1
Pendahuluan
Ketika membicarakan mengenai kajian Hubungan Internasional, tidak
dapat dipungkiri bahwa negara merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat
terlepas dari kajian tersebut. Dalam Ilmu Hubungan Internasional, negara
dianggap sebagai aktor utama dalam interaksi yang mewarnai dinamika hubungan
internasional. Keutamaan peran negara sebagai aktor dalam praktik hubungan
internasional ini semakin didukung oleh pendekatan tradisionalis yang melihat
negara sebagai aktor uniter dan satu-satunya entitas yang diakui dalam aktivitas
hubungan internasional. Seiring berjalannya waktu, kajian Ilmu Hubungan
Internasional memang berkembang dan memungkinkan munculnya pengakuan
akan aktor-aktor baru selain negara. Namun demikian, nyatanya keutamaan
negara sebagai aktor masih tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Walaupun aktoraktor baru lainnya turut berpartisipasi dalam aktivitas hubungan internasional,
negara tetap masih menjadi aktor utama.
Keutamaan negara sebagai aktor dalam kajian Hubungan Internasional ini
menunjukkan bagaimana negara merupakan aktor penting dalam kajian tersebut.
Hal ini menunjukkan pula bahwa mempelajari negara merupakan suatu hal yang
penting dan diperlukan untuk dapat memahami lebih jauh mengenai realitas
hubungan internasional yang terjadi. Mempelajari mengenai negara ini juga dapat
memberikan gambaran mengenai karakteristik aktivitas dan hubungan yang
terjadi. Hubungan internasional seringkali juga dilihat sebagai sebuah arena
struggle for power yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam struktur
internasional yang anarki. Anarki yang dimaksud di sini adalah sebuah kondisi di
mana tidak adanya power yang absolut dan lebih besar dari negara (state) yang
dapat mengatur keseluruhan sistem internasional. Dalam kondisi anarki, tidak ada
pemerintahan pusat yang berdaulat yang dapat mengatur jalannya sistem
internasional, dan hal ini disebabkan oleh peran negara yang merupakan aktor
utama dan tidak ada power yang lebih besar dari apa yang dimiliki oleh negara.1
Terkait dengan keutamaan negara ini, konsep power dan national interest pun
1
Ma ti G iffiths da Te
Routledge, 2004), 2-3.
O Callagha , International Relations: The Key Concepts (New York:
Universitas Indonesia
2
menjadi konsep-konsep sentral dan dijadikan fokus dalam mengkaji Hubungan
Internasional. Dalam struktur internasional, negara-negara berinteraksi antara satu
sama lain demi pencapaian akan power dan kepentingan nasionalnya.
Hingga pada masa Perang Dingin, praktik hubungan internasional masih
diwarnai dengan keutamaan negara dengan power serta kepentingan nasionalnya.
Seperti yang diketahui bahwa masa Perang Dingin merupakan masa di mana
aktivitas hubungan internasional diisi dengan pertentangan ideologi antara
demokrasi liberal seperti yang dijunjung oleh Amerika Serikat, dengan sosialiskomunis yang diusung oleh Uni Soviet. Dalam masa ini, dunia internasional
menjadi saksi bagaimana kedua negara ini berusaha menggunakan power-nya
untuk memengaruhi negara-negara lainnya dan menanamkan ideologinya sebagai
bentuk dari kepentingan nasionalnya demi pencapaian power yang lebih besar
lagi. Namun demikian, berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya
imperium Uni Soviet menjadi sebuah titik penting yang menjadi suatu fenomena
transformatif dalam hubungan internasional. 2 Runtuhnya Uni Soviet ini
merupakan awal perubahan warna kajian Hubungan Internasional dan dengan
demikian
menandai
berakhirnya
perang
dingin
yang
diwarnai
dengan
pertentangan ideologi tersebut. Perdebatan mengenai runtuhnya Uni Soviet ini
memunculkan banyak pendapat. Namun demikian, akibat dari runtuhnya
imperium tersebut diyakini menjadi titik awal munculnya studi identitas dalam
kajian Ilmu Hubungan Internasional.
Dengan runtuhnya Uni Soviet, konstelasi politik internasional serta
struktur internasional pun turut berubah. Hal inilah yang menyebabkan fenomena
runtuhnya imperium Uni Soviet ini dianggap sebagai fenomena yang transformatif
dalam hubungan internasional. Perubahan yang terjadi seiring dengan berakhirnya
Perang Dingin ini di antaranya adalah munculnya aktor-aktor serta isu-isu baru.
Samuel P. Huntington dalam Clash of Civilization menuliskan bahwa pada era
pasca Perang Dingin, konstelasi politik tidak lagi berpusat pada pertentangan
ideologi. Pembedaan antar aktor dalam struktur internasional pun tidak lagi hanya
bersifat ideologis, politis, ataupun ekonomis. Pada masa itu, aktor-aktor
2
Latha Va ada aja , Co st u ti is , Ide tit a d Neoli e al I se u it , Review of
International Studies, 30, 3, 2004, 320.
Universitas Indonesia
3
dihadapkan pada pertanyaan dasar mengenai diri mereka, yaitu siapa dan apa
mereka sebenarnya. 3 Hal itu mengindikasikan bahwa aktor-aktor dalam hubungan
internasional pada masa itu, yang didominasi oleh eksistensi negara, mulai
berusaha mendefinisikan siapa dirinya sebenarnya. Aktor-aktor dalam hubungan
internasional dihadapkan dengan masalah identitas dan bagaimana membentuk
dan menjaga identitas tersebut. Masalah identitas yang mencuat pasca Perang
Dingin sangatlah beragam. Sejak masa itu, wacana serta studi mengenai identitas
pun sangat beragam. Dalam hal ini, identitas yang muncul pun beragam serta
memiliki banyak jenis, hal ini juga dipengaruhi dengan munculnya aktor-aktor
baru pasca Perang Dingin seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Dengan berakhirnya Perang Dingin, aktor-aktor serta isu-isu baru pun
muncul, salah satunya adalah isu mengenai identitas. Namun demikian, tidak
dapat dihindari bahwa struktur internasional bergeser dan negara yang masih
menjadi aktor utama dalam hubungan internasional pun memiliki tantangantantangan yang baru pula dalam hubungan internasional demi menjaga
survivability-nya. Dalam hal ini, bukan berarti konsep power yang sebelumnya
sentral menjadi hilang, namun pasca Perang Dingin, power semakin dipahami
memiliki berbagai dimensi, dan bukan semata-mata hanya mengenai kapabilitas
militer. Pengelompokkan negara pada masa itu tidak lagi berdasarkan tiga blok
yang eksis selama Perang Dingin seperti blok barat, blok timur, dan non blok,
namun bagi Huntington pada era pasca Perang Dingin pengelompokkan negara
yang terbentuk lebih didorong pada peradaban yang ada di dunia atas dasar
agama, bahasa, sejarah, nilai, adat, dan institusi. 4 Negara mulai mencari dan
membentuk identitasnya dengan berusaha memahami siapa dirinya melalui
pemahaman apa yang bukan kita (who we are not) dan seringkali melalui
pemahaman siapa yang menjadi lawan kita (whom we are against).5 Dengan
demikian, pasca usainya Perang Dingin, aktor-aktor dalam hubungan internasional
yang dalam hal ini termasuk negara mulai mencari serta membentuk identitasnya
serta mengindikasikan munculnya studi mengenai identitas dalam kajian
3
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (London:
Penguin Books Ltd, 1996), 21.
4
Ibid.
5
Ibid.
Universitas Indonesia
4
Hubungan Internasional. Periode ini juga menandakan terbentuknya tatanan dunia
serta kondisi struktur internasional yang baru.
Munculnya studi tentang identitas sejak saat itu, seiring berjalannya waktu,
dilihat semakin signifikan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Identitas pun
memiliki berbagai jenis, seperti identitas agama, etnis, kultural, dan lain
sebagainya. Namun demikian, keutamaan negara sebagai aktor dalam aktivitas
internasional menjadi topik yang penulis angkat pada literature-review ini.
Literature-review ini membahas mengenai identitas pada negara dengan
mengangkat pertanyaan permasalahan “Bagaimanakah identitas pada suatu
negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk?”. Untuk menjawab
pertanyaan permasalahan tersebut, penulis mengumpulkan literatur-literatur yang
relevan mengenai pembentukan identitas pada negara dalam hubungan
internasional. Literatur-literatur yang telah berhasil dikumpulkan ini disarikan dan
dirangkaikan sedemikian rupa hingga membentuk suatu tulisan yang padu serta
diharapkan dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan. Dalam
memilih literatur, penulis mencari buku maupun jurnal yang di dalamnya
mengandung penjelasan mengenai identitas dan bagaimana atau melalui apa
negara membentuk identitasnya dalam lingkup hubungan internasional. Literatur
yang
telah
ditemukan
pun
disusun
sesuai
dengan
kategorisasi
yang
memungkinkan. Dalam hal ini, penulis menggunakan berbagai literatur yang
tersebar dalam studi-studi seperti Hubungan Internasional, Politik, dan Sosiologi.
Penulis mendapatkan jawaban dari pertanyaan permasalahan tersebut dalam
literatur-literatur dalam ketiga studi tersebut, di mana penjelasan dari setiap studi
menyediakan pendekatan yang berbeda terkait pembentukan identitas pada negara
dalam hubungan internasional ini. Literatur-literatur ini disusun untuk berusaha
menjelaskan bagaimana identitas suatu negara dapat terbentuk dalam konteks
hubungan internasional.
Pada penyusunan Tugas Karya Akhir yang berbentuk literature-review ini,
tulisan ini diawali dengan bagian pendahuluan yang di dalamnya mengandung
latar belakang permasalahan, pertanyaan permasalahan, metodologi penulisan,
dan struktur penulisan. Selanjutnya, tulisan ini akan menjelaskan pemahaman
mengenai identitas, serta mengenai identitas pada negara untuk memberikan
Universitas Indonesia
5
pemahaman awal mengenai permasalahan yang diangkat serta signifikansinya
dalam ilmu maupun praktik hubungan internasional. Kemudian, tulisan ini akan
dilanjutkan dengan pembahasan mengenai jawaban yang dibagi menjadi dua
kategori besar yaitu faktor internal pembentuk identitas pada negara dan faktor
eksternal pembentuk identitas pada negara. Dalam pembahasan mengenai faktor
internal pembentuk identitas, pembahasan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pembahasan mengenai faktor-faktor esensial dan faktor-faktor turunan yang juga
memengaruhi pembentukan identitas. Kemudian, pembahasan akan dilanjutkan
dengan memaparkan faktor eksternal pembentuk identitas pada negara.
Selanjutnya tulisan ini akan dilengkapi pula dengan analisis dan penulis terkait
literatur yang ditemukan. Pada bagian akhir, tulisan ini diakhiri dengan penarikan
kesimpulan oleh penulis untuk dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang
diajukan sebelumnya.
Universitas Indonesia
6
Identitas dan Identitas pada Negara
Untuk mengawali tulisan ini, akan dibahas mengenai identitas dan juga
identitas
pada
negara
untuk
memberikan
pemahaman
awal
mengenai
permasalahan yang diangkat. Dalam bagian ini, akan dipaparkan beberapa definisi
dari berbagai literatur terkait identitas. Selain itu, penulis juga akan memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai identitas pada negara untuk dapat memberikan
pemahaman mengenai identitas pada negara seperti apa yang akan dibahas dalam
tulisan ini. Dalam bagian ini pula akan disampaikan signifikansi dari identitas
pada negara dalam ilmu serta praktik hubungan internasional untuk mengantarkan
tulisan ini pada bagian pokok dari tulisan ini, yaitu mengenai bagaimana identitas
pada negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk.
Identitas
Pada dasarnya tidak terdapat definisi yang pasti dari identitas, namun
Jenkins dalam tulisannya menyebutkan bahwa identitas merujuk pada
bagaimana individu ataupun sebuah kolektivitas dibedakan dalam hubungan
sosialnya dengan individu maupun kolektivitas lainnya. 6 Identitas juga dapat
pula dipahami sebagai sebuah pemahaman akan peran spesifik dan ekspektasi
akan seseorang yang relatif stabil7, seperti yang dikemukakan oleh Wendt. Hal
ini menunjukkan bahwa identitas menyediakan pemahaman dan definisi
mengenai siapa aktor tersebut. Lebih jauh lagi, Kowert dan Legro juga
menyebutkan bahwa identitas merupakan pedoman atau petunjuk representasi
bagi aktor politik mengenai dirinya dan mengenai hubungannya dengan satu
sama lain. 8 Apa yang dikemukakan oleh para penulis ini menunjukkan bahwa
identitas merujuk pada seperangkat pemahaman yang terdapat pada individu
maupun kolektif yang mendefinisikan peran, ekspektasi, serta petunjuk
6
Richard Jenkins, Social Identity (London: Routledge, 1996), 4.
Ale a de We dt, A a h is What “tates Make of It , International Organization, 46, 1992,
397.
8
Paul Ko e t da Jeff e Leg o, No s, Ide tit , a d Thei Li its , dalam The Culture of
National Security, ed. Peter Katzenstein (New York: Columbia University Press, 1996), 453.
7
Universitas Indonesia
7
mengenai
dirinya.
Identitas
juga
menyediakan
pemahaman
terkait
hubungannya antara satu sama lain.
Identitas dalam hal ini juga bersifat multidimensional. Hal ini
dikarenakan identitas merupakan hal yang terkonstruksi secara kontekstual.
Individu ataupun sebuah kolektif dapat memiliki banyak identitas dan
beragam peran yang menyertai identitas tersebut.9 Beragamnya identitas yang
dapat dimiliki oleh suatu aktor ini didorong oleh banyaknya variasi konteks di
mana identitas bekerja. Identitas juga sangat kental dengan unsur pemberian
makna. Dalam hal ini, bagaimana suatu aktor memahami identitasnya sangat
dipengaruhi dengan bagaimana identitas tersebut diberikan makna. Makna
yang dimiliki oleh identitas ini pada akhirnya juga menjadi basis yang
menggerakkan identitas dalam menentukan kepentingan dan tindakannya.
Keterkaitan identitas dan makna ini juga dikemukakan oleh Manuel Castells
yang menyebutkan bahwa identitas merupakan sumber dari makna dan
pengalaman yang dimiliki oleh suatu aktor.10
Castells
lebih jauh
mengemukakan bahwa ketika kita berbicara tentang identitas, maka kita
berbicara mengenai aktor sosial yang mana di dalamnya terdapat proses
pengkonstruksian makna akan atribut norma dan kultural. 11 Castells juga
memahami bahwa pada dasarnya identitas ini memiliki beragam dimensi dan
sangat kontekstual, bergantung pada dalam konteks apa identitas sedang
dimaksudkan dan diproyeksikan.
Identitas pada Negara
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, identitas juga
memiliki berbagai jenis, seperti identitas agama, etnis, kultural, organisasi,
individu, negara, dan lain sebagainya. Pada literature-review ini, ketertarikan
penulis akan keutamaan peran negara sebagai aktor dalam hubungan
internasional mendorong penulis untuk memfokuskan pembahasan pada
9
Craig Calhoun, Social Identity and the Politics of Identity (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), 936.
10
Manuel Castells, The Power of Identity (Chicchester:Wiley–Blackwell, 2010), 5-70.
11
Ibid.
Universitas Indonesia
8
identitas yang dimiliki oleh negara. Identitas pada negara yang menjadi fokus
utama dalam literature-review ini pada dasarnya merujuk pada identitas
negara sebagai aktor dalam hubungan internasional. Dengan demikian,
identitas yang akan dibahas ini merupakan identitas yang melekat pada negara
dan merujuk pada bagaimana suatu negara pada akhirnya dikenal. Terkait
dengan hal ini, identitas pada negara berbeda dengan apa yang disebut sebagai
identitas nasional. Hal ini dikarenakan, ketika membicarakan mengenai
identitas nasional, kita membahas mengenai identitas yang melekat pada
bangsa di dalam negara tersebut. Hal ini dengan demikian, merujuk pada apa
yang dikemukakan oleh Maxym Alexandrov, terbatas pada apa yang
terkandung dan terbentuk di dalam bangsa dan negara saja tanpa
memperhatikan apa yang terjadi di luar bangsa dan negara tersebut. 12 Dengan
demikian, identitas pada negara yang akan dibahas di dalam tulisan ini
merupakan identitas yang melekat pada negara yang pada akhirnya dapat
memengaruhinya untuk dapat dipahami sebagai aktor dalam hubungan
internasional.
Fenomena berakhirnya Perang Dingin telah memperlihatkan bahwa
identitas
memiliki
peranan
yang
penting
dalam
kajian
Hubungan
Internasional. Identitas dapat memengaruhi konstelasi politik internasional dan
identitas menjadi salah satu unsur yang berusaha didefinisikan oleh suatu
negara. Negara-negara di dunia memiliki kebutuhan untuk mengidentifikasi
dirinya dan untuk memiliki identitas yang distinct sebagai sebuah entitas
dalam tatanan dunia internasional. Hal ini jugalah yang dikemukakan oleh
Roger Brubaker dan Frederick Cooper dalam “Beyond Identity” yang
menyebutkan bahwa identitas negara yang merupakan identitas kolektif
memiliki kebutuhan untuk menjadi kelompok yang distinct, terikat, dan
meliputi rasa solidaritas dan kesatuan dengan anggota kelompok lainnya dan
merasa berbeda dari apa yang bukan merupakan bagian dari kelompok
tersebut.13 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya struktur
internasional terbentuk dari berbagai negara yang masing-masing di dalamnya
Ma
Ale a d o , The Co ept of “tate Ide tit i I te atio al ‘elatio s: A Theo eti al
A al sis , Journal of International Development and Cooperation, 10, 1, 2003, 39.
13
‘oge s B u ake da F ede i k Coope , Be o d Ide tit , Theory and Society, 29, 2000, 19.
12
Universitas Indonesia
9
berusaha membentuk identitasnya sendiri dan membedakan sekaligus mencari
kesamaan antara dirinya dengan identitas lainnya di saat yang bersamaan.
Apa yang terjadi pada masa pasca Perang Dingin menunjukkan
signifikansi identitas dengan menjadi salah satu unsur yang dapat
memengaruhi kondisi konstelasi politik internasional. Mempelajari mengenai
identitas sebuah negara dengan demikian pun menjadi suatu hal yang perlu
dilakukan. Konsep identitas sendiri pun dianggap akan berdampak signifikan
serta berguna dalam kajian Hubungan Internasional. Ted Hopf dalam “The
Promise of Constructivism in International Relations Theory” mengemukakan
bahwa identitas merupakan hal yang penting untuk memastikan paling tidak
tingkatan minimal mengenai prediktabilitas dan tatanan dunia. 14 Ekspektasi di
antara negara membutuhkan identitas yang intersubjektif untuk dapat
memastikan pola perilaku yang dapat diprediksikan. Bagi Hopf, dunia tanpa
identitas berarti a world of chaos yang di dalamnya tidak terdapat kepastian,
sehingga dapat menciptakan kondisi dunia yang berbahaya. 15 Identitas sebuah
negara menunjukkan preferensi negara tersebut dan aksi-aksi logisnya.
Selain itu, identitas menawarkan pemahaman bagi suatu negara
mengenai negara lain, sifat negara tersebut, motif, kepentingan, kemungkinan
aksi, attitude, dan peran dalam konteks politik jenis apapun. 16 Apa yang
dikemukakan oleh Hopf ini memperkuat poin bahwa identitas negara memiliki
signifikansi yang tinggi dalam berkontribusi dan memengaruhi praktik dari
hubungan internasional. Penekanan mengenai pentingnya identitas negara ini
juga dikemukakan oleh Jepperson, Wendt, dan Katzenstein dalam “Norms,
Identity, and Culture in National Security”. Dalam tulisannya tersebut
disebutkan bahwa variasi ataupun perubahan dalam suatu identitas negara
memengaruhi kepentingan ataupun kebijakan keamanan nasional dari negara
tersebut. Konfigurasi dari identitas negara juga dapat memengaruhi struktur
Ted Hopf, The P o ise of Co st u ti is
23, 1, 1998, 174.
15
Ibid.
16
Ibid., 175.
14
i I te atio al ‘elatio s , International Security,
Universitas Indonesia
10
normatif antarnegara,
seperti rezim ataupun komunitas keamanan. 17
Pernyataan-pernyataan tersebut pada dasarnya berusaha menunjukkan bahwa
identitas pada negara merupakan sebuah hal yang penting. Signifikansi
pemahaman mengenai identitas pada negara ini pada akhirnya juga dapat
berkontribusi pada ilmu serta praktik dari hubungan internasional.
Besarnya peran serta pentingnya identitas pada suatu negara dalam
hubungan internasional ini menjadi latar belakang ketertarikan penulis untuk
menyusun literature-review mengenai pembentukan identitas pada suatu
negara dalam hubungan internasional. Dapat dipahami bahwa seiring dengan
perkembangan zaman, peran serta studi mengenai identitas dalam kajian
Hubungan Internasional menjadi semakin signifikan seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Jika pada masa sebelumnya, identitas negara lebih
dikenal melalui besar-kecilnya power yang dilihat dari kapabilitas militernya,
melalui status mereka akan keterlibatannya dalam Perang Dunia I dan II,
ataupun melalui keanggotaannya dalam blok politik pada Perang Dingin,
maka dalam literature-review ini penulis akan membahas lebih dalam
mengenai bagaimana identitas pada negara dalam hubungan internasional
dapat terbentuk untuk dapat memahami hal-hal apa saja yang dapat
memengaruhi pembentukan identitas suatu negara.
Untuk menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan dalam
literature-review ini, akan dipaparkan mengenai bagaimana identitas pada
negara dalam hubungan internasional terbentuk serta faktor-faktor yang
memengaruhinya.
Pada dasarnya,
melihat
dari literatur
yang telah
dikumpulkan, dapat dipahami bahwa identitas pada negara terbentuk secara
internal dan secara eksternal. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya akan
dipaparkan mengenai bagaimana faktor internal memengaruhi identitas pada
negara dan akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai bagaimana faktor
eksternal dapat pula berkontribusi pada pembentukan identitas pada negara
dalam hubungan internasional.
17
Ronald J. Jepperson, Alexander Wendt, dan Peter J. Katzenstein, "Norms, Identity, and Culture
in National Security", dalam The Culture of National Security, ed. Peter J. Katzenstein (New York:
Columbia University Press, 1996), 52.
Universitas Indonesia
11
Faktor Internal yang Memengaruhi Pembentukan Identitas pada Negara:
Esensial dan Turunan
Ketika membicarakan mengenai faktor-faktor apa saja yang membentuk
identitas pada suatu negara, pada dasarnya penulis-penulis dalam kajian
Hubungan Internasional memiliki argumen yang beragam. Dari pembahasan yang
dilakukan oleh penulis-penulis tersebut, pada dasarnya dipahami bahwa terdapat
beberapa penulis yang meyakini bahwa identitas terbentuk dari dalam negara itu
sendiri atau dalam hal ini disebut sebagai faktor internal. Faktor-faktor internal
yang membentuk identitas pada negara dalam tulisan ini dibagi menjadi dua jenis,
yaitu faktor-faktor esensial dan faktor-faktor turunan yang terbentuk dari
kombinasi faktor-faktor esensial tersebut. Dalam pembahasan ini juga akan
dijelaskan bagaimana kedua jenis faktor tersebut pada akhirnya mampu
mendorong pembentukan identitas pada negara.
Faktor-faktor esensial
Pembentukan identitas suatu negara menurut beberapa penulis terjadi
karena adanya faktor-faktor esensial yang berkontribusi besar. Dalam hal ini,
faktor-faktor esensial yang dimaksud di antaranya adalah norma, budaya,
bahasa, ide, kepercayaan (belief), dan sejarah. Pada bagian ini akan
dipaparkan argumen para penulis yang menyebutkan bahwa faktor-faktor
esensial tersebut merupakan unsur-unsur esensi dasar yang membentuk
identitas pada suatu negara. Seluruh faktor tersebut disebutkan memiliki peran
konstitutif dalam identitas negara.
Norma
Norma merupakan salah satu faktor yang disebutkan sebagai unsur
yang berperan besar pada pembentukan identitas pada negara. Dalam hal
ini, penulis akan memaparkan bagaimana secara internal terdapat norma
yang mendorong dan memengaruhi pembentukan identitias pada negara
dalam hubungan internasional. Jeffrey T. Checkel menyebutkan bahwa
norma merupakan pemahaman dari masyarakat secara kolektif yang
Universitas Indonesia
12
memberikan klaim mengenai perilaku yang pantas pada aktor.18 Tidak
hanya mengatur perilaku, efek dari adanya norma ini pada akhirnya akan
membentuk identitas dan juga kepentingan. Checkel menambahkan pula
bahwa norma bukan merupakan struktur yang lebih besar dari material,
tetapi norma juga membantu dalam menciptakan dan mendefinisikan
unsur-unsur tersebut.19 Dalam pemahaman Checkel, negara sebagai agen
dan norma global sebagai struktur saling berinteraksi dan membentuk satu
sama lain secara timbal balik. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa norma
juga membantu agen, yang dalam hal ini adalah negara, untuk dapat
mendefinisikan identitasnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Audie Klotz. Klotz menyebutkan
bahwa norma merupakan komponen fundamental dari sistem internasional
dan komponen fundamental dari definisi aktor terhadap kepentingan.20
Dalam penjelasannya tersebut disebutkan pula bahwa identitas aktor
negara sebagian didefinisikan oleh norma konstitutif yang beragam dan
berlangsung terus-menerus seiring berjalannya waktu. Klotz kemudian
juga menambahkan bahwa norma adalah institusi sosial yang merupakan
produk dari interaksi antar aktor. Kemudian, identitas serta kepentingan
aktor-aktor tersebut pada akhirnya dikonstruksikan dan didefinisikan oleh
norma yang terproduksi dari interaksi. 21 Norma dengan demikian memiliki
sebuah peran yang cukup penting dalam identitas negara, karena norma
mengandung pemahaman kolektif tentang bagaimana sesuatu seharusnya
dilakukan dan dilaksanakan. Oleh karena itu, norma yang terkandung
dalam struktur sosial memberikan gambaran pedoman perilaku bagi aktor
dalam aktivitasnya. Norma yang terbentuk pada akhirnya berpengaruh dan
berkontribusi pada pembentukan identitas.
Terkandungnya norma juga diungkapkan oleh Mark Blyth. Senada
dengan
Checkel
sebelumnya,
Blyth
menyebutkan
bahwa
norma
Jeff e T. Che kel, The Co st u ti ist Tu i I te atio al ‘elatio s Theo , World Politics,
50, 1998, 328.
19
Ibid.
20
Audie Klotz, Norms in International Relations: The Struggle against Apartheid (New York:
Cornell University Press, 1999), 15.
21
Ibid., hlm. 19.
18
Universitas Indonesia
13
merupakan ekspektasi kolektif mengenai perilaku yang pantas di dalam
suatu identitas tertentu.22 Blyth juga mempercayai bahwa norma memiliki
efek konstitutif yang mendefinisikan siapa negara sebenarnya. Namun
demikian, Blyth juga menambahkan bahwa dirinya melihat norma juga
memiliki efek regulatif. Efek regulatif ini mendefinisikan mana dan apa
saja perilaku yang pantas dalam identitas spesifik tertentu.23 Hal ini
menunjukkan bahwa norma memiliki peran yang besar dalam memberikan
batasan mengenai perilaku suatu negara. Serta, norma yang tertanam dan
berlangsung terus menerus ini pada akhirnya akan berkontribusi dalam
membentuk identitas. Efek konstitutif serta regulatif dari norma ini pada
dasarnya adalah hal yang menjelaskan bagaimana
norma dapat
memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara.
Lebih jauh lagi, Blyth menyatakan bahwa norma juga merupakan
fungsi yang tertanam dalam budaya tertentu.24 Budaya yang di dalamnya
mengandung norma-norma spesifik tertentu ini diberlakukan secara terus
menerus dan memberikan kerangka identifikasi suatu identitas, termasuk
identitas negara. Dengan demikian, identitas negara juga merujuk pada
budaya yang berlaku di dalam sebuah komunitas tertentu di mana perilaku
aktor-aktor di dalamnya diatur dan berada dalam suatu norma tertentu
yang tertanam di budaya tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa norma
tidak terlepas dari budaya yang berlaku, dan setiap budaya memiliki
norma-norma tertentu yang diimplementasikan dalam kehidupan seharihari. Apa yang dikemukakan oleh Blyth ini mengantarkan kita pada faktor
esensial selanjutnya yang dapat memengaruhi pembentukan identitas,
yaitu faktor budaya.
Budaya dan habit
Budaya atau kultur dianggap juga berpengaruh dalam membentuk
identitas, termasuk identitas kenegaraan. Menurut Helen Spencer-Oatey,
Ma k Bl th, “t u tu es Do Not Co e ith a I st u tio “heet: I te ests, Ideas, a d P og ess
in Political Scie e , Perspectives on Politics, 1, 4, 2003, 695-706.
23
Ibid.
24
Ibid.
22
Universitas Indonesia
14
budaya merupakan sebuah konsep yang kompleks, namun dalam hal ini
budaya dapat dipahami sebagai seperangkat asumsi dasar dan nilai-nilai,
orientasi hidup, kepercayaan, kebijakan, prosedur, dan pedoman
berperilaku yang dianut secara bersama oleh sekelompok orang dan
memengaruhi perilaku anggota-anggotanya dan interpretasi mereka terkait
makna dari perilaku orang lain. 25 Dalam bagian ini akan dijelaskan
mengenai ide bahwa bagaimana sebuah komunitas memiliki dan
menginternalisasi budaya yang sama juga merupakan faktor pendorong
yang membentuk rasa kesatuan dan pada akhirnya memengaruhi
identifikasi aktor sebagai sebuah negara.
Jonathan M. Acuff dalam tulisannya menjelaskan bagaimana
bentuk realisasi dari budaya pada akhirnya dapat memengaruhi
pembentukan identitas dalam sebuah negara. Namun demikian, esensi dari
tulisan yang ditulis oleh Acuff menjelaskan bahwa pada dasarnya
pembentukan identitas kolektif seperti identitas negara juga diturunkan
dari konten budaya yang dimiliki masyarakatnya. 26 Budaya yang
diinternalisasikan dan dipraktikkan secara sehari-hari mendorong adanya
identifikasi bahwa masyarakat tersebut melaksanakan dan memberlakukan
budaya yang sama. Bahkan, Geert Hofstede menjelaskan bahwa budaya
merupakan sebuah sistem yang mengatur pikiran masyarakat secara
kolektif untuk dapat membedakan keanggotaan suatu identitas dengan
identitas
lainnya. 27
menunjukkan
adanya
Kesamaan
pengimplementasian
pemahaman
yang
serupa
budaya
sehingga
ini
dapat
memunculkan rasa solidaritas yang memperkuat identifikasi dan pada
akhirnya membentuk identitas kolektif tertentu, termasuk identitas pada
negara.
25
Helen Spencer-Oatey, Culturally Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory,
(London: Continuum, 2008), 3.
26
Jo atha M. A uff , “pe ta le a d “pa e i the C eatio of P emodern and Modern Polities:
To a d a Mi ed O tolog of Colle ti e Ide tit , International Political Sociology, 6, 2012, 132–
148.
27
Geert Hofstede, Cultures and Organizations: Software of the Mind, (London: Harper Collins
Business, 1994), 5.
Universitas Indonesia
15
Pemahaman mengenai budaya dalam bentuk praktik, persepsi, serta
perasaan terus menerus yang menjadi habit atau kebiasaan ini juga
dikemukakan oleh Ted Hopf sebagai hal yang pada akhirnya dapat
memproduksi identitas.28 Bahkan Hopf juga menyebutkan bahwa hal ini
dapat pula berkontribusi pada bagaimana suatu negara mempersepsikan
aktor lainnya, yaitu sebagai teman atau musuh, serta bagaimana negara
harus menghadapi aktor tersebut.29 Terkait hal ini, Acuff pun menjelaskan
bahwa aktivitas yang menjadi habit atau kebiasaan ini juga berkontribusi
dalam pembentukan identitas. Praktik atau aktivitas merupakan bentuk
dari pelaksanaan budaya, karena bagi Acuff budaya bukan hanya terdiri
dari sistem dan pemahaman teoretis semata, tetapi juga membutuhkan
tindakan atau aksi di dalamnya. 30 Hal ini mengindikasikan bahwa tindakan
yang dilakukan secara terus menerus sebagai bentuk realisasi dari budaya
ini pada akhirnya membentuk pola dan mendorong terbentuknya identitas.
Belief
Aktivitas atau praktik ritual yang dilakukan secara terus menerus
seperti yang dijelaskan sebelumnya juga terjadi dan terbentuk karena
adanya belief atau kepercayaan yang terkandung dalam budaya. Belief juga
dapat dipahami sebagai kumpulan dari unsur-unsur ideasional atau
gagasan yang diyakini secara bersama-sama. Unsur ideasional berupa
gagasan bersama (shared ideas) ini dilihat sebagai Ronen Palan sebagai
unsur penentu dalam pembentukan asosiasi masyarakat seperti identitas
negara, karena
menurut Palan,
identitas dan kepentingan aktor
dikonstruksikan oleh gagasan bersama tersebut. 31
Penjelasan ini
mengindikasikan bahwa gagasan bersama akan suatu hal menciptakan
belief dalam budaya masyarakat. Rasa percaya akan budaya yang berlaku
dan diinternalisasikan oleh masyarakat tersebutlah yang pada akhirnya
Ted Hopf, The logi of ha it i I te atio al ‘elatio s , European Journal of International
Relations, 16, 4, 2010, 552.
29
Ibid.
30
Acuff, “pe ta le a d “pa e ,
-148.
31
‘o e Pala , A o ld of thei aki g: a e aluatio of the o st u ti ist iti ue i
I te atio al ‘elatio s , Review of International Studies, 26, 4, 2000, 576.
28
Universitas Indonesia
16
dapat mendorong terbentuknya pembentukan identitas kolektif termasuk
identitas negara.
Belief dalam hal ini juga memengaruhi pembentukan identitas. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Marc Lynch yang menyebutkan bahwa
identitas negara merupakan seperangkat kepercayaan (belief) mengenai
sifat alamiah dan tujuan dari suatu negara.32 Belief atau kepercayaan yang
diyakini bersama ini dapat memunculkan pemahaman bahwa suatu
komunitas berada di dalam suatu identitas yang sama. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa budaya dan seluruh unsur yang terkandung di
dalamnya, termasuk belief, merupakan salah satu faktor esensial yang
memengaruhi pembentukan identitas pada negara.
Bahasa
Faktor esensial dalam pembentukan identitas pada negara
selanjutnya adalah bahasa. Penggunaan bahasa dianggap dapat menjadi
faktor pemersatu yang dapat mendukung pembentukan identitas kolektif
seperti identitas negara. Hal ini dikemukakan oleh Patricia M. Goff dan
Kevin C. Dunn. Disebutkan bahwa kemampuan kolektif dalam
membentuk identitas tidak hanya didorong oleh fakta bahwa individuindividu di dalamnya menempati teritori atau wilayah yang sama. Goff dan
Dunn melihat bahwa pembentukan identitas kolektif negara lebih didorong
oleh fungsi penggunaan aset bersama tertentu yang di dalamnya termasuk
bahasa. 33 Penggunaan bahasa sebagai aset bersama ini dilihat sebagai hal
yang dapat memunculkan solidaritas dalam masyarakat di suatu lingkup
negara.
Goff dan Dunn melihat bahwa pemakaian bahasa yang sama dapat
menimbulkan „sense of belonging‟ dalam masyarakat dan memunculkan
rasa bahwa mereka merupakan suatu kesatuan yang sama. Solidaritas dan
Ma L h, A a do i g I a : Jo da 's Allia es a d the Politi s of “tate Ide tit , Security
Studies, 8, 2–3, 1999, 399.
33
Pat i ia M. Goff da Ke i C. Du , Co lusio : ‘e isiti g the Fou Di e sio of Ide tit ,
dalam Identity and Global Politic: Empirical and Theoretical Elaboration, ed. Patricia M. Goff dan
Kevin C. Dunn (New York:, Palgrave Macmillan, 2004), 240.
32
Universitas Indonesia
17
„sense of belonging‟ yang muncul dari penggunaan bahasa yang sama ini
pada akhirnya menjadi unsur pendorong identifikasi masyarakat tersebut
dalam suatu identitas kolektif tertentu, yang dalam hal ini berupa identitas
negara. Bukan hal yang mustahil bagi negara memiliki beragam bahasa
yang digunakan, dan bukan hal yang mustahil pula bahwa terdapat
beberapa negara yang memiliki bahasa nasional yang sama. Namun
demikian, dalam hal ini, bahasa tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu
unsur konstitutif dalam konteks identitas negara.
Sejarah
Sejarah merupakan faktor esensial terakhir yang akan dibahas
dalam pembentukan identitas negara secara internal ini. Identitas negara
juga dilihat terbentuk karena adanya rasa kesatuan atas pemahaman dan
makna dari peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Hal ini
dikemukakan oleh Friedrich Kratochwil dalam tulisannya. Kratochwil
menyebutkan bahwa sejarah bukan hanya merupakan tempat penyimpanan
data secara permanen, melainkan merupakan produk dari memori yang
pada akhirnya secara dalam terkandung dan memengaruhi pembentukan
identitas pada suatu negara. 34 Memori historis dengan demikian
merupakan salah satu faktor yang mendorong konstruksi identitas.
Kratochwil mengungkapkan bahwa sebelumnya Nietzsche adalah
tokoh yang awalnya menekankan dengan kuat mengenai peran refleksi
historis ini dalam konstruksi identitas. Dikutip dari Kratochwil bahwa
Nietzsche melihat sejarah sebagai produk dari memori dan hal tersebut
mengindikasikan bahwa apa yang terjadi di masa lampau sangat terlibat
dan berpengaruh dalam mengkonstruksi identitas suatu aktor, termasuk
negara. 35 Nietzsche, seperti dikutip oleh Kratochwil, menambahkan pula
bahwa dalam memutuskan apa yang harus dilakukan oleh negara, negara
sebagai aktor sebelumnya harus dapat melihat dan belajar dari apa yang
F ied i h K ato h il, Histo , A tio a d Ide tit : ‘e isiti g the “e o d G eat De ate a d
Assessi g its I po ta e fo “o ial Theo , European Journal of International Relations, SAGE
Publications and ECPR-European Consortium for Political Research, 12, 1, 2006, 5.
35
Ibid., 15.
34
Universitas Indonesia
18
pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. 36 Hal ini mengindikasikan
bahwa sejarah menjadi alat yang dapat memberikan gambaran serta
pedoman apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak
dilakukan.
Apa yang dikemukakan oleh Kratochwil dan Nietzsch ini
memberikan pemahaman bahwa latar belakang sejarah dengan demikian
dapat memengaruhi bagaimana negara berperilaku terhadap suatu kondisi
tertentu. Dengan demikian, sejarah dapat berpengaruh pada bagaimana
negara mengidentifikasi dirinya sendiri dan perilaku negara yang juga
dilatar-belakangi oleh sejarah pun dapat pula memengaruhi bagaimana
negara diidentifikasi oleh aktor lainnya dalam hubungan internasional.
Pembahasan pada bagian ini menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor esensial yang memiliki peran penting dalam pembentukan identitas.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor-faktor esensial yang dimaksud
dalam hal ini adalah norma, budaya, belief atau kepercayaan, ritual, bahasa,
serta latar belakang sejarah. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur-unsur
utama pembentuk identitas yang eksistensinya secara terus menerus dapat
menciptakan rasa solidaritas dan kesatuan. Negara sebagai identitas kolektif
terbentuk karena adanya proses tarik-menarik dalam faktor-faktor ini secara
terus menerus sehingga membentuk sebuah pola, rasa kesamaan, serta
memunculkan „sense of belonging‟ di antara individu-individu yang terlibat.
Jika diperhatikan, faktor-faktor esensial yang merupakan bagian dari
faktor internal pembentuk identitas negara ini mayoritas berbasiskan unsur
ideasional atau non-material. Faktor-faktor ini tidak berbentuk ataupun dapat
diukur karena terletak di tatanan ideasional yang dipercaya dan dirasakan oleh
anggota-anggota dari identitas tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami
bahwa pembentukan identitas pada negara didorong dan dipengaruhi oleh
adanya faktor-faktor esensial yang sifatnya non-material dan terkandung
dalam masyarakat. Faktor-faktor ini menjadi perekat dalam masyarakat dan
36
Ibid.
Universitas Indonesia
19
mampu menumbuhkan rasa saling memiliki karena melalui faktor-faktor
tersebut, individu mulai mengidentifikasi diri dan karakter-karakter yang
dimilikinya dengan membandingkannya dengan individu lainnya. Kesamaan
karakter faktor tertentu serta pemahaman bersama yang muncul dari faktorfaktor esensial inilah yang pada akhirnya membentuk identitas kolektif dalam
negara.
Selain sebagai unsur perekat, faktor esensial ini juga pada akhirnya
memengaruhi karakter dari identitas negara yang pada akhirnya terbentuk.
Faktor-faktor esensial seperti norma, budaya dan habit, belief yang berlaku
dalam hal ini, misalnya, juga akan memengaruhi bagaimana identitas pada
negara tersebut terbentuk. Karena pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung
dalam faktor-faktor esensial ini akan menentukan sifat tindakan yang akan
dilakukan oleh negara dalam situasi tertentu. Sejarah yang juga merupakan
salah satu dari faktor esensial ini juga memiliki andil dalam hal kemungkinan
tindakan serta karakter aksi yang akan diproduksi oleh suatu negara. Latar
belakang sejarah yang diyakini oleh masyarakat dan elit dalam negara tersebut
akan memengaruhi cara pandang dan cara pikir dari negara dalam
merumuskan tindakannya, baik secara domestik maupun internasional.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa faktor-faktor esensial internal ini
dapat menjadi perekat yang mendorong pembentukan identitas pada negara,
serta dapat pula memengaruhi dan menentukan karakter dari identitas negara
tersebut.
Faktor-faktor turunan
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai adanya faktor-faktor
esensial internal yang menjadi dasar terbentuknya identitas negara. Seperti
yang telah disebutkan, faktor-faktor tersebut mendorong terciptanya perasaan
kolektif dan pada akhirnya membentuk suatu kesatuan identitas yaitu identitas
negara. Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana faktor-faktor esensial
tersebut bersama dengan faktor-faktor lainnya nyatanya mengkonstruksi
bentuk faktor lainnya yang mendukung dan semakin memperkuat identitas
Universitas Indonesia
20
negara. Penulis menyebut faktor-faktor ini sebagai faktor turunan karena
penulis meyakini bahwa faktor-faktor ini ada karena terbentuk dari gabungan
faktor-faktor esensial yang disebutkan pada bagian sebelumnya, serta
bagaimana interaksi faktor-faktor tersebut dengan faktor-faktor lainnya pada
akhirnya dapat membentuk identitas. Oleh karena itu, pada bagian ini akan
dipaparkan
argumen
dari
penulis-penulis
dalam
kajian
Hubungan
Internasional yang menyebutkan bagaimana faktor-faktor turunan dari
beragam jenis faktor pada akhirnya dapat mendukung pembentukan identitas
negara secara internal.
Secara umum, penulis-penulis yang akan disebutkan pada bagian ini
tidak membantah bahwa faktor-faktor esensial sebelumnya memiliki peran
penting yang mendasar dalam pembentukan identitas negara. Namun
demikian, penulis-penulis ini memiliki argumen bahwa pada dasarnya terdapat
faktor-faktor lain yang berinteraksi dengan faktor-faktor esensial tersebut, dan
pada akhirnya mengkonstruksikan unsur lain yang juga berpengaruh dalam
pembentukan identitas. Menurut penulis-penulis ini, faktor-faktor seperti
norma, budaya, bahasa, belief, sejarah dan lain-lain ini berinteraksi antara satu
sama lain dan membentuk faktor turunan yang memiliki makna tertentu, dan
pada akhirnya menjadi hal yang dipercaya dapat memperkuat pembentukan
identitas negara. Dalam bagian ini akan disebutkan mengenai unsur naratif
diskursus, simbolisasi material, kualitas intrinsik negara, dan kebutuhan
politik sebagai bentuk faktor turunan yang juga merupakan pendukung dalam
internalisasi serta pembentukan identitas negara.
Diskursus dan Narativisasi
Salah satu faktor-faktor turunan dalam pembentukan identitas
negara ini adalah diskursus yang melibatkan penggunaan teks atau katakata. Kevin C. Dunn dalam tulisannya menyebutkan bahwa diskursus
memiliki kaitan yang erat terkait hubungannya dengan konstruksi
Universitas Indonesia
21
identitas.37 Dunn menjelaskan bahwa selama ini banyak penulis tentang
identitas yang fokusnya material justru mengacuhkan pentingnya
diskursus. Sedangkan bagi Dunn, diskursus juga memiliki pengaruh
terhadap pembentukan identitas dengan hubungannya dengan aspek
material. Dalam praktiknya, material dan diskursus saling berkaitan karena
sulit untuk terus membedakan antara praktik dan diskursus. 38 Melalui
pendapatnya ini Dunn berusaha menjelaskan bahwa pada dasarnya
diskursus sangat berhubungan dengan identitas dan para elit suatu negara
seringkali
menggunakan
diskursus
untuk
dapat
mengklaim
dan
mengkonstruksi identitas negaranya. Diskursus dilihat memiliki pengaruh
untuk dapat mendorong pembentukan identitas negara. Dalam hal ini,
diskursus dapat berupa konteks naratif tertentu yang dikemukakan oleh
para elit atau pemimpin negara untuk dapat mengafirmasi baik kepada
masyarakat dari negara itu sendiri maupun aktor lainnya dalam hubungan
internasional.
Apa yang dikemukakan oleh Dunn ini mengindikasikan bahwa
diskursus yang pada dasarnya terkonstruksi oleh penggunaan bahasa yang
dikemas dalam kata-kata serta kalimat tertentu yang di dalamnya memiliki
makna atas pemahaman belief serta norma suatu negara ketika
dikemukakan dalam situasi serta kondisi tertentu dapat memperkuat
identitas dari negara tersebut. Diskursus dalam hal ini dikatakan memiliki
pengaruh dan kapabilitas untuk dapat membentuk identitas. Diskursus ini
terlebih lagi ketika dipadukan dengan kapabilitas siapa yang berbicara
akan dapat memberikan pengaruh besar dalam pembentukan identitas.
Demikian pulalah yang dikemukakan oleh Charlotte Epstein mengenai
bagaimana diskursus dan kapabilitas aktor yang berbicara dapat
memengaruhi dan memperkuat pembentukan identitas.39 Epstein dalam
tulisannya tersebut
melihat bahwa diskursus yang di dalamnya
Ke i C. Du , Na ati g Ide tit : Co st u ti g the Co go Du i g the 6 C isis , dalam
Identity and Global Politic: Empirical and Theoretical Elaborations, ed. Patricia M. Goff dan Kevin
C. Dunn (New York:, Palgrave Macmillan, 2004), 126-127.
38
Ibid.
39
Cha lotte Epstei , Who speaks? Dis ou se, the su je t a d the stud of ide tit i
i te atio al politi s , European Journal of International Relations, XX(X), 2010, 1–24.
37
Universitas Indonesia
22
mengandung naratif merupakan media ataupun wadah yang cukup efektif
dalam mengklaim maupun memperkuat identitas, terutama apabila
disampaikan oleh aktor atau agen yang tepat. Epstein pun melihat bahwa
diskursus memiliki hubungan yang sangat erat dengan bahasa, norma,
kultur, serta agensi. 40
Terkait dengan hubungan antara penggunaan bahasa dan agensi ini
Dunn juga menyebutkan mengenai narativisasi. Narativisasi yang
dimaksud oleh Dunn ini adalah bentuk usaha agen-agen elit negara untuk
mengklaim identitas negaranya, baik kepada konstituennya maupun pada
pihak eksternal melalui pembentukan kisah-kisah naratif tertentu untuk
menarik dan menyatukan hati rakyat.41 Agen-agen yang biasanya
merupakan elit dari negara menggunakan kapabilitas yang dimilikinya
dalam konteks tertentu untuk memberikan keyakinan pada konstituen
negara yaitu warga negara untuk memahami serta menginternalisasi
pembentukan identitas. Selain itu, narativisasi ini juga dilakukan untuk
memberikan klaim kepada aktor-aktor
negara
lainnya
mengenai
bagaimana negara tersebut mengidentifikasikan dirinya. Teks yang
membentuk cerita sebagai diskursus ini dengan demikian menjadi media
yang digunakan untuk membentuk identitas dalam negara. Diskursus
ketika disampaikan atau dikaitkan dengan agen yang tepat dalam rentang
waktu
serta
momen
yang
tepat
dapat
memengaruhi
serta
menginternalisasikan kepada publik, baik dari dalam maupun luar negara
tersebut, mengenai pemahaman akan identitas negara.
Penjelasan
mengenai
diskursus
yang
dalam
tulisan
ini
dikemukakan oleh Dunn dan Epstein menunjukkan bahwa diskursus
merupakan salah satu faktor turunan
yang dapat
memengaruhi
pembentukan identitas pada negara. Diskursus dikonstruksikan oleh
konteks peristiwa atau situasi tertentu, kehadiran agen, dan penggunaan
bahasa dalam membentuk kisah, baik secara lisan maupun tertulis,
sehingga pada akhirnya dapat memengaruhi pemahaman baik bagi warga
40
41
Ibid.
Dun , Na ati g Ide tit , 138.
Universitas Indonesia
23
negara tersebut, ataupun masyarakat internasional mengenai identitas pada
negara. Penggunaan diskursus, agensi, serta cara yang tepat dapat
berpengaruh dalam menanamkan pemahaman serta makna akan identitas
negara dan dengan demikian merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara.
Pengaruh dari diskursus pada pembentukan identitas negara juga
dapat meningkat ketika diiringi oleh pemberlakuan formal dari elit politik
karena mereka memiliki posisi legislatif terkait pembuatan keputusan yang
strategis, sehingga diskursus tidak lagi hanya sekedar kata-kata kosong,
tetapi memiliki dorongan langsung pada hukum dan peraturan formal.
Dalam hal ini, diskursus yang dilakukan oleh negara melalui
pemberlakuan peraturan formal dapat dijelaskan dengan melihat negara
Swiss sebagai contoh. Riano Yvonne dan Wastl-Walter Doris dalam
tulisannya menjelaskan mengenai usaha pemerintah Swiss pada abad ke19 dalam menghadapi isu Überfremdung, yaitu gagasan akan kelebihan
populasi asing yang dapat mengancam identitas Swiss. 42 Negara-negara
Eropa merupakan wilayah yang sangat sering dipilih untuk menjadi tujuan
dari para imigran, termasuk Swiss. Dalam hal ini, diskursus mengenai
kebijakan „naturalisasi‟ menjadi hal yang lumrah dilakukan. Namun
demikian, hal ini berbeda dengan Swiss. Yvonne dan Doris menjelaskan
bahwa negara tersebut berupaya keras untuk melakukan penanaman serta
pengimplementasian diskursus dalam rangka usaha eksklusi terhadap
imigrannya.
Sebelum masa Perang Dunia I, Swiss melihat kedatangan pihak
asing sebagai hal yang tidak dapat dihindari dan dapat berkontribusi bagi
perkembangan ekonomi. Sehingga pada masa itu, menurut Yvonne dan
Doris, Swiss melihat naturalisasi menjadi cara yang paling cocok bagi
imigran untuk dapat terasimilasi dengan budaya Swiss. 43 Pada masa di
antara Perang Dunia I dan II, budaya ancaman nasional mulai
Riaño Yvonne dan Wastl-Walte Do is, I
ig atio Poli ies, “tate Dis ou ses o Fo eig e s
a d the Politi s of Ide tit i “ itze la d , Environment and Planning A, 38, 2006, 1693.
43
Ibid., 1696.
42
Universitas Indonesia
24
berkembang, dan kehadiran orang asing atau imigran dianggap sebagai hal
yang dapat membahayakan identitas negara tersebut. Kemudian pasca
Perang Dunia II berlangsunglah masa ekspansi ekonomi yang membuat
Swiss membutuhkan buruh asing atau imigran, sehingga pada masa itu
imigran dianggap sebagai hanyalah fenomena sementara yang tidak dapat
dihindarkan. Selanjutnya adalah fase terakhir sejak tahun 1990-an hingga
saat ini yaitu yang berkaitan dengan berdirinya Uni Eropa. Pada masa ini,
Swiss kedatangan banyak sekali imigran, baik yang menetap di negara
tersebut maupun imigran yang merupakan pencari suaka dari perang sipil
di bekas Yugoslavia. 44
Swiss merupakan salah satu negara di Eropa yang tidak termasuk
dalam Uni Eropa. Yvonne dan Doris menyebutkan bahwa pada awalnya
Swiss cukup terisolasi dari Uni Eropa dan elit politiknya menganggap hal
ini cukup mengkhawatirkan bagi ekonomi negara tersebut. Namun,
mayoritas publik di Swiss memang menolak untuk bergabung dalam Uni
Eropa. Terkait hal tersebut, untuk juga menjaga identitas negaranya,
Yvonne dan Doris melihat bahwa pemerintah Swiss melakukan diskursus
melalui perumusan kebijakan terkait imigrasi. Kebijakan ini diawali
dengan three-circle policy yang diimplementasikan dengan membagi
pihak asing menjadi tiga jenis melalui proksimitas atau kedekatan
budayanya. Namun demikian, hal ini menimbulkan kontroversi karena
dianggap sebagai diskriminasi terhadap ras dan latar belakang budaya
tertentu.
Yvonne dan Doris lebih jauh mengemukakan bahwa pada 2002,
Swiss melakukan perjanjian bilateral dengan Uni Eropa mengenai
kebebasan untuk melakukan perpindahan (freedom of movement) untuk
tetap menjaga kondisi ekonominya. 45 Dalam perjanjian tersebut, penduduk
Uni Eropa tidak lagi dimasukkan dalam kategori „asing‟, sehingga
penduduk Uni Eropa di Swiss dapat memiliki hak untuk hidup dan bekerja
yang sama dengan penduduk asli Swiss, kecuali hak untuk memilih (voting
44
45
Ibid., 1696-1697.
Ibid., 1701-1706.
Universitas Indonesia
25
rights). Kemudian hingga saat ini, pihak asing atau imigran di luar Uni
Eropa pun dibagi berdasarkan kualifikasi personalnya. Sehingga, imigran
di luar Uni Eropa yang lebih mudah berintegrasi dengan masyarakat Swiss
adalah mereka yang dianggap dapat berkontribusi bagi perekonomian
negara tersebut.46
Contoh yang dikemukakan oleh Yvonne dan Doris terkait apa yang
terjadi di Swiss ini menunjukkan bagaimana pemerintah negara
menggunakan diskursus yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan untuk
membentuk dan menjaga identitasnya. Hal ini pada dasarnya juga
mengindikasikan bahwa diskursus yang diformalkan sebagai peraturan
memiliki pengaruh yang kuat dan dapat memengaruhi pembentukan
identitas pada negara. Hal ini kembali menekankan poin bahwa diskursus
yang diiringi dengan penggunaan instrumen yang tepat serta dilakukan
pada situasi tertentu yang tepat dapat mendorong dan mendukung
pembentukan identitas yang diinginkan oleh pihak internal negara.
Simbolisasi Material
Faktor selanjutnya adalah faktor yang terkonstruksi dari faktorfaktor esensial seperti budaya atau kultur, norma, peristiwa sejarah, serta
belief. Jonathan M. Acuff dalam hal ini memiliki pandangan menarik
mengenai apa yang dapat memengaruhi pembentukan identitas pada
negara. Jika pada sebelumnya telah disebutkan pendapat Acuff mengenai
bagaimana identitas dibentuk dan diturunkan melalui produk dari esensi
budaya, maka dalam bagian ini akan dijelaskan bentuk-bentuk realisasi
dari produk esensi budaya tersebut. Acuff menjelaskan bahwa budaya
yang sering dilihat sebagai bentuk yang abstrak dan bersifat non-material
juga membentuk produk-produknya dalam bentuk material yang juga
berpengaruh dalam pembentukan identitas.
Bagi Acuff, identitas berkaitan erat dengan self-understanding atau
pemahaman
aktor
tersebut
mengenai
dirinya
sendiri.
Acuff
mengemukakan bahwa self-understanding suatu aktor distrukturisasikan
46
Ibid.
Universitas Indonesia
26
melalui praktik-praktik ritual yang dilakukannya. Melalui ritual yang
dilakukannya, warga negara atau anggota dari suatu identitas kolektif
membentuk identitasnya di antara elemen-elemen material seperti
monumen, coliseum, dan ruang publik lainnya. 47 Acuff melihat elemen
material tersebut merupakan bentuk simbolisasi yang juga membentuk
identitas. Monumen, coloseum, serta arsitektur ruang publik yang ada
dalam suatu negara, bagi Acuff, melibatkan unsur emosional yang melekat
pada mitos serta norma yang berlaku di masyarakat dan merupakan
representasi material dari budaya yang mengandung memori kolektif dari
masyarakat dan dengan demikian dapat berkontribusi pada pembentukan
identitas kolektif. 48 Melalui hal ini Acuff berusaha mengajak pembacanya
untuk melihat bagaimana simbolisasi dari nilai budaya, norma, belief, dan
pemahaman sejarah suatu kolektif yang diwujudkan dalam bentuk material
mengandung makna tertentu dan memunculkan rasa keterikatan yang pada
akhirnya dapat memperkuat identitas kolektif yang terbentuk, seperti
identitas negara.
Dengan melihat apa yang dikemukakan oleh Acuff, dapat dipahami
bahwa pada dasarnya identitas suatu kolektif dipengaruhi pula dengan
unsur material yang di dalamnya mengandung unsur emosional. Unsur
emosional ini tertanam dan melekat dalam masyarakat terkait mitos
maupun simbolisasi yang berlaku sehingga dituangkan dalam bentuk
monumen ataupun bangunan-bangunan tertentu. Unsur emosional ini
muncul dari memori serta praktik ritual yang dilakukan oleh masyarakat.
Dalam hal ini, memori berkaitan dengan apa yang pernah terjadi dalam
kolektif tersebut, seperti peninggalan peristiwa sejarah yang memiliki
makna tertentu. Peninggalan tersebut berbentuk nyata namun diartikan
secara mendalam dan membentuk sebuah memori tentang apa yang pernah
dialami oleh leluhur dari masyarakat tersebut. Memori serta makna yang
dipahami secara bersama tersebut memunculkan rasa keterikatan dan pada
akhirnya dapat membentuk rasa saling memiliki. Simbolisasi juga
47
48
Acuff , “pe ta le a d “pa e ,
Ibid.
-148.
Universitas Indonesia
27
seringkali dituangkan dalam bentuk ritual tertentu yang dalam praktiknya
semakin menginternalisasi pemahaman akan identitas kolektif masyarakat
tersebut.
Acuff juga melihat bahwa tidak hanya monumen, coloseum,
ataupun arsitektur keseluruhan dari ruang publik, tetapi pembentukan
identitas kolektif negara juga diturunkan dari produk budaya yang dimiliki
masyarakat seperti kesenian, musik, literatur, adat, kepercayaan, dan
fashion.49 Produk dari budaya yang dianut oleh suatu masyarakat dalam
bentuk kolektif tersebut nyatanya juga dapat menjadi pengikat masyarakat
sebagai sebuah kesatuan. Selain itu, konten budaya yang dimiliki
masyarakat ini pun mengandung nilai serta kepercayaan tertentu yang juga
diinternalisasikan dalam diri setiap individu untuk memahami bahwa
mereka merupakan bagian dan anggota dari sebuah identitas kolektif
tertentu. Produk-produk budaya ini seringkali menjadi representasi
mengenai identitas kolektif suatu masyarakat. Suatu kolektivitas termasuk
negara seringkali dilihat dan dikenal melalui produk-produk budaya yang
memiliki ciri khas berbeda ini.
Contoh dari simbolisasi dalam bentuk material yang dapat
mendorong pembentukan identitas pada suatu negara adalah negara Italia.
Masyarakat internasional mengidentifikasi Italia dengan merujuk pada
Menara Pisa, Coloseum yang dimilikinya, dan tipe arsitektur serta suasana
kultural yang terkandung ketika mengunjungi negara tersebut. Contoh
lainnya adalah Indonesia yang dikenal oleh masyarakat luar dari produk
batiknya. Hal ini menunjukkan bahwa representasi dalam bentuk material
yang di dalamnya mengandung makna-makna dari faktor esensial yang
dimiliki oleh suatu negara memiliki peranan yang juga signifikan dalam
pengidentifikasian negara sebagai sebuah identitas kolektif dalam
hubungan internasional.
Contoh di atas menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan oleh
Acuff bahwa produk dari budaya juga dapat membentuk dan memperkuat
49
Ibid.
Universitas Indonesia
28
pembentukan identitas negara merupakan pendapat yang masuk akal.
Namun demikian, perlu dipahami pula bahwa produk-produk budaya ini
juga dikonstruksikan melalui hubungan kognitif dan emosional yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut terkait faktor-faktor esensial seperti
belief, norma, keterikatan dengan sejarah, dan lain sebagainya 50 karena
pada dasarnya hal-hal yang tersebutlah yang mengikatkan masyarakat
pada identitas dan tersimbolisasi melalui produk yang bersifat material.
Kualitas Intrinsik
Kualitas intrinsik dalam suatu identitas pada negara pun juga
mengindikasikan bahwa hal-hal yang terjadi dalam lingkup internal negara
tersebut dapat memengaruhi identitas negara tersebut. Terkait hal ini,
Alexander Wendt dalam tulisannya menyebutkan mengenai identitas
korporasi dan identitas sosial dalam diri suatu aktor, termasuk negara.
Dalam hubungannya dengan faktor internal pada identitas suatu negara,
Wendt
mengasosiasikannya
dengan
identitas
korporasi.
Wendt
menjelaskan bahwa identitas korporasi merujuk kepada kualitas intrinsik
dan self-organizing yang membentuk individualitas dari aktor.51 Pada
manusia, hal ini mengacu pada tubuh dan kesadarannya. Sedangkan pada
organisasi, termasuk negara yang juga merupakan identitas kolektif, hal ini
mengacu pada individu-individu yang merupakan konstituen, sumber
daya, dan pemahaman bersama bahwa indvidu-individu tersebut juga
memiliki fungsi bersama sebagai “we” atau “kami”.52
Identitas negara yang merupakan identitas kolektif dipengaruhi
secara internal oleh unsur-unsur yang membentuk individualitas dan
bersifat intrinsik. Dalam konteks negara, hal ini dengan demikian mengacu
pada bagaimana unsur-unsur domestik suatu negara dapat memengaruhi
identitas negara tersebut. Dalam penjelasannya mengenai identitas
korporasi, unsur-unsur domestik yang dimaksud Wendt dalam hal ini
adalah individu-individu dan sumber daya yang ada di dalam negara
50
Ibid.
Alexander We dt, Colle ti e Ide tit Fo
Political Science Review, 88, 2, 1994, 385.
52
Ibid.
51
atio a d the I te atio al “tate , American
Universitas Indonesia
29
tersebut yang pada akhirnya membentuk sebuah pemahaman akan fungsi
“we” atau “kami” sebagai sebuah kesatuan dalam lingkup negara.
Bagaimana kondisi politik, ekonomi, keamanan, sosial, dan budaya
domestik
yang
dimiliki
oleh suatu
negara
dapat
memengaruhi
pembentukan identitas negara tersebut juga dijelaskan oleh Patricia M.
Goff dan Kevin C. Dunn. Goff dan Dunn menyebutkan bahwa identitas
suatu negara dipengaruhi oleh perubahan peristiwa serta kondisi domestik
yang terjadi, walaupun juga apa yang terjadi di level internasional juga
dapat memengaruhi identitas.53 Dalam hal ini Goff dan Dunn berusaha
menekankan untuk tidak melupakan faktor domestik yang memiliki peran
dalam memengaruhi identitas suatu negara. Keduanya menyebutkan
bahwa identitas tidak semata-mata disematkan atau ditempelkan oleh aktor
lain, tetapi internal negara tersebut juga memiliki peran untuk dapat
memengaruhi bagaimana identitas itu pada akhirnya terbentuk.
Apa yang dikemukakan oleh Goff dan Dunn ini pun diperkuat oleh
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink. Finnemore dan Sikkink dalam
tulisannya menyebutkan bagaimana terdapat dikotomi faktor yang
memengaruhi identitas negara. Dalam hal internal atau yang mengacu
pada kondisi domestik ini, Finnemore dan Sikkink mengutip Katzenstein
yang mengungkapkan bahwa identitas negara pada dasarnya merupakan
atribut domestik yang muncul dari ideologi nasional mengenai pembedaan
kolektif dan tujuannya. 54 Mereka juga menambahkan bahwa identitas ini
pada akhirnya membentuk persepsi negara mengenai kepentingan dan juga
kebijakannya. 55 Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa identitas negara
muncul dari dalam negara itu sendiri dan dipengaruhi oleh kualitas
intrinsik atau kondisi domestik dari negara tersebut.
Suatu negara membentuk identitasnya didorong oleh domestik
negara tersebut dan diturunkan dari ideologi nasional. Hal ini
Goff da Du , Co lusion , 239.
Ma tha Fi e o e da Kath
“ikki k, Taki g “to k: The Co st u ti ist ‘esea h P og a i
I te atio al ‘elatio s a d Co pa ati e Politi s , Annual Review of Political Science, 4, 2001,
399.
55
Ibid.
53
54
Universitas Indonesia
30
menunjukkan bahwa identitas merupakan suatu yang dibentuk dan
dikonstruksikan, tidak semata-mata diberikan. Dengan melihat literaturliteratur yang menyebutkan mengenai kualitas intrinsik sebagai salah satu
faktor internal yang memengaruhi identitas suatu negara, dapat dipahami
bahwa pada dasarnya pembentukan identitas suatu negara dipengaruhi
dengan apa yang terjadi dalam level domestik negara tersebut. Bentuk dari
identitas negara yang terbentuk sebagai wujud kualitas intrinsik menurut
Wendt adalah identitas negara sebagai negara liberal, demokrasi, dan
sebagainya. 56 Identitas-identitas negara semacam itu merupakan identitas
korporasi negara karena kondisi domestiklah yang
memengaruhi
pembentukan identitas tersebut. Domestik yang merupakan dimensi
internal dari negara mendorong dan memengaruhi pembentukan identitas
negara, sehingga akhirnya identitas tersebut diproyeksikan dan tercermin
melalui kepentingan serta kebijakan negara dalam usahanya untuk
mencapai kepentingannya tersebut.
Salah satu contoh yang dapat mengilustrasikan bagaimana kualitas
intrinsik dapat memengaruhi pembentukan identitas adalah penjelasan
yang dilakukan oleh Akitoshi Miyashita mengenai bagaimana identitas
negara Jepang terbentuk. Seperti yang kita ketahui, Jepang merupakan
salah satu negara di Asia yang maju dan disebut sebagai „Macan Asia‟.
Hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian Jepang yang baik dan
dipengaruhi pula oleh mental warga negaranya dalam melakukan
pekerjaan. Dengan kapabilitas ekonomi Jepang yang tinggi ini, tentu
masyarakat internasional akan berekspektasi bahwa Jepang juga akan
menyeimbangkan kapabilitas militernya. Namun nyatanya, Jepang
memilih tidak melakukan hal tersebut dan fokus pada sektor ekonomi
negara tersebut untuk dapat menyejahterakan rakyatnya. Menurut
Miyashita, hal ini salah satunya dilatarbelakangi oleh perasaan trauma
yang dirasakan oleh negara tersebut saat Perang Dunia II. 57 Kekalahan
Jepang di Perang Dunia II membuat Jepang tidak lagi ingin terlalu terlibat
Wendt, Colle ti e Ide tit Fo atio , 386.
Akitoshi Mi ashita, Whe e do o s o e f o ? Fou datio of Japa s post a pa ifis
International Relations of the Asia Pacific, 7, 2007, 101-103.
56
57
,
Universitas Indonesia
31
dalam hal militer karena khawatir akan mengulangi kesalahannya. Serta,
paska kekalahannya tersebut, Jepang memiliki keyakinan (belief) bahwa
kekerasan tidak memberikan keuntungan („violence does not pay‟).58
Sejarah, norma, budaya, serta keyakinan inilah yang mendorong Jepang
untuk dikenal sebagai sebuah „peaceful trading state‟.59
Kebutuhan Politik
Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional
berusaha membentuk identitasnya sendiri. Marysia Zalewski dan Cynthia
Enloe menuliskan bahwa pembentukan identitas suatu negara perlu
dipahami sebagai sebuah proses di mana sebuah aktor berusaha menjawab
mengenai siapa dirinya sebenarnya (“Who am I”) dan juga proses di mana
pihak-pihak lainnya berusaha memengaruhi jawaban akan pertanyaan
tersebut dengan tarik-menarik antar satu sama lain.60 Hal ini menjelaskan
bahwa pada dasarnya suatu negara membentuk identitasnya sendiri,
walaupun identitas tersebut pada akhirnya juga dipengaruhi oleh pihakpihak lainnya. Namun demikian, dapat dipahami bahwa negara pada
awalnya berusaha membentuk identitasnya sendiri terlebih dahulu karena
adanya kebutuhan politik dari dalam negara tersebut, serta karena negara
merasa perlu untuk mengidentifikasikan siapa dirinya. Dalam bagian ini
akan dijelaskan mengenai bagaimana identitas suatu negara dibentuk oleh
negara itu sendiri sebagai upaya dari faktor internal untuk membentuk
batasan dalam pengidentifikasian diri negara demi kebutuhan politik
negara tersebut.
Maxym
Alexandrov
merupakan
salah
satu
penulis
yang
menyebutkan mengenai faktor internal dan eksternal dalam identitas
negara. Alexandrov menyebutkan bahwa faktor internal suatu identitas
negara mengacu pada keterwakilan dan pemahaman yang hampir serupa
58
Ibid.
Ibid.
60
Ma sia )ale ski da C thia E loe, Questio s a out Ide tit i I te atio al ‘elatio s ,
dalam International Relations Theory Today, ed. Ken Booth dan Steve Smith (Pennsylvania: The
Pennsylvania State University Press, 1995), 282.
59
Universitas Indonesia
32
oleh kaum elit dan publik umum dalam negara tersebut.61 Bagi
Alexandrov, faktor internal ini memiliki makna apa-apa saja yang
dipahami dan dianggap mewakili oleh kaum elit dan publik umum di
dalam suatu negara mengenai negara tersebut. Faktor internal yang
dimaksud oleh Alexandrov dalam hal ini menunjukkan bahwa identitas
suatu negara juga merupakan bentuk mengenai bagaimana elit dan publik
dalam negara tersebut berusaha memahami dan merepresentasikan dirinya.
Apa yang dikemukakan oleh Alexandrov ini juga mengindikasikan bahwa
negara membentuk identitas karena menyadari adanya kebutuhan untuk
merepresentasikan dirinya.
Jika sebelumnya Wendt menyebutkan mengenai bagaimana
identitas korporasi merujuk pada kualitas intrinsik negara tersebut, terkait
hal ini Wendt juga menambahkan bahwa identitas korporasi memiliki
kebutuhan akan pembedaan dan menjadi basis akan perasaan seperti
solidaritas, komunitas, dan kesetiaan serta definisi kolektif mengenai
kepentingan. 62 Hal ini menjelaskan bahwa identitas suatu negara muncul
didorong karena adanya kebutuhan negara tersebut untuk menjadi berbeda
(distinct) sehingga akhirnya berusaha memproduksi identitas yang dapat
mendasari dan mengembangkan rasa kesatuan dalam individu-individu di
dalamnya secara kolektif. Untuk dapat mengidentifikasi siapa dirinya,
negara berusaha menjawab pertanyaan “Who am I?” dengan melihat ke
dalam sisi domestik negaranya untuk dapat membentuk solidaritas bagi
setiap konstituennya, yang dalam hal ini adalah warga negaranya. Negara
melihat
bahwa
dirinya
membutuhkan
identitas
yang
mampu
merepresentasikan dirinya dan seluruh unsur domestiknya untuk dapat
merengkuh kebutuhan akan distinction bagi negaranya. Kebutuhan akan
distinction ini merupakan sebuah kebutuhan politik negara tersebut.
Identitas yang mendorong rasa kesatuan dan solidaritas ini pada akhirnya
dapat membentuk pemahaman kolektif pula mengenai suatu hal tertentu,
seperti misalnya kepentingan negara tersebut.
61
62
Alexandrov, The Co ept of “tate Ide tit ,
Wendt, Colle ti e Ide tit Fo atio , 386.
.
Universitas Indonesia
33
Identitas yang terbentuk karena adanya dorongan dari dalam
negara tersebut sendiri ini juga disebutkan oleh Brent J. Steele. Steele
mengemukakan bahwa konstruksi identitas merupakan political project di
mana negara membedakan „we‟ sebagai dasar dari aktor sosial.63
Pernyataan
Steele
ini
menguatkan
argumen
negara
membentuk
identitasnya sebagai wujud dari kebutuhan politiknya untuk menciptakan
rasa ke-‟kami‟-an dan membedakan „kami‟ itu dari unsur-unsur yang lain.
Pembedaan atau distinction dengan demikian merupakan sebuah
kebutuhan bagi negara yang pada akhirnya mendorong negara membentuk
identitas. Kebutuhan ini datang dari dalam diri negara tersebut dan perlu
dipenuhi untuk memperlancar negara dalam melaksanakan fungsi
politiknya. Bahkan, apa yang dikemukakan oleh Steele menunjukkan
bahwa usaha negara sebagai aktor untuk membentuk identitas merupakan
sebuah proyek politik untuk bisa menekankan fungsi “we” dan
menciptakan batasan sesuai dengan kebutuhan negara tersebut.
Selain sebagai proyek politik, Steele juga menambahkan bahwa
perkembangan identitas negara merupakan bagian dari kebutuhan negara
untuk mendirikan kontrol dan order di dalam perbatasan mereka.64
Pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang kuat untuk dapat
menunjukkan bahwa negara sendirilah yang membentuk identitasnya
untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Identitas dirasakan perlu untuk
dapat mengendalikan dan menciptakan tatanan di dalam negara tersebut.
Hal ini pun menunjukkan bahwa pada dasarnya identitas berusaha
dibentuk dan dikembangkan oleh negara untuk dapat memenuhi kebutuhan
politik negara untuk mendirikan kontrol serta tatanan di dalam
wilayahnya. Kontrol dan tatanan ini dianggap sebagai unsur yang penting
dan diperlukan untuk dapat diraih oleh negara demi tercapainya sebuah
kesatuan yang teratur di dalam negara tersebut.
63
Brent J. Steele, Ontological Security in International Relations: Self-identity and the IR state
(New York: Routledge, 2008), 30.
64
Ibid., 31.
Universitas Indonesia
34
Dari pembahasan mengenai kebutuhan politik ini, dapat dipahami
bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhannya terhadap distinction, negara
berusaha membentuk batas-batas tertentu. Dengan demikian, pembentukan
identitas suatu negara erat kaitannya dengan proses inklusi dan eksklusi.
Hal ini diungkapkan oleh Heather Rae dalam tulisannya. Rae
mengemukakan bahwa sistem negara pada dasarnya dikonstruksikan
melalui pengeksklusian dengan adanya kategori mana yang termasuk
insider dan mana yang termasuk outsider. 65 Hal ini menunjukkan bahwa
pada dalam memenuhi kebutuhannya untuk menjadi distinct dan tidak
sama dengan aktor lainnya, negara membentuk identitasnya dengan
berusaha melakukan inklusi dan eksklusi. Inklusi dan eksklusi ini
dilakukan oleh negara dengan mengidentifikasikan siapa dan apa saja yang
merupakan bagian dari dirinya, dan apa saja yang tidak sesuai dengan
karakternya dan bukan merupakan bagian dari identitasnya.
Proses inklusi dan eksklusi ini juga dikemukakan oleh Patricia M.
Goff dan Kevin C. Dunn. Goff dan Dunn dalam hal ini menyebutkan
bahwa identitas negara-negara di dunia pada dasarnya terdefinisi secara
bervariasi. Namun demikian, sebagian besar identitas ini terbentuk karena
adanya proses inklusi dan eksklusi yang mengidentifikasi dan mendefinisi
pemahaman „self‟ dan „other‟.66 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
proses pembentukan identitas yang dilakukan negara melalui proses
inklusi dan eksklusi merupakan hal yang penting untuk memenuhi
kebutuhan politik negara. Hal ini didukung oleh John M. Hobson yang
merujuk pada Cynthia Weber mengenai „logic of representation‟ yang di
dalamnya menyebutkan bahwa negara memiliki keharusan serta kebutuhan
untuk membuat pembedaan yang memisahkan dan memberikan batasan
apa-apa saja yang termasuk bagiannya dan mana yang bukan. 67 Dengan
65
Heather Rae, State Identities and the Homogenisation of Peoples (New York: Cambridge
University Press, 2002), 14.
66
Goff dan Dunn, Co lusio , 8.
67
John M. Hobson, The State and International Relations (New York: Cambridge University Press,
2000), 159.
Universitas Indonesia
35
demikian, pemisahan menjadi hal yang diperlukan dalam membentuk dan
mengidentifikasikan suatu identitas, termasuk identitas negara.
Proses inklusi dan eksklusi dalam pembentukan identitas ini dapat
dilakukan oleh negara melalui beberapa hal, termasuk melalui kebijakan
yang dibuatnya. Hal ini salah satunya dikemukakan oleh David Campbell.
Dalam tulisannya, Campbell berfokus pada identitas negara dan kebijakan
luar negeri pada khususnya. Campbell menyebutkan bahwa negara melalui
pembentukan kebijakan luar negeri berusaha untuk menegaskan batasanbatasannya, yaitu mana yang foreign dan mana yang domestik. 68 Hal ini
mengindikasikan bahwa negara dari dalam telah membentuk identitas dan
berusaha mempertegasnya melalui perumusan dan pengimplementasian
kebijakan luar negeri negara tersebut.
Dalam kebijakan luar
negeri,
negara
merefleksikan serta
membentuk batasan atas ruang serta ranah antara domestik dan „foreign‟
atau asing. Konstruksi atas pemahaman „foreign‟ ini juga diiringi dengan
praktik-praktik lainnya yang membentuk pemahaman akan „domestik‟. 69
Dengan demikian, kebijakan luar negeri merupakan bentuk spesifik dari
suatu aksi politik yang menciptakan batasan (boundaries). Negara
membentuk identitasnya dan berusaha mengklaim identitas tersebut
melalui pendeklarasian dan pemberlakuan kebijakan luar negerinya.
Kebijakan luar negeri merupakan instrumen yang digunakan oleh negara
dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Namun demikian,
kebijakan luar negeri ini mencerminkan bagaimana identitas negara
tersebut dengan segala kondisi yang ada di internal domestiknya
memposisikan diri terkait dengan situasi yang terjadi dalam ranah
internasional.
Kebijakan luar negeri dengan demikian dibuat dengan dorongan
kesadaran akan identitas negara tersebut dari dalam. Pemahaman serta apa
yang terkandung dan membentuk identitas negara mendorong perumusan
68
David Campbell, Writing Security: United States Foreign Policy and the Politics of Identity
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992), 69.
69
Ibid.
Universitas Indonesia
36
kebijakan luar negeri yang pada dasarnya merefleksikan identitas negara
tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kebijakan luar negeri
merupakan salah satu instrumen representasi identitas suatu negara yang
sebelumnya sudah terbentuk dan diproduksi di dalam untuk pada akhirnya
dapat diproyeksikan ke arena dan level internasional. Kebijakan luar
negeri juga merupakan wujud dari bagaimana negara melakukan inklusi
serta eksklusi akan ranah serta batas-batas antara mana yang menjadi
urusan domestiknya dan mana yang bukan.
Dalam pembahasan mengenai kebutuhan politik sebagai salah satu
faktor turunan internal dapat dipahami bahwa negara merasa memiliki
kebutuhan tertentu untuk pada akhirnya dapat memproduksi suatu identitas
yang dapat merepresentasikan negaranya. Kebutuhan-kebutuhan ini datang
dari dalam diri (internal) negara tersebut, karena negara tidak ingin
dianggap sama, dan ingin menciptakan serta menegaskan batasan identitas
kenegaraannya.
Melalui
identitas,
negara
berusaha
membentuk
pemahaman serta menginternalisasi fungsi dari rasa ke-„kami‟-an („we‟)
yang hingga pada akhirnya membentuk sebuah solidaritas dalam
komunitas yang distinct atau berbeda dengan identitas-identitas negara
yang lainnya.
Negara pada awalnya berusaha menjawab pertanyaan “Who am I”
yang akhirnya membawa dirinya untuk berusaha memahami negaranya
sendiri. Usaha untuk menjawab pertanyaan ini juga didorong oleh
kebutuhan negara untuk membedakan dirinya dengan negara yang lain.
Kebutuhan ini pulalah yang mendorong negara untuk mengidentifikasikan
dirinya melalui proses inklusi dan eksklusi yang pada akhirnya dituangkan
melalui perumusan kebijakan luar negeri yang membedakan mana yang
domestik dan mana yang dianggap urusan luar negeri atau „foreign‟.
Penjelasan mengenai faktor turunan ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya terdapat faktor-faktor lain yang juga mendorong dan memperkuat
pembentukan identitas negara selain faktor-faktor esensial yang telah
Universitas Indonesia
37
disebutkan pada bagian sebelumnya. Dalam hal ini, identitas suatu negara
berkembang dan juga terbentuk karena adanya diskursus dan narativisasi,
simbolisasi material, kualitas intrinsik negara, dan kebutuhan politik. Dalam
diskursus dan narativisasi disebutkan bahwa identitas diklaim melalui
penggunaan teks baik lisan maupun tertulis oleh agen yang tepat pada situasi
tertentu. Hal ini nyatanya memiliki pengaruh tersendiri untuk dapat membuat
nilai-nilai identitas terinternalisasi di dalam diri tiap individu masyarakat serta
untuk mengklaim identitasnya tersebut ke dunia internasional. Dengan
demikian, penggunaan diskursus yang tepat ini akan dapat berpengaruh baik
bagi internal maupun eksternal dari identitas negara tersebut. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada dasarnya diskursus dan narativisasi yang
terkonstruksi dari bahasa, norma, agen, dan situasi tertentu dapat mendukung
dan memperkuat pembentukan pemahaman mengenai identitas pada negara.
Diskursus dan narativisasi dengan demikian juga dapat meningkatkan serta
menumbuhkan rasa memiliki dari individu terhadap identitas kolektif di mana
dirinya merupakan bagian dari identitas tersebut.
Dalam pemaparan mengenai simbolisasi material, dijelaskan bahwa
identitas negara sebagai identitas kolektif seringkali dipahami dan dikenal
melalui produk atau konten material yang dimiliki oleh identitas tersebut
seperti bentuk monumen, gaya arsitektur, kesenian, musik, literatur, dan lain
sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan perwujudan material yang di
dalamnya mengandung aspek-aspek seperti norma, budaya, belief, memori
akan sejarah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, simbolisasi material ini
tidak hanya dibangun atau diproduksi begitu saja, namun memiliki
pemahaman tertentu yang bergantung pada kepercayaan, tradisi, budaya,
ritual, ataupun nilai-nilai lainnya. Adanya simbolisasi dalam bentuk material
ini dapat menjadi wadah ataupun media di mana identitas direpresentasikan,
dan hal ini seringkali menjadi unsur yang dikenal dan diingat oleh masyarakat
luar untuk mengidentifikasi negara tersebut.
Selain itu, simbolisasi material ini juga menjadi unsur yang mengikat
dan menumbuhkan rasa memiliki dari anggotanya sehingga dapat memperkuat
identitas negara tersebut. Simbolisasi material ini tidak terlepas dari unsur
Universitas Indonesia
38
emosional yang melekat di dalam material tersebut dan muncul karena adanya
faktor-faktor esensial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur
emosional dan material ini dengan demikian bercampur dan pada akhirnya
dapat membentuk dan memperkuat pemahaman yang padu mengenai identitas
negara. Simbolisasi material ini juga memunculkan rasa memiliki karena
menjadi salah satu ciri khas dari masyarakat di dalam identitas negara
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa identitas suatu negara juga dipengaruhi
dan diperkuat oleh perpaduan antara material dan emosional atau non-material
yang terkandung di dalamnya.
Identitas negara juga tidak terlepas dari kualitas yang ada di dalam
negara tersebut. Identitas negara dalam hal ini juga merujuk pada unsur-unsur
intrinsik dalam negara, yang di dalamnya temasuk pula warga negara sebagai
konstituen, sumber daya yang terkandung, ideologi nasional, serta kondisi
domestik negara tersebut. Segala hal yang terjadi di suatu negara, pergolakan
politik, kondisi ekonomi, sistem pemerintahan dan lain sebagainya yang
termasuk dalam urusan domestik negara tersebut juga berkontribusi dan
memengaruhi bagaimana identitas negara tersebut dibentuk. Bagaimana
negara terepresentasikan, dikenal, dan dipahami oleh aktor lainnya juga tidak
terlepas dari bagaimana kondisi domestik dari negara tersebut.
Kebutuhan politik menjadi faktor turunan terakhir yang dijelaskan
dalam tulisan ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa kebutuhan akan
distinction atau pembedaan memiliki peran yang besar dalam mendorong dan
memengaruhi pembentukan identitas suatu negara. Negara tidak ingin merasa
sama dengan negara lainnya sehingga negara berusaha membentuk
identitasnya. Terkait dengan hal tersebut, negara juga berusaha membentuk
batasan-batasan tersendiri serta membentuk sense of belonging dan rasa
solidaritas akan fungsi „we‟ dalam negara sebagai aktor sosial. Kebutuhan ini
mendorong negara untuk mengidentifikasikan identitasnya melalui inklusi dan
ekslusi. Proses inklusi dan eksklusi ini dituangkan pula dalam bentuk
kebijakan. Dengan demikian, seluruh kebijakan yang dibuat oleh negara pada
dasarnya merupakan refleksi dari identitas negara tersebut.
Universitas Indonesia
39
Dalam lingkup hubungan internasional, kebijakan luar negeri suatu
negara menjadi salah satu instrumen yang dapat mencerminkan identitasnya.
Identitas negara dapat terlihat dari bagaimana negara tersebut menyebutkan
dan memposisikan dirinya dalam kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar
negeri, selain menggambarkan tujuan, sifat, serta tindakan yang mungkin
dilakukan negara dalam arena internasional, juga menjadi instrumen negara
untuk dapat mempertegas batasan mengenai mana yang merupakan urusan
„asing‟ atau „foreign‟ dan mana yang termasuk dalam ranah domestiknya.
Dengan demikian, identitas pada negara memiliki keterkaitan erat dengan
penciptaan batasan-batasan tertentu sehingga identitas tersebut dapat menjadi
identitas yang distinct dan dapat dibedakan dengan identitas lainnya.
Secara keseluruhan, pembahasan mengenai faktor internal yang terdiri dari
faktor esensial dan faktor turunan ini menunjukkan bagaimana identitas yang
dimiliki oleh negara dibentuk dan dikarakterisasikan melalui apa yang ada di
dalam negara tersebut. Identitas pada negara juga lekat dengan unsur penciptaan
batasan, yang diiringi dengan pemahaman dan makna atas batasan yang telah
diciptakan tersebut. Pemahaman serta pemaknaan batasan dalam identitas pada
negara ini dilengkapi dengan adanya unsur-unsur ideasional yang menyatukan dan
membuat masyarakat yang hidup di dalam negara tersebut merasa saling terikat
dan saling memiliki. Hal ini dikemukakan dan ditekankan pula oleh Benedict
Anderson melalui pembahasannya mengenai „imagined communities‟. Dalam
tulisannya tersebut, Anderson pada dasarnya menilai bahwa identitas yang
terkandung dan dimiliki oleh negara, serta dirasakan oleh masyarakatnya
merupakan hasil dari ide-ide serta pemaknaan yang diimajinasikan sesuai dengan
batasan (boundaries) yang telah diciptakan.70 Ide dan makna identitas ini
diimajinasikan karena Anderson melihat bahwa masyarakat merasa adanya
kesatuan dari sebuah komunitas politik negara walaupun pada dasarnya mereka
tidak benar-benar mengenal atau bahkan pernah bertemu seluruh anggota dari
identitas tersebut, hanya saja mereka merasa memiliki keterikatan karena berada
70
Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism (New York: Verso, 1991), 5-7.
Universitas Indonesia
40
dalam sebuah komunitas politik yang mengikat mereka dalam ide imajinasi
bersama. 71
Dalam faktor internal ini telah dikemukakan adanya faktor esensial dan
faktor turunan yang pemahaman atas nilai-nilai di dalamnya, serta ide-ide yang
terkandung dan diimajinasikan bersama pada dasarnya dapat mendorong rasa
kesamaan identitas. Hal inilah yang mendorong identitas pada negara dapat
terbentuk. Identitas pada negara ini memang juga lekat dengan pembahasan
mengenai nasionalisme. Nasionalisme ini pada dasarnya terbentuk melalui ide,
nilai, serta makna imajiner yang diinternalisasikan oleh masyarakat di dalam
negara tersebut sehingga munculnya rasa kesatuan yang saling memiliki.
Pembahasan
mengenai
faktor
internal
ini,
dengan
demikian,
memperlihatkan bagaimana identitas pada negara terbentuk karena adanya
pemahaman bersama akan nilai dan ide dari faktor-faktor esensial, serta makna
yang terkandung dalam faktor-faktor turunan yang telah disebutkan sebelumnya.
Namun demikian, nyatanya mengingat identitas tidak hanya diproyeksikan dalam
dimensi domestik atau internal, pembentukan identitas pada negara juga
dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berada dalam level eksternal atau
internasional. Pembahasan mengenai bagaimana pembentukan identitas pada
negara dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal akan dipaparkan pada bagian
selanjutnya.
71
Ibid.
Universitas Indonesia
41
Faktor Eksternal yang Memengaruhi Pembentukan Identitas pada Negara
Jika sebelumnya telah dibahas mengenai faktor-faktor internal yang dapat
memengaruhi pembentukan identitas pada suatu negara, dalam bagian ini akan
dijelaskan bahwa pada dasarnya pembentukan identitas ini juga dipengaruhi oleh
adanya faktor-faktor eksternal di mana identitas tersebut diproyeksikan dan
dipersepsikan oleh aktor lainnya. Dalam pembahasan sebelumnya disebutkan
bahwa negara membentuk identitasnya karena adanya dorongan dari dalam
negaranya, seperti usaha menjawab pertanyaan akan “Who am I” melalui
pemahaman bersama (shared understanding) mengenai siapa mereka sebenarnya,
serta melalui kebutuhan negara tersebut untuk membedakan dirinya dengan aktor
lainnya.
Sebelumnya telah disebutkan pula mengenai bagaimana identitas negara
tersebut terefleksikan dalam kebijakan-kebijakannya, termasuk salah satunya
melalui kebijakan luar negeri. Namun demikian, merujuk kembali pada apa yang
disebutkan oleh Zalewski dan Enloe bahwa dalam usahanya menjawab pertanyaan
mengenai siapa dirinya sebenarnya, terjadi juga proses di mana pihak-pihak
lainnya berusaha memengaruhi jawaban akan pertanyaan tersebut dengan tarikmenarik antar satu sama lain. 72 Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
identitas negara tidak hanya ditentukan dan dipengaruhi oleh bagaimana negara
tersebut berusaha mengkonstruksi identitasnya dengan merujuk pada dimensi
internal dari negara tersebut, tetapi nyatanya terdapat pihak-pihak lainnya yang
dapat memengaruhi pembentukan identitas tersebut. Pada konteks negara sebagai
aktor dalam hubungan internasional, maka bagian ini akan menjelaskan
bagaimana arena internasional dapat memengaruhi pembentukan identitas suatu
negara.
Dalam kaitannya dengan arena internasional, pembentukan identitas suatu
negara dipengaruhi oleh interaksi yang terjalin antara negara tersebut dengan
aktor-aktor lainnya. Hal ini disebutkan oleh Jonathan Mercer. Mercer
mengemukakan bahwa negara sebelum adanya interaksi tidak memiliki identitas,
72
Zalewski dan Enloe, Questio s a out Ide tit ,
.
Universitas Indonesia
42
kepentingan, dan ekspektasi. 73 Mercer melihat bahwa interaksilah yang
mendorong dan memengaruhi terbentuknya identitas. Dalam konteks tulisannya
tersebut, Mercer mengaitkan identitas negara dengan keanarkian struktur
internasional. Menurut Mercer, karena dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional
sudah terdapat asumsi bahwa struktur internasional bersifat anarki, maka
seringkali identitas suatu negara dianggap sebagai sesuatu yang given dan
mengacu pada asumsi anarki semata.74 Namun demikian, dalam tulisan tersebut,
Mercer melihat bahwa tidak seharusnya negara dengan otomatis disematkan
dengan sifat-sifat yang diasosiasikan dengan asumsi anarki tersebut, misalnya
mengenai pemahaman akan sifat negara yang egois.
Menurut Mercer, pengasumsian negara sebagai identitas yang egois
dianggap tidak berguna dan tidak sepenuhnya akurat, mengingat identitas
dibentuk dan bukan diberikan.75 Mercer juga mengutip Wendt yang menyebutkan
bahwa, karena interaksi memengaruhi pembentukan identitas, maka tidak ada
alasan untuk menerima asumsi bahwa sifat alamiah negara adalah self-interested
dan defensif. 76 Asumsi yang muncul ini seolah berusaha menanamkan bahwa
setiap negara merupakan aktor yang self-interested, padahal asumsi ini belum
mempertimbangkan aspek bagaimana interaksi yang terjalin antara negara
tersebut dengan aktor-aktor lainnya dalam dunia internasional.
Proses bagi Mercer merupakan hal yang penting, dan bukan semata-mata
asumsi akan struktur internasional yang memengaruhi. Dengan demikian, dengan
pemahaman bahwa proses interaksilah yang memengaruhi bagaimana identitas
terbentuk, negara dimungkinkan untuk menciptakan identitas yang tidak egois.
Serta, interaksi yang terjalin pun membuat negara menjadi lebih memahami
negara atau aktor lainnya sehingga negara dapat memprediksi perilaku negara atau
aktor lainnya tersebut.77 Apa yang dikemukakan oleh Mercer ini menunjukkan
bahwa interaksi yang dilakukan oleh negara nyatanya membantu negara untuk
dapat mengidentifikasi siapa dirinya. Interaksi yang terjalin pun membuat negara
Jo atha Me e , A a h a d Ide tit , International Organization, 49, 2, 1995, 235.
Ibid.
75
Ibid., 233.
76
Ibid., 235.
77
Ibid., 236.
73
74
Universitas Indonesia
43
menjadi memahami mengenai bagaimana aktor lainnya memperlakukan negara
tersebut sehingga hal tersebut pada akhirnya memengaruhi pembentukan identitas.
Senada dengan Mercer, Maja Zehfuss juga merupakan salah satu tokoh
yang juga mempercayai pentingnya interaksi dalam pembentukan identitas. Bagi
Zehfuss, identitas aktor tidak diberikan (given), tetapi dikembangkan dan dijaga
ataupun diubah melalui interaksi. 78 Interaksi yang dilakukan oleh negara dalam
dimensi eksternalnya menjadi wadah bagi negara untuk dapat mengejawantahkan
identitas yang telah dibentuk dalam dimensi internalnya terlebih dahulu. Negara
memproyeksikan identitas melalui interaksi yang dilakukannya dengan aktoraktor lain. Namun demikian, dari pernyataan Zehfuss dapat dipahami bahwa
interaksi tidak hanya menjaga identitas yang telah dibentuk oleh suatu negara,
tetapi identitas juga dapat berubah melalui interaksi. 79 Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa interaksi merupakan faktor dalam dimensi eksternal yang dapat
memengaruhi identitas.
Pernyataan Mercer dan Zehfuss tersebut diperkuat juga oleh pernyataan
Joanna Tidy. Identitas negara yang merupakan identitas kolektif dilihat oleh Tidy
sebagai hal yang tidak terlepas dari interaksinya dengan aktor lain. Dalam
berinteraksi, negara melakukan sosialisasi di dalamnya. Proses sosialisasi di
antara negara tersebut melibatkan identitasnya dan sebagai timbal balik, struktur
ini membentuk aktor dengan mendefinisikan tujuan dan perannya di sistem
internasional dan kemudian membentuk identitasnya. 80 Dengan demikian,
identitas terbentuk dalam hubungannya dengan aktor lainnya, dan muncul dari
interaksinya dengan aktor lainnya. Dalam konteks negara, identitas muncul dari
interaksi dan partisipasi aktor dalam konteks institusional, tidak hanya dalam level
domestik, tetapi juga dalam level internasional. 81 Pernyataan Tidy ini memperkuat
pendapat mengenai pentingnya interaksi dan partisipasi aktor dalam dimensi
eksternal dari suatu negara. Tidy dengan pernyataannya tersebut juga menjelaskan
Maja )ehfuss, Co st u ti is a d Ide tit : A Da ge ous Liaiso , European Journal of
International Relations, 7, 3, 2001, 317-318.
79
Ibid., 319.
80
Joa a Tid , The “o ial Co st u tio of Ide tit : Is aeli Fo eig Poli a d the
6 Wa i
Le a o , School of Sociology, Politics, and International Studies, University of Bristol Working
Paper, 05-08, 2008, 16.
81
Ibid.
78
Universitas Indonesia
44
bahwa interaksi serta hubungan antara aktor dengan aktor lainnya membentuk
struktur yang pada akhirnya dapat memengaruhi pembentukan identitas negara.
Jika sebelumnya telah disebutkan mengenai bagaimana Alexandrov
menjelaskan tentang faktor internal dalam identitas negara, dalam bagian ini juga
akan dijelaskan mengenai pendapat Alexandrov terkait faktor eksternal dari
identitas negara. Berbeda dengan faktor internal yang mengacu pada keterwakilan
dan pemahaman di dalam negeri, dalam hal ini dimensi eksternal mengacu pada
keterwakilan dan pemahaman mengenai negara tersebut dari sudut pandang kaum
elit dan publik di negara lain. 82 Dari kalimat tersebut dapat dipahami bahwa
dimensi eksternal lebih menjelaskan mengenai bagaimana representasi negara
tersebut dilihat oleh pihak eksternal dari negara tersebut yang dalam hal ini adalah
masyarakat, publik, dan kaum elit dari negara lain dalam lingkup dunia
internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun negara telah
membentuk identitasnya, negara tidak bisa sepenuhnya yakin bahwa identitas itu
akan tersampaikan pada aktor lainnya karena pada dasarnya dalam dunia
internasional yang terpenting adalah bagaimana identitas tersebut dianggap
mewakili negara tersebut dan pada akhirnya dipahami oleh masyarakat negara
lain.
Sehubungan dengan hal ini, Alexandrov juga menambahkan bahwa secara
umum, representasi domestik secara mayoritas bersifat positif, sedangkan yang
internasional dapat bersifat positif maupun negatif. 83 Hal ini dikarenakan negara
berusaha membentuk representasi identitasnya sebaik mungkin, sedangkan sifat
identitas bisa negatif maupun positif karena identitas ini bergantung pada
bagaimana negara atau aktor lainnya melihat identitas negara tersebut melalui
perilaku dan bagaimana interaksi yang terjalin. Dengan demikian, dalam faktor
eksternal ini ditekankan bagaimana pada dasarnya interaksi serta hubungan antar
negara memiliki peran besar dalam pemahaman akan representasi suatu negara
oleh negara lain sehingga dapat memengaruhi identitasnya.
Dalam kaitannya dengan faktor eksternal ini, faktor lainnya yang dapat
memengaruhi pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional
82
83
Alexandrov, The Co ept of “tate Ide tit , 39.
Ibid.
Universitas Indonesia
45
adalah eksistensi dari ide serta nilai yang disebut sebagai model budaya dan
norma global yang diikuti oleh kebanyakan negara di dunia sehingga
memengaruhi apa yang berusaha dicapai dan identitas yang berusaha dibentuk
oleh negara-negara di dunia. Merujuk kembali pada Checkel yang mengemukakan
tentang bagaimana norma dapat membentuk identitas pada negara, menyebutkan
pula bahwa pada dasarnya negara sebagai agen dalam membentuk identitasnya
juga dipengaruhi oleh adanya norma global yang eksistensinya dapat
memengaruhi dinamika struktur internasional. 84 Pernyataan ini mengindikasikan
bahwa dalam level internasional dan global, terdapat norma-norma serta budayabudaya tertentu yang dipercayai dan diakui secara global sehingga mendorong
negara-negara di dunia untuk dapat menyesuaikan diri dengan model global
tersebut.
Signifikansi dari budaya dan norma global dalam pembentukan identitas
pada negara juga dikemukakan oleh John W. Meyer et. al. Meyer dan penulis
lainnya ini menyebutkan bahwa identitas negara yang terbentuk dalam sistem dan
struktur internasional saat ini merupakan produk turunan yang dikonstruksikan
dari model budaya dunia. 85 Meyer et. al. melihat bahwa bagaimana negara dan
identitasnya terbentuk sangat dipengaruhi oleh apa yang menjadi kultur dan
norma secara global, sehingga negara berusaha agar dapat menyesuaikan dengan
model kultur dan norma tersebut. 86 Lebih lanjut lagi, model yang berlaku dan
meliputi lingkup global ini mendefinisikan dan melegitimasi agenda untuk
tindakan negara secara lokal atau domestik, serta membentuk struktur dan
kebijakan dari negara baik secara domestik maupun internasional. 87 Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat model global tertentu yang dianggap baik secara
universal sehingga dapat memengaruhi pembentukan identitas pada negara dan
tujuannya. Hal ini dikarenakan, model yang terdiri dari budaya dan norma global
ini menanamkan pemahaman akan adanya nilai-nilai universal tertentu yang
Che kel, The Co st u ti ist Tu ,
.
John W. Meyer, et. al., "World Society and the Nation-State", American Journal of Sociology,
103, 1, 1997, 144.
86
Ibid.
87
Ibid., 145.
84
85
Universitas Indonesia
46
menjadi pedoman bagi negara terkait bagaimana negara tersebut ingin membentuk
identitasnya.
Argumen Meyer et. al. ini didasarkan pada realita yang menunjukkan
bagaimana pada dasarnya negara-negara di dunia cenderung berusaha mencapai
tujuan yang sama dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianggap universal
secara serupa pula. Meyer et. al. melihat bahwa negara dan identitasnya dalam
sistem internasional ini secara struktural cenderung serupa dalam berbagai macam
dimensi, dan bahkan berubah serta berkembang juga dalam cara-cara yang
serupa.88 Negara-negara di dunia dalam membentuk identitasnya berusaha
mengikuti dan mengimplementasikan budaya dan norma global yang merupakan
konformitas universal, sehingga pada akhirnya identitas-identitas pada negara di
dunia cenderung memiliki bentuk yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam level internasional terdapat budaya dan norma global yang berusaha dicapai
oleh negara dan pada akhirnya akan mendorong adanya keseragaman bentuk
identitas pada negara.
Hal yang serupa juga ditekankan oleh Martha Finnemore dalam tulisannya
yang berjudul “Norms, culture, and world politics: insights from sociology's
institutionalism”. Dalam tulisannya tersebut, Finnemore mengemukakan bahwa
terdapat aturan-aturan budaya dunia yang membentuk aktor, termasuk negara
dalam mendefinisikan identitas, dan tujuan yang terlegitimasi, logis, dan berusaha
dicapainya. 89 Sejalan dengan Meyer et. al., budaya dan norma dunia ini bagi
Finnemore juga memproduksi keserupaan dalam pengaturan dan perilaku dari
negara-negara di dunia. 90 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam tingkat
dan lingkup internasional, terdapat budaya dan norma yang dipercayai secara
global sebagai apa yang seharusnya dimiliki oleh tiap aktor sehingga pada
akhirnya memengaruhi pembentukan identitas serta tujuan yang ingin dicapai oleh
negara. Budaya dan norma global ini menjadi model yang membuat aktor,
termasuk negara, berusaha menyesuaikan diri dan pada akhirnya menunjukkan
bahwa adanya efek homogenisasi yang muncul dari eksistensi model budaya dan
88
Ibid.
Ma tha Fi e o e, No s, ultu e, a d o ld politi s: i sights f o
i stitutio alis , International Organization, 50, 2, 1996, 325-326.
90
Ibid., 326.
89
so iolog s
Universitas Indonesia
47
norma global ini. Penetapan model budaya dan norma global ini dengan demikian,
tidak terlepas dari unsur power dalam politik internasional. Bagaimana sebuah
budaya dan norma dapat dijadikan model secara global membutuhkan agen yang
memiliki kapabilitas power yang cukup besar dalam hubungan internasional. Hal
ini mengindikasikan bahwa terdapat peran hegemon atau aktor dengan power
yang cukup besar yang pada akhirnya dapat mengkonstruksikan pemahaman
mengenai budaya dan norma ideal yang menjadi panutan bagi seluruh negara di
dunia, seperti misalnya demokrasi, penjunjungan tinggi terhadap Hak Asasi
Manusia, dan lain sebagainya.
Selain hal-hal yang telah disebutkan sebagai faktor eksternal yang
memengaruhi pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional,
Zalewski dan Enloe, yang sebelumnya menyebutkan bahwa pembentukan
identitas didorong oleh keinginan aktor untuk dapat menjawab dan mengetahui
siapa dirinya (“Who am I”), juga menjelaskan bahwa pihak lainnya atau „others‟
memiliki andil dalam proses konstruksi identitas suatu negara. „Others‟ dalam hal
ini adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam membuat kategori sosial
tertentu dan mencoba membuat aktor tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan
identitas yang dibentuknya. 91 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aktor-aktor
lain dalam arena internasional seringkali mengkonstruksi identitas aktor lain
dengan maksud tertentu hingga negara yang bersangkutan ikut pula berperilaku
sesuai dengan identitas yang terkonstruksi tersebut.
Tidak hanya itu, Zalewski dan Enloe juga mengelaborasi mengenai
pentingnya unsur „others‟ dalam memengaruhi identitas negara dengan
mengkaitkannya dengan ancaman yang muncul dari aktor lain dalam hubungan
internasional. Zalewski dan Enloe melihat bahwa ada atau tidaknya ancaman
dapat menjadi salah satu latar belakang kebutuhan aktor untuk mengklaim serta
menjaga eksistensi identitasnya. 92 Ancaman eksternal yang ditujukan pada negara
tertentu nyatanya menjadi salah satu alasan yang mendorong negara untuk
membentuk identitasnya. Negara berusaha melakukan pertahanan diri dari
ancaman dengan membentuk, mengklaim, dan mengkonsruksi pemahaman akan
91
92
Zalewski dan Enloe, Questio s a out Ide tit , 282.
Ibid., 286.
Universitas Indonesia
48
identitasnya kepada dunia internasional. Konstruksi dan klaim yang dilaksanakan
oleh negara ini diupayakan mampu menghindarkan negaranya dari ancaman pihak
„others‟ yang dapat membahayakan keberlangsungan negara tersebut. Pernyataan
yang dikemukakan oleh Zalewski dan Enloe ini memperkaya pembahasan
mengenai dimensi eksternal dalam pembentukan identitas negara. Penekanan
terhadap unsur „others‟ yang dilakukan oleh kedua penulis nyatanya menjelaskan
bahwa negara pada dasarnya merupakan aktor sosial yang sangat bergantung pada
eksistensi, perilaku, serta persepsi dari aktor lainnya terhadap identitas negara
tersebut.
Terkait dengan eksistensi aktor lain sebagai „others‟ ini seperti yang
dikemukakan oleh Zalewski dan Enloe, Wendt juga mengemukakan mengenai
identitas sosial sebagai lawan dari identitas korporasi yang sebelumnya telah
dijelaskan di bagian faktor-faktor internal. Identitas sosial yang dimaksud oleh
Wendt ini adalah seperangkat makna yang disematkan oleh aktor pada dirinya
sendiri dengan juga mempertimbangkan perspektif aktor lainnya sebagai objek
sosial. 93 Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan identitas suatu negara juga
dipengaruhi oleh bagaimana negara melihat aktor lain mempersepsikan
negaranya, serta dapat dipahami juga bahwa aktor negara dapat memiliki beberapa
identitas sosial yang bervariasi tergantung dalam aspek apa dan oleh siapa
identitas tersebut dilihat atau dipersepsikan.
Wendt lebih lanjut mengemukakan bahwa identitas sosial ini juga
dipengaruhi oleh struktur, dan yang utama adalah seberapa jauh struktur sosial
mempenetrasikan konsepsi akan „self‟ dari negara tersebut.94 Struktur dalam hal
ini merujuk pada sistem serta pola yang terbentuk dalam lingkup internasional
akibat adanya interaksi yang terjalin secara terus menerus dan dilengkapi dengan
nilai serta ide yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, maka pada
akhirnya penetrasi oleh struktur tersebut akan memengaruhi pembentukan
identitas serta kepentingan dari negara tersebut. Identitas sosial serta kepentingan
dari suatu aktor negara akan selalu terbentuk dan terjaga dalam konteks interaksi
yang terjalin secara terus menerus sehingga identitas serta kepentingan tersebut
93
94
Wendt, Colle ti e Ide tit Fo
Ibid., 386.
atio , 385-386.
Universitas Indonesia
49
seringkali diihat relatif stabil. Apa yang dikemukakan oleh Wendt ini
menunjukkan bahwa dirinya mempercayai ide bagaimana identitas dan
kepentingan negara tidak diberikan semata-mata namun merupakan hasil
konstruksi timbal balik yang dilakukan oleh aktor negara tersebut serta bagaimana
hal itu dipengaruhi oleh struktur internasional dan interaksinya dengan negara
lain.
Dari pembahasan ini dapat dilihat bagaimana berbagai literatur
menekankan interaksi serta eksistensi dari aktor lain dalam lingkup eksternal
memengaruhi pembentukan identitas negara. Interaksi yang terjadi antar aktor
dalam dunia internasional tersebut pada akhirnya membentuk dan memproduksi
struktur internasional yang menjadi wadah serta arena di mana interaksi tersebut
terjadi. Struktur internasional yang terbentuk ini mengandung karakter-karakter
yang pada dasarnya muncul dan dibentuk oleh aktor yang berinteraksi. Namun
demikian, hubungan antara aktor dan struktur ini dapat dipahami sebagai
hubungan yang saling memengaruhi antar satu sama lain dan hubungan tersebut
terus terjalin secara terus menerus. Dalam kaitannya dengan identitas negara
sebagai aktor dalam hubungan internasional, Brent J. Steele juga menyebutkan
bahwa struktur tidak hanya dihasilkan oleh aktor dan identitasnya, tetapi struktur
juga membentuk aktor dan identitasnya tersebut. 95 Hal ini menunjukkan
bagaimana struktur internasional dapat memengaruhi pembentukan identitas dari
suatu negara, namun identitas negara yang terproyeksi dalam dimensi
internasional (eksternal) juga memengaruhi karakter dari struktur internasional
tersebut.
Steele juga menambahkan mengenai order atau tatanan dunia. Dalam
tulisannya tersebut disebutkan bahwa pengaturan sosial jenis apapun, termasuk
identitas negara, dibentuk dengan tujuan untuk dapat membentuk tatanan yang
tertib dan teratur serta mematuhi peraturan order. Namun demikian, Steele
melihat bahwa pada dasarnya order atau tatanan dunia juga merupakan karakter
konstitutif dari setiap pengaturan sosial tersebut, yang dalam hal ini adalah
identitas negara.96 Tatanan dalam hal ini dipahami memiliki sifat serta karakter
95
96
Steele, Ontological Security in International Relations, 29.
Ibid., 28.
Universitas Indonesia
50
yang sama dengan struktur internasional yang pada dasarnya memiliki hubungan
yang saling memengaruhi dengan identitas negara. Tatanan dunia yang di
dalamnya berisi norma serta seperangkat peraturan yang mengatur landasanlandasan bagi aktor dalam hubungan internasional untuk berperilaku dan
berinteraksi antara satu sama lain membantu memberikan pedoman bagi negara
dalam membentuk identitasnya sehingga pada akhirnya identitas-identitas yang
terbentuk
tersebut
dapat
membentuk
tatanan
yang
mendukung
situasi
internasional yang tertib serta teratur.
Poin terkait struktur internasional dan tatanan dunia juga dikemukakan
oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. Keduanya menyebutkan bahwa kondisi
perpolitikan global yang terjadi dalam struktur internasional juga memengaruhi
pembentukan identitas. Hubungan internasional tentunya diwarnai dengan
perubahan peristiwa politik yang lingkupnya global atau internasional. Perubahan
serta perkembangan peristiwa politik yang terjadi ini juga nyatanya memiliki
peran dalam perkembangan maupun perubahan identitas bagi setiap negara. 97 Hal
ini dikarenakan aktor membentuk identitasnya bergantung pada konteks kondisi
politik yang sedang berlangsung saat itu. Kondisi politik internasional
memengaruhi perilaku aktor negara dan dengan demikian hal tersebut juga pada
akhirnya memengaruhi atau bahkan mengubah persepsi akan identitas aktor
tersebut. Dengan demikian peristiwa politik yang terjadi dan memiliki efek dalam
hubungan internasional secara umum dapat memengaruhi bagaimana negara
berusaha memproyeksikan identitasnya. Sehingga, pergeseran maupun perubahan
identitas suatu negara pun bukan menjadi hal yang mustahil untuk terjadi.
Pemaparan terkait faktor eksternal ini dengan demikian menjelaskan
bahwa pada dasarnya identitas suatu negara tidak hanya dibentuk dan
dikonstruksikan dari dalam negara, tetapi juga di luar negara. Hal ini juga
dikarenakan identitas negara tidak hanya diproyeksikan dalam lingkup domestik,
tetapi juga di level internasional yang di dalamnya mengandung hubungan dan
interaksi antar aktor yang membentuk struktur serta tatanan global. Oleh karena
itu, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembentukan identitas dikontestasikan
97
Goff dan Dunn, Co lusio , 239.
Universitas Indonesia
51
dalam arena internasional dan kontestasi yang terjadi ini juga memengaruhi sifat
serta karakter dari identitas tersebut. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa
negara membentuk identitasnya sendiri, namun demikian nyatanya mengingat
identitas tersebut juga diproyeksikan dalam lingkup eksternal, maka identitas
tersebut juga bergantung pada bagaimana aktor lainnya dipahami dan dilihat oleh
aktor lainnya. Sehingga, seberapapun kuatnya negara dalam membentuk
identitasnya, hal tersebut hanya akan menghasilkan identitas yang kualitasnya
subjektif jika tidak dapat dipahami oleh aktor lainnya. Identitas dapat pada
akhirnya memiliki kualitas intersubjektif ketika negara memproyeksikan identitas
hingga terdapat makna serta pemahaman yang dimiliki oleh aktor-aktor lainnya.
Faktor eksternal dalam pemaparan ini merujuk pada bagaimana dunia
internasional dan apa yang terjadi di dalamnya dapat memengaruhi pembentukan
identitas negara. Dalam bagian ini dapat dipahami bahwa interaksi, budaya dan
norma global, eksistensi aktor lain, struktur, serta tatanan global memiliki peran
dalam memengaruhi identitas negara yang terbentuk. Seperti yang telah
disebutkan pada bagian awal, bahwa negara merupakan aktor utama dalam
hubungan internasional, maka bagaimana negara berinteraksi dalam suatu struktur
internasional dalam konteks tertentu dapat menyebabkan perubahan atau
pergeseran identitas. Identitas berkembang seiring berjalannya waktu, dan
demikian pula dengan struktur maupun tatanan global. Berkembangnya zaman ini
juga mengandung beberapa perubahan peristiwa politik level global yang dapat
memengaruhi perilaku negara. Perilaku negara yang berubah ini dapat
memunculkan persepsi tertentu mengenai negara tersebut oleh aktor ataupun
negara lainnya. Perilaku negara umumnya dapat terlihat dari kebijakan luar negeri
negara tersebut, dan perumusan atau penyusunan kebijakan luar negeri tersebut
pada dasarnya bergantung pada konteks situasi politik yang tengah berlangsung
saat itu. Namun demikian, terdapat pula faktor budaya dan norma global yang
berlaku secara universal yang secara tidak langsung mendorong negara untuk
membentuk identitasnya secara cenderung seragam dengan identitas-identitas
lainnya. Dengan demikian, secara eksternal, terdapat berbagai macam faktor yang
pada
dasarnya
saling
tarik
menarik
sehingga
memengaruhi
dinamika
pembentukan dan perkembangan pembentukan identitas. Penjelasan pada bagian
Universitas Indonesia
52
ini memperlihatkan bahwa identitas pada dasarnya tidak hanya terbentuk dari
dalam negara tersebut, tetapi juga terdapat faktor-faktor eksternal yang mampu
memengaruhi identitas negara yang terbentuk.
Universitas Indonesia
53
Analisis Pembentukan Identitas pada Negara dalam Hubungan
Internasional: Identifikasi dan Persepsi
Sebelum masuk pada analisis terkait permasalahan yang diangkat dalam
literature-review ini, penulis akan memaparkan hasil distribusi literatur yang
digunakan dalam tulisan ini. Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa
penulis menggunakan literatur dari tiga jenis studi yaitu, studi Ilmu Hubungan
Internasional, Politik, dan Sosiologi. Ketiga jenis studi tersebut menyediakan
pendekatan yang berbeda dalam literatur-literaturnya dalam menjawab pertanyaan
permasalahan yang diangkat. Dalam menjelaskan mengenai identitas pada negara,
pada dasarnya ketiga studi ini menyediakan penjelasan yang overlapping atau
tumpang tindih antara satu sama lain. Namun demikian, pendekatan yang
digunakan memiliki perbedaan antara satu sama lain.
Dalam hal ini, literatur-literatur dalam studi Ilmu Hubungan Internasional
banyak berkontribusi pada bagaimana identitas dapat terbentuk dalam aktor
negara, dan bagaimana dimensi internasional serta interaksi antar aktor dapat
memengaruhi pembentukan hal tersebut. Sedangkan, literatur dalam studi Politik
memberikan pemahaman mengenai bagaimana negara merupakan sebuah aktor
politik yang menciptakan batasan-batasannya, serta mendefinisikan efek politik
dari norma, budaya, dan faktor-faktor lainnya yang pada akhirnya meregulasikan
tindakan dan perilaku yang diekspektasikan untuk diimplementasikan. Studi
Politik juga menjelaskan mengenai dimensi power di mana pembentukan identitas
tidak dapat terlepas dari hal tersebut. Selanjutnya, literatur dalam studi Sosiologi
menekankan dan menyediakan penjelasan bagaimana identitas dikonstruksikan
oleh faktor-faktor esensi seperti norma dan budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Dalam hal ini, studi Sosiologi membuka pemahaman bahwa negara
dan identitasnya merupakan sebuah konstruksi dan dibentuk karena adanya proses
interaksi yang sifatnya konstitutif di dalamnya.
Selanjutnya, dari literatur-literatur yang digunakan dan telah dipaparkan
pada bagian sebelumnya, dapat dipahami bahwa proses pembentukan identitas
pada negara terbagi menjadi dua dimensi besar, yaitu internal dan eksternal. Dari
pembahasan yang telah dilakukan, pemetaan faktor-faktor yang memengaruhi
Universitas Indonesia
54
pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional dapat
dijabarkan melalui gambar berikut:
Pembentukan Identitas pada Negara dalam Hubungan Internasional
Eksternal
Internal
Faktor Esensial
Faktor Turunan
Norma
Diskursus
Budaya
Simbolisme
Material
Belief
Kualitas
Intrinsik
Bahasa
Kebutuhan
Politik
Sejarah
Gambar 1: Pemetaan Hasil Temuan
Gambar di atas menunjukkan pemetaan hasil temuan penulis bahwa pada
dasarnya proses pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional
terjadi baik secara internal dan secara eksternal. Dalam hal ini, proses yang terjadi
dalam internal mengacu pada faktor-faktor yang datang dari domestik negara
tersebut, sedangkan proses eksternal mengacu pada bagaimana identitas negara
terbentuk melalui interaksi serta apa yang terjadi di luar negara, atau dalam
konteks lingkup internasional. Pada faktor internal, terdapat dua jenis faktor yaitu,
esensial dan turunan. Keduanya merupakan faktor yang datangnya dari dalam
negara tersebut dan pada dasarnya tidak secara eksklusif memengaruhi
pembentukan identitas negara. Pada bagian ini, penulis akan menganalisis
bagaimana hubungan antar faktor tersebut dapat memengaruhi pembentukan
Universitas Indonesia
55
identitas pada negara serta mengemukakan argumen penulis terkait masalah yang
diangkat ini.
Seperti yang telah disebutkan, pembahasan yang telah dilakukan ini
menunjukkan bahwa dalam membentuk identitas faktor-faktor yang telah
disebutkan itu memiliki hubungan antar satu sama lain. Faktor internal terdiri dari
dua jenis faktor, yaitu esensial dan turunan. Faktor turunan dalam hal ini pada
praktiknya terbentuk dari beberapa faktor esensial serta faktor-faktor lain yang
mendukung. Hubungan konstitutif yang terjadi dalam dua jenis faktor dalam
lingkup internal ini dapat dipahami melalui gambar berikut:
Gambar 2: Pemetaan Hubungan antara Faktor-Faktor Internal
Dalam gambar tersebut, terdapat garis-garis panah yang menunjukkan
hubungan di antara kedua jenis faktor. Garis-garis tersebut menggambarkan
bagaimana faktor-faktor yang merupakan faktor esensial dalam masyarakat pada
akhirnya mendorong munculnya faktor turunan. Dapat dilihat pada gambar di atas
bahwa sebuah faktor turunan terbentuk dari dua atau lebih faktor esensial.
Beberapa faktor esensial tersebut berinteraksi sehingga mendorong adanya
diskursus, simbolisme dalam bentuk material oleh negara, kualitas intrinsik yang
Universitas Indonesia
56
dimiliki oleh negara, dan kebutuhan politik negara tersebut untuk melakukan
inklusi dan eksklusi.
Diskursus yang merupakan salah satu bentuk faktor turunan muncul
karena adanya kombinasi dari faktor bahasa dan belief. Kedua faktor tersebut
mendorong pembentukan diskursus yang dapat menekankan dan mengklaim
pembentukan identitas pada negara. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
efektivitas diskursus ini juga dipengaruhi oleh agensi yang menyampaikan dan
konteks situasi yang sedang berlangsung. Faktor turunan selanjutnya adalah
simbolisme material. Dalam gambar tersebut diperlihatkan bahwa simbolisme
dalam bentuk material ini didorong oleh gabungan faktor-faktor norma, budaya,
belief, dan sejarah. Faktor-faktor tersebut berinteraksi hingga mendorong
pembentukan simbol-simbol dalam bentuk material seperti monumen, produk
kesenian adat, coloseum, dan lain sebagainya seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Unsur-unsur nyata yang bersifat material ini terbentuk sebagai
simbol dari faktor-faktor esensial yang terkandung dalam masyarakat sehingga
memunculkan rasa kepemilikan identitas yang sama, yaitu identitas
negara
sebagai identitas kolektif.
Kualitas intrinsik seperti telah disebutkan sebelumnya merujuk pada
kondisi politik serta kondisi konstituen negara tersebut. Sesuai dengan gambar di
atas, kualitas intrinsik ini terbentuk akibat interaksi dari kelima faktor esensial
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu norma, budaya, belief, bahasa, dan
sejarah. Pada dasarnya
keseluruhan faktor tersebut berkontribusi pada
pembentukan situasi domestik dan bagaimana warga negara tersebut berperilaku
dan membentuk identitas kolektif. Selain itu, faktor-faktor ini juga disertai dengan
faktor material seperti sumber daya alam yang dapat memperkaya kualitas
intrinsik negara. Kebutuhan politik menjadi faktor turunan terakhir yang dibahas
dalam tulisan ini. Dalam hal ini kebutuhan politik merujuk pada kenyataan bahwa
negara memiliki keperluan untuk membentuk batasan-batasan antara identitasnya
dengan identitas lainnya dengan cara melakukan inklusi dan eksklusi. Kebutuhan
politik ini didasarkan kesadaran serta kepercayaan (belief) yang dikandung oleh
masyarakatnya bahwa mereka merupakan satu kesatuan yang berbeda dengan
entitas lainnya. Selain itu, kebutuhan politik ini juga dibentuk karena adanya
Universitas Indonesia
57
faktor-faktor esensial lainnya. Sebab pada dasarnya, kebutuhan politik ini muncul
karena negara memiliki kesadaran akan sense of belonging dari keseluruhan faktor
tersebut yang membentuk negara sebagai sebuah entitas yang distinct sehingga
pada akhirnya mendorong keinginan negara untuk memformalkan bentuk identitas
seperti misalnya melalui perumusan dan pengimplementasian kebijakan luar
negeri.
Dalam penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang
datangnya dari dalam negara nyatanya memiliki hubungan antara satu sama lain
sehingga membentuk identitas negara yang padu. Penulis secara pribadi melihat
bahwa penjelasan dan pemaparan terkait faktor simbolisme dalam bentuk material
merupakan hal yang sangat menarik. Penjelasan tersebut berbeda dengan
penjelasan mengenai pembentukan identitas yang biasanya diwarnai oleh
pendekatan tradisional mengenai pentingnya faktor-faktor non-material. Faktor
simbolisme dalam bentuk material ini menunjukkan bahwa nyatanya unsur yang
wujud serta sifatnya nyata juga dapat memengaruhi pembentukan identitas pada
negara. Simbolisme ini memang mengandung unsur-unsur non-material, namun
apa yang dikemukakan oleh Acuff seperti yang telah disebutkan pada bagian
sebelumnya menunjukkan bahwa unsur-unsur non-material yang diterjemahkan
dan disimbolkan dalam bentuk material nyata juga memiliki signifikansi dalam
pembentukan identitas pada negara. Simbolisasi dalam bentuk material ini juga
seringkali menjadi hal yang membentuk pemahaman serta merepresentasikan
negara tersebut ke masyarakat luar.
Penjelasan bagaimana identitas pada negara terbentuk dari dalam negara
itu sendiri pada dasarnya juga memperlihatkan bagaimana pada dasarnya internal
negara memiliki unsur-unsur yang mampu membentuk pemahaman akan
solidaritas dan rasa kesatuan yang diimajinasikan dalam batas-batas negara yang
telah dibentuk. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam dimensi internal ini,
identitas pada negara yang terbentuk cenderung berusaha menasionalisasi untuk
pada akhirnya membedakan identitas pada negara tersebut dengan identitas
lainnya. Dalam penjelasan mengenai internal ini terlihat bahwa terdapat unsurunsur di dalam negara yang diyakini bersama secara kolektif dan imajiner
sehingga memberikan batas jelas dan membedakan identitas negara yang satu
Universitas Indonesia
58
dengan identitas negara lain. Negara berusaha menjadi berbeda, dengan melihat
bahwa dirinya memiliki unsur-unsur khas tertentu yang membentuk identitasnya.
Unsur-unsur yang terkandung dalam faktor esensial dan faktor turunan ini tidak
sama antara negara satu dengan negara lainnya, dengan demikian identitas yang
terbentuk pun juga berbeda.
Selain itu, pembentukan identitas pada negara dalam lingkup domestik ini
pada dasarnya juga tidak terlepas dari unsur power. Dalam penjelasan mengenai
faktor internal khususnya, dijelaskan bagaimana identitas pada negara dapat
terbentuk dari dalam negara itu sendiri. Nyatanya dalam hal ini, proses yang
terjadi tersebut juga melibatkan unsur power. Bagaimana negara membentuk
identitasnya seringkali dianggap sebagai sebuah usaha dari pemerintah negara
tersebut untuk menanamkan pemahaman identitas kenegaraan. Identitas dalam hal
ini juga erat kaitannya dengan pemberian makna. Dalam pemberian makna inilah
power pada akhirnya digunakan. Power digunakan dalam upaya penanaman
pemahaman dan makna. Dalam lingkup internal, power melekat pada agen-agen
tertentu yang berpengaruh. Agen-agen tersebut memiliki kapabilitas power yang
didukung oleh posisi yang menentukan sehingga agen tersebut memiliki pengaruh
yang besar pada masyarakat melalui klaim dan konstruksi akan identitas pada
negara yang dilakukan. Power dengan demikian menjadi relevan dalam
pembentukan identitas pada negara, karena penggunaan power yang tepat dapat
mendorong pembentukan identitas pada negara sesuai dengan visi yang dimiliki.
Agen-agen yang dianggap memiliki power dalam mengkonstruksi pemahaman
makna dari identitas misalnya adalah elit politik, orang-orang yang duduk di
bangku pemerintahan, tokoh masyarakat, dan aktor-aktor internal yang
berpengaruh
lainnya.
Agen-agen
tersebut
memiliki
power
untuk
menginternalisasikan pemahaman mengenai identitas pada negara melalui caracara tertentu yang dimungkinkan oleh kepemilikan power tersebut.
Analisis penggunaan power dalam lingkup internal ini menggiring kita
kepada pemahaman bahwa identitas pada negara dapat dibentuk melalui proses
top-down maupun bottom-up. Proses top-down ini mengacu pada bagaimana
terdapat agen-agen dalam pemerintahan yang mengklaim dan menanamkan
identitas agar pemahaman mengenai identitas pada negara tersebut tumbuh pada
Universitas Indonesia
59
diri masyarakat bahkan hingga level akar-rumput. Sedangkan, proses bottom-up
dalam pembentukan identitas pada negara merujuk pada bagaimana identitas
muncul dalam diri masyarakat dalam level akar-rumput, sehingga hal tersebut
pada akhirnya mendorong pembentukan identitas pada negara dalam level yang
lebih besar lagi. Penggunaan kedua proses ini dalam pembentukan identitas pada
negara pada dasarnya tergantung pada jenis negara tersebut. Negara yang
masyarakatnya plural ataupun berbentuk federal, misalnya, cenderung akan
membentuk identitas pada negaranya melalui proses top-down agar walaupun
plural dan terdiri dari daerah-daerah tertentu, masyarakat dalam negara tersebut
dapat tetap merasa terikat oleh suatu identitas yang ditanamkan.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, identitas nyatanya tidak
hanya terbentuk dari dalam negara tersebut. Proses pembentukan identitas pada
negara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang datang dari luar negara.
Proses bagaimana identitas suatu negara yang telah dibentuk oleh faktor-faktor
internal kemudian dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor eksternal dapat
dijelaskan melalui gambar berikut:
Gambar 3: Proses Pembentukan Identitas Negara dari Internal dan Eksternal
Universitas Indonesia
60
Gambar tersebut menunjukkan bagaimana faktor eksternal juga dapat
memengaruhi pembentukan identitas pada negara. Merujuk pada pembahasan
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor eksternal ini merupakan faktorfaktor yang berasal dari luar negara, yaitu lingkup internasionalnya. Jika
diperhatikan pula, yang termasuk faktor eksternal dalam hal ini adalah kondisi
politik global, budaya dan norma global, tatanan dunia, struktur internasional,
serta aktor-aktor lainnya. Dalam hal ini, faktor-faktor tersebut pada praktiknya
dapat memengaruhi pembentukan identitas yang sebelumnya sudah terbentuk atas
dorongan faktor-faktor yang terdapat dalam internalnya. Lingkup internasional
merupakan salah satu dimensi di mana identitas diproyeksikan, selain pada
lingkup domestik. Dengan demikian, hal-hal yang terjadi dalam lingkup
internasional juga dapat memengaruhi identitas yang terbentuk pada negara.
Faktor-faktor yang datang dari eksternal negara memengaruhi bagaimana negara
memutuskan bagaimana harus bertindak terhadap suatu situasi tertentu sehingga
hal tersebut pada akhirnya dapat berkontribusi bagaimana identitas negara pada
akhirnya dilihat oleh aktor-aktor lainnya dalam hubungan internasional. Dengan
demikian, dalam lingkup internasional ini dapat dipahami bahwa interaksi
merupakan salah satu hal dan proses yang penting.
Gambar di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun faktor yang
secara eksklusif dapat membentuk identitas pada negara. Hal ini dikarenakan pada
dasarnya keseluruhan faktor, baik internal maupun eksternal memiliki hubungan
saling memengaruhi antar satu sama lain sehingga identitas pada negara pada
akhirnya terbentuk. Selain itu perlu dipahami pula dari gambar-gambar serta
analisis yang dikemukakan bahwa pembentukan identitas pada negara dalam
hubungan internasional merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan
tidak pernah berhenti, sebab interaksi serta perkembangan situasi sosial politik,
baik dalam dimensi domestik maupun internasional juga merupakan proses yang
akan terus bergulir seiring berjalannya waktu. Identitas pada negara berkembang
terus-menerus dan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang juga terus berevolusi
dan berkembang.
Jika sebelumnya disebutkan bahwa secara internal, negara berusaha
membentuk identitasnya supaya berbeda dengan identitas negara-negara lainnya,
Universitas Indonesia
61
kehadiran budaya dan norma global sebagai salah satu faktor eksternal yang
berkontribusi dalam pembentukan identitas pada negara ini juga menunjukkan
bahwa pada dasarnya, dalam lingkup internasional, proses pembentukan identitas
negara cenderung berusaha menyeragamkan (uniforming). Hal ini dikarenakan
pada dasarnya terdapat model budaya dan norma global yang berlaku secara
internasional yang memengaruhi bentuk identitas pada negara, sehingga identitas
pada negara-negara di dunia cenderung berusaha menuju ke arah dan model yang
sama. Proses yang terjadi baik di level internal dan juga eksternal ini pada
akhirnya saling memengaruhi pembentukan identitas pada negara dalam
hubungan internasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, proses ini
berlangsung terus menerus dan merupakan proses yang tidak pernah selesai
sehingga perubahan atau perkembangan identitas pada negara pun dimungkinkan
seiring dengan lingkup internal maupun eksternal yang juga terus berkembang.
Dalam analisis terkait pembentukan identitas pada negara dalam hubungan
internasional ini, signifikansi dari faktor eksternal merupakan poin yang menurut
penulis penting untuk dipahami. Hal ini terutama didasarkan pada konteks yang
diangkat dalam tulisan ini, yaitu konteks hubungan internasional. Penulis melihat
bahwa dalam proses identifikasi siapa negara sebenarnya nyatanya tidak terlepas
dari eksistensi aktor lainnya dalam hubungan internasional. Tatanan dunia, budaya
dan norma global yang terbentuk, struktur internasional, serta kondisi politik
global yang merupakan faktor-faktor eksternal pada dasarnya merupakan hasil
dari hubungan antar aktor yang sifatnya konstitutif pada situasi internasional.
Interaksi antara suatu negara dengan aktor lainnya nyatanya berpengaruh pada
pembentukan identitas negara tersebut. Bahkan, interaksi yang dilakukan oleh
aktor-aktor lainnya juga dapat memengaruhi bagaimana suatu negara akan
membentuk identitasnya untuk pada akhirnya diterjemahkan ke dalam aksi serta
kebijakannya di ranah internasional. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
dalam konteks hubungan internasional ini, penulis melihat bahwa eksistensi aktor
lain merupakan hal yang signifikan dalam pembentukan identitas pada negara.
Pentingnya eksistensi aktor lain sebagai „other‟ dalam analisis
pembentukan identitas pada negara dalam hubungan internasional ini juga
didasarkan pada fakta bahwa bagaimana aktor lain melihat suatu negara dapat
Universitas Indonesia
62
menimbulkan persepsi yang dapat memengaruhi hubungan antar aktor dan juga
identitas dari negara tersebut.
Bahkan, jika dilihat dalam konteks hubungan
internasional, masalah utama yang seringkali muncul terkait identitas adalah
bagaimana aktor lain mempersepsikan identitas negara tersebut. Persepsi aktor
lain dalam hal ini memegang peranan penting, karena pada dasarnya negara
membentuk identitasnya untuk pada akhirnya diproyeksikan dalam lingkup
internasional dan pada akhirnya dipersepsikan oleh aktor lain. Bagaimana aktor
lain mempersepsikan identitas suatu negara belum tentu sejalan dengan sifat
identitas yang berusaha dibentuk oleh negara. Persepsi ini pada akhirnya
menentukan bagaimana aktor lain akan menjalin hubungan dengan negara
tersebut.
Signifikansi dari persepsi aktor lain sebagai unsur „other‟ dalam hal ini
dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika identitas suatu negara dipersepsikan
negatif sebagai ancaman oleh aktor lainnya, maka hal tersebut akan memengaruhi
aksi atau kebijakan yang akan diimplementasikan oleh aktor lainnya terhadap
negara sehingga terdapat kemungkinan bahwa hubungan yang terjalin di antara
keduanya akan diwarnai dengan rasa tidak aman dan saling curiga. Namun, jika
identitas suatu negara dipersepsikan positif dan tidak mengancam, maka
kemungkinan keduanya untuk menjalin hubungan kerjasama yang bersifat positif
pun lebih besar. Persepsi negatif ataupun positif oleh „other‟ ini pada akhirnya
juga dapat berkontribusi pada bagaimana negara memahami identitasnya sendiri,
dan bagaimana identitas tersebut pada akhirnya dipersepsikan oleh pihak luar. Hal
ini menunjukkan bahwa persepsi dengan demikian juga merupakan salah satu hal
penting dalam pembentukan identitas.
Penulis melihat bahwa walaupun negara berusaha membentuk identitasnya
sendiri secara internal, nyatanya hubungan internasional lebih ditentukan dan
dipengaruhi oleh bagaimana pihak eksternal mempersepsikan identitas negara.
Negara memang memiliki kapabilitas untuk menentukan dan membentuk
identitasnya sendiri melalui faktor-faktor internal yang terkandung dalam negara
tersebut, namun demikian apa yang diidentifikasikan oleh negara tersebut terkait
dirinya belum tentu sesuai dengan bagaimana aktor lain melihat dan
mempersepsikan negara tersebut. Identitas negara, oleh karena itu, dikontestasikan
Universitas Indonesia
63
seiring dengan apa yang tengah berlangsung dalam arena internasional. Negara
tentunya berusaha membentuk identitasnya supaya dapat merepresentasikan
negaranya secara positif. Namun demikian, hal ini kembali lagi pada bagaimana
negara atau aktor lain melihat perilaku, gerak-gerik, serta kebijakan luar negeri
negara tersebut. Aktor lain atau pihak eksternal dalam hal ini belum tentu melihat
identitas suatu negara bersifat positif, karena hal ini berkaitan dengan konteks
yang berlaku dan bagaimana aktor lain memiliki persepsi akan konteks tersebut.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini argumen penulis menekankan bahwa faktor
eksternal memiliki pengaruh yang besar dalam hubungannya dengan identitas
suatu negara dalam hubungan internasional.
Universitas Indonesia
64
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat
dipahami
bahwa pembentukan
identitas pada negara dalam
hubungan
internasional merupakan proses yang terjadi akibat dua faktor yaitu internal dan
eksternal yang saling berinteraksi secara terus menerus sehingga identitas pada
negara pada akhirnya terbentuk dan berkembang seiring berjalannya waktu.
Merujuk pada bagian pendahuluan, pertanyaan permasalahan yang diangkat
sebagai fokus dalam tulisan ini adalah “Bagaimanakah identitas pada suatu
negara dalam hubungan internasional dapat terbentuk?”. Melalui pemaparan
literatur, pembahasan, serta analisis yang telah dilakukan dalam tulisan ini,
penulis menjawab pertanyaan permasalahan yang diajukan tersebut melalui
ilustrasi yang digambarkan melalui model berikut ini:
Universitas Indonesia
65
Gambar 4: Ilustrasi Proses Keseluruhan Pembentukan Identitas pada Negara dalam Hubungan Internasional
Gambar di atas pada dasarnya mengilustrasikan proses pembentukan
identitas pada negara dalam hubungan internasional secara keseluruhan
berdasarkan pembahasan dan analisis yang telah dilakukan. Dalam gambar
tersebut terlihat bahwa faktor-faktor internal negara berinteraksi untuk
membentuk identitas dan identitas tersebut juga dipengaruhi oleh apa yang terjadi
serta kondisi arena internasional sebagai faktor eksternal. Dalam kesimpulan ini,
penulis ingin menekankan bahwa proses yang terjadi dalam pembentukan
identitas negara dalam hubungan internasional ini berlangsung terus menerus dan
merupakan proses yang tidak pernah selesai karena identitas dapat terus
berkembang, bahkan berubah sesuai dengan kondisi domestik dan internasional
yang berlangsung dan juga berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
Gambar tersebut juga mengindikasikan bahwa pembentukan identitas
negara dalam hubungan internasional dipengaruhi oleh bagaimana negara
berusaha membentuk identitas lokal yang distinct dalam batasan-batasan yang
telah ditentukan secara internal, dan bagaimana lingkup internasional yang
kompleks dan mengandung model budaya serta norma global cenderung membuat
negara semakin menuju arah yang serupa atau cenderung menghomogenisasikan
bentuk serta tujuan dari identitas negara. Selain itu, pembentukan identitas negara
ini juga sangat diwarnai dengan hubungan interaksi saling memengaruhi antara
negara sebagai sebuah aktor dengan aktor-aktor lainnya dalam hubungan
internasional yang membuat proses ini kental dengan unsur identifikasi dan
persepsi.
Universitas Indonesia
66
Dalam penarikan kesimpulan terkait pertanyaan permasalahan yang
diangkat ini, penulis juga kembali menekankan pada konteks hubungan
internasional, yang pada akhirnya membuat penulis berargumen bahwa dalam
proses pembentukan identitas ini faktor eksternal memiliki signifikansi yang
tinggi. Merujuk pada keseluruhan temuan, pembahasan, dan analisis terkait
permasalahan yang diangkat dalam literature-review ini, maka dapat disimpulkan
bahwa :
Identitas suatu negara merupakan salah satu objek kajian yang penting
dalam hubungan internasional karena pemahaman akan identitas dapat
meningkatkan prediktabilitas dalam hubungan internasional.
Terdapat dua faktor yang memengaruhi pembentukan identitas yaitu faktor
internal dan eksternal. Proses yang terjadi dalam kedua lingkup faktor ini
berlangsung terus menerus dan saling memengaruhi untuk pada akhirnya
menghasilkan identitas pada negara yang padu namun dapat terus berubah
seiring dengan perkembangan kondisi domestik maupun internasional.
Dalam faktor internal, pembentukan identitas pada negara diwarnai oleh
dinamika bagaimana negara berusaha membentuk identitas yang berbeda
dari identitas lainnya. Sedangkan, dalam faktor eksternal, pembentukan
identitas pada negara dipengaruhi oleh eksistensi model budaya dan norma
global yang dianggap ideal secara universal sehingga cenderung
menyeragamkan atau menghomegenisasikan bentuk serta tujuan negara
dan identitasnya.
Dalam konteks hubungan internasional, faktor eksternal terutama eksistensi
dari aktor lain sebagai „other‟ memegang peranan penting dalam
pembentukan identitas pada negara.
Dalam pembentukan identitas pada suatu negara dalam hubungan
internasional, terjadi dua jenis aktivitas yang berkontribusi, yaitu
identifikasi negara terhadap identitasnya sendiri serta persepsi aktor lain
terhadap identitas tersebut.
Dari pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dalam tulisan ini,
penulis merekomendasikan perlunya pembahasan lebih jauh mengenai dampak
Universitas Indonesia
67
dari persepsi akan identitas suatu aktor negara oleh aktor lainnya. Pembahasan
terkait bagaimana persepsi aktor lain dapat berpengaruh pada bagaimana suatu
aktor melihat dirinya sendiri serta bagaimana persepsi tersebut memengaruhi
bagaimana aktor tersebut berperilaku dalam kerangka hubungan internasional
merupakan hal yang menarik untuk dapat ditelaah lebih lanjut. Eksplorasi akan
hal tersebut dapat memperkaya kajian Ilmu Hubungan Internasional terkait
hubungan antara persepsi dan identifikasi terhadap identitas dalam kerangka
hubungan internasional. Serta, melalui hal tersebut pula pembaca dapat
memahami dengan lebih jelas mengenai peran besar eksistensi dari pihak „others‟
dalam hubungan internasional, terutama terkait dengan pembahasan mengenai
pembentukan identitas pada negara yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada
pemahaman akan pola interaksi dan struktur hubungan internasional yang
terbentuk di antara aktor-aktor yang terlibat.
Selain itu, eksplorasi lebih dalam terkait anggapan dan persepsi mengenai
model budaya dan norma global yang dianggap ideal dan pengaruhnya terhadap
identitas pada negara juga merupakan hal lainnya yang menurut penulis perlu
dilakukan. Anggapan bahwa terdapat model budaya dan norma universal tertentu
yang perlu dicapai oleh negara dalam hal ini pada dasarnya dapat memperlihatkan
dampak dari sisi sosiologi dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional pada
pembentukan identitas pada negara dan dapat memperkaya kajian Ilmu Hubungan
Internasional lebih lanjut. Penulis melihat signifikansi faktor-faktor eksternal
dalam pembentukan identitas pada negara ini cukup tinggi, sehingga pemahaman
mengenai unsur-unsur di dalamnya secara lebih dalam diperlukan untuk dapat
memahami bagaimana lingkup internasional dapat memengaruhi pembentukan
identitas pada negara. Serta, pembahasan mengenai bagaimana identitas yang
terbentuk pada negara dapat memengaruhi konstelasi politik dalam lingkup
internasional juga merupakan hal lain yang dapat memperkaya kajian ilmu ini,
dan mampu memperlihatkan bagaimana identitas pada negara dengan lingkup
internasional memiliki hubungan saling memengaruhi antara satu sama lain.
Universitas Indonesia
68
DAFTAR REFERENSI
Acuff, Jonathan M. “Spectacle and Space in the Creation of Premodern and
Modern Polities: Toward a Mixed Ontology of Collective Identity”.
International Political Sociology, 6, (2012): 132–148.
Alexandrov, Maxym. “The Concept of State Identity in International Relations: A
Theoretical Analysis”. Journal of International Development and
Cooperation, 10, 1, (2003): 33-46.
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and
Spread of Nationalism. New York: Verso, 1991.
Blyth, Mark. “Structures Do Not Come with an Instruction Sheet: Interests, Ideas,
and Progress in Political Science”. Perspectives on Politics, 1, 4, (2003):
695-706.
Brubaker, Rogers dan Frederick Cooper. “Beyond Identity”. Theory and Society.
29, (2000): 1-47.
Calhoun,Craig (ed.). Social Identity and the Politics of Identity. Oxford:
Blackwell Publisher, 1994.
Campbell, David. Writing Security: United States Foreign Policy and the Politics
of Identity. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1992.
Castells, Manuel. The Power of Identity. Chicchester:Wiley–Blackwell, 2010.
Checkel, Jeffrey T. “The Constructivist Turn in International Relations Theory”.
World Politics, 50, (1998): 324-348.
Dunn, Kevin C. “Narrating Identity: Constructing the Congo During the 1960
Crisis”. Dalam Identity and Global Politic: Empirical and Theoretical
Elaborations, diedit oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn. New York:
Palgrave Macmillan, 2004.
Epstein, Charlotte. “Who speaks? Discourse, the subject and the study of identity
in international politics”. European Journal of International Relations,
XX(X), (2010): 1–24.
Finnemore, Martha. “Norms, culture, and world politics: insights from sociology‟s
institutionalism”. International Organization, 50, 2, (1996): 325-347.
Finnemore, Martha dan Kathryn Sikkink. “Taking Stock: The Constructivist
Research Program in International Relations and Comparative Politics”.
Annual Review of Political Science, 4, (2001): 391-416.
Goff, Patricia M. dan Kevin C. Dunn, “Conclusion: Revisiting the Four
Dimension of Identity”. Dalam Identity and Global Politic: Empirical and
Universitas Indonesia
69
Theoretical Elaborations, diedit oleh Patricia M. Goff dan Kevin C. Dunn.
New York:, Palgrave Macmillan, 2004.
Griffiths, Martin dan Terry O‟Callaghan. International Relations: The Key
Concepts. New York: Routledge, 2004.
Hobson, John M. The State and International Relations. New York: Cambridge
University Press, 2000.
Hofstede, Geert. Cultures and Organizations: Software of the Mind. London:
Harper Collins Business, 1994.
Hopf, Ted. “The logic of habit in International Relations”. European Journal of
International Relations, 16, 4, (2010), 539-561.
Hopf, Ted. “The Promise of Constructivism in International Relations”.
International Security, 23, 1, (1998), 171-200.
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order. London: Penguin Books Ltd, 1996.
Jenkins, Richard. Social Identity. London: Routledge, 1996.
Jepperson, Ronald J., Alexander Wendt, dan Peter J. Katzenstein. "Norms,
Identity, and Culture in National Security". Dalam The Culture of National
Security, diedit oleh Peter J. Katzenstein. New York: Columbia University
Press, 1996.
Klotz, Audie. Norms in International Relations: The Struggle against Apartheid.
New York: Cornell University Press, 1999.
Kowert, Paul dan Jeffrey Legro. “Norms, Identity, and Their Limits”. Dalam The
Culture of National Security, diedit oleh Peter Katzenstein. New York:
Columbia University Press, 1996.
Kratochwil, Friedrich. “History, Action and Identity: Revisiting the „Second‟
Great Debate and Assessing its Importance for Social Theory”. European
Journal of International Relations, SAGE Publications and ECPREuropean Consortium for Political Research, 12, 1, (2006): 5-29.
Lynch, Marc. “Abandoning Iraq: Jordan's Alliances and the Politics of State
Identity”. Security Studies, 8, 2–3, (1999).
Mercer, Jonathan. “Anarchy and Identity”, International Organization, 49, 2,
(1995): 229-252.
Meyer, John M., John Boli, George M. Thomas, dan Francisco O. Ramirez.
"World Society and the Nation-State”. American Journal of Sociology,
103, 1, (1997): 144-181.
Universitas Indonesia
70
Miyashita, Akitoshi. “Where do norms come from? Foundation of Japan‟s
postwar pacifism”. International Relations of the Asia Pacific, 7, (2007):
99-120.
Palan, Ronen. “A world of their making: an evaluation of the constructivist
critique in International Relations”. Review of International Studies, 26, 4,
(2000): 575-598.
Rae, Heather. State Identities and the Homogenisation of Peoples. New York:
Cambridge University Press, 2002.
Spencer-Oatey, Helen. Culturally Speaking: Culture, Communication and
Politeness Theory. London: Continuum, 2008.
Steele, Brent J. Ontological Security in International Relations: Self-identity and
the IR State. New York: Routledge, 2008.
Tidy, Joanna. “The Social Construction of Identity: Israeli Foreign Policy and the
2006 War in Lebanon”. School of Sociology, Politics, and International
Studies, University of Bristol Working Paper, 05-08, (2008).
Varadarajan, Latha. “Constructivism, Identity and Neoliberal (In)security”.
Review of International Studies, 30, 3, (2004): 319-341.
Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of It”. International
Organization, 46 (1992): 391-425.
Wendt, Alexander. “Collective Identity Formation and the International State”,
American Political Science Review, 88, 2, (1994): 384-396.
Yvonne, Riaño dan Wastl-Walter Doris. “Immigration Policies, State Discourses
on Foreigners and the Politics of Identity in Switzerland”. Environment
and Planning A, 38, (2006): 1693-1713.
Zalewski, Marysia dan Cynthia Enloe. “Questions about Identity in International
Relations”. Dalam International Relations Theory Today, diedit oleh Ken
Booth dan Steve Smith. Pennsylvania: The Pennsylvania State University
Press, 1995.
Zehfuss, Maja. “Constructivism and Identity: A Dangerous Liaison”. European
Journal of International Relations, 7, 3, (2001): 315-348.
Universitas Indonesia