PPOK
PPOK
PPOK
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis
kronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif
kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsial
reversibel, sekalipun empisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa dan
dirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyai
tanda dan gejala kedua penyakit tersebut.( Amin, Hardhi,2013).
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
1. TujuanUmum
memberikan Asuhan Keperawatan secara optimal
pada klien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK).
2. TujuanKhusus
a. Penulis mampu melaksanakan dan
memperoleh dalam penatalaksanaan asuhan
keperawatan PPOK pada pasien.
b. Mengidentifikasi faktor pendukung
penghambat dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
D. Manfaat
1. Masyarakat
Membudayakan pengelolaan pasien penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dalam pemberian asuhan
keperawatan.
2. Pengembangan IlmuKeperawatan
Menambah keluasan ilmu terapan bidang
keperawatan dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).
3. Penulis
Memperoleh pengalaman dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien penyakit obstruktif kronik
(PPOK)
B
AB
II
TIN
JA
UA
NP
US
TA
KA
A. KonsepDasar
1. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible Pada klien PPOK paru-paru klien tidak
dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya
sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada
paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010).
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya
(GOLD, 2009). Selain itu menurut Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok
penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang
menahun dan persisten dari jalan napas di dalam
paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang
menahun, bronkiektasis. Arita Murwani (2011)
2. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan
timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Brashers (2007) adalah :
a) Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan
sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa
perokok dianggap peka dan mengalami penurunan
fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari
lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi
padaanak.
b) Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara
tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1%
penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu
antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan
awitan awalemfisema.
c) Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak –
kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi
paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan
resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran
nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia
mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d) Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan
dengan peningkatan resiko morbiditasPPOK.
3. ManifestasiKlinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah Perkembangan gejala-
gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi
kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak
khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas
pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek
akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami
perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang
disertai dengan produksi dahak yang semakin banya.
Reeves (2001).
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi
pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup
drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan
mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas
rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan
secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang
mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis,
sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena
produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial)
penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak
cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak
mengeluarkan tenaga dalam melakukanpernafasan.
4. Patofisiolog
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses
respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan
metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga
tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah
proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus
dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi
adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan
obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa
detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP)
(Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok.
Komponen- komponen asap rokok merangsang
perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan
atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,
2009).
Komponen-komponen asap rokok juga
merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama padaekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi
predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada
inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan
(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas,
edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi
hipoksik pada arteriol (Chojnowski,2003).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah :
Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok,
infeksi, polusi udara. Terapi eksasebrasi akut
dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai
infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H.
Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x
0,5g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat
diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H.
Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi
betalaktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin,
atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi
akut terbukti mempercepat penyembuhan dam
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang
lebihkuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan
pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadapCO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum
denganbaik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya
golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau
aminofilin 0,25- 0,5 g iv secaraperlahan.
1. Terapi jangka panjang dilakukan dengan:
a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka
panjang, ampisillin 4 x0,25-0,5/hari dapat
menurunkan kejadian eksasebrasiakut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas
obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
1) Fisioterapi.
2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitasfisik.
3) Mukolitik danekspektoran.
4) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami
gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55
mmHg).
5) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan
bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu
perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit
paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi
psikis dan rehabilitasipekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan
medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah Penatalaksanaan medis untuk asma
adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan
medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal
individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah
serangan hebat, dan mencegah efek samping obat.
Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan
untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai
relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan
berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi
adalah merupakan proses fundamental dalam asma,
maka
inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua
adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi
steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam
ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping
yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan
bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih
dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi
steroid akan menjadi lebih berguna.
Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis
didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji
fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan
ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.
Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah
pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi
pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih
(irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis
untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah
terjadi sedemikianbesar.
Jika individu berhenti merokok, progresi
penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat
menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti
bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi
fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan.
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk
konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan
tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan
dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan,
beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik,
terutama selama musim dingin. Pemberian steroid
sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk
pemberian antibiotik, drainase postural untuk membantu
mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan
bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang
mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan
gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama
dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan
sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan
segmentektomiataulubektomi.Beberapaklienmengalami
penyakitdikedua
sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan
pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru
yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh
perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk
memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi
penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik
menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan
dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan
menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan
pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara
dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara
kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan
rehabilitasi yang
15
BAB IV
KESIMPULAN DAN
SARAN
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) atau Chronic
Obstruktif Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah asma
bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema paru-paru. Sering juga penyakit
ini disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic
Obstructive Lung Disease (COLD). Diagnosa yang utama pada penderita
PPOK yaitu Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi
sputum
B. Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan
keperawatan dengan baik terhadap penderita penyakit saluran pernapasan
terutama PPOK. Oleh karena itu, perawat juga harus mampu berperan
sebagai pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun
memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama
mengenai tanda-tanda, penanganan dan penceganhanya.
DAFTAR PUSTAKA