Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Pemetaan Potensi Kawasan Budidaya Rumput

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENELITIAN

PEMETAAN POTENSI KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT


LAUT DI PERAIRAN TENGGARA PULAU BALI

TIM PENELITI

1. Prof. Dr. I Wayan Arthana, Msi


2. Nyoman Dati Pertami, SP., Msi
3. I Gede Hendrawan, S.Si., M.Si
4. Dwi Budi Wiyanto, S.Kel., MP
5. Ima Yudha Perwira, S.Pi., MP
6. Devi Ulinuha, S.Pi., MP

DIBIAYAI DARI DANA DIPA BLU UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN ANGGARAN 2012 (BOPTN)
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
NOMOR : 0791/023-04.2.16/20/2012
TANGGAL: 26 SEPTEMBER 2012

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS UDAYANA
2012
1
HALAMAN PENGESAHAN

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Judul Penelitian : Pemetaan Potensi Kawasan Budidaya Rumpur Laut di
Perairan Tenggara Pulau Bali
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Pro.f Dr. I Wayan Arthana, M.Si
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIP : 19600728 198609 1 001
d. Jabatan Fungsional : Guru Besar
e. Jabatan Struktural : Plt. Pembantu Dekan I
f. Bidang Keahlian : Ekologi Lingkungan Perairan
g. Fakultas/PS : Kelautan dan Perikanan / Manaj. Sumberdaya Perairan
h. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
i. Tim Peneliti :
No Nama Bidang keahlian Fakultas/PS Perguruan
Tinggi
1. Nyoman Dati Konservasi Pesisir FKP / Manaj. Universitas
Pertami, SP, M.Si dan Laut Sumberdaya Perairan Udayana
2 I Gede Hendrawan, Oseanografi fisik FKP / Ilmu Kelautan Universitas
S.Si, M.Si Udayana
3 Ima Yudha Biologi Kelautan FKP / Manaj. Universitas
Perwira, S.Pi, MP Sumberdaya Perairan Udayana
4 Dwi Budi Wiyanto, Ekologi Pesisir dan FKP / Ilmu Kelautan Universitas
S.Kel, MP Laut Udayana
5 Devi Ulinuha, S.Pi, Kesehatan FKP / Manaj. Universitas
MP Lingkungan Perairan Sumberdaya Perairan Udayana
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Pendanaan dan jangka waktu penelitian:
a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan : 3 bulan
b. Biaya total yang diusulkan : Rp 75.500.000,-
c. Biaya yang disetujui : Rp 75.500.000,-

Bukit Jimbaran, 26 November 2012


Mengetahui Ketua Peneliti
Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan UNUD

(Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM) (Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.Si)
NIP:19480628 197903 1 001 NIP: 19600728 198609 1 001

2
PEMETAAN POTENSI KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI
PERAIRAN TENGGARA PULAU BALI
I Wayan Arthana1, Nyoman Dati Pertami1, I Gede Hendrawan2, Ima Yudha Perwira1, Dwi
Budi Wiyanto2, dan Devi Ulinuha1

1. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan,


Universitas Udayana, Propinsi Bali, Indonesia
2. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana,
Propinsi Bali, Indonesia

RINGKASAN

Rumput laut adalah salah satu potensi sumberdaya perairan laut di Indonesia, dan merupakan
salah satu komoditas yang sangat popular karena memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi.
Pentingnya pemanfaatan komoditas ini sebagai salah satu komoditas budidaya menjadi alasan
yang kuat untuk melakukan sebuah pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut. Perairan
tenggara Pulau Bali merupakan kawasan perairan yang unik, dengan karakter sumberdaya
fisik kelautan yang spesifik, yaitu karakter arus, pasang surut, kandungan nutrient, serta
intensitas paparan sinar matahari yang sangat sesuai bagi kebutuhan pengembangan usaha
budidaya rumput laut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan potensi
kawasan budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali, sehingga ke depannya dapat
digunakan sebagai sumber informasi dan acuan pengembangan produksi rumput laut di Pulau
Bali. Penelitian dilakukan secara deskriptif melalui dua tahapa, yaitu analisa citra digital
(remote sensing) dan analisa kondisi factual secara in situ di lokasi penelitian. Berdasarkan
analisa citra digital diketahui bahwa jumlah klorofil di perairan tenggara Bali memiliki
rentang dari 0,25 hingga 2,5 mg/m3, memiliki rentang suhu dari 250 C hingga 310 C, dan
memiliki kecepatan rata-rata arus 2,5 m/s melalui arus pasut utara dan 3 m/s melalui arus
pasut selatan, dan berdasarkan analisa hasil factual secara in situ di beberapa lokasi penelitian
diketahui bahwa perairan tenggara Pulau Bali memiliki kisaran suhu 29-30oC, salinitas 29-30
ppt, pH 7-9, dan kandungan oksigen terlarut 3-7 mg/L. Berdasarkan analisa citra digital
(remote sensing) dan kondisi faktual secara in situ di lapangan dapat direkomendasikan
bahwa wilayah perairan yang layak sebagai lokasi budidaya rumput laut adalah Perairan
Pantai Tanjung Tengkulung, Perairan Pantai Kutuh, Perairan Pantai Padang Bai Karangasem,
dan Perairan Pantai Sengkidu Karangasem.
Kata Kunci: Pemetaan, Potensi, Rumput Laut, Perairan Tenggara, Bali

3
MAPPING OF THE POTENTIAL SEAWEED CULTURE AREA ON
SOUTHEAST BALI ISLAND WATERS
I Wayan Arthana1, Nyoman Dati Pertami1, I Gede Hendrawan2, Ima Yudha Perwira1, Dwi
Budi Wiyanto2, dan Devi Ulinuha1

1. Department of Aquatic Resource Management, Faculty of Marine and Fisheries Science,


Udayana Univerity, Bali Province, Indonesia
2. Department of Marine Science, Faculty of Marine and Fisheries Science, Udayana
Univerity, Bali Province, Indonesia

SUMMARY

Seaweed is one of the most potential marine aquatic resources in Indonesia, and is one of the
most popular comodities because of having high advantage value. The importance of the use
of this commodities as a culture commodiities become a reason to perform a mapping of
potential seaweed culture area on southeast Bali Island waters. Southeast Bali waters is
unique, which is having specific physically marine charactersitic such as: water current, tide,
nutrient content, and also sunlight exposure intensity suitable for the development of seaweed
culture. The aim of this study is to mapping the potential seaweed culture area on southeast
Bali waters. Study is performed in two stages descriptively, digital image (remote sensing)
analysis and analysis of the factual condition in the location. Based on the digital image, it
had been known that total clorofil content on the waters is ranging from 0,25 to 2,5 mg/m3,
temperature ranging from 250 C to 310 C, and is having water current 2.5 m/s in north tide and
3 m/s in south tide. The result from factual condition describe the water temperature which is
ranging from 29-30oC, water salinity ranging from 29-30 ppt, pH 7-9, and Dissolved Oxygen
ranging from 3-7 mg/L. It could be concluded from the result that the most suitable and
appropriate location for the culture of seaweed on southeast Bali waters are Tanjung
Tengkulung, Kutuh, Padang Bai, and Sengidu waters.
Keyword: Mapping, Potential, Seaweed, Southeast waters, Bali

4
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian Hibah
Unggulan Udayana dengan judul penelitian Pemetaan Potensi Kawasan Budidaya Rumput
Laut di Perairan Tenggara Pulau Bali. Kegiatan ini dilakukan sebagai Salah satu upaya untuk
meningkatkan kegiatan penelitian serta meningkatkan budaya ilmiah di Universitas Udayana.
Laporan penelitian hibah unggulan udayana ini merupakan salah satu syarat
kelengkapan berkas hibah penelitian unggulan Udayana di Universitas Udayana. Dengan
adanya tulisan ini diharapkan dapat memerikan manfaat secara nyata dalam upaya pemetaan
potensi wilayah pesisir dan laut di wilayah Propinsi Bali pada umumnya, dan Kawasan
Tenggara Bali pada khususnya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penulisan laporan ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman
penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bukit Jimbaran, 26 November 2012

Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, MSi

5
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Pengesahan ............................................................................................. 2
Ringkasan dan Summary........................................................................................ 3
Kata Pengantar ....................................................................................................... 5
Daftar isi ................................................................................................................ 6
Daftar Gambar ....................................................................................................... 7
1 Pendahuluan....................................................................................................... 8
Latar Belakang .................................................................................................. 8
Rumusan Masalah ............................................................................................. 9
Tujuan Penelitian............................................................................................... 9
2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 10
Biologi Rumput Laut ......................................................................................... 10
Budidaya Rumput Laut ...................................................................................... 12
Parameter Oseanografi ...................................................................................... 13
3 Metode Penelitian .............................................................................................. 16
Tipe Penelitian .................................................................................................. 16
Ruang Lingkup .................................................................................................. 16
Sumber Data dan Variabel Penelitian................................................................. 16
Lokasi Pengambilan Sampel .............................................................................. 16
Pengambilan Sampel ......................................................................................... 16
4 Hasil dan Pembahasan........................................................................................ 18
Hasil.................................................................................................................. 18
Pembahasan....................................................................................................... 28
5 Kesimpulan dan Saran........................................................................................ 32
Daftar Pustaka.......................................................................................................... 34

6
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Gambar 1. Karakteristik Bulanan Klorofil-a ............................................................. 19
2 Gambar 2. Karakteristik Musiman Klorofil-a............................................................ 20
3 Gambar 3. Karakteristik Klorofil-a (JJA dan DJF) .................................................... 20
4 Gambar 4. Variabilitas Klorofil di Tenggara Bali ..................................................... 20
5 Gambar 5. Karakteristik SPL Bulanan ...................................................................... 22
6 Gambar 6. Karakteristik SPL Musiman .................................................................... 23
7 Gambar 7. Karakteristik SPL JJA dan DJF ............................................................... 23
8 Gambar 8. Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Tenggara Bali................................ 23
9 Gambar 9. Pola Arus Pasang Surut, Arus Pasang surut menuju ke utara (Kiri) dan
mengarah ke selatan (Kanan) .................................................................................... 24
10 Gambar 10. Hasil pengukuran suhu pada masing-masing titik pengamatan ............... 27
11 Gambar 11. Hasil pengukuran salinitas pada masing-masing titik pengamatan ......... 27
12 Gambar 12. Hasil pengukuran pH pada masing-masing titik pengamatan ................. 27
13 Gambar 13. Hasil pengukuran DO pada masing-masing titik pengamatan ................ 27

7
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumput laut adalah salah satu potensi sumberdaya perairan laut di Indonesia, dan
merupakan salah satu komoditas yang sangat populer karena memiliki nilai kemanfaatan yang
tinggi. Ditinjau dari fungsi dan kemanfaatan secara ekologis, komoditas ini memainkan peran
sebagai tempat pembesaran dan perlindungan untuk berbagai jenis ikan di wilayah perairan
laut, dan dapat digunakan sebagai sumber makanan alami (Winarno, 1990). Selain
kemanfaatan dari sisi ekologis, komoditas ini juga melakukan peran yang sangat signifikan
bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi manusia. Menurut Wirjatmadi (2002), rumput laut
memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap, dimana kandungan dari nutrisi di dalam
rumput laut tersebut adalah air (27,8 %), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%),
serat (3%) dan abu (22,25%). Selain itu, terdapat pula beberapa jenis nutrient pendukung yang
ada di dalamnya, antara lain: mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin
(A,B,C,D, E dan K), makro mineral, seperti: kalsium dan selenium serta mikro mineral,
seperti: zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam amino, vitamin dan mineral
rumput laut mencapai 10-20 kali lipat dibandingkan dengan tumbuhan darat.
Pentingnya pemanfaatan komoditas ini sebagai salah satu komoditas budidaya menjadi
alasan yang kuat untuk melakukan sebuah kajian tentang kelayakan lokasi budidaya rumput
laut. Budidaya rumput laut menjadi alternatif profesi bagi masyarakat di kawasan pesisir,
dalam kerangka pemanfaatan potensi wilayah pesisir yang merupakan kawasan perairan
litoral dan kaya akan keanekaragaman hayati. Rumput laut menjadi salah satu komoditas
unggulan di bidang budidaya perikanan karena komoditas ini memiliki nilai ekonomi yang
tinggi (high value commodity), dengan pohon industri yang lengkap, memiliki spektrum
pemanfaatan dan penggunaan yang sangat luas, daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi,
dilengkapi dengan teknologi budidaya yang tidak sulit, masa tanam yang relatif singkat (45
hari) dan biaya unit per produksi yang cukup murah. Budidaya rumput laut ini tentunya ke
depannya akan memiliki prospek yang sangat cerah dalam upaya menciptakan pertumbuhan
ekonomi (pro-growth), peningkatan kesempatan kerja (pro-eployement), dan pengentasan
kemiskinan (pro-poor) (Daryanto, 2007).
Keberhasilan usaha budidaya komoditas rumput laut tidak lepas dari kualitas lokasi
budidaya yang akan digunakan. Rumput laut memiliki prasyarat tersendiri terhadap kualitas
media pertumbuhannya. Kualitas air yang baik tentunya akan mendorong pertumbuhan
rumput laut secara optimal. Perairan tenggara Pulau Bali merupakan kawasan perairan yang
unik, dengan karakter sumberdaya fisik kelautan yang spesifik. Keunikan dari karakter
8
perairan tenggara Pulau Bali yang belum tentu dapat didapatkan dari wilayah lain adalah
potensi pemanfaatan perairan untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut. Karakter
arus, pasang surut, kandungan nutrient, serta intensitas paparan sinar matahari di kawasan
perairan ini sangat sesuai bagi kebutuhan pengembangan usaha budidaya rumput laut. Oleh
karena itu, tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi lokasi yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan usaha budidaya rumput laut serta
mengevaluasi kesesuaian lokasi budidaya rumput laut yang sudah ada untuk dapat dipetakan
kembali kelayakan lokasinya.

1.2 Rumusan Masalah


Perairan tenggara Pulau Bali merupakan kawasan perairan yang unik, dengan karakter
sumberdaya fisik kelautan yang spesifik. Kekhasan lingkungan perairan laut di perairan
tenggara Bali, perlu dikaji untuk keperluan analisa dan evaluasi kelayakan lokasi budidaya
rumput laut. Luasnya daerah perairan tenggara pulau Bali menjadi kendala dalam upaya
menentukan lokasi yang paling tepat sebagai lokasi budidaya rumput laut demi mendapatkan
hasil yang paling optimal. Oleh karena itu diperlukan suatu pemetaan potensi kawasan
budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan potensi kawasan
budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali, sehingga ke depannya dapat digunakan
sebagai sumber informasi dan acuan pengembangan produksi rumput laut di Pulau Bali.

9
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Biologi Rumput Laut


Secara morfologis rumput laut merupakan tanaman laut yang berklorofil dan
berthallus, artinya tidak jelas perbedaan antara akar, batang dan daun. Perbedaan rumput laut
jenis satu dengan jenis yang lainnya terletak pada thallusnya. Berupa bulat, pipih, gepeng,
dan juga berbentuk seperti helai rambut, susunan thallus ada yang uniseluler (sel satu) atau
multi seluler (banyak sel). Thallus ini bisa bercabang dua, berderet searah pada satu sisi
thallus utama, bercabang dua-dua sepanjang thallus utama secara selang-seling (Santosa,
2003).
Keanekaragaman jenis rumput laut di perairan Indonesia cukup tinggi, tetapi pada saat
ini baru dikenal lima jenis yang bernilai ekspor tinggi, yaitu adalah Gelidium, Gelidiella,
Hypnea, Eucheuma, dan Gracilaria. Dua jenis diantaranya sudah dibudidayakan dan
berkembang di masyarakat, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Daerah budidaya rumput laut di
Indonesia yang membudidayakan jenis Eucheuma dan Gracilaria adalah Kepulauan Riau,
Lampung, Kepulaun Seribu, Bali, Lombok, Flores, Sumba, Sulawesi, dan Madura (Sediadi
dan Budihardjo, 2000).
Rumput laut termasuk golongan alga yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan berklorofil
yang terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidup diperairan yang dangkal,
dengan dasar perairannya berpasir, berlumpur atau pasir. Rumput laut biasa hidup di daerah
pasang surut yang perairannya jernih, dan menempel pada karang yang mati, potongan karang
atau substrat lainnya baik yang berbentuk secara alamiah maupun buatan (Afrianto dan
Liviawati, 1993).
2.1.1. Klasifikasi Rumput Laut
Rumput laut ini tergolong alga yang dikelompokkan menjadi empat kelas, yaitu alga
hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae) dan
alga merah (Rhodophyceae) (Winarno, 1996). Keempat kelas tersebut yang membedakan
adalah pigmennya, Rhodophyceae memiliki pigmen fikobilin yang terdiri fikoeritrin
(berwarna merah) dan fikosianin (berwarna biru). Selain itu, Rhodophyceae bersifat adaptasi
kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas
pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus seperti : merah tua, merah
muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. Spesies dari divisi ini yang mempunyai nilai
ekonomis adalah dari marga Gracilaria, Gelidium, Hypnea, Gigartina, Rhodymenia dan
Eucheuma sebagai penghasil ekstrak caragenan, foodstuff dan penghasil agar-agar. Menurut

10
Suptijah (2002), marga Eucheuma terdiri dari dua spesies yaitu Eucheuma spinosum dan
Eucheuma cottonii yang mempunyai ciri-ciri :
- Thallus (kerangka tubuh tanaman) bulat silindris atau gepeng
- Berwarna merah, merah-coklat , hijau-kuning dan sebagainya
- Bercabang berselang tidak teratur, di atau trikotomous.
- Memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines
- Substansi thallus “gelatinus” dan/atau “kartilagenus” (lunak seperti tulang rawan)
Pigmentasi merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi rumput laut. Pigmen ini
terdapat pada thallus dan perbedaan pigmen akan menentukan warna thallus yang ada dalam
kelas seperti alga hijau, alga coklat, alga merah, dan alga biru. Satu kelas misalnya alga
merah, warna thallus yang muncul tidak selalu hanya merah tetapi ada yang hijau kekuning-
kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklat-coklatan. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan lingkungan hidupnya yang berbeda dan berubah-ubah akibat fenomena Hidro-
Oceanografis (Indriani dan Sumiarsih, 2003).
2.1.2. Habitat dan Penyebarannya
Habitat rumput laut adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap,
umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam
air (subtidal). Melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang
batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska, umumnya E. cottonii tumbuh dengan baik
di daerah pantai terumbu (reef), karena di tempat tersebut beberapa persyaratan untuk
pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor suhu perairan, substrat dan gerakan air.
E. cottonii lebih bagus dengan suhu harian antara 25-300C dalam proses pertumbuhannya.
Alga ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya yang memiliki
keuntungan dalam hal penyebaran spora (Aslan, 2006).
Namun pada E. Spinosum, algae ini tumbuh tersebar di perairan Indonesia pada
tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain substrat batu, air
jernih, ada arus atau terkenan gerakan air lainnya, kadar garam antara 28-36 per mil dan
cukup sinar matahari (Nazam, 2004).
Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar merupakan rumput laut dari jenis
Eucheuma dan Glacillaria. Permintaan luar negeri terhadap rumput laut Indonesia pada tahun
1990 sebesar 10.779 ton dengan total nilai US $ 7,16 juta yang terus meningkat hingga pernah
mencapai 28.104 ton pada tahun 1995 dengan total nilai US $ 21,30 juta (DKP, 2002).
Komoditas rumput laut menjadi salah satu hasil laut yang di unggulkan dan
dikembangkan secara luas tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (mencapai 384,73
ribu ha), dengan target produksi pada tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Selama periode 2004-
11
2008, produksi rumput laut Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan
trend sebesar 52,87%. Pada tahun 2004 produksi rumput laut sebesar 406,68 ribu ton dan
meningkat terus menjadi sebesar 877,77ribu ton (2005), 1,35 juta ton (2006), 1,49 juta ton
(2007), 1,96 juta ton (2007) dan menjadi 3,08 juta ton pada tahun 2010 (Mulatsih, 2011)
Data ststistik produksi rumput laut menurut provinsi utama (Riau, Bali, NTB, NTT,
Sulut, Sulteng dan Sulsel) dari tahun 1999 hingga 2003 yaitu 157.232 ton, 230.183 ton,
246.930 ton dan 285.654 ton dengan kenaikan rata-rata 17,26% (Ditjenkan Budidaya, 2005).
Sebagian rumput laut yang sempat berhasil dipanen masih diekspor dalam bentuk mentah
dengan nilai tambah yang rendah, tanpa tersentuh teknologi yang tinggi sehingga menjadi
produk yang penting seperti; alginat, karaginan, agar-agar dan lain sebagainya (Winarno,
1996).
Pulau Bali merupakan salah satu pulau penghasil rumput laut di Indonesia. Produksi
rumput laut di Bali pada 2008 turun 15,2% dibandingkan 2007. Produksi pada 2007 mencapai
152.226 ton, sementara 2008 hanya 129.095 ton atau turun 23.131 ton. Meski dari produksi
merosot, namun hasil penjualan menunjukkan peningkatan 77,31% dari Rp 71 miliar tahun
2007 menjadi Rp126 miliar pada 2008. Bali memiliki potensi pengembangan rumput laut
seluas 800 hektar dan baru dimanfaatkan 481 hektar atau 55%. Potensi tersebut tersebar di
perairan lima kabupaten yang meliputi Nusa Penida Kabupaten Karangasem, Kabupaten
Badung, Buleleng dan kota Denpasar. Petani rumput laut di Bali terhimpun dalam 109
kelompok beranggotakan 3.350 petani. (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2009).
2.2. Budidaya Rumput Laut
Kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus memperbesar devisa negara dan sektor nonmigas.
Maka cara terbaik untuk tidak menggantungkan persediaan dari alam adalah dengan budidaya
rumput laut, baik secara ekstensif maupun secara intensif dengan menggunakan lahan yang
ada (Anugrah, 1990).
Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga, dibuat potongan dengan ukuran tertentu (30-
150 gram) untuk dijadikan bibit. Bibit ini ditanam dengan cara mengikatnya pada tali nilon
maupun rakit di atas perairan dengan jarak tanam 20 cm. Pertumbuhannya dapat dilihat
dengan bertambah besarnya bibit tersebut (Afrianto dan Liviawati, 1993). Menurut Winarno
(1996), bahwa sebagian besar rumput laut Indonesia masih merupakan hasil panen alami, oleh
karena itu mutu, jumlah dan kesinambungan produksinya masih belum menentu. Mengatasi
masalah tersebut perlu dilakukan usaha pembudidayaan.
Kegagalan budidaya rumput laut sering disebabkan adanya penyakit yang dapat
merusak tanaman, bahkan menyebabkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh terjadinya
12
perubahan lingkungan yang eksterm (arus, suhu dan kecerahan) sehingga bakteri mudah
hidup. Karena itu monitoring lingkungan perlu dilakukan dengan cermat (Poncomulyo et al,
2006). Budidaya rumput laut secara umum di perairan pantai cocok diterapkan pada daerah
yang memiliki lahan tanah sedikit (sempit) serta penduduk padat. Sehingga diharapkan
pembukaan lahan budidaya rumput laut di perairan tersebut menjadi salah satu alternatif
terbaik untuk membantu mengatasi lapangan kerja yang makin kecil, khususnya di Pulau
Jawa (Aslan, 2006).
Metode rakit apung cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan
airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari
bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material.
Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit
yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam
(Anggadiredja, 2006).
Menurut laporan Anggadiredja (2006), keberhasilan budidaya rumput laut sangat
ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas rumput laut
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat perairan, metode
budidaya, suhu, arus, salinitas, kecerahan, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan
selama pemeliharaan, hama dan penyakit.
2.3. Parameter Oseanografi
Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut ditinjau dari segi
oseanografi menurut Soenardjo, (2003) yaitu:
a. Dasar perairan
Kondisi perairan yang paling baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah yang
memiliki dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan-potongan karang yang mati
dan bercampur dengan pasir karang.
b. Kedalaman air
Eucheuma sp secara alami didapati hidup dan tumbuh dengan baik pada kedalaman air
10-30 cm pada surut terendah.
c. Salinitas
Eucheuma sp tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya
air tawar akan menyebabkan pertumbuhan Eucheuma sp menjadi tidak normal. Namun
sebaiknya lokasi budidaya terletak jauh dari mulut muara sungai yang debit airnya besar.
Hal tersebut berguna untuk menghindari adanya endapan lumpur. Salinitas untuk
pertumbuhan optimal Eucheuma sp sekitar 28-34 permil dengan nilai optimum salinitas
33 permil.

13
d. Suhu
Suhu air laut yang baik untuk budidaya Eucheuma sp berkisar antara 27o-30oC,
Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut yang menjadi
pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat.
e. Pencemaran
Pencemaran pada lokasi budidaya rumput laut dari bekas solar atau minyak dari
pengisian bahan bakar motor tempel akan mengakibatkan terjadinya kerontokan atau
keguguran pada thallus.
f. Kejernihan air
Budidaya rumput laut dengan tingkat kejernihan air yang tinggi sangat dibutuhkan,
sehingga cahaya dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna
oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih
dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut.
g. Keasaman (pH)
Rumput laut umumnya tumbuh pada pH optimal bagi pertumbuhan Eucheuma sp
antara 7,5-8,0.
H. Angin dan Arus
Kesuburan lokasi tanaman sangat ditentukan oleh adanya gerakan air yang berombak
maupun arus. Gerakan air ini merupakan pengangkut yang paling baik untuk zat makanan
yang diperlukan bagi pertumbuhan rumput laut. Ombak dan arus merupakan alat pengaduk
yang baik sehingga air menjadi homogen.
Arus dapat mengatasi kenaikan temperatur air laut yang tajam. Kecepatan arus yang
dianggap cukup untuk budidaya rumput laut kira-kira 20-40 cm per detik. Untuk
pertumbuhannya, Eucheuma sp membutuhkan gerakan air yang berupa ombak yang dominan
sepanjang tahun. Suatu perairan yang mempunyai cukup gerakan air ditandai oleh terdapatnya
karang lunak (soft coral) dan juga ditandai oleh kondisi daun (Thalasia, Euchallis) yang
bebas dari debu air 9 (silt) (Winarno, 1996)
Laju pertumbuhan per hari sangat ditentukan oleh sesuai atau tidaknya perairan
tersebut bagi kehidupan tanaman. Salah satu faktor terpenting adalah cukup kuat tidaknya
gerakan air/arus yang berfungsi sebagai pembawa makanan/zat hara tanaman. Kondisi
perairan yang optimum untuk budidaya E. spinosum adalah kecepatan air sekitar 20-40 cm
per detik, dasar perairan cukup keras tidak berlumpur, kisaran salinitas 28-34 ppt (optimum
33 ppt), suhu air berkisar 20-28oC dengan fluktuasi harian maksimal 4oC, kecerahan tidak
kurang dari 5 m, pH antara 7,3 - 8,2 (Nazam, 2004).

14
Lokasi budidaya hendaknya dipilih perairan yang terlindung, namun masih memiliki
pergerakan air yang baik. Sehingga dengan adanya pergerakan air, hara dalam air dapat selalu
bergerak dan menyebar sehingga dapat diharapkan menjadi hara bagi pertumbuhan rumput
laut. Persyaratan hara yang diperlukan (fosfat dan nitrat) biasanya sulit diperkirakan dan
ditentukan. Hendaknya dipilih perairan yang bebas polusi, baik polusi oleh limbah domestik
(rumah tangga) maupun limbah dari industri. Adanya polusi logam berat seperti merkuri (Hg),
akan banyak meningkatkan biaya produksi dan pembersihan. Persyaratan umum lainnya
adalah perairan harus bersih dan jernih karena perlu untuk fotosintesis tanaman. Daerah
budidaya hendaknya dipilih daerah yang terpencil dan mudah dicapai dengan transportasi
yang ada (Winarno, 1996).
Persyaratan hidup yang dikaitkan dengan habitat masing-masing jenisnya adalah
sebagai berikut, jenis Eucheuma hidup menempel pada dasar perairan karang (coral reef).
Apabila polutan yang mencemari perairan ternyata mengganggu pertumbuhan, maka
budidaya dapat mengalami kegagalan. Beberapa jenis logam berat seperti merkuri (Hg) dan
timbal (Pb) dapat terakumulasi di dalam tanaman tanpa membahayakan tanaman. Namun
demikian, bila produk rumput laut tersebut kelak digunakan untuk bahan mentah industri
pangan, minuman, farmasi dan kosmetika, maka hal ini akan membahayakan konsumen.
Karenanya perlu pengolahan khusus yang biayanya relatif lebih mahal (Departemen
Pertanian, 1992).

15
III. METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian
Pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut didasarkan pada identifikasi model
untuk kondisi lingkungan di perairan tenggara Pulau Bali. Oleh karena itu penerapan model
yang paling baik adalah konsep eksplorasi. Penelitian eksploratif merupakan studi penjajakan,
pengetahuan tentang teori masih sangat sedikit atau samar-samar, dan dari hasil observasi
baru dapat dirumuskan lebih rinci (Salim, 2007). Penelitian akan dilakukan melalui dua
tahapan, yaitu analisa citra digital untuk mengetahui model kondisi lingkungan di lokasi
penelitian, dan analisa kondisi faktual secara in situ di lokasi penelitian.

2. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dari pelaksanaan penelitian ini adalah karakterisitik lingkungan
perairan di wilayah perairan tenggara Pulau Bali kecuali di kawasan Nusa Penida yang sudah
berkembang sebagai lokasi budidaya rumput laut. Di dalam penelitian ini akan dikaji tentang
berbagai parameter pembatas bagi pertumbuhan rumput laut di beberapa pantai yang
diindikasikan memiliki informasi kelayakan lokasi budidaya rumput laut dari hasil citra
digital dan remote sensing.

3. Sumber Data dan Variabel Penelitian


Karakteristik kondisi lingkungan di daerah perairan tenggara pulau Bali diperoleh dari
data satelit Aqua Modis yang di proses dengan perangkat lunak Seadas. Data satelit Aqua
Modis diambil selama satu tahun, dimana dipilih tahun yang relatif stabil, tidak dipengaruhi
oleh fenomena El-Nino southern oscillation (ENSO) ataupun Indonesian Dipole Mode
(IODM). Periode 10 tahun terakhir, tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang relatif stabil
(Kertayasa et al, 2012; Suryaningsih et al, 2012), sehingga pada penelitian ini di ambil data
pada periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Selain data analisa citra digital,
dilakukan pula analisa kondisi faktual secara in situ di lapangan yang meliputi suhu, salinitas,
pH dan kandungan oksigen terlarut.

4. Lokasi Pengambilan Sampel


Lokasi pengambilan sampel dilakukan di beberapa kawasan perairan di wilayah
perairan tenggara Pulau Bali antara lain: Perairan Pantai Semawang Sanur, Perairan Pantai
Serangan, Perairan Pantai Tanjung, Perairan Pantai Geger Nusa Dua, Perairan Pantai Kutuh
Kuta Selatan, Perairan Pantai Padang Bai, dan Perairan Pantai Sengkidu Karangasem.

16
5. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan melalui pengumpulan langsung di lapangan (in situ).
Sampel yang diambil untuk data kualitas air meliputi DO, pH, Suhu dan Salinitas di beberapa
lokasi perairan yang telah direkomendasikan melalui hasil analisa citra digital dan remote
sensing.

17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Gambaran Citra Digital dan Remote Sensing Kondisi Lingkungan Perairan
Tenggara Pulau Bali
a. Karakteristik Bulanan dan Musiman Klorofil-a di PerairanTenggara Bali
Karakteristik bulanan dan musiman klorofil-a di daerah Tenggara perairan pulau Bali
diperoleh dari data satelit Aqua Modis yang di proses dengan perangkat lunak Seadas. Data
satelit Aqua Modis diambil selama satu tahun, dimana dipilih tahun yang relatif stabil, tidak
dipengaruhi oleh fenomena El-Nino southern oscillation (ENSO) ataupun Indonesian Dipole
Mode (IODM). Periode 10 tahun terakhir, tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang relatif
stabil (Kertayasa et al, 2012; Suryaningsih et al, 2012), sehingga pada penelitian ini di ambil
data pada periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.
Karakteristik Bulanan Klorofil-a
Klorofil-a di perairan tenggara Bali memiliki karakteristik yang berbeda setiap
bulannya. Karakteristik tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi iklim di atas
perairan. Karakteristik bulanan klorofil-a di tenggara Bali dapat dilihat melalui data satelit
Modis seperti terlihat pada Gambar.1. Secara umum konsentrasi klorofil-a terlihat tinggi
sepanjang bulan pada daerah perairan Gianyar sampai dengan Sanur menuju perairan nusa
penida sampai dengan sekitar perairan kaki Pulau Bali. Konsentrasi klorofil-a pada saat
musim hujan, yaitu pada bulan Desember sampai dengan maret tidak dapat terlihat
dikarenakan tertutup oleh awan.

Agustus 2008 September 2008

Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Oktober 2008 November 2008


Bali
Bali

Nusa Penida Nusa Penida

18
Desember 2008 Januari 2009
Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Februari 2009 Maret 2009


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

April 2009 Mei 2009


Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Juni 2009 Juli 2009


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

Gambar 1. Karakteristik Bulanan Klorofil-a


Karakteristik Musiman Klorofil-a
Karakteristik klorofil-a jika dilihat melalui variasi musiman, yaitu pada musim hujan
(Oktober-Maret) dan musim kemarau (April-September) dapat dilihat pada Gambar 2. Secara
umum konsentrasi klorofil-a di daerah perairan tenggara Bali lebih tinggi pada saat musim
kemarau di bandingkan dengan musim hujan, terutama di daerah perairan Nusa Penida,
sepanjang perairan Kabupaten Karangasem, dan perairan Kabupaten Gianyar sampai dengan

19
kaki Pulau Bali. Namun demikian, daerah perairan Kabupaten Gianyar sampai dengan kaki
pulau Bali memiliki konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi di musim hujan. Konsentrasi
klorofil-a pada saat puncak musim hujan (Desember-Januari-Februari [DJF]) dan puncak
musim kemarau (Juni-Juli-Agustus [JJA]) dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut
juga memperlihatkan karakteristik yang sama dengan karakteristik sebelumnya (saat musim
hujan dan kemarau).

Musim Hujan Musim Kemarau


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

Musim Kemarau

Gambar 2. Karakteristik Musiman Klorofil-a

DJF JJA
Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

Gambar 3. Karakteristik Klorofil-a (JJA dan DJF)

Variabilitas Klorofil di Tenggara Bali


Variabilitas klorofil-a ini diperoleh dengan meratakan klorofil-a di wilayah Tenggara
Bali yaitu pada 8,90 LS – 8,60 LS dan 115,20 BT – 115,70 BT, sehingga diperolehlah satu data
setiap bulannya. Dari data yang diperoleh dibuatlah grafik seperti pada Gambar 4:

Gambar 4. Variabilitas Klorofil di Tenggara Bali

20
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah klorofil di perairan tenggara Bali
memiliki rentang dari 0,25 hingga 2,5 mg/m3. Dari grafik di atas terlihat juga bahwa terjadi
peningkatan jumlah klorofil yang sangat tinggi yaitu pada bulan November 2008 dan pada
bulan April 2009.
b. Karakteristik Bulanan dan Musiman Suhu Permukaan Laut (SPL) Tenggara Bali
Karakteristik bulanan dan musiman dari suhu permukaan laut (SPL) di daerah
Tenggara Bali diperoleh dengan menggunakan Seadas. Dari karakteristik-karakteristik
tersebut dapat dilihat SPL yang terdapat dipermukaan laut. Semakin mendekati warna merah
maka wilayah tersebut memiliki SPL yang tinggi, sedangkan jika berwarna mendekati biru
maka daeraah tersebut memiliki SPL yang rendah.
Karakteristik Bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL)
SPL perairan tenggara Bali memiliki karakteristik yang berbeda setiap bulannya.
Seperti halnya klorofil-a, karakteristik SPL tersebut juga sangat dipengaruhi oleh perubahan
kondisi iklim di atas perairan. Karakteristik bulanan SPL di tenggara Bali ini, dapat dilihat
melalui data satelit Modis seperti terlihat pada Gambar 5. Secara umum SPL tenggara Bali
terlihat cukup tinggi sepanjang bulan, hal ini dapat dilihat melalui warna dari visualisasi
sebagian besar mendekati merah. Namun SPL akan sangat tinggi pada saat terjadinya musim
hujan yaitu pada bulan Oktober sampai dengan Maret dibandingkan pada saat terjadi musim
kemarau yaitu pada bulan April sampai September. SPL pada bulan Desember sampai dengan
Februari tidak dapat terlihat dikarenakan tertutup oleh awan yang biasanya terjadi pada
musim hujan.

Agustus 2008 September 2008


Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Oktober 2008 November 2008


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

21
Desember 2008 Januari 2009
Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Februari 2009 Maret 2009


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

April 2009 Mei 2009


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

Juni 2009 Juli 2009


Bali Bali

Nusa Penida Nusa Penida

Gambar 5. Karakteristik SPL Bulanan

Karakteristik Musiman Suhu Permukaan Laut


Untuk melihat karakteristik SPL musiman dari perairan tenggara Bali, dilakukan
perataan klorofil-a yaitu dari bulan Oktober-Maret (Musim Hujan), April-September (Musim
Kemarau), Juni-Agustus (merupakan puncak musim kemarau), dan Desember-Januari
22
(merupakan puncak musim hujan). Berikut ini adalah hasil visualisasi karakteristik SPL
musiman:

Musim Kemarau Musim Hujan


Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Gambar 6. Karakteristik SPL Musiman

Secara umum SPL tenggara Bali lebih tinggi pada saat musim hujan daripada saat
musim kemarau seperti dijelaskan sebelumnya. Sama halnya dengan visualisasi JJA
(merupakan puncak musim kemarau) dan DJF(merupakan puncak musim hujan), dimana pada
bulan-bulan JJA, SPL akan lebih rendah dari DJF , hal ini dapat dilihat dari Gambar 7.

JJA DJF
Bali Bali

Nusa Penida
Nusa Penida

Gambar 7. Karakteristik SPL JJA dan DJF

Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Tenggara Bali


Variabilitas SPL ini diperoleh dengan meratakan SPL di wilayah Tenggara Bali yaitu pada
8,90 LS – 8,60 LS dan 115,20 BT – 115,70 BT, sehingga diperolehlah satu data setiap
bulannya. Dari data yang diperoleh dibuatlah grafik seperti pada Gambar 8:

Gambar 8. Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Tenggara Bali


23
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah SPL di perairan tenggara Bali
memiliki rentang dari 250 C hingga 310 C. Dari grafik di atas terlihat juga bahwa SPL di
perairan tenggara Bali cukup tinggi dan SPL tertinggi terjadi pada bulan Maret 2009.
c. Arus Pasang Surut di Perairan Tenggara Bali
Untuk memperoleh gambaran umum tentang pola arus di perairan tenggara Bali, pada
penelitian ini di gunakan model numerik 3 dimensi Finite Volume Coastal Ocean Model
(FVCOM) yang di kembangkan oleh Chen et al (2006). Pemodelan numerik pada penelitian
ini digunakan 4 komponen pasang surat di batas terbuka, yaitu komponen semidiurnal (M2
dan S2) dan komponen diurnal (O1 dan K1). Dari perhitungan numeric didapatkan pola arus
pasang surut seperti terlihat pada Gambar 9.
Arus pasang surut yang mengarah ke Utara di awali dari perambatan arus kearah timur
di wilayah utara Nusa Penida dan mengalir sepanjang tenggara Bali. Arus pasut arah utara
terkuat dapat mencapai 4 m/s di antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mencapai
2,5 m/s di wilayah perairan selat badung. Sedangkan Arus pasang surut yang mengarah ke
selatan dimulai dari bagian tengah Selat Lombok menuju celah antara Pulau Nusa Penida dan
Pulau Lombok serta mengarah ke selat Badung. Arus pasang surut pada kondisi ini mengalir
disepanjang tenggara bali. Arus pasut yang mengarah ke selatan dapat mencapai 4, m/s di
wilayah perairan antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mencapai 3 m/s di
perairan selat Badung.

Gambar 9. Pola Arus Pasang Surut, Arus Pasang surut menuju ke utara (Kiri) dan mengarah
ke selatan (Kanan)

4.1.2 Gambaran Faktual Kondisi Lingkungan Perairan Tenggara Pulau Bali secara in
situ
b. Perbandingan Kualitas Air pada masing-masing titik pengamatan
Pantai Semawang
Berdasarkan pengukuran kualitas air secara in situ di lokasi penelitian didapat hasil
yang sangat bervariatif pada variable suhu, pH, DO dan salinitas air. Di titik pengamatan
24
pertama, yaitu Pantai Semawang suhu yang berhasil diukur pada tiga stasiun pengamatan
tercatat masing-masing sebesar 27oC, nilai salinitas tercatat pada masing-masing stasiun
sebesar 29,7 ppt. Nilai pH di Pantai Semawang Sanur pada titik pertama sebesar 9, pada titik
kedua sebesar 8, dan pada titik ketiga sebesar 8, dan Nilai DO (Dissolved Oxygen) di Pantai
Semawang Sanur pada titik pertama sebesar 5,11 mg/L, pada titik kedua sebesar 5,35 mg/L,
dan pada titik ketiga sebesar 5,43 mg/L. Kondisi perairan Pantai Semawang Sanur ini yang
memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang
menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut.
Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup.
Pantai Pulau Serangan
Hasil pengukuran kualitas air di kawasan Pantai Pulau Serangan didapatkan nilai suhu
pada masing-masing stasiun sebesar 27oC, dan Nilai salinitas masing-masing sebesar 29 ppt.
Nilai pH pada masing-masing stasiun menunjukkan keseragaman nilai yaitu pH=7. Pada
pengkuran kandungan oksigen terlarut, didapatkan nilai yang bervariatif pada masing-masing
stasiun pengamatan, yaitu pada titik pertama sebesar 3,07 mg/L, pada titik kedua sebesar 3,56
mg/L, dan pada titik ketiga sebesar 4,33 mg/L. Kondisi perairan Pantai Serangan ini memiliki
dasar perairan berupa pasir putih kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan
adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi
perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup
Pantai Tanjung Tengkulung
Hasil pengamatan dan pengukuran kualitas air pada titik ketiga, yaitu Pantai Tanjung
Tengkulung memperlihatkan hasil suhu sebesar 28oC, salinitas sebesar 29 ppt dan pH 8.
Selain itu, hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut menunjukkan hasil yang sangat
bervariatif, yaitu pada titik pertama sebesar 5,91 mg/L, pada titik kedua sebesar 5,76 mg/L,
dan pada titik ketiga sebesar 6,32 mg/L. Kondisi perairan Pantai Tanjung yang memiliki dasar
perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya
pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di
pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup.
Pantai Geger Nusa Dua
Berdasarkan hasil pengamatan di titik pengamatan keempat, yaitu Pantai Geger Nusa
Dua berhasil didapatkan data suhu, salinitas, pH dan kandungan oksigen terlarut. Suhu yang
tercatat di lokasi pengamatan ini dari ketiga stasiun diketahui sebesar 28oC dan nilai pH 8.
Nilai salinitas pada lokasi ini adalah 30 ppt. Pada pengamatan nilai kandungan oksigen
terlarut di Pantai Geger diketahui pada stasiun pertama sebesar 3,53 mg/L, pada stasiun kedua
sebesar 4,33 mg/L, dan pada stasiun ketiga sebesar 3,75 mg/L. Kondisi perairan Pantai Geger
25
ini yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang
menyebabkan lingkungan ini cocok bagi pengembangan rumput laut. Kondisi perairan di
pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup.
Pantai Kutuh Sawangan
Hasil pengamatan pada titik kelima, yaitu Pantai Kutuh Sawangan diketahui nilai dari
kualitas air di lokasi tersebut. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa nilai suhu pada titik
pertama sebesar 29oC, pada titik kedua 28oC, dan pada titik ketiga 29oC. Selain itu diketahui
pula nilai salinitas di perairan pantai tersebut, yaitu sebesar 30 ppt di masing-masing stasiun
pengamatan. Pada pengamatan pH perairan diketahui bahwa pada masing-masing stasiun
pengamatan memiliki pH 8, dan kandungan oksigen terlarut sebesar 6,27 mg/L pada stasiun
pertama, pada stasiun kedua sebesar 6,54 mg/L, dan pada stasiun ketiga sebesar 6,89 mg/L.
Kondisi perairan Pantai Kutuh Sawangan yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar
yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik,
sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih
dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup.
Pantai Padang Bai, Karang Asem
Hasil pengamatan pada titik keenam, yaitu Pantai Padang Bai, Karangasem diketahui
nilai dari kualitas air di lokasi tersebut. Pengamatan suhu di lokasi tersebut menunjukkan nilai
sebesar 27oC pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan salinitas diketahui
nilai salinitas sebesar 30 ppt di masing-masing stasiun pengamatan. Pengamatan pada pH
perairan di lokasi penelitian menunjukkan nilai pH 8 di masing-masing stasiun pengamatan,
sedangkan pada pengamatan kandungan oksigen terlarut menunjukkan hasil yang beragam
yaitu Padangbai pada titik pertama sebesar 5,16 mg/L, pada titik kedua sebesar 5,68 mg/L,
dan pada titik ketiga sebesar 5,88 mg/L. Kondisi perairan Pantai Padangbai ini yang memiliki
dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan
adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi
perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup.
Pantai Sengkidu, Karang Asem
Hasil pengamatan pada titik ketujuh yaitu di Pantai Sengkidu Karang Asem, diketahui
nilai kualitas air yang bervariatif. Pada pengamatan suhu diketahui nilai sebesar 28oC pada
masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan salinitas perairan diketahui sebesar 30
ppt pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan pH perairan diketahui nilai
pH 8 pada masing-masing stasiun pengamatan, dan nilai kandungan oksigen terlarut pada titik
pertama sebesar 6,67 mg/L, pada titik kedua sebesar 6,54 mg/L, dan pada titik ketiga sebesar
6,45 mg/L. Kondisi perairan Pantai Sengkidu memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang
26
bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga
cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan
memiliki tingkat kecerahan yang cukup.
c. Perbandingan masing-masing variable kualitas air pada beberapa titik pengamatan
Berdasarkan pengamatan beberapa variable kualitas air pada beberapa titik
pengamatan, dapat diketahui gambaran perbandingan kualitas air sebagai informasi awal
kondisi perairan di masing-masing titik pengamatan tersebut. Pengamatan suhu pada beberapa
titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10, pengamatan salinitas pada beberapa titik
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11, pengamatan pH pada beberapa titik pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 12, dan pengamatan kandungan oksigen terlarut pada beberapa
titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13. Perbandingan variable kualitas air pada
masing-masing titik pengamatan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan
rekomendasi lokasi yang paling sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut.

Gambar 10. Hasil pengukuran suhu pada masing-masing titik pengamatan

Gambar 11. Hasil pengukuran salinitas pada masing-masing titik pengamatan

27
Gambar 12. Hasil pengukuran pH pada masing-masing titik pengamatan

Gambar 13. Hasil pengukuran DO pada masing-masing titik pengamatan


4.2 Pembahasan
Suhu memiliki keterkaitan erat dan sangat mempengaruhi kehidupan rumput laut.
Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti
fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981).
Perkembangan tetraspora pada salah satu jenis rumput laut yaitu Polysiphonia berlangsung
dengan baik pada kisaran suhu 25-30oC dan sebaliknya pertumbuhan akan terhambat bila
temperatur rendah dan intensitas cahaya tinggi (Dahuri, 2003). Sedangkan menurut Kadi dan
Atmadja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya Eucheuma berkisar antara 27-30°C.
Tingginya suhu perairan memiliki dampak yang kurang baik bagi pertumbuhan rumput laut,
sesuai dengan pernyataan Haslam (2005), bahwa suhu yang tinggi dapat mempengaruhi
aktivitas proses biokimia dan pertumbuhan thallus. Hal ini disebabkan peningkatan suhu
dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas O2, CO2, N2 dan CH4 dalam air. Berdasarkan
analisa citra digital, karakter suhu permukaan air laut menunjukkan kisaran 25-31oC. Pada

28
musim hujan, suhu permukaan air laut cenderung menunjukkan kisaran suhu sebesar 25oC
dan pada musim kemarau suhu permukaan air laut cenderung menunjukkan kisaran suhu
sebesar 27oC. Berdasarkan hal tersebut diatas, semua titik pengamatan (Pantai Semawang,
Pantai Pulau Serangan, Pantai Tanjung Tengkulung, Pantai Geger, Pantai Kutuh, Pantai
Padangbai, dan Pantai Sengkidu) memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan optimal dari
rumput laut dimana suhu di semua titik pengamatan menunjukkan kisaran 27-28oC, dan
berdasarkan analisa citra digital kisaran suhu rata-rata di perairan tenggara Pulau Bali
menunjukkan kisaran 25-31oC.
Parameter lain yang sangat berperan dalam pertumbuhan rumput laut adalah salinitas
perairan. Salinitas merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan rumput laut. Mekanisme
osmoregulasi pada rumput laut dapat terjadi dengan menggunakan asam amino atau jenis-
jenis karbohidrat. Kisaran salinitas yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut
menjadi tidak normal. Doty (1985), menyatakan bahwa salinitas yang dikehendaki oleh
rumput laut Eucheuma yaitu berkisar antara 29-34 ppt. Sedangkan Kadi dan Atmadja (1988)
menyatakan bahwa kisaran salinitas untuk pertumbuhan rumput laut yaitu 30-34 ppt. Pada
beberapa jenis rumput laut, salah satunya Gracillaria memiliki toleransi terhadap kisaran
salinitas yang tinggi (Luning, 1990), akan tetapi pertumbuhan optimal hanya dapat terjadi
pada salinitas 30 ppt. Selain itu, fungsi reproduksi berupa pelepasan spora Gracilaria sp
biasanya berlangsung pada salinitas 10-40 ppt (Susanto et al, 1996). Berdasarkan berbagai
pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perairan tenggara pulau Bali memiliki
kisaran salinitas yang cukup tinggi dengan kisaran 29-30 ppt. Walaupun menurut beberapa
pakar, kisaran salinitas tersebut merupakan batas rendah dari kondisi optimal pertumbuhan
rumput laut, tetapi masih dapat dikatakan layak untuk dijadikan sebagai lokasi budidaya
rumput laut seperti yang dinyatakan oleh Susanto et al (1996), bahwa kisaran salinitas yang
dapat ditelorir rumput laut adalah 40 ppt. Tingkat keasaman (pH) perairan juga memiliki
peran yang cukup signifikan dalam pertumbuhan rumput laut. Menurut Salim (1986), kondisi
perairan yang normal memiliki kisaran pH antara 8,0-8,3, dan menurut Sediadi et al (2000),
pH yang baik dan sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar antara 6-9. Berdasarkan hasil
pengamatan di lokasi penelitian berhasi diketahui bahwa pH perairan di lokasi penelitian
berkisar antara 7-9. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi yang diamati layak untuk dijadikan
sebagai lahan budidaya rumput laut.
Arus menjadi salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam optimalisasi
pertumbuhan rumput laut, dimana faktor arus ini memainkan peranan penting dalam distribusi
unsure hara sebagai sumber makanan bagi rumput laut (Mubarak, 1981). Pola arus yang bagus
secara tidak langsung akan membawa cukup nutrient untuk rumput laut, dan dapat mencuci
29
kotoran-kotoran halus yang menempel pada thallus dari rumput laut. Akan tetapi, perlu
diperhatikan juga kecepatan arus air laut yang ada dalam kaitannya dengan perlindungan
eksistensi rumput laut dari arus yang kuat. Berdasarkan analisa citra digital, arus pasang surut
yang mengarah ke utara di awali dari perambatan arus kearah timur di wilayah utara Nusa
Penida dan mengalir sepanjang tenggara Bali. Arus pasut arah utara terkuat dapat mencapai 4
m/s di antara pulau nusa penida dan pulau Lombok serta mencapai 2,5 m/s di wilayah
perairan selat badung. Sedangkan Arus pasang surut yang mengarah ke selatan dimulai dari
bagian tengah Selat Lombok menuju celah antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok
serta mengarah ke selat Badung. Arus pasang surut pada kondisi ini mengalir disepanjang
tenggara bali . Arus pasut yang mengarah ke selatan dapat mencapai 4, m/s di wilayah
perairan antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mencapai 3 m/s di perairan selat
Badung. Hal ini menunjukkan bahwa Selat Badung memiliki kecepatan arus yang cukup kuat
dan mampu memenuhi kebutuhan tumbuh rumput laut. Dibandingkan wilayah perairan laut di
timur, perairan laut tenggara relatif lebih kecil sehingga mampu melindungi eksistensi rumput
laut.
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan
organisme untuk proses respirasi. Oksigen terlarut dalam air umumnya dari difusi oksigen,
arus atau aliran air melalui air hujan dan fotosintesis. Kadar oksigen terlarut bervariasi
tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Berdasarkan data hasil
pengamatan diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut di semua titik pengamatan berkisar
antara 3,07-6,89. Sebagian besar titik pengamatan memiliki kadar kandungan oksigen terlarut
lebih dari 4 mg/L, tetapi pada beberapa titik memiliki kandungan oksigen terlarut kurang dari
4 mg/L yaitu pada Pantai Serangan dan Pantai Geger Nusa Dua. Kandungan oksigen terlarut
lebih rendah dari 4 mg/L dapat mengindikasikan perairan tersebut mengalami gangguan
(kekurangan oksigen) akibat kenaikan suhu pada siang hari, malam hari akibat respirasi
organisme air juga disebabkan oleh adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan
masuknya limbah organik yang mudah terlarut. Pernyataan tersebut di atas didukung juga
oleh Standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Budidaya Perikanan)
Kep02/MENKLH/I/88 yang diperbolehkan lebih besar dari 4 mg/L. Berdasarkan baku mutu
kualitas air yang disyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maka lokasi yang tidak
direkomendasikan untuk budidaya rumput laut adalah Pantai Serangan dan Pantai Geger Nusa
Dua.
Pantai Serangan diduga memiliki tingkat cemaran yang cukup tinggi dibandingkan
dengan lokasi lainnya karena merupakan daerah lintasan kapal dari Pelabuhan Tanjung
Benoa. Diduga cemaran minyak yang berasal dari kapal-kapal yang melintas menyebabkan
30
rendahnya difusi oksigen dari udara ke dalam air. Saat minyak terekspos ke lingkungan laut,
sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis minyak akan segera berubah (Mangkoedihardjo, 2005).
Lapisan minyak di permukaan air berpengaruh pada penetrasi sinar ke dalam kolom air,
sehingga nilai kecerahan perairan menurun akibat dipantulkannya sebagian sinar. Hal ini
diduga akan berakibat secara tidak langsung pada aktifitas fotosintesis fitoplankton, karena
lapisan minyak menghalangi sinar yang dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis. Pada
berbagai kondisi tercemar, lapisan minyak akan menutupi permukaan air laut dan
menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Hal ini menyebabkan
menurunnya nilai laju fotosintesis fitoplankton sehingga dapat menyebabkan turunnya
kandungan oksigen terlarut di dalam perairan (Setiapermana et al, 1995). Selain itu, cemaran
partikel minyak ke dalam perairan juga dapat menghambat proses difusi oksigen bebas ke
permukaan sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang secara drastis (Setyono dan
Soetarto, 2008).
Pantai Geger Nusa Dua memiliki kandungan Oksigen yang rendah dimungkinkan
karena adanya cemaran bahan organik yang cukup tinggi di lokasi tersebut. Daerah Nusa Dua
telah dikenal lama sebagai daerah wisata dengan jumlah hotel yang sangat banyak. Output
dari hotel-hotel tersebut berupa limbah bahan organik menyebabkan akumulasi cemaran
bahan organik yang cukup tinggi di wilayah perairan Nusa Dua. Keadaan perairan dengan
kadar oksigen yang sangat rendah berbahaya bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar
oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitasnya (daya racun) (Effendi, 2003). Selain itu, Wetzel
(1983) menjelaskan bahwa di daerah dimana terdapat akumulasi bahan organik yang sangat
tinggi akan menyebabkan metabolisme yang tinggi dengan kebutuhan oksigen yang sangat
banyak. Akibatnya hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut
di dalam perairan.
Dengan demikian lokasi yang direkomendasikan untuk dapat digunakan sebagai lokasi
budidaya rumput laut adalah semua lokasi penelitian kecuali Pantai Geger Nusa Dua dan
Pantai Serangan. Pantai Semawang, Pantai Tanjung Tengkulung, Pantai Kutuh, Pantai
Padangbai dan Pantai Sengkidu merupakan lokasi yang layak untuk dijadikan sebagai lokasi
budidaya dan pengembangan rumput laut di kawasan perairan Tenggara Pulau Bali.

31
KESIMPULAN DAN SARAN

4.3 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan dan analisa hasil pemetaan potensi kawasan budidaya
rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali ini dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:
1. Karakteristik lingkungan perairan tenggara Pulau Bali memiliki beberapa perbedaan
antara musim hujan dan musim kemarau.
2. Berdasarkan analisa citra digital diketahui bahwa jumlah klorofil di perairan tenggara
Bali memiliki rentang dari 0,25 hingga 2,5 mg/m3, memiliki rentang suhu dari 250 C
hingga 310 C, dan memiliki kecepatan rata-rata arus 2,5 m/s melalui arus pasut utara dan
3 m/s melalui arus pasut selatan.
3. Berdasarkan analisa hasil factual secara in situ di beberapa lokasi penelitian diketahui
bahwa perairan tenggara Pulau Bali memiliki kisaran suhu 29-30oC, salinitas 29-30 ppt,
pH 7-9, dan kandungan oksigen terlarut 3-7 mg/L.
4. Berdasarkan analisa citra digital (remote sensing) dan kondisi factual secara in situ di
lapangan dapat direkomendasikan bahwa wilayah perairan yang layak sebagai lokasi
budidaya rumput laut adalah Perairan Pantai Tanjung Tengkulung, Perairan Pantai Kutuh,
Perairan Pantai Padang Bai Karangasem, dan Perairan Pantai Sengkidu Karangasem.
5. Wilayah perairan yang tidak direkomendasikan sebagai lokasi budidaya rumput laut
antara lain Perairan Pantai Sanur, Perairan Pantai Serangan, dan Perairan Pantai Geger
Nusa Dua. Perairan Pantai Sanur dan Pantai Geger Nusa Dua kurang direkomendasikan
karena masuk dalam wilayah sentra pariwisata, selain itu kondisi kandungan oksigen
terlarut di wilayah tersebut berada di luar batas toleransi pertumbuhan rumput laut.
Perairan Pantai Serangan kurang direkomendasikan karena terdapat pelabuhan di lokasi
tersebut selain rendahnya kandungan oksigen terlarut sebagai faktor pembatas
pertumbuhan rumput laut.

4.4 Saran
Mengacu dari hasil penelitian tentang pemetaan kawasan budidaya rumput laut di
Perairan Tenggara Pulau Bali, maka sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
melakukan penelitian lebih detail tentang jenis rumput laut yang paling layak untuk
dibudidayakan di kawasan tersebut.

32
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawati, 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bharata:
Jakarta

Anggadiredja, J, T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aslan, L. M., 2006. Budidaya Rumput Laut. Kanisius . Yogyakarta.

Anugarah, 1990. Potensi dan Pengembangan Budidaya Perairan di Indonesia. Lembaga


penelitian Indonesia. Jakarta.

Chen, C., Beardsley, R. C. and Cowles, G.,(2006). An unstructured grid,finite-volume coastal


ocean model: FVCOM user manual, second edition, 2006

Daryanto, A., 2007. Model Kelaster Pacu Daya Saing Industri Rumput Laut. Trobos: 6 Juni
2010.

Dawes CJ. 1981. Marine Botany. New York: John Wiley dan Sons, University of South
Florida. 268 p

Depertemen kelautan dan perikanan, 2003. Profil Rumput Laut Indonesia. Indonesia

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2009. Produksi Rumput Laut di Bali turusn
15,2%. http://www.kabarbisnis.com/read/282238.

Ditjenkan Budidaya 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta

Depertemen pertanian, 1992. Budidaya Beberapa Hasil Rumput Laut. Departemen Pertanian.
Jakarta.

Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia.
dalam: Abbot IA, Norris JN (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds. California
Sea Grant College Program. p 37 – 45

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Haslam, S.M. 1995. River Pollution and Ecological Perspective. John Willey and Sons.
Chichester, UK. 253 pp.

I Made Kertayasa, I Gede Hendrawan, I Ketut Sukarasa, IGA Widagda, 2012, Pengaruh
Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Terhadap Intensitas Hujan di Benua Maritim
Indonesia (BMI) Barat, Jurnal Fisika UNUD, in press

Indriani, H., dan Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut
(cetakan 7) Penebar Swadaya, Jakarta.

Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae. Reproduksi, Produksi, Budidaya dan
Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta: Pusat
33
penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
101 hal

Lüning, Klaus. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography and Ecophysiology. John
Wiley and Son. New York

Mangkoedihardjo, S. 2005. Seleksi Teknologi Pemulihan untuk Ekosistem Laut Tercemar


Minyak (Remediation Technologies Selection for Oil-Polluted Marine Ecosystem).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan ITS. Surabaya: 1-9.

Mubarak. 1981. Budidaya Rumput Laut. Materi Lokakarya Budidaya Laut di Denpasar.
Dirjen Perikanan dan UNDP/FAO. 12 hal

Mulatsih, S.N dan Dharmayanti, N. 2011. Profil rumput laut Indonesia. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis. Vol. I tahun 2011.

Nazam, M. P. dan A. Surahman, 2004. Dampak Pengkajian Budidaya Rumput Laut di Nusa
Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.

Ni Luh Gede Desy Suryaningsih, I Gede Hendrawan, I Ketut Sukarasa, Ida Bagus Alit
Paramarta, 2012, Pengaruh Enso terhadap Variabilitas Iklim di Sulawesi dengan
menggunakan Metode Transformasi Wavelet, Jurnal Fisika UNUD, in press

Poncomulyo, Herti Maryani, dan Lusi Kristiani,. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput
Laut. Agro Media. Jakarta

Salim, 1986. Baku Mutu Lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. 25 hal.

Salim, A., 2007.Penelitian Deskriptif Interpretatif. Direktorat Profesi Pendidik Direktorat


Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional.

Santosa, G.W. 2003. Budidaya Rumput Laut di Tambak. Program Community College.
Industri kelautan dan perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sediadi dan Budihardjo., 2000. Rumput Laut Komuditas Unggulan. Grasindo Jakarta.

Setiapermana, 1995. Efek Minyak Mentah ATTAKA 39,60 API terhadap Parameter
Fotosintetik Fitoplankton dalam Suatu Mesokosm. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia NO. 28 : 37 – 63

Setyono, P dan E.S. Soetarto. 2008. Biomonitoring Degradasi Ekosistem Akibat Limbah CPO
di Muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan Metode Elektromorf Isozim
Esterase. Biodiversitas. Vol 9 (3): 232-236.

Soenardjo N., 2003. Membudidayakan Rumput laut, Balai Pustaka Semarang.

Suptijah, 2002. Rumput Laut. http:// www.rumput laut /com. Institut pertanian Bogor. Bogor.

Susanto, A. B., Suryono dan R. Pramesti. 1996. Penelitian Pendahuluan Pelepasan Tetraspora
Gracilaria sp. dari Perairan Bondo Jepara dalam Skala Laboratorium. Balai
Budidaya Air Payau Jepara. Hal: 36 – 41.
34
Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Second Edition. Saunders College Publishing, Toronto,
Canada

Winarno, F.G., 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
112 Hal.

Winarno, 1996. Teknik Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai