Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab 2 Dela

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman
2.1.1 Klasifikasi Sirih Hijau
Menurut Dwivedi dan Tripathi (2014). kedudukan Sirih dalam sistematika
tumbuhan (Taksonomi) diklasifikaiskan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliphyta
Kelas : Magnolipsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L.

Gambar 2.1
Daun Sirih hijau (Piper betle L.)

2.1.2 Morfologi Tumbuhan Sirih Hijau


Tanaman ini secara umum tumbuhnya merambat, dapat mencapai
ketinggian 15m. Sirih memiliki batang yang berwarna cokelat kehijauan,
berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Sirih memiliki
daun yang tunggal berbentuk jantung, mempunyai ujung runcing, tumbuh
berseling-seling, bertangkai. Panjangnya sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm, akar
Sirih ini berbentuk bulat dan berwarna coklat kekuningan, dan termasuk akar

5
tunggang. Sirih sangat bisa tumbuh subur di daerah yang tropis dengan ketinggian
300 - 1.000 m di atas permukaan laut. Jika diremas, daun
Sirih akan mengeluarkan bau yang khas (Pratiwi dan Mulya W., 2014).
Bunga tersusun dalam bentuk bulir, merunduk, panjang 5-15 cm, sendiri-
sendiri di ujung cabang dan di ketiak daun. Buah : buni, bulat, berdaging,
berwarna kuning hijau, menyambung menjadi bulat panjang.
Akar tunggang, bulat, coklat ujungnya yang sering terlihat adalah akar
sekunder yang merupakan akar yang muncul sebagai akibat dari penjalaran batang
dibawah tanah.
Sirih hijau tidak dapat tumbuh dengan subur pada daerah yang panas,
tetapi dapat, tetapi dapat tumbuh subur pada daerah yang dingin, tedu dan tidak
terlalu terkena sinar matahari dengan ketinggian 300-1000 m. Tanaman Sirih
hijau sangat baik pertumbuhannya apabila mendapatkan sekitar 60-75% cahaya
matahari (Oktaviana Dina, 2015).
2.1.3 Kandungan daun Sirih hijau
Daun Sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak
atsiri 1- 4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C,
yodium, gula dan pati. Daun Sirih mengandung molekul-molekul bioaktif seperti
sponin, tannin, minyak atsiri, flavonoid, dan fenol yang mempunyai kemampuan
untuk membantu proses penyembuhan luka serta nutrisi yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka melalui peningkatan jumlah pembentukan pembuluh darah
kapiler dan sel-sel fibroblast. Molekul bioaktif lain yang mempunyai peran
sebagai antimikroba adalah minyak atsiri. Flavonoid dan fenol berperan sebagai
antioksidan yang berfungsi untuk menunda atau menghambat reaksi oksidasi oleh
radikal bebas (Negara et al., 2014).
a. Flavonoid memiliki sifat antioksidan, senyewa fenol yang bersifat sebagai
koagulator protein, antidiabetik, antifungi, anti kanker, imunostimulan,
antioksidan, anti septik, anti hepatotoksik, anti hiperglikemik,
vasodilatator dan anti inflamasi.

6
b. Alkaloid memiliki sifat antimikroba, penghambat pertumbuhan sel kanker
dan merupakan bagian dari sistem heterosiklik.
c. Saponin menunjukkan efek anti jamur, anti bakteri, dan imuno modulator.
1.1.4 Khasiat daun Sirih hijau
Daun Sirih mempunyai khasiat sebagai obat batuk, obat bisul, obat sakit
mata,
obat sariawan, dan obat hidung berdarah (Syamsuhidayat dan Hutapea. 1991).
Dalam buku kuno India Yunani disebutkan daun ini memiliki sifat styptic
(menahan pendarahan), vulnerary (menyembuhkan luka kulit), stomachic (obat
saluran pencernaan), menguatkan gigi, sebagai obat sariawan dan membersihkam
tenggorokan. Disebutkan bahwa daun Sirih selain memiliki kemampuan
antiseptik juga mempunyai kekuatan sebagai anti oksidasi dan fungisida. Daun
Sirih memiliki efek antibakteri terhadap Streptococcus mutans, Streptococcus
sanguis, Streptococcus viridans, Sctinomyces, dan Staphylococcus aureus.
Sirih merupakan salah satu tanaman obat yang potensial dan diketahui
secara empiris memiliki khasiat dalam menyembuhkan berbagai penyakit
(Chakraborty dan Shah, 2011). Daun Sirih hijau digunakan oleh masyarakat untuk
pengobatan dalam menghentikan pendarahan, gatal-gatal, sariawan dan
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau pun jamur
(Qonitah dan Ahwan, 2018; Caburian dan Osi, 2010).
2.1.5 Klasifikasi Sirih Merah
Sirih merah menurut Hidayat T., (2013). dalam sistemik taksonomi
tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales

7
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper crocatum.

Gambar 2.2
Daun Sirih merah (Piper crocatum)

2.1.6 Morfologi Tumbuhan Sirih Merah


Tananaman ini tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati
dan bertangkai. Tanaman ini tumbuh berselang-seling batangnya serta memiliki
daun yang berbeda dengan daun Sirih hijau, yaitu permukaan daun mengkilap dan
tidak merata. Batangnya bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga.
Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian ujung daun meruncing.
Daun Sirih merah ini memiliki beberapa perbedaan dengan daun Sirih merah
yaitu aromanya lebih wangi dan jika daunnya disobek maka akan mengeluarkan
lendir (Hidayat T. 2013).
Tanaman Sirih merah tergolong langka karena tidak tumbuh disetiap
tempat atau daerah. Sirih merah tidak dapat tumbuh baik. Jika terlalu banyak
terkena sinar matahari langsung pada siang hari secara terus menerus warna
merah daunnya bisa menjadi pudar, buram, dan batangnya cepat mengering, tetapi
jika disiram secara berlebih akar dan batang cepat membusuk. Pada musim hujan
banyak tanaman Sirih merah yang mati akibat batangnya membusuk dan daun
yang rontok. Tanaman Sirih merah akan tumbuh dengan baik jika mendapat 60–
75% cahaya matahari. Di Indonesia tanaman Sirih merah banyak terdapat di

8
daerah Bandung dan Yogyakarta. Pembibitan dan perbanyakan Sirih merah
dilakukan secara vegetatif dengan stek, cangkok dan runduk batang.
2.1.7 Kandungan Sirih Merah
Hasil skrining kandungan kimia menunjukkan bahwa daun Sirih merah
mengandung senyawa golongan Flavonoid, Alkaloid, Terpenoid, Polifenol,
Steroid,
Tanin, dan Saponin (Parfati dan Windono, 2016).
2.1.8 Khasiat Daun Sirih Merah
Pengobatan hipertensi, radang liver, radang prostat, radang mata,
keputihan, maag, kanker payudara, nyeri sendi, penurun dan pengontrol kadar
gula darah, kosmetika, obat gangguan jantung, TBC tulang, keputihan akut, tumor
payudara, antiseptik untuk mengeliminasi mikroorganisme dari kulit atau luka,
misal disebabkan oleh Candida albicans. Sebagai obat kumur dapat membantu
mencegah pembentukan plak gigi dan radang gusi, obat batuk (Parfati, dan
Windono, 2016).
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan
untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain
suhu pengeringan tidak lebih dari 60°C (BPOM, 2014).
Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun dan berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia terdiri dari 3 macam yaitu (Utami et al,. 2013) :
1. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman.
2. Simplisia hewani adalah simplisia yang merupakan hewan utuh, sebagian
hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa
zat kimia.
3. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah dengan cara yang sederhana dan belum
berupa zat kimia.

9
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan suatu zat yang didasarkan
pada perbedaan kelarutan terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda,
biasanya yaitu air dan yang lainnya berupa pelarut organik. Ada beberapa metode
yang dapat dilakukan dalam ekstraksi, salah satu yang paling umum dilakukan
adalah metode maserasi (Tetti, 2014).
Ekstraksi adalah salah satu teknik pemisahan kimia untuk memisahkan
senyawa-senyawa dari suatu sampel dengan menggunakan pelarut. Prinsip
pemisahan didasarkan pada kemampuan atau daya larut senyawa dalam pelarut
tertentu. Pelarut yang digunakan harus mampu mengekstrak komponen senyawa
dari sampel secara maksimal (Mukhriani, 2014).
Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara yang sesuai
dengan sifat dan tujuan ekstraksi itu sendiri. Sampel yang akan diekstraksi dapat
berbentuk sampel segar ataupun sampel yang telah dikeringkan. Penggunaan
sampel kering memiliki kelebihan yaitu dapat mengurangi kadar air yang terdapat
di dalam sampel, sehingga dapat mencegah kemungkinan rusaknya senyawa
akibat aktivitas antimikroba. Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik semua
zat aktif dan komponen kimia yang terdapat dalam simplisia (Marjoni, 2016).
Faktor yang memengaruhi kecepatan ekstraksi yaitu kecepatan difusi zat
larut melalui lapisan-lapisan batas antara pelarut dengan bahan yang mengandung
zat tersebut. Selain itu, rendemen juga merupakan salah satu parameter mutu
ekstrak. Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan maka nilai ekstrak yang
dihasilkan semakin banyak pula (Wijaya et al., 2018).
Berdasarkan metode yang serring digunakan, ekstraksi dapat dibagi
menjadi beberaa jenis seperti :
1. Cara Dingin
Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total,
yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil
yang terdapat pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan

10
ekstraksi cara dingin, walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki
keterbatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan (Istiqomah, 2013).
a. Maserasi
Maserasi merupakan proses ekstraksi dingin sederhana dengan cara
merendam simplisia hingga waktu tertentu ke dalam satu atau beberapa campuran
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan. Proses maserasi ini
umumnya dilakukan selama 3-5 pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya.
Tujuan dari maserasi yaitu, untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan akan
pemanasan maupun yang tidak tahan dengan pemanasan. Pada saat maserasi
tumbuhan akan mengalami pemecahan membran dan dinding sel yang disebabkan
karena adanya perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel sehingga pelarut dapat
melarutkan metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma. Maserasi
merupakan salah satu proses yang menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan
alam, karena ekstraksi senyawa yang dilakukan dapat diatur lama perendamannya
sehingga senyawa yang dihasilkan dapat dikatakan sempurna. Keuntungan dari
maserasi adalah cara pengerjaan dan alat yang digunakana sederhana serta mudah
untuk diusahakan, dan biaya yang dikeluarkan relatif rendah. Sedangkan untuk
kerugiannya adalah pelarut yang digunakan cukup banyak dan waktu yang
dibutuhkan untuk proses maserasi cukup lama (Hanani dan endang, 2015).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna
dengan temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk
simplisia pada suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori.
Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi, tahap perkolasi
sebenarnya, terus menerus sampai diperoleh ekstrak perkolat yang jumlahnya 1-5
kali bahan (Muhammad Adiyaksa Febryanto, 2017). Keuntungan dari metode
perkolasi ini yaitu tidak memerlukan proses pemisahan ekstrak sampel, tidak
membutuhkan panas, serta pelarut yang digunakan dialirkan melalui sampel
sehingga proses penyarian senyawa lebih sempurna. Sedangkan kerugian dari
metode perkolasi ini yaitu selama proses perkolasi pelarut menjadi dingin

11
sehingga tidak dapat melarutkan komponen senyawa secara efesien, serta
membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu (Hanani dan endang,
2015).
2. Cara Panas
a. Refluks
Refluks merupakan metode ekstraksi dengan bantuan pemanasan dan
mampu mengekstraksi andrografolid yang merupakan senyawa tahan panas
(Mohan, 2013).
Metode refluks merupakan metode yang biasa digunakan untuk
mengekstrak sampel yang tahan terhadap pemanasan. Metode ini dilakukan
dengan cara mengaduk sampel dalam suatu pelarut dan diletakan di dalam wadah
yang telah dilengkapi dengan kondensor dengan jangka waktu yang lebih cepat,
biasanya selama 3–7 jam. Keuntungan refluks dibandingkan sokletasi yakni
pelarut yang digunakan lebih sedikit dan bila dibandingkan dengan maserasi
dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih singkat (A. A. Bawa Putra et al., 2014).
Metode ekstraksi refluks dapat dikatakan lebih effisien dibandingkan dengan
metode perkolasi atau metode maserasi karena waktu yang digunakan untuk
ekstraksi lebih singkat (Zhang et al., 2018).
b. Sokletasi
Sokletasi merupakan proses penyarian senyawa secara berulang-ulang
menggunakan perlarut tertentu. Metode sokletasi ini dilakukan dengan cara
memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang
telah membasahi sampel kemudian akan turun menuju labu pemanasan dan
kembali lagi menjadi uap untuk membasahi sampel. Sehingga penggunaan pelarut
dapat lebih hemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang membasahi sampel.
Metode sokletasi ini sangat baik digunakan untuk senyawa yang tidak mudah
terpengaruh oleh panas. Keuntungan dari metode ini adalah waktu yang
digunakan lebih efesien, proses sokletasi dapat berlangsung secara cepat, serta
jumlah sampel yang dibutuhkan sedikit. Sedangkan kerugiannya adalah metode
ini tidak dapat digunakan untuk mengekstraksi bahan tumbuhan yang mudah

12
rusak karena pemanasan sehingga dapat menyebabkan penguraian (Hanani dan
endang, 2015).
c. Digesti
Digesti merupakan proses maserasi kinetik dengan temperatur yang lebih
tinggi dari suhu kamar, yang umumnya dilakukan pada suhu 40-50°C. Proses
digesti ini dilakukan dengan pengadukan secara kontinyu dan termasuk ke dalam
jenis ekstraksi di mana suhu berpengaruh selama proses ekstraksi (Dwi Putri
Rahmawati, 2017).
d. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90˚C selama 15 menit. Pembuatan dengan cara
pemanasan simplisia di atas pemanas air selama 15 menit terhitung mulai suhu
mencapai 90˚C sambil sesekali diaduk. Setelah itu diangkat dan dilakukan
penyarian dalam keadaan panas (Mulyana et al., 2013).
e. Dekoktasi
Dekok merupakan proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada
suhu 90°C selama 30 menit. Metode ini biasanya digunakan untuk mengestrak
komponen dapat larut dalam air dan stabil terhadap panas (Fitri Rahmadani,
2015). Keuntungan dari metode ini yaitu tidak memerlukan peralatan yang
banyak dan mahal serta sangat mudah untuk dioperasikan (Njila et al., 2017).
Sedangkan kerugian dari metode ini yaitu tidak dapat digunakan untuk
mengestrak bahan yang termolabil dan mudah menguap, serta hasil ekstraksi yang
dihasilkan akan mengandung banyak pengotor yang dapat larut dalam air (Zhang
et al., 2018).
2.4 Ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan cair, kental atau kering yang dipeoleh dari
proses ekstraksi senyawa aktif simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, semua
atau hampir semua pelarut di uapkan sehingga dihasilkan ekstrak yang
diinginkan. ekstrak terdiri dari berbagai macam yaitu ekstrak cair, ekstrak kental,
ekstrak kering. Ciri-ciri ekstrak dilihat dari kadar air yang terkandung dalam

13
ekstrak. Ekstrak cair memiliki kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental memiliki
kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering mengandung kadar air kurang dari 5%
(Pambudi et al., 2017).
Ekstrak merupakan suatu produk hasil pengambilan zat aktif melalui
proses ekstraksi menggunakan pelarut, yang mana pelarut yang digunakan
diuapkan kembali sehingga zat aktif ekstrak menjadi pekat. Bentuk dari ekstrak
yang dihasilkan dapat berupa ekstrak kental atau ekstrak kering tergantung jumlah
pelarut yang diuapkan (Marjoni, 2016).
Pembagian ekstrak dibagi menjadi 3 yaitu (Marjoni, 2016) :
1) Ekstrak cair
Ekstrak cair adalah ekstrak hasil penyarian bahan alam dan masih
mengandung pelarut.
2) Ekstrak kental
Ekstrak kental adalah ekstrak yang telah mengalami proses penguapan dan
sudah tidak mengandung cairan pelarut lagi, tetapi konsistensinya tetap
cair pada suhu kamar.
3) Ekstrak kering
Ekstrak kering adalah ekstrak yang telah mengalami proses penguapan
dan tidak lagi mengandung pelarut dan berbentuk padat (kering).
2.5 Maserasi
Maserasi adalah salah satu jenis metode ekstraksi tanpa pemanasan atau
dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada metode ini pelarut dan sampel
tidak mengalami pemanasan sama sekali. Sehingga maserasi merupakan teknik
ekstraksi yang dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas. Maserasi
merupakan cara penyarian yang sederhana dan dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Proses ekstraksi dengan teknik maserasi
dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar.
Keuntungan metode ini yaitu prosedur dan peralatan yang digunakan sederhana,
metode paling baik digunakan untuk skala kecil maupun industri, tidak perlu
pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak atau terurai.

14
Pengerjaan metode maserasi yang lama dan keadaan diam selama maserasi
memungkinkan banyak senyawa yang akan terekstraksi. Kerugian utama dari
metode maserasi ini, yaitu dapat memakan banyak waktu dan pelarut yang
digunakan cukup banyak (Istiqomah, 2013). Pemilihan pelarut berdasarkan
kelarutan dan polaritasnya memudahkan pemisahan bahan alam dalam sampel,
sehingga mampu menarik zat aktif yang dikehandaki dengan jumlah maksimum
(Susanty dan Fairus, 2016).
2.6 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
mengetahui kandungan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak tanaman.
Skrining fitokimia dilakukan dengan menggunakan reagen pendeteksi golongan
senyawa seperti flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, terpenoid, dan lain-lain (Putri
et al., 2013).
Pada hakikatnya skrining fitokimia merupakan analisis secara kualitatif
pada kandungan kimia yang terdapat di dalam tanaman, terutama kandungan
metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkaloid,
antrakuinon, flavonoid, kumarin, saponin, tanin, polifenol dan minyak atsiri
(Marjoni, 2016).
Untuk identifikasi metabolit sekunder yang terdapat pada suatu ekstrak
digunakan berbagai metode berikut:
1. Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Menuang 1 gram serbuk sampel ke tabung reaksi, menuang 5 mL
klorofom dan NH3 5 mL, kemudian didihkan, selanjutnya dikocok dan disaring.
Hal tersebut untuk membuat filtrat. Tahap selanjutnya, menuang 5 mL H2SO4
dengan konsentrasi 2 N ke filtrat dan kembali dikocok. Menaruh filtrat ke dalam 3
bagian tabung reaksi. Pertama pada bagian tersebut meneteskan 1 atau 2 tetes
pereaksi Meyer ke filtrat, jika warna putih terbentuk di endapannya berarti sampel
tersebut mengandung alkaloid. Meneteskan 1 sampai 2 tetes pereaksi Wagner ke
filtat untuk bagian kedua, jika membentuk endapan coklat menunjukkan bahwa
sampel tersebut mengandung alkaloid. Terakhir, meneteskan 1 hingga 2 tetes

15
pereaksi Dragendorff ke dalam filtrat bagian ketiga, jika warna jingga yang
terbentuk di endapan dapat dikatakan bahwa ditemukan alkaloid pada sampel
tersebut (Arfi Humaira et al., 2022).
2. Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Menyiapkan 5 mL filtrat, kemudian menuang 1 gram Magnesium (Mg)
dan menuang HCl pekat 1 mL ke filtratnya, setelah itu menuang 5 mL etanol, lalu
dikocok dengan kuat, serta mendiamkannya sampai larutan tersebut terpisah, Jika
menjadi merah muda (pink) di larutan etanol maka dikatakan sampel tersebut
mengandung senyawa flavonoid (Arfi Humaira et al., 2022).
3. Identifikasi Senyawa Golongan Triterpenoid dan Steroid
Menuang serbuk simplisia sebanyak 1 gram, lalu sebanyak 10 mL
klorofom ditambahkan ke dalamnya, kemudian dikocok dan menyaringnya.
Perlakuan tersebut untuk membuat filtrat. Setelah itu meneteskan asam asetat
glasial sebanyak 10 tetes ke dalam filtrat dan meneteskan H2SO4 sebanyak 10
tetesan, jika warna berubah menjadi hijau, maka senyawa steroid terkandung di
dalam sampel tersebut dan jika menjadi merah, maka menunjukkan adanya
senyawa triterpenoid (Arfi Humaira et al., 2022).
4. Identifikasi Senyawa Golongan Saponin
Memasukkan 10 mL filtrat ke tabung reaksi dan mengaduknya secara
vertikal selama 10 detik, setelah itu mendiamkannya 10 menit. Jika membentuk
busa yang stabil dan jika ditambahkan 1 tetes HCl 1% busa tersebut tetap stabil
maka sampel tersebut terdapat senyawa saponin (Arfi Humaira et al., 2022).
5. Identifikasi Senyawa Golongan Tannin
Menuang serbuk simplisia 1 gram ke dalam 200 mL air, selanjutnya
memanaskan sampai mendidih dan mendinginkannya, kemudian menyaringnya.
Perlakuan tersebut untuk membuat filtrat. Setelah mebuat filtrat, kemudian
menambahkan larutan FeCl3 1% ke dalanya, jika perubahan menjadi warna biru
yang tua atau hijau kehitaman dapat diartikan bahwa tanin terkandung di dalam
sampel tersebut. Bila warna yang dihasilkan semakin kuat, maka konsentrasi tanin
semakin tinggi (Arfi Humaira et al., 2022).

16
2.7 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi merupakan suatu metode yang digunakan untuk
memisahkan campuran komponen. Pemisahan campuran komponen tersebut
didasarkan pada distribusi komponen pada fase gerak dan fase diamnya.
Kromatografi lapis tipis biasanya digunakan untuk tujuan analisis kualitatif,
analisis kuantitatif dan analisis preparatif. Suatu KLT terdiri dari fase diam dan
fase gerak (Jayanti et al., 2015).
Plat KLT dapat berupa lembaran kaca, logam atau plastik yang dilapisi
dengan lapisan tipis adsorben padat (silica gel atau alumina). Sebagian kecil
campuran yang akan dianalisis ditotolkan dekat bagian bawah plat. Plat KLT
kemudian ditempatkan didasar chamber (ruang mengembang) sehingga hanya
bagian paling bawah plat yang berada dalam caira. Cairan ini, atau eluen, adalah
fase gerak, dan perlahan-lahan naik ke atas plat KLT dengan kapiler (Kumar dan
Pandey, 2013).
Prinsip kerja dari kromatografi lapis tipis yaitu campuran yang akan
dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Penotolan dilakukan memakai
pipa kapiler. Pelarut dibiarkan menguap atau dihilangkan dengan bantuan aliran
udara kering. Lapisan kemudian dimasukan ke dalam bejana yang berisi pelarut
yang dalamnya sekitar 1 cm yang akan bertindak sebagai fase gerak. Lalu bejana
ditutup ketat dan pelarut dibiarkan sekitar 10-15 menit. Titik tempat campuran
yang ditotolkan pada ujung pelat atau lembaran disebut titik awal dan cara
menempatkan cuplikan disebut penotolan. Garis depan pelarut ialah bagian atas
fase gerak atau pelarut ketika bergerak melalui lapisan dan setelah pengembangan
selesai, merupakan tinggi maksimum yangdicapai pelarut (Nurdia, 2017).
Teknik pemisahan dengan KLT memiliki banyak kelebihan, karena KLT
merupakan Teknik yang serbaguna, yang dapat diaplikasikan untuk hampir semua
senyawa. Pemisahan dapat dicapai dengan biaya tidak terlalu mahal, yang
dihasilkan dari adsorben yang baik dan pelarut yang murni. Pemisahan dapat
dicapai dalam waktu yang singkat, sehingga memungkinkan KLT merupakan
suatu Teknik dengan jaminan keberhasilan, di dalam pemisahan campuran yang

17
tidak diketahui (Rosamah, 2019). Sedangkan beberapa kerugian dari KLT
diantaranya yaitu KLT bisa menjadi pekerjaan yang kurang bersih, khususnya bila
plat disiapkan sendiri. Para peneliti disarankan untuk menggunakan plat yang siap
pakai. KLT dapat dibuat sebagai kromatografi kuantitatif, dengan memodifikasi
peralatan kromatografi. Dan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Lebih baik
untuk menggunakan analisa semi kuantitatif (Rosamah, 2019).
Pemisahan pada KLT terjadi karena persaingan antara fase diam dan fase
gerak untuk mengikat komponen yang terdapat pada campuran yang akan
dipisahkan. Persaingan tersebut disebabkan oleh polaritas yang dimiliki oleh fase
diam dan komponen cairan. Komponen yang memiliki polaritas yang sama
dengan fase diam akan berinteraksi lebih kuat dan akibatnya komponen tersebut
akan terjerap oleh fase diam (Forestryana et al., 2020).
2.8 Uraian Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang


ditemukan di alam. fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah sebagai zat
pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, zat antimikroba, antifungi,
antivirus dan antiinsektisida (Endarini, 2016) Flavonoid merupakan pigmen yang
memiliki warna yang terdapat pada tumbuhan, misalnya antosianin sebagai
penyusun warna biru, violet, dan merah; Flavon dan Flavonol penyusun warna
kuning redup; khalkon dan auron sebagai penyusun warna kuning terang;
sedangkan Isoflavon dan Flavonol merupakan senyawa yang tidak berwarna
(Febrianti et al., 2016). Kegunaan flavonoid pada tanaman yaitu memberikan
pemeliharaan terhadap kondisi tekanan oleh lingkungan, pengatur pertumbuhan
tanaman, pemeliharaan dari sinar radiasi ultraviolet dan daya tarik terhadap
penyerbuk serangga, jamur, virus, dan bakteri (Vidak et al., 2015).

18
Gambar 2.3 Struktur Flavonoid (Waty, 2021)

Senyawa flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa metabolit


sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid
tergolong ke dalam senyawa fenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6. Kerangka
struktur dasar senyawa flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin
aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan
bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-
sub kelompoknya. Penomoran yang terdapat pada struktur flavonoid digunakan
untuk membedakan posisi karbon disekitar molekulnya (Redha, 2013). Hampir
semua tumbuhan mengandung senyawa flavonoid baik itu pada daun, akar kayu,
kulit batang, kulit tepung sari, akar, bunga, buah, dan biji. Dan hanya sedikit yang
melaporkan adanya flavonoid pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-
berang, propolis (sekresi lebah) dan di dalam sayap kupu-kupu, senyawa
flavonoid yang terkandung pada hewan diduga bahwa senyawa flavonoid tersebut
berasal dari tumbuhan yang dimakanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis
dalam tubuh mereka (Neldawati et al., 2013).
2.9 Spektrofotometri Uv-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk
mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Spektrofotometri UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik
atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran
secara kuantitatif (Pratama dan Zulkarnain, 2015).

19
Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) merupakan pengukuran energi
cahaya dari suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Romadhani,
2016). Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang 200-400 nm, dan
sinar tampak (visible) mempunyai panjang gelombang sebesar 400-750 nm.
Spektrofotometri digunakan untuk mengukur besarnya energi yang diabsorbsi
atau diteruskan. Sinar radiasi monokromatik akan melewati larutan yang
mengandung zat yang dapat menyerap sinar radiasi tersebut (Romadhani, 2016).
Spektrum UV-Vis sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif.
Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur
absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum
Lambert-Beer (Romadhani, 2016).
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini
terbilang cukup sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil.
Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang terbaca
langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk angka digital ataupun
grafik yang sudah diregresikan (Mustikaningrum, 2015).
Prinsip kerja spektrofotometri UV-Vis adalah interaksi yang terjadi antara
energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi berupa
molekul. Besar energi yang diserap tertentu dan menyebarkan elektron tereksitasi
dari ground state ke keadaan terekstasi yang memiliki energi lebih tinggi. Serapan
tidak terjadi seketika pada daerah UV-Vis untuk semua struktur elektronik tetapi
hanya pada sistem sistem terkonjugasi. Prinsip kerja spektrofotometri
berdasarkan hukum Lambert Beer, bila cahaya monokromatis melalui suatu
media, maka sebagian cahaya diserap, sebagian dipantulkan dan sebagian
dipancarkan. Berdasarkan teori tersebut, prinsip kerja dari spektrofotometri adalah
suatu cahaya monokromatis akan melalui suatu media yang memiliki siatu
konsentrasi tertentu, maka akan membentuk spectrum cahaya, namun ketika
melewati monokromator, cahaya yang keluar hanya akan terdapat satu cahaya
yaitu sesuai dengan settingan awal, misalnya warna hijau. Setelah keluar dan
monokromator, cahaya akan menembus sampel yang kemudian akan terbaca hasil

20
pada readout (monitor). Sinar dari sumber cahaya akan dibagi menjadi dua berkas
oleh cermin yang berputar pada bagian dalam spektrofotometer. Berkas pertama
akan melewati kuvet berisi blanko, sementara berkas kedua akan melewati kuvet
berisi sampel. Blanko dan sampel akan diperiksa secara bersamaan. Adanya
blanko, berguna untuk menstabilkan absorbansi akibat perubahan voltase dari
sumber cahaya (Yanlinastuti, dan Fatimah, 2016).
Prinsip kerja spektrofotometer adalah bila cahaya (monokromatik maupun
campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk akan
dipantulkan sebagian diserap dalam medium itu dan sisanya diteruskan. Nilai
yang keluar dari cahaya yang diteruskan dinyatakan dalam nilai absorbansi
karena memiliki kandungan dengan konsentrasi sampel (Yanliastuti et al., 2016).
2.10 Kajian Penelitian Yang Relevan
Beberapa jurnal penelitian yang relevan mendukung penelitian ini
diantaranya:
1. Endra Pujiastuti1, Demby El’Zeba (2021). PERBANDINGAN
KADAR FLAVONOID TOTAL EKSTRAK ETANOL 70% DAN 96%
KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) DENGAN
SPEKTROFOTOMETRI
Dalam studi yang dilakukan oleh Endra Pujiastuti1, Demby El’Zeba. 2021
dengan judul “Perbandingan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etanol 70% dan 96%
Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) dengan Spektrofotometri”
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui ada atau tidak kandungan
flavonoid dengan metode skrining fitokimia dan mengetahui ada perbedaan
signifikan atau tidak kadar flavonoid total dengan metode Spektrofotometri Uv-
vis pada ekstrak etanol 70% dan 96% kulit buah Naga merah (Hylocereus
polyrhizus). Hasil dari penelitian menunjukkan Kadar flavonoid total ekstrak
etanol 70% dan 96% kulit buah Naga merah (Hylocereus polyrhizus) yaitu
sebesar 88,695 ± 0,0922 mgQE/g ekstrak (8,87 ± 0,01 %) dan 108,184 ± 0,0224
mgQE/g ekstrak (10,82 ± 0,02 %). Terdapat perbedaan signifikan pada kadar
flavonoid total pada ekstrak etanol 70% dan 96% kulit buah Naga merah

21
(Hylocereus polyrhizus). Kadar Flavonoid total ekstrak etanol 96% lebih tinggi
dari pada ekstrak etanol 70%.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal menggunakan perbandingan kadar Flavonoid total ekstrak etanol 70%
dan 96% dengan menggunakan sampel kulit buah Naga sedangkan pada skripsi
yang akan di buat yaitu perbandingan kadar senyawa Flavonoid total ekstrak daun
Sirih hijau dan Sirih merah.
2. Fatdhilah Febyari, Bida Cincin Kirana, Angga Rahabistara Sumadji
(2023). PERBANDINGAN KANDUNGAN FLAVONOID EKSTRAK
ETANOL DAUN DAN BUAH CEPOKA (SOLANUM TORVUM SWARTZ)
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS
Dalam studi yang dilakukan oleh Fatdhilah Febyari, Bida Cincin Kirana,
Angga Rahabistara Sumadji 2023. Dengan judul “Perbandingan Kandungan
Flavonoid Ekstrak Etanol Daun dan Buah Cepoka (Solanum Torvum Swartz)
dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis”. Tujuan dari penelitian ini adalah
membandingkan kadar Flavonoid pada daun dan buah Cepoka. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kandungan Flavonoid tertinggi terdapat pada bagian
tanaman daun Cepoka sebesar 14,6346%b/b sedangkan untuk bagian buah
Cepoka memiliki kandungan Flavonoid sebesar 0,9768%b/b.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal menggunakan perbandingan kandungan Flavonoid ekstrak etanol
dengan menggunakan sampel daun dan buah Cepoka, sedangkan pada skripsi
yang akan dibuat menggunakan perbandingan kadar senyawa flavonoid total
ekstrak sampel daun yang berbeda Sirih hijau dan Sirih merah.
3. Diah Astika Winahyu, Nofita, Rahma Dina. (2018) PERBANDINGAN
KADAR FLAVONOID PADA EKSTRAK ETANOL DAN EKSTRAK ETIL
ASETAT DAUN KERSEN (Muntingia calabura L.) DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis
Dalam studi yang dilakukan oleh Diah Astika Winahyu, Nofita, Rahma
Dina 2018. Dengan judul “Perbandingan kadar Flavonoid Pada Ektrak Etanol dan

22
Ekstrak Etil Asetat Daun Kersen (Muntingia calabura L.) Dengan Metode
SpektrofotometriI UV-Vis”. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui
kadar Flavonoid pada ekstrak Etanol dan ekstrak Etil asetat dilakukan dengan
menggunakan reaksi warna. Dari hasil penelitian perbandingan kadar Flavonoid
pada ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat daun Kersen (Muntingia calabura L.)
secara spektrofotometri UV-Vis dapat disimpulkan bahwa :
1. Kadar rata-rata yang didapat pada ekstrak etanol yaitu 5,12 % dan kadar
rata-rata pada ekstrak etil asetat yaitu 52,56 %
2. Terdapat perbedaan yang signifikan kadar flavonoid pada ekstrak etanol
dan ekstrak etil asetat bahwa dengan kadar flavonoid didapat thitung =
234,0661
lebih besar dari tabel pada tarif signifikan 99% = 4,60
3. Pelarut etil asetat lebih efisien digunakan untuk penetapan kadar flavonoid
pada daun kersen dibandingkan oleh pelarut etanol
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal menggunakan perbandingan kandungan flavonoid dengan
menggunakan pelarut yang berbeda, sedangkan pada skripsi yang akan dibuat
menggunakan perbandingan kadar senyawa flavonoid dengan sampel daun yang
berbeda.
4. Dewa Ayu Ika Pramitha, Ni Nyoman Ayu Kartika Yani (2020).
PERBEDAAN KADAR FLAVONOID TOTAL DARI BLACK GARLIC
TUNGGAL, MAJEMUK DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI
UV-Vis
Dalam studi yang dilakukan oleh Dewa Ayu Ika Pramitha, Ni Nyoman
Ayu Kartika Yani (2020). Dengan judul “Perbedaan Kadar Flavonoid Total dari
Black Garlic Tunggal dan Majemuk dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis”.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan kadar Flavonoid total
pada Black garlic tunggal dan majemuk diuji dengan metode spektrofotometri
UV-Vis. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar flavonoid total Black
garlic tunggal memiliki kadar lebih tinggi sebesar (2,851 ± 0,346) μg QE/100 g

23
dan kadar Flavonoid total Black garlic majemuk sebesar (1,976 ± 0,188) μg
QE/100 g. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna
antara kadar Flavonoid total Black garlic tunggaldan majemuk dengan nilai p
<0,05.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas terkait Perbedaan Kadar Flavonoid Total dari Black Garlic
Tunggal dan Majemuk dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis, sedangkan pada
skripsi yang akan dibuat yaitu membahas terkait perbandingan senyawa
Flavonoid daun Sirih hijau dan daun Sirih merah.
5. Diana Nitasari (2020). PERBANDINGAN KADAR FLAVONOID
EKSTRAK DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) HASIL MASERASI DAN
PERKOLASI BERDASARKAN ANALISA SPEKTROFOTOMETRI Uv-
Vis
Dalam studi yang dilakukan oleh Diana Nitasari (2020). Dengan judul
“Perbandingan Kadar Flavonoid Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) Hasil
Maserasi dan Perkolasi Berdasarkan Analisa Spektrofotometri Uv-vis”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar
Flavonoid total dari metode ekstraksi, maserasi, perkolasi. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil rendemen dari metode ekstraksi, maserasi, perkolasi
berturut-turut adalah 14,54% dan 14,62%. Hasil kadar Flavonoid yang diperoleh
dari ekstrak hasil maserasi 29,08 μg/mL, perkolasi dan maserasi 25,13 μg/mL.
penelitian ini tidak terdapat perbedaan kadar Flavonoid yang signifikan pada
ekstrak daun Sirih hijau hasil maserasi dan perkolasi.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas terkait perbandingan kadar senyawa Flavonoid pada
ekstrak daun Sirih hijau dengan metode ekstraksi, maserasi, perkolasi sedangkan
pada skripsi yang akan dibuat yaitu membahas terkait perbandingakn kadar
senyawa pada sampel Sirih hijau dan Sirih merah dengan menggunakan maserasi.

24
6. Iqbal1, Nuraisyah Rustam, Kasman1 (2020). ANALISIS NILAI
ABSORBANSI KADAR FLAVONOID DAUN SIRIH MERAH (Piper
Crocatum) DAN DAUN SIRIH HIJAU (Piper Betle L)
Dalam studi yang dilakukan oleh Iqball, Nuraisyah Rustam, Kasman1
(2020) dengan judul “Analisis Nialai Absorbansi Kadar Flavonoid Daun Sirih
Merah (Piper Crocatum) dan Daun Sirih Hijau (Piper Betle L). Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui kadar Flavonoid dan jenis Flavonoid dan waktu
penyimpanan ekstrak sampel. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar
Falvonoid pada sampel Sirih merah pada 5 hari pengukuran yaitu 45,771 μg/g,
18,129 μg/g, 11,843 μg/g, 1,29 μg/g, dan 1,71 μg/g. untuk daun Sirih hijau 11,857
μg/g, 11,086 μg/g, 0,057 μg/g,0,86 μg/g, dan 1,71 μg/g. nilai kadar Flavonoid
tersebut menunjukkan adanya penurunan kadar Flavonoid yang signifikan pada
hari keempat dan kelima. Sedangkan jenis Flavonoid yang didapatkan dengan
analisis warna. Dari analisis tersebut diketahui bahwa jenis Flavonoid daun Sirih
merah adalah Flavonol dan jenis Flavonoid daun Sirih hijau adalah Flavon.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas terkait analisa nilai absorbansi pada sampel daun Sirih
merah dan daun Sirih hijau dan untuk mengetahui kadar Flavonoid dan jenis
Flavonoid yang terdapat pada kedua sampel tersebut, sedangkan pada skripsi
yang akan dibuat yaitu menguji kadar senyawa Flavonoid total pada sampel
daun Sirih hijau dan Sirih merah
menggunakan metode Spektrofotometri Uv-vis.
7. Alifiana Permata Sari, Nur Layli Amanah, Awalia Wardatullathifa,
Agung Nugroho (2022). COMPARISON OF MASERATION AND
SONICATION METHOD ON FLAFONOID EXTRACTION FROM
MANGO LEAVES: EFFECT OF SOLVENT RATIO
Dalam studi yang dilakukan oleh Alifiana Permata Sari, Nur Layli
Amanah, Awalia Wardatullathifa, Agung Nugroho (2022). Dengan judul “
Comparison Of Maseration and Sonication Metod on Flavonoid Extracrion From
Mango Leaves:Effect of Solvent Ratio” Tujuan dari penelitian ini untuk

25
mengetahui perbandingan metode maserasi dan sonikasi pada ekstrak Flavonoid
daun Mangga dengan pengaruh rasio pelarut. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa metode ekstrasi sonikasi adalah baik menghasilkan Flavonoid total yang
serupa konten sebagai pendekatan maserasi, semantara memakan wkatu 54 kali
lebih sedikit. Selain itu, nilai polaritas pelarut mendekati senyawa Flavonoid akan
menghasilkan kadar yang lebih tinggi kandungan Flavonoid total, namun setelah
mencapai titk jenuh, ekstrak Flavonoid senyawa yang kaan dihasilkan konstan.
Dengan menggunakan proses sonikasi dan aseton sebagai pelarut para peneliti
mencapai hasil kadar Flavonoid optimum sebesar 0,1431 mgQE/g (1,431%).
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas terkait Perbandingan Metode Maserasi dan Sonikasi pada
Ekstraksi Flavonoid dari Daun Mangga: Pengaruh Rasio Pelarut sedangkan pada
skripsi yang akan dibuat yaitu membahas terkait perbandingan kadar senyawa
Flavonoid daun Sirih hijau dan daun Sirih merah.
8. Masyita, Endah Sayekti, Nurlina (2022). FLAVONOID
COMPOUNDS OF THE CATECHIN FROM WUNGU (Graptophyllum
pictum L) LEAVES AND THE SUN PROTECTING FACTOR VALUE
Dalam studi yang dilakukan oleh Masyita, Endah Sayekti, Nurlina (2022).
Dengan judul “Flavonoid Compounds OF The Catechin From Wungu
(Graptophyllum pictum L) Leaves And The Sun Protecting Factor Value”. Tujuan
dari penelitian ini untuk mengindentifikasi isolate senyawa Flavonoid daun
Wungu dan mengetahui nilai SPF tes. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
Spektrofotometri Uv-vis hasil karakteristik memperkirakan isokat FDi adalah
senyawa Flavonoid dari golongan katetin yaitu Flavon 3,7-diol. Nilai SPF isolate
FDi pada konsentrasi 100 ppm sebesar 2,25287. Yang terisolasi senyawa FDi
dikatrgotikan nsebagai tabir surya dengan pelindung minimal.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas terkait Senyawa Flavonoid Katekin dari Wungu
(Graptophyllum pictum L.) Griff) Daun dan Nilai Faktor Pelindung Matahari

26
sedangkan pada skripsi yang akan dibuat yaitu membahas terkait perbandingan
senyawa Flavonoid daun Sirih hijau dan daun Sirih merah.
9. Puji Lestari, Jon Piter Sinaga, Selamat Ginting, Nilsya Febrika
Zebua, Vriezka Mierza, Tedy Kurniawan Bakri, (2021). BRINE SHRIMP
(Atemia salina Leach.) LETHALITY TEST OF ETHANOLIC EXTRACT
FROM GREEN BETEL (Piper betle Linn.) and RED BETEL (Piper
crocatum Ruiz and pav) THROUGH THE SOXHLETATION METHOD
FOR CYTOTOXITY TEST.
Dalam studi yang dilakukan oleh Puji Lestari, Jon Piter Sinaga, Selamat
Ginting, Nilsya Febrika Zebua, Vriezka Mierza, Tedy Kurniawan Bakri, (2021).
Dengan judul “Brine Shrimp (Atemia salina Leach.) Lethality Test Of Ethanolic
Extract From Green Betel (Piper betle Linn.) and Red Betel (Piper crocatum
Ruiz and pav) Through The Soxhletation Methoid For Cytotoxity Test. Tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui sitotoksisitas daun Sirih hijau dan daun Sirih
merah. Hasil penelitian menunjukkan terdapat nilai konsentrasi lethal 50%
(LC50) pada kedua daun. Ektrak etanol daun Sirih Hijau dan daun Sirih merah
masing-masing sebesar 44,975 μg/mL dan 31,556 μg/mL. yang merah ekstrak
etanol daun Sirih memiliki sitotoksisitas yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak
etanol daun Sirih hijau yang terlihat dari nilai LC50 yang lebih rendah.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas Udang Air Asin (Artemia salina Leach.) Uji Letalitas
Ekstrak Etanol Sirih Hijau (Piper Betle Linn.) dan Sirih Merah (Piper crocatum
Ruiz dan Pav.) melalui Metode Sokletasi untuk Uji Sitotoksisitas sedangkan pada
skripsi yang akan dibuat yaitu membahas terkait perbandingan kadar senyawa
Flavonoid daun Sirih hijau dan daun Sirih merah.
10. Frita Ferlita Shafri Djohan1, Herryawan1, Fahrauk Faramayuda
(2022). MACROSCOPIC AND QUALITATIVE PHYTOCHEMICAL
EXAMINATION OF RED BETEL LEAVES AND GREEN BETEL
LEAVES AS HERBAL MEDICINE FOR GINGIVITIS

27
Dalam studi yang dilakukan oleh Frita Ferlita Shafri Djohan1, Herryawan,
Fahrauk Faramayuda (2022). Dengan judul “Macroscopic and Qualitive
Phytochemical Examination Od Red Betel Leaves and Green Betel Leaves As
Herbal Medicine For Gingivitis” Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
gambaran dari makroskopis serta kandungan senyawa fitokimia kualitatif pada
daun Sirih merah dan daun Sirih hijau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil
pemeriksaan makroskopis menunjukkan bahwa dain Sirih merah berwarna perak
dengan alur merah, bau khas Sirih, rasa pahit, dan bentuk ukuran daun lonjong
meruncing 3x5 cm, sedangkan daun Sirih hijau bau khas Sirih, rasa sedikit pahit
disertai pedas, dan bentuk lonjong runcing ukuran daun rata 2x4 cm. pemeriksaan
fitokimia kualitatif meninjukkan bahwa daun Sirih merah dan daun Sirih hijau
mengandung senyawa kandungan Alkaloid, Flavonoid, Tannin, Polifenol,
Saponin, dan Kuinon.
Hal yang membedakan jurnal ini dengan skripsi yang akan dibuat yaitu
pada jurnal membahas tentang uji makroskopis dan kandungan senyawa fitokia
pada sampel Sirih hijau dan Sirih merah sedangkan pada skripsi yang akan dibuat
membahas tentang perbandingan kadar senyawa Flavonoid pada sampel daun
Sirih hijau dan Sirih merah.

28

Anda mungkin juga menyukai