 1945 Pasal 20A mengenai hak-hak DPR
k. UUD NRI 1945 Pasal 22 mengenai tata cara pembentukan Undang-Undang
UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara diajuka oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.
17
l. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
m. UUD NRI 1945 Pasal 24A ayat 3 yang berbunyi, Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden.
n. UUD NRI 1945 Pasal 24B ayat 3 yang berbunyi, Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
o. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 2 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
p. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat 3 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung,
tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
4. Hubungan BPK dengan DPR
Hubungan antar DPR dan BPK di atur di dalam:
a. UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, Hasil pemeriksa keuangan
negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah,
dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah,
sesuai
dengan
kewenangannya.
b. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
c. Seperti yang diketahui, konstitusi membentuk BPK hanya untuk
melaksanakan satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu
lembaga perwakilan rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK
melaksanakan tugas itu melalui pemeriksaan atau audit pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Naskah asli Undang-Undang Dasar
1945, yang disusun oleh the founding fathers menugaskan BPK sebagai satu18
19
20
21
b. UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat 2 yang berbunyi, Dewan Perwakilan Daerah
Perwakilan
Rakyat
sebagai
bahan
pertimbangan
untuk
ditindaklanjuti.
d. UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi, Rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.
e. UUD NRI 1945 Pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, Hasil pemeriksa keuangan
negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah,
dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah,
sesuai
dengan
kewenangannya.
f. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
Hubungan DPR dengan MA Hubungan antar DPR dan MA di atur di dalam :
g. UUD NRI 1945 Pasal 24A tentang Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan
hukum acara Mahkamah Agung.
9. Hubungan DPD dengan Presiden
Hubungan antar DPD dan Presiden di atur di dalam:
22
anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah.
b. UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 3 yang berbunyi, Apabila Dewan Perwakilan
Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara tahun yang lalu.
c. UUD NRI 1945 Pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
10. Hubungan DPD dengan BPK
Hubungan antar DPD dan BPK di atur di dalam: UUD NRI 1945 Pasal 23 ayat 2
yang berbunyi, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
Hubungan antar organ negara yang diterapkan oleh Indonesia menunjukkan
adanya kesinergisan hubungan untuk menjalankan tugas dan fungsinya masingmasing dengan menjalankan prinsip check and balances. Dengan demikian, secara
otomatis, hak-hak masyarakat sipil terutama hak-hak dasarnya diharapkan akan tetap
terjaga dan dilindungi oleh Negara.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan dalam tulisan
ini, yaitu sebagai berikut.
1. Kekuasaan Negara adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh suatu Negara atau
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam suatu Negara untuk memimpin
suatu bangsa, yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat, untuk
mempengaruhi tingkah laku masyarakat, dan untuk menyadarkan atau
mengarahkan masyarakat dengan menetapkan peraturan-peraturan atau undangundang yang bersifat memaksa dan memiliki sanksi jika dilanggar.
2. Dalam setiap negara modern, yang menjunjung prinsip kedaulatan rakyat dan hak
asasi manusia, pembagian kekuasaan harus diatur secara tegas dalam
23
konstitusinya,
aggar
tidak
terjadi
penyelahggunaankekuasaan
dan
Ahsin
Thohari,
Kedudukan
Komisi-Komisi
Negara
dalam
Struktur
25