Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

KRING

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

KRING!!!

Dengan lemas tanganku meraih ponsel yang terus menjerit dari nakas. Masih
dengan mata yang setengah tertutup menahan kantuk,
kumatikan alarm tersebut sebelum kembali meraih selimut. Ngapain bangun
pagi? Toh gak sekolah juga, pikirku saat itu.
Tak lama setelah berhasil kembali berkelana ke dunia mimpi, pintu terketuk
disusul teriakan mama yang terdengar menyebalkan ditelinga. “Dek..
Bangun buruan!! Udah siang loh ini, mau tidur sampe kapan?” teriaknya dari
balik pintu kamar. Ku sempatkan mendengus kesal sebelum kembali
menyibak selimut lalu terduduk di atas ranjang.

Selagi berusaha mengumpulkan nyawa, mataku terpaku menatap kalender


hijau yang terpajang di dinding tepat di depan ranjang. “Astagaa.. Udah
sebulan lebih, mau sampe kapan cobaa?” rutukku sembari mengacak
rambutku sendiri saking kesalnya.

Karantina. Itu kata pemerintah, tapi kataku ini sih namanya tahanan rumah!
Mungkin mudah berdiam diri di rumah bagi mereka yang introvert, tapi
bagiku yang suka keluyuran dan menjelajahi dunia ini layaknya bolang mana
bisa disuruh berdiam diri di rumah begini. Mungkin aku memang tidak akan
terkena virus yang lagi banyak diomongin orang itu, tapi aku jelas
bisa stress kalau jarak paling jauh yang boleh ku jangkau hanya sampai teras
rumah. Bayangkan! Aku bahkan sampai lupa apa itu mall.

Puas memaki dalam hati, tatapanku beralih ke arah nakas dimana layar
ponselku menampilkan notifikasi yang terus bertambah. Tanpa ku lihat pun
sudah ku tebak itu dari group kelas. Ya memang apa lagi?
Selain tidak bisa keluyuruan dengan leluasa seperti biasanya, tugas
menumpuk adalah hal lain yang membuatku benci karantina. Jujur saja, aku
adalah siswi yang ikut berteriak kegirangan saat ada yang men-
forward surat dari bapak wakil gubernur yang memberitahu jika sekolah
akan diliburkan selama dua pekan. Sayangnya, aku juga siswi yang sekarang
ingin menangis saking kesalnya ketika surat cinta itu ternyata bukan satu-
satunya surat yang disebar.
Nyatanya, dua minggu kemudian surat dari pengirim yang sama kembali
tersebar di group whatsapp yang membuatku semakin dekat dengan tuhan.
Bagaimana tidak jika setiap detiknya kuhabiskan dengan ber-istigfar?
Menurutku, learn from home sangatlah menyusahkan. Para guru seakan
berlomba-lomba membuat soal tanpa peduli apa aku sebagai siswa bahkan
paham maksud dari soal yang mereka buat. Dikira mereka aku ini cicitnya
Albert Einstein kali ya? Dijelaskan langsung di sekolah saja butuh dewi
fortuna untukku memahaminya, gimana ceritanya aku disuruh mencari
materi sendiri?
Sama sepertiku, teman-teman kelasku pun tiap ada tugas pasti diawali
dengan keluhan yang mereka tulis di group yang jelas hanya berisi kami
para siswa. Kami sebagai siswa mana berani mengocehi para guru terkait
seberapa berat tugas yang mereka buat? Lupakan saja kodrat anak IPS yang
katanya harus pandai menyampaikan aspirasi itu.
Setelah puas bergabung mengeluhi apapun yang membuat ku kesal
di group kelas, dengan malas ku hampiri meja belajar untuk meraih laptop —
yang sebulanan ini selalu menemaniku— ke atas karpet. Biarlah mama nanti
kembali membaweliku tentang apa gunanya beliau membelikanku meja
belajar. Nyatanya benda itu tidak lebih berguna dari karpet yang salalu ku
gunakan untuk mengerjakan tugas sembari rebahan.
Lagi-lagi aku berdecak kesal. Perasaan bosan langsung menyelimutiku ketika
yang ku lihat lagi-lagi tugas berjenis sama yang aku bahkan tak tau judul
materinya. Tugas monoton yang itu-itu saja merupakan salah satu
keluhanku. Bukan karena apa, tapi tugas yang membosankan selalu
membuatku enggan mengerjakannya.

Seperti yang sudah-sudah, aku mengalihkan situs sekolah


ke website ternama tempatku menghabiskan waktu berjam-jam untuk
menonton film. Biarlah tugas-tugas itu, toh nanti juga group akan kembali
heboh di H-1 pengumpulan. Selagi bisa ku kerjakan sejam sebelum deadline,
buat apa ku kerjakan sekarang?
Setelah menghabiskan beberapa episode drama dari negeri yang terkenal
dengan bunga sakuranya, perasaan bosan kembali menghampiri. Tidak ada
pilihan lagi, aku segera membuka media sosial untuk melihat apa yang
teman-temanku posting. Aku bukan tipe yang suka membuka media sosial
sebenarnya.
Tawa yang sebelumnya terdengar dari mulutku terhenti seketika ketika ku
dapati snapgram salah satu selebgram terkenal. Postingan biasa
sebenarnya. Hanya beberapa paragraf curhatan, tapi curhatan itulah yang
membuatku terpaku.
Ditulisan itu ia menceritakan betapa menyedihkannya kondisi ayahnya yang
berprofesi dokter saat ini. Dia menceritakan bahwa ayahnya yang sudah
berumur —tetapi tetap kekeuh untuk merawat mereka yang sudah
dinyatakan positif Covid-19— itu kini harus terbaring di rumah sakit. Tak
hanya itu, ia juga menceritakan jika dia bahkan tidak diizinkan sama sekali
untuk menemui ayahnya. Di akhir snapgram-nya, ia menyatakan jika ia
sangat menyayangkan mereka yang punya kesempatan untuk tetap di
rumah saja, tapi tetap berkeliaran.
Baginya, jika itu nantinya hanya akan merugikan diri sendiri, tidak masalah.
Tapi nyatanya mereka yang nanti mungkin saja tertular akibat egoisme yang
tinggi akan merugikan para tenaga medis. Bukan cuman ayahnya, ia juga
menyebut tenaga medis lain harus merelakan tidak bertemu keluarganya
bahkan sampai merelakan kesehatan mereka sendiri untuk merawat pasien
Covid-19 yang terus berdatangan.
Selesai membacanya, aku terdiam menatap kosong ponsel yang kini
menayangnya snapgram salah satu temanku yang terlihat santai berkumpul
dengan teman-temannya. Baru kini ku sadari betapa egoisnya aku saat ini.
Di saat aku terus merengek tidak ingin di rumah saja, ada para tenaga medis
yang jika bisa, mungkin mereka akan dengan suka rela bertukar posisi
dengan ku.
“Kok main hp terus? Udah ngerjain tugas belum?” Mama yang entah sejak
kapan berdiri di pintu menghampiriku lalu bertanya. Aku cuman tersenyum
tanpa tau mau membalas apa. Beliau mungkin bisa pingsan kalau aku jawab
dengan jawaban yang sebenarnya.

Melihatku yang tidak menjawabnya, beliau menghela napas seakan tau


kelakuan putrinya. “Kalau kamu terus nunda ngerjainnya, ntar ketumpuk
sama tugas lain. Pas udah kerasa aja bebannya, baru deh tuh ngomel-
ngomel nyalahin orang, padahal mah salah sendiri.” Aku terdiam, makin
tidak tau mau menjawab apa karena apa yang dikatakan beliau benar
adanya.

“Padahal guru kamu bikin tenggat waktu biar kamunya gak kerepotan dan
jadi beban, tapi kalau yang gitu aja kamu gak bisa ngerti jangan harap
gurumu bisa ngertiin kamu balik.” Setelahnya aku benar-benar terdiam,
sampai suara pintu tertutup mengalihkan kembali pikiranku.

Dengan pola pikir baru, aku kembali mengalihkan website tempatku


menonton drama tadi menuju website sekolah. Mencoba mengerjakan tugas-
tugas yang sebelumnya ku abaikan dengan internet dan buku sebagai
sumber. Tidak gampang memang, ditambah aku bukanlah siswi yang mudah
menangkap pelajaran.
Tapi aku mencoba untuk tidak menyerah. Aku bahkan dengan berani
membuka obrolan pribadi dengan guru demi mendapat penjelasan yang ku
inginkan. Satu hal yang kemudian menyadarkanku.

Kita hanya percaya pada apa yang ingin kita percayai. Sesuatu yang sudah
kita pikir ‘susah’ di awal akan terus terlihat susah sampai kita sendiri mau
mencoba dan membuktikannya.
Aku sudah membuktikannya, karena ternyata setelah aku lakukan dengan
senang hati, learn from home dan quarantine tidak seburuk itu. Kita hanya
perlu menemukan cara yang membuat kita nyaman sehingga sesuatu yang
kita kerjakan tidak akan menjadi beban dan terasa menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai