Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Jurnal Veteriner pISSN: 1411-8327; eISSN: 2477-5665 Terakreditasi Nasional SK. No. 15/XI/Dirjen Dikti/2011 Juni 2016 Vol. 17 No. 2 : 235-245 DOI: 10.19087/jveteriner.2016.17.2.235 online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/jvet Cemaran Escherichia coli pada Tepung Telur yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok, dan Resistensinya Terhadap Antibiotik (ESCHERICHIA COLI CONTAMINATION ON EGG POWDER IMPORTED THROUGH PORT OF TANJUNG PRIOK AND ITS RESISTANCE AGAINST ANTIBIOTICS) Kamil Riski Sidik1,3, Denny Widaya Lukman2, I Wayan Teguh Wibawan2 1 Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2 Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 3 Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Badan Karantina Pertanian, Kementrian Pertanian, Jl. Enggano No. 17 Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310, Telp: (021) 43931549, 43800150 (hunting), Fax: (021) 43931061, e-mail: kamilsidik@yahoo.com Abstrak Ditemukan adanya cemaran bakteri Eschericia coli pada tepung telur impor yang dimasukan melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, saat dilakukan pengujian terhadap cemaran Salmonella. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran kejadian cemaran dan resistensi antimikrob bakteri E. coli yang ditemukan pada produk tepung telur impor. Sebanyak 100 sampel tepung telur impor dikoleksi selama bulan Agustus 2014 dari dua negara asal, yaitu Ukraina dan India berupa whole egg powder (Ukraina n=30, India n=40) dan egg yolk powder (India n=30). Pengujian yang dilakukan terhadap sampel berupa pemeriksaan fisik kemasan dan label produk tepung telur dilanjutkan dengan pengambilan sampel dan pengujian cemaran bakteri menggunakan pengujian cepat (rapid test) dan metode pengujian konvensional berupa isolasi dan identifikasi. Isolat E. coli yang berhasil dideteksi dan diidentifikasi kemudian diuji resistensinya terhadap preparat antibiotik. Berdasarkan hasil pengujian, ditemukan empat sampel positif E. coli. Isolat E. coli menunjukkan resistensi terhadap enam jenis antibiotik dengan 75% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Kondisi tersebut membutuhkan perhatian khusus karena timbulnya resistensi antibiotik pada bakteri E. coli memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Kata-kata kunci: resistensi antibiotik, E. coli, tepung telur impor Abstract Eschericia coli contamination was found on egg powder imported to Indonesia during microbial examination. The study was conducted to describe the presence of E. coli and its resistance to antibiotics in egg powder imported to Indonesia through The port of Tanjung Priok. Samples was determined using cross sectional study and the sample size was calculated based on assumption of confidence level of 95% with margin of error of 10% and predicted prevalence of 50%. Total of 100 egg powder samples was collected in August 2014 from two exporting countries, Ukraine (whole egg powder, n=30) and India (whole egg powder, n=40 and egg yolk powder, n=30). Examination was performed by packaging and label inspection of the product followed by samples collection and testing for bacterial contamination using rapid test and conventional isolation and identification methods. Detected E. coli was isolated and then tested for antibiotic resistance. Examination results showed that 4 samples were positive to E. coli. E. coli isolates showed resistance against 6 types of antibiotics and 75% of the isolates had resistance against minimum of 3 types of antibiotics. These conditions should be taken into consideration since antibiotic resistance in E. coli would cause negative impacts on human, animal and environmental health. Key words: antibiotic resistance, egg powder, E. coli 235 Kamil Riski Sidik, et al Jurnal Veteriner PENDAHULUAN Telur adalah bahan pangan asal hewan yang memiliki kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia. Bahan pangan tersebut menjadi salah satu pilihan untuk dikonsumsi sebagai sumber protein hewani selain daging, susu, dan ikan. Kandungan nutrisi yang dimiliki telur sangat baik bagi manusia, tetapi juga menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kontaminasi mikrob pada telur menjadi masalah yang telah diketahui secara luas, dan memiliki dampak secara ekonomi pada industri perunggasan (Jin et al., 2008). Potensi terjadinya kontaminasi mikroorganisme pada telur membuat adanya rekomendasi untuk terlebih dulu memberikan perlakuan pada telur berupa pasteurisasi sebelum dikonsumsi atau dalam proses produksi pangan olahan. Kondisi tersebut memungkinkan jika jumlah telur yang digunakan relatif kecil. Meskipun demikian, kebutuhan akan pemanfaatan telur tidak hanya pada tingkat konsumsi individu atau skala kecil. Terdapat kebutuhan akan telur dalam jumlah besar pada skala industri. Kondisi tersebut mengakibatkan perlakuan berupa pasteurisasi setiap kali telur digunakan sebagai bahan baku bukan menjadi pilihan yang efisien dan ekonomis. Solusi bagi pihak industri yang membutuhkan telur sebagai bahan baku tersedia dalam bentuk olahan telur yang telah melalui proses pasteurisasi dan dibuat dalam bentuk tepung telur. Berdasarkan data laporan tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok (BBKP Tanjung Priok), sepanjang tahun 2013 dilakukan importasi tepung telur sebesar 1.711.854 kg melalui 135 kali pemasukan dengan negara pengekspor adalah India (91,2%), Ukraina (7,3%), dan Amerika Serikat (1,5%) (BBKP Tanjung Priok, 2014). Escherichia coli telah dilaporkan sebagai salah satu jenis bakteri yang dapat ditemukan pada telur meskipun telah dilakukan perlakuan pemanasan (Botka-Petrak et al., 2000). Bakteri E. coli adalah mikrob Gram negatif yang secara alami berada pada saluran pencernaan, feses hewan, dan manusia (de Verdier et al., 2012). Namun demikian, beberapa galur bakteri tersebut dapat menyebabkan kejadian penyakit yang berakibat fatal pada manusia dan hewan (Bonnet et al., 2009; de Verdier et al., 2012; Murray et al., 2013). Kejadian cemaran E. coli pada telur telah banyak dilaporkan baik pada tingkat peternakan, pada telur konsumsi, maupun pada produk olahan yang menggunakan telur sebagai bahan baku (Botka-Petrak et al., 2000; Oh et al., 2011; Jones et al., 2012: Grizard et al., 2014). Bakteri E. coli menarik minat para peneliti akibat cemaran dan patogenesisnya pada hewan dan manusia yang ditimbulkannya. Kemampuan bakteri tersebut bersifat resisten terhadap penggunaan senyawa antibiotik telah banyak dilaporkan (Dhanarani et al., 2009; De Jong et al., 2012; Tadesse et al., 2012). Potensi bakteri tersebut untuk menyebarkan kemampuan resistensinya kepada bakteri lainnya telah pula banyak dikaji (Machado et al., 2008; Trobos et al., 2009; Venturini et al., 2010; Fortini et al., 2011; Kluytmans et al., 2013; Liebana et al., 2013; Shakya et al., 2013). Munculnya kemampuan bakteri, khususnya E. coli untuk bersifat resisten terhadap penggunaan senyawa antibiotik tentunya menimbulkan masalah yang besar bagi manusia, hewan, dan lingkungan (Diarra et al., 2007; Machado et al., 2008; Venturini et al., 2010; Sahoo et al., 2012). Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran kejadian cemaran dan resistensi antimikrob E. coli yang ditemukan pada produk tepung telur impor yang dimasukan melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Isolat E. coli yang diuji berasal dari temuan pada proses pemeriksaan cemaran bakteri terhadap sampel tepung telur terkait tindakan karantina yang dilakukan. METODE PENELITIAN Pengujian terhadap sampel tepung telur (whole egg powder dan egg yolk powder), dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Instalasi Tempat Pemeriksaan Karantina Hewan, BBKP Tanjung Priok, Jakarta. Pengujian secara laboratorium dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Uji konfirmasi terhadap isolat bakteri yang berhasil ditemukan dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH), Bogor. Jenis antibiotik yang digunakan dalam pengujian kepekaan mikroorganisme terhadap bahan antimikrob (antibiotik) berasal dari lima golongan antibiotik. Antibiotik dari golongan βlactam yang digunakan adalah preparat 236 Jurnal Veteriner Juni 2016 Vol. 17 No. 2 : 242-252 ampisilin 10 µg (AMP; OXOID CT0003B), amoxicillin-clavulanic acid 30 µg (AMC; OXOID CT0223B) dan oxacillin 5 µg (OX; OXOID CT0040B). Antibiotik dari golongan aminoglikosida yang digunakan adalah preparat gentamicin 10 µg (CN; OXOID CT0024B) dan kanamicin 30 µg (K; OXOID CT0026B). Antibiotik dari golongan sefalosporin yang digunakan adalah preparat cephalotin 30 µg (KF; OXOID CT0010B), cefoxitin 30 µg (FOX; OXOID), cefotaxime 30 µg (CTX; OXOID CT0166B). Antibiotik dari golongan quinolon yang digunakan adalah preparat nalidixic acid 30 µg (NA; OXOID CT0031B) dan dari golongan tetrasiklin yang digunakan adalah preparat tetrasiklin 30 µg (T; OXOID CT0031B). Dalam setiap pengujian digunakan pula cakram tanpa kandungan bahan antimikrob (blank disc; OXOID CT0998B) sebagai kontrol negatif. Dalam setiap pengujian laboratorium yang dilakukan, digunakan kontrol cemaran bakteri berupa isolat bakteri komersial. Isolat bakteri yang digunakan sebagai kontrol adalah Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan E. Coli ATCC 25922. Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Besaran sampel tepung telur yang diambil, dihitung dengan menggunakan rumus pendugaan prevalensi berdasarkan kajian lintas seksional. Besaran sampel ditentukan pada tingkat kepercayaan 95% dihitung menggunakan persamaan menurut Budiharta (2002). Pengambilan sampel difokuskan pada importasi tepung telur yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta selama bulan Agustus 2014. Rumus penghitungan besaran sampel menurut Budiharta (2002): 4 PQ n= (L2) Keterangan: n=besaran sampel; P = asumsi prevalensi; Q = 1 – P dan L = besaran galat yang diinginkan Besaran sampel yang diperoleh dengan asumsi prevalensi 50% dan galat sebesar 10% pada tingkat kepercayaan 95% yaitu sejumlah 100 sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Besaran sampel yang diambil pada setiap tindakan pengambilan sampel dengan juga mempertimbangkan negara asal, perbedaan jenis tepung telur, dan batch produksi. Pengujian Cepat (Rapid Test) terhadap Sampel Tepung Telur Sampel tepung telur yang telah dikoleksi diuji menggunakan perangkat pengujian cepat (rapid test) komersial Salmonella/Enterobacteriaceae (RIDA ® COUNT Salmonella/ Enterobacteriaceae, r-biopharm, Jerman) untuk mengetahui ada tidaknya cemaran Salmonella spp dan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae lainnya. Sampel tepung telur yang digunakan dalam pengujian ini berasal dari suspensi sampel pre-enrichment (25 g tepung telur ditambahkan kedalam 225 mL BPW, diinkubasi 18-20 jam pada suhu 37°C) diteteskan pada permukaan lembaran pengujian rapid test Salmonella/Enterobacteriaceae. Pembacaan hasil pengujian dilakukan dengan memperhatikan perubahan warna yang timbul pada lembaran pengujian rapid test Salmonella/ Enterobacteriaceae dan dibandingkan dengan kontrol dan panduan pembacaan hasil. Isolasi dan Identifikasi E. coli Menggunakan Metode Kultur Pemeriksaan cemaran bakteri menggunakan metode kultur dilakukan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897:2008 tentang metode pengujian cemaran mikrob dalam daging, telur, dan susu serta hasil olahannya (BSN 2008). Metode isolasi dan identifikasi yang dilakukan merujuk pada prosedur isolasi dan identifikasi yang dilakukan terkait pengujian cemaran bakteri Salmonella spp pada bahan pangan. Pengujian cemaran dilakukan dengan modifikasi pada media yang digunakan pada tahapan pra-pengayaan. Medium yang digunakan pada tahapan prapengayaan diubah menggunakan buffered peptone water 0,1% (Musgrove et al., 2006). Prosedur yang dilakukan tetap dapat memungkinkan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae lainnya untuk tumbuh. Penentuan jenis bakteri secara presumptif didasarkan pada karakterisasi pertumbuhan bakteri pada media biakan selektif. Adapun pengujian yang dilakukan sebagai berikut: sebanyak 25 g sampel ditambahkan ke dalam 225 mL media pra-pengayaan BPW 0,1%, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37°C selama 18-20 jam. Sebanyak 1 mL larutan tersebut kemudian diambil untuk ditambahkan ke dalam 10 mL media selective enrichment RappaportVassiliadis (RV) dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu 42°C selama 24 jam. Sebanyak satu ose inokulum dari sampel yang telah diinkubasi 237 Kamil Riski Sidik, et al Jurnal Veteriner dalam media RV kemudian diinokulasikan pada media padat xylose lysine deoxycholate agar (XLD) dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh pada media XLD kemudian dikarakterisasi penampakan pertumbuhannya. Koloni yang tumbuh kemudian diisolasi dan diidentifikasi terhadap Salmonella dan E. coli berdasarkan reaksi biokimiawi pada media agar miring triple sugar iron agar (TSIA) dan lysine iron agar (LIA). Pengujian biokimiawi yang dilakukan kemudian dilanjutkan dengan pengujian untuk melihat gambaran pola reaksi IMViC (Indole, MethylRed, Voges–Proskauer, and Citrate test). Pengujian IMViC dilakukan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 2897:2008 tentang metode pengujian cemaran mikrob dalam daging, telur, dan susu serta hasil olahannya (BSN 2008). Sebelum dilakukan pengujian, koloni yang diduga sebagai E. coli terlebih dulu diinokulasikan pada media NA miring. Inokulum pada NA miring diinkubasi pada temperatur 35°C selama 18-24 jam sebelum dilakukannya uji biokimia. Uji indole dilakukan dengan menginokulasikan koloni dari tabung NA pada media TB. Inokulum kemudian diinkubasi pada temperatur 35°C selama 24±2 jam. Setelah masa inkubasi selesai, dilakukan penambahan 0,2 mL reagen Kovac. Hasil reaksi positif ditandai dengan terbentuknya cincin merah pada lapisan atas media. Hasil reaksi negatif ditandai dengan terbentuknya cincin kuning pada lapisan atas media. Uji Methyl-Red dilakukan dengan menginokulasikan koloni dari tabung NA ke tabung yang berisi 10 mL media MR-VP. Inokulum kemudian diinkubasi pada temperatur 35°C selama 48±2 jam. Setelah masa inkubasi selesai, 2-5 tetes larutan indikator MR ditambahkan ke dalam tabung. Hasil reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah muda eosin dalam kurun waktu maksimal dua jam. Uji Voges-Praskeur dilakukan dengan menginokulasikan koloni dari tabung NA ke tabung yang berisi 10 mL media MR-VP. Inokulum kemudian diinkubasi pada temperatur 35°C selama 48±2 jam. Setelah masa inkubasi selesai, 5 mL media MR-VP dipindahkan ke dalam tabung reaksi baru dan ditambahkan 0,6 mL larutan β-naphtol dan 0,2 mL KOH 40% kemudian digoyang-goyang. Hasil reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah muda eosin dalam kurun waktu maksimal dua jam. Uji sitrat dilakukan dengan menginokulasi koloni dari tabung NA pada media SCA. Inokulum kemudian diinkubasi pada temperatur 35°C selama 48±2 jam. Hasil reaksi positif ditandai dengan berubahnya warna media SCA dari hijau menjadi biru setelah masa inkubasi. Interpretasi hasil pengujian biokimia sebagai peneguhan identifikasi E. coli melalui pola hasil reaksi IMViC yang dihasilkan. Bakteri E. coli diklasifikasikan melalui hasil reaksi IMViC dengan pola + + - - atau - + - - (BSN 2008). Uji Kepekaan Isolat E. coli terhadap Antibiotik Pengujian kepekaan E. coli terhadap antibiotik dilakukan menggunakan metode difusi cakram (disc diffusion method) merujuk pada metode Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI 2012). Isolat bakteri yang berhasil diisolasi, diinokulasikan pada media padat nutrien agar miring. Setelah diperoleh biakan yang homogen, satu ose dari biakan tersebut dipindahkan ke dalam Triptic Soy Broth (TSB), kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam hingga menjadi keruh. Sebanyak 0,1-1,0 mL bakteri yang telah dibiakan dalam TSB kemudian disuspensikan ke dalam 9 mL BPW 0,1% dengan menggunakan vortex hingga kekeruhannya menyamai dengan 0,5 Mc Farland. Suspensi bakteri sebanyak 0,1 mL diinokulasikan secara merata pada Mueller-Hinton agar (MHA) padat dengan menggunakan hockey stick. Lempeng cakram kosong (blank disc) dan lempeng cakram antibiotik kemudian ditempelkan pada permukaan MHA padat yang sudah diinokulasi dengan isolat bakteri. Cawan petri berisi inokulum dan lempeng cakram pengujian resistensi antibiotik diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah diinkubasikan selama 24 jam, diameter daerah hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekitar cakram antibiotik diukur dengan penggaris dalam satuan millimeter. Isolat bakteri ditentukan kepekaannya terhadap antimikrob dengan mengukur zona hambat yang terbentuk. Penentuan susceptible (S), intermediate (I), dan resistant (R) ditentukan berdasarkan ukuran zona hambat yang terbentuk berdasarkan standar interpretasi diameter zona hambat antibiotik (CLSI, 2012). Analisis Data Hasil pengujian menggunakan perangkat rapid test dikaji hubungannya dengan hasil 238 Jurnal Veteriner Juni 2016 Vol. 17 No. 2 : 242-252 yang diperoleh dari pengujian menggunakan metode kultur. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk menggambarkan kejadian cemaran E. coli serta tingkat resistensi terhadap antibiotik. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian menggunakan perangkat uji cepat Salmonella/Enterobacteriaceae menunjukkan bahwa tidak terdapat sampel tepung telur yang menunjukkan reaksi positif terhadap Salmonella. Perangkat uji cepat yang digunakan menunjukkan hasil yang baik dalam mendeteksi adanya cemaran bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae, dalam hal ini adalah E. coli. Gambaran hasil pengujian menggunakan perangkat uji cepat Salmonella/ Enterobacteriaceae disajikan pada Gambar 1. Pertumbuhan koloni yang diduga E. coli pada media XLD disajikan pada Gambar 1. Koloni diduga E. coli kemudian diuji konfirmasi menggunakan uji biokimiawi berdasarkan pola IMViC. Gambaran hasil pengujian IMViC disajikan pada Gambar 2. Pemeriksaan cemaran bakteri menggunakan metode kultur menunjukkan terdapat empat sampel (4%) positif E. coli. Hasil isolasi dan identifikasi cemaran E. coli menggunakan metode kultur secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Proses produksi bahan olahan yang bersumber dari telur mencakup penerapan pemanasan pasteurisasi. Terdapat dua aspek penting yang ingin dicapai melalui perlakuan pasteurisasi. Aspek pertama adalah mengeliminasi sebanyak mungkin mikroorganisme yang mencemari telur. Aspek yang lain adalah menjaga komponen gizi yang dikandungnya khususnya protein tetap dalam kondisi yang baik (Nemeth et al., 2011). Pasteurisasi dalam proses produksi tepung telur umumnya dilakukan pada suhu 60-65°C dengan durasi 3– 6 menit. Proses kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi yang dilakukan pada suhu inlet 121– 145°C dan outlet 55–60°C. Perlakuan kemudian dilanjutkan dengan penyimpanaan pada ruang khusus dengan suhu hingga 70°C selama minimum dua jam untuk pasteurisasi produk olahan yang dihasilkan (MAF 2003). Setelah proses produksi selesai, masih dapat ditemukan adanya cemaran bakteri yang dapat bertahan dari proses pasteurisasi (Nemeth et al., 2011). Kondisi tersebut menjadi faktor penentu masih ditemukannya adanya cemaran E. coli pada tepung telur dalam penelitian ini. Kualitas mikrobiologi tepung telur sangat dipengaruhi oleh perlakuan pasteurisasi bahan baku yang digunakan dan kontrol yang baik terhadap sanitasi dalam proses produksi. Whole egg powder dan egg yolk powder umumnya melalui proses pasteurisasi saat masih dalam bentuk cair sebelum kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan. Kombinasi antara perlakuan pasteurisasi dan pemanasan pada proses pengeringan membuat tepung telur yang dihasilkan memiliki cemaran bakteri yang sangat rendah (Berquist, 1995). Bakteri E. coli menjadi salah satu mikroorganisme yang menyebabkan kejadian gastroenteritis pada manusia (Plym dan Wierup, 2006). Air dan makanan yang terkontaminasi feses hewan atau manusia karier merupakan sumber penyebaran bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae termasuk E. coli. Kontaminasi silang bakteri tersebut pada bahan pangan terjadi melalui orang yang menangani makanan, pemrosesan, kontaminasi peralatan, atau kontaminasi saat penyimpanan (Carraso et al., 2012; Murray et al., 2013). Terjadinya cemaran bakteri pada telur diasosiasikan dengan kondisi telur dengan cangkang yang retak atau kotor (Gast 2005). Bakteri E. coli Tabel 1. Hasil pengujian Escherichia coli menggunakan metode kultur berdasarkan negara asal dan jenis tepung telur Asal negara Jenis tepung telur Jumlah sampel Jumlah sampel positif E. coli Ukraina India 30 40 30 100 Whole egg powder Whole egg powder Egg Yolk Powder Total 239 1 (3,3%) 2 (5,0%) 1 (3,3%) 4 (4,0%) Kamil Riski Sidik, et al Jurnal Veteriner Gambar 1. Gambaran pengujian cemaran Escherichia coli pada sampel tepung telur. (a) Gambaran hasil pengujian menggunakan rapid test; (b) Gambaran pertumbuhan koloni bakteri diduga E. coli pada media xylose lysine deoxycholate agar (XLDA) Gambar 2. Gambaran hasil pengujian biokimiawi Indole, Methyl-Red, Voges–Proskauer, and Citrate test (IMViC) pada koloni diduga Escherichia coli. (a) Hasil uji citrate; (b) Hasil uji indole; (c) Hasil uji methyl-red; dan (d) Hasil uji Voges-Proskauer Gambar 3. Gambaran hasil pengujian resistensi antibiotik pada isolat E. coli yang diperoleh dari sampel tepung telur. 240 Jurnal Veteriner Juni 2016 Vol. 17 No. 2 : 242-252 secara alami merupakan flora normal yang hidup dalam sistem pencernaan unggas. Bakteri ini dilaporkan ditemukan pada permukaan cangkang telur yang belum dibersihkan dan kemudian dapat terbawa ke dalam proses produksi pengolahan telur (Furtula et al., 2010; Oh et al., 2011; Jones et al., 2012). Pengujian resistensi antibiotik dilakukan terhadap 10 jenis antibiotik dari lima golongan yang berbeda. Gambaran hasil pengujian resistensi antibiotik koloni E. coli yang berhasil diisolasi disajikan pada Gambar 3. Hasil pengujian resistensi antibiotik menunjukkan isolat E. coli yang berhasil dideteksi secara umum memiliki resistensi terhadap enam jenis antibiotik dengan 75% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Data hasil pengujian resistensi antibiotik terhadap isolat yang berhasil dideteksi dan diisolasi dari sampel tepung telur impor yang diuji disajikan pada Tabel 2. Selain menunjukkan hasil resisten, terdapat isolat bakteri yang menunjukkan hasil pengujian berupa tingkat penghambatan intermediet. Pengujian terhadap isolat E. coli menunjukkan terdapat reaksi intermediet pada dua isolat (40%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada minimal satu jenis antibiotik. Hasil pengujian resistensi antibiotik terhadap isolat bakteri yang memberikan hasil intermediet disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, secara umum terlihat bahwa isolat E. coli resisten terhadap antibiotik golongan βlactam. Seluruh isolat E. coli menunjukkan resistensi terhadap oxacillin. Oxacillin merupakan generasi pertama antibiotik golongan penicillin dengan spesifikasi khusus memiliki kemampuan untuk bertahan dari enzim βlactamase yang dapat diproduksi oleh beberapa jenis bakteri. Penggunaan antibiotik dari kelompok tersebut diindikasikan pada infeksi yang terjadi oleh bakteri yang memiliki kemampuan memproduksi enzim β-lactamase. Resistensi isolat E. coli dalam pengujian ini mungkin karena oxacillin memiliki sifat yang sangat lipophilic sehingga sulit untuk menembus dinding sel bakteri jenis E. coli (Tettey, 2011). Penggunaan antibiotik yang semakin intensif khususnya dalam bidang peternakan memunculkan potensi masalah baru yang akan berdampak sangat besar khususnya dalam hal resistensi antibiotik (Bywater 2005; Ho et al., 2011). Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya indikasi terjadinya resistensi antibiotik pada E. coli baik yang diisolasi dari manusia maupun yang berasal dari hewan ternak (Bywater et al., 2004; Nys et al., 2004; Trobos et al., 2009; Seputiene et al., 2010; Hu et al., 2013). Terjadinya resistensi antibiotik pada E. coli mengakibatkan kita tidak mudah dalam memilih antibiotik yang dapat digunakan dalam penanganan infeksi akibat E. coli. Keterbatasan ini tentunya tidak terbatas hanya pada penanganan pada hewan, tetapi juga penanganan infeksi E. coli pada manusia. Infeksi oleh E. coli yang bersifat zoonosis, semakin diperparah oleh adanya kemampuan bakteri tersebut untuk bertahan terhadap antibiotik yang umum digunakan (Phillips et al., 2004; Manges dan Johnson, 2012). Laporan-laporan penelitian menggambarkan bahwa resistensi yang dihasilkan oleh E. coli secara konsisten paling tinggi terjadi pada jenis antibiotik yang telah lama digunakan pada manusia dan hewan. Pada dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan kejadian dan penyebaran bakteri yang bersifat resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotik. Peningkatan kejadian resistensi juga terjadi pada jenis antibiotik yang lebih baru seperti pada golongan fluoroquinolon dan beberapa jenis dari golongan sefalosporin (Bywater et al., 2004; Tabel 2. Hasil pengujian bakteri Escherichia coli (n=4) yang resisten terhadap antibiotik dengan kategori resisten dan intermediet Jumlah isolat yang resisten berdasarkan jenis antibiotik Kategori Resisten Intermediet AMP AMC OX CN K KF FOX CTX NA T 2 2 1 1 4 0 0 0 0 0 2 0 3 0 0 0 0 0 2 0 Keterangan: AMP : ampisilin; AMC : amoxicillin-clavulanic acid; OX : oxacillin; CN : gentamicin; K : kanamycin; KF : cephalotin; FOX : cefoxitin; CTX : cefotaxim; NA : nalidixic acid; T : tetracyclin 241 Kamil Riski Sidik, et al Jurnal Veteriner Seputiene et al., 2010; Tadesse et al., 2012). Gambaran tersebut dapat pula terlihat pada hasil pengujian resistensi antibiotik yang ditunjukan oleh isolat E. coli yang diuji. Isolat E.coli yang diperoleh menunjukkan resistensi pada seluruh antibiotik golongan β-lactam serta antibiotik golongan tetrasiklin. Isolat E. coli yang diperoleh juga menunjukkan resistensi terhadap jenis antibiotik yang lebih baru yaitu cephalotin dan cefoxitin dari golongan sefalosporin. Salah satu faktor yang berperanan dalam timbulnya resistensi antibiotik pada bakteri adalah pemanfaatan senyawa antibiotik sebagai bahan imbuhan pakan (Roe dan Pillai, 2003; Bonnet et al., 2009). Praktek penggunaan senyawa antibiotik sebagai bahan imbuhan pakan memicu terjadinya perubahan flora normal dalam saluran pencernaan. Perubahan yang terjadi termasuk munculnya sifat resistensi pada mikrob. Penggunaan imbuhan pakan dalam bentuk senyawa antimikrob pada akhirnya membuat mikrob yang bersifat resisten dapat bertahan hidup dan mencemari lingkungan. Kondisi serupa terjadi pada E. coli yang hidup dalam saluran cerna unggas (Furtula et al., 2010). Bakteri E. coli yang memiliki resistensi terhadap senyawa antibiotik akhirnya dikeluarkan dari tubuh unggas dan mencemari lingkungan. Bentuk cemarannya di antaranya adalah kontaminasi pada telur yang diproduksi. Melalui mekanisme inilah E. coli dengan sifat resistensi terhadap antibiotik dapat mencemari telur yang digunakan untuk konsumsi maupun untuk keperluan produksi bahan pangan. SIMPULAN Terdapat cemaran E. coli pada tepung telur yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tingkat kejadian cemaran E. coli mencapai 4% pada sampel tepung telur impor yang diuji. Isolat E. coli yang berhasil dideteksi dan diisolasi resisten terhadap beberapa jenis antibiotik. Isolat E. coli memiliki resistensi terhadap enam jenis antibiotik dengan 75% isolat memiliki resistensi terhadap minimal tiga jenis antibiotik. Isolat E. coli menunjukkan resistensi intermediet pada dua isolat (40%) dengan masing-masing isolat memberikan reaksi intermediet pada minimal satu jenis antibiotik. SARAN Pemerintah selayaknya menerbitkan pedoman dan standar yang akan digunakan dalam pengawasan sanitasi produk dan tata laksana impor serta perdagangan produk tepung telur. Pihak importir harus mempertimbangkan prinsip good manufacturing process dalam memilih produsen asal tepung telur yang akan diimpor. Penggunaan produk tepung telur pada tingkatan industri maupun konsumen sebaiknya tetap melalui proses pasteurisasi untuk menekan risiko adanya cemaran bakteri patogen. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada: Badan Karantina Pertanian, atas kesempatan berharga yang telah diberikan. Kepada Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dan pihak-pihak terkait dalam pelaksanan penelitian terkait pengambilan data dan sampel. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dengan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [BBKP Tanjung Priok] Balai Besar karantina Pertanian tanjung Priok. 2014. Laporan Tahunan BBKP Tanjung Priok 2013. Jakarta (ID): BBKP Tanjung Priok. Berquist DH. 1995. Egg Dehydration. Di dalam: Stadelman WJ, Coterril OJ, editor. Egg Science and Technology, 4th Ed. New York (US): Food Product Pr. Hlm. 335-376. Bonnet C, Diarrassouba F, Brousseau R, Masson L, Topp E, Diarra MS. 2009. Pathotype and Antibiotic Resistance Gene Distributions of Escherichia coli Isolates from Broiler Chickens Raised on AntimicrobialSupplemented Diets. Appl Environ Microbiol 75(22): 6955-6962. 242 Jurnal Veteriner Juni 2016 Vol. 17 No. 2 : 242-252 Botka-Petrak K, Petrak T, Medic H, Novakovic P. 2000. Bacteriological contamination of egg products after thermal preservation processes. Acta Aliment Hung 29: 315-322. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2897:2008. Tentang Metode Pengujian Cemaran Mikrob Dalam Daging, Telur, dan Susu Serta Hasil Olahannya. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. Budiharta S. 2002. Kapita Selecta Epidemiologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM. Bywater RJ. 2005. Identification and surveillance of antimicrobial resistance dissemination in animal production. Poult Sci 84: 644-468. Bywater R, Deluyker H, Deroover E, de Jong A, Marion H, McConville M, Rowan T, Shryock T, Shuster D, Thomas V, Valle M, Walters J. 2004. A European survey of antimicrobial susceptibility among zoonotic and commensal bacteria isolated from food-producing animals. J Antimicrob Chemother 54: 744754. Carraso E, Morales-Rueda A, García-Gimeno RM. 2012. Cross-contamination and recontamination by Salmonella in foods: a review. Food Res Int 45: 545-556. [CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2012. Performance Standarts for Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty Second Informational Supplemant. West Valley (US): Clinical and Laboratory Standards Institute. De Jong A, Thomas V, Simjee S, Godinho K, Schiessl B, Klein U, Butty P, Valle M, Marion H, Shryock TR. 2012. PanEuropean monitoring of susceptibility to human-use antimicrobial agents in enteric bacteria isolated from healthy foodproducing animals. J Antimicrob Chemother 67: 638-651. Diarra, MS, Silversides FG, Diarrasouba F, Pritchard J, Masson L, Brousseau R, Bonnet C, Delaquis P, Bach S, Skura BJ, Topp E. 2007. Impact of feed supplementation with antimicrobial agents on growth performance of broiler chickens, Clostridium perfringens and Enterococcus counts, and antibiotic resistance phenotypes and distribution of antimicrobial resistance determinants in Escherichia coli isolates. Appl Environ Microbiol 73: 6566–6576. Fortini D, Fashae K, Garcýa-Fernandez A, Villa L, Carattoli A. 2011. Plasmid-mediated quinolone resistance and â-lactamases in Escherichia coli from healthy animals from Nigeria. J Antimicrob Chemother 66: 12691272. Furtula V, Farrell EG, Diarrassouba F, Rempel H, Pritchard J, Diarra MS. 2010. Veterinary pharmaceuticals and antibiotic resistance of Escherichia coli isolates in poultry litter from commercial farms and controlled feeding trials. Poult Sci 89: 180188. Gast RK. 2005. Bacterial Infection of Eggs. Dalam: GC Mead, editor. Food Safety Control in The Poultry Industry. Cambridge (UK): Woodhead Publishing Ltd. Hlm. 1-20. Grizard S, Dini-Andreote F, Tieleman BI, Salles JF. 2014. Dynamics of bacterial and fungal communities associated with eggshells during incubation. Ecol Evol 4(7): 11401157. Ho PL, Chow KH, Lai EL, Lo WU, Yeung MK, Chan J, Chan PY, Yuen KY. 2011. Extensive dissemination of CTX-Mproducing Escherichia coli with multidrug resistance to ‘critically important’ antibiotics among food animals in Hong Kong, 2008– 10. J Antimicrob Chemother 66: 765-768. de Verdier K, Nyman A, Greko C, Bengtsson B. 2012. Antimicrobial resistance and virulence factors in Escherichia coli from Swedish dairy calves. Acta Vet Scand 54: 2. Hu GZ, Pan YS, Wu H, Hu H, Xu R, Yuan L, Liu JH, Feng JK. 2013. Prevalence of tetracycline resistance genes and identification of tet(M) in clinical isolates of Escherichia coli from sick ducks in China. J Med Microbiol 62: 851-858. Dhanarani TS, Shankar C, Park J, Dexilin M, Kumar RR, Thamaraiselvi K. 2009. Study on acquisition of bacterial antibiotic resistance determinants in poultry litter. Poult Sci 88: 1381-1387. Jin T, Zhang H, Boyd G, Tang J. 2008. Thermal resistance of Salmonella enteritidis and Escherichia coli K12 in liquid egg determined by thermal-death-time disks. J Food Eng 84: 608-614 243 Kamil Riski Sidik, et al Jurnal Veteriner Jones DR, Anderson KE, Guard JY. 2012. Prevalence of coliforms, Salmonella, Listeria, and Campylobacter associated with eggs and the environment of conventional cage and free-range egg production. Poult Sci 91: 1195-1202. Kluytmans JAJW, Overdevest ITMA, Willemsen I, Kluytmans-van den Bergh MFQ, van der Zwaluw K, Heck M, Rijnsburger M, Vandenbroucke-Grauls CMJE, Savelkoul PHM, Johnston BD, Gordon D, Johnson JR. 2013. Extended-Spectrum â-Lactamase– Producing Escherichia coli From Retail Chicken Meat and Humans: Comparison of Strains, Plasmids, Resistance Genes, and Virulence Factors. Clin Infect Dis 56(4): 478487. Liebana E, Carattoli A, Coque TM, Hasman H, Magiorakos AP, Mevius D, Peixe L, Poirel L, Schuepbach-Regula G, Torneke K, Torren-Edo J, Torres C, Threlfall J. 2013. Public Health Risks of Enterobacterial Isolates Producing Extended-Spectrum âLactamases or AmpC â-Lactamases in Food and Food-Producing Animals: An EU Perspective of Epidemiology, Analytical Methods, Risk Factors, and Control Options. Clin Infect Dis 56(7): 1030-1037. Machado E, Coque TM, Canton R, Sousa JC, Peixe L. 2008. Antibiotic resistance integrons and extended-spectrum âlactamases among Enterobacteriaceae isolates recovered from chickens and swine in Portugal. J Med Microbiol 62: 296-302. [MAF] Biosecurity Authority, Ministry of Agriculture and Forrestry, Wellington, New Zealand. 2003. Import Risk Analysis: Belovo Eggs Powder. Wellington (NZ): Ministry of Agriculture and Forrestry. Manges AR, Johnson JR. 2012. Food-Borne origins of Escherichia coli causing extraintestinal infections. Clin Infect Dis 55(5): 712-9. Murray D, Feldman C, Lee L, Schuckers C. 2013. An exploratory study of food safety and food handling: Examining ready-to-eat foods in independent delicatessen operations. Adv Biosci Biotechnol 4: 430-436. Musgrove MT, Jones DR, Northcutt JK, Cox NA, Harrison MA, Fedorka-Cray PJ, Ladely SR. 2006. Antimicrobial Resistance in Salmonella and Escherichia coli isolated from commercial shell eggs. Poult Sci 85: 1665–1669. Németh C, Mráz B, Friedrich L, Suhajda A, Janzsó B, Balla C. 2011. Microbiological measurements for the development of a new preservation procedure for liquid egg. Czech J Food Sci 29: 569-574. Nys N, Okeke IN, Kariuki S, Dinant GJ, Driessen C, Stobberingh EE. 2004. Antibiotic resistance of faecal Escherichia coli from healthy volunteers from eight developing countries. J Antimicrob Chemother 54: 952955. Oh JY, Kang MS, Kim JM, An BK, Song EA, Kim JY, Shin EG, Kim MJ, Kwon JH, Kwon YK. 2011. Characterization of Escherichia coli isolates from laying hens with colibacillosis on 2 commercial egg-producing farms in Korea. Poult Sci 90: 1948-1954. Phillips I, Casewell M, Cox T, De Groot B, Friis C, Jones R, Nightingale C, Preston R Waddell J. 2004. Does the use of antibiotics in food animals pose a risk to human health? A critical review of published data. J Antimicrob Chemother 53: 28-52 Plym FL, Wierup M. 2006. Salmonella contamination; a significant challenge to the global marketing of animal food Products. Rev Sci Tech Int Epiz 25(2): 541-554. Roe MT, Pillai SD. 2003. Monitoring and identifying antibiotic resistance mechanisms in bacteria. Poult Sci 82: 622–626. Sahoo KC, Tamhankar AJ, Sahoo S, Sahu PS, Klintz SR, Lundborg CS. 2012. Geographical Variation in Antibiotic-Resistant Escherichia coli Isolates from Stool, CowDung and Drinking Water. Int J Environ Res Public Health 9: 746-759. Seputiene V, Povilonis J, Ruzauskas M, Pavilonis A, Suziedeliene E. 2010. Prevalence of trimethoprim resistance genes in Escherichia coli isolates of human and animal origin in Lithuania. J Med Microbiol 59: 315-322. Shakya P, Barrett P, Diwan V, Marothi Y, Shah H, Chhari N, Tamhankar AJ, Pathak A, Lundborg CS. 2013. Antibiotic resistance among Escherichia coli isolates from stool samples of children aged 3 to 14 years from Ujjain, India. BMC Infect Dis 13: 477. 244 Jurnal Veteriner Juni 2016 Vol. 17 No. 2 : 242-252 Tadesse DA, Zhao S, Tong E, Ayers S, Singh A, Bartholomew MJ, McDermott PF. 2012. Antimicrobial Drug Resistance in Escherichia coli from Humans and Food Animals, United States, 1950–2002. Emerg Infect Dis 18(5): 741-749. Trobos M, Lester CH, Olsen JE, Frimodt-Møller N, Hammerum AM. 2009. Natural transfer of sulphonamide and ampicillin resistance between Escherichia coli residing in the human intestine. J Antimicrob Chemother 63: 80-86. Tettey JNA. 2011. Antimicrobial Chemotherapy, Antibiotics. Dalam: Watson DG, editor. Pharmaceutical Chemistry. Edinburg (UK). Churchill-Livingstone, Elsevier. Hlm. 449472. Venturini C, Beatson SA, Djordjevic SP, Walker MJ. 2010. Multiple antibiotic resistance gene recruitment onto the enterohemorrhagic Escherichia coli virulence plasmid. FASEB J 24: 1160-1166. 245