Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Model Pengembangan Daya Saing Wisata Bahari Di Pulau Nikoi, Propinsi Kepulauan Riau

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

A Model of Development Maritime Tourism Competitiveness in Nikoi

Island, Riau Islands Province

I Dewa Gde Sugihamretha 1


Ministry of National Development Planning/BAPPENAS

Abstract

This study aims to explain the factors and models to develop the competitiveness
of marine tourism destinations in Nikoi Island, Bintan Regency, Riau Islands Province by
using a qualitative approach (descriptive method). Data and information were generated
through in-depth interviews, Focus Group Discussion (FGD), and literature studies which
were then analyzed using the Porter Value Chain framework (1985). The richness and
uniqueness of natural resources that can offer beauty and experience for travelers are basic
capital for the development of marine tourism in Nikoi Island. Investors play a central role
which starts from planning, construction design to management and continuous business
improvement. A large percentage of Bintan’s PAD comes from their tourism sector which
includes Nikoi island. The development of Nikoi Island as a tourist destination can be
used as a model to develop inclusive and sustainable marine tourism in thousands of
other small islands owned by Indonesia with private sector acting as the main investor.
However, during implementation in the field, private sector cannot stand alone. They must
be able to cooperate with the Government (both at Central and Regional level) and other
related stakeholders. In national midterm plan 2020 – 2024, the development of tourism
in small islands can be seen as a breakthrough that forms new economic growth centers.

Keywords: Competitiveness, Tourism, Maritime, Islands Development, Nikoi Island, Riau


Islands.

1
I Dewa Gde Sugihamretha is a Principal Planner at Ministry of National Development Planning/Bappenas RI.
Email address: gde@bappenas.go.id

320 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

Model Pengembangan Daya Saing Wisata Bahari di Pulau Nikoi,


Propinsi Kepulauan Riau

I Dewa Gde Sugihamretha

I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Peran dan prospek industri pariwisata Indonesia cenderung tumbuh setiap tahun.
Jumlah wisatawan mancanegara naik dari sekitar tujuh juta lebih wisatawan (2011) menjadi
sekitar dua belas juta lebih (2016). Devisa yang masuk meningkat dari 8.554 juta dolar AS
(2011) menjadi 12.440 juta dolar AS (2016). Kinerja serupa juga terjadi untuk wisatawan
nusantara (wisnus). Jumlah perjalanan wisnus mencapai 256,4 juta (2015), naik 2,06
persen dibandingkan tahun 2014 (251,2 juta). Jumlah pengeluaran konsumsi wisnus pada
2015 mencapai Rp 224,69 trilyun atau rata-rata Rp 876,3 ribu per perjalanan. Pada level
global, industri pariwisata diprediksi menjadi motor penggerak sosial dan ekonomi dunia.
Perjalanan turis internasional tumbuh 4% pada 2016 dibandingkan 2015, mencapai 1.235
juta perjalanan dan menghasilkan total devisa US$ 1.5 trilliun di sektor pariwisata. Pada
tahun 2030, UNWTO memperkirakan perjalanan turis internasional mencapai 1,8 miliar
perjalanan (UNWTO, 2017).
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia berpotensi besar mengembangkan wisata
bahari, antara lain dengan mengoptimalkan pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (PPK). Dari
17.100 pulau, baru 13.466 pulau yang telah diberi nama, sekitar 1.900 diantaranya termasuk
kategori PPK. Suharsono, Soegiarto dan Polunin dalam Dahuri (1998) menjelaskan PPK
memiliki flora dan fauna khas dan tidak dimiliki negara lain. Kekayaan biota laut Indonesia
mencapai 80 genus dan 590 spesies terumbu karang; 2.500 spesies moluska, 1.512 spesies
krustasea, 850 spesies sponge, 2.334 spesies ikan laut, 30 spesies mamalia laut, dan 38 spesies
reptilia.
Terdiri atas sekitar 241 pulau, Kabupaten Bintan Propinsi Kepulauan Riau adalah
salah satu Pemerintah Kabupaten yang menetapkan sektor pariwisata sebagai prioritas
untuk mempercepat pembangunan di kawasan tersebut. Dari 241 pulau tersebut, sekitar 50
pulau dihuni penduduk dan masih ada sekitar 190 lebih yang tidak berpenduduk. Sebagian
besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bintan saat ini ditopang sektor pariwisata,
nilainya Rp 92,79 miliyar dari total PAD Bintan sekitar Rp167,5 miliyar (55,5%). PAD industri
pariwisata tersebut diperoleh dari pajak hotel, restoran, hiburan, retribusi, dan Pajak Bumi
Bangunan terutama di kawasan pariwisata free zone Lagoi (Muf, 2015).
Pulau-Pulau di Kabupaten Bintan tidak hanya menawarkan panorama pantai yang
indah namun juga pemandangan bawah laut menawan. Dari ratusan Pulau yang ada, baru
enam Pulau yang telah dikelola untuk tujuan wisata bahari secara profesional, diantaranya
Pulau Nikoi - sebuah pulau yang dikelola investor asing, berjarak lima kilometer dari pantai
timur Pulau Bintan. Dengan luas 16,5 hektar, Pulau Nikoi terdiri atas 15 resor dan telah
berkembang menjadi tujuan liburan butik para wisatawan dari seluruh dunia. Tiap bulan
rata-rata manajemen Pulau Nikoi menyetor pajak daerah sekitar 400 juta rupiah dari kegiatan
mengelola wisatan bahari di pulau tersebut.

Jurnal Perencanaan Pembangunan 321


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

1.2. Tujuan Kajian


Pembangunan wisata bahari PPK memerlukan pendekatan dalam perspektif sistem
untuk memahami setiap aspek sumberdaya dan peran para pelaku yang terlibat dalam
kawasan tersebut dengan baik. Riset pengembangan daya saing wisata bahari di Pulau Nikoi,
Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau ini memiliki dua tujuan. Pertama, menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing Pulau Nikoi sebagai salah satu tujuan wisata
bahari. Kedua, mendeskripsikan model pengembangan daya saing Pulau Nikoi sebagai
kawasan tujuan wisata bahari dengan menggunakan pendekatan konsep rantai nilai.

II. Tinjauan Literatur


2.1. Wisata Bahari
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 50 tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional tahun 2010 – 2025 telah menetapkan
pengembangan pariwisata di Indonesia dilaksanakan dengan mengoptimalkan potensi daya
tarik sumberdaya alam di Indoneia. Praktik wisata tersebut dibagi menjadi tiga katagori, yaitu:
1) Wisata bahari (marine tourism), 2) Ekoturism (ecotourism), dan 3) Wisata petualangan
(adventure tourism).
Wisata bahari memanfaatkan daya tarik wisata alam yang berbasis potensi
keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam di wilayah perairan laut. Ecotourism adalah
daya tarik wisata alam yang berbasis potensi keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam
di wilayah daratan. Sedangkan wisata petualangan memanfaatkan daya tarik wisata alam
yang berbasis potensi keanekaragaman dan keunikan lingkungan alam.
Wisata bahari dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, wisata pantai dengan
menawarkan keindahan pantai (coastal zone) untuk kegiatan sun bathing, sightseeing, olah
raga pantai, dan atraksi manarik lainnya. Kedua, wisata keindahan bentang laut (sea zone)
yang terbentang dari perairan di sekitar pesisir pantai maupun lepas pantai, menjangkau
jarak tertentu. Kegiatan wisata bentang laut antara lain sailing, yachting, cruising dan lain-
lain, seperti di Kepulauan Seribu. Ketiga, wisata bawah laut (under water zone), misalnya
wisata menyelam (diving) di Taman Laut Bunaken, Taman Laut Wakatobi, Raja Ampat, dan
sebagainya.

2.2. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil (PPK)


Pulau kecil adalah pulau yang secara fisik berukuran kecil, berkarakteristik khas,
dan terpisah dari pulau induknya sehingga bersifat insular. Bila terjadi pasang tertinggi
pulau kecil tidak tertutupi oleh air pasang (Dahuri, 1998, dan Bengen, 2001). Beberapa ahli
mendefinisikan luas pulau kecil berkisar antara 100 sampai dengan 10.000 km2 (UNESCO
dalam Sugandhy, 1999; Falkland, 1995; UNESCO dalam Bengen, 2006). Berdasarkan pasal 1
UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, pulau kecil
adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi)
beserta kesatuan ekosistemnya.
Pulau-Pulau Kecil memiliki kepekaan tinggi terhadap perubahan dan dinamika
aspek-aspek budaya dan interaksi sosial dari eksternal (Stratford, 2003). Royle (2001)
menjelaskan ada dua faktor yang mempengaruhi pengembangan PPK untuk daerah tujuan
wisata yaitu faktor keterisolasian (isolation) dan keterbatasan (boundedness). Keterisolasian

322 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

memberikan nilai kepetualangan sedangkan keterbatasan memberikan nilai-nilai atau terkait


dengan nilai-nilai tantangan.
Karakteristik khusus PPK merupakan tantangan tersendiri dalam upaya
pembangunan kawasan PPK sebagai tujuan wisata yang berdaya saing tinggi. Kendala
utama terkait aksesibilitas yang rendah, biaya pembangunan yang tinggi dan ketersediaan
sumberdaya manusia (kuantitas dan kualitas) yang terbatas. Kondisi tersebut menyebabkan
minimnya ketersediaan infrastruktur dasar, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan,
listrik, komunikasi (telepon, televisi, radio), air bersih, dan berbagai fasilitas pendukung
pengembangan ekonomi penduduk lainnya. Dampak kondisi tersebut adalah tingginya
angka kemiskinan dan degradasi lingkungan di pulau-pulau kecil. Aktivitas IUU (illegal,
unreported, and unregulated) dalam pengelolaan perikanan mendorong terjadinya kerusakan
terumbu karang dan penebangan liar mangrove. Kondisi ini dapat mengancam eksistensi
pulau dan ketahanan masyarakat di pulau-pulau kecil tersebut (Agus Dermawan dan Arif
Miftahul Aziz, 2012).

2.3. Daya Saing Pariwisata


Tonggak penting kajian daya saing (competitive advantage) dimulai dengan karya
Porter (1990) tentang konsep daya saing negara-negara. Ia mendefinisikan daya saing
nasional sebagai hasil kemampuan suatu bangsa untuk mencapai atau mempertahankan
posisi menguntungkan di antara negara-negara lain di sektor industri utama (Tsai, Song, dan
Wong, 2009). Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam Tsai,
Song, dan Wong (2009) mendefinisikan daya saing sebagai “tingkat di mana suatu negara
dapat, di bawah kondisi pasar yang bebas dan adil, menghasilkan barang dan jasa yang
memenuhi kebutuhan pasar internasional, sekaligus menjaga dan memperluas pendapatan
riil rakyatnya dalam jangka panjang. Papadakis (1994) dalam Tsai, Song, dan Wong (2009)
menguraikan daya saing suatu negara dapat diukur dengan akumulasi daya saing perusahaan
yang beroperasi di dalam batas-batasnya.
Isu daya saing tujuan atau destinasi pariwisata semakin penting, terutama untuk
negara dan kawasan yang sangat bergantung pada pariwisata (Gooroochurn & Sugiyarto,
2005). Tujuan wisata dianggap kompetitif jika dapat menarik dan memuaskan calon
wisatawan. Daya saing suatu tujuan wisata secara langsung mempengaruhi penerimaan
pariwisata dalam hal jumlah dan pengeluaran pengunjung. Selain itu, secara tidak langsung
daya saing tujuan wisata mempengaruhi kinerja bisnis yang terkait dengan pariwisata,
seperti hotel dan industri ritel di tempat tujuan tersebut. Seperti yang ditunjukkan Cizmar
dan Weber (2000), pilihan tujuan wisata tetap menjadi salah satu keputusan pertama dan
terpenting yang dibuat oleh wisatawan. Keputusan ini sebagian besar juga dipengaruhi oleh
sejumlah faktor eksternal, seperti citra negara, aksesibilitas, daya tarik, keamanan, dan lain-
lain.

2.4. Konsep Rantai Nilai


Gagasan rantai nilai didasarkan pada pandangan proses organisasi. Gagasan
tersebut melihat organisasi manufaktur (atau layanan) sebagai sebuah sistem, terdiri atas
masing-masing sub-sistem dengan masukan, proses transformasi, dan keluaran; melibatkan
perolehan dan konsumsi sumber daya (uang, tenaga kerja, bahan, peralatan, bangunan, tanah,

Jurnal Perencanaan Pembangunan 323


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

administrasi dan manajemen). Aktivitas rantai nilai dilakukan untuk menentukan biaya dan
mempengaruhi keuntungan. Sebagian besar organisasi melibatkan ratusan bahkan ribuan
aktivitas untuk mengubah input menjadi keluaran. Kegiatan ini dapat diklasifikasikan secara
umum sebagai kegiatan utama atau dukungan yang harus dilakukan oleh semua pelaku
bisnis dalam beberapa bentuk. Menurut Porter (1990) rantai nilai merupakan cara sistematik
untuk menganalisis sumber keunggulan bersaing dengan memeriksa semua aktivitas yang
dilakukan dan bagaimana semua aktivitas itu berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi antar
satu komponen dengan yang lain akan memberikan dampak pada nilai yang teraktualisasikan
atau terbagikan pada pelanggan.
Rantai nilai adalah suatu konsep untuk memberikan sesuatu kebermaknaan pada
konsumen. Istilah rantai nilai mengacu pada serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk
menghadirkan suatu produk (atau jasa) dimulai dari tahap konseptual, dilanjutkan dengan
beberapa tahap produksi, hingga pengiriman ke konsumen akhir dan pemusnahan setelah
penggunaannya (Kaplinsky 1999; Kaplinsky dan Morris 2001). Rantai nilai terbentuk ketika
semua pelaku dalam rantai tersebut bekerja sedemikian rupa sehingga memaksimalkan
terbentuknya nilai sepanjang rantai tersebut.
Porter (1985) menggunakan kerangka rantai nilai untuk mengkaji bagaimana suatu
perusahaan seharusnya memposisikan dirinya di pasar serta di dalam hubungan mereka
dengan para pemasok, pembeli, dan pesaing. Menurut Porter (1985), kegiatan utama dalam
rantai nilai adalah: 1) Logistik inbound (hubungan dengan pemasok, mencakup semua
aktivitas yang dibutuhkan untuk menerima, menyimpan, dan menyebarkan masukan), 2)
Operasi (kegiatan untuk mengubah input menjadi output (produk dan layanan), 3) Logistik
outbound (semua kegiatan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan
hasilnya, 4) Pemasaran dan Penjualan (kegiatan menginformasikan pembeli tentang produk
dan layanan, mendorong pembeli untuk membelinya, dan memfasilitasi pembelian mereka),
dan 5) Layanan (aktivitas untuk menjaga agar produk atau layanan bekerja secara efektif bagi
pembeli setelah dijual dan dikirim).
Sedangkan kegiatan sekunder dalam rantai nilai adalah: 1) Pengadaan (perolehan
input atau sumber daya), 2) Manajemen Sumber Daya Manusia (perekrutan, seleksi, pelatihan,
pengembangan, kompensasi dan (jika perlu) menolak atau memberhentikan personil),
3) Pengembangan Teknologi (peralatan, perangkat keras, perangkat lunak, prosedur dan
pengetahuan teknis yang dibawa ke dalam transformasi input perusahaan menjadi keluaran,
dan 4) Infrastruktur untuk melayani kebutuhan perusahaan, terdiri dari fungsi departemen
seperti akuntansi, hukum, keuangan, perencanaan, urusan publik, hubungan pemerintah,
penjaminan mutu dan manajemen umum (Mete dan Acuner, 2014). Ide keunggulan
kompetitif suatu kegiatan usaha dirangkum dalam ilustrasi Gambar 3.1.
Gambar 1. Rantai Nilai Porter

324 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

III. Metode Kajian


Kajian menggunakan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan gambaran yang
kaya, detail, dan lengkap mengenai suatu fenomena yang diteliti (R.K. Yin, 1994). Pendekatan
penelitian kualitatif melibatkan serangkaian langkah-langkah iterasi, mulai dari proses
perumusan pertanyaan penelitian, penentuan metode penelitian, pengumpulan dan analisis
data sampai penarikan kesimpulan (Elgie, et al., 2010). Desain penelitian menggunakan
metode deskriptif dengan melakukan wawancara mendalam dan Focus Group Discussion
(FGD) untuk memperoleh data dan informasi primer yang lebih mendalam. Adapun data
sekunder diperoleh dari kajian desk study (studi pustaka), berupa laporan-laporan studi
terdahulu, paper, makalah, dan dokumen kinerja pemerintahan yang relevan.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis sehingga ditemukan variabel dan indikator
yang dapat mempengaruhi kinerja pengembangan daya saing wisata di Pulau Nikoi. Setelah
menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal dalam rantai nilai pariwisata di Kepualauan
Seribu, kemudian dianalisis lebih lanjut berdasarkan model Rantai Nilai Porter (1985). Hasil
dan analisa yang diperoleh dari wawancara mendalam, FGD, maupun olahan data sekunder
divalidasi melalui dua kali workshop atau FGD lanjutan sebelum menjadi rekomendasi akhir
kajian. Penelitian dilaksanakan di Pulau Nikoi, Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau
pada 2017. Alasan pemilihan Pulau Nikoi adalah mewakili contoh praktik wisata bahari
Pulau-Pulau Kecil yang tidak berpenghuni dan dikelola sepenuhnya oleh sektor swasta.

IV. Hasil dan Analisa


4.1. Profil Pulau Nikoi, Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau
Pulau Nikoi adalah sebuah pulau pribadi, berjarak lima kilometer dari pantai
timur Pulau Bintan di wilayah perairan Laut Cina Selatan. Beberapa pulau kecil lain yang
telah ditetapkan dan menjadi prioritas pengembangan wisata bahari di sekitar Pulau Bintan
antara lain Pulau Magpur, Pulau Sulung, dan Pulau Telang. Aksesabilitas dari Pulau Bintan
hanya setengah jam. Sejalan dengan peningkatan peran sektor pariwisata dalam menunjang
PAD, Pemerintah Kabupaten Bintan mulai mengembangkan pulau-pulau kecil di gugusan
Kepulauan Tambelang yang berada di perairan Laut Cina Selatan, berbatasan dengan Propinsi
Kalimantan Barat. Untuk mencapai gugusan kepulauan tersebut memerlukan waktu sekitar 20
jam bila ditempuh dengan kapal laut dari Bintan atau sekitar tujuh jam dari Kalimantan Barat.
Memiliki akses yang hanya memerlukan waktu sekitar satu jam dari Pulau Bintan
dan dekat dengan Singapura, merupakan kunci utama keberhasilan mengembangkan pulau
eksotik ini. Pulau Nikoi telah berkembang menjadi tujuan wisata alam yang popular dengan
segmen keluarga dan kegiatan korporat. Seluruh resort yang ada umumnya sudah dipesan
penuh pada akhir pekan berbulan-bulan sebelumnya, membuktikan reputasi Pulau Nikoi
cukup baik. Pada 2009 pemilik Nikoi membentuk The Island Foundation untuk membantu
masyarakat setempat berkembang secara berkelanjutan dan telah terdaftar sebagai badan
amal Internasional di Singapura pada 2010. Untuk memenuhi pasar turis untuk kegiatan
honey moon, grup investor telah dan sedang mengembangan pulau baru di Pulau Cempedak
yang juga berada di kawasan Kabupaten Bintan.

Jurnal Perencanaan Pembangunan 325


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

4.2. Faktor Pendorong Pengembangan Daya Saing Pulau Nikoi sebagai Daerah Tujuan Wisata
Bahari
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan kajian
pustaka, faktor-faktor pendorong yang dapat mempengaruhi pengembangan daya saing
Pulau Nikoi sebagai daerah tujuan wisata bahari di Kabupaten Bintan dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut.

4.2.1. Kekayaan dan Keunikan Sumberdaya


Keunikan dan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Pulau Nikoi me-
rupakan modal dasar sebagai tujuan wisata bahari untuk menarik wisatawan dari seluruh
dunia. Sebagian besar pulau masih ditutupi hutan tropis. Sementara pantai berpasir putih
bersih mengelilingi sebagian pulau. Beriklim tropik dengan angin sepoi-sepoi yang sejuk
dengan suhu di antara 26 derajat celcius sampai 32 derajat celcius, cocok untuk turis yang
ingin menikmati olahraga berlayar dengan memanfaatkan tenaga angin (yacht). Pulau Nikoi
memiliki beberapa spot ekosistem terumbu karang terbaik di daerah ini yang dapat dijadikan
objek snorkling. Pengunjung juga bisa melihat keberadaan penyu sisik termasuk menyaksikan
anak-anak penyu yang mulai menetas dan bergerak ke arah pantai (pada musim yang tepat).
Kegiatan menerbangkan layang layang juga dapat dilaksanakan di Pulau ini. Di tengah-ten-
gah hutan dan sudut-sudut pantai, batu granit ukuran raksasa bertebaran mempercantik ben-
tang alam pulau ini.

4.2.2. Perencanaan Strategis


Perkembangan Pulau Nikoi tidak lepas dari dukungan Pemerintah Daerah yang
telah menjadikan pariwisata sebagai sektor prioritas daerah dengan mengesahkan Peraturan
Daerah Tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPDA) sebagai dokumen
payung hukum untuk Perencanaan Pembangunan Pariwisata Daerah Kabupaten Bintan.
Rencana induk tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk Rencana Strategis Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bintan, yang telah menyusun sejumlah kebijakan/program
dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Untuk tahun 2015 misalnya, ada tiga
Kebijakan/Program yaitu: a. Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata, b. Program
Pengembangan Destinasi Pariwisata, dan c. Program Pengembangan SDM Kebudayaan dan
Pariwisata.
Dari sudut pandang korporat, pengelola Pulau Nikoi memiliki perencanaan
strategis yang diterjemahkan dalam bentuk rencana bisnis tiap tahunan. Rencana bisnis tiap
tahunan tersebut tentu saja mengikuti rencana fundamental pengembangan bisnis Pulau
Nikoi sebagai satu entitas wisata bahari yang unik, yaitu tujuan liburan dengan menonjolkan
kekayaan ekologis dan keindahan alam yang dimiliki pulau tersebut dengan segmen pasar
keluarga dan korporate untuk aktivitas team building.

4.2.3. Kepastian Rencana Tata Ruang dan Wilayah


Pemerintah Kabupaten Bintan telah merencanakan pemanfaatan pulau-pulau
kecil, seperti Pulau Nikoi, dan sebagainya untuk dikembangkan menjadi salah satu tujuan
wisata bahari dan telah mengesahkan Perda Tata Ruang sejak 2012 yang akan berlaku sampai
2017. Pemda telah menerima masukan dari berbagai pihak sehingga melakukan revisi

326 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

untuk mengatasi persengketaan yang terjadi di lapangan menyusul adanya persengketaan


kepentingan antar pihak. Revisi Perda yang mengatur Rencana Tata Ruang dan Wilayah
tersebut direncanakan akan selesai dan segera disahkan pada 2018.
Selain itu, untuk kawasan perairan, menyusul kewenangan perairan dari Kabupaten/
Kota (0-4 mil dari pantai) yang ditarik ke Propinsi menjadi 0-12 mil dari pantai, Pemerintah
Kabupaten Bintan telah berkoordinasi dengan Pemerintah Propinsi Kepulauan Riau untuk
menentukan zonasi di wilayah perairan. Sejumlah pulau-pulau kecil yang merupakan objek
wisata bahari telah masuk dalam zona inti yang dijaga kelestarian lingkungannya. Dengan
selesainya peta zonasi tersebut (yang ditargetkan selesai pada 2018), maka seluruh aturan
pemanfaaatan PPK dan ruang laut, itu harus sesuai berdasarkan zonasi itu.

4.2.4. Kemudahan Berusaha


Pemerintah daerah memberikan perijinan sesuai dengan peraturan yang berlaku
sesuai perundang-undangan dan peraturan lainnya, misalnya aturan rinci dari Peraturan
Meteri. Selama persyaratan dan prosedur perijinan dipenuhi oleh investor, petugas di
pelayanan perijinan satu pintu akan mengeluarkan ijin yang diminta. Untuk pengurusan
prospek investasi pengembangan wisata di pulau pulau kecil di Kabupaten Bintan, jika
tahapan dan persyaratan dipenuhi investor ditargetkan bisa selesai dalam tiga bulan.
Sejumlah permasalahan terkait aspek perijinan disebabkan karena investor atau
swasta, dalam beberapa tahap proses pengajuan perijinan itu tidak runut dalam prosesnya.
Investor umumnya telah melaksanakan pembeliaan lahan lebih dulu baru kemudian
mengurus ijin ke PTSP. Hal ini lah yang membuat hambatan karena pengelola ijin biasanya
tidak bersedia mengeluarkan ijin yang diminta karena khawatir akan melanggar perundang-
undangan dan peraturan hukum yang ada.

4.2.5. Pengembangan Produk Wisata bahari


Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dalam mengembangkan pariwisata
di Kabupaten Bintan adalah menonjolkan keindahan dan keanekaragaman kekayaan
sumberdaya alam yang ada di daerah ini dengan didukung penerapan budaya Melayu
yang menitikberatkan nilai-nilai agama Islam. Prinsip tersebut sesuai dengan konsep dasar
pengembangan wisata bahari yang menonjolkan kekayaaan ekosistem bahari baik berupa
keindahan pantai maupun pulau-pulau kecil. Untuk menunjang wisata bahari bahari maka
Pemerintah Daerah mendorong melalui berbagai kegiatan olahraga dan petualangan dan
cenderung membatasi kegiatan wisata yang bersifat hiburan malam atau kegiatan-kegiatan
lain yang bertentangan dengan budaya Melayu.
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan tersebut sesuai dengan sudut
pandang korporat. Pengelola Pulau Nikoi mengembangkan pulau untuk tujuan wisata bahari
dengan menonjolkan kekayaan ekologis dan keindahan alam yang dimiliki pulau tersebut.
Turis dapat bertelanjang kaki sederhana di hamparan pantai berpasir putih. Selain keindahan
dan keanekaragaman alam dan pengelola resor juga menawarkan berbagai aktivitas
petualangan seperti berjemur, berenang, snorkling, diving, berlayar, dan olah raga panjat
tebing. Selain resort dengan arsitektur yang menggunakan bahan kayu tropis, juga dilengkapi
kolam renang, sarana olah raga dan lounge. Pulau Nikoi menawarkan lingkungan alami dan
aman bagi keluarga dan anak-anak untuk bebas berimajinasi tanpa batas.

Jurnal Perencanaan Pembangunan 327


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

4.2.6. Pengembangan SDM Pariwisata


Pemerintah Kabupaten Bintan, melalui jajarannya di Dinas Pariwisata telah melaksanakan
berbagai pelatihan SDM pariwisata misalnya pelatihan diving dan snorkling. Untuk jalur
formal, pemerintah mendorong pengembangan SMK Pariwisata dan akademi pariwisata
yang bekerjasama dengan Universitas Sahid.

4.2.7. Pengembangan dan Dukungan UMKM


Pemerintah Kabupaten Bintan telah mengembangkan pelatihan dan pendampingan
manajemen pengelolaan kegiatan pariwisata untuk masyarakat desa mengelola potensi wisata
di kawasannya. Mereka dihimpun dalam Badan Usaha Milik Desa melalui dana alokasi dana
desa, satu desa mendapat dana sekitar Rp 2 milyar dimana lembaga pengelolanya diserahkan
ke masyarakat desa. Contoh dari kegiatan pariwisata yang dikelola Badan Usaha Milik
Desa adalah pengelola rumah penginapan terapung (kelong), pengembangan wisata di desa
mangrove atau desa gurun sahara (bekas galian pertambangan) .
Sejalan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten, pengelola Pulau Nikoi telah
menjalin kerjasama dengan para pemangku kepentingan relevan, utamanya masyarakat
lokal untuk mendorong prospek bisnis di Pulau tersebut. Dukungan kerjasama dengan
masyarakat lokal antara lain berupa dukungan logistik dengan bahan bahan pangan lokal
maupun merancang berbagai kegiatan sosial seperti memberikan kursus bahasa Inggris dan
komputer untuk para remaja di sekitar lokasi usaha. Sebuah merek ritel sedang dibangun
yang akan digunakan untuk membantu penduduk desa menjual karya seni dan kerajinan
yang telah dibantu dikembangkan. Ke depan, upaya ini diharapkan dapat membantu warga
desa membangun bisnis yang akan membantu mengurangi ketergantungan mereka pada
industri perikanan yang mengalami penurunan.

4.2.8. Pengembangan Pemasaran


Pemerintah Kabupaten Bintan telah merancanag strategi pemasaran Pulau Bintan
dengan melaksanakan sejumlah even-even olah raga skala internasional, antara lain balap
sepeda, olah raga air dan marathon. Kebijakan pemda memang mendorong pada sport
tourism dan tourism petualangan melalui wisata. Juga mendorong pameran-pameran.
Pengelola Pulau Nikoi telah merencanakan dan menjalankan strategi pemasaran korporat
dengan menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan tour and travel di seluruh dunia,
khususnya di Singapura.

4.2.9. Pengembangan Komunikasi Teknologi Informasi (ITC)


Untuk mengembangkan pasar, pengelola Pulau Nikoi telah membangun dan
mengembangkan websites termasuk dilengkapi fasilitas pemesanan online. Selain itu juga
berkerjasama dengan agen tour and travel internasional Asia Travel di Singapura.

4.2.10. Infrastruktur
Pemerintah daerah Kabupaten Bintan mendorong perkembangan pariwisata
melalui pembangunan infrastruktur di sekitar objek wisata, antara lain pembangunan jalan
dan jembatan. Juga ada Bandara dan jalur penyeberangan feri. Sarana dan prasarana untuk
melengkapi aspek fasilitas sosial (sarana kesehatan, komunikasi, kemanan dan pengelolaan

328 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

limbah) juga dilaksanakan Pemda sesuai tanggungjawab mereka untuk memenuhi layanan
ke masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana tersebut tentu dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pariwisata.
Untuk lokasi yang menjadi domain pengelola Pulau Nikoi, investor membangun
semua prasarana dan sarana yang diperlukan. Termasuk dermaga penyeberangan dan tempat
kapal yang melayani rute demaga milik perusahaan dengan Pulau Nikoi. Praktik wisata
(kegiatan pariwisata berbasiskan pengelolaan lingkungan yang baik) diimplementasikan
dengan memperhatikan konservasi dan pertimbangan isu lingkungan. Pengelola tidak
memberi label Nikoi sebagai “resort eko” karena tidak ingin terjebak menjadi sekadar jargon
tanpa makna. Praktik eco resort sebaliknya diimplementasikan inheren dalam pengelolaan
sehari-hari yang tampak dari konsep pengembangan resort (akomodasi), pengelolaan air
tanah, efisiensi energi dengan memanfaatkan energi matahari (solar cell), pengembangan
lanskap yang dibiarkan senatural mungkin, manajemen persampahan dan pengelolaan
limbah B3, dan bahkan memiliki sistem pengendalian nyamuk.

4.2.11. Faktor Keamanan


Aspek keamaan merupakan faktor kondisi yang harus diciptakan agar turis dapat
menikmati berbagai kegiatan wisata bahari yang ditawarkan dengan nyaman. Penciptaan
keamanan ini sejalah dengan tugas dan fungsi aparat pemerintah daerah dan kepolisian
setempat dalam menjalankan tugasnya. Dari sisi investor, aspek keamanan juga berkaitan
dengan kelangsungsan dan ketenangan dalam menjalankan usaha sehari-hari yang kerapkali
mendapatkan ancaman atau intimidasi dari sejumlah pihak terkait persengketaan sumberdaya
yang ada. Untuk mengatasi hal tersebut, strategi yang dijalankan investor adalah memperkuat
jejaring (partnership) dalam membangun dan mengembangkan kerjasama dan kolaborasi
dengan Pemda dan masyarakat lokal sehingga dapat menguragi potensi konflik yang dapat
merugikan usaha wisata.

4.3. Analisis Rantai Nilai Pengembangan Pulau Nikoi sebagai Daerah Tujuan Wisata bahari
Hasil identifikasi sejumlah faktor pendorong pengembangan daya saing wisata
bahari di Pulau Nikoi Kabupaten Bintan selanjutnya dianalisis berdasarkan konsep rantai
nilai daya saing Michael Porter. Model rantai nilai tersebut dapat menjadi model untuk
pengembangan Pulau-Pulau Kecil yang dikelola oleh sektor swasta atau konsorsium swasta.
Berkembangnya Pulau Nikoi dan Kabupaten Bintan umumnya sebagai daerah tujuan wisata
bahari yang berdaya saing, pertama-tama karena adanya faktor kondisi sebagai modal dasar,
yiatu adanya kekayaan dan keunikan sumberdaya alam yang dapat menawarkan keindahan
dan pengalaman bagi para pelancong (Lihat Gambar. 2).
Model rantai nilai tersebut menujukkan peran investor Pulau Nikoi sepenuhnya
mengendalikan usaha wisata di Pulau Nikoi. Investor selaku pengelola Pulau berperan
sentral mulai dari perencanaan, desain konstruksi pembangunan sampai pengelolaan bisnis
sehari-hari termasuk terus menerus untuk melaksanakan perbaikan di setiap aspek agar
dapat memenuhi kebutuhan pasar (selera konsumen) yang terus berubah.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah berkontribusi penting dalam menciptakaan kondisi
lingkungan bisnis yang kondusif untuk berlangsungnya wisata bahari yang menguntungkan.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, pemerintah daerah berperan penting dalam memberikan

Jurnal Perencanaan Pembangunan 329


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

rasa aman terkait aspek kepastian usaha, yaitu: adanya perencanaan stratagis pembangunan
wisata termasuk kepastian rencana tata ruang dan tata wilayah) dan aspek kemudahan
berusaha (aspek perijinan). Pemerintah daerah juga diharapkan memiliki starategi untuk
mendorong pariwisata daerah, yaitu: aspek pengembangan produk pariwisata, SDM
Pariwisata, dukungan UMKM, dukungan pemasaran kawasan, dukungan infrastruktur,
fasilitas Komunikasi Teknologi Informasi (ITC), dan jaminan keamanaan.
Gambar 2. Pola rantai nilai wisata bahari di Pulau Nikoi,
Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau
Perencanaan Strategis

Kepastian Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah

Kemudahan Berusaha

Pengembangan Produk Pariwisata


Support Kekayaan
Process: dan Pengembangan SDM Pariwisata
Peran Keunikan Pengembangan dan Dukungan UMKM
Pemerintah Sumberdaya
Pengembangan Pemasaran

Komunikasi Teknologi Informasi (ITC)

Infrastruktur

Keamanaan
Pulau-Pulau
Pengembangan Pengembangan Penguatan Penguatan Marketing Penguatan Kecil sebagai
R & D: Desain, Internal Kapabilitas jejaring & Sales dan Daerah
Inovasi, Organisasi: Industri (partnership). Pengembangan Tujuan
Kreativitas (PPK Pariwisata (Unit Bisnis- Pembangunan Brand Wisata Bahari
sebagai daerah Organisasi) dan yang Berdaya
tujuan Wisata pengembangan Saing
Primary bahari Resort kerjasama dan
Business yang Unik) kolaborasi)
Kekayaan
Process: dengan
dan
Peran Pemda dan
Keunikan
Industri masyarakat
Sumberdaya
(Unit Bisnis) lokal.

Pengembangan Infrastruktur: Pengembangan Pembangunan Penerapan


riset dan Transportasi. SDM dan teknologi
intelijen pasar. Sarana dan Organisasi pengembangan informasi
Pengembangan prasarana inkubasi inti- dan sosial
Produk plasma media
Pariwisata

Sumber: Kajian Peneliti (2017)

V. Penutup
5.1. Kesimpulan
Faktor kondisi sebagai modal dasar pengembangan wisata bahari di Pulau Nikoi
adalah adanya kekayaan dan keunikan sumberdaya alam yang dapat menawarkan keindahan
dan pengalaman bagi para pelancong. Investor selaku pengelola Pulau berperan sentral mulai
dari perencanaan, desain konstruksi pembangunan sampai pengelolaan bisnis termasuk terus
menerus untuk memperbaiki setiap aspek proses bisnis untuk memenuhi perubahan dinamis
kebutuhan pasar (selera konsumen).
Kontribusi Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan penting untuk mencipta-
kan lingkungan bisnis di kawasan Kabupaten Bintan kondusif untuk perkembangan wisata
bahari. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, pemerintah daerah diharapkan dapat berkontribusi
dalam memberikan rasa aman terkait aspek kepastian usaha. Itu dapat didukung melalui
adanya perencanaan stratagis pembangunan wisata termasuk kepastian rencana tata ruang

330 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

dan tata wilayah dan aspek kemudahan berusaha, utamanya kejelasan aspek perijinan
usaha. Pemerintah daerah juga diharapkan memiliki starategi untuk mendorong daya saing
pariwisata kawasan melalui pengembangan produk pariwisata, peningkatan kualitas SDM
Pariwisata, dukungan ke UMKM, dukungan pemasaran kawasan, dukungan infrastruktur,
fasilitas Komunikasi Teknologi Informasi (ITC), dan jaminan keamanaan.

5.2. Saran
Pengembangan Pulau Nikoi di Kabupaten Bintan dapat dijadikan model
pengembangan wisata bahari PPK dengan pelaku dominan dari investor swasta. Kendati
demikian, dalam implementasi di lapangan, peran swasta tidak bisa berdiri sendiri namun
harus mampu bekerjasama dengan Pemerintah (baik di tingkat Pusat dan Dearah) maupun
para pemangku kepentingan terkait dari sektor masyarakat. Kerjasama antar pelaku usaha
dalam konteks penguatan rantai nilai pengembangan usaha wisata bahari PPK menjadi
hal penting. Beberapa aspek penting yang dapat dijadikan fokus kerjasama antara lain:
a) Penanganan sampah, limbah, dan bahan beracun berbahaya (B3), b) Pengembangan
pemberdayaan UMKM berbasis bisnis atau usaha ekowisata PPK, c) Pelestarian lingkungan
hidup, berhubungan dengan sejumlah isu penting: air bersih, energi, dan kelestarian flora,
fauna, dan ekosistem, d) Dan lain-lain.

Daftar Referensi
Bappenas. (2014). Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil. http://www.
bappenas.go.id/index.php/download_file/view/11618/3863/. Diunduh pada 18
Maret 2014.
BPPPD Kabupaten Bintan. (2017). Ekspose Kepala BPPPD Kabupaten Bintan. Tim Kajian
Kebijakan Kerjasama Pembangunan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil
Cetinski, Vinka., and Ines Milohnic. (2008). Company Competitiveness and Competitive
Advantages in Tourism and Hospitality. Tourism and Hospitality Management, Vol.
14, No. 1.
Croes, Robertico. (2010). Small Island Tourism Competitiveness: Expanding Your Destination”s
Slice of Paradise. Invited Main Lecture at the occasion of the Dies Natalis of the
University of the Netherlands Antilles, Willemstad, Curacao, January 12, 2010.
Dahuri R. (1998). Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
Berkelanjutan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia. Jakarta: Dit. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT,
CRMP USAID.
Elgie, Susan., Ruth Childs, Nancy E. Fenton, Betty Ann Levy, Valerie Lopes,Karen Szala-
Meneok, and Richard Dominic Wiggers. (2010). Researching Teaching and Student
Outcomes in Postsecondary Education: A Guide.Toronto: The Higher Education Quality
Council.
Henry Tsai , Haiyan Song & Kevin K. F. Wong. (2009). Tourism and Hotel Competitiveness
Research. Journal of Travel & Tourism Marketing. 26:5-6, 522-546.
Kaplinsky, R. and M. Morris. 2001. A Handbook for Value Chain Research. Brighton, United
Kingdom, Institute of Development Studies, University of Sussex.
Kemenpar. 2015. Laporan Naskah Akademik Strategi Pengembangan Kawasan Pesisir dan

Jurnal Perencanaan Pembangunan 331


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018
I Dewa Gde Sugihamretha

Pulau-Pulau Kecil.
Kementerian Pariwisata. (2017). Neraca Satelit Pariwisata Nasional 2016. http://kemenpar.
go.id.
Kementerian Pariwisata. (2017). Perkembangan Bulanan Wisatawan Mancanegara, 2010 –
2016. http://kemenpar.go.id.
Kementerian Pariwisata. (2016). Statistik Profil Wisatawan Mancanegara 2016. Asisten
Deputi Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan. Deputi Bidang
Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan. Kementerian Pariwisata
McElroy, Jerome L. Managing Sustainable Tourism in the Small Island Caribbean. the Journal
of Ecological Economics. September 2000.
Mete, Bilgen., and Elif Acuner. (2014). A Value Chain Analysis of Turkish Tourism Sector.
International Journal of Business and Management Studies, CD-ROM. ISSN: 2158-
1479: 03(02):499–506 (2014).
Muf. (2015). Wow! Pariwisata Bintan Dulang Rp 92,79 M. Batam Pos. Diakses dari https://
arsip.batampos.co.id/12-12-2015/wow-pariwisata-bintan-dulang-rp-9279-m/.
Porter, Michael E. (1985). Competitive Advantage.The Free Press. New York. 1985.

Situs Web:
www.nikoi.com
UNWTOb.2016. Tourism Highlights: 2016 Edition. mkt.unwto.org

332 Jurnal Perencanaan Pembangunan


The Indonesian Journal of Development Planning
Vol II No. 3 - Dec 2018

You might also like