npublished material_Doc.RAH_10.05.2015
ERUNTUNG HIDUP DI NEGARA ERKEMANG
DARIPADA DI NEGARA MAJU
Ridho Al-Hamdi
Sudah hampir setahun tinggal di Jerman membuat saya ingin berbagai sedikit cerita
tentang pengalaman hidup. Tentu cerita ini bersifat pribadi, boleh setuju dan dianjurkan
sekali menolak.
Setahun bisa dibilang belum begitu lama, tetapi ada banyak hal baru yang saya alami.
Mungkin orang beranggapan, hidup di negara maju itu enak, sejahtera, lebih bahagia
dan lain sebagainya. Dalam beberapa hal betul juga, karena kesenjangan sosial tidak
begitu mencolok. Tidak banyak kegaduhan dan kriminalitas. Hukum dan aturan juga
adil untuk semua pihak. Di Jerman, hampir semua orang memiliki taraf hidup relatif
setara satu dengan yang lain. Gedung dan rumah antar kota pun tidak terlalu jauh
berbeda, bahkan ada guyonan kalau kita tiba-tiba dilempar di satu kota tertentu tanpa
tahu itu daerah mana, kita susah menebak bedanya Frankfurt dengan Hamburg atau
München dengan Düsseldorf. Begitu juga kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakatnya, hampir sama antara ibukota Berlin dengan kota-kota lain. Di setiap kota
pasti selalu ada mall, pusat perbelanjaan, lokasi rekreasi, pusat pendidikan serta sistem
transportasi (kereta dan bis) yang nyaman. Berbeda dengan Indonesia, kemajuan dan
modernisasi seolah hanya miliki ibu kota, Jawa, dan kota-kota tertentu. Ironi memang.
Berkaca pada kehidupan Jerman, muncul pertanyaan, mengapa mereka kok lebih suka
naik transportasi umum (padahal mahal) daripada kendaraan pribadi? Bahkan professor
saya pun pergi ke dan pulang dari kampus juga naik bis dan kereta, karena kerap kali
ketemu dengan sang professor di bis tanpa sengaja. Saat saya tanya, prof kenapa kok
gak naik mobil saja? Dia menjawab, mobil ada di rumah, tetapi hanya untuk keperluan
pergi jauh. Kalau hanya untuk ke kampus, itu justru merugikannya karena mobilnya ada
minimal jarak kilometer yang digunakan untuk sekali jalan, kalau kurang dari minimal
KM-nya bisa merusak mesin mobil dan penjelasan lain sebagainya.
npublished material_Doc.RAH_10.05.2015
Beberapa kolega kampus yang tidak punya mobil atau motor mengatakan, kalau mau ke
mana saja bisa ditempuh pakek transportasi umum, kenapa harus punya kendaraan
pribadi, karena punya kendaraan pribadi jauh merepotkan, harus punya SIM (biayanya
mulai dari tes sampai SIM jadi bisa seribu euro, kalo per euro Rp 5 ribu, tinggal
kalikan saja), belum lagi pajak dan lain sebagainya. Kebetulan kalau kita mahasiswa
atau pekerja, ada SemesterTicket yg bisa digunakan untuk naik bis dan kereta gratis
kemana aja se-negara bagian. Namun, kita di Indonesia betapa bahagianya bisa punya
mobil atau motor dengan cara nyicil, bisa klaim asuransi, buat SIM murah lagi (350 ribu
udah nembak, nah lho).
Trus, apakah biaya listrik di Jerman murah? Sebagai ilustrasi, saya tinggal sendiri di
apartemen yang sederhana. Biaya listrik, gas, dan air per bulan kena 58 euro (setara Rp
870 ribu) dengan pola pemakaian sangat hemat, ini di luar biaya sewa apartemen.
Sedangkan di Indonesia, kita bisa puas-puasin pakek listrik, air, dan gas mungkin gak
lebih dari Rp 200 ribu (hidup seukuran keluarga sederhana). Belum lagi setiap orang
yang tinggal di Jerman harus bayar pajak tivi antara 7-20 euro (225rb-300rb), padahal
belum tentu semua orang punya tivi dan mau nonton, karena program acaranya mirip
TVRI (kecuali yang punya tivi kabel). Seorang teman Jerman pun kadang jengkel setiap
ditagih bayar karena dia gak punya tivi dan gak pernah lihat tivi. Alasan pihak penagih,
anda punya internet? Ada punya komputer & HP? Itu berarti anda bisa lihat tivi kabel
atau tivi streamming. Sedangkan di Indonesia, gratis tis tis tanpa bayar apa pun untuk
televisi.
Mengenai kehidupan sosial, janjian (istilah Jermannya: termin) adalah hal yang sangat
penting. Janjian digunakan untuk segala urusan, mulai dari birokrasi pemerintah,
kampus hingga hal sepele ketemu dengan teman. Bahkan beberapa tukang cukur di
Jerman harus pakek janjian. So, sebelum kita berangkat ke tukang cukur, kita telepon
dulu, kalau tukang cukur setuju dengan waktunya, barulah kita datang sesuai jam. Kalau
kita tiba-tiba datang tanpa janjian, hal yang wajar kalau ditolak. Bagi mereka, janjian
adalah ciri masyarakat beradab. Bener nih beradab? Karenanya, beberapa teman di
Dortmund juga jengkel, mereka mengeluh karena terkadang untuk urusan sepele saja
harus pakek janjian, padahal bisa diselesaikan saat itu juga. Berbeda dengan Indonesia,
2
npublished material_Doc.RAH_10.05.2015
kalau kita mau ketemu ya ketemu aja, gak perlu janjian segala, bahkan nongkrong di
warung makan atau ngumpul ketawa-ketiwi di gardu pun hal yang biasa bagi kita.
Beginilah indahnya Indonesia, gak perlu repot-repot dan pakek janjian segala.
Lalu, apakah birokrasi di negara maju lebih bagus daripada di Indonesia? Asisten
professor saya heran ketika saya buat visa resident permit di keduataan Jerman di
Indonesia hanya membutuhkan waktu bulan hingga visa jadi, karena mereka
beranggapan pembuatan visa bisa memakan waktu 3 bulan (gak usah heran bro, inilah
hebatnya Indonesia). Saat saya berurusan dengan segala macam birokrasi di Dortmund,
mulai dari urusan imigrasi, transportasi, listrik, kantor polisi, dan birokrasi kampus, luar
biasa lambat dan repotnya. Segala urusan bisa memakan waktu berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan. Gak di Indonesia gak di Jerman sama aja birokrasinya, benarbenar lambat. Karena itu, perlu diacungi jempol bagi cepatnya beberapa birokrasi di
Indonesia, mulai dari sistem satu atap, urusan sekali datang selesai, dan lain sebagainya.
Pokoknya kita gak kalah maju.
Apakah orang Jerman jauh lebih pinter dari orang Indonesia? Kalau lebih taat pada
aturan mungkin iya, sebaliknya kolega kampus di Dortmund justru mengakui kalau
orang Indonesia sangat kreatif dan suka menolong. Bahkan dia mengatakan, orang
Indonesia itu tau yang kita sendiri tidak tau. Sebagai contoh, orang Indonesia bisa
nemukan harga apartemen murah dekat kota sedangkan orang Jerman taunya kalau
apartemen di kota pasti selalu mahal daripada apartemen di pinggiran kota.
Nah, kita ini justru diakui pinter sama orang Jerman sendiri, sudah pinter, kreatif dan
suka menolong pula. Soalnya kalau ada temen sesama Indo yang mau pindahan rumah,
biasanya kita saling bantu angkut-angkut barang. Hal ini yang gak berlaku bagi orang
Jerman. Kalau mereka mau pindah, ya silakan pindah aja sendiri. Bagi mereka, tidak
ada pekerjaan gratis. Di Indonesia, kita benar-benar menolong sesama tetangga, ada
kerja bakti, ronda malam, tradisi menjenguk famili/teman sakit, nyumbang nikahan,
yasinan, kenduri dan lain sebagainya yang ini semua gak bakal kita jumpai di Eropa. So,
jangan pernah remehkan bangsa kita.
3
npublished material_Doc.RAH_10.05.2015
Hidup di Jerman segalanya serba berbayar. Jika ada ungkapan, ibukota lebih kejam
daripada ibu tiri, sekarang ada ungkapan lagi: negara maju lebih kejam daripada negara
berkembang. Mau bukti? Contoh riil, toilet umum aja bayar 50 cent (7.500), itu sekali
masuk dan untuk satu orang lho. Bahkan ada beberapa toilet umum yang bayar euro
(5 ribu). Kalau urusan parkir kendaraan, per jam euro. Seandainya kita parkir 5 jam
karena ingin jalan-jalan ke mall, maka kena 5 euro (75 ribu). Kalau jamnya nambah,
tinggal dikalikan aja. Di Indonesia, meski toilet bayar seribu atau ada yang 2 ribu,
beberapa lokasi toilet masih ada yang gratis. Untuk urusan parkir, mau berapa jam aja,
mobil cukup kena 5rb sekali parkir. Masih bilang enak hidup di negara maju?
Kalau rapat atau meeting apakah ada snack atau makan? Selama saya tinggal di
Dortmund dan seringkali menghadiri seminar atau sekadar rapat tim dengan professor
dalam berbagai pertemuan, snack tidak pernah ditemui. Meskipun pernah ada sekali
snack saat acara colloquium, itu pun sekadarnya saja, teh/air putih dan roti tawar. Di
Indonesia? Jangankan snack, setiap rapat pasti ada makan (menunya berubah-ubah lagi
tiap rapat). Enak mana kalau kayak begini? Maka di negara maju tidak ada istilah
traktir-mentraktir. Jangan ke-GR-an dulu kalau ada teman yang ngajak makan, itu bukan
berarti kita ditraktir. Kita tetap bayar masing-masing. “No free lunch,” tidak ada makan
siang gratis, beginilah pepatah Barat berkata.
Karena itu, wajar kalau orang Barat berpikir matematis. Untuk punya anak, cukup satu
atau dua saja. Jika lebih dari itu, biasaya mereka termasuk sangat kaya. Bahkan
beberapa pasangan memilih untuk tidak punya keturunan karena alasan ekonomi.
Betapa kasihannya mereka hingga lebih memilih memiliki hewan piaraan untuk sekadar
teman. Di Indonesia, mau punya anak berapa aja gak masalah, karena prinsip hidup kita,
rezeki itu Allah yang mengatur. Dan ternyata mereka yang punya anak banyak, sebagian
besar sukses juga. Tidak semua urusan dalam hidup ini dipikir pakek logika dan
matematika.
Untuk orang Muslim, waktu sholat di Jerman berubah-ubah. Kadang Subuh jam 3 pagi,
di bulan yang lain bisa jam 7 pagi. Begitu juga Maghrib. Kadang jam setengah 5 sore,
kadang jam 0 malam. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana mereka berpuasa
4
npublished material_Doc.RAH_10.05.2015
selama 8-9 jam dengan musim yang berganti-ganti. Di sinilah ayat Al-Quran yang
mengatakan bahwa puasa menjadikan kita sebagai orang-orang bertakwa benar-benar
dirasakan. Sedangkan di Indonesia, tidak ada perubahan waktu sama sekali. Puasa pun
sekitar 3-4 jam, itupun masih dianggap kelamaan. Di mana rasa bersyukur kita?
Sobat, kapan kita pernah membanggakan bangsa kita? Silakan tinggal dan menetap dulu
di negara maju untuk beberapa tahun, bukan hanya untuk jalan-jalan saja. Setelah itu,
baru kita merasakan apa yang berbeda dari tanah air. Sekarang saya telah belajar banyak
hal dan baru menyadari bahwa kita seringkali terlalu meremehkan diri kita sebagai
orang Indonesia. Menjelek-jelekkan dengan cerita lucu yang sebenarnya kurang baik
juga. Barat memang lebih maju, tetapi kemajuan belum tentu membawa pada
kebahagiaan. Banyak hal baik yang sudah kita miliki termasuk tradisi kita yang justru
jauh lebih ramah. So, masihkah kita meremehkan diri kita sendiri dan membanggakan
kehebatan Eropa, Amerika, dan negara maju lainnya? Cintailah negerimu dengan segala
kekurangannya. Please think more about it.
viel Grüße von Dortmund,
Ridho Al-Hamdi
0 Mei 205 (mein Geburtstag, Dreißig Jahre)
ionote: Saat ini penulis masih PhD Student bidang Ilmu Politik di TU Dortmund University,
Jerman di bawah bimbingan Prof Dr Christoph Schuck dengan skema beasiswa BPPLN-DIKTI
Republik Indonesia (204-207).
5