Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Cerpen Devi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

Kau Tak Sendiri

Cerpen Karangan: Seli Oktavia


Kategori: Cerpen Inspiratif, Cerpen Motivasi, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 13 September 2021

“Gedubrakk!!” aku meringis kesakitan.


“Hahahaha”.
“Rasain lo sampahh!!” ucap mereka penuh kebencian.

Aku bangkit meraih ransel, lalu pergi dari hadapan mereka. Mengutuk diri sepanjang hari, mangapa
aku tidak bisa melawan perlakuan jahat mereka?.

Ya! Inilah hari hariku. Hari hari yang sangat melelahkan. Diperlakukan tak pantas oleh orang lain,
seakan akan aku ini adalah ‘Sampah yang Lupa Diangkut’. Tak ada alasan mengapa mereka
membenci diriku, yang aku tau sejak bangku SD aku memang sudah menjadi ‘Sasaran’ empuk
mereka untuk melampiaskan seluruh kekuatan seakan mereka yang paling kuat di dunia.

Aku menghela nafas, mengapa hidupku seperti ini?. Tanyaku dalam hati. Sebenarnya aku sudah tidak
tahan dengan semua ini, tapi mau bagaimana lagi? Bahkan orangtua saja tidak peduli. Aku seperti
dibiarkan seorang diri di dunia ini. Tak ada yang peduli, tak ada yang mau menjadi teman. Aku
memang sendirian. Aku percaya, suatu saat aku akan menemukan alasan mengapa diriku
diperlakukan tidak pantas seperti ini. Aku akan menemukannya. Atau jangan jangan tidak akan
pernah?. Aku mengutuk diri, dasar pesimis!.

Suatu hari aku sedang berjalan menuju kelas, berangkat. Sepanjang lorong kelas terdengar bisik bisik
yang menyebut namaku, sesekali diikuti oleh suara tawa. Aku menatap tak mengerti sekitar, apa ada
yang salah denganku?. Ada apa?. Aku semakin tak mengerti. Aku menoleh kebelakang, tak ada apa
apa. Aku melepas tas, dan ternyata ada selembar kertas bertuliskan ‘Permisi!! Sampah Mau Lewat!’.
Wajahku memanas membaca kertas itu, siapa yang menempelkan kertas ini di tasku?. Seketika suara
tawa terdengar di seluruh koridor. Mereka (tentu saja) menertawaiku.

“Hahaha”.
“Beri jalan!! Ada sampah mau lewat!”
“Ngapain sih ada orang kayak dia hidup di dunia ini?!!”
“Dasar gak guna!”
“Sampah!”
“Dasar Bisu!! Gak bisa ngomong!”

Seketika hatiku sakit mendengar cacian mereka, aku bisa menolelir saat dibilang ‘Sampah dan
sebagainya’ tapi untuk ucapan yang terakhir aku sudah tak bisa memaafkannya. Mereka bilang aku
bisu, hatiku teriris. Sangat sakit.

“DIAM!!!” teriak seseorang. Semuanya menoleh menghentikan tawanya, aku juga menoleh. Siapa
dia?.
“Kalian pikir kalian siapa?!! Berani beraninya mengejek orang lain?!!” ucapannya begitu tegas, begitu
penuh percaya diri. Aku tak pernah melihatnya, sepertinya ia anak baru.
“Kalian pikir kalian begitu sempurna?!! Hah!!!” bentaknya yang sempurna menyumpal mulut mereka.
Bisik bisik mulai terdengar, siapa dia? Siapa dia?.

Anak baru itu mendekatiku.


“Anak kelas 8 B?” tanyanya, aku hanya mengangguk. Diapun menggaet tanganku memasuki ruang
kelas 8 B.

“Nama kamu siapa?” tanyanya setelah masuk dan duduk disebelahku.


‘(Namaku Febry)’ jawabku menggunakan bahasa isyarat. Dia mengangguk mengerti mengenai
keterbatasanku, aku memang bisu.
‘(Perkenalkan namaku Evan)’ balasnya lalu menjabat tanganku, aku tersenyum ternyata ada juga
orang yang mengerti keterbatasanku.
‘(Kamu duduk sendirian kan?)’ tanyanya. Aku mengangguk, iya.
‘(Aku boleh duduk sama kamu kan? Aku anak baru disini dan aku ditempatin dikelas 8 B)’ ucapnya,
aku tersenyum.
‘(Boleh, tentu saja boleh)’ jawabku. Dia tersenyum senang. Begitupun aku, akhirnya ada yang mau
berteman denganku. Dan kami pun lanjut mengobrol tanpa suara, mengobrol dalam senyap
menggunakan bahasa isyarat.
Saat istirahat dia melanjutkan mengobrol denganku.
Sejak saat itu aku dan Evan menjadi teman, akrab. Dia bisa mengerti aku dan aku juga bisa berteman
dengannya. “Aku tau gimana rasanya diperlakuin seperti sampah. Sakit banget. Ya kan?” tanyanya
tidak menggunakan bahasa isyarat. Aku mengangguk.
“Tapi kamu harus bisa buktiin ke mereka kalo kamu pantas dihormati dan dihargai.” ucapnya. Aku
terdiam, bagaimana?.
“Disetiap kekurangan pasti ada kelebihan, aku percaya kamu punya kelebihan yang gak sembarang
orang punya.” ucapnya.
“Kita lakuin bareng bareng, kamu bakalan jadi seorang penulis yang hebat!!” ucapnya, aku
mengernyitkan dahi. Bagaimana dia tau aku suka dunia sastra dan ingin menjadi penulis?.
“Aku nggak sengaja nemuin ini di kolong meja.” ucapnya sambil memperlihatkan selembar kertas
berisikan puisi karyaku. Aku terkejut.
“Ini puisi yang sangat indah Feb!, kamu bakalan jadi seorang penulis yang hebat dan terkenal!”
ucapnya. Aku menunduk, bagaimana bisa? Berbicara saja aku tidak bisa.
“Disetiap Kekurangan pasti ada kelebihan, dan dibidang inilah kelebihan yang kamu miliki. Kamu pasti
bisa Feb, Kamu tidak sendirian. Aku bakalan membantu kamu apapun yang aku bisa lakukan.”
ucapnya lalu tersenyum, aku tersenyum lalu mengucapkan terimakasih menggunakan isyarat.

10 tahun kemudian..
Aku tersenyum menatap penggemarku yang meminta tanda tanganku.
“Ini kak, aku ngefans banget sama kakak.. Novel kakak paling top!” ucapnya yang sepertinya masih
anak sekolahan menyodorkan novel. Aku menandatanganinya. Lalu mengucapkan terimakasih
menggunakan bahasa isyarat. Dia membalas menggunakan bahasa isyarat.

“Apa yang membuat anda menjadi penulis tunawicara pertama dinegeri ini? Bisa ceritakan detailnya?”
tanya seorang host saat aku diwawancara dalam layar kaca.
‘(Yang pasti kita harus punya semangat dan keinginan yang kuat untuk mewujudkan mimpi dan cita
cita kita)’ jawabku.
“Saya yakin, dalam setiap kesuksesan pasti ada cobaan. Apalagi anda seorang tunawicara. Bisa
ceritakan awal awal anda berjuang?” tanya host itu.
‘(Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terimakasih untuk sahabat saya Evan. Berkat dirinya
saya bisa mewujudkan mimpi saya. Dulu saya adalah sasaran bullying. Berkat dia saya bisa bangkit
dan bisa mengoptimalkan kemampuan saya dalam bidang menulis)’ ucapku lalu tersenyum berharap
kini Evan melihatku di layar kaca.

“Anda adalah sosok yang sangat inspiratif. Setiap karya anda pasti mengandung unsur kemanusiaan
seperti stop bullying dan sebagainya. Apa yang ingin anda katakan untuk orang yang mengalami
masa masa seperti anda?” tanya host itu.
‘(Saya ingin mengatakan pada semua orang yang memiliki keterbatasan untuk jangan menyerah,
tetap bermimpi dan jangan hiraukan perkataan orang yang mencaci. Karena Kamu tidak sendirian.)’
jawabku lalu diikuti tepuk tangan dari para penonton di studio. Aku tersenyum.
Yap benar.. Aku selalu camkan dalam hati bahwa Aku Tidak Sendirian.
Perjamuan Terakhir
Cerpen Karangan: Ika Septi
Kategori: Cerpen Misteri, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 5 September 2021

Tulisan “Dijual” di tembok pagar rumah itu telah hilang, menandakan penghuni baru akan segera
datang. Satu bulan yang lalu aku masih duduk di bangku taman rumah bertembok batu bata merah
itu sambil menikmati secangkir teh bunga rosela dan beberapa keping biskuit lemon. Oma Irene sang
pemilik rumah kerap mengajakku berbincang sambil duduk di bawah rindangnya pohon pinus. Namun
sayang tiga minggu yang lalu Oma Irene pergi menyusul Opa Jan dalam keabadian.

Aku menatap rumah bercerobong asap itu. Sepi, belum ada satu pun batang hidung pemilik baru yang
nampak. Rumah itu memiliki desain yang sangat aku sukai. Halamannya yang luas banyak ditumbuhi
berbagai macam tanaman. Aku betah berlama-lama disana dan sama sekali tak berkeberatan
menyirami semua tanaman bila Oma Irene pergi menengok anak cucunya. Kini aku merasa khawatir
akan kehilangan suasana indah rumah itu seiring dengan kedatangan penghuni baru.

Aroma segar pagi langsung menyeruak ke dalam kamarku ketika aku membuka jendela. Biasanya aku
akan kembali melemparkan tubuhku ke atas ranjang dan menarik kembali selimut yang tersingkap.
Hari minggu adalah waktunya bersantai sampai siang. Namun tidak hari ini karena pemandangan di
bawah lebih menarik dibanding dengan empuknya ranjang dan hangatnya selimut patchwork buatan
Mama.

Dari ketinggian balkon kamarku, aku melihat seorang lelaki sibuk hilir mudik mengangkut barang-
barang dari sebuah mobil box. Raut wajahnya dingin, kedua lengannya dipenuhi dengan tatto.
Sesekali ia menatap ke jalanan yang lengang dan rumah-rumah lain termasuk rumahku. Aku
menyembunyikan kepalaku di balik pagar balkon ketika secara tiba-tiba ia mendongak ke atas.
Mendadak aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan tetangga baruku itu.

“Permisi.”
Aku berhenti sebentar dari kegiatanku lalu menjelau ke luar pagar, tak ada siapa-siapa. Kupotongi
kembali ranting-ranting mawar yang menyembul di antara pagar kayu.

“Permisi.” Suara itu kembali terdengar dan kini sangat jelas.


Aku terlonjak begitu melihat siapa yang menyapaku. Jantungku seakan mau copot.
“Maaf, rumah Pak RT dimana ya?” Lelaki bertatto itu kini telah ada dihadapanku, terhalang rumpun
mawar yang bergerombol melapisi pagar.
“Eeeee… disana … nomor 20.” Aku menjawab dengan gugup sementara dia menatapku dengan tajam.
Lalu ia pun membungkuk sambil mengucap terima kasih dan melangkah pergi. Sopan namun dingin.

Kini setiap hari aku memiliki kegiatan baru yaitu memperhatikan polah tetanggaku yang telihat
misterius. Ia tinggal di rumah itu sendiri. Papa pernah mengajaknya mengobrol ketika lelaki itu
tengah membersihkan pekarangan rumah.
“Namanya Ken, bujangan, blasteran Jepang.” Papa melirikku, senyum tipis menghiasi bibirnya.
Aku mendelik. “Ken Watanabe? Kento Momota? Kentos kelapa?” Bibirku keriting, Papa tergelak. “Ken
Hamada!” Seru Papa.
“Kerjanya apa?” Mama bertanya tanpa menghentikan kegiatan merajutnya.
“Punya usaha.” Jawab Papa pendek.
“Ya, usaha apa?” Mama meletakkan rajutannya lalu memberi cangkir tehnya dengan pemanis rendah
kalori.
“Katanya sih bisnis yang berkaitan dengan menyenangkan orang.” Jawab Papa serius. Dahiku
berkerut.

Aku terbelalak ketika melihat lelaki yang mengaku bernama Ken itu tengah sibuk dengan dua bilah
pisau berukuran besar yang ia gesekan satu sama lain sambil bertelanjang dada. Mata pisau itu
nampak sangat tajam, berkilat di bawah sinar mentari yang garang. Terlihat deretan tatto berdesakan
di hampir setiap inchi tubuhnya. Kuraih binokularku dengan segera, naga … ular … dan burung
Phoenix, ah tak salah lagi.

Kemarin aku melihatnya tengah membuat lubang di antara rumpun mawar dan sore ini aku melihat
cairan merah kental tercecer di sepanjang jalan menuju rumahnya. Bau amis menguar ketika aku
mendekati kendaraannya yang terparkir di jalan. Kuduga cairan itu adalah darah. Aku pun segera
menyingkir dari sana ketika telingaku mendengar langkah kaki mendekat.

Malam ini tetangga baruku itu telah membuatku memeras otak. Aku sangat penasaran dengan semua
hal ganjil tentangnya Gumpalan rasa ingin tahuku pun meledak-ledak tanpa jeda.
elaki bernama Ken itu memiliki bisnis dalam hal menyenangkan orang. Ayahnya berasal dari Jepang
dan tubuhnya dipenuhi tatto yang spesifik. Tatapan matanya tajam, raut wajahnya dingin. Pisau,
lubang, dan cairan kental berwarna merah itu ….

“Ya Tuhan.” Jantungku berdegub kencang. “Ken pasti ada hubungannya dengan Yakuza yang
menjalankan salah satu bisnisnya di sini. Bisa jadi ia adalah seorang pembunuh bayaran.” Aku
berbicara pada diriku sendiri.

Suara deru kendaraan membuyarkan semua hal yang ada dalam benakku. Dari balik tirai aku melihat
kendaraan four wheel drive milik Ken keluar. Aku berpikir inilah kesempatanku untuk menebus semua
rasa penasaran, kebetulan Mama dan Papa tengah menginap di rumah Kak Vera.

Dalam keremangan lampu taman aku berjingkat menghampiri gundukan tanah yang berada diantara
rumpun mawar. Bisa jadi enam kaki di bawah sana ada raga yang menanti untuk diungkap. Aku
bergidik lalu meneruskan langkahku menuju teras.

Tirai jendela berkaca besar itu tidak ditutup. Aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jelas apa
yang ada di dalam sana. Mataku terbeliak ketika melihat banyak sekali jenis pisau yang tergeletak di
meja. Dua buah katana menempel bersilangan di dinding, Sebuah busur lengkap beserta anak
panahnya berdiri tegak di sudut ruangan berbatu-bata merah itu.

Perlahan aku berjalan ke arah garasi yang terbuka, berharap ada sesuatu yang bisa menguatkan
dugaanku. Di lantai terlihat masih ada noda-noda merah yang telah mengering sedangkan yang di
jalan telah ia bersihkan sesaat setelah kegiatan angkut-mengangkutnya selesai.

Rasa penasaranku kian memuncak ketika melihat tumpukan box kontainer di sudut ruangan, perlahan
kubuka tutupnya. Belum sempat aku melihat isinya, sinar lampu halogen lebih dulu menangkap basah
wajah terkejutku.

Ken keluar dari kendaraannya dan menatapku heran. Sejenak aku terpaku namun segera menyadari
situasi yang tengah terjadi.
“Pus … pus … Bonnie … dimana kamu …” Aku merasa suaraku sedikit bergetar, aku tak bisa menutupi
rasa takutku.
“Vanya?” Ken menghampiriku.
“Mmhhh … maaf, aku tidak permisi dulu masuk kemari. Aku mencari Bonnie.” Aku mencoba berkata
dengan setenang mungkin.
“Bonnie? Bukannya kemarin dia baru saja dikuburkan?” Ken menatapku penuh selidik.
Deg.
Mengapa aku bisa lupa hal itu. Aku mengumpat pada diriku sendiri.
“Eh … ak …”
Ken memandangi kakiku, aku baru sadar bila sandal yang aku gunakan terkena lumpur yang berada
di dekat rumpun mawar tadi. Ken menatap mataku tajam.

“Mmmhh … maaf atas gangguan ini, aku pulang, Papa dan Mama pasti mencariku.”
“Tidak ada yang mencari kamu. Orangtua kamu pergi, ya kan?” Ken menghalangi jalanku.
Aku tak mengerti mengapa dia mengetahui itu semua. Jangan-jangan dia tahu kalau selama ini aku
memata-matainya.
“Tapi ini sebuah kebetulan yang menyenangkan karena aku tidak perlu memaksa kamu untuk datang
kemari.”
Glek.

“Yuk.” Ken meraih pergelangan tanganku lalu memaksaku berjalan. Aku berusaha melepaskan diri
namun genggaman tangannya tak dapat dilawan.
Perutku mendadak mual, aku ingin berteriak namun mulutku seakan terkunci rapat.
Ya Tuhan, apakah aku akan menjadi korban berikutnya?

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, rasa takutku telah memburamkan akal sehatku. Kini aku ada
dalam ambang kepasrahan. Aku hanya bisa berdoa bahwa hari ini bukanlah hari terakhirku berada di
dunia. Bukankah keajaiban itu selalu ada?

Aku melirik ke arah meja yang dipenuhi oleh berbagai macam pisau dan Ken mengambil salah
satunya. Ia tersenyum kecil, meraih sebuah kacamata bergaya militer yang tergeletak di sofa.
Ken kembali membawaku, melewati ruang keluarga, lorong lalu dapur, tempat di mana aku dulu
sering membantu Oma Irene untuk membuat Ontbijtkoek, kue kegemaran putra sulungnya.

“Kamu mau bawa aku kemana?” Aku memberanikan diri untuk bertanya dalam selubung ketakutan
yang meraja.
“Bukan kejutan kalau kamu tahu lebih dulu, ya kan?” Ken membuka pintu menuju ruang bawah
tanah, ruang yang dulu digunakan oleh Opa Jan sebagai tempat penyimpanan botol-botol anggurnya
yang bersejarah.
“Aku tidak mau kesana! Dengar ya Tuan Hamada, aku akan berteriak sekeras-kerasnya.”
“Teriak? Wah wah aku tidak menyangka tamu pertamaku ini sangat ekspresif.” Ken berkata dingin.
“Ayo jalan, hati-hati dengan tangganya.” Ken membimbingku menuruni anak tangga.

Kini aku terperangkap dalam kegelapan, Ken mendudukanku di kursi.


“Tetap disini, jangan bergerak.”
Begitu Ken menjauh, tanpa pikir panjang aku pun bergegas bangkit untuk melarikan diri. Namun sial,
kegelapan bukanlah teman yang baik bagiku, aku terjatuh dan bibirku terantuk ujung kursi. Rasa
perih menjalar dengan cepat.

Tiba-tiba ruangan bermandikan sinar temaram.


“Kamu mau kemana?” Ken menghampiriku yang terduduk di lantai.
“Bibir kamu berdarah, tunggu sebentar.” Ken beranjak. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
melesat ke arah pintu. Namun langkah lebar Ken mengalahkan usahaku untuk melarikan diri.

Kini lelaki itu telah ada di hadapanku lalu membalikkan tubuhku menghadap meja.
“Aku hanya akan mengajakmu makan malam, kenapa kamu malah blingsatan seperti ini?” Ken
menunjuk meja makan.

Oh tidak, apakah hidangan itu adalah perjamuan terakhirku sebelum dia …


Aku menatap nanar meja besar dengan penataan yang sangat elegan itu.
Tubuhku menggigil, aku menangis dalam keputusasaan.

“Sudah jangan menangis, ini luka kecil kok.” Ken menyeka darah yang ada di bibirku dengan
selembar serbet.
“Tolong lepaskan aku, aku tidak bermaksud memata-matai kamu. Aku berjanji rahasiamu akan aman
di tanganku.” Tiba-tiba keberanianku keluar dari persembunyiannya.
“Rahasia apa?” Ken menatapku dengan bingung namun ia pun segera mafhum.
“Ooh ini? Tidak, ini semua bukan rahasia, nanti juga akan banyak yang tahu terutama para
pelangganku.” Lanjutnya santai.

“Ken sebaik apapun kamu menyembunyikan semua perbuatan busukmu pada waktunya pasti akan
terbongkar juga.”
“Asal kamu tahu ya setelah kamu menguburku di ruangan bawah tanah ini, aku akan selalu
menghantuimu, camkan itu Tuan.” Aku merepet, Ken melongo.
“Kamu tidak bisa menutupi semuanya, bisnis menyenangkan orang, gundukan tanah di halaman,
ceceran cairan merah, pisau serta senjata tajam di ruang tamu, dan semua tattomu itu adalah bukti.”
“Satu lagi, kamu pernah bertanya di mana rumah Pak RT kan? Itu karena kamu harus mengukur jarak
aman untuk semua tindak kejahatan yang akan kamu lakukan, apa aku salah?”
Aku menggertak namun bergidik ketika menatap sang naga yang tengah menjulurkan lidahnya di
lengan lelaki itu.

Ken mengerutkan dahinya, raut wajahnya yang dingin berubah seketika, tawanya pun meledak.
“Ya ampun, Vanya .. kamu terlalu banyak membaca novel thriller. Kamu kira aku akan menghabisimu
karena aku tahu kalau kamu sering mematai-mataiku, begitu?”
“Sini biar aku jelaskan.”
“Aku tak butuh penjelasan, aku sudah punya bukti.” Mendadak keberanianku meledak-ledak.
“Hmm ternyata perkataan Papa kamu benar bila kamu itu keras kepala. Tapi bagaimanapun juga, aku
akan menjelaskan semuanya agar tidak ada salah faham diantara kita.” Ken tersenyum dan
mempersilakanku duduk.

“Vanya, aku adalah chef untuk restoranku sendiri. Bukankah restoran adalah salah satu bisnis yang
dapat menyenangkan orang?”
“Dan seorang chef memerlukan banyak pisau untuk mengolah makanan, iya kan?”
“Gundukan tanah dekat rumpun mawar itu adalah tempatku mengubur beberapa buah semangka
hasil panen seorang teman agar tahan lama.”
“Beberapa senjata di ruang tamu adalah peninggalan moyangku yang kami dapat secara turun-
temurun.” Ken menatapku, namun kini tidak sedingin biasanya.
“Dan tentang rumah Pak RT. Vanya, aku ini penduduk baru di sini, aku wajib melaporkan
keberadaanku.”
“Apalagi, oh ya tatto, setiap orang memiliki hak untuk menggambari tubuhnya. Ular, naga, serta
burung phoenix memang identik dengan Yakuza namun tak berarti aku ini salah satu dari mereka
kan? Jangan mengada-ada.” Ken tersenyum simpul.

“Semua analisaku tidak mengada-ada, aku punya bukti. Bagaimana dengan cairan merah itu? Kamu
tidak bisa mengelak dari bukti yang satu itu.” Aku berkata galak, rasa takut ku mendadak lenyap.
“Ah ya, darah? Itu memang darah tepatnya darah rusa, kebetulan saat itu plastik pembungkusnya
sobek.”
“Dan rusa itulah yang menjadi hidangan utama malam ini.” Ken tersenyum.
Aku terhenyak mendengar semua penjelasan Ken, tubuhku kaku pikiranku buntu.

“Vanya, sudah lama aku ingin mewujudkan hal ini.”


Cleguk. Aku menelan ludah.
“Sebuah konsep jamuan makan malam dalam kegelapan. Para tamu akan menikmati hidangannya
tanpa melihat rupa dari makanan yang akan mereka santap.”
“Dan malam ini aku ingin menguji cobakan konsep baruku ini.”

“Sebenarnya aku mengundang orangtuamu juga.”


Aku menelan ludah kembali, rasa malu menjalar di seluruh aliran darahku.

“Jadi kamu bersedia kan menjadi tamu pertamaku dalam perjamuan malam kali ini?”
Tanpa menunggu jawabanku, Ken langsung memadamkan lilin dengan sekali kibas
Jimat Bertuah
Cerpen Karangan: O. W. L
Kategori: Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 14 February 2021

Di sebuah rumah tua yang berada di ujung desa, seorang anak sedang bermain catur melawan
ayahnya, seharusnya pada jam-jam itu si anak sedang bermain bola voli di lapangan desa, namun
karena hujan yang tak kunjung reda sejak siang itu si anak harus merelakan waktunya bermain untuk
menemani ayahnya bermain catur. Bukannya si anak payah dalam permainan itu, bahkan bisa
dibilang si anak lebih sering unggul ketika bermain catur melawan ayahnya, hanya saja si anak mulai
bosan.

“bagaimana jika kita bertaruh pada permainan berikutnya?” usul si anak tiba-tiba, si ayah yang
mengerti bahwa anaknya mulai bosan dipaksa bermain catur terus-menerus mengiyakannya usul
anaknya tesebut
“oke, apa taruhannya kalau begitu?”, tanya si ayah.

Si anak terdiam beberapa saat, lalu mengusulkan “bagaimana jika yang menang akan mendapatkan
500 ribu sebagai hadiah”,
si ayah mengerutkan dahinya mendengar usulan anaknya “aahh, usulan yang bagus sebenarnya, tapi
bukankah kau tau bahwa ayah sedang tak ada uang saat ini” kata sang ayah merasa keberatan
dengan usulan anaknya,
“ah, ayolah” bujuk sang anak “bukankah belum tentu aku yang akan menang kan yah”,
“hmm, tapi angka itu terla-”
“sudah turuti saja dulu kemauan anakmu, pak” si ibu yang sedari tadi menjahit baju ikut memaksa si
ayah.
“benar kata ibu, ayah. Kita bermain saja dulu, jika memang ayah yang kalah nanti, ayah bisa
membayarnya kapan-kapan, hahaha” canda si anak, yang aslinya berharap mendapatkan uang itu
“baiklah-baiklah, kalau begitu ayah tak akan kalah kali ini”
“nah, itu baru semangat”, Si ibu hanya tersenyum melihat kelakuan suami dan anaknya itu.

Permainan dilanjutkan. Hujan diluar sudah mulai mereda sejak beberapa saat yang lalu, anak dan
ayah yang sedang bermain catur itu kini tenggelam dalam fikiran mereka. Sang anak yang berusaha
menang untuk dapat 500 ribu dan sang ayah yang berusaha untuk tidak kehilangan 500 ribu yang
bahkan mungkin tak ia punya. Keheningan ruang keluarga itu mendadak buyar ketika tiba-tiba
terdengar suara ketukan di pintu rumah mereka. Si ibu bergegas membukakan pintu untuk
mempersilakan tamu yang datang itu.

“ah, rupanya kau yang datang, sejak kapan kau pulang kampung?” suara sang ibu menyambut tamu
yang datang itu
“baru dua hari yang lalu aku datang yu” terdengar suara berat lelaki yang bertamu itu.
“silakan, silakan, masmu sedang bermain catur dengan anaknya di ruang keluarga, masuk saja”
“terima kasih yu”

Sesaat kemudian muncul seseorang di ruang keluarga itu, si ayah dan anak menoleh hampir
bersamaaan. Orang itu berbadan kurus tapi perawakannya tinggi, raut mukanya tegas dengan sorot
mata yang tajam. Terlihat tulang pipinya yang menonjol yang membuatnya terlihat kurus.

“lama tak jumpa, paman” sapa si anak


“kapan kau pulang, dik? Aku tak dengar berita kepulanganmu” sahut si ayah kemudian
“ah, aku baru sampai dua hari yang lalu, mas. Ada sedikit urusan di rumah” jawab tamu itu.
“oh iya, masalah itu yaa” kata si ayah tiba-tiba
“benar sekali, mas. Tapi sekarang sudah selesai”
“begitu yaa, beruntunglah kalau begitu”

Si anak yang tak tahu apa yang dibicarakan oleh ayah dan tamunya itu hanya diam saja seolah
sedang memikirkan langkah selanjutnya yang harus dia ambil dalam permainan catur melawan
ayahnya. Ayahnya yang sudah tidak terlalu fokus dengan permainan caturnya itu akhirnya kalah.

“aku menang ayah, kau berhutan kepadaku, hahahaa”, kata si anak dengan bangga
“ah ini pasti gara-gara aku yang terus mengajakmu bicara kak, kau jadi kalah melawan anakmu” kata
si tamu tersebut
“tak usah dipikirkan dik, tanpa kau ganggu pun mungkin aku akan kalah” jawab si ayah dengan
tenang
“sudah-sudah, aku tak akan membahasnya lagi paman” kata si anak “tapi aku kini penasaran dengan
pembicaraan kalian, bisa kau ceritaka kepadaku apa yang sebenarnya kau alami, paman?”
“benar, aku juga sedikit penasaran dengan ceritamu itu dik” kata si ibu yang muncul dari dapur
dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh dan camilan. Setelah menyeruput tehnya tamu itu
pun memulai ceritanya.

“tiga bulan yang lalu, aku pergi ke barat untuk mengadu nasib dan berusaha mengumpulkan uang.
Karena masalah hutang yang menumpuk di desa ini karena ulah istriku yang terdahulu. Kemudian
ketika aku sudah tak mampu lagi mengusahakan jalan yang benar untuk membayar hutang-hutang
itu, akhirnya aku memutuskan untuk mencari sesuatu yang dapat meningkatkan keberuntunganku
lalu aku tiba-tiba bertemu dengan seseorang tanpa sengaja, ornag itu kemudan menyarankanku
untuk pergi ke pulau Juru yang ada di timur laut kota itu, aku menuruti perkataan orang itu, tujuanku
kesana adalah untuk mencari sebuah jimat keberuntungan yang kabarnya banyak terdapat disana.
Aku pergi kesana sekitar tiga minggu yang lalu”

“pulau juru? Baru dengar aku” kata si ayah sambil manggut-manggut memegang jenggotnya
“iya, memang pulau itu tidak terlalu terkenal dan jarang diketahui orang desa seperti kita, mas” tamu
itu kemudian melanjutkan ceritanya, “tak ada yang istimewa di pulau itu. Kebanyakan orang-
orangnya hidup dengan mengandalkan hasil melaut karena sebagian besar orang disana berprofesi
sebagai nelayan. Ketika aku menyanpaikan kepada mereka bahwa apa tujuanku disana lalu aku
dipertemukan dengan sesepuh yang ada di pulau itu. Dia berpesan padaku, jika aku menginginkan
jimat keberuntungan itu aku harus membawakan ikan hasil tangkapanku kepada penjaga hutan di
pulau itu, katanya setelah aku membawakan ikan kepada penjaga itu selama tujuh hari maka si
penjaga hutan itu akan memberiku apa yang aku mau”

“jadi paman menjadi nelayan selama tujuh hari di pulau itu?” kata si anak yang semakin tertarik
dengan cerita tamunya itu.
“benar, aku menangkap ikan di pulau itu selama tujuh hari” kenang si tamu.
“lalu kau berikan ikan hasil tangkapanmu ke penjaga hutan itu?” kali ini si ibu yang betanya
“benar yu, aku memberikan setiap hasil tangkapanku”
“dan kau mendapat jimat itu, dik?” kali ini sang ayah yang bertanya
“ya, aku mendapatkannya mas”
“lalu apa yang dapat dilakukan jimat itu?” sepertinya si ayah juga mulai tertarik dengan cerita si tamu

“jimat itu bisa nelakukan dua hal, mas”


“dan hal itu adalah?”
Tamu itu agak ragu sebelum menjawabnya, kemudian setelah beberapa saat dia berkata “dua hal
yang bisa dilakukan jimat itu, mas. Satu, hal yang sangat ajaib dan hebat” si tamu terdiam sesaat
ketika dia akan melanjutkan kalimatnya
“dan yang satunya?”, tanya si anak yang sudah sangat penasaran sekarang
Si tamu menelan ludah dan menjawabnya dengan suara yang sangat pelan, “sesuatu yang
mengerikan, nak”
“mengerikan? Mengerikan seperti apa?” tanya si ayah yang terlihat bingung dengan jawaban tamunya
itu.

“jadi begini mas, segala sesuatu yang hilang dari kita atau yang kita dapatkan pasti memiliki harga
yang setimpal dengan apa yang kita dapat atau yang hilang dari kita. Itu lah konsep dasar dari benda
ini” si tamu menjelaskannya dengan nada yang rendah dan tenang, namun dengan penekanan yang
jelas disetiap katanya. Sesekali ketika sedang menjelaskan si tamu itu memegang sesuatu yang ada
di saku bajunya. Si ayah yang sepertinya menyadari hal ini kemudian bertanya.
“kulihat daritadi kau sering memegang saku bajumu dik, ada apa?” tanya si ayah penuh selidik
“ah, bukan apa-apa mas” jawab si tamu dengan singkat
“itukah?” tanya si anak dengan pupil matanya yang membesar seolah menemukan sesuatu yang
selama ini dicarinya
“ah, jadi kau menyadarinya, nak” kata tamu itu
“coba, aku ingin melihatnya, jimatmu itu” kata si ayah kepada tamunya

Tamu itu terlihat ragu untuk beberapa saat, kemudian dia memandang mata si ayah dan anaknya
yang begitu penasaran dengan benda yang didapatknya itu. Seolah luluh, akhirnya si tamu itu
mengambil sebuah bungkusan yang ada di dalam sakunya itu lalu pelan-pelan meletakkannya di
samping papan catur. Bungkusan itu dibalut dengan daun jati dan diikat dengan tali rami berwarna
coklat, terlihat sangat kusam dan sudah sejak lama karena daun jati yang digunakan sudah agak
mengering.

“apa isinya ini dik?” kali ini si ibu yang memuaskan rasa penasarannya
“silakan dibuka saja, yu atau mas, tidak apa-apa” jawab pemilik benda itu

Si ayah kemudian membuka tali yang mengikat bungkusan itu kemudian pelan-pelan membuka
bungkusannya. Setelah bungkusan itu tebuka, terlihat sebuah benda yang panjangnya mungkin
sepanjang telunjuk orang dewasa, benda itu berwarna coklat tua, benda itu terlihat mengkerut dan
kering seolah seperti sebuah jari yang diawetkan.

“itulah jempol emas, mas, yu, dik” kata tamu itu menjawab semua pertanyaan yang terpancar di raut
muka ketiga tuan rumah yang melihat benda itu.
“jadi benar-benar jari manusia yaa” kata si ayah sambil memegang janggutnya
“sepertinya bukan mas,” kata si tamu “jika diperhatikan itu adalah jempol”
“ah benar katamu dik, jika diperhatikan baik-baik benda ini memang mirip jempol manusia… Tapi
kenapa aku merasa ada yang aneh..” si ibu menimpali sambil sedikit mencondongkan badannya
kedepan, si ibu tak begitu berani dekat-dekat dengan benda itu
“itu pasti karena ukurannya yu, jika jempol yang sudah dikeringkan saja sepanjang jari telunjuk,
maka seberapa besar ukurannya ketika normal. Pasti sangat besar, belum lagi seberapa besar tangan
pemilik jempol itu”
“mungkin ini bukan jempol manusia, paman” kini si anak memberi usul
“aku juga tak tau pasti, nak. Tapi yang jelas ini adalah benda yang diberikan oleh penunggu hutan di
pulai juru” tamu itu berusaha menjelaskan

“lalu,” kata ayah sambil mencondongkan badannya “apa yang bisa dilakukan benda ini, dik?”
“aku juga tak yakin, mas”
“maksudmu, dik? Tak yakin bagaimana? Apakah benda ini tak manjur?”
“begini mas, ketika aku menerima benda ini, aku diberitahu bahwa benda ini dapat mengabulkan 3
permintaan, namun si penjaga hutan mewanti-wanti aku agar tidak menggunakan ketiga-tiganya, dan
katanya ‘segala sesuatu pasti ada harganya, tak peduli itu kecil ataupun besar’,”

“hmm, aku kurang paham dengan peraturannya. Ah, lalu bagaimana? Apakah benda ini benar-benar
mengabulkan permintaanmu?” tanya si ayah dengan raut muka yang sudah mulai tak tertarik
“jawabannya ‘ya’ dan ‘tidak’, mas” jawab tamu itu
“bagaimana itu?”
“ya, karena aku memang berhasil mendapatkan apa yang aku minta, dan tidak karena aku juga
merasa apa yang aku dapatkan adalah karena usahaku sendiri.”
“jadi?”
“aku tak berpikir bahwa benda ini benar-benar jimat yang mengabulkan permintaan…”
“sudah kuduga seperti itu, hahaha” jawab si ayah sambil tertawa “sejak awal aku sudah meragukan
ceritamu, dik. Dan kau dipaksa memberikan hasil kerja kerasmu selama seminggu mencari ikan untuk
si penjaga hutan itu, dik. Hahaha”
“ya, kurasa benar begitu, mas” jawab tamu itu dengan menunduk, kelihatannya dia malu sekarang
“tapi tak apalah, sekarang masalahmu sudah selesai bukan, hutang-hutangmu juga sudah lunas, jadi
tak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang” si ibu mencoba menyemangati tamunya itu.

Setelah itu obrolan pun berganti ke topik yang lain. Tamu itu pulang ketika hujan benar-benar sudah
reda. Lalu ketika ibu sedang membereskan meja catur di ruang keluarga, si ibu melihat bahwa benda
milik tamu tadi tertinggal disana. Ibu memanggil ayah yang saat itu sedang merokok di sofa dan
mengatakan bahwa jimat milik si tamu itu tertinggal lalu memberikan benda itu ke ayah. Si anak
hendak pergi ke kamarnya ketika dia melihat ayahnya sedang mengamati benda milik tamunya yang
baru saja pulang itu.

“mungkin ayah bisa mencobanya” kata si anak tiba-tiba


“apa? Dan kau akan membiarkanku bekerja untuk apa yang aku inginkan, ayah sudah melakukan itu
sejak dulu. Dan tanpa bantuan jimat, nak”
“kalau begitu bagaimana jika ayah berharap agar mendapatkan sesuatu tanpa harus bekerja untuk
mendapatkanmya”
“hey, itu ide yang bagus, hahaha” jawab si ayah dengan bercanda
“benar kan” jawab si anak sambil tersenyum “nah, sekarang cobalah, yah”
“baiklah, baiklah” si ayah menggenggam benda itu dengan tangan kanan, mengangkatnya ke udara
kemudian berkata “karena aku sedang berhutang 500 ribu kepada anakku, maka aku berharap aku
mendapatkan 500 ribu tanpa harus bekerja!!”

Si ayah dan anak itu terdiam beberapa saat, seolah seperti sedang menunggu sesuatu.
“aah, lihat kan, ayah seperti orang bodoh saja” kata si ayah tiba-tiba dengan nada kesal
“hahaha, maafkan aku ayah. Aku hanya sedang ingin bercanda” kata si anak sambil tertawa
mengejek, ternyata anak ini juga tak begitu percaya dengan cerita tamu ayahnya tadi.
Tak terjadi apa-apa malam itu.

Keesokan harinya semua berjalan dengan normal seperti biasa. Si anak akan pergi berlibur ke rumah
neneknya menggunakan bus antarkota. Karena hari itu adalah hari sabtu, ayah tidak pergi bekerja
karena hari kerja di kantor ayah hanya sampai hari jumat. Pagi menjelang siang ketika si ayah sedang
menikmati secangkir teh di teras rumahnya sambil membaca koran, ketika ada seseorang yang
datang dengan tergesa-gesa menemui ayah. Orang itu memberi kabar bahwa bus yang ditumpangi
putranya pagi ini mengalami kecelakaan, dan semua dan sebagian besar penumpang meninggal
dunia. Syukurlah si anak tak sampai meninggal dalam kecelakaan itu, namun kondisinya juga tak bisa
dibilang baik. Si anak saat ini sedang dirawat di rumah sakit yang ada di kota itu dan keadaannya kini
sedang koma.

Ayah dan ibu bergegas pergi ke rumah sakit itu untuk memastikan keadaan anaknya. Ketika sedang
menunggui anaknya di ruangan rumah sakit, si ayah didatangi oleh agen yang merupakan perwakilan
dari perusahaan pemilik jasa angkutan yang ditumpangi oleh anaknya. Kedatangan agen itu
bermaksud untuk memberikan dana asuransi yang menjadi hak penumpang jika kendaraan dari
perusahaan itu mengalami hal-hal yang merugikan penumpang.

“asuransi?” tanya si ayah yang sedikit bingun


“benar pak, setiap penumpang yang membayar karcis akan dilindungi oleh asuransi kalau-kalau
terjadi hal yang tak diinginkan seperti ini” jawab agen itu
“lalu seberapa banyak anak saya mendapat dana asuransi itu?” tanya si ayah mulai ketakutan
“500 ribu pak,” jawab si agen dengan rau wajah prihatin “mungkin hanya sedikit, tapi semoga bisa
meringankan beban bapak”

Ketakutan tegambar jelas di wajah ayah, dia menutup mukutnya yang menganga, matanya melotot
seolah tak percaya. Wajahnya berubah pucat pasi. Si ayah terduduk di kursi tak berdaya, lamat-lamat
dalam fikirannya dia teringat dengan benda yang ditinggalkan tamunya semalam, yang kini masih
tergeletak di meja catur di ruang keluarga rumahnya

– TAMAT –
Jelajah Masa Lalu, Dengan Ragaku
Cerpen Karangan: Nadia Pratiwi
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 29 January 2021

Langit malam yang nampak suram. Melukiskan kesuraman yang sama, seperti penampilanku malam
ini. Baju hitam, yang penuh dengan bercak darah. Serta pisau belati, yang masih berlumuran darah.
Terlihat jelas di depanku. Juga seorang wanita berambut panjang dan baju yang berwarna hitam,
yang terkapar dengan banyaknya darah keluar. Keringat yang menguncur, serta seluruh badan yang
masih gemetar, tak lagi bisa aku definisikan. Menunduk, menangis di sela-sela tangan, terus aku
lakukan. Hingga ragaku ingin saja keluar. Sejenak, ingin jalan-jalan. Melihat semua rentetan kejadian.
Sebelum akhirnya, aku dipanggil tuhan. Atau, aku menyusul seseorang dilain jalan.

RENTETAN KEJADIAN, SAAT DULU..


“gantengnya cucu omma. siapa namanya ra?” dia adalah ommaku. Orang yang menimangku kali
pertama bertemu dengan cucu pertamanya.
“namanya Anzo Elvarino” di sudut ruangan yang sama, ada seorang wanita yang masih terbaring
lemah di depan omma. Dia adalah ibuku, Ranata. Yang masih bermesraan dengan seorang laki-laki,
dengan usia hampir menginjak 30 tahun. 2 hari lagi.

Kejadian awal yang masih membuat ragaku tersenyum menyaksikannya.

Saat aku lahir sampai berusia 2 tahun. Omma menetap di rumahku. Omma ikut membantu
mengurusku kecil. Kehidupan saat itu, terasa sangat harmonis. Bahkan, ayah dan ibu selalu
menunjukkan kemesraannya di hadapan omma. Terlihat sangat membahagiakan kehidupanku dulu.

Semuanya, seakan terjadi begitu cepat. Kini, ragaku memandang banyaknya orang yang berlalu-
lalang. Kertas yang tadinya dibawa bertumpuk-tumpuk di tangan mereka, kini terbang tak tahu arah.
Para reporter yang berlarian, dan menghadang ragaku saling berdempetan. Aku melihat semuanya,
melihat ayah yang dibawa oleh banyak polisi, serta borgol yang melekat di tangannya. Ayah terlibat
kasus korupsi dana perusahaan. Ayah dipenjarakan. Serta aset rumah dan mobil, tak boleh
meninggalkan sisa. Semuanya, harus disita.

Ragaku berjalan pelan-pelan, menyusuri beberapa reporter liputan untuk memasuki rumah. Aku
melihat kuatnya tangan ibu, yang memegangi tangan polisi memohon untuk tak disita. Omma masih
menggendongku yang sudah berusia 4 tahun. Tiba-tiba, aku melihat tubuh omma shock dan jatuh
terbaring di lantai. Aku kecil yang tak berdaya. Serta masih di pelukan omma. Itu terlihat, sangat
menyedihkan.

Ragaku kali ini, tak sanggup menyaksikan rentetan kejadian lain. Tiba-tiba, tanganku ditarik oleh
seseorang. Raga seorang wanita yang menutupi wajah dengan rambutnya sendiri.

“lanjutkan. di ujung sana, aku akan menemanimu, dan menunjukkan sesuatu.” Benar-benar raga
yang misterius. Setelah dia mengatakan ini, dia menghilang tanpa jejak.

Ragaku kembali melanjutkan perjalanan. Ragaku, melihat aku yang berada di rumah yang sangat
kecil. Hanya ada seorang ibu-ibu paruh baya dan satu orang anaknya. Ya, sudah pasti itu ibuku.
Sedangkan omma, dia meninggal ditempat saat ayah ditangkap. Omma shock berat dan membuat
darah tingginya naik. Serta, tak bisa diselamatkan.

Ragaku melihat seorang wanita, yang sedang memukul, menyeret, menampar, serta membenturkan
kepala anak kecil di depannya. Tentu saja, anak kecil itu adalah aku. Ragaku, hanya bisa
menggenggam kedua tangan yang tak bisa melawan. Ragaku, terus saja menyaksikan penganiayaan
yang dilayangkan seorang ibu kandung kepada anaknya, yang baru berusia 10 tahun.
Aku kecil yang sangat malang, harus menerima semua pelampiasan kemarahan ibu, terhadap
dunianya.

Ragaku mulai berjalan lagi. Kali ini, melihat perilaku ibu kepada aku yang yang sudah berusia 18
tahun. Yang makin menjadi-jadi. Ibu melampiasakan kekesalannya, kepadaku lagi, dan lagi.
Dihari yang sama, ragaku melihat aku yang tak biasanya diam jika diperlakukan kasar oleh ibu. Kini,
aku memberontak dan memutuskan meninggalkan ibu dari rumah.
Aku menjadi anak yang tak tahu arah. Luntang lantung tak jelas, dengan baju yang tak pernah
diganti, serta harus bergantung nasib di jalan raya. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya, hingga
menemukan seorang wanita yang ingin diajak bersenang-senang.

Kali ini, ragaku ditemani oleh raga perempuan misterius itu. Kami mengikuti aku, sedang berada di
gedung yang sangat gelap, serta panas. Kami melihat. Aku bersama wanita itu, bermesraan layaknya
anak muda sekarang. Puncaknya, aku Anzo elvarino mengajaknya berhubungan badan. Tapi sang
gadis itu, terus saja mengelaknya. Kondisi yang sepi, membuat tak ada orang yang bisa
membantunya.

Ragaku kembali melihat aku menyiksa dengan memukul, menampar, hingga menancapkan pisau
belati, ke tubuh wanita itu. 19 titik, aku jelajahi sambil menikmati tubuh wanita itu. Kini, ragaku
melihat kembali kondisi wanita itu, yang berlumuran darah karenaku. Tentu saja, pelajaran
menganiaya orang, aku pelajari dari ibu dulu.

Raga wanita misterius itu, kembali bersuara. “sebelumnya, aku ingin memberitahu kau tentang aku.
Aku adalah wanita yang dibunuhmu itu. 19 titik yang kau torehkan ke tubuhku, serta wajahku,
membuat wajahku tak berbentuk lagi. Maka dari itu, aku menutupi keseluruhan wajahku ini. Dan,
ragaku sudah terlepas bebas. Tapi, ragamu, masih harus menyatu dengan tubuh aslimu. Kuharap.
Kau bisa mempertanggung jawabkan semuanya. Sekian.” Raga wanita itu, tiba-tiba menghilang
sangat cepat.

Tak terasa, ragaku rasanya ingin patah melihat kenyataan, perempuan misterius itu adalah Winara,
gadis yang beberapa jam tadi, aku bunuh dengan pisau belati itu. Dan dia, meminta pertanggung
jawabku tetang semuanya.

Tak ada angin yang menghiasi gedung yang sangat gelap gulita ini. Tiba-tiba, ragaku terseret
layaknya angin tornato yang sedang beraksi. Ragaku terseret masuk ke dalam tubuh aku sebelumnya.

KEMBALI KE REALITA..

Aku dan raga, kini sudah mulai bersatu kembali. Aku menatap sekeliling, dan melihat kondisi yang
masih sama. Tapi, ada yang berbeda, winara sudah terbungkus kantong kuning milik polisi. Aku, yang
tak mau tertangkap basah oleh semua orang, langsung mengambil pisau belati di depanku. Dan
melayangkannya ke tubuhku sendiri. Sebelum nantinya, polisi mengetahui kondisiku yang masih
hidup.
Sambil memegangi bagian yang kutusuk tadi.
“winara, aku akan menyusulmu.”

SELESAI
Bulan Yang Merangkul Malam
Cerpen Karangan: Nugibara
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Mengharukan
Lolos moderasi pada: 29 June 2019

Di sebuah kota yang padat, dimana jumlah kendaraan lebih besar dari pada jumlah manusianya,
hiduplah seorang pria penyendiri yang sedang sibuk membersihkan gitarnya. Gitar yang menjadi saksi
bisu kehidupannya, hartanya yang sangat berharga, yang sangat dia sayang melebihi apapun yang
ada di dunia yang kejam ini. Dia terus menggosok gitar itu di bagian yang tadi sudah digosoknya
berkali-kali. Seolah gitar itu akan mengeluarkan jin yang akan mengabulkan semua keinginannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 09:30 WIB saat dia memantapkan gosokan yang terakhir pada tali
senar gitarnya. Dia lalu melangkah ke luar, bersiap untuk memulai pertualangan barunya. Dengan
mengenakan baju kaus putih polos dan celana jeans yang sengaja digunting hingga sampai di atas
lutut, dia pun terus berjalan dengan gitar yang disandang di bahunya.

Dia sampai di kawasan dimana dia biasanya melakukan ritualnya. Sebuah warteg kecil yang berada di
dekat trotoar jalan, dengan pelanggan yang sedang asik menyantap makanannya, dan sambil bicara
seru dengan orang yang berada di sampingnya. Tak ambil pusing, seolah bagai prajurit yang
mencabut pedang dari sarungnya, dia pun menyiapkan gitar ke posisi siap tempur. Dia memeluk gitar
itu dan jarinya menyentuh tali senar dengan tangan kiri yang membentuk kunci C. Lantunan lagu
Rhoma Irama yang berjudul Ani pun keluar dari mulut kecilnya. Sangat merdu, sendu dan mendayu.
Dia terus bernyanyi sekalipun tidak ada orang yang mendengar.

Belum ada setengah lagu, tapi seseorang dermawan sudah memasukkan kepingan logam ke dalam
kaleng kecil yang sudah disediakannya.
“Ah, kepingan receh pertamaku.” Pikirnya senang
Dia masih bernyanyi dan sekarang berpindah dari tempat duduk satu ke tempat duduk lainnya.

“Ngapain dikasih sih mas? Suaranya juga ga bagus-bagus amat.” Terdengar suara wanita dengan
nada memprotes dari arah belakangnya
“Ga apa-apalah, abisnya berisik, mas ga tahan. kan sekarang dia udah pergi.” Balas pria yang tadi
memberinya kepingan uang logam.
Pria itu mendengar percakapan singkat suami istri tadi. Tapi dia tidak peduli, dia hanya tersenyum
sambil melantunkan lagu Ani yang dibawakannya.

Sudah sejam lebih dia mengamen di sekitaran warteg tadi. Dikarenakan lelah, dia memutuskan untuk
istirahat sebentar. Dia mengeluarkan air minum dari dalam tasnya dan meneguknya. Dia lalu
menghitung penghasilan hari ini. Terkumpul Rp 60.000.
“Alhamdulillah.” Ucapnya bersyukur.

Setelah setengah jam istirahat. Dia akhirnya memulai kembali pertempuran ke duanya. Kali ini dia
berpindah lokasi ke sebuah Bus yang sedang parkir menunggu penumpang. Dia melangkah masuk,
Bus masih kosong. Dia pun duduk di salah satu bangku Bus itu, menunggu penumpang yang lain
datang, karena percuma jika dia bernyanyi sekarang, tidak bakal ada yang mendengarkan. Lama dia
menunggu tapi penumpang tak kunjung ada. Dia lalu beranjak dari kursinya dan melangkah turun
dari bus. Dia baru sadar jika seseorang mengikutinya turun dari Bus. Seorang anak sepertinya
berumur 13 tahun, dengan wajah polos dan mengenakan sendal jepit. Anak itu terus mengikutinya
kemanapun dia pergi. Dia tahu tapi pura-pura tidak memperhatikan
“Ntar juga pergi.” Pikirnya dalam hati.

Tapi sang anak terus mengikutinya kemanapun. Dia mulai kesal, dan melihat ke arah anak itu dengan
tatapan mmengusir
“Kenapa kau mengikutiku?” Katanya sedikit kesal.
Anak itu cuma menggeleng dan tertunduk takut. Dia pun melanjutkan perjalanannya untuk pindah ke
tempat selanjutnya. Setibanya dia di sebuah pasar, dia lalu mencari tempat yang berpotensi
menghasilkan duit. Dia memilih sebuah warung makan yang memang pelanggannya sedang ramai.

“Mbak, saya boleh ngamen di sini gak?” Dia bertanya kepada pemilik rumah makan.
“Boleh mas, tapi lagunya lagu anak muda ya mas, jangan dangdut.” Balas mbak pemilik warung.
“Sip mbak, makasih ya.” Sambil berjalan ke arah meja terdekat.

Dia lalu memikirkan sebuah lagu. Lagu yang lagi tren sekarang, lagu tentang pengkhianatan, semua
anak muda pasti tahu lagunya.
“Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu tapi tidak hatimu…” Sejenak
perhatiannya tertuju ke arah pintu masuk. Anak itu masih mengikutinya. Anak yang tadi turun dari
Bus dengannya. Anak itu balas melihatnya.
“…kau tak perlu berbohong kau masih menginginkannya, kurela kau dengannya asal kau bahagia.”
Dia melanjutkan lagunya yang sempat terpotong.
Dia melihat anak itu sedang memperhatikan makanan yang tersusun di atas meja.

Setelah selesai menyanyikan lagu anak mudanya, dia pun melangkah menghampiri si anak tadi.
“Kau lapar?” Tanyanya pada anak itu.
Anak itu mengangguk memelas
“Sini, ikut aku.” Dia mengajak anak itu ke salah satu meja makan yang masih kosong. Anak itu pun
berlari menghampirinya dengan girang.
“Mbak, makan satu ya.” Teriaknya pada mbak penjaga warung
“Lauknya apa mas?”
“Terserah mbak.”

Si mbak pun datang membawa sepiring nasi dengan lauk rendang dan kuah kari. Anak itu lantas
makan dengan lahapnya tanpa memperhatikan sekitar.
“Siapa namamu? Mengapa kau berkeliaran sendiri? Orangtuamu di mana?” Tanya pria itu.
Anak itu hanya terdiam sejenak, lalu lanjut makan. Sebentar saja nasinya pun habis. Anak itu terlihat
sangat senang.
“Kau sangat lapar rupanya.” Pria itu melanjutkan pertanyaanya.
“Apa kau tidak mendengarku? Aku bertanya siapa namamu? Mengapa kau berkeliaran sendiri di
kota?” Seolah tidak perduli anak itu hanya terdiam dan memandang pria itu.
“Ah, sudahlah. Kembalilah ke rumahmu. Orangtuamu pasti khawatir, aku pergi dulu.” Pria itu berdiri
ke arah kasir dan membayar makanannya.
Pria itu melangkah keluar rumah makan.

“Sepertinya cukup untuk hari ini. Aku sudah mengumpulkan uang untuk makan malam nanti.”
Pikirnya dalam hati.
Dia pun bersiap untuk pulang, menyandang kembali gitarnya. Dan melanjutkan perjalanannya.

Dia pun sampai ke rumah dan mencari kunci yang tadi diletakkannya di bawah vas bunga. Tapi betapa
kagenya dia melihat seseorang berdiri di belakangnya. Anak itu mengikutinya lagi.
“Astaga, apa yang kau lakukan di sini? Kan sudah kusuruh kau untuk pulang?” Pria itu bertanya
dengan wajah kaget.
Percuma, anak itu tetap tak mau bicara. Dia hanya terdiam, berdiri di tempatnya.
“Kau tersesat? Apa kau tidak tahu jalan pulang?”
Anak itu mengangguk.
“Huft, ya sudahlah. Ayo masuk, sepertinya hari akan hujan. Besok aku akan membawamu ke kantor
polisi, siapa tahu mereka bisa membantumu.” Dia mempersilahkan anak itu masuk.

“Duduklah di mana saja, aku akan membuatkanmu teh hangat.” Pria itu berjalan ke dapur dan mulai
memasak air. Anak itu hanya terdiam di sana. Duduk rapi tanpa terganggu. Dia bahkan tidak tahu di
mana dia berada sekarang. Bisa saja pria ini adalah penculik atau pembunuh. Tapi anak itu terlihat
tidak peduli.

“Minumlah, kau pasti letih seharian mengikutiku.” Berkata Sambil menyuguhkan teh hangat pada
anak itu.
Anak itu lalu menerimanya dengan senang dan mulai meniupnya.
“Apa kau memang tidak bisa bicara atau bagaimana?” Pria itu bertanya untuk kesekian kalinya.
Tapi anak itu tetap tidak menggubris pertanyaannya.
“Kamarku cuma satu, kau istirahatlah di dalam, aku akan tidur di sini.”

Keesokan harinya pun tiba. Pria ini sudah berada di kantor polisi, berharap polisi bisa menemukan
orangtuannya. Dia mengisi beberapa berkas untuk dijadikan bukti.
“Untuk sementara anak ini tetap akan tinggal dengan bapak ya. Soalnya kami tidak memiliki kamar
kosong di sini. Nanti setelah orangtuanya menghubungi kami, saya akan menjemputnya di rumah
bapak. Tidak keberatan?”
“Yah, tidak mengapa. Tapi sebaiknya bapak berusaha keras, saya bukan orang yang sanggup untuk
memberinya makan lebih lama lagi. Saya hanya pengamen.” Balas pria itu.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin.”
Pemuda itu lalu keluar dari sana dengan sang anak berada di sampingnya

“Aku tidak mungkin mengantarmu pulang. Lagian kau juga tidak bisa tinggal di rumah sendirian.” Pria
itu bertanya kepada si anak “Apa kau ikut mengamen denganku?” Si anak mengangguk tanda setuju.
“Baiklah, tapi kau tidak boleh mengeluh. Cuaca akan sangat panas hari ini.”
Mereka lalu bergerak ke lokasi tempat biasanya pria ini ngamen.
“Kau duduk disini.” Sambil memberikan kursi “Jangan kemana-mana. Ingat?”
Sekali lagi, anak itu mengangguk tanda mengerti.

Pria itu memulai aksinya, kali ini dengan lagu dangdut lainnya. Sepertinya si anak memang tidak mau
diam. Dia lantas berdiri dan mengambil kaleng tempat uang receh, dan mulai berkeliling untuk
meminta sumbangan. Pria itu sangat kaget atas apa yang dilakukan si anak. Dia ingin
menghentikannya tapi sepertinya si anak tidak ingin dihentikan. Pria itu lantas membiarkan si anak
melakukan apa yang sedang dilakukannya.
“Anak pintar” pikirnya sambil tersenyum.

Seharian mereka mengamen, dengan si anak yang kian lincah bergerak kesana kemari meminta
sumbangan. Hari sudah mulai sore. Mereka bersiap untuk pulang.
“Itu hanya untuk hari ini saja. Besok kau tidak lagi membantuku mengamen, kau paham? Aku tidak
mau dikira mengeksploitasi anak dibawah umur.” Pria itu berkata pada si anak.
Tapi seperti biasa anak itu tetap tidak menjawab dan hanya tersenyum.

Sepertinya butuh waktu lama bagi polisi untuk menemukan orangtua anak ini, sudah dua minggu
berlalu. Si anak tetap tinggal bersamanya di rumah ini. Mereka kian akrab. Si anak sekarang bukan
hanya mengangguk dan tersenyum, sekarang dia juga tertawa. Anak itu tetap ikut mengamen setiap
harinya. Seperti tidak mau dilarang, anak itu tetap membantu si pria mengamen, dia berkeliling
dengan kaleng yang berada di tangannya. Si pria tidak lagi mencoba melarangnya melakukan itu.

Waktu terus berlalu, hubungan mereka makin akrab. Beberapa kali pria itu menceritakan lelucon
lawas tentang si kancil yang menipu kawanan singa, dan si anak akan tertawa girang mendengarnya.
Anak ini bagaikan bulan yang menerangi gelap hidup malam pria ini. Berkat anak ini, si pria tidak lagi
kesepian. Sekalipun si anak tidak mengucapkan apapun, tapi pria ini sudah puas. Mendengar dia
tertawa saja sudah membuat hati pria ini tenang.

Saat si anak jatuh sakit. Pria ini begadang semalaman untuk menjaganya. Dia bahkan tidak
mengamen demi untuk berada dekat si anak.
Pria itu pergi ke supermarket untuk membeli obat. Dia membayar obat dengan uang hasil mengamen
dan sebenarnya uang itu untuk sarapan besok pagi. Tapi tidak mengapa, sarapan bisa dipikirkan
besok, yang jelas si anak harus sembuh.

Pria itu tiba di rumah, dia heran ada mobil mewah yang parkir di depan rumahnya, dan juga mobil
polisi.
“Maaf pak, ada apa ya?” Pria itu menanya pada polisi yang berada di depan rumahnya.
“Mas ini yang nemuin anak itu kan? Kami sudah berhasil menghubungi orangtua kandung si anak. Itu
mereka.”
Sepasang suami istri keluar dari mobil mewah itu, dia melihat si anak sudah berada di jok belakang
mobil, bersandar lemah.

“Saya mengucapkan banyak terima kasih, mas sudah merawat anak saya. Saat itu dia ingin menemui
ayahnya di kantor tanpa sepengetahuan saya. Dia lantas keluar rumah. Dan sejak itu kami tidak tahu
keberadaanya. Hingga polisi menghubungi kami.” Wanita muda itu berkata.
“Oh. Iya tidak mengapa, saya senang bisa merawatnya, tapi saat ini dia sedang sakit. Aku baru saja
membelikan obat.” Si pria memberikan obat itu pada si wanita.
“Oh! Tidak mengapa, kami akan membawanya ke rumah sakit, sekali lagi saya mengucapkan banyak
terima kasih sama mas, dia pasti sangat susah hidup di sini makanya sampai jatuh sakit.” Balas
wanita itu.
“Apa saya bisa bertemu dengannya sebentar?”
“Tentu saja.”

Si pria berjalan ke arah mobil, dan melihat si anak masih tertidur lemah. Badannya masih panas. Si
pria mengelus rambut si anak, dan menatap wajahnya dalam-dalam karena mungkin dia tidak akan
bisa lagi bertemu dengan anak ini.
“Kalau saya boleh tahu, siapa namanya?”
“Reyhan.” Jawab si ibu

Mereka pun pergi, meninggalkan pria ini sendiri.


Pria itu melihat sekeliling ruangan. Sepi. Biasanya si anak ada di sana dengannya, sedang duduk rapi
membaca komik yang dibelikan pria itu. Tapi sekarang semuanya sudah hilang. Komik itu masih
tersusun rapi di meja. Tidak tersentuh. Ruangan ini terasa pengap seketika. Seolah Bulan yang
selama ini menerangi malamnya, hilang ditelan awan gelap
“Reyhan.” Bibir pria itu berucap.

19 tahun kemudian.
“Apa semuanya sudah disiapkan?” Seseorang wanita berbicara dengan bawahannya
“Sudah buk, semua sudah tuntas. Saya boleh pulang sekarang?”
“Pergilah, tidak ada lagi yang dibutuhkan, biar aku yang mengurus pak tua itu.”
“Baiklah.” Kata wanita itu sambil berlalu.

Ruangan luas dengan ranjang yang tersusun rapi, sebuah meja di samping ranjang yang diatasnya
terdapat bunga lili dengan vas kaca. Terlihat seorang pria tua paruh baya sedang memandang ke arah
luar jendela. Mukanya letih seolah menggambarkan apa yang sudah dilaluinya semasa mudanya.
“Bapak baik-baik aja? Mari saya bantu ke tempat tidur.” Wanita itu berkata lembut kepada pak tua
itu. “Seseorang ingin bertemu dengan bapak, katanya dia teman bapak. Boleh saya persilahkan
masuk?”
Pria itu mengangguk.

Wanita itu keluar sebentar dan masuk lagi membawa seseorang. Pemuda tampan, dengan wajah
bersih terawat mengenakan seragam TNI masuk melangkah. Senyum pemuda itu merekah ramah,
pemuda gagah itu langsung menggenggam erat tangan pak tua itu, wajahnya menyiratkan rasa rindu
yang teramat sangat.
“Apa bapak masih mengingat saya?” Pemuda itu bertanya dengan lembut.
Pak tua itu hanya memandang sekilas wajah pemuda itu lalu membuang pandangannya tanda tak
tertarik.

Dengan mata yang berkaca-kaca, pemuda itu lantas bernyanyi


“Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu tapi tidak hatimu…” Pemuda itu
ingin melanjutkan nyanyiannya tapi tidak bisa, air matanya turun tanpa disadari, sesenggukan
menangis pilu.
Mendengar nyanyian itu pak tua itu lantas tertegun, memandang lekat ke arah pria gagah ini, dan ia
pun mulai meneteskan air mata. Rasa rindu yang dipendamnya pada anak yang dulu mengikutinya
turun dari Bus itu, keluar sudah, semua meluap bagaikan air pasang laut. Pak tua itu memeluk erat
pemuda itu. Seorang anak yang dulunya bahkan tidak bisa bicara dan kebingungan di dalam Bus, kini
berubah menjadi pemuda tampan dengan seragam TNI.

“Saya sudah mencari bapak kemana-mana, saya kembali ke rumah bapak yang dulu yang sempat
saya tinggali, tapi rumah itu sudah ditempati orang lain, saya tidak tahu lagi harus mencari bapak
kemana, saya sempat putus asa dan menyerah, hingga seorang teman menyarankan saya untuk
mencari ke panti jompo, saya memeriksa setiap panti jompo yang ada di kota ini, hingga akhirnya
saya menemukan bapak.” Pemuda itu tak kuat lagi menahan rasa harunya, dia berbicara dengan air
mata yang masih mengalir di pipinya. “Maafkan saya pak, maafkan saya tidak mencari bapak lebih
awal.”

“Reyhan.” Pak tua itu berkata lirih


“Iya pak, nama saya reyhan. Saya belum sempat memberitahukan kepada bapak, saya benar-benar
minta maaf.” Pemuda itu bersujud dan memeluk kaki pak tua ini.
“Kebaikan hati bapak sudah menginspirasi saya, bapak merawat saya, orang yang tidak bapak kenal,
saya tidak pernah menyerah dengan semua masalah yang saya hadapi, karena saya tahu bagaimana
susahnya hidup bapak, dibandingkan dengan hidup saya, perjuangan bapak sangat berarti dan terasa
perih.” Pemuda itu masih menangis sesengukan.

“Bangunlah, jangan bersujud. Aku masih ingin melihat wajahmu, kau sudah banyak berubah. Tapi
tidak dengan wajah ini-sambil mengelus wajah pemuda itu-wajahmu masih menyiratkan keluguan.
Wajah yang sama yang saya lihat 19 tahun lalu di dalam Bus itu.” Pak tua itu berusaha tegar
menahan harunya.
Pemuda itu sekali lagi memeluk pak tua dengan kasih sayang, seperti seorang anak yang akhirnya
berjumpa dengan ayah kandungnya.

Kebaikan hati pemuda yang dulu telah menyelamatkannya membawa si anak ke kehidupan yang lebih
baik. Pencarian si anak ahirnya berakhir. Dia berhasil menemukan orang yang paling ingin
dijumpainya itu. Berterima kasih sedalam-dalamnya karena telah menyelamatkannya.

Dan kini Bulan yang dulu sempat tenggelam dengan awan hitam, sekarang muncul lagi dengan sinar
yang memenuhi seluruh dunia dan kembali merangkul malam yang gelap
Senja Yang Temaram
Cerpen Karangan: Riska Widiana
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 24 October 2021

Suci telah lama duduk seorang diri sejak 1 jam yang lalu, selepas melepas kapal suaminya berlabuh
ke laut, maka lepas pula rindunya bersama lelaki itu. Ombak berderu menghantam tepian,
meninggalkan buih dan mengering. Keresahan mulai bertumbuh dalam dada suci, selepas kapal itu
hilang dari pandangan. Akankah sang suami akan kembali? selamat dalam pelayaran? serta baik-baik
saja dalam perjalanan? Begitulah keresahan bergumul dalam hatinya.

Sejak juan tiba-tiba ingin meminta izin kepadanya perihal pekerjaan yang ditawarkan kepada
suaminya itu, ia merasa hari-hari semakin muram, semuram perasaannya yang kian karam. “Bu,
bapak boleh berlayar kan? Kebetulan ada pekerjaan yang pas. Guna memperbaiki ekonomi kita bu,
lagian kan ibu tahu sendiri, pekerjaan di kampung ini tidak memadai, belum lagi biaya hidup yang
makin meningkat” suci hanya menghela napas berat tanpa menjawab ucapan suaminya sambil
melipat pakaian kering. Juan mendekat perlahan, sambil memegang pundak suci guna
meyakinkannya. “Aku tahu kau benci jika orang yang kau cintai pergi ke laut, juga kenangan lama
selalu menghantuimu, tapi bisakah sekali ini lawan ketakutan itu bu” dengan nada yang begitu halus
ia berusaha membujuk. Perempuan itu menghentikan pekerjaannya, ia menatap wajah juan dengan
seksama. “Bapak tahu kan, laut itu telah memakan anak kita, apa bapak ingin bernasib sama dengan
Jenni?”
“Buk, itu sudah takdir Tuhan, Jenni bukan ingin membahayakan dirinya, dia hanya ingin mencari
pekerjaan yang …”
“yang tak berguna, iya. Tak berguna. Pekerjaan di laut hanya menjual nyawa, selebihnya akan datang
kabar tentang kematian, apa itu yang bapak mau?” suci semakin meninggi, sedangkan juan semakin
bingung meyakinkan istrinya itu.
“Bu, saya mohon, sekali ini saja ya. Insya Allah saya akan baik-baik saja. Ini demi laras juga, dia
harus segera diobati. Bagaimanapun. Biaya pengobatannya tak akan cukup, mau cari ke mana lagi
kita” Sekali ini suci menunduk sedih, ia menatap laras yang terbaring lemah di atas dipan yang
terbuat dari bambu, serta kasur tipis yang sudah puluhan tahun tak terganti. Laras mengidap tumor di
bagian kepala kananya. Sehingga harus membutuhkan biaya yang besar demi kesembuhan dan biaya
operasi yang akan dilakukan.

“Aku tahu kau benci laut, tapi bisakah sekali ini kau berani melepasku berlayar untuk bekerja bersama
pak shahid. Dia berjanji akan menanggung biaya perobatan laras, asal aku mau ikut berlayar
dengannya menuju suatu pulau.” Dengan tertunduk lemah, suci akhirnya menyetujui keputusan juan,
tak ada pilihan lagi. Sebab pekerjaan mereka sebagai buruh yang bekerja serabutan sangat tidak
mencukupi. Mau tidak mau, maka pagi itu juga. Ketika matahari kekuningan, suci harus rela melepas
suaminya berlayar bersama pak shahid. Tentu saja itu semua membuat peristiwa lama yang membuat
hatinya terluka kembali terbuka. Saat ia melepas kepergian Jenni, anak pertamanya bersama juan.
Karena biaya hidup yang kian sulit, jenni memutuskan ikut berlayar dan bekerja di sebuah kapal milik
saudagar di kampung itu, namun sayangnya. Sebulan setelah kepergian jenni dari hadapan suci,
terdengarlah kabar bahwa kapal yang membawa anaknya berangkat telah karam dan jasad jenni tak
ditemukan oleh siapa pun. Begitu hancur hati suci, semenjak itulah ia benci sesuatu yang
bersangkutan dengan laut. Baik di pantai maupun berlayar. Maka ketika juan meminta izin untuk
berlayar, ia merasa peristiwa kelam itu akan kembali lagi. Namun mengingat laras anak bungsunya
yang harus segera dioperasi, suci menjadi lemah. Sebenci apa pun ia terhadap laut, namun
kehilangan orang yang dia cintai lebih sakit. Maka antara melepas juan berlayar dan melihat laras
yang terbaring lemah, ia sangat bimbang. Keduanya berisiko besar, maka oleh sebab itu dengan
melapangkan dada. Suci akhirnya melepas suaminya di dermaga pada pagi ini, untuk pertama kalinya
pula ia menjejakkan kaki di sebuah pantai setelah sekian tahun trauma dengan peristiwa yang
menyakitkan.

Matahari kian meninggi, semenjak kapal itu pergi, suci terus menatap laut lepas, sambil berdoa.
Berharap Tuhan menjaga juan dan memohon agar laut tak lagi merenggut nyawa orang yang ia cintai,
setelah jenni anaknya yang hilang dalam lautan tanpa kabar dan sepotong tubuh pun tak kembali
padanya.

Kondisi laras kian memburuk, dari hari ke hari ia mengeluh sakit, suci tak mampu berbuat banyak.
Sudah hampir sebulan, belum juga ada kabar dari juan. Bahkan sepotong pesan dari para pelaut
maupun yang pulang pergi berlayar saja nihil, uang hasil bekerja juan juga tidak ada sampai di
tangannya. Belum lagi janji keluarga pak shahid yang katanya ingin menanggung biaya perobatan
laras tidak terpenuhi hingga kini, alasan mereka selalu mengarah pak shahid. “itu kan kata pak shahid
bu, buka kata saya. Saya mah hanya di rumah saja dan tak tahu menahu soal perjanjian antara suami
saya dan keluarga anda” ucap istri bu shahid suatu hari ketika suci memberanikan diri dan
menebalkan muka untuk bertanya mengenai rencana pembiayaan laras. Faktanya sampai sekarang,
sepeser pun tidak ada uang yang ada padanya untuk membantu keluarga mereka. Manusia hanyalah
manusia, suka berjanji lalu gemar mengingkari. Suci harus menelan kepedihan seorang diri, tanpa
suaminya yang tanpa kabar.

Malam itu kondisi laras kian memprihatinkan. Dengan pertolongan beberapa warga, laras dilarikan ke
rumah sakit besar dan akan dioperasi malam itu juga, sebab tumor di kepalanya sudah mulai
menyebar. Laras agak gemetar memegang lembar kertas atas persetujuan operasi yang akan
dilakukan pada anaknya malam itu, ia bimbang sebab biaya dari mana ia dapat untuk biaya operasi
tersebut yang bernilai 15 juta rupiah, namun ketakutan akan kondisi laras membuatnya terdorong
kuat, tanpa kebimbangan, suci menandatangani surat persetujuan itu. Maka dimulailah operasi
dilakukan. Suci hanya tertunduk lunglai di sebuah kursi panjang. Ia menumpahkan kesedihannya
yang terpendam, bagaimana pun. Ia berharap sekali ini akan ada cara Tuhan memberikan
pertolongan, terutama biaya operasi laras. Namun sayangnya, takdir manusia siapa yang tahu, meski
sudah berjuang keras. Laras akhirnya tak mampu diselamatkan. Guncangan kedua bagi dunia suci,
kini ia telah sendiri. Sedangkan juan telah hilang kabar, seperti ditelan rimba.

Di dermaga sana, sebuah kapal merapat. Seorang laki-laki terlihat turun dengan membawa banyak
barang, berhari-hari ia terombang-ambing di lautan lepas, setelah dihantam badai seminggu setelah
berlayar, sebab Tuhan masih menyayanginya. Selama 5 hari juan terbawa arus lautan hingga
terdampar pada sebuah perkampungan, untungnya ia diselamatkan dengan baik oleh warga
setempat, lelaki itu sempat mengalami demam selama seminggu, kemudian berangsur pulih, di
perkampungan asing itu tiada satu pun sanak keluarga, juan berusaha keras ingin memberi kabar
kepada istrinya serta menanyakan kabar anaknya. Namun sayangnya, telepon satu-satunya milik suci
telah terjual, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari selama ia di pergi untuk berlayar, juan tinggal
bersama dengan seorang petani yang bekerja pada sebuah sawahnya yang luas, di sanalah ia
diperkerjakan dengan upah yang lumayan selama setahun penuh. Timbul keresahan hati juan, ia
mengenang kampung halaman beserta istri dan anaknya yang ia tinggal.

Setelah cukup biaya upah dari pak petani yang menolong keselamatannya. Juan meminta izin untuk
pulang menemui keluarganya, dengan berat hati, pak petani itu melepas juan berangkat dengan
sebuah kapal yang berlayar membawa barang, ia akan menumpang di sana untuk menuju
kampungnya. “Aku sebenarnya berat melepasmu pulang nak, selama setahun kau bekerja. Tak
kutemukan cacat dalam pekerjaanmu” ujar petani tua itu sambil memberikan banyak bekal kepada
juan. “Terima kasih banyak pak, saya sungguh tidak akan melupakan kebaikan bapak selama ini,
apalagi selama setahun ini saya hidup dengan bapak tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun, tapi
maafkanlah saya, saya harus menemui istri dan anak saya yang di kampung, dan entah bagaimana
nasib mereka.” Ucapnya dengan sedih. “Pulanglah nak, jangan pernah lupakan bapak.” Juan
mengangguk haru, selepas memeluk erat pak petani itu, juan pun berangkat meninggalkan kampung
tersebut untuk menemui keluarganya.

Suci merengkuh juan dan tangisnya pecah berderai, ia tak menyangka. Bahwa suaminya selamat dan
kembali. Setahun lebih, ia berpikir mungkin sudah tiada atau malah melupakan dirinya, atau menemui
nasib sama seperti jenni. Anak mereka yang hilang di tengah lautan. Juan menceritakan semuanya
peristiwa yang terjadi kepadanya hingga ia dapat kembali ke kampung. Suci pun demikian, ia
menceritakan perihal laras yang tak bisa diselamatkan, serta biaya rumah sakit sebab pertolongan
pak kepala desa yang berbaik hati, sedangkan keluarga pak shahid telah membekam di penjara,
sebab menipu banyak penduduk dengan mengadakan arisan, dan uangnya dimakan begitu saja. Janji
yang mereka janjikan untuk biaya pengobatan laras adalah kebohongan, pak shahid telah tewas di
tengah lautan tanpa ditemukan jasadnya. Begitulah manusia yang hanya memanfaatkan kesempatan
seseorang, demi kepentingannya. Ia tidak akan kekal, suatu saat akan tenggelam bersama
kebohongannya itu.

Juan hanyalah alat untuk dijadikan bahan bagi pak shahid. Agar mau membantu pekerjaannya di
suatu pulau, sebuah bangunan pariwisata, kebetulan juan adalah ahli dalam masalah pembangunan,
dengan bermodal kebohongan yaitu pembiayaan mengenai anaknya laras, juan terjebak ke dalam
perangkap pak shahid. Sedangkan kenyataannya, sepeser pun tidak ada mereka keluarkan, mengenai
biaya pariwisata tersebut adalah hasil uang arisan warga dan juga bunga dari hutang-hutang warga
sekitar yang membutuhkan. Maklumlah, pak shahid adalah warga terkaya di kampung ini, hanya saja
dia kalah dalam masa pemilihan kepala desa, sebab warga lebih memilih kebijaksanaan pak ilham
sebagai kepala desa meskipun tidak memiliki kekayaan yang melimpah seperti keluarga pak shahid.
Namun, ia siap membantu warganya kapan pun. Meski pun demikian, masih banyak warga yang
terikat hutang dengan keluarga pak shahid. Sebab ia akan menjadi pahlawan dengan janji-janji manis
demi mendapat keuntungan. Namun Tuhan telah menghukum keluarga itu.

Di sebuah pemakanan, juan dan suci saling mendekap. Seusai membaca surah Yasin. Kerinduan yang
memuncak dihatinya, kepada laras yang tak sempat ia temui, namun satu hal yang harus ia syukuri.
Suci yang terbilang rapuh ternyata mampu bertahan selama setahun dalam kesendiriannya. Hingga
mereka bertemu kembali, matahari di ufuk barat kian memudar. Senja itu tampak temaram, juan
belum beranjak dari pemakaman laras, meski malam kian gelap. Barulah ia beranjak meninggalkan
pemakaman yang sunyi itu, sehelai daun gugur di sebuah pemakaman tersebut, pertanda bahwa
masa usianya telah usai. Sempurna pula matahari menenggelamkan tubuhnya.

Keesokan hari, juan dan suci memantapkan hati untuk menuju perkampungan di mana tempat
suaminya pernah diselamatkan. Di sana, juan kembali kepada pak petani tua yang sudah ia anggap
sebagai seorang ayah, di sanalah kehidupan baru mereka bermulai, untuk bangkit dari kesedihan
yang pernah menjerat.

Riau, 2021
The Clock’s Game
Cerpen Karangan: Arendawo
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Misteri, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 28 October 2021

“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah siap
saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang. Kita akan menjadi sangat merasa buruk sebelum
hal buruk itu tiba.”

“Apa kalian tidak lapar?” Rena memandang jendela yang berembun. Di luar, hujan sangat deras
sekali, belum lagi kabut yang menutupi pemandangan luar sehingga keadaan lebih gelap dari waktu
yang seharusnya. Udara dingin serta keadaan sekolah yang sudah sepi membuat Rena ingin sekalian
uji nyali saja. “Ha, apakah kita sedang simulasi kehidupan di hutan tanpa makanan dan ancaman
hantu?” Sarkasnya lagi sambil menghentakkan kaki. Sedangkan yang diajak bicara menghiraukannya,
malah, asik sendiri.

Intan, Mia, Nisa dan Aura—yang setengah mengantuk—diam di bangku berhadap-hadapan. Ini adalah
ritual hari ke tujuh setelah pulang sekolah, mereka berlima akan berdiam diri di kelas sampai pukul
lima sore. Jika kalian bertanya untuk apa, maka yang kalian dapatkan hanyalah seperti Rena.
Diabaikan. Tapi jika kalian antusias, kalian akan bergabung dalam tim dengan dukungan penuh.

Jadi, ada sebuah ‘dongeng’ turun temurun mengenai sekolah ini. Jam yang dimiliki kelas dimana
tempat mereka diam adalah jam kuno yang bisa berbunyi untuk memberikan sinyal dan kode jika
ditanyai mengenai hal yang belum diketahui. Syaratnya adalah diam di kelas dari pukul tiga sampai
lima sore selama enam hari berturut-turut (meski hari libur) tanpa makan dan minum. Juga, hanya
diizinkan membicarakan hal yang baik-baik. Singkatnya, jam ajaib tersebut bisa berkomunikasi
dengan cara tertentu tepat di hari ke tujuh.

Maka dari itulah mengapa mereka—kecuali Rena sangat antusias untuk coba melakukan dongeng ini
dengan alibi pembuktian. Padahal, mereka memang kurang kerjaan saja. Dari awal, Rena tidak setuju
karena pantatnya sangat pegal jika hanya duduk dan berbicara yang manis-manis, jadi kemungkinan
jika dongeng itu nyata, perempuan itu tidak akan mendapatkan jawaban yang menyenangkan dari
jam kuno tersebut.

Dalam kategori mematahkan mitos, Rena memang tergolong sompral, tapi masih saja dipaksa untuk
ikut karena syarat lainnya adalah anggota harus ganjil. Jadi, jika perempuan itu berkata aneh-aneh
maka tidak akan dijawab. Bahkan, terkesan dimusuhi sesaat.

“Kalian itu hanya manusia-manusia gabut yang banyak tanya. Memangnya, apa yang mau ditanya?
Pekerjaan? Jodoh? Anak? Kita kan baru kelas dua belas. Lagipula, kenapa percaya dengan benda mati
seperti itu.” Rena menghampiri keempat temannya dan berbicara seolah sedang demo di kantor balai
desa. Rusuh.
“Diamlah, aku yakin kau juga penasaran.” Nisa menjawab dengan nada dingin.
“Wow, aku jadi merinding, sob. Kalian biasanya cerewet seperti kaleng rom—”

Suara gedebuk dan gemuruh petir secara bersamaan membuat semuanya terkejut. Tepat pukul
16.30, di hari ke tujuh, inilah hal yang ditunggu-tunggu. Aura yang tadinya setengah mengantuk pun
langsung merasa segar sambil mencoba bersembunyi di balik punggung Nisa.

“Apa dongeng ini nyata?” Aura mendadak gemetar. Pandangan Intan berpendar saat lampu kelas tiba-
tiba saja menyala. Ia langsung tersenyum dan memegang jam kuno tersebut.
Rena yang memandang Intan hanya merutuk kata sinting karena di saat yang lain merasa takut dan
gemetar, hanya Intan yang antusias sambil tersenyum.

“Baiklah, kita mulai dengan pertanyaan pertama. Jam kuno, apakah aku akan mendapatkan nilai
bagus setelah lulus?”

Jam tersebut berbunyi. Ada kepuasaan dalam hatinya karena dapat memenuhi syarat serta
keuntungan melakukan hal menantang seperti ini. Mia yang terkejut langsung meraih jam tersebut,
mengecek apakah ini hasil kejahilan temannya atau memang betulan ajaib.
“Secara logika, kau memang selalu mendapatkan nilai bagus, kenapa harus memberi pertanyaan
basic seperti itu? Kita saja bisa menjawab kalau soal itu.” Tutur Nisa yang membuat Mia merasa
mendapatkan ide brilian.

“Begini saja. Jam kuno, aku tahu kamu ajaib, bisakah kamu memperlihatkan jodoh masa depan Intan.
Tolong buat seolah-olah ia sedang lewat di depan kelas.”

Keempatnya tentu terkejut dengan pertanyaan Mia. Ah, perempuan yang suka berpikir absurd itu
melakukan aksinya ditengah situasi seperti ini. Namun, bagaimanapun, ini pertanyaan yang
menguntungkan bagi Intan.

Sepoi angin perlahan menerbangkan gorden jendela, walaupun keadaan luar yang sedikit gelap
karena kabut, tapi kemunculan sosok laki-laki bertubuh tinggi melintasi kelas masih dapat terlihat.
Laki-laki tersebut sangat tampan dengan buku di tangannya. Mungkin usianya tiga tahun lebih tua.
Intan yang mengetahui hal itu langsung berteriak kegirangan.

Aura yang melihatnya langsung mengambil jam tersebut.


“Jam kuno, apakah aku akan berkesempatan untuk memiliki Jimin BTS?”

Sesaat hening, tidak ada tanda-tanda apapun. Bahkan jarum jam ajaib itu berhenti sepenuhnya.

“Apakah itu tandanya ya?” Tanyanya tetap optimis.


“Sepertinya tidak. Bangunlah, buat pertanyaan yang lebih memungkinkan,” jawab Nisa seraya
mengambil jam tersebut. “Jam kuno, aku sudah lama mencintai laki-laki, tapi laki-laki itu punya
pacar. Apakah bisa saja mungkin dia menyukaiku kembali?”

Papan tulis di depan berbunyi sebentar, spidol yang ada di sampingnya perlahan bergerak untuk
menuliskan sesuatu. Ini adalah pemandangan luar biasa, rasanya seperti sebuah sihir melihat benda
bergerak sendiri. Jam kuno tersebut juga tampak hidup lagi.

“Selalu ada kemungkinan. Namun, kemungkinan itu tidak selalu jadi pembenaran.”

“Dunia juga menyuruhmu untuk bahagia, Nis.” Aura menepuk pundak Nisa. Meski tulisan itu tidak
menyangkal maupun membenarkan, sepertinya itu cukup sebagai jawaban.

“Kalau begitu, jam kuno, apakah aku akan bahagia?” Tanya Nisa lagi. Jam tersebut berbunyi. Tentu
saja, kenapa harus terus merasa buruk jika ada kesempatan hari esok yang lebih baik?

“Apa kau mau bertanya juga, Rena? Sebelum aku memberikan pertanyaan lebih aneh lagi. Aku tidak
mau bertanya soal cinta, berhubung aku sudah memiliki pasangan.” Mia mengangkat jam tersebut
seperti sedang promo diskon. Yang ditanya hanya menggeleng malas, “Aku tahu jawaban yang aku
dapatkan tidak akan baik.”
“Hei, aku juga dapat jawaban yang tidak menyenangkan. Tapi dengan sensasi seperti ini rasanya
sangat menyenangkan,” ucap Aura dengan percaya diri.
Mia langsung menyahut, “Bukan tidak menyenangkan. Tapi sebetulnya kau bertanya sesuatu yang
sudah kau ketahui apa jawabannya. Bertanyalah seperti pertanyaanku, pasti ada jawabannya. Nis,
mau bertanya juga seperti Intan tadi?”
Nisa menggeleng, “Soal itu, biar waktu saja yang menjawab, aku suka kejutan daripada spoiler detail
seperti ini.”

Intan mengambil jam tersebut dengan semangat. “Sudahlah, kita hanya bersenang-senang. Tidak ada
resiko atau efek samping, kok. Justru dengan ritual yang sudah kita penuhi, kita dapat bertanya pada
jam ini kapan saja asal sedang berlima dan sore hari.” Ia sedikit mengangkat jam itu, “Bolehkah kami
melihat jodoh Rena seperti apa? Dia tidak pernah bercerita. Juga, dia yang paling tua, kami tidak mau
melihatnya terus sendirian.”

Aura, Nisa dan Mia sedikit tertawa ketika mendengar itu. Baiklah, pada akhirnya sifat iseng mereka
keluar juga setelah menjadi seperti patung selama dua jam. Tidak lama, ada sosok yang kembali
lewat di depan kelas, tapi herannya, sosok tersebut adalah seseorang yang sama saat tadi Mia
memberikan pertanyaan untuk Intan.

“Lho, kok, laki-laki itu lagi? Maksudnya, dia akan selingkuh? Poligami? Atau kesalahan teknis?” Heran
Mia.

Lampu kelas tiba-tiba padam, diiringi decitan pintu terbuka lebar. Laki-laki itu mendadak menghilang.
Sebuah angin yang lebih dingin masuk. Spidol tersebut kembali bergerak untuk menuliskan sesuatu.
“Tidak, dia akan bersama temanmu yang paling tua untuk beberapa tahun sebelum beralih pada
temanmu yang bertanya tadi, alasannya karena ia akan mati.”

Suasana menjadi hening. Tidak ada percakapan apapun. Begitupun dengan Intan yang memandang
terkejut ke arah temannya yang kini hanya diam memandangi tulisan itu. Jadi, mungkin, sebenarnya
ada efek buruk dalam dongeng ini. Jam kuno tidak akan memanipulasi atau menyembunyikan hal
buruk yang seharusnya terjadi. Tentu, selalu ada kemungkinan hal buruk bersama hal baik, itu akan
selalu beriringan. Tidak bisa disingkirkan salah satunya.

“Jika kita mau membuka hal baik, hal buruk juga tidak akan menutup. Itulah konsekuensinya.”
Perkataan Aura membuat Intan semakin merasa bersalah, apakah ini dampak sifat sompral Rena
selama enam hari atau kenyataan pahitnya memang seperti itu?
Semoga ini hanyalah sebuah hukuman.

“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah siap
saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang. Kita akan menjadi sangat merasa buruk sebelum
hal buruk itu tiba,” tambah Nisa. Intan gelagapan sembari mencoba semangat, “Ah tidak, ini hanya
permainan ‘kan? Anggap saja itu sebagai hukuman karena kau bicara sembarangan selama enam hari
ini. Lebih baik kita tanya ulang saja, bukan begitu?”

Rena yang masih menatap papan tulis mengembuskan napasnya. “Tidak usah. Ini memang
konsekuensi mendahului takdir. Seharusnya kau merasa senang karena memiliki masa depan yang
cerah.”
Intan mencoba menghampiri Rena dan merangkul bahunya, “Tidak, tidak. Jam kuno itu berbohong.
Bagaimana kau begitu yakin, bukankah kau juga tidak percaya? Aku juga berjanji tidak akan
percaya.”
Rena menoleh, ekspresinya sangat datar. “Sejak pertanyaan Mia yang aneh itu, aku percaya.”
“Tapi, bagaimana? Itu semua belum terbukti.”
“Tidak. Laki-laki yang tadi melintas lewat kelas kita adalah kekasihku satu tahun terakhir.”

END

Cerpen Karangan: Arendawo

\
Rumah Tua
Cerpen Karangan: Sukma Putras
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 16 August 2021

Rumah tua di sudut kampung itu tampak jelas tak terawat lagi. Bahkan dari rupanya sudah tampak
tidak ada lagi orang yang menghuni rumah tersebut. Beberapa bagian kayu yang menopang rumah
panggung itu sudah lapuk. Beberapa titik juga berlubang, menampakkan betapa gelap bagian
dalamnya. Juga jendelanya yang keropos, tidak sempurna lagi bergantung di engselnya yang sudah
berkarat dan hampir hancur. Hanya pintu depan rumah tersebut yang tampak masih kokoh, tertutup
rapat dan terkunci dari luar dengan gembok yang juga sudah berkarat.

Awan melangkah pelan, melihat rumah tua tempat sang ibu membesarkannya dulu yang sudah tak
sempurna lagi. Lihatlah atap sengnya yang bocor sana sini, terlihat jelas dari sinar matahari yang
merambat masuk ke dalam lubangnya. Juga lantai papan rumah tua itu, sudah hancur, menampakan
genangan lumpur di bawahnya karena air hujan yang mengendap semalam. Membuat Awan ragu
untuk sekedar melangkahkan kakinya menaiki tangga rumah tersebut.

Hanya air mata yang bisa diteteskan Awan melihat rumah yang sudah ia tinggalkan sejak bertahun
lamanya. Rasa sakit itu terasa menusuk dada, perih sekali rasanya, ibu yang dulu ia sayang, sekarang
sudah tidak ada di rumah itu. Awan beranjak pergi, mencari tetangga terdekat untuk menanyakan
kemana ibunya pergi. Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu setengah berlari menapaki jalan
setapak yang tidak pernah berubah sejak dulu.

Sekitar dua puluh tahun lalu, di rumah tua tersebut Awan dan ibunya berdebat hebat akan sebuah
keputusan penting bagi laki-laki itu. Seorang perempuan bernama Jelita menjadi penyebabnya. Awan
sungguh sangat mencintai gadis itu, sementara sang ibu tidak setuju dengan keinginan sang anak.

“Apapun alasan yang Kamu ucapkan, sampai kapanpun ibu tidak akan pernah merestui Kamu dengan
perempuan itu, Wan,” ucap sang Ibu yang sore itu tengah sibuk menyulam kain di kursi tua
menghadap jendela. Menikmati angin sejuk dari sawah yang luas membentang di samping rumah
mereka.
“Kenapa Ibu selalu saja egois seperti ini? Jelita itu hidupku, Bu, aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap
Awan dengan emosi menggebu-gebu.
Ibu Awan terdiam, menunduk melihat kain yang ia sulam. Matanya tampak berkaca-kaca, tapi hal itu
mampu ia sembunyikan dengan tangannya masih lincah menyulam.
“Jangan halangi aku dengan Jelita, Bu. Jangan pisahkan cinta kami,” pinta Awan dengan penuh harap
sore itu. Berbagai upaya telah ia lakukan, berbagai kalimat sudah ia lontarkan, namun hati sang ibu
masih saja keras, tak menerima gadis cantik primadona kampung itu sebagai menantunya.
“Ibu sudah jelaskan berkali-kali, dia berasal bukan dari keluarga yang baik. Ayahnya itu pemabuk
berat, terkenal pejudi di kampung ini. Ibunya juga pergi dengan laki-laki lain meninggalkannya dia
dan ayahnya. Apa yang Kamu harapkan dari anak itu?” ucap sang ibu dengan rasa emosi yang
berusaha ia kendalikan.
Mata Awan memerah, penuh marah dan kesal. Ia tidak suka saat ibunya mengungkit hal tersebut.

“Jelita itu berbeda dengan ayah dan ibunya, Ibu tidak bisa menghakiminya sepihak seperti itu, dia
anak baik, akhlaknya baik.”
“Kamu ini buta?” bentak sang ibu yang tidak suka mendengar anaknya membela gadis itu, “kamu
tidak lihat seperti apa dia berteman dengan laki-laki? kamu tidak lihat seperti apa dia berpakaian di
luar sana? kamu tidak lihat seperti apa ia menghambur-hamburkan uang? berfoya sesuka hatinya,
kamu hanya dibutakan oleh cintamu, AWAN!” ucap sang Ibu penuh penekanan.
Awan menggeleng tidak terima. Ia menggigit bibir, tangannya terkepal kuat.
“Ibu atau siapapun tidak akan pernah bisa menghentikan cinta kami,” jawab Awan yang tak mau
mengalah pada kehendak sang ibu.
“Ibu sudah memilihkan gadis baik untukmu, gadis yang bisa merawat dan menjagamu, gadis yang
berakhlak dan yang bisa mendidik anakmu denganmu baik.”
“CUKUP, BU!” potong Awan yang sudah mengerti arah pembicaraan sang ibu, “Ibu tidak perlu
menjodoh-jodohkanku lagi dengan Ratna, anak tetangga yang selalu Ibu puji-puji itu. Jika Ibu tidak
mau merestuiku dengan Jelita, maka aku akan pergi dari sini.”
“Pergilah kemana pun Kamu mau, kalau perlu tak usah kembali ke rumah ini.” Sang ibu berdiri,
menoleh kepada Awan dengan mata penuh amarah, “Kamu tak jauh berbeda dengan ayahmu. Hanya
memikirkan dirimu sendiri, tanpa peduli bahwa hidupmu juga milik ibumu ini. Jangan pernah kembali
lagi ke sini, sekali Kamu menikahi gadis itu, haram untuk kakimu melangkah masuk ke rumah ini,
haram untuk kulitmu menyentuh kulitku.”
Awan ternganga, kaget mendengar ucapan ibunya yang begitu tegas seperti itu. Ah, Tuhan, dimana
kasih sayangnya sebagai seorang ibu? kenapa begitu kejamnya ia mengutuk keinginan Awan?
anaknya sendiri. Lihatlah mata sang ibu, tidak ada rasa takut, khawatir, apalagi gugup, hanya ada
rasa amarah penuh emosi tak tertahan. Dulu ia juga seperti itu mengusir suaminya yang hanya bisa
menjadi benalu dalam hidupnya.

Dia bukan wanita lemah, tapi wanita kuat yang tidak bisa ditindas oleh siapapun, apalagi anaknya
sendiri. Ia besar dari kejamnya dunia, dibesarkan oleh ayah yang selalu berbuat kasar kepada ia dan
ibunya. Setelah menikah, ia tidak ingin menjadi lemah, jadilah ia janda dengan seorang anak laki-laki
setelah mengusir suaminya seperti sampah dari rumah itu, tanpa membawa sehelai pun pakaian dari
rumah panggung tersebut.

Pada akhirnya Awan juga bernasib sama seperti sang ayah, dia keluar dari rumah panggung itu bak
sampah, tanpa membawa baju sehelai pun selain yang ia pakai sore itu. Awan meninggalkan
kampung halamannya, pergi merantau dengan membawa Jelita dari sana. Mereka memulai hidup baru
dari titik terendah hidup mereka. Tanpa memiliki apapun dari kampung, bermodal uang seadanya—
karena keluarga Jelita pun juga tidak merestui hubungan mereka. Jadilah mereka melarikan diri dari
kampung tersebut.

Namun apa yang diharap tak kunjung didapat. Hidup mereka tak kunjung berubah, bertahun-tahun
berumah tangga, ekonomi mereka selalu seret, tempat tinggal pun juga berpindah-pindah karena
tidak mampu membayar biaya sewa. Semakin hari, keadaan semakin memburuk, Awan kehilangan
anak satu-satunya yang menderita sakit parah dan tak mampu dibawanya berobat.

Nasib buruk tak kunjung berhenti menerpa Awan. Istri yang amat ia cintai juga sudah tidak tahan
dengan kehidupan mereka. Jelita pada akhirnya meninggalkan Awan, pergi dengan laki-laki lain yang
jauh lebih mapan dari suaminya. Jelita itu gadis cantik, primadona kampung, takkan sulit baginya
untuk menarik perhatian laki-laki, apa lagi jika dia sudah sedikit berdandan, memakai pakaian yang
memamerkan keindahan tubuhnya, jangankan pegawai biasa, sampai manajer dan direktur pun akan
terpana memandang gadis itu.

Pada akhirnya, Awan harus mengalah pada nasib. Uang tidak ada, anak meninggal dan istri juga
direbut orang. Sakit dan luka akibat pengkhianatan Jelita membuat Awan benar-benar hancur dalam
hidupnya. Jadilah ia mengumpulkan uang, modal untuk kembali ke kampung halaman, mengadukan
perih dan kejamnya dunia ini kepada ibu yang dulu ia kecewakan.

Laki-laki itu sekarang sudah sampai di ujung jalan. Ada rumah panggung tua yang masih kokoh
berdiri disana. berhalaman luas dengan rumput paku yang menghijau. Juga bunga-bunga indah yang
mekar berwarna. Awan menarik nafas, memberanikan diri untuk memasuki pagar rumah itu. Keluarga
itulah yang paling dekat dengan ibunya, setiap ada apa-apa, sang ibu pasti akan kesana untuk
bercerita dan mencari solusi dari setiap masalah.

Disana tampak seorang perempuan cantik tengah mengajari anaknya berjalan, dibantu oleh anak
pertamanya yang memberi semangat kepada sang adik yang tampak amat ceria untuk belajar. Awan
menelan ludah melihat pemandangan itu, teringat pada anaknya yang begitu cepat dipanggil Tuhan.
Ah, entalah, sekarang laki-laki itu malah berpikir, kenapa dulu ia tidak menuruti keinginan ibunya
untuk dijodohkan dengan perempuan itu? apa karena dulu perempuan itu masih bersekolah sehingga
Awan hanya menganggapnya bocah ingusan?

“Cari siapa, Bang?” tanya seseorang yang seketika membuat Awan memutar badan.
Ia melihat seorang laki-laki dengan kulit kuning langsat, berambut pendek dan berhidung mancung.
Baru kali ini ia melihat laki-laki itu di kampung tersebut.
“Oh, maaf, aku mau bertemu Ratna,” jawab Awan.
“Ada perlu apa dengan istriku?” tanya laki-laki itu yang seketika membuat Awan menelan ludah.
Awan berusaha tersenyum hangat, “Aku ingin menanyakan sesuatu tentang rumah yang di belakang.”
Laki-laki itu mengangguk paham, ia memanggil Ratna yang seketika membuat gadis itu menoleh
kepada Awan dan suaminya. Segera Ratna menggendong anak bungsunya, kemudian mendekati
Awan yang masih berdiri di dekat suaminya. Ratna memberikan si bungsu kepada suaminya,
kemudian ia mengajak Awan untuk berbicara di teras rumah.

Sore yang indah menemani Awan dan Ratna, bersamaan dengan angin sejuk yang menerpa tubuh
mereka. Juga matahari sore yang tidak terlalu panas, cahaya kuningnya terlihat jelas menerpa
pekarangan rumah Ratna yang tertata rapi. Sementara suami Ratna dan dua anaknya terdengar
tengah bergurau menonton televisi di dalam, menikmati sore dengan suasana yang berbeda.

“Keluarga kecilmu tampak amat bahagia, Rat,” ucap Awan berbasa-basi.


Ratna hanya mengangguk. “Untuk apa Abang kembali ke kampung ini?” tanyanya yang langsung pada
topik pembicaraan mereka.
“Aku mencari ibu, Rat. Tapi tadi aku ke rumah, sepertinya ibu tidak tinggal disana lagi.”
“Ibu sudah pindah, Bang,” jawab Ratna dengan singkat.
“Pindah kemana, Rat?”
Ratna menggeleng pelan, tidak ingin menjawab pertanyaan Awan.
“Kamu pasti tahukan, Ibu pindah kemana?“ desak Awan kepada Ratna.
Ratna masih bungkam, matanya memandang jauh pada orang-orang yang sibuk pulang dari sawah di
jalanan.

“Rat!” desak Awan lagi seraya memegang tangan gadis itu.


“Pindah ke alam lain, Bang,” jawab Ratna yang seketika membuat Ardan menelan ludah, “Ibumu
sudah meninggal, dia tidak ada lagi disini.”
“Nggak, Rat, saat aku pergi, Ibu masih sehat-sehat saja, sekarang pun usianya pasti baru lima puluh
tahunan, dia tidak mungkin meninggal, Rat. Kamu pasti berbohong kan?” ucap Awan yang tidak
mempercayai pengakuan Ratna.
“Beberapa tahun lalu ibumu sakit parah, tidak ada yang tahu dia sakit apa, karena beliau masih sering
keluar rumah dan tampak sehat-sehat saja. Tidak ada yang merawatnya di rumah, tidak ada yang
membawanya berobat, dia pun tidak pernah bercerita apapun kepada kami di rumah ini. Saat kami
tahu, semuanya sudah terlambat, kondisi ibumu sudah parah, dia meninggal seorang diri di
rumahnya.”

Tiba-tiba saja dada Awan terasa bergemuruh, sesak disana, hatinya terasa amat perih. Air matanya
keluar tanpa bisa ia tahan. Ia menggeleng, menolak kenyataan itu. Ah, Tuhan, andai saja ia tidak
pergi, mungkin sekarang ia akan hidup bahagia bersama ibunya, Ratna dan anak mereka. Tapi
kenyataan takdir memiliki jalannya sendiri.

“Kamu bohong, Rat.”


“Bohong atau tidak, itulah kenyataannya, dia menanggung semuanya seorang diri karena anak yang
ia miliki lebih memilih perempuan lain.”
Awan terdiam sejenak, itulah kenyataan pahit dari keputusannya yang amat egois dulu. Seolah
menganggap Jelita adalah segalanya untuk hidupnya.

“Dimana makamnya, Rat?” tanya Awan yang berusaha menahan rasa sedih dan luka hatinya.
Kenyataannya, derita hidup itu masih belum berhenti menerpa dirinya.
“Maaf, Bang. Sebelum meninggal, ibumu berpesan agar kami tidak memberi tahumu dimana ia
dimakamkan. Katanya haram untukmu melihat tempat peristirahatan terakhirnya.”
Awan tertegun, air matanya terus mengalir, pada akhirnya ia tidak bisa menahan tangis.

“Kamu terlalu egois, Bang. Kamu lupa bahwa hidup yang kamu miliki juga merupakan milik ibumu, dia
yang menyimpan sejuta harapan saat mengandung dan melahirkanmu, tetapi kamu begitu mudah
memilih perempuan lain daripada dirinya. Tapi aku sendiri mensyukuri keputusanmu, Bang. Aku bisa
terbebas dari perjodohan kita dan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darimu. Laki-laki yang
tidak egois dan membawa sejuta kebahagiaan untuk hidupku.”

Untuk kesekian kalinya Awan harus mereguk rasa bersalah dan sakit di hatinya. Ia melihat kepada
Ratna yang tampak tersenyum melihat cahaya di langit sore yang menguning. Entah kemana ia harus
mencari makam sang ibu, meminta maaf atas kesalahan yang dulu ia lakukan.

Anda mungkin juga menyukai