Egi Tanadi Taufik
ET. Taufik is an associate researcher at ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin and a junior researcher at the Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs).
His research interests include the Quranic Hermeneutics, Comparative Religions, and Scriptural Intertextuality. Taufik's recent work concerns the historical thought of the Qur'an within the Abrahamic tradition and its source interpretation.
Google Scholar ID: roUl_X4AAAAJ
Scopus ID: 58186929000
Web of Science: ABC-3518-2022
ORCID ID: 0000-0001-9112-8912
Publon ID: 4495999
Sinta ID: 6736624
Supervisors: Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, M.A., and M.Phil.
Phone: +6282148742782
Address: Laksda Adisucipto St., Papringan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Special Region of Yogyakarta, Indonesia. 55281.
His research interests include the Quranic Hermeneutics, Comparative Religions, and Scriptural Intertextuality. Taufik's recent work concerns the historical thought of the Qur'an within the Abrahamic tradition and its source interpretation.
Google Scholar ID: roUl_X4AAAAJ
Scopus ID: 58186929000
Web of Science: ABC-3518-2022
ORCID ID: 0000-0001-9112-8912
Publon ID: 4495999
Sinta ID: 6736624
Supervisors: Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, M.A., and M.Phil.
Phone: +6282148742782
Address: Laksda Adisucipto St., Papringan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Special Region of Yogyakarta, Indonesia. 55281.
less
Uploads
The term "sharḥ" and its education in Islamic universities have been misunderstood by contemporary scholars. The practice of sharḥ has been interpreted by them in a narrower meaning, namely as an effort to elaborate Islamic classical sources in doctrinal and involutive discourses. Thus these perceptions raise bad stereotypes upon the development of the education of sharḥ in universities. This paper observes the development of Hadith studies in a diachronic linguistics reading through analyzing the position of sharḥ in the history of Hadith studies in Indonesia from the 16th century until date, and from the formative to reformative era. The development and transformation of sharḥ in history prove that each Hadith scholar improving its epistemology idiosyncratically as an effort to answer current challenges by each context.
Berbagai konflik sosial keagamaan transformasional melalui menunjukkan bahwa konsep damai telah memasuki fase transisi religiusitas yang cukup prospektif di tengah masyarakat Islam Indonesia. Di sisi lain, demam "Pemilihan Calon Presiden Periode 2019-2024" Agustus 2019 lalu dikhawatirkan memecah kembali keharmonisan yang sedang dibangun di antara golongan-golongan di Indonesia karena gejala komersialisasi agama. Untuk mengamankan adaptasi dan kematangan transisi perdamaian pada fase tersebut, diperlukan pendekatan yang komprehensif antar umat Islam Indonesia dengan pesan perdamaian dalam Al-Qur'an (As-Salám) sebagai media komunikasi berkebangsaan. Artikel ini diharapkan mampu memberikan gagasan baru untuk "menyejukkan" fase transformasi konflik yang tengah bergolak di Indonesia, serta menjadi benteng kokoh yang akan membendung serangan komersialisasi agama.
This study introduces a new trend in research by employing digital ethnography (netnography) to examine the extent of roles played by actors, customary assemblies, religious organizations, and new media in the discourse contestation surrounding religious moderation in the digital realm. The research delves into the development of religious discourse at the grassroots level in West Kalimantan through media, while also considering the branching discourse of moderation based on ancestral belief systems—a concept referred here to as "moderasi berkepercayaan."
Data reveals that the use of the religious moderation hashtag on Twitter indicates significantly low participation rates from indigenous leaders, scholars, and officials from beyond the island of Java in the national discourse contestation on religion. The study discovers the emergence of new authorities in the digital world, altering society's perspectives on religious moderation and hindering the growth of organic religious discourses based on localized values, which are anticipated to surface within a pluralistic community.
Popularitas metodologi Ma'nā cum Maghzā terus meningkat seiring dengan peningkatan intensitas peneliti akademik yang menggunakan framework tersebut sebagai media alternatif untuk mengurai varian makna Al-Qur'an secara holistik. Ma'nā cum Maghzā dipahami sebagai pendekatan interpretasi Al-Qur'an yang concern pada aspek tekstual (ma'na al-ashli) dan aspek kontekstual yang signifikan di tengah masyarakat (maghzā). Term tersebut dimunculkan oleh Sahiron Syamsuddin, hermeneuis era kontemporer, dengan konstruksi pemikiran berbasis pada varian dimensi keilmuan, baik klasik maupun kontemporer. Artikel ini berupaya untuk merekonstruksi tahapan metodologi penelitian ideal dari Ma'nā cum Maghzā.
Pembahasan di dalam artikel mengupayakan sebuah bentuk ideal dari metode Ma'nā cum Maghzā dengan mengkalibrasi ulang berbagai dimensi keilmuan yang melingkupi metode tersebut secara genealogis dan indepth. Artikel ini turut mengamati praktik metodologi Ma'nā cum Maghzā dan mengamati pergeseran epistemologis dari para akademisi kontemporer. Hasil penelitian dalam artikel diklaim sebagai upaya untuk memunculkan identitas metodologi penelitian yang konsisten, idiosinkratis, sistematis, dan relevan bagi akademisi Al-Qur'an dan Hadis. Praktik metodologi Ma'nā cum Maghzā diurutkan secara metodologis dengan; Pertama, study of the canon (studi intratekstual); Kedua, litetary critism (ma'āni al-Qur'an); Ketiga, historical critism, yaitu mengkaji aspek historisitas dari penurunan ayat Al-Qur'an secara fenomenologis (asbāb al-nuzūl mikro) dan sosio-antropologis (asbāb al-nuzūl makro), atau dikenal dengan istilah signifikansi fenomenal historis; Keempat, hermeneutical interpretation (studi intertekstual); Kelima, practical theology yang diekstraksi dari kajian maqāshidī, yang dikenal dengan istilah signifikansi fenomenal dinamis atau asbab al-nuzūl al-jadīdah; Terakhir, merumuskan bentuk signifikansi ideal yang praktis-dinamis-filosofis dan relevan berbasis pada aspek tekstual dan kontekstual dari keempat tahapan sebelumnya.
Artikel ini berfokus pada penelitian berbasis konsep multikulturalisme masyarakat Kejawen dalam paradigma studi Al-Qur'an. Penulis menitikberatkan pembahasan pada pergeseran aksiologis QS. Al-Kafirun (109) yang diimplementasikan oleh masyarakat Kejawen Urip Sejati Yogyakarta. Urip Sejati merupakan aliran kepercayaan Kejawen yang berkembang sebagai kelompok minoritas sebab lokasinya berseberangan dengan berbagai pusat studi Islam seperti pesantren, masjid bersejarah, dan perguruan tinggi Islam di lingkungan Krapyak, Yogyakarta. Penulis telah melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa anggota dan pimpinan kelompok Urip Sejati sejak tahun 2018. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelompok Urip Sejati memberikan pernyataan bahwa QS. Al-Kafirun (109) dijadikan sebagai media diplomasi untuk mempertahankan kedudukan kelompok dalam kawasan mayoritas Islam.
Ayat yang paling ditekankan oleh anggota kelompok Urip Sejati adalah bagian akhir QS. Al-Kafirun (109), yakni ْ lakum diinukum wa liya diin' (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Ayat tersebut menjadi pijakan utama dalam konsep multikulturalisme karena memuat nilai penghargaan terhadap perbedaan kelompok dan anjuran untuk hidup secara harmonis. Penulis melakukan analisis transformatif mengenai muatan nilai toleransi dan multikulturalisme dalam QS. Al-Kafirun (109). Penelitian ini bertujuan untuk memahami pergeseran posisi, urgensi, dan limitasi aksiologis QS. Al-Kafirun (109) seiring perkembangan zaman. Kontekstualitasi suatu ayat dalam Al-Qur'an tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan konteks ruang dan waktu. Proses tersebut turut dipengaruhi oleh perubahan ideologi masyarakat yang menerima dan membaca ayat Al-Qur'an (recipient of Qur'an). Selanjutnya mengenai hasil penelitian, penulis berusaha menghadirkan kerangka pemikiran yang minim subjektivitas, yakni dengan meniadakan intensi untuk melegitimasi ataupun menyerang kelompok dan aliran tertentu di tengah masyarakat. Penelitian terhadap kelompok Urip Sejati merupakan upaya untuk mengembangkan ranah studi Al-Qur'an secara empiris dan performatif. Melalui penulisan artikel ini, penulis ingin menunjukkan bahwa Al-Qur'an mampu menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang dinamis dan fluktuatif melalui pembacaan realitas secara holistik dan komprehensif.
Penelitian dilakukan dengan perspektif paradigma fungsionalis. Kedua produk tersebut dikaji secara kualitatif dan komparatif dalam dimensi semiotika dan morfologi. Dalam proses uji coba, peneliti mengamati efektifitas tiap produk bagi sepuluh difabel tuli di wilayah universitas. Indikator dalam proses observasi tersebut yakni minat, pemahaman, dan prospek aplikatif bagi subjek kajian. Sedangkan dalam analisis kebahasaan, penulis mengkaji dan mengkomparasikan tiap produk sign language Al-Qur’an sembari menjaga keutuhan teks Al-Qur’an sebagai pedoman beragama umat Islam.
This article faces a challenge in adapting the Islamic value into government regulations in Indonesia, specifically in the specification of human rights in digital space. As the evolvement of society is depended on the digital spheres, the need to also move agreed-upon social constructs either by law, culture, and religion. Interestingly, the European Court of Human Rights seems to accept the social approach to privacy when it deals with complex data breach cases. That gave an opportunity to Indonesia to adapt their regulations and reconstruct its Information Technology (IT) constitution that sustains for the society, especially for Muslims. The result of this article reveals the understanding of privacy values, its needs that will influence the digital’s rights, and the prospect of adopting the Islamic value on public policies in Indonesia.
The term "sharḥ" and its education in Islamic universities have been misunderstood by contemporary scholars. The practice of sharḥ has been interpreted by them in a narrower meaning, namely as an effort to elaborate Islamic classical sources in doctrinal and involutive discourses. Thus these perceptions raise bad stereotypes upon the development of the education of sharḥ in universities. This paper observes the development of Hadith studies in a diachronic linguistics reading through analyzing the position of sharḥ in the history of Hadith studies in Indonesia from the 16th century until date, and from the formative to reformative era. The development and transformation of sharḥ in history prove that each Hadith scholar improving its epistemology idiosyncratically as an effort to answer current challenges by each context.
Berbagai konflik sosial keagamaan transformasional melalui menunjukkan bahwa konsep damai telah memasuki fase transisi religiusitas yang cukup prospektif di tengah masyarakat Islam Indonesia. Di sisi lain, demam "Pemilihan Calon Presiden Periode 2019-2024" Agustus 2019 lalu dikhawatirkan memecah kembali keharmonisan yang sedang dibangun di antara golongan-golongan di Indonesia karena gejala komersialisasi agama. Untuk mengamankan adaptasi dan kematangan transisi perdamaian pada fase tersebut, diperlukan pendekatan yang komprehensif antar umat Islam Indonesia dengan pesan perdamaian dalam Al-Qur'an (As-Salám) sebagai media komunikasi berkebangsaan. Artikel ini diharapkan mampu memberikan gagasan baru untuk "menyejukkan" fase transformasi konflik yang tengah bergolak di Indonesia, serta menjadi benteng kokoh yang akan membendung serangan komersialisasi agama.
This study introduces a new trend in research by employing digital ethnography (netnography) to examine the extent of roles played by actors, customary assemblies, religious organizations, and new media in the discourse contestation surrounding religious moderation in the digital realm. The research delves into the development of religious discourse at the grassroots level in West Kalimantan through media, while also considering the branching discourse of moderation based on ancestral belief systems—a concept referred here to as "moderasi berkepercayaan."
Data reveals that the use of the religious moderation hashtag on Twitter indicates significantly low participation rates from indigenous leaders, scholars, and officials from beyond the island of Java in the national discourse contestation on religion. The study discovers the emergence of new authorities in the digital world, altering society's perspectives on religious moderation and hindering the growth of organic religious discourses based on localized values, which are anticipated to surface within a pluralistic community.
Popularitas metodologi Ma'nā cum Maghzā terus meningkat seiring dengan peningkatan intensitas peneliti akademik yang menggunakan framework tersebut sebagai media alternatif untuk mengurai varian makna Al-Qur'an secara holistik. Ma'nā cum Maghzā dipahami sebagai pendekatan interpretasi Al-Qur'an yang concern pada aspek tekstual (ma'na al-ashli) dan aspek kontekstual yang signifikan di tengah masyarakat (maghzā). Term tersebut dimunculkan oleh Sahiron Syamsuddin, hermeneuis era kontemporer, dengan konstruksi pemikiran berbasis pada varian dimensi keilmuan, baik klasik maupun kontemporer. Artikel ini berupaya untuk merekonstruksi tahapan metodologi penelitian ideal dari Ma'nā cum Maghzā.
Pembahasan di dalam artikel mengupayakan sebuah bentuk ideal dari metode Ma'nā cum Maghzā dengan mengkalibrasi ulang berbagai dimensi keilmuan yang melingkupi metode tersebut secara genealogis dan indepth. Artikel ini turut mengamati praktik metodologi Ma'nā cum Maghzā dan mengamati pergeseran epistemologis dari para akademisi kontemporer. Hasil penelitian dalam artikel diklaim sebagai upaya untuk memunculkan identitas metodologi penelitian yang konsisten, idiosinkratis, sistematis, dan relevan bagi akademisi Al-Qur'an dan Hadis. Praktik metodologi Ma'nā cum Maghzā diurutkan secara metodologis dengan; Pertama, study of the canon (studi intratekstual); Kedua, litetary critism (ma'āni al-Qur'an); Ketiga, historical critism, yaitu mengkaji aspek historisitas dari penurunan ayat Al-Qur'an secara fenomenologis (asbāb al-nuzūl mikro) dan sosio-antropologis (asbāb al-nuzūl makro), atau dikenal dengan istilah signifikansi fenomenal historis; Keempat, hermeneutical interpretation (studi intertekstual); Kelima, practical theology yang diekstraksi dari kajian maqāshidī, yang dikenal dengan istilah signifikansi fenomenal dinamis atau asbab al-nuzūl al-jadīdah; Terakhir, merumuskan bentuk signifikansi ideal yang praktis-dinamis-filosofis dan relevan berbasis pada aspek tekstual dan kontekstual dari keempat tahapan sebelumnya.
Artikel ini berfokus pada penelitian berbasis konsep multikulturalisme masyarakat Kejawen dalam paradigma studi Al-Qur'an. Penulis menitikberatkan pembahasan pada pergeseran aksiologis QS. Al-Kafirun (109) yang diimplementasikan oleh masyarakat Kejawen Urip Sejati Yogyakarta. Urip Sejati merupakan aliran kepercayaan Kejawen yang berkembang sebagai kelompok minoritas sebab lokasinya berseberangan dengan berbagai pusat studi Islam seperti pesantren, masjid bersejarah, dan perguruan tinggi Islam di lingkungan Krapyak, Yogyakarta. Penulis telah melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa anggota dan pimpinan kelompok Urip Sejati sejak tahun 2018. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelompok Urip Sejati memberikan pernyataan bahwa QS. Al-Kafirun (109) dijadikan sebagai media diplomasi untuk mempertahankan kedudukan kelompok dalam kawasan mayoritas Islam.
Ayat yang paling ditekankan oleh anggota kelompok Urip Sejati adalah bagian akhir QS. Al-Kafirun (109), yakni ْ lakum diinukum wa liya diin' (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Ayat tersebut menjadi pijakan utama dalam konsep multikulturalisme karena memuat nilai penghargaan terhadap perbedaan kelompok dan anjuran untuk hidup secara harmonis. Penulis melakukan analisis transformatif mengenai muatan nilai toleransi dan multikulturalisme dalam QS. Al-Kafirun (109). Penelitian ini bertujuan untuk memahami pergeseran posisi, urgensi, dan limitasi aksiologis QS. Al-Kafirun (109) seiring perkembangan zaman. Kontekstualitasi suatu ayat dalam Al-Qur'an tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan konteks ruang dan waktu. Proses tersebut turut dipengaruhi oleh perubahan ideologi masyarakat yang menerima dan membaca ayat Al-Qur'an (recipient of Qur'an). Selanjutnya mengenai hasil penelitian, penulis berusaha menghadirkan kerangka pemikiran yang minim subjektivitas, yakni dengan meniadakan intensi untuk melegitimasi ataupun menyerang kelompok dan aliran tertentu di tengah masyarakat. Penelitian terhadap kelompok Urip Sejati merupakan upaya untuk mengembangkan ranah studi Al-Qur'an secara empiris dan performatif. Melalui penulisan artikel ini, penulis ingin menunjukkan bahwa Al-Qur'an mampu menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang dinamis dan fluktuatif melalui pembacaan realitas secara holistik dan komprehensif.
Penelitian dilakukan dengan perspektif paradigma fungsionalis. Kedua produk tersebut dikaji secara kualitatif dan komparatif dalam dimensi semiotika dan morfologi. Dalam proses uji coba, peneliti mengamati efektifitas tiap produk bagi sepuluh difabel tuli di wilayah universitas. Indikator dalam proses observasi tersebut yakni minat, pemahaman, dan prospek aplikatif bagi subjek kajian. Sedangkan dalam analisis kebahasaan, penulis mengkaji dan mengkomparasikan tiap produk sign language Al-Qur’an sembari menjaga keutuhan teks Al-Qur’an sebagai pedoman beragama umat Islam.
This article faces a challenge in adapting the Islamic value into government regulations in Indonesia, specifically in the specification of human rights in digital space. As the evolvement of society is depended on the digital spheres, the need to also move agreed-upon social constructs either by law, culture, and religion. Interestingly, the European Court of Human Rights seems to accept the social approach to privacy when it deals with complex data breach cases. That gave an opportunity to Indonesia to adapt their regulations and reconstruct its Information Technology (IT) constitution that sustains for the society, especially for Muslims. The result of this article reveals the understanding of privacy values, its needs that will influence the digital’s rights, and the prospect of adopting the Islamic value on public policies in Indonesia.
The work advances a forward-looking and ambitious perspective on the intersection of Islam and human rights, both in theory and practice. These arguments tend to resonate well within Muslim intellectual spheres, with the exception of Islamic conservatives, given their relevance to ongoing internal dialogues. The foundational source of Islamic law (Sharīʾa) is harnessed as the primary reference, lending undeniable weight to the discussions. The volume dares to present audacious contentions by addressing delicate topics within fiqh and Indonesian regulations, further enriching its scholarly depth.
While primarily intended for governmental officials and heads of the Office of Religious Affairs, this work extends its invitation to scholars and students with a keen interest in Islamic discourse and human rights. Their engagement with this volume is greatly encouraged, as it illuminates critical dimensions of contemporary Islamic thought and its alignment with human rights principles.
Artikel ini merefleksikan kultur pop Korea sembari mengidentifikasi otentisitas tradisi penggunaan hijab di Indonesia. Tradisi tersebut dirunut secara diakronis melalui analisis relasional antar normativisme penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an mengenai hijab dengan kultur Indonesia. Kerangka pemikiran dalam tulisan disusun berdasarkan metode penelitian mixed method berbasis riset eksploratif sekuensial.
Hasil penelitian dalam pembahasan merupakan bentuk respon ilmiah terhadap fenomena industri kreatif Korea Selatan melalui tahapan identifikasi otentisitas kultur hijab di Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai Qur’ani (Qur’anic values). Data tersebut digunakan untuk menjawab tantangan visi “Making Indonesia 4.0” dalam sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yakni dengan memunculkan produk hijab yang etis, estetis, dan ekonomis.
Tantangan dakwah dalam “zona abu-abu” menjadi keunikan tersendiri dalam pengajian Gus Miftah. Meskipun praktik prostitusi bertentangan dengan ajaran Islam, aktivitas dakwah tidak berhenti berlangsung di Pasar Kembang. Proses pertemuan tersebut memunculkan dialog koherensif dalam spektrum yang sangat unik. Pekerja seks menerima dakwah yang dilakukan Gus Miftah sebagai momen menyucian jiwa. Penerimaan terhadap pesan dakwah dalam aktivitas tersebut terlihat pada peliburan jasa prostitusi saat kegiatan pengajian berlangsung. Tulisan ini berfokus pada dinamika sosio-antropologis yang berlangsung dalam dialog keagamaan pada pengajian Gus Miftah di Pasar Kembang.
Hadirnya museum Sonobudoyo merupakan buah dari interaksi intelektual dan ideologis antara para inteletual kolonial dengan “anak-anak” didiknya (intelektual pribumi) sebagai sebuah misi besar kolonial yang disebut dengan “imperial mission” (membangun kekuasaan Belanda Raya di Asia, Afrika, dan Amerika).
Perjalanan misi ini pada mulanya bergerak di bidang perdagangan dengan tujuan mencari keuntungan tentunya. Dari sini, interakasi antara kolonial dengan penduduk local mulai terbangun secara intensif, yang awalnya focus ke perdagangan lalu mulai merambah ke hubungan politis. Akan tetapi, perbedaan bahasa, budaya, dan agama menjadi persoalan yang harus diatasi terlebih dahulu guna melangkah ke hubungan yang lebih luas. Orang-orang Belanda mulai belajar memahami bahasa dan budaya local dan begitupun sebaliknua, walaupun kegiatan tersebut belum terlembagakan secara kuat.