Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Jurnal Wacana Kinerja Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 DOI : 10.31845/jwk.v26i2.844 p-issn : 1411-4917; e-issn : 2620-9063 http://jwk.bandung.lan.go.id Etika Pemerintahan dalam Optimalisasi Regulasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Government Ethics in Optimizing the Regulation of State Officials Wealth Reports Shofi Siti Sholihah1, Qothrunnada², Frida Nur Oktaviani3 dan Idil Akbar4 1,2,3,4 Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor, Kab. Sumedang, Jawa Barat, Indonesia Telp. 022-84288888 dan Fax. 022-84288898 (Diterima 06/07/23; Direvisi 03/10/23; Disetujui 06/10/23) Abstract LHKPN is one form of realization of ideal government ethics. It’s because government ethics sees that in state administration, regulation is needed so that the duties and functions of the service can be fulfilled. However, the level of compliance with wealth reporting has only reached the level of transparency and does not yet indicate the validity of the report. Apart from that, regulations that are less strict in providing administrative sanctions to violators are something that needs attention. This research uses a qualitative descriptive research methode, aims to find out how the ideal conditions compare with the reality of reporting state administrators' assets and to find out what the government must do so that the LHKPN can be implemented well. Apart from the implementation of LHKPN which is not running well, this research explains several things that the government must do to improve state administrators who comply with LHKPN. Keywords: government, regulation, ethics, LHKPN, corruption. Abstrak LHKPN menjadi salah satu bentuk dari perwujudan etika pemerintahan yang bersifat ideal. Hal ini karena etika pemerintahan melihat bahwa dalam penyelenggaraan negara, pengaturan diperlukan agar tugas dan fungsi pelayanan dapat terpenuhi. Akan tetapi, tingkat kepatuhan terhadap pelaporan harta pun baru hanya mencapai tingkat transparansi, belum memberi petunjuk terhadap validitas laporan. Disamping itu, peraturan yang kurang tegas dalam memberikan sanksi administrasi kepada pelanggar menjadi hal yang perlu diperhatikan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara kondisi ideal dengan realita pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara serta untuk mengetahui apa yang harus dilakukan pemerintah untuk agar LHKPN dapat diimplementasikan dengan baik. Di samping penyelenggaraan LHKPN yang belum berjalan dengan baik, penelitian ini menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penyelenggara negara yang patuh LHKPN. Kata Kunci: pemerintah, regulasi, etika, LHKPN, korupsi. 1 Email: shofi20005@mail.unpad.ac.id Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 157 Jurnal Wacana Kinerja 1. PENDAHULUAN Perbincangan mengenai harta kekayaan pejabat publik merupakan isu yang menarik dan cukup sensitif di kalangan masyarakat. Dalam konteks ekonomi, harta dapat diartikan sebagai keseluruhan nilai aset milik individu atau masyarakat, yang didalamnya meliputi sumber daya keuangan, properti, dan aset lain, baik yang berwujud, maupun tidak berwujud (Brady, 2015). Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dijelaskan bahwa, “Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud”. Harta kekayaan seorang pejabat publik bisa berasal dari banyak hal, salah satunya pendapatan atau gaji yang ia dapatkan. Realita bahwa gaji pejabat publik bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang mana APBN sendiri bersumber dari pendapatan pajak dan nonpajak, menjadikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) bertanggung jawab secara tidak langsung terhadap uang masyarakat pembayar pajak. Selain itu, pekerjaan para pejabat publik yang melibatkan aktivitas pengelolaan dan penggunaan anggaran negara juga memerlukan pertanggungjawaban yang tinggi karena sangat berisiko untuk memungkinkan terjadinya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kondisi tersebut menuntut pejabat publik untuk melakukan pekerjaannya secara jujur dan transparan sesuai dengan aturan hukum dan standar operasional yang berlaku. Hal tersebut selaras dengan konsep etika pemerintahan yang berkaitan dengan isu-isu kejujuran dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan (Ismail, 2017a). Keterkaitan antara etika dengan isu kejujuran dan transparansi menyebabkan keterlibatan etika pemerintahan dengan isu-isu seperti penyuapan, korupsi, dan pencucian uang. Dalam hal ini, prinsip transparansi dapat menjadi upaya pemberantasan korupsi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya secara terbuka, agar setiap bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh masyarakat. Selain itu, akuntabilitas dan transparansi yang tercermin melalui beban pelaporan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara juga dapat menjadi bentuk pencegahan terhadap tindak pencucian uang (Darwin, 2012). Maka dari itu, eksistensi dari sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan bentuk tindakan yang tepat sebagai upaya preventif terhadap tindak korupsi dan pencucian uang. Di Indonesia, kebijakan mengenai pelaporan harta kekayaan ini telah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, ketentuannya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada masa itu, pelaporan kekayaan penyelenggara negara masih dilakukan secara konvensional oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara atau yang disebut juga sebagai Komisi Pemeriksa. Tujuan utama pelaporan kekayaan adalah untuk mencegah tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saat ini, pelaporan kekayaan dilaksanakan melalui ketentuan dalam Peraturan Komisi Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Penyampaian laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dilakukan secara elektronik melalui e-lhkpn pada laman resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan Peraturan KPK No. 2 Tahun 2020, pelaporan LHKPN disampaikan kepada KPK secara elektronik berdasarkan tahun anggarannya dan pemberitahuan melalui e-mail akan diberikan kepada Penyelenggara Negara (PN) atau Wajib LHKPN (WL). Pertama, para penyelenggara negara atau wajib LHKPN harus melakukan pendaftaran akun pada lama e-lhkpn. Apabila pihak terkait sudah memiliki akun, dilanjutkan dengan log in. Kedua, PN dan WL harus mengisi modul e-filling pada laman tersebut. Setelah modul selesai diisi, 158 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar maka formulir tersebut harus dikirim dan akan melalui proses verifikasi selama maksimal 60 hari kerja. Apabila dokumen dinyatakan lengkap, PN dan WL akan diberikan tanda terima. Sedangkan dokumen yang belum lengkap akan diberikan kembali untuk perbaikan selama maksimal 30 hari kalender yang kemudian dikirim dan diverifikasi kembali. Apabila PN atau WL tidak memperbaiki dokumen tersebut, maka dokumen akan dikembalikan ke draft dengan status belum lapor atau tidak patuh. Dalam tujuan idealnya, seharusnya LHKPN dapat menjadi suatu bentuk upaya preventif terhadap pencegahan kasus korupsi. Namun, dalam realitanya, alih-alih menjadi upaya pencegahan, LHKPN justru lebih sering menjadi bukti untuk mengungkap kasus korupsi yang telah terjadi. Data dari KPK menunjukkan bahwa pada periode tahun 2019 – 2022, tercatat terdapat 1.635 LHKPN yang diperiksa. Dari data tersebut, terdapat sekitar 25% dari jumlah keseluruhannya atau sebanyak 411 laporan hasil pemeriksaan atas dasar permintaan dan inisiatif yang dilanjutkan ke area penindakan, yang mencakup penyelidikan, penyidikan, dan pelacakan aset (Sulistyo et al., 2023). Selain itu, tercatat bahwa terdapat 13.885 pejabat dan pegawai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang belum menyampaikan LHKPN dari jumlah keseluruhan sebanyak 32.191 orang (CNN Indonesia, 2023a). Terungkapnya data pejabat dan pegawai di Kemenkeu yang belum menyampaikan LHKPN berawal dari kasus pencucian uang yang dilakukan oleh Rafael Alun mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Menurut keterangan yang diberikan oleh KPK, Rafael Alun diduga belum melaporkan sejumlah aset yang dimilikinya dalam LHKPN, termasuk kendaraan dan rumah mewah (CNN Indonesia, 2023b). Berbagai kasus yang telah terjadi tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak celah dalam implementasi LHKPN dan rendahnya tingkat kepatuhan pejabat publik terhadap aturan yang berlaku. Kepatuhan terjadi saat semua aktivitas dilaksanakan dengan taat sesuai dengan kebijakan, peraturan, ketentuan, dan undang-undang yang berlaku (Ingnuan & Lutfi, 2018). Dengan kata lain, para pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, pencucian uang, dan tidak melaporkan LHKPN merupakan pejabat publik yang tidak taat pada kebijakan atau peraturan saat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Hal tersebut tentu saja telah mengabaikan eksistensi dari etika pemerintahan dan dapat menghambat penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain masalah yang timbul dari faktor internal pejabat publik, aturan mengenai kewajiban LHKPN juga belum berjalan dengan maksimal. Implementasi LHKPN belum berhasil mencapai tujuan awalnya dalam mencegah korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara publik karena sanksi yang kurang jelas dan lemahnya penegakan sanksi. Oleh karena itu, baik kesadaran moralitas ASN, maupun penguatan aturan dan penegakan sanksi mengenai LHKPN perlu mendapatkan perbaikan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan antara kondisi ideal dengan realita di lapangan terkait sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara, supaya dapat diketahui perbaikan-perbaikan apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait dengan LHKPN. Dengan demikian, apabila LHKPN dapat diimplementasikan secara ideal, maka diharapkan kepatuhan pejabat publik terhadap penyampaian LHKPN dan pencegahan terhadap kasus korupsi menjadi optimal. 2. TINJAUAN TEORETIS DAN PENELITIAN SEBELUMNYA Etika pemerintahan adalah sebuah etika terapan yang mengkaji mengenai manajemen tata kelola pemerintah (Ismail, 2017a). Etika pemerintahan juga dapat diartikan sebagai ajaran moral yang mendorong pemerintah beserta aparaturnya supaya bertingkah laku baik dan benar berdasarkan nilai-nilai keutamaan yang berkaitan dengan hakikat manusia (Sutmasa, 2020). Eksistensi dari etika dan moral ini sangat diperlukan dalam pemerintahan. Dengan Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 159 Jurnal Wacana Kinerja adanya etika dan kesadaran moral pada diri pejabat publik, maka kejujuran, kebenaran, dan keadilan dapat terwujud. Sehingga tata kelola pemerintahan akan berjalan lebih baik. Salah satu wujud dari etika pemerintahan tertuang dalam bentuk kode etik Aparatur Sipil Negara (ASN), adanya kode etik ini dapat menjadi rambu-rambu atau pedoman bagi ASN dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa etika pemerintahan ini berkaitan juga dengan hak dan kewajiban ASN. Salah satu kewajiban ASN yang berkaitan dengan harta kekayaan adalah kewajiban ASN untuk melaporkan harta kekayaannya, yang selanjutnya disebut dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN). Berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, laporan LHKPN merupakan laporan yang berbentuk dokumen, baik berbentuk konvensional maupun elektronik yang berisi informasi mengenai harta kekayaan, data pribadi, penerimaan, pengeluaran, dan data lainnya yang berkaitan dengan harta kekayaan penyelenggara negara. Kebijakan LHKPN dapat mendorong para pejabat publik untuk taat pada hukum, berperilaku jujur, dan bertanggung jawab. Selain itu, LHKPN juga dapat menjadi sebuah bentuk upaya preventif terhadap tindakan pelanggaran hukum seperti korupsi di lingkungan pemerintahan, meskipun termasuk ke dalam bentuk upaya yang memiliki level paling rendah karena hanya berakhir pada sanksi administratif (Suryono, 2017). Seluruh penyelenggara negara, yang di dalamnya termasuk pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pejabat publik yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, wajib memberikan LHKPN. Kewajiban tersebut dilaksanakan pada saat diangkat menjadi pejabat publik, pada saat masih menjabat, hingga pada saat berakhirnya masa jabatan. Ketika seorang ASN atau pejabat publik masih menjabat, LHKPN wajib disampaikan setiap satu tahun sekali, dengan batas maksimal pada tanggal 31 Maret. Terhitung sejak tahun 2017 sampai saat ini, pengisian LHKPN telah dilakukan dengan metode pengisian formulir atau dokumen elektronik secara daring melalui laman resmi elhkpn.kpk.go.id. atau melalui aplikasi e-LHKPN. Tindak lanjut dari upaya pencegahan kasus korupsi juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, bagian dari tugas pencegahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah melaksanakan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN. Sehingga KPK dapat melakukan tindak lanjut apabila terdapat dugaan ketidaksesuaian antara harta kekayaan yang tercatat dalam LHKPN dengan harta yang sebenarnya. Sebagai seorang pejabat publik yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan roda pemerintahan, sudah semestinya ASN dapat menegakkan prinsip-prinsip integritas dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, sehingga tidak mudah untuk lalai dan melakukan tindakan yang melanggar hukum atau peraturan, seperti korupsi (M & Kandar, 2022). Salah satu penelitian yang relevan dengan kajian etika pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah penelitian yang dilakukan oleh Y. Gede Sumatsa pada tahun 2019, penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan fungsi, peran ASN dalam penyelenggaraan negara, faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pada perilaku ASN, dan tindakan yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan perilaku etis pada ASN. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ASN memiliki peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. ASN berperan dalam membantu menjalankan roda pemerintahan. Mulai dari melaksanakan kebijakan, memberikan pelayanan, hingga menjadi 160 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar perekat dan pemersatu bangsa. Lebih lanjut, diketahui bahwa elemen-elemen pokok yang memengaruhi keberhasilan dari etika dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah etos kerja, moralitas pribadi, mutu kepemimpinan, dan situasi-situasi sistemik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk menegakkan etika ASN adalah menerapkan disiplin dan memberlakukan sanksi yang tegas serta jelas terhadap pelanggaran kode etik oleh ASN. Kode etik ASN melarang praktikpraktik yang bertujuan hanya untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok, dengan ancaman berupa sanksi mulai dari pemberhentian tidak dengan hormat hingga bentuk hukuman lainnya (Maheswara, 2022). Korupsi merupakan salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri atau kelompok, sehingga dalam hal ini, kode etik juga dapat berperan untuk mencegah kasus korupsi. Oleh karenanya, diperlukan disiplin dan sanksi yang tegas supaya dapat mencegah korupsi serta memberikan efek jera bagi ASN yang melakukan pelanggaran kode etik. Selain itu, penelitian lainnya yang relevan dengan batasan masalah dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Harmono, dkk., pada tahun 2020 mengenai kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi pejabat negara beserta kendala dan solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perkembangan dalam sistem penyampaian LHKPN dari yang sebelumnya dilakukan secara konvensional menjadi berbasis elektronik (Harmono et al., 2020). Kendala yang timbul dari pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara adalah minimnya sosialisasi terhadap instansi-instansi, padahal pemahaman mengenai kewajiban LHKPN ini sangat penting bagi ASN yang berada di instansi-instansi tersebut. Selain itu, jumlah pegawai yang mengurus perihal administrasi terkait LHKPN tidak sebanding dengan tugas dan beban kerja yang diterima. Menurut Harmono, solusi yang perlu dilakukan dari permasalahan yang timbul tersebut adalah melakukan sosialisasi mengenai kewajiban penyampaian LHKPN secara terstruktur dan berkelanjutan. Solusi lainnya adalah menambah jumlah pegawai yang mengurus urusan administrasi terkait LHKPN. Kedua penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki relevansi dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, tetapi dalam penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada tiga hal, yaitu kondisi ideal dari LHKPN dari perspektif etika pemerintahan dan regulasi yang berlaku, implementasi LHKPN di Indonesia, dan tindakan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kendala atau permasalahan berkaitan dengan LHKPN. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif. Pendekatan ini dilakukan agar peneliti mendapatkan gambaran secara utuh tentang Etika Pemerintahan dalam Rangka Optimalisasi Regulasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Selain itu, pendekatan kualitatif dipakai agar data yang dikumpulkan dapat dianalisis secara detail dan mendalam. Penelitian kualitatif merupakan tahapan kegiatan penelitian dengan hasil akhir penelitian berupa data deskriptif (Abdussamad, 2021). Penelitian kualiatif memiliki sifat deskriptif. Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam penelitian ini fenomena yang dilihat ataupun diamati oleh peneliti dideskripsikan dengan memperlihatkan juga bukti. Dalam mendeskripsikan fenomena atau memaknai data, kemampuan serta ketajaman peneliti dalam menganalisis hal tersebut sangat ketergantungan (Abdussamad, 2021). Jadi, metode penelitian kualitatif-deskriptif ini menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. I Made Winartha (2006) dalam Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 161 Jurnal Wacana Kinerja (Lindawati & Hendri, 2016) menyebutkan mengenai metode deskriptif-kualitatif sebagai metode untuk menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti yang terjadi di lapangan. Metode penelitian kualitatif berarti cenderung menghasilkan data berupa kata-kata. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif-deskriptif didapatkan baik melalui data primer maupun data sekunder. Selain itu, teknik pengumpulan data sebagaimana menurut Cresswell (2009) dalam (Supratiknya, 2015) bahwa dalam penelitian kualitatif umumnya menggunakan observasi, wawancara, dokumen, dan materi. Berdasarkan hal tersebut, sumber data dalam penelitian yang dilakukan ini berdasarkan dengan data sekunder. Data sekunder ini berupa baik dokumen peraturan perundang-undangan maupun dokumen seperti artikel yang diambil terkait dengan fenomena atau kasus yang dipilih (Abdussamad, 2021). Dapat dikatakan bahwa pengumpulan data sekunder ini melalui studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan cara melakukan pehamanan dan melakukan pembelajaran melalui teori dari berbagai macam literatur yang berkaitan dengan penelitian (Adlini et al., 2022). Dalam penelitian, diperlukan teknik analisis data agar data yang didapatkan tersusun sistematis. Analisis data merupakan suatu kegiatan pencarian dan penyusunan data secara sistematis yang telah diperoleh dari pengumpulan data yang ditentukan dengan cara mengelompokkan data, menerangkan, dan membuat kesimpulan (Abdussamad, 2021). Analisis data menurut Miles dan Huberman (1992) dalam (Hardani, 2020) terbagi dalam tiga kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Ideal Sistem Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merupakan sebuah daftar yang meliputi keseluruhan harta kekayaan yang dimiliki oleh Penyelenggara Negara beserta pasangan dan anak yang menjadi tanggungannya untuk kemudian dilaporkan dalam bentuk berkas LKHPN kepada KPK (Gabriela et al., 2023). Adapun regulasi yang mengatur mengenai LKHPN ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara, Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Filosofi dari LHKPN ini yaitu berperan sebagai pencegahan tindak pidana korupsi dalam proses pelaporan oleh para pejabat publik dengan memunculkan perasaan diawasi. Terlebih lagi, LHKPN digunakan untuk mendeteksi sumber-sumber kekayaan para pejabat publik. Dalam implementasinya, LHKPN membutuhkan kesadaran diri dan moral dari para pejabat yang disertai oleh lingkungan yang tegas akan sikap anti korupsi (KPK, 2015). Adapun bentuk kesadaran diri dan panggilan moral tersebut dalam hal ini berhubungan erat dengan etika pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut, etika pemerintahan menjadi elemen yang penting agar tujuan dari LHKPN ini dapat terpenuhi. Etika pemerintahan merupakan sebuah ajaran atau pedoman agar bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang baik menurut hakikat manusia yang berbentuk etika terapan dalam urusan tata kelola pemerintah. Dengan demikian, etika pemerintahan merupakan bagian dari practical jurisprudence atau philosophy of law yang mengikat dan mengatur 162 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar pengelolaan lembaga pemerintahan terutama orang-orang didalamnya. Etika Pemerintahan mencakup kajian isu seperti penyuapan, korupsi, etika legislatif, etika hukum dan pemerintahan yang terbuka. Dimana, etika pemerintahan ini diwujudkan dalam peraturan, misalnya Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila maupun teks proklamasi sehingga bertujuan untuk menciptakan pejabat publik yang amanah, siap melayani, berjiwa besar dan menjadi teladan bagi masyarakat (Ismail, 2017b). Pejabat negara secara alamiah terikat dengan nilai-nilai yang berada di masyarakat yang dituangkan kedalam norma hukum sehingga dalam menetapkan kebijakan seorang pejabat publik diharuskan menerapkan etika (Djamil & Djafar, 2016). Di samping itu, etika pemerintahan merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi demi kepentingan umum, karena pejabat publik harus bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat (Widiaswari, 2022). Dengan demikian, untuk memenuhi tugasnya dalam LHKPN, penyelenggara negara atau wajib LHKPN perlu mengimplementasikan etika pemerintahan dengan menunjukkan tindakan yang sesuai dengan norma hukum yang ada. Sebagai pejabat publik, pelaporan harta kekayaan terikat secara hukum karena beberapa peraturan yang ada di Indonesia. Sementara itu, kesadaran diri untuk mengikuti peraturan tersebut dan tidak melakukan tindak kecurangan terikat dengan etika sebagai aparat pemerintahan. Di sisi lainnya, regulasi yang mengatur mengenai LHKPN ini harus dirancang sebaik mungkin agar dapat mendukung penyelenggara negara untuk patuh LHKPN. Dalam konteks etika pemerintahan, terdapat pengaturan terhadap perilaku penyelenggara negara sehingga dalam penerapannya dapat memenuhi tugas dan fungsi pelayanan kepada masyarakat (Endah, 2018). Pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara sebagai bentuk pemenuhan tugas yang berlandaskan moral adalah bentuk implementasi etika pemerintahan yang ideal. Dengan demikian, secara teoretis, etika pemerintahan merupakan aspek dasar bagi para penyelenggara negara dan wajib LHKPN untuk melakukan pelaporan harta kekayaan mereka. Dengan demikian, harapan masyarakat akan transparansi para pejabat publik tersebut dapat terpenuhi. Pihak-pihak yang perlu melaporkan kekayaannya melalui LHKPN ini adalah para penyelenggara negara yang diatur oleh Undang-Undang No. 28 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana penyelenggara negara tersebut meliputi pejabat negara yang bekerja di lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, serta pejabat publik lainnya yang memiliki peran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan peraturan tersebut, diatur bahwa sebagai bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi, KPK berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan para penyelenggara negara, mendapatkan laporan dan menetapkan apabila kemudian ditemukan aktivitas gratifikasi. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi para wajib LHKPN dalam melaporkan harta kekayaannya dengan jujur dan menghindari tindak pidana korupsi. Pertama, kurangnya akuntabilitas para penyelenggara negara atau wajib LHKPN sehingga banyak menimbulkan kritik (Widiaswari, 2022). Kedua, rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan oleh penyelenggara negara yang menyebabkan ketidakselarasan dengan aturan (Zega, 2018). Lebih jauh lagi, hal tersebut dapat memengaruhi kesenjangan terhadap etika pemerintahan. Ketiga, lingkungan yang tidak mendukung untuk mengimplmentasikan etika pemerintahan yang ideal karena rendahnya penerapan etika pegawai sehingga menghambat zona integritas (Sucipto et al., 2020). Di samping itu, rendahnya penerapan etika pemerintahan yang memengaruhi pelaporan LHKPN ini dapat pula disebabkan oleh lemahnya sinergitas antara pemerintah dengan kepentingan masyarakat terutama dalam menyusun regulasi atau kebijakan yang adaptif dan responsif (Berlinda Ayu Adeti & Charis Christiani, 2022). Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 163 Jurnal Wacana Kinerja Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dapat diidentifikasi bahwa sebagian dari faktor penghambat penerapan etika pemerintahan berasal dari internal individu yang bersangkutan. Dengan demikian, para wajib LHKPN dalam hal memenuhi panggilan moral berbentuk etika pemerintahan berfokus pada aspek internalisasi prinsip akuntabilitas dan keterbukaan. Ditambah lagi, diperlukan lingkungan yang suportif untuk mempraktikkan etika pemerintahan salah satunya dengan keberadaan role model, misalnya seorang pemimpin yang berkarisma dan bertanggung jawab (Nazhiri, 2019a). Dalam pelaporan LHKPN, terdapat beberapa kategori penerimaan yang wajib dilaporkan. Pertama, dalam kategori penerimaan dari pekerjaanya sebagai seorang penyelenggara negara. Dalam kategori ini meliputi penerimaan gaji dan tunjangan, honorarium, bonus, penghasilan dari profesi serta penerimaan dari pekerjaan lainnya sebagai penyelenggara negara. Kedua, dalam kategori penerimaan dari kekayaan yang telah dimilikinya. Kategori ini meliputi beberapa sumber kekayaan seperti surat berharga maupun hasil investasi, hasil usaha, hasil penjualan harta, bunga tabungan dan pendapatan kekayaan lainnya. Ketiga, kategori pendapatan diluar dari kategori penghasilan pekerjaan maupun penghasilan passive income yaitu penerimaan lainnya. Kategori ini meliputi sumber kekayaan seperti penerimaan warisan, penerimaan hutang, penerimaan hibah, dan lain sebagainya. Perlu dicatat bahwa apabila seorang penyelenggara negara atau wajib LHKPN memiliki kekayaan yang bersumber dari kategori-kategori penerimaan tersebut, maka dalam LHKPN yang bersangkutan perlu disertakan semua sumber penerimaan serta bukti atas kekayaannya tersebut. Adapun aset yang dimaksud ternyata telah digadaikan, tetap harus dilaporkan karena masih berupa aset wajib LHKPN (KPK, 2018). Sehubungan dengan pelaporan penerimaan, penyelenggara negara dan wajib LHKPN pun wajib melaporkan pengeluarannya. Adapun jenis pengeluaran yang dimaksud digolongkan menjadi 3 kategori. Pertama, pengeluaran yang dikeluarkan secara rutin. Kategori ini meliputi pengeluaran berupa biaya rumah tangga, biaya sosial (seperti zakat dan sumbangan lainnya), pembayaran pajak dan lain sebagainya. Kedua, pengeluaran berupa investasi dan passive income. Kategori pengeluaran ini dapat berupa transaksi pembelian aset serta pemeliharaannya. Ketiga, pengeluaran lainnya seperti pengurusan waris, hibah, hutang dan sebagainya. Adapun dokumen LHKPN ini harus dilaporkan secara berkala dalam periode 1 tahun. Dimana, laporan tersebut meliputi harta kekayaan (serta transaksi pengeluarannya) per tanggal 31 Desember tiap tahunnya dan dilaporkan kepada KPK paling lambat 31 Maret di tahun berikutnya (KPK, 2018). 4.2 Pelaksanaan Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di Indonesia Pelaporan harta kekayaan oleh para penyelenggara pemerintahan di Indonesia pada dasarnya ditujukan agar dapat menghindari tindak pidana korupsi. Akan tetapi, akhir-akhir ini mengundang banyak kritik dari masyarakat. Salah satu contoh kasusnya adalah Anggota DPRD Kalimantan Timur yang berdasarkan data tahun 2022 menjadi 10 besar yang tak patuh LHKPN (Jawapos, 2023). Dengan adanya fenomena tersebut, DPRD Kalimantan Timur sebagai sosok figur di masyarakat telah gagal memberikan contoh dan teladan. Berdasarkan data tingkat kepatuhan dari 34 kementerian pada tahun 2022 pada Gambar 1, terdapat beberapa kementerian memiliki tingkat kepatuhan yang rendah (Ahdiat, 2023). Berdasarkan data tersebut, terdapat tiga kementerian yang tingkat kepatuhannya berada di bawah 50% yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI. Artinya, ketiga kementerian memiliki mayoritas ASN yang kurang mematuhi pelaporan LHKPN. Lebih jauh 164 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar lagi, pemerintah pusat harus memberikan perhatian lebih kepada ketiga kementerian tersebut agar dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap instansi-instansi tersebut. Di lain sisi, Kementerian Kesehatan memiliki tingkat kepatuhan LHKPN paling tinggi di antara kementerian lainnya , walaupun angka capaiannya tidak menyentuh 90 persen. Gambar 1. Data Tingkat Kepatuhan LHKPN di 34 Kementerian Tahun 2023 Sumber: Goodstats Tingkat Kepatuhan LHKPN di Kementerian yang Ada di Indonesia (Ahdiat, 2023). Data yang diperoleh dari KPK pada Tabel 1 terlihat bahwa tingkat kepatuhan LHKPN per tanggal 31 Desember 2022 secara umum mencapai angka 98.36% dengan rincian sebagai berikut. Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 165 Jurnal Wacana Kinerja Tabel 1. Data Kepatuhan LHKN Berdasarkan Lembaga di Tahun 2022 Bidang Wajib Lapor Sudah Lapor Belum Lapor Pelaporan (%) Eksekutif 303,660 Yudikatif Sudah Belum Lengkap Lengkap Kepatuhan (%) 298,897 4,763 98.43% 289,407 9,490 95.31% 19,273 19,023 250 98.70% 18,685 338 96.95% Legislatif 20,004 19,032 972 95.14% 18,381 651 91.89% BUMN/ BUMD 39,083 28,808 275 99.30% 38,240 568 97.84% Total 382,020 375,760 6,260 98.36% 364,713 11,047 95.47% Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2023. Berdasarkan Tabel 1, pejabat negara yang bekerja di lembaga eksekutif memiliki tingkat kepatuhan LHKPN sebanyak 95.31%. Dimana, sisa dari keseluruhan aparat di lembaga eksekutif tersebut masih belum melaporkan dokumen LHKPN secara lengkap. Capaian aparat di lembaga eksekutif tersebut berada di bawah lembaga yudikatif yang mencapai 96.95%. Sementara itu, sektor BUMN dan BUMD memiliki capaian paling tinggi dengan angka kepatuhan LHKPN 97.84%. Lembaga legislatif menjadi lembaga dengan tingkat kepatuhan aparat terhadap LHKPN paling rendah, yakni 91.89%. Data kepatuhan tersebut belum tentu mengindikasikan validitas laporan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dalilah dan Juwono (2022), bahwa capaian kepatuhan LHKPN tersebut baru mencapai tingkatan transparansi. Kondisi idealnya adalah LHKPN ini dapat mencapai tingkatan akuntabilitas. Dimana, untuk mencapai tingkatan tersebut dibutuhkan proses verifikasi berkas oleh KPK. Sayangnya, upaya KPK tersebut belum dibarengi dengan keseriusan pimpinan lembaga dan regulasi yang jelas (Dalilah & Juwono, 2022). Kurang tegasnya regulasi mengenai vonis dan hukuman bagi para pelanggar (bahkan melakukan tindak pidana korupsi), membuat vonis tersebut tidak memberikan efek jera. Dalam sudut pandang penerapan etika dan moral, kerentanan tersebut dapat dipahami dengan terjadinya dilema moral, idealitas dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesi, hingga relasi antara idealitas dengan profesi itu sendiri (Betresia et al., 2021). Pasal 21 ayat (1) Peraturan KPK No. 2 tahun 2020 telah mengatur sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak pelaporkan LHKPN. Berdasarkan peraturan tersebut, KPK akan memberikan rekomendasi kepada atasan pihak terkait untuk memberikan sanksi administrasi. Akan tetapi, peraturan tersebut dinilai kurang tegas karena atasan tersebut hanya diberikan rekomendasi tanpa aturan lebih lanjut mengenai atasan yang tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Implementasi sanksi administrasi ini telah diupayakan KPK dengan memberikan teguran kepada Kepala Instansi lembaga yang memiliki tingkat patuh LHKPN yang rendah, serta pemberitaan publik bagi instansi yang lalai dalam LHKPN agar publik dapat secara langsung mengawasinya. Berdasarkan hal tersebut, implementasi sanksi administrasi ini masih bersifat filosofis karena tindakan sanksi yang kurang tegas (Nazhiri, 2019b). Ketidaktegasan regulasi yang mengatur mengenai LHKPN ini memengaruhi kepatuhan dan validitas dari LHKPN yang diberikan oleh para penyelenggara negara dan wajib LHKPN. Lebih jauh lagi, lemahnya regulasi ini akan 166 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar berdampak pada illicit enrichment atau peningkatan kekayaan secara tidak sah (Mahardhika, 2021). Dengan adanya peningkatan harta kekayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumbernya dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana (Sianturi, 2016). 4.3 Hal-hal yang Perlu Diperbaiki Penyelenggara Negara dalam Sistem Pelaporan Harta Kekayaan Beberapa penelitian dilakukan untuk mengkaji hal-hal untuk memperbaiki sistem pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara di Indonesia. Adapun hasil pengamatan terhadap kasus yang beredar pun beragam. Montana dan Firmansyah (2022) dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa dalam keberhasilan implementasi LHKPN, peraturan penal (yang menitikberatkan pada tindakan represif) lebih harus dibebankan kepada KPK. Hal tersebut dimaksudkan agar KPK dapat menanggulangi kasus-kasus korupsi walaupun selama ini peraturan yang diarahkan secara represif itu masih berupa peraturan non-penal. Bentuk-bentuk peraturan non-penal yang dimaksud berupa kampanya anti korupsi, sosialisasi, dan bentuk-bentuk edukasi. Akan tetapi pendekatan tersebut dinilai tidak begitu efektif. Sementara itu, LHKPN yang menjadi bagian adminstratif lebih memerlukan peraturan non-penal (bersifat preventif). Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak pidana korupsi dalam hal ini berupa pengawasan yang ketat dalam sisi administratif (Montana & Firmansyah, 2022). Di sisi lain, meskipun Montana dan Firmansyah menilai bahwa upaya preventif berupa sosialisasi dan kampanya anti korupsi telah dilakukan dengan baik, Harmono dkk dalam penelitiannya menilai bahwa sosialisasi masih perlu dilakukan. Adapun sosialisasi yang dimaksud yaitu teknis pelaporan yang saat ini menggunakan teknologi digital hingga hal teknis seperti apa saja yang perlu dilaporkan menjadi konten utama yang perlu disampaikan dalam sosialisasi LHKPN. Hal tersebut disebabkan oleh cara pengisian formulir pelaporan harta kekayaan yang dinilai sebagai kendala (Harmono et al., 2020). Menurut Palma dkk terdapat setidaknya dua hal yang perlu diperhatikan dalam merevitalisasi LHKPN. Pertama, diberlakukannya aturan mengenai periodisasi pelaporan LHKPN oleh wajib LHKPN. Adanya urgensi untuk mendeteksi perkembangan kekayaan para pejabat publik agar dapat terdeteksi apabila ada kejanggalan. Dokumentasi perkembangan kekayaan tersebut dapat dilakukan secara berkala yaitu pada saat penyelenggara awal menjabat, dalam waktu menjabat dan akhir masa jabatan. Kedua, upaya revitalisasi LHKPN pun dapat dilakukan dengan perbaikan fungsi komisi yang awalnya hanya memeriksa, kemudian dapat pula melakukan verifikasi berkas pendamping LHKPN (Palma et al., 2014). Hal ini diperkuat dengan temuan Harmono dkk dalam penelitiannya bahwa dalam UU No. 28 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara eksplisit lembaga mana yang melakukan pemeriksaan dan pengecekan akan pengumuman LHKPN hingga pemberian sanksi kepada penyelenggara negara yang melakukan pelanggaran LHKPN. Ditambah lagi, UU No. 30 Tahun 2002 tidak memberikan kepastian bagi KPK dalam penegakkan sanksi bagi penyelenggara negara yang melanggar dalam pelaporan harta kekayaannya (Harmono et al., 2020). Berdasarkan hasil diskusi sebelumnya, dapat dilihat bahwa permasalahan kepatuhan LHKPN dapat pula berawal dari sisi etika pemerintahan para penyelenggara negara atau wajib LHKPN maupun regulasi yang masih lemah. Untuk meningkatkan kesadaran beretika oleh para penyelenggara negara dapat dilakukan melalui penekanan kode dan nilai-nilai mengenai aturan yang telah ditetapkan. Dalam upaya ini juga bersinggungan dengan tahapan untuk mempertegas konsekuensi dalam melanggar peraturan yang ada. Harapannya Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 167 Jurnal Wacana Kinerja dengan tegasnya hukuman atas pelanggaran LHKPN ini secara etis akan menimbulkan pertimbangan yang panjang dan mendalam untuk melakukan tindak kejahatan (Pope, 2015). Hal tersebut menjawab permasalahan mengenai ketegasan dan kepastian hukum. Dengan mempertegas dan memperjelas kepastian hukum terutama yang berkenaan dengan sanksi administratif, berdasarkan teori ini maka dapat diupayakan untuk mencapai kepatuhan LHKPN yang dibarengi dengan data yang valid oleh seluruh wajib LHKPN. Pendekatan etika pemerintahan yang dapat membantu memperbaiki sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara pemerintahan yaitu dengan melakukan audit terhadap pelaksanaan etika pemerintahan oleh para pejabat publik. Langkah ini merupakan upaya mitigasi terhadap berbagai bentuk pelanggaran terhadap etika. Lebih jauh lagi, melalui upaya ini dapat berpotensi menciptakan konsep good governance di berbagai instansi pemerintahan (Setiawaty, 2019). Hal ini sejalan dengan yang telah didiskusikan sebelumnya bahwa untuk menciptakan kondisi dimana para wajib LHKPN mematuhi peraturan dan melaporkan data harta kekayaan yang valid, diperlukan kondisi yang mendukung dan membuat pejabat publik merasa diawasi. Terakhir, dalam teori etika pemerintahan, untuk mendukung implementasinya dibutuhkan lingkungan yang mendukung seperti adanya role model hingga sesama penyelenggara negara yang menunjukkan sikap patuh. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan reformasi birokrasi. Dimana, di dalamnya meliputi optimalisasi dalam monitoring para pejabat publik (Wildan et al., 2023). Dengan demikian, upaya peningkatan etika pemerintahan untuk menciptakan kepatuhan dalam LHKPN dapat dicapai. Dengan adanya lingkungan yang mendukung pelaksanaan monitoring dengan penyediaan zona integrasi dan patuh hukum akan berpotensi untuk meningkatkan implementasi etika pemerintahan dalam hal pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. 5. PENUTUP Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN merupakan bentuk pelaporan bagi penyelenggara negara terkait harta kekayaan. LHKPN menjadi bagian dari kewajiban penyelenggara negara. Kewajiban tersebut tentu harus dipatuhi oleh penyelenggara negara sebagai bentuk menegakkan kode etik. Penegakkan kode etik dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan dari etika dan moral dalam pemerintahan. Dengan begitu, akan mewujudkan kejujuran, kebenaran, dan keadilan, sehingga penyelenggaraan pemerintahan akan berlangsung lebih baik. Akan tetapi, pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara pemerintahan dikategorikan belum berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya akuntabilitas dari para penyelenggara negara, kualitas etika penyelenggara yang rendah, lingkungan yang mempengaruhi pelaksanaan etika pemerintahan yang baik, dan lemahnya regulasi atau kebijakan. Padahal, jika etika pemerintahan dijunjung tinggi oleh penyelenggara negara, maka pejabat publik akan merasa bertanggung jawab atas kepercayaan yang didapatkan olehnya melalui masyarkat. Eksistensi dari pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara itu sendiri adalah untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh pejabat publik. Pelaksanaan pelaporan LHKPN belum berjalan dengan baik terlihat dari capaian kepatuhan penyelenggara negara dalam memberikan LHKPN. Kepatuhan LHKPN di Indonesia masih pada tingkat transparansi, yang mana seharusnya mencapai tingkat akuntabilitas. Peningkatan capaian menjadi akuntabilitas membutuhkan verifikasi oleh KPK, tetapi upaya KPK dalam melakukan hal tersebut tidak dijalankan dengan regulasi yang jelas. 168 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar Regulasi yang mengatur mengenai LHKPN yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara, Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Dalam regulasi tersebut, penyelenggara yang tidak melaporkan LHKPN hanya sebatas diberi sanksi administratif. Lebih lanjut, Peraturan KPK No. 2 Tahun 2020 mengatur bahwa sanksi administrasi akan diberikan berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh KPK kepada Kepala Instansi terkait. Akan tetapi, implementasi aturan tersebut masih bersifat filosofis. Hal tersebut menunjukkan bahwa regulasi yang mengatur mengenai LHKPN masih belum tegas. Meskipun jika dinyatakan bahwa adanya indikasi peningkatan kekayaan secara tidak sah yang menjadikannya sebagai tindak pidana korupsi oleh KPK tidak memberikan efek jera karena lemahnya ketegasan terhadap vonis dan hukuman bagi yang melanggar. Terdapat beberapa hal yang seharusnya dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Antara lain untuk menguatkan tugas KPK karena keberhasilan implementasi dari LHKPN dalam tindakan represif berupa peraturan penah harus dititikberatkan kepada KPK. Diperlukan pula sistem pengawasan LHKPN yang lebih ketat dari sisi administratif untuk memilah dokumen LHKPN yang belum lengkap serta tindak lanjut kepada penyelenggara negara terkait secara tegas. Pemerintah harus mempertegas serta memperjelas regulasi yang berlaku, sehingga sanksi bagi penyelenggara negara yang melanggar terkait laporan harta kekayaannya dapat ditindak dengan tegas. Etika dalam pemerintahan pun perlu dijunjung tinggi agar membantu dalam memperbaiki sistem pelaporan harta kekayaan bagi penyelenggara negara. Selain itu, diperlukan sosialisasi mengenai teknik pelaporan LHKPN khususnya saat ini yang sudah menggunakan teknologi digital. DAFTAR PUSTAKA Abdussamad, A. (2021). Metode Penelitian Kualitatif (P. Rapanna, Ed.). Syakir Media Press. Adlini, M. N., Dinda, A. H., Yulinda, S., Chotimah, O., & Merliyana, S. J. (2022). Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka. Jurnal Edumaspul, 6(1), 974–980. Ahdiat, A. (2023). Ini Kementerian yang Paling Patuh LHKPN. Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/04/03/ini-kementerian-yangpaling-patuh-lhkpn Berlinda Ayu Adeti, & Charis Christiani. (2022). Reformasi Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan Daerah Dalam Menigkatkan Kualitas Layanan Publik di Daerah. Jurnal Media Administrasi, 7(1), 40–48. https://doi.org/10.56444/jma.v7i1.62 Betresia, A., Situmeang, S. W., Verdina, P., Jannah, L. M., & Oktafia, E. (2021). Korupsi Bantuan Sosial COVID-19: Analisis Implementasi Etika Normatif Pejabat Publik di Indonesia COVID-19. Dialogue : Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 3(2), 138–154. https://doi.org/10.14710/dialogue.v3i2.13126 Brady, M. E. (2015). Adam Smith’s Definition of Uncertainty and His Application of His Uncertainty Concept in Part I, Chapter XI of the Wealth of Nations. 1–23. CNN Indonesia. (2023a). Data LHKPN: 13 Ribu Pegawai Kemenkeu Belum Lapor Harta Kekayaan. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230223091738-12916768/data-lhkpn-13-ribu-pegawai-kemenkeu-belum-lapor-harta-kekayaan Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 169 Jurnal Wacana Kinerja CNN Indonesia. (2023b). Rafael Alun Tersangka Pencucian Uang, KPK Dalami LHKPN. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230510144816-12947801/rafael-alun-tersangka-pencucian-uang-kpk-dalami-lhkpn Dalilah, E., & Juwono, V. (2022). Evaluasi Implementasi Kebijakan LHKPN: Dimensi Integritas : Jurnal Antikorupsi, 7(2), Program. 311–324. https://doi.org/10.32697/integritas.v7i2.861 Darwin, P. (2012). Money laundering: cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian uang. Sinar Ilmu. Djamil, M. N., & Djafar, T. M. (2016). Etika Publik Pejabat Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, 12(01), 1757– 1768. Endah, K. (2018). Etika Pemerintahan dalam Pelayanan Publik. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 4(1), 141–151. Gabriela, Antow, D. T., & Bawole, H. Y. A. (2023). Efektivitas Penerapan Aturan Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Lex Administratum, 11(04), 1–12. Hardani, dkk. (2020). Metode Penelitian Kualitatif & Kualitatif. In CV. Pustaka Ilmu. Harmono, D., Sukarna, K., Sulistyani, D., & Junaidi, M. (2020). Kewajiban Pelaporan Harta Kekayaan Bagi Penyelenggara Negara. Jurnal Usm Law Review, 3(2), 296. https://doi.org/10.26623/julr.v3i2.2823 Ingnuan, Y. V., & Lutfi, M. (2018). Pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ( Lhkpn ). 8, 131–144. Ismail. (2017a). Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek bagi Penyelenggara Pemerintahan. Sosiohumanitas, XIV(2), 168. Ismail. (2017b). Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek bagi Penyelenggara Pemerintahan. Sosiohumanitas, XIV(2), 168. Jawapos. (2023). Masuk 10 Besar Tak Patuh Lapor LHKPN, Anggota DPRD Kaltim Gagal Memberi Teladan. Jawapos. https://kaltimpost.jawapos.com/utama/17/04/2023/masuk-10besar-tak-patuh-lapor-lhkpn-anggota-dprd-kaltim-gagal-memberi-teladan KPK. (2015). Pengantar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) (1st ed.). Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK. (2018). Frequently Asked Questions ( FAQ ) Frequently Asked Questions ( FAQ ). Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK. (2023). Kepatuhan LHKPN. https://www.kpk.go.id/id/statistik/lhkpn/menukepatuhan-lhkpn Lindawati, S., & Hendri, M. (2016). Penggunaan Metode Kualitatif untuk Analisis Strategi Pengembangan Kepariwisataan Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Seminar Nasional APTIKOM (SEMNASTIKOM, 833–837. M, F., & Kandar, I. (2022). Praktik Tindak Pidana Korupsi Dalam Peradilan Indonesia Dan Upaya Pencegahan Korupsi Oleh Penegak Hukum Di Indonesia. Khazanah Multidisiplin, 3(1), 64–81. https://doi.org/10.15575/kl.v3i1.17170 Mahardhika, V. (2021). Strengthening Lhkpn: Prevention of Illicit Enrichment in Efforts To Eradicate Corruption. Audito Comparative Law Journal (ACLJ), 2(2), 66–73. https://doi.org/10.22219/aclj.v2i2.16429 Maheswara, M. Y. H. (2022). Tinjauan Kode Etik Aparatur Sipil Negara Dalam Kaitannya dengan Korupsi di Instansi Pemerintahan. Jurnal Hukum Lex Generalis, 3(1), 826–840. 170 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 Shofi Siti Sholihah, Qothrunnada, Frida Nur Oktaviani dan Idil Akbar Montana, B., & Firmansyah, H. (2022). Kebijakan Preventif Terhadap Tindak Pidana Korupsi Melalui Pendekatan Non-Penal. Jurnal Hukum Adigama, 5, 106–112. Nazhiri, A. F. (2019a). Implementasi Sanksi Administrasi Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara Terhadap Terciptanya Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Analisis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Nazhiri, A. F. (2019b). Implementasi Sanksi Administrasi Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggaraan Negara terhadap Terciptanya Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UIN Syarif Hidayatullah. Palma, A. K., Abid, L., Martini, S., Alim, H., & Diansyah, F. (2014). Implementasi dan Pengaturan Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah) Di Indonesia. Pope, K. S. (2015). Steps to Strengthen Ethics in Organizations: Research Findings, Ethics Placebos, and What Works. Journal of Trauma and Dissociation, 16(2), 139–152. https://doi.org/10.1080/15299732.2015.995021 Setiawaty, A. (2019). The Urgency of Guarding Ethical Climate in Government Through Ethics Audit. 1–8. https://doi.org/10.4108/eai.27-4-2019.2286785 Sianturi, R. H. (2016). Kriminalisasi Illicit Enrichment dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Peningkatan Daya Saing Bangsa Melalui Inovasi oleh Perguruan Tinggi dalam Rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN, 33–43. Sucipto, A., Remmang, H., & Saleh, H. (2020). Pengaruh Etika Pegawai, Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Terhadap Penerapan Zona Integritas pada Lapas Makassar. Indonesian Journal of Business and Management, 2(1), 13–15. Sulistyo, P. D., Wulan, M. K., & Saptowalyono, C. A. (2023). LHKPN Jadi Pintu Masuk Ungkap Korupsi. Kompas. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/03/15/lhkpn-jadipintu-masuk-ungkap-korupsi Supratiknya, A. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif dalam Psikologi. Universitas Sanata Dharma. Suryono, A. (2017). Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Progresif sebagai Tindakan Pencegahan Korupsi. Prosiding Seminar Nasional 2017 (Kerjasama Majelis Hukum Dan HAM PWM Jateng), 297–308. Sutmasa, Y. G. (2020). Etika ASN dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Jurnal Ilmiah Cakrawarti, 2(1), 19–29. https://doi.org/10.47532/jic.v2i1.116 Widiaswari, R. R. (2022). Etika Administrasi Publik dalam Penyelenggaraan Tata Kelola di Indonesia. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 16(2), 600. https://doi.org/10.35931/aq.v16i2.922 Wildan, A. S., Firdausijah, R. T., & Alamsyah, K. (2023). Strategy for Improving the Performance of Government Apparatuses in the National Unity and Politics Agency of West Java Province. Central European Management Journal, 31, 182–189. https://doi.org/10.57030/23364890.cemj.31.1.18 Zega, Y. (2018). Analisis Penerapan Etika Birokrasi dalam Pelayanan Publik pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Gunungsitoli. Jesya (Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah), 1(2), 99–104. https://doi.org/10.36778/jesya.v1i2.24 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023 171 Jurnal Wacana Kinerja 172 Jurnal Wacana Kinerja | Volume 26 | Nomor 2 | November 2023