Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Skip to main content
Penelitian ini dilatarbelakangi persoalan bahwa pembahasan RUU APBN serta Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) di DPR sejauh ini tidak melibatkan publik dalam pembahasannya. Padahal menurut aturan resmi yang ada, proses... more
Penelitian ini dilatarbelakangi persoalan bahwa pembahasan RUU APBN serta Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) di DPR sejauh ini tidak melibatkan publik dalam pembahasannya. Padahal menurut aturan resmi yang ada, proses tersebut memungkinkan keterlibatan publik. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi, menyajikan isu-isu dan memberikan masukan bagi anggota DPR untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan kebijakan untuk meningkatkan aksesibilitas informasi publik dalam pembahasan RUU APBN di DPR. Penelitian ini membatasi masalah terkait studi awal akses publik dalam proses pembahasan RUU APBN di DPR. Untuk fokus isu, penelitian ini mengambil studi kasus terkait isu perbatasan dengan pertimbangan bahwa isu ini kerap diperlakukan secara instan, parsial, dan tidak berkelanjutan oleh pembuat kebijakan. Secara umum, penelitian ini berdasarkan pada premis bahwa DPR sebagai wakil rakyat harus menegakkan fungsi perwakilannya dalam melakukan fungsi lainnya. Sistem dan me...
Tahun 2008 menandai maturitas demokratisasi di Indonesia. Gelombang pertama pemilihan kepala daerah secara langsung telah selesai. Seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia (kecuali Jawa Timur) telah melaksanakan pemilihan... more
Tahun 2008 menandai maturitas demokratisasi di Indonesia. Gelombang pertama pemilihan kepala daerah secara langsung telah selesai. Seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia (kecuali Jawa Timur) telah melaksanakan pemilihan langsung. Praktek pemilihan langsung di tingkat daerah ini memiliki implikasi besar dalam jangka menengah dan panjang. Janji dan kontrak politik sangat mudah dipantau dan dievaluasi oleh publik. Jarak antara penguasa dan rakyat jauh lebih dekat. Ini merupakan pengalaman berdemokrasi yang luar biasa. Dengan selesainya gelombang pertama pemilihan kepala daerah, publik pemilih Indonesia memasuki tahun 2009 dengan pengalaman yang sangat berbeda. Publik pemilih berpengalaman menghadapi pilkada yang dipenuhi dengan agenda berorientasi praktis dan lokal. Meskipun faktor ideologis dan politis masih tetap hidup, tetapi faktor kebijakan/policy sudah mulai memasuki ranah pemilu. Janji-janji praktis seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan murah (bahkan gratis), perb...
Sejak tahun baru 2009, banyak pihak yang meramalkan bahwa tahun tersebut akan menjadi ‘tahun politik', seiring digelarnya Pemilihan Umum. Namun, sedikit yang meramalkan bahwa ‘tahun politik' ini akan menjadi begitu dramatis.... more
Sejak tahun baru 2009, banyak pihak yang meramalkan bahwa tahun tersebut akan menjadi ‘tahun politik', seiring digelarnya Pemilihan Umum. Namun, sedikit yang meramalkan bahwa ‘tahun politik' ini akan menjadi begitu dramatis. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono yang mampu meraup 60 persen lebih suara –diawali dengan keunggulan Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif- membuat banyak pihak yakin bahwa kepemimpinan SBY dalam term kedua ini akan lebih kokoh dan efektif. Koalisi besar pendukung pemerintah pun mengiyakan pandangan ini. Kondisi ini berubah dalam waktu singkat, akibat kasus ‘Cicak vs Buaya' muncul ke permukaan. Hingga peralihan ke tahun 2010, drama tersebut masih terus berlanjut. Ada tiga alasan yang membuat tahun 2009 menjadi begitu penting. Pertama, tahun 2009 adalah tahun dimulainya periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pengelolaan masa-masa awal pemerintahan ini akan sangat berpengaruh pada jalannya pemerintahan selama lima tahun ke depan. Kedu...
Buku ini berangkat dari kegundahan buruknya kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Sejatinya, setelah sepuluh tahun reformasi, kondisi kebebasan kita semakin baik. Politik yang semakin stabil dan pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus... more
Buku ini berangkat dari kegundahan buruknya kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Sejatinya, setelah sepuluh tahun reformasi, kondisi kebebasan kita semakin baik. Politik yang semakin stabil dan pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus semestinya diiringi dengan pencapaian di bidang lain, khususnya menyangkut kebebasan pers, buku, dan film. Buku ini diniatkan sebagai guideliness yang bisa digunakan oleh para politisi, pengambil keputusan, dan pemimpin negeri ini untuk melihat persoalan seputar kebebasan berekspresi di Indonesia. Ditulis secara ringkas dan padat, buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang persoalan yang kita hadapi.
At the Indonesian House of Representatives (DPR), there is an absence of public involvement in the deliberation of the State Budget Bill (RUU APBN) and Government Ministry/Agency Work Plan and Budget (RKA-KL) eventhough the existing... more
At the Indonesian House of Representatives (DPR), there is an absence of public involvement in the deliberation of the State Budget Bill (RUU APBN) and Government Ministry/Agency Work Plan and Budget (RKA-KL) eventhough the existing official ...
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) ingin berbagi hasil studi literatur kami (Juli-Desember 2012) mengenai “Pembiayaan Perubahan Iklim di Indonesia: Pemetaan Sumber, Mekanisme Penyaluran dan Penerima Manfaat... more
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) ingin berbagi hasil studi literatur kami (Juli-Desember 2012) mengenai “Pembiayaan Perubahan Iklim di Indonesia: Pemetaan Sumber, Mekanisme Penyaluran dan Penerima Manfaat Dana-Dana Terkait Perubahan Iklim” Masalah Perubahan iklim merupakan masalah yang kompleks dan saling terkait dengan aspek-aspek kehidupan yang lain. Masalah ini juga menjadi masalah bersama baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Hal ini juga ditunjukkan oleh Indonesia, baik melalui kebijakan publiknya maupun komitmen dan keikutsertaan Indonesia dalam forum-forum internasional sebagai wadah kerja sama untuk menanggulangi permasalahan Perubahan iklim tersebut. Permasalahan Perubahan iklim yang juga telah menjadi masalah global serta kerja sama internasional, terlepas dari tarik ulur yang terjadi, baik bilateral maupun multilateral menjadi pintu masuk dan kesempatan bagi Indonesia untuk memenuhi komitmennya tersebut. Hal ini juga te...
This thesis argues that international development interventions influence the way women perceive empowerment. It does so by looking at aid relationships and the relevance of development interventions. It involves a case study of Oxfam’s... more
This thesis argues that international development interventions influence the way women perceive empowerment. It does so by looking at aid relationships and the relevance of development interventions. It involves a case study of Oxfam’s Restoring Coastal Livelihoods Project (2010-2015) in South Sulawesi, Indonesia.  Efforts to empower women have been channeled through various approaches. However, little has been said about the practice of aid relations within projects and how aid relations work through the ‘aid chain’ and influence women’s perceptions of empowerment. Also, there has not been much said about how, in the intersectionality of aid relationships, women make ‘empowerment’ their own, appropriate it, transform it, adapt it to their stories and needs through their active engagement in projects.  The qualitative research which involved a five-month period of ethnographic research found that women beneficiaries perceived empowerment mostly based on their experiences in the pro...
Research Interests:
At the Indonesian House of Representatives (DPR), there is an absence of public involvement in the deliberation of the State Budget Bill (RUU APBN) and Government Ministry/ Agency Work Plan and Budget (RKA-KL) eventhough the existing... more
At the Indonesian House of Representatives (DPR), there is an absence of public involvement in the deliberation of the State Budget Bill (RUU APBN) and Government Ministry/ Agency Work Plan and Budget (RKA-KL) eventhough the existing official regulation allows such situation. This became the background issue of this research. This research is aimed to explore, present issues and provide inputs to members of the DPR in considering policy choices to improve public information accessibility during the deliberation process of the RUU APBN in the DPR. To focus on the issue, this research takes a case study concerning the border issues with the consideration that this issue is often subjected to instant, partial, and unsustainable treatment by the policy makers. In general, this research is based on the premise that the DPR as people's representatives should uphold their representation functions in conducting other functions. The existing DPR working system and mechanism should also p...
Buku ini berisi tentang dokumentasi kerja advokasi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) dalam melakukan program kampanye publik dengan tema besar “Mendukung Pluralisme Sosial dan Kesetaraan Hak Perempuan di... more
Buku ini berisi tentang dokumentasi kerja advokasi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) dalam melakukan program kampanye publik dengan tema besar “Mendukung Pluralisme Sosial dan Kesetaraan Hak Perempuan di Kota Tangerang”. TII melaksanakan program ini sejak bulan Mei 2009 hingga Juli 2010 dengan dukungan dari Program RESPECT, bersama dengan dua Mitra RESPECT lainnya, yaitu SETARA Institute dan PBHI Jakarta. Program kampanye publik TII di Kota Tangerang terkait tema ini dilakukan dalam empat rangkaian kegiatan, yaitu dua kali diskusi publik dan dua kali dengar pendapat umum, serta publikasi berupa buku tentang dokumentasi kegiatan kampanye publik TII di Kota Tangerang. Rangkaian kampanye publik untuk mendukung terwujudnya pluralisme sosial dan kesetaraan hak perempuan di Kota Tangerang ini dilakukan melalui penyebaran informasi dan diskusi tentang partisipasi masyarakat dan proses pembuatan kebijakan yang didorong ke arah penghargaan terhadap pluralisme ...
The 1998 reformation became an important part of the Indonesian nation’s journey. Reform marked by the collapse of an authoritarian regime was replaced by a more democratic state system in a transitional democratic phase. The transition... more
The 1998 reformation became an important part of the Indonesian nation’s journey. Reform marked by the collapse of an authoritarian regime was replaced by a more democratic state system in a transitional democratic phase. The transition to democracy then begins with improvements in all lines of life, including the political system. The General Election (Pemilu) in 1999 was one of the milestones in the history of changing the political system in Indonesia. The elections, which during the New Order era were only participated in by three political parties, immediately changed with the participation of 48 political parties as election participants. Political parties, which in authoritarian regimes only become agents of the rulers, they have an important role in encouraging the circulation of leadership at the national level to the local level, both in the executive and in the legislature.

However, along the way, the transition to democracy was hampered by slow consolidation. This results in ineffective and corrupt government operations, compounded by the lack of capacity and integrity of the elected leaders in government as well as the elected representatives in parliament. This condition occurs due to the weak role of political parties in Indonesia, which are expected to be able to produce accountable and credible political leaders and representatives to serve the public. The weak role of parties has an impact on the decline in the quality of democracy and government, as well as low public trust in political parties. This is of course contrary to the ideals of reform that occurred 23 years ago. This situation then presents the interest and urgency to push for political party reform by promoting the strengthening of party institutions.

In relation to that, institutional strengthening of political parties is seen as an important key to pushing the political parties' reform. To discuss the issue of political party reform in depth, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) then drafted a policy paper, using a qualitative approach. This study uses the method of document study and group discussion which is carried out by inviting the leadership of the political party central board and activists from civil society organizations.

This study is also made with the contribution of the Civil Society Coalition for Inclusive, Relevant, and Responsive Political Parties which TII initiated with other three local NGOs in Indonesia. They are: Atmawidya Alterasi Indonesia/ AAI (Yogyakarta), Averroes (Malang), Droupadi (Bandung), and Lembaga Studi Kebijakan Publik/ LSKP (Makassar).

In this study, in general, The Indonesian Institute (TII) reviews the internal and external aspects of political parties. However, the analysis of this study focuses more on the internal parties aspects, in particular how to encourage efforts to strengthen political party institutions. In this study, we use several political party reform's concepts, including that of Pippa Norris (2004) to analyze the study findings and provide recommendations regarding efforts to promote internal political party institutional reform and the inclusion of youth into political parties.

Some of the findings in this study, which are reviewed from the internal and external dimensions of political parties are as follows. Regarding the internal dimension, several problems related to the internal dimension of political parties which are the focus of this study are the issue of political recruitment; inclusion of youth and women in political parties; the existence of a research unit in a political party; and political party funding.

Meanwhile, on the external dimension, the research findings were analyzed by linking issues of public trust, social accountability, and related regulations in political parties. On the other hand, based on the findings and analysis described above, the electoral system and regulations regarding political parties also need to be improved in terms of encouraging the intended reforms. The external dimension of parties clearly influences political parties in behaving and carrying out their functions, as well as how they build relationships with other stakeholders. In this case, party reform must be encouraged, both internally to sustain support for reform efforts and externally in order to provide relevance and a sense of urgency for the interests of parties to carry out their roles and functions in politics.

Based on the findings and analysis above, an agenda is needed to encourage internal party reform and the inclusion of youth in political parties. The initial agenda that can be implemented is to encourage parties to be more inclusive, especially for the younger generation; encourage parties to be more relevant, including to grassroots and marginalized groups; strengthening internal party democracy; improve party institutions, including in party management and increase the role of the research division, as well as improve the performance of parties in carrying out their functions.

Based on this agenda, this study suggests some initial recommendations that need to be considered and carried out by political parties for institutional reform and the inclusion of youth in political parties as follows: opening up a wider recruitment process for members, including for the younger generation; strengthening the role and position of young cadres through capacity building and involvement in substantive matters within political parties; improve the model and intensity of communication with other democratic actors, and encourage democratic parties based on ideology, platform, and code of ethics, not based on personalization or kinship.

Other recommendations include strengthening party institutions, especially through internalization and application of party ideologies, platforms, and programs as well as maximizing research functions to promote data-based policies and social accountability; improve the governance of party organizations, especially those concerning achievement and a democratic system; transparent and accountable party financing, develop sustainable funding and resolve conflicts, and conduct regular monitoring, evaluation and reporting on the implementation of party functions. These recommendations must also be supported by other democratic stakeholders, such as civil society, mass media, government, parliament, and society in general.
Reformasi tahun 1998 menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter digantikan oleh sistem kenegaraan yang lebih demokratis dalam sebuah fase transisi demokrasi. Transisi... more
Reformasi tahun 1998 menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter digantikan oleh sistem kenegaraan yang lebih demokratis dalam sebuah fase transisi demokrasi.  Transisi demokrasi kemudian dimulai dengan pembenahan di segala lini kehidupan, termasuk dalam sistem politik. Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 menjadi salah satu tonggak sejarah perubahan sistem politik di Indonesia. Pemilu yang di masa Orde Baru hanya di ikuti oleh tiga partai politik, seketika berubah dengan keikutsertaan 48 partai politik sebagai peserta pemilu. Partai politik yang pada rezim otoriter hanya menjadi kaki tangan penguasa, kemudian memiliki peran penting dalam mendorong sirkulasi kepemimpinan di tingkat nasional hingga tingkat lokal, baik di eksekutif maupun di legislatif.

Namun dalam perjalanannya, transisi menuju demokrasi terhambat karena konsolidasi yang berlangsung secara lamban. Hal ini berakibat pada jalannya pemerintahan yang tidak efektif dan korup, ditambah lagi karena kurangnya kapasitas dan integritas dari pemimpin terpilih dalam pemerintahan serta perwakilan terpilih di parlemen. Kondisi tersebut terjadi akibat lemahnya peran partai politik di Indonesia, yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin dan perwakilan politik yang akuntabel dan kredibel untuk melayani publik. Lemahnya peran partai berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi dan pemerintahan, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan cita-cita reformasi yang terjadi 23 tahun silam. Situasi ini yang kemudian menghadirkan kepentingan dan kegentingan untuk mendorong reformasi partai politik dengan mempromosikan penguatan kelembagaan partai.

Penguatan kelembagaan partai politik dipandang sebagai kunci penting untuk mendorong reformasi partai politik. Untuk membahas permasalahan reformasi partai politik secara mendalam, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) lantas membuat naskah kebijakan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Studi ini menggunakan metode studi dokumen dan diskusi kelompok yang dilakukan dengan mengundang pimpinan pengurus pusat partai politik dan aktifis dari organisasi masyarakat sipil.

Studi ini juga dibuat dengan kontribusi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Partai Politik yang Inklusif, Relevan, dan Responsif yang diprakarsai oleh TII bersama empat LSM lokal lainnya di Indonesia. Mereka adalah: Atmawidya Alterasi Indonesia/AAI (Yogyakarta), Averroes (Malang), Droupadi (Bandung), dan Lembaga Studi Kebijakan Publik/LSKP (Makassar).

Pada studi ini, secara umum The Indonesian Institute (TII) meninjau aspek internal dan eksternal dari partai politik. Namun, analisis kajian ini lebih memusatkan pada aspek internal partai, khususnya bagaimana mendorong upaya penguatan kelembagaan partai politik. Dalam kajian ini, kami menggunakan beberapa konsep tentang reformasi partai politik, termasuk dari Pippa Norris (2004) untuk menganalisis temuan studi dan memberikan rekomendasi terkait upaya-upaya untuk mendorong reformasi kelembagaan internal partai politik dan inklusi kaum muda ke dalam partai politik.
Beberapa temuan dalam penelitian ini, yang ditinjau dari dimensi internal dan eksternal partai politik sebagai berikut. Terkait dimensi internal, beberapa permasalahan terkait dimensi internal partai politik yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah persoalan rekrutmen politik; inklusi kaum muda dan perempuan dalam partai politik; keberadaan unit penelitian dalam partai politik; dan pendanaan partai politik. Sedangkan pada dimensi eksternal temuan penelitian dianalisis dengan menghubungkan persoalan kepercayaan publik, akuntabilitas sosial, dan regulasi terkait di partai politik. 

Di sisi lain, berdasarkan temuan dan analisis yang diuraikan di atas, sistem pemilu dan regulasi mengenai partai politik juga perlu diperbaiki dalam arti mendorong reformasi yang dimaksudkan. Dimensi eksternal partai jelas mempengaruhi partai politik dalam berperilaku dan menjalankan fungsinya, serta bagaimana cara mereka dalam membangun hubungan dengan pemangku kepentingan lainnya. Dalam hal ini, reformasi partai harus didorong, baik secara internal untuk menopang upaya reformasi secara berkelanjutan maupun secara eksternal agar memberikan relevansi dan rasa urgensi bagi kepentingan partai untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam politik.

Berdasarkan temuan dan analisis di atas, maka diperlukan sebuah agenda untuk mendorong reformasi internal partai dan inklusi kaum muda dalam partai politik. Agenda awal yang dapat dilaksanakan yaitu mendorong partai agar lebih inklusif, terutama bagi generasi muda; mendorong partai agar menjadi lebih relevan, termasuk ke kelompok akar rumput dan marjinal; memperkuat demokrasi internal partai; memperbaiki kelembagaan partai, termasuk dalam kepengurusan partai dan meningkatkan peran divisi penelitian, serta meningkatkan kinerja partai dalam menjalankan fungsinya.

Berdasarkan agenda tersebut, studi ini menyarankan beberapa rekomendasi awal yang perlu dipertimbangkan dan dilakukan oleh partai politik untuk kebutuhan reformasi kelembagaan dan inklusi kaum muda dalam partai politik sebagai berikut:  membuka proses rekrutmen anggota yang lebih luas, termasuk untuk generasi muda; menguatkan peran dan posisi kader muda melalui peningkatan kapasitas dan keterlibatannya dalam hal-hal substantif di dalam partai politik; memperbaiki model dan intensitas komunikasi dengan aktor demokrasi lainnya, serta mendorong partai yang demokratis berdasarkan ideologi, platform, dan kode etik., bukan didasarkan pada personalisasi atau kekerabatan.

Rekomendasi lainnya yaitu penguatan kelembagaan partai, terutama melalui internalisasi dan penerapan ideologi, platform, dan program partai serta memaksimalkan fungsi penelitian untuk mendorong kebijakan berbasis data dan akuntabilitas sosial; memperbaiki tata kelola organisasi partai, terutama yang menyangkut prestasi dan sistem demokratis; pembiayaan partai yang transparan dan akuntabel, mengembangkan pendanaan yang berkelanjutan dan menyelesaikan konflik, serta melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan secara berkala atas pelaksanaan fungsi partai. Rekomendasi tersebut juga harus didukung oleh pemangku kepentingan demokrasi lainnya, seperti masyarakat sipil, media massa, pemerintah, parlemen, serta masyarakat pada umumnya.
Akreditasi fasilitas kesehatan dipercaya sebagai salah satu solusi untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dengan mengedepankan prinsip perbaikan yang berkesinambungan. Namun, tantangan utama dalam pemenuhan... more
Akreditasi fasilitas kesehatan dipercaya sebagai salah satu solusi untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dengan mengedepankan prinsip perbaikan yang berkesinambungan. Namun, tantangan utama dalam pemenuhan standar akreditasi itu sendiri adalah budaya mutu. Participatory Action Oriented Training/PAOT atau Pelatihan Berorientasi Tindakan Partisipatif berpotensi menjadi salah satu metode dalam mengatasi masalah terkait upaya pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dalam praktiknya, PAOT melibatkan tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Diperlukan pula dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Namun, sebelum PAOT dilakukan, diperlukan persiapan yang matang terutama studi terkait kondisi lingkungan Puskesmas yang ideal atau terakreditasi paripurna.

Studi awal dilakukan sebagai tahap satu dari metode penelitian participatory action research. Studi awal ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan pentingnya PAOT dalam meningkatkan kualitas tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, serta untuk mengembangkan instrumen PAOT dengan berfokus pada enam Puskesmas di Kota Gunungsitoli. Studi awal ini membahas tantangan dan upaya mencapai akreditasi paripurna sebagaimana dilakukan oleh Puskesmas Gunungsitoli dan Puskesmas terakreditasi paripurna di Jakarta.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa akreditasi sangat bergantung pada lima poin penting, yaitu Sumber Daya Manusia, sarana dan prasarana, pendanaan/pembiayaan, komunikasi dan kerjasama, serta monitoring dan evaluasi. Titik berat dari peran PAOT dalam mempertahankan atau mempercepat pemenuhan standar akreditasi adalah membangun budaya peningkatan kualitas yang berkelanjutan.
Kebebasan berekspresi menjadi salah satu permasalahan dalam refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Beberapa kasus yang mengkriminalisasi dan menyasar aktivis demokrasi beserta dengan data pribadi, gawai, dan media sosial yang mereka... more
Kebebasan berekspresi menjadi salah satu permasalahan dalam refleksi 23 tahun Reformasi di Indonesia. Beberapa kasus yang mengkriminalisasi dan menyasar aktivis demokrasi beserta dengan data pribadi, gawai, dan media sosial yang mereka miliki semakin meningkat. Kriminalisasi individu yang kritis terhadap pemerintah termasuk yang terjadi di ruang digital sudah menjadi berita biasa.

Dalam hal ini, landasan hukum yang ada, antara lain UUD 1945, KUHP, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memperlihatkan komitmen pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya peraturan tersebut juga rawan digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti, kalau bukan untuk mengkriminalisasi, mereka yang kritis terhadap pemerintah, khususnya melalui perangkat elektronik.

Oleh karena itu, sebagai lembaga riset kebijakan publik, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), membuat naskah kebijakan dengan pendekatan kualitatif (Januari hingga pertengahan Mei 2021) yang fokus membahas topik ini, khususnya terkait dengan UU ITE. Kajian ini mencoba untuk memahami isi dan konteks kebijakan terkait kebebasan berekspresi, khususnya kritik warga terhadap pemerintah di ruang digital. Analisis kami juga melihat konsep-konsep seperti ruang digital, demokrasi dan pemerintahan; pendekatan politik hukum, serta implementasi kebijakan.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti dan relevan dengan perspektif hak asasi manusia dan kebebasan serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka mempromosikan kebebasan berekspresi dan perlindungan digital di Indonesia, khususnya untuk partisipasi warga dalam proses kebijakan, termasuk dalam menyuarakan kritik dan masukan kepada pemerintah di ruang digital.
Freedom of expression is one of the challenging issues in the reflection of 23 years of Reform in Indonesia. Several cases that criminalized and targeted democracy activists along with their personal data, gadgets, and social media have... more
Freedom of expression is one of the challenging issues in the reflection of 23 years of Reform in Indonesia. Several cases that criminalized and targeted democracy activists along with their personal data, gadgets, and social media have been increasing. The criminalization of individuals who are critical to the government including in digital spaces has become regular news.

In this case, existing legal foundations, including the 1945 Constitution, the Criminal Code, the Law Number 19 Year 2016 on the Law Number 11 Year 2008  regarding the Electronic Information and Transactions (ITE Law) to name a few, although they have been seen as the commitment of the government to protect human rights, apparently in practice, these regulations are also prone to be used as tools to discourage, if not to criminalize, those who are critical towards the government, particularly through electronic tools.

Therefore, as a public policy research organization, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), writes a policy paper with a qualitative approach (January to mid-May 2021) that focuses on this topic particularly in relation to the ITE Law. The study tries to understand the policy content and context regarding freedom of expression, particularly citizens’ criticisms towards the government in digital spaces. Our analysis also looks at concepts such as digital spaces, democracy, and governance; legal-political approach, as well as policy implementation.

We expect that the paper can provide actionable and relevant policy recommendations with human rights and freedom perspectives and involve various stakeholders in order to promote freedom of expression and digital protection in Indonesia, particularly for the citizens’ participation in the policy processes, including in voicing criticisms and feedback to the government in digital spaces.