Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Skip to main content
Muhammad  Rizal Rachman
    Keberadaan lembaga asuransi saat ini tidak terlepas dari risiko yang mengancam jiwa seseorang ataupun harta bendanya. Perkembangan teknologi menuntut pemasaran/penawaran asuransi yang berjalan cepat dan praktis dengan menggunakan media... more
    Keberadaan lembaga asuransi saat ini tidak terlepas dari risiko yang mengancam jiwa seseorang ataupun harta bendanya. Perkembangan teknologi menuntut pemasaran/penawaran asuransi yang berjalan cepat dan praktis dengan menggunakan media komunikasi telepon (telemarketing). Kesepakatan atas penerimaan tersebut dapat tercapai cukup dalam bentuk perilaku atau ditindaklanjuti dengan penandatanganan dokumen perjanjian asuransi. Salah satu persoalan hukum yang terjadi yaitu timbulnya kesalahpahaman/kekeliruan antara yang ditawarkan perusahaan asuransi secara telemarketing dengan pemahaman calon pemegang polis/tertanggung. Meskipun telah ada gugatan hingga kasasi mengenai pembatalan lahirnya perjanjian asuransi secara telemarketing yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian tersebut tidaklah dapat dibatalkan sepihak. Bahwasanya perjanjian asuransi mulai mengikat setelah adanya kesepakatan para pihak dengan kekuatan pembuktian secara bertahap mengingat perjanjian asuransi sebatas bukti permulaan saja dan kemudian diejawantahkan ke dalam polis asuransi. Oleh karena itu, dalil-dalil dan bukti-bukti untuk membatalkan perjanjian asuransi yang telah disepakati tidak dapat dibenarkan dan tidak berdasarkan hukum, sehingga permohonan kasasi harus ditolak.
    Research Interests:
    Research Interests:
    Research Interests:
    Research Interests:
    Bagi mahasiswa pada Fakultas Hukum maupun Sarjana Hukum (meester in de rechten), sudah barang tentu tidak asing lagi dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW). Dimulai dari awal masuk perkuliahan sampai kepada menyusun skripsi, mahasiswa... more
    Bagi mahasiswa pada Fakultas Hukum maupun Sarjana Hukum (meester in de rechten), sudah barang tentu tidak asing lagi dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW). Dimulai dari awal masuk perkuliahan sampai kepada menyusun skripsi, mahasiswa selalu menjumpai istilah tersebut. Begitupun pula kalangan praktisi dan akademisi, tidak pernah luput dan selalu berkutat dengan pasal-pasal yang ada dalam BW. Lantas, apakah yang dimaksud dengan BW? Apakah BW termasuk sebagai undang-undang atau hanya sebuah kitab atau yang lebih ekstrim disebut dengan kitab yang diterjemahkan? Dan bagaimana kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
    Tema sentral tulisan ini adalah menakar kembali kedudukan BW dalam  tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk mendapatkan suatu gambaran (overzicht) utuh tentang arti penting BW yang masih berlaku hingga saat ini. Melalui tulisan ini juga, penulis akan mencoba menguraikan secara singkat problematika yang menyelimuti BW, baik dari segi istilah, asal-usul, bahkan eksistensinya yang lambat laun kian meredup.
    Research Interests:
    Research Interests:
    Penghasilan Negara berasal dari masyarakat melalui pungutan pajak dan atau hasil kekayaan alam yang terkandung di dalam Negara. Penghasilan tersebut untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan individu dengan... more
    Penghasilan Negara berasal dari masyarakat melalui pungutan pajak dan atau hasil kekayaan alam yang terkandung di dalam Negara. Penghasilan tersebut untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan individu dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting. Disamping adanya proses pemungutan pajak, pasti terdapat sengketa pajak yang menjadi faktor penghambat. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka instrumen yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yakni melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Merujuk pada pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memberikan pengecualian untuk putusan yang memuat menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali. Artinya, adanya pembatasan terhadap para Pemohon Banding atau Penggugat untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak serta tidak adanya upaya hukum yang disediakan oleh Negara untuk wajib pajak sebagai para pencari keadilan dalam sengketa pajak. Hal ini tentu tidak sesuai dengan tujuan pembentukan pengadilan pajak dan tidak mencerminkan legal justice, moral justice, dan social justice. Pada hakikatnya, hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum agar para pencari keadilan dalam sengketa pajak mendapatkan keadilan subtantif.
    Research Interests:
    Research Interests:
    Research Interests:
    Dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah tidak akan lepas dari adanya sengketa yang terjadi antara dua pihak. Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah secara yuridis diselesaikan oleh pengadilan agama. Dimana hal itu menjadi... more
    Dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah tidak akan lepas dari adanya sengketa yang terjadi antara dua pihak. Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah secara yuridis diselesaikan oleh pengadilan agama. Dimana hal itu menjadi kompetensi absolut pengadilan agama. Pengadilan agama di Indonesia telah mengalami pasang surut kedudukan, eksistensi
    maupun kompetensi. Era reformasi, menjadi babak baru bagi pengadilan agama yang memiliki kedudukan yang kuat dalam penyelesaian sengketa. Berbagai perkembangan dari pengadilan agama membawa pertanyaan akan dibawa kemana arah pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah.
    Research Interests:
    Research Interests: