FASAL I
FIQHULLUGHAH (FILOLOGI)
Fiqhullughah Menurut Para Linguis Arab
1. Kata fiqh menurut bahasa:
Kata fiqh berarti ilmu (pengetahuan) dan husnul idrak
(pemahaman yang baik). Dikatakan dalam Mu'jam Maqayis alLughah, karangan Ibnu Faris: Faqihtul haditsa afqahahu; wa kullu
ilmin bisyain fiqh(Saya memahami hadits yang paling faqih;
segala pengetahuan akan sesuatu adalah fiqh) . Mereka
mengatakan: La Yafqahu wala yanqahu; afqahtuka asy-syaia idza
bayyatuhu laka(Ia tidak memahami; saya memberi pema-haman
tentang sesuatu kepadamu apabila perkara itu telah saya jelaskan
kepadamu) .
Dalam Lisanul 'Arab tertera: al-Fiqhu huwal 'ilmu
bisysyaii wal fahmu lahu. Faqiha fiqhan berarti 'alima 'ilman;
faqiha 'anhu dengan kasrah berarti fahima; dan al-fiqhu adalah alfithnah.
2. Makna kata fiqh menurut istilah:
Kata fiqh berarti ilmu syariat. Dikatakan dalam Mu'jam Maqayis
al-Lughah: Li kulli 'alimin bil halali wal harami faqihun(Setiap
ulama yang memahami perkara yang halal dan yang haram adalah
ahli fiqih) . Dalam Lisanul Arab: Wa ghalabal fiqhu fi ilmiddin
lisiyadatihi wa syarafihi wa fadhlihi 'ala sairil 'ulum (Dan fiqh
mendominasi ilmu agama karena kemuliaanya dan keunggulannya
atas segala ilmu)
3. Kata fiqh dan kajian bahasa:
Pertama: Kitab ash-Shahibi
Mula-mula Ahmad bin Faris memakai kata fiqh dalam
kajian bahasa dalam bukunya Ash-Shahibi fi Fiqhullughah al1
'Arabiyyah dan Sunanul 'Arab fi Kalamiha. Ahmad bin Faris
membatasi maksud fiqhullufhah dalam mukaddimah bukunya
yang tersebut tadi. Lalu dia mengatakan bahwa ilmu bahasa Arab
terbagi atas dua bagian: asal (pokok) dan far'i (cabang). Adapun
Far'i adalah pengetahuan tentang isim dan sifat. Dan inilah yang
dimulai ketika belajar. Adapun asal (pokok) adalah pembicaraan
tentang topik, prioritas, dan sumber bahasa kemudian tentang
tulisan Arab dalam dialog dan variasi seninya, baik secara hakiki
maupun majazi. Tampaknya aspek yang terakhir ini adalah apa
yang dimaksud dengan kajian fiqhullughah (filologi). Buktinya
ialah bahwa kita mendapatinya telah diterapkannya definisi ini
pada kajian bahasa yang dilakukan dalam kitab ini. Kemudian ia
menjelaskan bahwa bahasa adalah taufiq dari sisi Allah SWT
karena firman-Nya: (dan Dia mengajari Adam nama-nama benda
seluruhnya (QS. Al-Baqarah: 31) kemudian ia berbicara tentang
pertumbuhan khat (tulisan) Arab dan mengemukakan pendapat
para ulama tentang hal itu serta sampai pada bahwa khat itu taufiq
dari sisi Allah karena firman-Nya: {Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah mencip-takan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah.
Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya} (QS AlFalaq: 1-5).
Setelah itu ia beralih ke pembicaraan tentang kehidupan
bahasa Arab. Lalu bahasa Arab dibagi ke dalam dua bagian:
pertama, bahasa Arab Utara, yaitu bahasa Arab 'Aribah dan kedua
bahasa Arab Selatan, yaitu bahasa Arab musta'ribah dan
dinamakan Himyariyah. Di tengah-tengah pembicaraannya ia
menegaskan bahwa setiap kaum mempunyai bahasa untuk
berkomunikasi. Kemudian dikemukakan kehidupan bahasa Arab
'Aribah, lalu dibaginya ke dalam bahasa fusha (baku) dan bahasa
bahasa ‘amiyah (non-baku/dialek). Dan ia menjelaskan bahwa
suku Quraisy adalah bangsa Arab yang paling fasih bahasanya,
2
paling bersih bahasanya. Yang demikian itu karena Allah SWT
telah memilih mereka dari segenap bangsa Arab dan memilih dari
kalangan mereka Nabi pembawa rahmat, Muhammad SAW, lalu
dijadikan suku Quraisy sebagai penduduk tanah Haram dan para
tetangga Baitul Haram serta para pengurusnya.
Adapun bahasa ‘amiyah (non-baku/dialek) dijelaskan,
antara lain:
(1) 'An'anah Tamim, yaitu menukar hamzah dengan 'ain dalam
sebagian percakapan mereka. Mereka mengatakan: Sami’tu 'anna
Fulanan qala; maksud mereka adalah anna.
(2) Kasykasyah Asad, yaitu menukar kaf (al-mukhatabah) dengan
syin. Lalu mereka mengatakan 'alaisy dengan arti ‘alaik.
(3) Kaskasah Rabi'ah, yaitu menyambungkan kaf dengan sin, lalu
mereka mengatakan 'alaikas. Setelah itu ditelusuri aspek-aspek
perbedaan antarberbagai dialek Arab dan dibatasi pada perbedaan
harakat, seperti nasta'inu dan nisti'inu atau menukar huruf, seperti
ulaika dan ulalika; perbedaan dalam i'rab, seperti ma zaidun
qaiman dan ma zaidun qaimun; dan perbedaan dalam waqaf pada
ha ta'nits, seperti hadzi ummat dan hadzihi ummat.
Setelah itu ia beralih ke pembicaraan tentang bahasa sebagai
media turunnya Al-Quran, lalu dikemukakan pendapat para ulama
dalam menafsirkan hadits Nabi yang mulia: Al-Qur'an diturunkan
atas tujuh huruf. Dia mengatakan bahwa tujuh huruf itu berarti
tujuh bahasa, antara lain, lima dengan bahasa al-'Ujz dari kabilah
Hawazin. Kemudian dia menjelaskan bahwa inilah yang terdapat
dalam bahasa kabilah Mudhar. Akan tetapi dalam Alqur'an tidak
terdapat sesuatupun selain bahasa Arab, karena firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah menjadikannya Qur'an dalam bahasa
Arab(QS Azzukhruf: 3) dan karena firman-Nya: Tidaklah Kami
mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya(QS
Ibrahim: 4) serta firman-Nya: Dengan bahasa Arab yang jelas(QS
Asy-Syuara: 195).
3
Kemudian ia berbicara tentang perkembangan yang terjadi
pada bahasa Arab setelah Allah menurunkan agama-Nya yang
hanif kepada rasul-Nya yang terpercaya. Di antara gejala
perkembangan ini adalah dibuatnya makna-makna baru bagi katakata lama, antara lain mu'min, kafir, munafiq, shalat, ruku, sujud,
dan mukhadhram. Sebelum Islam, kata mu'min berasal dari kata
aman dan iman, yaitu membenarkan, kemudian syariah
menambahkan persyaratan dan sifat-sifat untuk dapat dinamakan
mu'min secara umum. Demikian pula dengan kata Islam dan
muslim. Sesungguhnya bangsa Arab hanya mengenal dari kata itu
Islamusy syai. Kemudian pula bangsa Arab tidak menganal kata
kufur kecuali tutup dan tirai.
Kemudian ia berbicara tentang karakteristik-karakteristik
bahasa Arab dan menjelaskan, antara lain:
(1) Bayan, yaitu pemerian ujaran yang paling komunikatif; Allah
SWT berfirman: (Dan sesungguhnya Alqur'an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar-Ruh
Al-amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas) (QS Asy-Syu'ara 192195). Dan Allah SWT mengkhususkan bahasa Arab dengan
bayan. Ibnu Faris berpendapat bahwa al-bayan membuat bahasa
Arab sebagai bahasa yang paling utama dan paling luas. Oleh
karena itu seorang penerjemah tidak akan mampu mengalihkan
Alqur'an dalam bahasa lain sebagaimana adanya. Akan tetapi
mereka (para penerjemah) dapat mengalihkan Injil dari bahasa
Suryani ke dalam bahasa Ethopia dan bahasa Rumawi.
(2) I'rab, yaitu pembeda antara makna-makna yang setara lafalnya.
Dengan i'rab, khabar dapat diketahui yang merupakan pokok
ujaran. Dan seandainya tidak ada i'rab, tentu tidak dapat dibedakan
fa'il dari maf'ul , mudhaf dari man'ut, ta'ajjub dari istifham, shadar
(fi'il) dari mashdar, na'at dari taukid.
4
Setelah itu Ibnu Faris beralih ke pembicaraan tentang tataran
kajian bahasa, yaitu ashwat (fonologi), sharaf (morfologi), nahwu
(sintaksis), dan dalalah (semantik).
(1) Ashwat (Fonologi) berbicara tentang segala bunyi selain
bahasa Arab dan menjelaskan cara pengubahannya dalam bahasa
Arab. Dia berkata tentang ini dengan mengalihkan dari Ibnu
Duraid: Huruf yang tidak dilafalkan oleh bangsa Arab kecuali
apabila perlu. Apabila mereka terpaksa kepadanya, maka mereka
mengubahnya ketika berbicara dengannya kepada huruf yang
paling mendekati makhrajnya. Di antara huruf-huruf itu adalah
yang terletak pada ba dan fa. Misalnya, kata bur, apabila mereka
terpaksa, maka mereka mengatakan fur; huruf yang ada di antara
qaf dan kaf serta jim, yaitu bahasa yang beredar di Yaman, seperti
jamal apabila mereka terpaksa, maka mereka mengatakan kamal;
huruf yang ada di antara syin, jim, dan ya; dalam mudzakar
ghalamij dan dalam muannats ghalamisy. Adapun Bani Tamim,
maka mereka membubuhkan kaf dengan lahah (anak lidah)
sampai keras sekali. Maka mereka mengatakan alqayyum hingga
berada antara kaf dan qaf. Dan inilah bahasa pada mereka.
(2) Huruf-huruf bergabung: dalam kata-kata Arab yang banyak
frekuensi pemakaiannya disyaratkan tersusun dari huruf-huruf
bergabung. Adapun huruf yang tak bertitik, maka diperikan bahwa
huruf itu terbagi atas dua macam. Pertama yang tidak boleh sama
sekali tersusun huruf-hurufnya pada bangsa Arab, yaitu seperti
jim disusun dengan kaf atau kaf didahulukan atas jim dan seperti
'ain dengan ghain atau ha (tengah tenggorokan) n atau ha
(pangkal tenggorokan) atau ghain. Kedua, tidak boleh hurufhurufnya bergabung, tetapi bangsa Arab tidak mengata-kannya,
seperti ghadhakha. Dan ketiga, yaitu seseorang yang hendak
mengatakan suatu kata atas lima huruf yang tidak ada di antara
yang lima huruf itu salah satu huruf dzalq atau ithbaq.
5
(3) Mengganti huruf, seperti pada madahahu (
madahahu ( ;) دھrifl ( )ر لdan rifn ()ر ن.
) دdan
Sharaf (Morfologi)
Ia berbicara tentang pentingnya tataran kajian morfologi
dalam bahasa. Adapun tashrif (deklinasi), orang yang kehilangan ilmunya, maka ia kehilangan sebagian besarnya. Sebab kita
mengatakan: wajada, yaitu kata yang samar. Apabila kita
menashrifnya, maka jelaslah kata itu. Lalu kita mengatakan
wujdan pada harta; wijdanan dalam kesesatan; maujidatan dalam
marah; dan wajdan dalam kesedihan. Allah SWT. Berfirman:
{Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka
mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam}(QS Al-Jinn:15)
Dan Allah SWT berfirman: {Dan berlaku adillah, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil}(QS Al-Hujurat:
15). Bagaimana makna dapat berubah melalui tashrif adil ke
zalim. Hal yang demikian itu terjadi dalam isim (nomina) dan fi’il
(verba). Kemudian mereka mengatakan untuk jalan di pasir
khibbah; untuk tanah yang subur dan kering khabbah; tentang
tanah yang datar khuwwarah: kharat – khauran – khauran; tentnag
banteng; khara – khuwaran; tentang manusia apabila lemah: khara
– khawaran. Dan mereka mengatakan untuk wanita yang besar:
dhanakum; untuk anak bungsu dhunakun. Mereka mengatakan
untuk yang telah habis susunya syaulun: syaulun adalah bentuk
jamak dari syailun; untuk unta yang tidak ada ekornya:
syuwwalun, yaitu jamak dari syailun. Mereka mengatakan orang
yang sedang rindu ‘ammid; untuk unta yang tinggi punuknya
‘amid dan ujaran selain itu itu yang tak terhitung(1)
Morfologi berbicara tentang topik-topik morfologis
berikut:
6
(1) Isim mufrad, mutsana, dan jama’;
(2) Dalalah fi’il madhi terhadap zaman madhi dan mudhari; dan
dalalah mudhari terhadap madhi;
(3) Membedakan fi’il lazim (verba intransitif) dan fi’il muta’addi
(verba transitif);
(4) Wazan-wazan yang menunjukkan banyak, seperti fa’ul. fa’aal
dalam contoh dharub dan dharrab;
(5) Makna-makna wazan fi’il.
Nahwu (Sintaksis)
Nahwu (Sintaksis) dalam tataran ini mempelajari macammacam kalimat dalam bahasa Arab. Kalimat terbagi atas khabar
(berita), istikhbar (istifham/tanya), amar (perintah), nahy
(larangan), du’a (permohonan), thalab (permintaan), ‘ardh
(tawaran/ajakan), tahdhid (anjuran), tammani (harapan/anganangan), dan ta’ajjub (aklamasi).
Dalalah (Semantik)
Dalalah (Semantik) berbicara tentang hakikat (makna
sebenarnya) dan majaz (makna kiasan/pinjaman), taraduf
(sinonim), tadhad (antonim), dan musytarak lafdhi (polisemi).
Dari sajian ini, dapat kami simpulkan bahwa fiqhullughah menurut
Ibnu Faris berarti:
(1) kajian tentang asal usul, perkembangan, dan pembagian bahasa
ke dalam beberapa dialek;
(2) studi berbagai tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis
dan dalalah.
Dia mengaitkan studi filologi dengan pemahaman AlQur’anul Karim secara baik dan cermat. Seolah-olah tujuan studi
filologi adalah studi dan pemahaman teks Alqur’an.
Kedua: Filologi dan Rahasia Bahasa Arab
7
Pusaka Arab dikenal sebagai buku kedua yang
mengandung istilah filologi yang berjudul buku Fiqhullughah
(Filologi) dan Sirrul al-Arabiyyah (Rahasia bahasa Arab) karya
Abu Mansur Tsa’labi yang wafat tahun 430 H. Tsa’labi semangat
dengan Ibnu Faris. Tsa’labi menyusun bukunya setelah munculnya buku Shahibi yang lebih dahulu dikenal. Buku Tsa’labi
terbagi atas dua bagian. Bagian pertama, yang dinamakan fiqhullughah menurut Tsa’labi adalah salah satu kamus bahasa yang
merupakan wadah tersusunnya materi secara maknawi, bukan
berdasarkan susunan huruf hija (abjad). Adapun manfaatnya
adalah bagi orang mengetahui makna, menuntut lafal yang
mengartikannya, berbeda dengan kamus lafal yang hendak diteliti
tentang makna-makna lafal yang hendak ditafsirkan oleh peneliti.
Kitab Fiqhullughah Tsa’labi ada hubungan erat dengan kitab AlGharib al-Mashnaf karya Abu Abdil Qasim bin Salam. Ia
dianggap sebagai pembuka jalan untuk menyusun kitab AlMukhashash karya Ibnu Sayyidih.
Dan karangan Tsa’labi yang menyerupai kitab Shahibi
adalah bagian kedua dari kitabnya: Sirrul al-‘Arabiyah (1) berbeda
dengan materi Fiqhullughah menurut Ibnu Faris.
Fiqhullughah (filologi) menurut Tsa’labi berarti memahami
perbedaan-perbedaan yang mendetail antarmakna yang berkisar
seputar topik yang sama, yaitu mempelajari apa yang dapat
dinamakan fiqhullughah (filologi) menurut para linguis Arab
Modern.
Kitab Fiqhullughah karangan Ali Abdul Wahid Wafi:
Dr. Ali Abdul Wahid Wafi berpendapat bahwa ada dua
ilmu untuk mengkaji bahasa. Pertama mengkaji bahasa secara
umum dari segi aturan-aturan umum bagi perlakuan bahasa
tentang pertumbuhannya, peralihannya dari generasi (ulama) salaf
(terdahulu) ke generasi (ulama) khalaf (terakhir), pem-bagiannya
8
ke dalam beberapa cabang, terbentuknya kelompok bahasa dan
rumpun-rumpunnya, pergulatannya satu sama lain, dan
perkembangannya dari generasi salaf ke generasi khalaf. Ilmu ini
dinamakan istilah ilmu lughah (linguistik). Kedua mengkaji
rumpun bahasa tertentu, yaitu rumpun bahasa semit secara umum
dan bahasa Arab secara khusus. Ilmu ini dinamakan Fiqhullughah
(Filologi). Dia mengatakan dalam muqadimah kitabnya
(Fiqhullughah): Karangan kami ini dengan kedudukan bagian
kedua dari buku kami adalah ilmu lughah (linguistik), hanya saja
kami lebih mengutamakan penamaannya dengan nama khusus
yang sering dipakai dalam topik-topik yang disajikannya,
khususnya apa yang berkaitan dengan bahasa Arab. Topik-topik
yang dibahas dalam bukunya (fiqhullughah) mencakup hal-hal
berikut:
1. karakteristik bahasa Semit dan ciri terpenting,
2. pertumbuhan dan perkembangan bahasa Arab,
3. studi tataran bahasa Arab: fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan stailistik (gaya bahasa).
Fiqhullughah (Filologi) menurut Dr. Ali Abdul Wahid
Wafi berarti kajian tentang topik-topik pertumbuhan dan
perkembangan bahasa, ciri-ciri bahasa, dan studi berbagai tataran
bahasa. Ini menyerupai pendapat kami menurut Ibnu Faris dan
Tsa'labi dalam bagian yang berbicara tentang rahasia bahasa Arab.
Filologi Menurut Para Linguis Barat
1. Makna menurut bahasa:
Sesungguhnya istilah filologi berasal dari bahasa Yunani,
yang tersusun dari (philos) dengan arti kecintaan atau persahabatan dan (logos) dengan arti bahasa. Maknanya secara keseluruhan adalah cinta bahasa.
9
2. Makna menurut istilah:
Para linguis Eropa bersilang pendapat dalam membatasi
konsep filologi menurut istilah. Pendapat terpenting tentang hal itu
adalah sebagai berikut.
a. Sebagian linguis berpendapat bahwa filologi berarti hanya
mengkaji kaidah-kaidah sintaksis dan morfologi dan mengkritik
teks-teks peninggalan klasik.
b. Sebagian linguis lain berpendapat bahwa filologi berarti
mengkaji kata-kata, aturan-aturan, susunannya dalam kamus.
c. Senior Guidi berpendapat bahwa filologi mangkaji sejarah
bahasa dan mengkontraskan bahasa-bahasa, sintaksis, morfologi,
'arudh, ilmu balaghah, ilmu sastra dengan arti luas. Maka filologi
mencakup sejarah sastra, sejarah ilmu pengetahuan, dari segi
penyusunan buku-buku ilmiah, sejarah fiqh dari segi pembukuannya pada lembaga-lembaga dan majalah-majalah, sejarahsejarah agama dari segi pengkajian kitab-kitab suci, dan karangan
buku-buku keagamaan dan ketuhanan.
d. John B. Carrol berpendapat dalam bukunya (studi bahasa)
bahwa folologi adalah bumi (disiplin ilmu) yang luas antara
linguistik dari satu segi dan kajian-kajian sastra dan sosial dari
segi lain. Atas dasar ini filologi menaruh perhatian terhadap
dokumen-dokumen budaya dan sosial dengan berbagai jenisnya.
Demikian pula, filologi mementingkan kajian-kajian sastra dan
budaya. Kemudian pada akhirnya dia menjelaskan bahwa di antara
hasil kajian filologi adalah kajian sejarah budaya bahasa dan
pembuatan kaidah-kaidah umum serta penjelasan karya sastra dan
sastra masyarakat(1)
e. Robins berpendapat bahwa filologi dipakai sedikit berbeda oleh
setiap orang-orang Baritania, orang-orang Jerman, dan orangorang Perancis. Dalam pemakaian orang-ornag Baritania,
istilahnya sama dengan filologi bandingan, yaitu yang sekarang
dinamakan linguistik bandingan dalam istilah kebahasaan. Adapun
10
istilah ini menurut orang-orang Jerman berarti kajian ilmiah
tentang teks-teks sastra lama, khususnya teks-teks bahasa Yunani
dan bahasa Rumawi klasik. Lebih dari itu, filologi barati kajian
tentang tentang budaya dan peradaban melalui teks-teks sastra.
Adapun filologi bandingan menurut orang-orang Inggris
dikontraskan dengan linguistik bandingan menurut orang-orang
Jerman. Dan Robins mengemukakan pendapatnya : Barangkali
tafsiran orang-orang Jerman terhadap istilah ini berarti bahwa
filologi mengaitkan linguistik dengan kajian keindahan dan sosial
tentang sastra dan bidang acuan ahli berbagai fenomena peradaban
pada kesimpulan linguistik dalam memahami teks-teks dan
prasasti-prasati dan dalam membuat asas-asas yang mengacu pada
manuskrip-manuskrip, dokumen-dokumen, dan bahan-bahan
untuk dijadikan landasan kajiannya. Hubungan antara linguistik
dan filologi dengan makna yang terakhir ini sangat dekat dan
lapangan keduanya sering bertemu. Linguistik dengan arti sempit
memusatkan perhatinnya pada analisis untuk mensintesis dan
memerikan bahasa. Manakala para linguis memperluas bidang
garapannya, lalu mengolah makna, maka mereka mendekati
bidang filologi Eropa pada abad 19, yaitu filologi pernah
mendominasi bidang kajian bahasa. Itu sebagai akibat penemuan
bahasa sangsekerta(1).
Setelah penyajian ini, kita dapat mengatakan bahwa
filologi menurut orang-orang Barat berarti kajian bahasa secara
historis dan komparatif dan penyelidikan teks-teks untuk
memahami sejarah budaya dan sastra masyarakat bagi bangsa
yang bertutur dengan bahasa itu sebagai tempat kajiannya. Dan
pemahaman akan istilah itu dengan makna ini dekat dengan
pemahamannya menurut para linguis Arab terdahulu dan modern.
11
FASAL II
LINGUISTIK
1. Linguistik menurut para linguis Arab
Orang yang pertama kali memakai istilah ini adalah Ibnu
Khaldun dalam mukadimahnya. Menurut pendapatnya, linguistik
berarti leksikologi dengan berbagai jenisnya, baik berkaitan
dengan pengumpulan lafal-lafal yang bertahap di bawah satu topik
atau ia berkaitan dengan sinonim, kata serapan, dan polisemi.
Setelah itu, istilah linguistik dipakai oleh Jalaluddin sebagai judul
bukunya "Al-Muzhir fi 'Ulumil Lughah wa Anwa'iha".
Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa buku ini tidak berbeda
dengan buku "Fiqhullughah al-'Arabiyah" karangan Ibnu Faris
dan "Fiqhullughah" karangan Tsa'labi.
Ini berarti bahwa para linguistik Arab terdahulu tidak
membedakan dalam pemakaiannya konsep kedua istilah:
fiqhullughah (filologi) dan ilmullughah (linguistik)(1).
2. Linguistik menurut para linguis Barat
Linguistik ialah ilmu yang mengkaji secara ilmiah bahasa
itu sendiri dan maksudnya itu sendiri. Ilmu ini berdasar pada
prinsip tidak melebihkan suatu bahasa atas bahasa lain. Ia
mengkaji bahasa seluruh masyarakat sosial. Dalam kajiannya, ia
menaruh perhatian pada struktur setiap bahasa dan cara
pemakaiannya dari pihak para anggota masyarakat yang bertutur
dengan bahasa itu sebagai objek kajiannya serta hubungan bahasa
ini dengan bahasa-bahasa lainnya. Demikian pula ilmu ini
mengkaji bagaimana bahasa itu bisa berbeda dari satu dialek ke
dialek lain dan bagaimana ia berkembang sejalan dengan
perkembangan zaman.
Sesungguhnya kita telah mengetahui atas dasar bahasa
bahwasanya itu adalah kajian ilmiah tentang bahasa. Definisi yang
12
sederhana ini menutup - dibalik itu – perbedaan pendapat tentang
pembatasan makna istilah kajian ilmiah tentang bahasa. Oleh
karena itu secara sederhana dapat kita katakan bahwa kajian
ilmiah adalah kajian yang berdasar pada organisasi korpus bahasa
sesuai dengan salah satu metode penelitian bahasa. Linguis
mengkaji bahasa untuk menemukan karakteristik sistem bahasa
yang mendasar. Tentu dia tidak akan mampu melakukan yang
demikian itu kecuali ia memiliki latar belakang pengetahuan
tentang metode-metode struktur bahasa.
Dari segi lain, linguis harus mengkaji teori yang akan
dipilihnya tentang struktur bahasa untuk membuktikan bahwa teori
itu sesuai dengan fakta bahasa yang dikumpulkannya melalui
kajiannya. Dari berbagai kecenderungan penelitian bahasa, akan
jelaslah bagi kita bahwa sebagian kecenderungan itu terpusat pada
suatu masalah tertentu sementara kecenderungan lain berpusat
pada masalah yang lain. Mazhab bahasa berpusat pada organisasi
bahan dan masalah kurikulum yang kadang-kadang dihadapi oleh
peneliti ketika penelitian itu sedang berlangsung. Sebagian yang
lain meneliti cara penutur mengalihkan gagasannya kepada
pendengar. Atau dengan kata lain bagaimana penutur mengadakan
hubungan komunikasi dengan pendengar. Akan tetapi meskipun
demikian dapat dikatakan bahwa berbagai teori kebahasaan
berpusat pada struktur bahasa dan kajian tentang bahan (korpus)
bahasa yang dihimpun sesuai dengan sistem tertentu. Dalam
linguistik – sebagaimana dalam ilmu-ilmu lain - kita dapati bahwa
teori dan aplikasi itu terpadu dan saling berkaitan.
Sesungguhnya segala jenis analisis bahasa berdasar pada
prinsip asumsi bahwa bahasa adalah kompleks. Ini berarti bahwa
ujaran apapun yang kita dengar tidak terdiri dari kata-kata secra
acak, tetapi ia yang tersusun sesuai dengan asas-asas tertentu.
Asas-asas ini membatasi kata-kata yang digunakan, bentuk, dan
13
susunan. Linguis dalam analisis yang dilakukannya mengguna-kan
tiga aturan, yaitu:
(1). menyeluruh, yaitu analisis yang menyeluruh terhadap semua
bahan (korpus) yang dihimpun;
(2). terpadu, yaitu tidak ada kontradiksi antarberbagai bagian
kajian;
(3). ekonomis, yaitu semakin ungkapan yang dipakai dalam
memerikan struktur tertentu itu sedikit, maka ini semakin lebih
baik daripada berlaku umum.
Menyeluruh dan ekonomis itu bebas. Artinya bahwa
ungkapan yang ringkas atau penjelasan yang ringkas itu tidak
lebih baik apabila penjelasan itu tidak menyeluruh/mencakup
semua bagian yang dikaji. Dari segi lain kita dapati bahwa
pemerian yang menyeluruh kadang-kadang berubah dengan
adanya penyimpangan kaidah yang tidak dapat dihindari. Sebagai
kesimpulan dari penerapan asas-asas yang tiga ini, linguis
mengantisipasi bahwa dia telah mematuhi objektivitas dalam
pemeriannya. Tujuannya selalu mengajukan analisis yang dapat
diterima untuk diterapkan oleh pihak penganalisis itu sendiri dan
dari pihak lain yang mematuhi metodenya dalam pemerian.
Sesungguhnya mematuhi objektivitas dalam kajian kebahasaan –
sebagimana akan tampak jelas bagi kita nanti – termasuk salah
satu ciri metode ilmiah bagi linguistik(1).
Pada masa modern kajian-kajian kebahasaan telah meluas
dan sekarang para linguis membedakan dua bidang garapan
liguistik.
Pertama, bidang yang luas yang mengkaji secara umum
dan menyeluruh segala apa yang berkaitan dengan bahasa.
Kemudian dikajinya dari aspek psikologis; inilah yang diistilahkan
dengan nama “psikolinguistik”; dikajinya dari aspek sosial; inilah
yang diistilahkan dengan nama “sosiolinguistik”; dari aspek
sejarah; inilah yang dinamakan “linguistik historis”; dikajinya dari
14
penyakit ujaran yang menimpa sebagian orang; inilah yang
dinamakan “patologi bicara”; dikajinya dari arah pandang
komunikasi dan alat hitung otomatis; bidang inilah yang
dinamakan “makrolinguistik”
Kedua, bidang yang terbatas pada struktur bahasa yang
mencakup struktur fonologi, sintaksis, dan semantik. Inilah bidang
khusus dalam kajian bahasa dan dinamakan “mikrolinguistik”(1).
Ciri-ciri Metode Ilmiah Linguistik
Pada alinea terdahulu, telah kami jelaskan bahwa linguistik
mengikuti metode ilmiah dalam mengkaji bahasa dan telah kami
jelaskan bahwa objektivitas dapat membentuk salah asas metode
ini. Jadi apa asas-asas ini? Metode ini berdasar pada tiga asas,
yaitu: (1) diqqah (akurasi), (2) tandhim (sistematisasi), dan (3)
maudui’yyah (objektivitas).
Diqqah (Akurasi)
Yang dimaksud dengan diqqah (akurasi) adalah membatasi secara akurat (cermat) makna istilah-istilah yang kita hadapi
dalam kajian kebahasaan kita. Misalnya, apabila kita menghadapi
definisi isim (nomina), kita tidak dapat menerima definisi yang
mengatakan bahwa isim (nomina) adalah kata yang menunjukkan suatu yang diberi nama. Akan tetapi definisi yang lebih
diutamakan oleh linguistik adalah kata yang didahului oleh salah
satu harf jarr atau menerima alif lam atau tanwin atau salah satu
huruf nida atau isnad (predikasi). Dan ia mempunyai
keistimewaan karena dapat ditatsniyahkan dan menerima tandatanda i’rab dan idhafat.
Linguis tidak dapat mengacu pada istilah-istilah yang tetap
manakala ia menganalisis bahasa yang dikajinya. Masalah ini
terkadang menuntut pemakaian istilah baru atau pemakaian istilah
15
lama. Akan tetapi dengan makna baru, ini menuntut perubahan
segala istilah terdahulu karena istilah-istilah yang dipakai dalam
linguistik saling bergantung satu sama lain. Suatu istilah terkadang
membatasi istilah lain atau sebaliknya terkadang terbatas
dengannya. Misalnya, apabila kita himpun lafal-lafal dan kita lihat
sebagiannya diakhiri dengan alif dan nun, maka kita tidak dapat
mengatakan bahwa itu semuanya adalah mutsanna (dualis), seperti
wildan dan Utsman. Sebab, wildan mempunyai bentuk mufrad
(tunggal), yaitu walad. Adapun Utsman, maka ia tidak mempunyai
bentuk mufrad. Ini berarti bahwa ia adalah mufrad dengan
sendirinya. Dari sini kita mengeluarkan definisi mutsanna bahwa
mutsanna adalah isim (nomina) yang diakhiri dengan alif dan nun
dengan syarat ia mempunyai bentuk mufrad dari lafalnya. Adapun
apabila kita mengatakan bahwa mutsanna adalah lafal yang
diakhiri dengan alif zaidah dan nun ziadah, maka definisi ini tidak
tepat karena alif dan nun dalam kata seperti ‘athasyan, itu adalah
zaidah. Sekalipun demikian ia bukan mutsanna karena tidak
mempunyai bentuk mufrad dari lafalnya.
Jadi, supaya cermat dalam keputusan-keputusannya,
linguis mengacu pada prinsip penting, yaitu taqabul (pengkontrasan). Unsur ini dipakai dalam semua tahapan analisis
kebahasaanya. Dan prinsip inilah yang bertanggung jawab
terhadap pembedaan berikut dalam kajian fonologis: majhur
(bersuara) kontras dengan mahmus (takbersuara); mufakhkham
(ditebalkan ucapannya) kontras dengan muraqqaq (ditipiskan
pelafalannya); infijari (hambat) kontras dengan ihtikaki (frikatif);
basith (sederhana) kontras dengan murakkab (kompleks); shamit
(konsonan) kontras dengan harakat (vokal).
Dalam bidang sharaf
(morfologi), mufrad (tunggal)
kontras dengan mutsanna (dualis) dan jama’; mudzakkar kontras
dengan muannats; isim (nomina) kontras dengan fi’il (verba); isim
kontras dengan sifat (ajektiva), dharaf (adverbia), dan dhamir
16
(pronomina). Dan dalam bidang nahwu (sintaksis) jumlah ismiyah
(kalimat nominal) kontras dengan jumlah fi’liyah (kalimat verbal);
jumlah basithah (kalimat sederhana) dengan jumlah murakkabah
(jumlah kompleks).
Pengkontrasan itu harus cermat (teliti) sekali. Jika tidak,
maka studi itu tidak akan membuahkan kesimpulan yang baik.
Misalnya, apabila kita katakan bahwa fi’il mudhari menunjukkan
peristiwa yang terjadi pada masa kini, seperti Muhammad yal’abu
dan fi’il madhi menunjukkan peristiwa yang terjadi pada masa
lalu, seperti: Muhammad la’iba, serta dari hasil analisis itu kita
simpulkan, maka kesimpulan ini tidaklah akurat. Sebab, kita
mengabaikan faktor penting sebelum sampai kepada kesimpulan
ini, yaitu hubungan antara zaman (tense) dan waktu (time). Di sini
kita harus mempertanyakan: Apakah zaman fi’il madhi membawa
peranan lain dalam bahasa selain mengisyaratkan waktu tertentu?
Apakah ada cara lain yang dipakai oleh bahasa untuk
mengisyaratkan waktu tertentu yang jauh dari pemakaian sistem
zaman? Kita tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
kecuali apabila kita telah mengumpulkan sampel (korpus) bahasa
tertentu dan kita telah mengkajinya. Sekarang marilah kita
perhatikan contoh-contoh berikut.
1. Dalam iklan salah satu surat kabar terdapat: Assayyid Fulan
yamuutu fi al-mustasyfaa. Kalimat ini tidak berarti bahwa sayyid
ini sedang sakaratul maut pada waktu terbitnya surat kabar,
melainkan berarti bahwa ia betul-betul telah mati.
2. Misalnya, engkau adalah penanggung jawab pada salah satu
kantor pemerintah, kemudian engkau memanggil salah seorang
pegawai dan kaukatakan kepadanya ketika memasuki ruangan:
Yaquulu zamiiluka innaka turiidu an tatakallama ma’ii. Ini tidak
berarti bahwa engkau menerangkan keinginanmu untuk berbicara
dengan pegawai ini pada waktu engkau berbicara dengannya
17
melainkan berarti bahwa penjelasan tentang keinginan berbicara
itu telah muncul sebelum itu.
Ini berarti bahwa shighat mudhari’ dipakai dalam kedua
contoh tadi untuk menunjukkan zaman lampau. Demikian pula
fi’il mudhari’ pada contoh-contoh lain menunjukkan mudhari’.
Misalnya: Akhi yaktubu ad-dars fi al-hujrah wa ummi tu’iddu aththa’am fi al-mathbakh.
Kesimpulan yang akurat yang dapat diinduksi ialah bahwa
mudhari’ mununjukkan madhi dalam beberapa konteks dan
menunjukkan mudhari’ dalam konteks-konteks lain.
Kesimpulan ini mengalihkan kita ke pertanyaan lain:
Apakah ada unsur-unsur kebahasaan lain yang menunjukkan
waktu selain fi’il-fi’il. Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita
harus memperhatikan pertanyaan berikut:
Shallaitu al-jum’ata ams ma’a ashdiqai fi al-ka’bah al
musyarrafah wa adzhabu ghadan ilaa ‘amalin fi ar-Riyadh.
Kalimat ini memberi pengertian bahwa pelaksanaan shalat jum’at
telah terjadi pada waktu yang lalu sebelum munculnya kalimat itu
dan kepergian ke pekerjaan akan berlangsung setelah munculnya
kalimat tersebut.
Jadi, kita dapat sampai kepada kesimpulan yang cermat
yang memberi pengertian bahwa zaraf makan (keterangan tempat)
dapat menentukan waktu secara lebih cermat dalam kalimat tadi.
Tandhim (Sistematisasi)
Prinsip ini berarti bahwa usaha yang pertama kali
dilakukan oleh linguis ialah menghimpun bahan (korpus) kebahasaan yang hendak dikajinya, kemudian setelah itu menganalisisnya berdasarkan tataran-tataran berikut.
1. Tataran bunyi, mencakup fonetik dan fonologi.
a. Fonetik, dalam fonetik linguis menaruh perhatian pada kajian
gerakan-gerakan organik yang dilakukan oleh organ yang
18
membentang dari dada sampai kepala, nada bunyi yang
diakibatkan oleh gerakan-gerakan ini, penelusuran peralihannya
dalam udara sampai bertabrakan dengan gendang telinga,
pembagian bunyi yang tampak ke dalam shawamit (konsonan) dan
harakat (vokal), pembagian konsonan ke dalam majhur (bersuara)
dan mahmus (takbersuara), infijari (hambat) dan ihtikaki (frikatif),
murraqqaq (bunyi tipis) dan bunyi mufakhkham (bunyi tebal),
vokal depan, vokal belakang, dan vokal tengah dan pembagiannya
ke dalam bunyi tinggi dan bunyi rendah.
b. Fonologi, dalam fonologi linguis menaruh perhatian pada
penelusuran aspek-aspek berikut.
(1) Cara pelafalan satu bunyi oleh para penutur. Tidak syak lagi
bahwa masing-masing dari kita berbicara dengan caranya yang
khas sesuai dengan pembentukan psikologis dan kebiasaan
berbahasanya. Oleh karena itu kita dapat membedakan suara-suara
orang lain ketika mereka berbicara – misalnya – melalui telepon.
Demikianlah bunyi-bunyi yang digunakan dalam bahasa apapun
tidak diucapkan dengan satu pola, tetapi diucapkan oleh anggotaanggota masyarakat dengan berbagai cara.
(2) Cara pelafalan bunyi yang sama dalam berbagai konteks
bahasa. Tidak syak lagi bahwa masing-masing dari kita tidak
mengucapkan satu bunyi dengan bentuk yang sama dalam
berbagai konteks bahasa. Yang demikan itu karena kontekslah
yang membatasi bentuk ucapan. Misalnya, bunyi alif mamdudah
terpengaruh oleh bunyi-bunyi yang sebelumnya atau sesudahnya.
Jika bunyi yang mendahuluinya itu muraqqaq, maka diucapkan
muraqqaq (ditipiskan), seperti saala dan baada, sedangkan jika
bunyi yang sebelumnya itu mufakhkham, maka diucapkan
mufakhkham, seperti shaala dan baadha.
Juga, kontekslah yang membatasi munculnya bunyi
tertentu dalam suatu kata dan kesamaran bunyi itu dalam kata
lainnya, seperti min dan mim ; asy-syams dan al-qamar.
(3) Meninggikan suara atau merendahkannya; ini menunjukkan
kepribadian penutur. Terkadang dia menonjolkan bunyi tertentu
karena menginginkan sesuatu tertentu. Inilah yang dinamakan
nabr (stress) dan tanghim (intonasi).
2. Tataran Morfologi
Dalam tataran morfologi linguis menaruh perhatian pada
studi kontruksi intern kosakata, mengetahui konstruksi dasar,
menentukan afiks yang melekatnya, dan menelusuri perubahan
yang terjadi padanya untuk menghasilkan berbagai makna.
Misalnya: kataba, aktaba, dan kaataba. Kataba hanya bermakna
menulis ; aktaba bermakna bahwa seseorang mendiktekan sesuatu
kepada orang lain untuk ditulisnya; dan kaataba bermakna bahwa
seseorang berkorespendensi dengan orang lain.
3. Tataran Sintaksis
Dalam tataran sintaksis linguis mengkaji teknik-teknik
penyusunan kata-kata dalam kalimat dan sarana-sarana keterpaduannya, yaitu bentuk morfologi, posisi letak, persesuaian dalam
bentuk tunggal, dualisme dan jamak; dalam jenis, ta’yin dan tanda
i’rab. Misalnya, kalimat: Akala Muhammad ath-tha’aama dikaji
oleh linguis sesuai dengan sistem berikut:
(2)
ل
اط م
(1) Dari segi unsur-unsur morfologi:
19
20
(1)
أ
Unsur morfologi pertama adalah fi’il (akala) sebagai
musnad (predikat). Unsur morfologi kedua adalah isim
(Muhammad) berfungsi sebagai musnad ilaih atau fa’il (subjek).
Adapun kata (atha’aam) tidak dianggap sebagai unsur ketiga tetapi
ia berkaitan dengan fi’il (verba) untuk mengkhususkan makna
kejadian, yaitu al-akl (makan).
(2) Dari segi posisi letak, musdnad ada di awal (predikat)
kemudian diiringi oleh musnad ilaih (subjek).
(3) Dari segi tathabuq (persesuaian):
- dalam ifrad (tunggal jamaknya): musnad ilaih dan musnadnya
adalah mufrad;
- dalam jenis (mudzakkar muannatsnya): musnad ilaihnya
adalah mufrad;
- dalam ta’yin (nakirah ma’rifatnnya): musnad iliah tidak
disyaratkan ma’rifat atau nakirah.
(4) Dari segi tanda i’rab: musnad ilaih marfu’ karena ia adalah
isim mufrad dan bertashrif, sedangkan musnad adalah mabni ‘alal
fath ia adalah fi’il madhi yang tidak disandarkan kepada sesuatu.
Adapun maf’ul bih tidak berkaitan dengan jumlatul isnad
(kalimat predikasi), karena itu di dalamnya tidak disyaratkan studi
posisi letak atau persesuaian, sedangkan tanda i’rab membedakannya dengan nashab. Itu karena tanda nashablah yang
merupakan sarana kebahasaan untuk membedakannya dengan
fa’il.
Maudhu’iyah (objetivitas)
Lingustik mengacu pada metode eksperimental. Metode ini
menuntut penyelidikan fenomena tertentu yang ingin di-kajinya.
Kesimpulannya bersandar pada hasil observasi yang diamati oleh
linguis. Tentu saja ini tidak akan sempurna kecuali apabila terlebih
dahulu linguis menginduksi korpus bahasa dan membaginya serta
mengorganisasinya. Dalam linguistik(1) li-nguis betul-betul
21
menghindari hipotesis. Ketika berlangsung penelitiannya, linguis
menggunakan teknik-teknik statistik dan matematika dan prinsip
yang telah kami kemukakan sebelumnya, yaitu pengkontrasan
antara paling sedikit dua unit bahasa.
Para linguis menggunakan prinsip pengkontrasan ketika
mereka mengkaji suatu bahasa yang tidak mereka ketahui.
4. Linguistik Deskriptif, Historis, dan Komparatif (Bandingan)
* Linguistik Deskriptif
Lingustik deskriptif adalah ilmu yang mementingkan
pemerian dan analisis bahasa sebagaimana dipakai oleh para
penuturnya pada masa tertentu. Masa ini mungkin masa sekarang.
Ini mencakup bahasa-bahasa yang tak tertulis atau bahasa-bahasa
yang tertulis pada masa modern yang sedikitpun tidak kita ketahui
tentang masa lalunya. Dan masa ini mungkin juga masa lalu. Oleh
karena itu disyaratkan linguis mempunyai sumber-sumber tertulis
yang mencerminkan bahasa pada salah satu masa lalu. Yang
demikian itu sebagaimana halnya dalam mengkaji bahasa Arab
fusha karena sudah tersedianya teks-teks syair Jahili, teks Al
Qur’an dan Hadits Nabi yang mulia. Sesuatu yang penting dalam
kajian bahasa secara deskriptif pada masa lalu atau sekarang
adalah konsentrasi secara menyeluruh pada masa tertentu dan
tidak menjauhkan masa sebelumnya atau masa berikutnya.
Linguistik deskriptif pada umumnya dianggap jenis
linguistik yang terpenting karena mencerminkan segi yang
substansial dalam studi kebahasaan. Itu karena ia menjelaskan
garis-garis lebar tentang jenis-jenis kajian bahasa lainnya.
Maksudnya adalah lingusitik historis dan lingustik bandingan(1).
* Lingustik Historis
22
Yang dimaksud dengan Lingustik Historis adalah studi
perkembangan bahasa lewat masa lalu yang ditempuh oleh
bahasa-bahasa itu dalam perubahannya dari periode ke periode
lain, sebab-sebab perubahan dan kesimpulannya, baik sebab ini
merujuk pada faktor linguistik atau faktor non-lingustik. Studi
semacam ini harus berdasar pada pemerian bahasa pada dua tahap
historis atau lebih dari tahap-tahap yang dilalui oleh bahasa
tersebut.
Nanti akan kami jelaskan bahwa De Saussure telah
menunjukkan kedua macam studi ini. Yang pertama dinamakan
Sinkronik dan yang kedua dinamakan Diakronik.
* Linguistik Komparatif (Bandingan)
Lingistik dipandang dalam beberapa segi sebagai studi
banding. Dalam linguistik bandingan, linguis mementingkan
komparansi dua bahasa atau lebih dari satu segi atau lebih.
Linguistik bandingan mengacu pada komparansi untuk menjelaskan hubungan historis antarbahasa tertentu dan menentukan
aspek-aspek kemiripan antarberbagai bahasa tanpa mempertimbangkan faktor sejarah.
Sesungguhnya linguistik bandingan memainkan peranan
yang menonjol dalam studi kebahasaan sejak abad 19 – sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya – karena faktor-faktor
sejarah lebih banyak daripada faktor-faktor bahasa atau metode
penelitian ilmiah dalam bidang bahasa. Oleh karena itu studi ini
disebut filologi bandingan. Sekarang linguistik umum telah
menempati faktor-faktor sejarah ini. Ini berarti bahwa linguistik
bandingan mengacu pada prinsip linguistik umum dalam studi
aspek-aspek kemiripan antara berbagai bahasa(1).
23
FASAL III
BAHASA DAN FUNGSINYA
1. Definisi Bahasa
Menurut Ibnu Jinni (391 H), bahasa adalah bunyi-bunyi
yang diungkapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuan-nya.
Dalam definisi ini, Ibnu Jinni menegaskan bahwa bahasa adalah
fenomena yang berfungsi sosial, yaitu menghubungkan para
anggota masyarakat. Dan setiap masyarakat memiliki bahasa
tertentu.
Menurut De Saussure, bahasa adalah sistem mentalistik
yang merupakan dasar berlangsungnya hubungan unsur-unsur
kebahasaan, baik pada tataran fonologi atau morfologi maupun
sintaksis. Dia berpendapat bahwa sistem inilah yang membatasi
nilai fungsional segala kata, meskipun bukan sistem itu saja yang
melakukan demikian itu, tetapi juga – di samping itu –
perbedaannya, dengan bukti bahwa apabila kita mendengar suatu
bahasa asing yang belum kita ketahui sebelumnya, maka kita akan
mendapati kesulitan dalam membedakan kata-kata dalam kalimat
atau membedakan kalimat dalam paragraf. Dan kita akan
berpendapat bahwa yang kita dengar itu bukanlah bunyi-bunyi
yang berbeda dan tidak bermakna. Oleh karena itu, usaha yang
pertama kali dilakukan dalam belajar bahasa asing adalah kita
menguasai sistem bunyinya(1).
Dan yang menjelaskan kepada kita adalah bahwa bahasa
ialah sistem yang membawa kepada menghubungkan berbagai
unsur pada tataran fonologi dan sintaksis, yaitu studi kedua tataran
ini. Pada tataran fonologi, kita akan melihat contoh bunyi-bunyi
infijariyah (letupan/hambat) dalam bahasa Arab.
24
Bunyi-bunyi dalam tabel berikut mempunyai keistimewaan berdasarkan tempat makhraj (artikulasi) dan sifat (cara
arti-kulasi); majhurah (bersuara) atau mahmusah (tak bersuara).
Laminoalveolar
(Latsawi)
(Aqsha Hanaki)
Pangkal langit-langit
Mahmus
ت
ك
(Takbersuara)
Majhur
د
ج
(Bersuara)
Setiap bunyi dari keempat bunyi ini satu sama lain
berbeda. Perbedaan ini membantu kita dalam membedakan katakata berikut :
–
– – دب
. Maka ا ءberbeda dengan
ا الdalam sifatnya. Oleh karena itu masing-masing dari kedua
bunyi itu mencerminkan bunyi tersendiri. Demikian pula halnya
dengan ا فdan ! " ا. Susunan setiap bunyi dengan bunyi
berikutnya untuk membentuk دبdengan arti ا بitulah yang
diperoleh oleh fi’il tersebut. Karena itu perbedaan antara bunyibunyi itulah yang menjelaskan kepada kita rambu-rambu setiap
bunyi dan susunan setiap bunyi dengan bunyi ء# اitulah yang
mengakibatkan setiap fi’il mempunyai bunyi tersendiri.
Pada tataran sintaksis, kita akan melihat unit-unit verba
(fi’il) yang menunjukkan zaman (kala_) dalam bahasa Arab. Unitunit ini dapat dibagi ke dalam sistem yang tersusun dari 6 (enam)
bagian yang berbeda. Setiap unit mencakup zaman madhi (kala
lampau) dan zaman mudhari’ (kala kini dan kala nanti) dari satu
sisi dan ada tidaknya kontinyuitas dari sisi lain serta ada tidaknya
kejadian dari sisi lain lagi. Tabel berikut dapat memperjelas hal
itu.
25
' رع
ض
------------------------------------------------ م, – )أ+,
– *)أ
---------------------------------------------------- ) - () ر ب
* – م * *)أx
x ( # )
* ن * *)أ – ن
, )أ – زال+, زال
مx
x
, )أ – ط+, ظ
---------------------------------------------------- ) - +
)أ+, ظ
, )م – ن+, ن
م+
, ظ
2. Bahasa dan Ujaran
De Saussure membedakan language (bahasa) dan parole
(ujaran). Language (bahasa) – sebagaimana kami jelaskan
sebelumnya – adalah sistem tersendiri yang menuntut keterkaitan
unsur-unsur bahasa. Sistem ini kolektif antara anggota-anggota
kelompok yang bertutur dengan bahasa yang sama. Dan sistem
inilah yang membatasi ciri-ciri parole (ujaran) anggota-anggota
kelompok ini. Sistem ini dapat dilihat secara sederhana, bahwa ia
mencerminkan kaidah-kaidah umum bahasa. Adapun parole
(ujaran) adalah bentuk tuntutan perwujudan bahasa. Linguis yang
berkebangsaan Amerika (Noam Chomsky), yang terakhir –
membedakan dua fenomena bahasa, yaitu kompetensi (al-kafa-ah)
dan performansi (al-ada). Menurutnya, kompetensi mencer26
minkan pengetahuan ideal pemakai bahasa dengan kaidah-kaidah
bahasanya. Adapun performansi adalah realisasi pengetahuannya
yang sebenarnya. Dan sarana realisasi ini adalah pelafalan.
Performansi mencakup seperangkat faktor psikologi, alam, dan
sosial.
Dari uraian terdahulu dapat kita amati bahwa kedua istilah
yang disampaikan De Saussure itu berbeda dengan kedua istilah
yang dikemukakan oleh Chomsky. Terkadang kedua istilah itu
bertemu dengan kedua istilah tersebut di kesempatan lain. Dari
segi perbedaannya, De Saussure berpendapat bahwa bahasa adalah
karya sosial. Adapun Chomsky berpendapat bahwa bahasa adalah
– dia melambangkannya dengan istilah kompetensi –
mencerminkan salah satu ciri akal seseorang dan berkembang
sesuai dengan pertumbuhannya. Dan dari segi kesamaannya kita
dapati bahwa kajian bahasa menurut mereka berdua bertujuan
menemukan kaidah atau sistem, yang menjadi dasar adanya parole
(ujaran) yang kita dengar(1).
3. Bahasa dan Tulisan
Telah kami jelaskan bahwa bahasa adalah sistem
mentalistik yang menjadi dasar adanya keterkaitan unsur-unsur
bahasa. Adapun parole (ujaran) adalah pengalihan sistem ini ke
ekstra mental (pikiran) dengan memakai bunyi. Dan tulisan adalah
usaha pengalihan ujaran yang terdengar ke dalam suatu fenomena
tulisan yang terlihat. Maka ujaran dapat didengar melalui telinga,
sedangkan tulisan dapat dilihat melalui mata. Karena itu tulisan
adalah upaya menerjemahkan ujaran ke dalam fenomena tulisan
yang terlihat. Juga tulisan adalah upaya meng-alihkan ujaran dari
aspek waktu ke dalam aspek tempat. Sebab itu, fenomenafenomena bunyi adalah untaian dalam waktu sedangkan huruf
adalah untaian dalam tempat. Dari sini dapat kita simpulkan
27
bahwa bahasa Arab merupakan suatu masalah, sedangkan tulisan
Arab merupakan masalah lain. Dengan demikian tulisan
mempunyai kedudukan tertentu, yaitu mem-bukukan bunyi-bunyi
konsonan, seperti : د3 ا- 2 - ء – ا# اdan sebagainya; bunyibunyi vokal panjang, yaitu dhammah thawilah, fathah thawilah,
dan kasrah thawilah(1).
* Fungsi bahasa
Bahasa mempunyai fungsi penting di masyarakat. Fungsi
yang terpenting ada dua, yaitu:
1. Bahasa adalah sarana komunikasi antaranggota kelompok yang
bertutur dalam bahasa yang sama. Untuk menjelaskan makna
istilah ini dan cara berlangsungnya, kami kemukakan contoh
berikut.
Apabila kita misalkan bahwa kita mempunyai seorang
pembicara yang kita beri lambang dengan huruf (A) dan pendengar yang kita beri lambang dengan huruf (B). A ingin
mengatakan sesuatu kepada B dan B akan memahaminya. Di sini
terjadi proses komunikasi melalui bahasa. Proses komuniksai
terdiri dari langkah-langkah berikut.
(1) Memilih makna
Tentu saja, A akan mempunyai suatu makna yang ingin dia
alihkan kepada B. Langkah pertama yang dilakukannya adalah
menentukan makna yang mengungkapkan makna-makna yang
hendak diungkapkannya. Ini menyerupai proses redaksi surat.
Pertama penulis menentukan makna yang hendak diungkapkannya.
(2) Memilih pola-pola sintaksis
Setelah pembicara menentukan unit semantik yang sesuai
dengan suratnya, dia menyusunnya dengan cara yang dituntut oleh
sistem sintaksis dalam bahasanya. Misalnya, apabila pembi-cara
28
mempunyai makna-makna berikut: 5 – 4 * –
, dia ingin
mengatakan bahwa Muhammad telah menemui Ali, maka dia
terpaksa menjadikan Muhammad sebagai fa’il (subjek) dan Ali
4 *.
sebagai maf’ul bih (objek). Dia mengatakan :
Adapun apabila dia ingin mengatakan bahwa Ali adalah yang
menemui Muhammad, maka ketika itu kita ubah sistemnya, di
mana kita jadikan yang menemui adalah subjek dan yang ditemui
adalah objek serta kita katakan:
ا
5
4*
Di sini kita dapati bahwa bahasa Arab menggunakan tiga
cara untuk menyusun makna dalam pola sintaksis, yaitu :
(1) posisi atau urutan : tidak syak lagi bahwa urutan fa’il (subjek)
sebelum urutan maf’ul bih (objek) dan man’ut sebelum na’at.
(2) Tanda i’rab: i’rab menunjukkan makna-mkana yang dimaksud.
(3) Persesuaian: Persesuaian mencakup ‘adad (jumlah), jenis, ta’rif
(definitasi) atau tankir (non-definitasi).
Unit-unit dasar yang dipakai untuk mengubah maknamakna ke dalam tanda-tanda sintaksis dinamakan unit morfologis
(morfem). Morfem bisa berupa kata. Pada gilirannya, ini (kata)
terbagai atas fi’il (verba), isim (nomina), sifat (adjektiva), zaraf
(adverbia), adawat (partikel) dan haraf (kata tugas). Setiap unit itu
mempunyai fungsi sintaksis khusus. Dan morfem bisa berupa
bagian dari kata, seperti ا اوatau ن7 اatau ا ءdan ن7 اyang
menunjukkan jama’ mudzakar salim atau 8 9ا
yang
menunjukkan jama’ muannats salim.
Morfem yang mengungkapkan unit sintaksis terbagai atas
tiga bagian, yaitu:
(1) morfem tunggal, seperti : , - – ا ب
(2) morfem yang terdiri dari dua unit, seperti :
با
Perhatian modern terhadap nahwu (sintaksis) tertuju pada
hakikat bahwa pembicara mampu memproduksi jumlah kalimat
29
tak terhingga; pembicara mampu memahami kalimat-kalimat ini
tanpa kesulitan yang berarti walaupun dia belum pernah mendengar sebelumnya. Dalam hal yang demikian itu, sebabnya
berpulang pada keelastisan nahwu (sintaksis). Nahwu membolehkan mengubah satu kalimat ke dalam sejumlah besar kalimat.
Misalnya, kalimat : ! أ; ه- ا4 * dapat berubah menjadi mufrad
muannats, mutsanna mudzakkar, mutsanna muannats, jama’
mudzakkar, dan jama’ muannats. Setiap kalimat ini boleh diubah
ke mabni majhul (bentuk pasif), kemudian bisa diubah ke uslub
insya-i (bukan kalimat berita). Ini mencakup beberapa macam,
antara lain : istifham (kalimat Tanya), thalab (kalimat
permohonan), nahyi (kalimat larangan). Di samping itu, kalimat
dapat berubah dari kalimat sederhana ke kalimat kompleks dengan
partikel konjungsi khusus.
(3) Mengubah morfem menjadi lambang-lambang mentalistik
(fonem-fonem)
Setelah itu morfem-morfem dapat diubah menjadi lambang-lambang mentalistik atau fonem-fonem sesuai dengan
lambang-lambang yang tercakup dalam morfem.
(4) Mengubah setiap fonem menjadi bunyi
Inilah peranan yang dilakukan oleh otot-otot syaraf.
(5) Melafalkan bunyi
Otot-otot syaraf dapat mempengaruhi alat ucap (artikulasi) pada manusia untuk mengubah fonem yang telah terlebih
dahulu diproduksi oleh otot syaraf ke dalam suatu bunyi.
Misalnya, apabila pembicara dalam pembicaraannya hendak
memakai kata: ( )ر, maka pertama-tama otot urat syaraf mengubah fonem-fonem kata ini menjadi lambang-lambang mentalistik yang membentuknya, yaitu : ل+ < + ج+
+ ’ر
kemudian alat ucap (artikulasi) itu mengubah fonem awal menjadi
bunyi yang dapat didengar, fonem kedua dan demikianlah
seterusnya.
30
(6) Ketika bibir melafalkan bunyi-bunyi ini secara berturut-turut
dan cepat, maka bunyi-bunyi itu beralih ke kawasan udara. Di
sinilah terjadi proses getaran udara; partikel-partikel udara yang
membawa setiap bunyi ini ke telinga pendengar, yang pada
gilirannya dialihkannya ke alat syaraf. Lalu, pertama, diubahnya
ke dalam fonem-fonem; kemudian kedua, ke dalam unit-unit
bunyi; kemudian ketiga ke dalam hubungan sintaksis; kemudian
keempat ke dalam makna-makna sampai pendengar itu memahami maksud pembicara.
2. Bahasa dianggap sarana ekspresi tentang peradaban yang hidup
di antara naungannya. Yang demikian itu karena bahasalah yang
dapat mengekspresikan dan memenuhi tujuan-tujuan per-adaban
ini. Setelah lahirnya Islam, bahasa Arab mulai meng-ungkapkan
peradaban Islam, lalu mengadakan peristilahan baru yang
mementingkan tujuan-tujuan peradaban ini, seperti: zakat, shaum,
syahadah, shalat, raka’at dan tasyahhud.
Ini tidak berarti bahwasanya ada suatu bahasa yang lebih
utama daripada bahasa lainnya. Sebab, ia mengungkapkan peradaban lain tertentu atau lebih utama dari pada peradaban lainnya.
Para linguis menegaskan bahwa setiap bahasa dapat memenuhi
hajat peradaban tertentu. Akan tetepi ia terkadang bisa berupa alat
yang tidak memadai apabila dipakai untuk meng-ungkapkan hajat
peradaban lain.
Dalam kenyataannya ekspresi yang baik menurut para
penutur bahasa tertentu adalah ekspresi yang baik dalam kerangka
peradaban yang memakai bahasa itu. Akan tetapi ekspresi itu
mungkin berupa ekspresi yang tidak berterima atau tidak baik
apabila dipakai dalam lingkup peradaban lain.
Apabila kita mengira bahwa bahasa Perancis adalah bahasa
yang paling sejalan dengan logika, maka yang demikian itu
menuntut kita juga mengira bahwa peradaban Perancis paling
sejalan dengan logika. Kenyataannya ialah bahwa bahasa Perancis
31
bukan bahasa yang paling logis, demikian pula dengan
peradabannya. Jadi, tidak ada suatu bahasa yang dapat dikatakan
bahwa bahasa itu paling sejalan dengan logika atau paling logis
daripada bahasa lain. Dalam hal yang demikian itu, sebabnya
adalah bahwa setiap bahasa tampaknya logis bagi para penuturnya. Itu karena bahasa merupakan sarana terbaik untuk mengungkapkan peradaban.
BAB II
SEJARAH KAJIAN BAHASA
FASAL I
FASAL II
FASAL III
FASAL IV
FASAL V
FASAL VI
FASAL VII
32
: STUDI BAHASA DALAM PERADABAN
LAMA
: STUDI BAHASA DI KALANGAN BANGSA
ARAB
: STUDI BAHASA ARAB
: LINGUISTIK MODERN
: LINGUISTIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN ILIMU-ILMU LAIN
: LINGIISTIK HITORIS
: LINGUITIK BANDINGAN
terdahulu meyakini bahwa langit telah mengirim air; buaya-buaya
berenang dalam air itu dan pada punggungnya ada tanda tulisan;
orang-orang India terdahulu meyakini bahwa Tuhan Brahma telah
memberi mereka kemampuan berbicara dan menulis. Adapun para
filosof filsafat Yunani dari kalangan para pendukung mazhab
alami, maka filosof (Cratyle) melihat bahwa bahasa adalah sesuatu
yang merupakan putra alam. Dan para pendukung teori sima’
dalam bahasa berpendapat bahwa bahasa adalah putra alam
juga(1). Mereka berdalil tentang hal itu dengan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan dalam bahasa.
Seandainya bahasa itu merupakan hasil kesepakatan antar
para anggota masyarakat yang bertutur dengannya, maka tentulah
mereka bersepakat dalam memperbaiki kesalahan-kesalahan
mereka dan bahasa menjadi berlaku umum sebagaimana dikatakan oleh para pendukung analogi.
FASAL I
STUDI BAHASA DALAM PERADABAN LAMA
Kajian-kajian bahasa pada masa silam terfokus pada dua
poros dasar, yaitu asal usul bahasa dan hubungan antara lafal dan
maknanya.
1. Asal usul bahasa
Para linguis terdahulu tidak membedakan bahasa sebagai
fenomena ujaran dan tulisan sebagai sistem untuk merekam
ujaran, tetapi mereka mencampuradukkan keduanya. Dalam hal
yang demikan itu, para linguis terdahulu mempunyai dua
pendapat.
* Pendapat pertama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa bahasa merupakan
taufik dari Allah SWT. Orang-orang Mesir terdahulu mengatakan
pendapat ini. Mereka meyakini bahwa Tuhan (Zos) adalah asalnya
ujaran dan tulisan. Adapun orang-orang Babilonia berkeyakinan
bahwa Tuhan Nabo adalah asal usul bahasa; orang-orang Cina
33
* Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa bahasa adalah hasil
istilah masyarakat bahasa yang bertutur dengannya. Pendapat ini
merujuk kepada para filosof Yunani yang dinamakan ittifaqiyyin
(orang-orang yang bersepakat). Ini berarti bahwa bahasa
merupakan salah satu hasil tradisi, konvensasi, dan kebiasaan
manusia bagi masyarakat yang bertutur dengannya(1) dalam
peradaban lama, manusia telah mengadakan beberapa ekspe-rimen
untuk mengetahui bahasa manusia yang paling dahulu. Di antara
eksperimen ini adalah:
a. Fir’aun di Mesir, Absamatik (dia hidup pada abad 7 SM) telah
mengatakan dua orang anak yang baru lahir pada tempat yang
terpencil. Dia menyuruh para tukang tenung untuk memberikan
perawatan kepada keduanya tanpa berbicara di depan mereka
berdua. Dia berkeyakinan bahwa manakala tiba waktumu untuk
berbicara tanpa menerima tanda kebahasaan apapun, maka
34
keduanya akan bertutur dengan bahasa manusia yang paling
dahulu.
Setelah dua tahun, kedua anak itu mulai mengulang-ulang
kata yang namanya (Bekos), maka Fir’aun minta penafsiran
tentang hal itu. Lalu dia mendapati kata itu berarti roti dalam
bahasa yang berdekatan, yaitu bahasa yang nyata. Dari sini dia
menyimpulkan bahwa bahasa ini merupakan bahasa yang paling
dahulu.
b. Raja Jims VI, raja Scotlandia pada tahun 1483 M telah
mengadakan percobaan yang serupa. Dikatakan bahwa pada
akhirnya kedua anak itu dapat berbicara bahasa Ibrani.
c. Pada tahun 1797 M ditemukan seorang anak yang terlantar di
hutan dekat Afriyun di Perancis. Para penemu anak itu
berpendapat bahwa pada kekanak-kanakannya ia tidak pernah
kontak dengan kelompok manusia. Mereka mengira bahwa dia
akan berbicara bahasa Ibrani. Akan tetapi mereka terkejut bahwa
anak tadi tidak mampu berbicara bahasa apapun yang dipakai
manusia, tertapi ia bisa berteriak dengan kegaduhan yang
menyerupai kegaduhan binatang.
Dari sini dapat dikatakan bahwa eksperimen-eksperimen
ini tidak akan membantu para linguis dalam mengetahui bahasa
manusia yang paling dahulu. Deskripsi pertama konferensi bahasa
yang diadakan di Paris pada permulaan abad ini me-rupakan
masalah penelitian tentang bahasa manusia yang paling dahulu,
bahwa masalah itu tidak menyerupai karakteristik ilmiah. Dalam
masalah ini, Edward Sapir mengatakan: Tidak ada bahasa yang
dapat dikatakan bahasa primitif dan sesungguhnya masyarakat
primitif itu tidak bertutur kecuali dengan bahasa yang sempurna
perkembangannya.
2. Hubungan antara lafal dengan makna
35
Pada masa lalu keyakinan mendominasi bahwasanya ada
hubungan yang kokoh antara lafal dan maknanya. Oleh karena itu
lafal itu suci dalam peradaban-peradaban ini. Misalnya, menurut
orang-orang Yahudi, orang biasa tidak mampu melafalkan kata
Allah, tetapi yang diucapkannya adalah Yang Maha Besar; dia
tidak mengucapkan kecuali satu kali dalam setahun.
Dan keyakinan itu mendominasi bahwa kata-kata mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengaruh yang besar.
Kepercayaan ini masih dominan sampai sekarang. Misalnya, siapa
di antara kita yang dapat mengatakan sarthan (penyakit kanker) di
depan orang sakit. Dalam sebagian peradaban lama, ia meyakini
bahwa seorang anak meninggal dunia, maka ibunya – ketika
menjauhi anak yang kedua – menamakannya dengan lafal
masy’um minhu (anak yang malang) untuk menjelaskan kepada
ruh mayit bahwa anak yang baru telah terjaga dari kejahatankejahatan.
Para filosof eksakta telah mengadopsi pendapat ini.
Mereka mengatakan bahwa segala kata itu dahulunya sesuai
secara alamiah dengan maknanya. Para filosof ini berpendapat
bahwa situasi ini tidak dapat dibuktikan dengan mudah oleh
masyarakat umum. Akan tetapi para filosof mampu berargumentasi terhadap situasi itu karena merekalah yang mampu
mencapai hakikat melalui argumentasi logis. Dan di antara yang
termasuk fakta ini adalah mereka sampai kepada konfirmasi
pendapat ini. Demikianlah penelitian tentang isytiqaq (derivasi) itu
berkembang (1), yaitu suatu istilah yang berarti menurut mereka –
sampai kepada hakikat dan mengetahui kenyataan.
Di antara bukti-bukti yang meraka jadikan dalil akan
kebenaran pendapat mereka adalah hubungan yang alami antara:
lafal dan kata-kata yang bermakna. Ada kata-kata yang maknamaknanya ditirukan. Dalam kedua kasus ini, ada hubungan yang
alami antara lafal dan maknanya. Adapun istilah yang mem36
persatukan kedua macam ini adalah (ono ma to pacia). Para filosof
ini berpendapat bahwa hubungan dalam permulaan menciptakan
bahasa-bahasa – dahulunya – merupakan hubungan nominasi, di
mana pada permulaannya suatu kata dibuat untuk segala sesuatu,
yang merupakan peniruan bunyi terhadap sesuatu yang maujud
bahannya. Kemudian setiap sesuatu itu mempunyai makna
tersendiri; tidak ada perbedaan yang substansial antara sesuatu dan
maknanya kecuali menurut panca-indra. Sebab itu mata dapat
melihat sesuatu dan telinga dapat mendengar sesuatu. Dengan
demikian gambaran audio betul-betul cocok dengan gambaran
visual(1).
FASAL II
STUDI BAHASA DI KALANGAN BANGSA ARAB
Kajian bahasa di kalangan bangsa Arab muncul pada
pertengahan abad pertama hijriyah untuk berkhidmat kepada Al
Qur’an dan memberantas lahn (kesalahan dalam i’rab) yang tersiar
pada bahasa karena bangsa-bangsa yang terkalahkan bergabung
dengan bangsa Arab dan lemahnya tabiat kebahasaan di kalangan
mereka. Hal itu disebabkan mereka berurbanisasi ke perkotaan
Islam dan jauhnya dari sumber-sumber bahasa yang fasih (stnadar)
hingga pada kalangan para hali balaghah(1). Ibnu Salam berkata:
Saya telah diberi khabar oleh Unus bin Habib. Hajjaj berkata
kepada Ibnu Ya’mur: Apakah kau dengar aku berlahn (melakukan
kesalahan dalam i’rab). Jawab Ya’mur: Satu haraf. Hajjaj bertanya
: Mana? Jawab Ya’mur: dalam Al Qur’an Hajjaj bertanya : Apa
itu? Ya’mur menjawab : Kau baca :
37
ؤ ! وا; ا> ! وأ ! و = ) ! أ ال ا* ) ھ74 ؤ ! وأ4)* ان ن آ
(B C ﷲ ور2 ! اE أF> <) 2 - دھ و- = نG و " رة
(2)(24 : 4 رة اC)
Dia membacanya dengan rafa’; seolah-olah ketika kalam
itu panjang, dia lupa akan permulannnya. Adapun cara membacanya adalah ! اE أdinasabkan karena ia sebagai khabar
kaana.
Hajjaj menjawab: Tidak apa-apa, kau tidak akan dengar
lagi aku salah dalam i’rab selama-lamanya. Dia dibuang ke
Kurdistan(3). Kajian-kajian ini mencakup pembahasan dalam
berbagai tataran bahasa, seperti fonologi, sintaksis, semanntik dan
leksikografi.
1. Buku-buku Ath-Thabaqat dinisbatkan kepada Abul Aswad Ad
Duali bahwa dia telah mendeskripsikan makhrajul harakat
(tempat-tempat artikulasi vokal) dan membuat lambang khusus
bagi setiap harakat (vokal). Untuk itu dia mengambil seorang
penulis dari Bani Abd Qais dan dia mengatakan kepadanya: Apa
bila kau lihat aku membuka kedua bibirku untuk melafalkan huruf,
maka letakkan sebuah titik di atasnya; jika aku membundarkan
kedua bibirku, maka berilah titik di antara depan huruf itu; dan
jika aku kebawahkan kedua bibirku, maka jadikanlah titik itu di
bawahnya. Maka jika aku mengikutsertakan ghunnah (tanwin)
kepada sesuatu dari hal yang demikian itu, maka jadikanlah
tempat titik itu dua titik.
Abu Aswad memulai mushaf itu hingga selesai pada
akhirnya, sementara penulis itu membuat titik dengan celupan
yang berbeda dengan warna tinta yang dipakai menulis ayat Al
Qur’an. Kemudian penduduk Madinah – setelah itu – menemukan
tanda tasydid, yaitu kedua ujungnya berupa kurung sampai ke atas,
dengan gambar demikian ( ◌ّ ). Tanda tasydid diletakkan di atas
38
huruf yang berharakat fathah dan di bawah huruf yang berharakat
kasrah serta pada sebelah kiri huruf yang berharakat dhammah(1).
Setelah itu, Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi (89 H)
membedakan bunyi-bunyi yang mirip dalam Al Qur’an, lalu
dibuat titik baru pada huruf-huruf yang mirip yang terdapat dalam
Mushaf dalam tulisannya, kemudian sebagainnya diberi titik di
atasnya dan sebagian lagi di bawahnya hingga sempurna hurufhuruf diberi titik, yaitu yang kita kenal sekarang. Penitikan ini
dinamakan nuqthah al-i’jaam(1).
Kajian fonologi berkembang di tangan Khalil bin Ahmad.
Dia telah meneliti bunyi-bunyi dari tiga aspek. Pertama, rasa
bunyi-bunyi huruf melalui buka mulut dengan alif berhamzah
yang diiringi oleh huruf bertanda sakin (konsonan). Pada ء# ا
diucapkan ;أبpada ا ءdiucapkan ;أتdan seterusnya. Dengan
demikian jelaslah bunyi huruf yang diwaqafkan menjadi sakin
(konsonan); berhenti sebentar padanya. Aspek kedua adalah
deskripsi nada bunyi huruf, yaitu hams (tak bersuara) jahr
(bersuara), syaddah(letupan), rakhwah (geseran), isti’la (tinggi),
istifal (rendah); dan deskripsi bunyi-bunyi harakat (vokal)
termasuk imalah, raum dan isymam. Adapun aspek ketiga adalah
perubahan bunyi yang terjadi pada bentuk kata yang membawa
kepada qalb (penukaran), hadzf (pembuangan) i’al, ibdal
(penggantian) dan idgham.
Mendalami aspek-aspek ini betul-betul mendorongnya
untuk memasukkan pada penitikan atau pemberian titik tandatanda untuk rom, isyam, tasydid dan hamzah yang bersambung
dan terpisah. Khalil bin Ahmad telah menciptakan tanda
pensyakalan yang masih kita pakai sekarang, karena dia telah
mengambil dari huruf-huruf mad bentuk/gambarnya dalam bentuk
mini untuk indikasinya. Dhammah adalah wau kecil di atas huruf;
kasrah adalah ya bersambung di bawah huruf; dan fathah
terbentang di atasnya.
39
Kajian fonologi berkembang dengan cemerlang di tangan
dua ilmuwan kenamaan, yaitu: 1) Abul Fath Utsman bin Jinni (392
H); dia mengkhususkan menyusun buku khusus tentang fonologi
yang dia beri nama ‘Sirr Shinaa’atil I’rab; di dalamnya ia
berbicara tentang makhrajul huruf (tempat artikulasi huruf) dan
sifat-sifat/cara-caranya, apa yang terjadi pada bunyi kata termasuk
i’lal, ibdal, pengalihan dan pembuangan serta kese-larasan huruf
yang berlaku, yang membawa kepada keindahan bunyi; dan 2)
Ibnu Sina, Filosof terkenal dalam risalahnya tentang sebab-sebab
terjadinya huruf.
Bangsa Arab telah memanfaatkan kajian fonologi dalam
qiraat dan tajwid Alqur’an. Mereka menaruh perhatian terhadap
aspek ini sehingga ilmu tajwid merupakan ilmu yang berdiri
sendiri. Mereka memanfaatkannya juga dalam studi I’jazil Qur’an.
Yang demikian itu karena studi fonologi dapat mem-bantu mereka
dalam mementingkan tanaafur (incom-patibility) dan taaluf
(keselarasan) antar bunyi-bunyi satu kata dan pengaruh jauh
dekatnya dalam hal itu. Ali bin Isa ar-Rummani mengatakan
dalam bukunya ‘An-Nakt fi I’jazil Qur’an – setelah dia membagi
kalam (ujaran) ke dalam mutanaafir (takselaras) dan mutalaim
(selaras):
(B )آن+ ا
ا+#K ا5 ؤمL )وا
‘Talaaum (keselarasan) dalam tingkatan tinggi adalah Al Qur’an
seluruhnya.
Juga, bangsa Arab memanfaatkan juga studi fonologi
dalam penyusunan kamus. Khalil bin telah menyusun kamus ‘Al
Ain’ berdasarkan makhrajul huruf. Demikian pula Ibnu Darid
telah menyusun kamus ‘Al-Jamharah’.
2. Nahwu (Sintaksis) dan Sharaf (Morfologi).
Para lingius belum sepakat dalam menentukan orang
pertama yang telah menyusun dasar-dasar ilmu nahwu dan sharaf.
40
Sirafi mengatakan: Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar ilmu.
Ada orang-orang yang mengatakan: Abul Aswad ad-Duali;
katanya : dia-lah Nashr bin Ashim; bahkan katanya : dia-lah
Abdurahman bin Hurmuz. Akan tetapi kebanyakan orang
mengatakan bahwa penyusunnya adalah Abul Aswad ad-Duali.
Ibnu Salam mengatakan: Orang yang pertama kali
meletakkan dasar-dasar bahasa Arab, membuka pintunya, membuat jalannya, dan membuat analoginya adalah Abul Aswad adDuali(1) (2). Akan tetapi kita tidak memiliki argumentasi yang
dapat membuktikan kebenaran riwayat-riwayat ini. Dr. Syauqi
Haif berpendapat bahwa Abul Aswad-lah yang telah memberi titik
pada akhir kata-kata dalam mushaf, sebagaimana telah kami
buktikan sebelumnya. Dan dia mengatakan tugas inilah yang
diberikan oleh Sarafi bahwa Abul Aswad telah menyusun kaidah
bahasa Arab dan dia-lah yang merupakan penyebab adanya
perbedaan masalah – setelahnya – tentang para perowi. Mereka
mengira bahwa Abul Aswad telah menyusun ilmu nahwu dan
sedikit mengira bahwa Abul Aswad telah menyusun ilmu nahwu
dan sedikit tentang bab-babnya.
Ilmuwan yang pertama kali kita dapati padanya perintis
ilmu nahwu adalah Ibnu Ishak al-Khadhrami (wafat tahun 117 H).
Ibnu Salam memerikannya seraya mengatakan: Dia adalah orang
yang pertama kali menyusun ilmu nahwu dan mem-bentangkan
qiyas (analogi) dan i’lal; dia lebih abstrak dalam menyusun qiyas
(analogi). Sesungguhnya Ibnu Abi Ishak sangat keras
pendiriannya sehingga membuatnya menghapuskan syadz
(anomalous) dan tidak mempercayainya, baik dalam syadz yang
sedikit maupun yang banyak. Manakala yang syadz itu
bertabrakan dengan pendapatnya, maka dia menyalahkannya atau
menakwilnya. Adapun dari segi induksi, dia telah mensyaratkan
keabsahan bahan yang menjadi dasar pengambilan ilmu qawa’id.
41
Oleh karena itu dia dan para linguis modern lainnya dan berikutnya mengembara ke pedalaman Najed, gurun sahara Hijaz dan
Tihamah untuk mengumpulkan korpus bahasa dan sumbersumbernya yang bersih yang tidak tercemar oleh peradaban. Ini
berarti bahwa para linguis mengembara ke kabilah Tamim, Qais,
Asad, Thay, Hudzail dan sebagian kabilah Kinanah. Mereka
menambahkan pada sumber yang pokok suatu sumber nomaden,
yang mengembara ke negeri mereka dari gurun sahara Najed,
yaitu sekelompok penulis bangsa Arab, yang datang ke Basrah dan
bertugas mengajari para pemudanya bahasa Arab fusha (baku)
yang benar, syair-syairnya, dan qiraatnya menjadi bantuan yang
tidak ada habis-habisnya bagi mereka dalam menyusun kaidah
bahasa. Mereka (para linguis) tidak berhujjah dengan hadits Nabi
dan menjadikannya sebagai imam untuk bukti-bukti dan contohcontohya. Sebab, hadits itu diriwayatkan melalui maknanya karena
belum tertulis dan belum terbukukan kecuali pada tahun 100 H
(3).
Dari sajian ini kita dapat menyimpulkan bahwa Ibnu Abi
Ishak telah menaruh perhatian kepada qiyas (analogi), dan ta’lil
(pemberian alasan), dengan arti bahwa hal itu tidak cukup dengan
kaidah, melainkan ia menaruh perhatian kepada ta’lilnya secara
mentalistik. Ta’lil mentalistik itu telah dijadikannya sebagai
pegangan yang ketat pada kaidah-kaidah yang diberi alasan itu dan
analoginya secara cermat, yang menyalahkan setiap orang yang
menyimpang daripadanya dalam ekspresinya. Di antara hal yang
demikian itu, adalah terjadinya perdebatan dengan Faradzak
tentang beberapa syadz nahwi (anomali sintaktis) yang tercantum
dalam syair-syairnya. Dia berkata kepada Faradzak dalam
menyanjung Yazid bin Abdil Malik:
7O
42
P رQ7 2K+ ا8, 7 R 4 74)' – مM= ل اN 2 #+ ), رFG P S 8E زواP
وأرP+ ,
Kemudian Ibnu Abi Ishak menjawab: ), ر5 ا> ھ,تMCأ
Dalam bait lain, dia berkata kepada Faradzak :
ف
أو
- 9 ا ل ا2 ع, ! )وان24 , ز نT و
Lalu ia bertanya kepada Faradzak : ؟8 " أوV ! ر4
Maka Faradzak menjawab : و اM ! أن
ك وW7,ك وW-, 4
Kajian nahwu dan sharaf berkembang di tangan Khalil bin
Ahmad, karena dia-lah yang telah memberi nama alamat (tandatanda) i’rab dalam segala isim dengan nama rafa’, nashab, dan
khafadh. Adapun harakat isim mabni dinamainya dhammah,
fathah dan kasrah. Adapun sukunnya dinamainya waqaf kasrah
ghair munawwanah (kasrah takbertanwin), seperti ( ﷲ# 4 ) )رت
dinamakan jarr. Demikian juga, sukun yang terletak pada akhir
fi’il mudhari’ majzum dinamakan jazm. Dia berpendapat bahwa
alif, ya dan wau dalam isim mutsanna dan isim jama’ mudzakkar
salim adalah sama dengan huruf i’rab. Dan dia berpendapat bahwa
isim fi’il itu mabni, tidak menempati tempat i’rab.
Dia-lah yang telah membagi kata ke dalam mujarrad (kata
dasar murni) dan mazid (kata jadian). Dia mengamati bahwa katakata mujarrad tidak lebih dari lima huruf dan tidak kurang dari tiga
huruf; dan dia telah membuat mizan sharfi (morfem) dan aturanaturan i’lal dan qalb(1).
3. Mu’jam (Leksikon)
Sebelumnya telah kita jelaskan bahwa para linguis
mengembara ke pedalaman Najed sahara Hijaz, dan Tihamah
untuk mengumpulkan korpus bahasa dari sumbernya yang jernih.
Pertama-tama pengumpulan ini dilakukan melalui tatap muka dan
hafalan dan korpus bahasa yang dikumpulkan itu tidak disusun
43
secara metodologis. Prof. Ahmad Amin mengatakan: Para
pencatat pendahulu korpus bahasa pada masa ini mencatat
kosakata sebagaimana adanya dan mudah bagi mereka mendengarnya. Terkadang mereka mendengar sebuah kata tentang fars
(kuda), ghaits (hujan) dan rajul qashir (orang pendek).
Demikianlah mereka mengaitkan apa yang mereka dengar tanpa
tersusun.
Abu Amr bin al-‘Ala dianggap termasuk linguis terpenting
yang menaruh perhatian pada pengumpulan korpus bahasa dari
sumbernya yang jernih. Perkataan orang Arab yang sampai kepada
Anda dinisbatkan kepadanya kecuali yang paling sedikit. Dan
seandainya kalian didatangi sesuatu dalam jumlah yang banyak,
tentulah kalian telah didatangi oleh ilmu dan syair yang banyak.
Sesudahnya datanglah tingkatan para linguis yang menyusun risalah-risalah kecil. Mereka mengambil korpus bahasanya dari mulut orang-orang Arab tulen dan korpusnya disusun
berdasarkan topik-topik. Di antara mereka ini adalah:
a. Ashma’i (tahun 216 H); dia telah menyusun 4 (empat) risalah
tentang ibil (unta), kahail (kuda), syat (domba) dan wuhusy
(binatang liar);
b. Abu Zaid al-Anshari (tahun 214 H); dia menyusun 4 (empat)
risalah tentang mathar (hujan), hamz dan nawadir (kata-kata yang
jarang) tentang lughah (bahasa) dan laban (susu);
c. Al-Farra (tahun 203 H); dia menyusun risalah-risalah tentang
ayyam (hari-hari), layali (malam-malam), isim manqush, isim
mamdud, mudzakkar dan muannats;
d. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (tahun 224 H); dia menyusun
kitab ‘Al-Gharib al Mushannaf)’(1).
Sesudah itu, berkembanglah karangan tentang mu’jam
(leksikon) dan kata-katanya disusun secara fonetis atau secara
alfabetis.
44
(jamak). Dia-lah yang telah membedakan 3 (tiga) sta-tus i’rab,
yaitu: rafa’, nashab dan jarr. Dan Plato telah mengkaji jumlah
(kalimat); dia melihat bahwa jumlah tersusun dari dua katagori
logis, yaitu: musnad (predikat) dan musnad ilaih (subjek).
Plato berpendapat bahwa kaidah-kaidah nahwiyah adalah
satu-satunya sarana untuk memelihara kejernihan bahasa; kaidahkaidah nahwiyah merupakan bagian dari kajian yang lebih luas,
yaitu kajian filsafat. Dari sinilah, dia menafsirkan kaidah-kaidah
nahwiyah secara filsafat. Dia berkeyakinan bahwa kajian filsafat
mempunyai kepentingan yang besar untuk memahami struktur
kalimat dan struktur kata. Dia menegaskan bahwa perbedaan
antara orang dungu dan orang bijaksana menyerupai perbedaan
antara ahli nahwu yang tidak mengetahui aturan-aturan logika dan
ahli nahwu yang mengetahui aturan-aturan ini dengan baik. Dia
berpendapat bahwa filosof sajalah yang ahli (berkompeten) untuk
mengkaji hukum-hukum nahwu. Dan dia berpendapat bahwasanya
nahwu itu tidak cukup berdasar pada kajian struk-tural tentang
bahasa. Akan tetapi nahwu berdasar pada aturan-aturan ‘illat,
karena ta’lil kaidah-kaidah nahwiyah menurutnya lebih penting
daripada kaidah-kaidah itu sendiri.
FASAL III
STUDI BAHASA DI KALANGAN BANGSA BARAT
1. Studi Bahasa di kalangan bangsa Yunani.
Pada masa-masa pertengahan, kajian bahasa terbatas pada
nahwu (sintaksis). Para linguis Eropa beranggapan bahwa Plato
(429 – 347 M) adalah pencetus ilmu nahwu (sintaksis). Maka
Plato adalah orang yang telah mengadakan apa yang dinamakan
katagori-katagori sintaksis. Karena itu dia-lah yang telah membagi
kalimat (kata) ke dalam isim (nomina), fi’il (verba). Kemudian
Aristoteles menambahkannya bagian yang ketiga, yaitu harf. Dia
membagi isim ke dalam mudzakkar (maskulin) dan muannats
(feminin), dan mufrad (tunggal), mutsanna (dualis) dan jama’
45
2. Studi Bahasa di Madrasah al-Iskandariyah.
Madrasah ini menaruh perhatian pada kajian penyeli-dikan
manuscript-manuscript yang mencakup teks-teks syair (homeros).
Demikianlah dapat dikatakan bahwa madrasah ini telah melampui
kajian nahwu ke kajian fiqhullughah (filologi). Ia tidak cukup
mengkaji nahwu dan aturan-aturannya sebagai-mana dibatasi oleh
Plato, melainkan juga hal itu telah terwujud dalam teks-teks klasik
dan dekomentari. Dalam syair ini, ia telah menunjukkan aspekaspek yang sulit dan telah menjelaskannya secara sintaksis.
Kemudian ia membandingkan teks-teks ini dan bahasa Yunani
yang ketika itu ia pernah dominan di Iskan-dariyah. Madrasah itu
46
menyimpulkan bahwa bahasa syair (Homeros) lebih jernih
daripada bahasa yang dipakai pada zamannya.
Hasil-hasil kajian madrasah Iskandariyah telah menaruh
perhatian pada perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan dan
pada perubahan atau perkembangan yang datang pada bahasabahasa sepanjang zaman(1).
3. Studi Bahasa di kalangan Bangsa Rumawi
Bangsa Rumawi telah menerapkan metode-metode Yunani
secara utuh. Para linguis mereka betul-betul terpengaruh oleh
metode-metode Yunani. Pengaruh ini jelas dari buku yang disusun
Varron sekitar bahasa latin. Demikianlah kajian-kajian nahwu di
Rumawi masih tunduk pada filsafat Yunani. Di kalangan bangsa
Rumawi terus berlangsung silang pendapat yang berkepanjangan
yang berkisar antara para penganut qiyas (analogi) dan para
penganut sima’ (simak). Di antara kesimpul-annya adalah bahwa
filosof Rumawi (Sizar) telah menyusun sebuah buku tentang
nahwu dalam bahasa latin yang menerapkan teori qiyas secara
cermat. Kemudian Deyns menyusun sebuah buku tentang nahwu
dalam bahasa latin yang menjelaskan konsep nahwu, bahwa
nahwu merupakan seni memperbaiki ujaran (tuturan),
memperbaiki pemahaman para penyair terkemuka; dia
membedakan uslub (gaya bahasa) yang baik dan yang jelek;
nahwu menaruh perhatian pada kajian uslub yang baik saja. Dalam
nahwu itu, dia menganut prinsip-prinsip yang telah dibuat oleh
Plato dan Aristoteles untuk kajian nahwu(1). Pada masa keemasan
bahasa latin dan mulai tahun 400 M lahirlah dua buku tentang
nahwu. Buku pertama adalah nahwu hasil karya Donat; ia disusun
sekitar tahun 400 M. Buku kedua adalah nahwu hasil karya
Priscian. Dalam kedua buku ini terdapat pemerian yang cermat
tentang bahasa tingkatan masyarakat terdidik.
47
4. Studi Bahasa Pada Abad Pertengahan
Pada pase ini, pentingnya bahasa latin di Eropa semakin
bertambah. Peningkatan apapun di masyarakat dinilai berdasarkan kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa latin.
Bahasa latin adalah bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayan serta
bahasa-bahasa bidang diplomatik. Akan tetapi bahasa latin
melemah akibat menjalarnya bahasa latin pada tangan Aritokritiyah. Demikianlah bahasa latin telah menjauh dari pemakaian
sehari-hari. Ia menjadi bahasa tulis yang lebih banyak daripada
bahasa lisan. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam pelafalannya di suatu daerah dengan daerah lain. Sesungguhnya hal ini
membawa kepada wajibnya menaruh perhatian terhadap bahasa
tulis.
Pada pase ini, muncullah sekelompok skolistik yang
mengajak merangkum segala ilmu pengetahuan yang dominan. Di
antara ilmu-ilmu ini adalah ilmu nahwu. Lalu mereka merangkumnya ke dalam seperangkat rangkuman kaidah. Mereka berpendapat bahwa induksi fakta menjadi mudah apabila rangkuman
kaidah telah diketahui dan sesungguhnya bahasa merupakan
sarana yang tepat untuk menganalisis bagian-bagian fakta. Oleh
karena itu mereka menaruh perhatian terhadap semantik.
Adapun metode nahwu, maka mereka berijtihad dalam
isytiqaq (derivasi) katagori-katagori nahwu dari katagori-katagori
logika dan metafisika. Mereka menetapkan bahwa kewajiban
nahwu ilmiah atau reflektif adalah menemukan prinsip-prinsip
yang menjadikan kata sebagai suatu yang berhubungan dengan
jiwa manusia dari satu segi dan berhubungan dengan sesuatu yang
bermakna dari segi lain. Prinsip-prinsp ini berlaku umum dan
universal, kecuali bagaimana bahasa itu dapat menjadi sumber
pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa nahwu itu sama dalam
segala bahasa meskipun ada perbedaannya. Oleh sebab itu mereka
mengatakan bahwasanya ketika kita mengetahui nahwu pada satu
48
bahasa, maka kita akan mengetahui nahwu segala bahasa. Hal
yang demikian itu karena nahwu merupakan sub-stansi bahasabahasa. Dan apabila kita tidak berbicara tentang segala bahasa dan
tidak memahami penuturnya, maka hal itu berpulang kepada
perbedaan kata-kata dan perbedaan bentukan baru dalam nahwu(1)
5. Studi Bahasa pada Masa Kebangkitan
Masa kebangkitan menyaksikan suatu perubahan tentang
konsep-konsep yang dominan hingga waktu itu. Kemudian muncullah Sisron dan mengajak ke humanisme dengan menganggapnya sebagai sinonim bagi kata hadrarah (peradaban) dan lawan
bagi kata wahsyiah (kesunyian) sehingga menjadi tinggilah suarasuara yang menyerang skolistik dan tersiarlah pendapat bahwa
sastra pada masa pertengahan merupakan sumber bagi nilai-nilai
peradaban. Pada akhir abad 15, penemuan alat hitung dapat
membantu orang dalam menerbitkan secara pesat teks-teks sastra
dan ini telah membantu dalam menaruh perhatian pada penerbitan
buku-buku nahwu, karena menurut mereka buku-buku tersebut
dapat membantu dalam memamahi teks-teks yang berbahasa latin
yang baik.
Perhatian itu tidak lagi terbatas pada bahasa Latin, tetapi
perhatiannya menjangkau kajian nahwu dalam bahasa-bahasa lain,
seperti nahwu dalam bahasa Yunani dan nahwu dalam bahasa
Ibrani. Bahkan telah lahir buku-buku tentang nahwu dari sebagian
bahasa Eropa. Kemudian muncullah sebuah buku tentang nahwu
dalam bahasa Irlandia, bahasa Brovansalia dan bahasa Perancis.
Di Perancis telah muncul pandangan/kecen-derungan terhadap
nahwu rasionalis-reflektif. Kecenderungan ini berpulang kepada
kelompok Port Royal. Pada tahun 1600 M, mereka telah
menerbitklan nahwu umum dan rasionalis. Di dalamnya mereka
berargumentasi bahwa konstruksi bahasa ada-lah hasil penalaran
49
dan bahasa tidak mengemukakan perbedaan dalam sistem yang
logis dan bernalar.
Kemudian kajian itu memutuskan cabang lain di tangan
akademika Perancis yang didirikan oleh Rechiliea pada tahun
1637. Para anggota akademika beranggapan bahwa nahwu adalah
teknik/seni berbicara dan menulis yang benar. Adapun tujuannya
adalah menemukan hubungan antarunsur bahasa, baik secara
alamiah maupun kesepakatan (buatan). Peranan ahli nahwu adalah
memerikan pemakaian yang baik dan melindunginya dari
kepunahan, seperti masuknya kosakata asing dan peristilahan
teknis serta kata-kata umum yang muncul dari hari ke hari akibat
dari pergaulan individual di bidang perdagangan, perindustrian,
eksakta dan kelakar(1).
Hanya saja upaya terpenting untuk mengkaji nahwu pada
masa kebangkitan adalah upaya yang telah dilakukan oleh Dantry
dan dengannya dia telah memerikan bahasa Italia. Dia betul-betul
menjauhi cap filasafat yang membedakan kajian-kajian bahasa
secara umum dan kajian nahwu secara khusus sebelumnya dan
sesudahnya.
6. Lahirnya Metode Bandingan.
Upaya yang paling awal untuk menghindari cap filsafat
dalam kajian nahwu itu disandarkan pada upaya yang pernah di
lakukan oleh Danty dan dengannya dia memerikan bahasa Italia.
Dia telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul ‘Bahasa
Masyarakat’; di dalamnya ia berbicara tentang asal usul bahasa
Italia dan hubungan bahasa Italia dengan bahasa Provinsi.
Mayoritas linguis menghendaki kecenderungan ini tumbuh berkembang nanti pada masa penjelajahan geografis. Pada
masa itu telah ditemukan banyak bahasa yang belum diketahui
50
sebelumnya. Itu perlu dikaji. Oleh karena itu, para linguis terpaksa
berfikir tentang suatu metode yang selain metode Plato untuk
mengkaji bahasa-bahasa ini. Telah ada ajakan kepada menirukan
upaya Danty untuk mengkaji bahasa Italia sebagai telinga yang
mendengarkan. Kemudian setelah itu terjadi bahwa Sir William
Jons yang pernah menjabat sebagai hakim di Mahkamah Tinggi di
Bengal itu telah memproklamirkan pen-dapatnya tentang
hubungan kebahasaan antara bahasa Sanse-kerta, bahasa Persia
Klasik, bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Jerman dan bahasa
Kiltia. Kajian Sir William Jons merupakan pengantar ke metode
yang mengkristal nanti. Metode itu dikenal dengan metode
bandingan dan di antara para pendukungnya adalah:
(1). Schleget menerbitkan sebuah buku tentang bahasa dan
pengetahuan pada tahun 1808 di kalangan orang India dan
mengajaknya ke nahwu bandingan.
(2) Pada tahaun 1808 M Franz Bopp telah menerbitkan bukunya
yang penting yang membatasi kelahiran filologi bandingan;
judulnya: ‘Sistem Infleksi dalam Bahasa Sansekerta’. Dalam buku
itu dia membandingkan bahasa sansekerta dengan bahasa Latin,
bahasa Persia dan bahasa Jerman. Pada tahun 1823 dia
menerbitkan sebuah buku lain yang berjudul ‘An-Nahwu alMuqaran’ (Gramatika Bandingan). Dalam buku tersebut dia
membandingkan bahasa Sansekerta dengan bahasa India, bahasa
Armenia, bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Litwania, bahasa
Salafia, bahasa Kuta dan bahasa Jerman.
(3). Pada tahun 1861 M Augets telah menerbitkan sebuah buku
yang berjudul : ‘Tarkib Nahwil Muqaran fi al-Lughat al-Hindo
Jirmaniyah’ (Struktur Gramatika Bandingan dalam bahasa-bahasa
Indo-Jerman).
(4) Pada tahun 1818 M Rasik telah menerbitkan sebuah buku
tentang bahasa Islandia. Dalam buku itu dia berusaha mencapai
51
asal mula bahasa Islandia klasik dengan membandingkan sejumlah besar bahasa Indo-Jerman.
(5). Pada tahun 1819 Garim telah menerbitkan bagian pertama dari
bukunya, an-Nahw al-Almany (Gramatika Bahasa Jerman); dia
membaginya ke dalam pase-pase sejarah. Buku ini menaruh
perhatian terhadap an-Nahw at-Tarikhy (Gramtaika Historis).
Pada tahun 1822 M dia merivisi bagian ini dan
menambahkan perubahan bunyi dalam bahasa-bahasa yang dia
bandingkan. Dari uraian itu dia menyimpulkan kaidah-kaidah
yang tetap bagi perubahan ini, yang kemudian dikenal dengan
nama ‘Kaidah Garim’.
(6) Pada tahun 1870 lahirlah kelompok ahli nahwu baru (Neo
Drammarians). Kelompok itu mencakup Karl Ferner, Herman Paul
dan Brugmann. Kelompok ini menganggap bahwa bahasa
Sansekerta mencerminkan dasar penelitian bahasa. Karena itu,
pembelajaran bahasa harus bersandar pada bahasa Sansekerta
dalam menjelaskan fenomena bahasa Eropa. Dalam hal itu Maks
Molr mengatakan bahwa bahasa Sansekerta adalah satu-satunya
dasar bagi filologi badingan dan akan mengabadikan satu-satunya
petunjuk yang tepat bagi ilmu ini. Linguis filologi bandingan
yang tidak mengetahui bahasa Sansekerta, perumpa-maannya
seprti ilmuwan falak yang tidak mengetahui eksakta.
Metode bandingan berusaha membuktikan bahwa bahasabahasa itu berubah dan berbagai bahasa mirip dalam satu segi dan
dua segi (1). Metode ini menaruh perhatian pada pemben-tukan
bentuk-bentuk morfologis dan struktur sintaksis bagi ber-bagai
bahasa untuk dibandingkan. Dari perbandingan itu dapat
disimpulkan dua hal:
a. derajat hubungan antarbeberapa bahasa yang diteliti;
b. bentuk yang tampak lebih dekat kepada bahasa ibu yang
dianggap sebagai asal usul bahasa-bahasa yang sama.
52
Ketika linguis menetapkan berbagai bahasa dihubungkan
kepada asal-usul yang kolektif, maka pertama-tama dia harus
meyakini bahwa bahasa-bahasa itu sama semuanya dalam tiga hal,
yaitu :
a. struktur gramatika dasar;
b. kosakata;
c. fonetik dan fonemik(1).
Setelah metode bandingan itu diteliti secara induktif,
mulailah kajian-kajian bahasa semakin mejauhi pengaruh filsafat
dan dalam waktu yang sama kajian itu mendekati metode ilmiah
eksperimental. Maka kajian bahasa terfokus pada analisis teks
yang ada, dengan mengisolir interferensi unsur-unsur lain. Ini
berarti bahwa kajian itu tidak boleh bercabang ke luar ruang
lingkup teks. Demikianlah kajian-kajian bahasa modern berdasar
pada prinsip kemandirian. Ini membuat linguistik sebagai ilmu
yang berkaitan dengan kajian bahasa. Oleh karena itu linguis akan
memandang
linguistik
sebagai
konstruksi
kebahasaan
sebagaimana insinyur memandang bangunan sebagai konstruksi
arsitektur. Unsur-unsurnya mempunyai keistimewaan dengan
kemandirian internal yang bergerak dalam kerangkanya tanpa
mengacu atau merujuk pada unsur-unsur eksternal (Extra
Linguistics).
1. De Saussure
Lahirnya linguistik modern adalah berkat jasa linguis,
Ferdinand De Saussure. Pada tahun 1916 M, diterbitkan – setelah
tiga tahun dari wafatnya – bukunya yang terkenal ‘Durus fi
‘Ilmillughah al-‘Aam’ (Coourse in General Linguistics). Buku ini
telah mempengaruhi secara efektif segala kajian bahasa yang lahir
di Eropa dan Amerika, yang dicetak pada periode tiga puluh
tahunan. Sebelum kita berbicara tentang isi buku ini dan teori yang
telah dikristalisasi oleh para linguis, kemudian dikenal dengan
nama teori De Saussure, kita melihat penguasaan tentang gagasan
pokok dari linguis ini.
De Saussure lahir pada tahun 1857 di Genif dan wafat pada
tahun 1913. De Saussure menaruh perhatian pada bahasa IndoEropa, juga pada bahasa dan sastra Jerman. Dia telah menyusun
sebuah buku penting tentang gerakan Jerman, yang berjudul : ‘AlHarakat’ (Gerakan-gerakan). Dia pernah bekerja sebagai guru
FASAL IV
LINGUISTIK MODERN
53
54
besar tata bahasa bandingan di Universitas Sorbon di Perancis. Di
antara orang-orang yang telah mempengaruhi pikiran orang ini
adalah empat orang, yaitu:
(1) D. Whitney (1818-1894), dia adalah linguis Amerika yang
menaruh perhatian pada bahasa Sansekerta; di antara karangannya
adalah : ‘Al-Kalam wa Dirasatul Kalam’. Dalam buku itu dia
menonjolkan konsep bahasa dan sistem bahasa serta konstruksi
bahasa. Konsep inilah yang mempengaruhi De Saussure sehingga
terdorong untuk berfikir tentang linguistik deskriptif.
(2) Baudouinde Courtenay (1845-1929), linguis Polania dan
spesialis dalam ilmu fonologi. Linguis ini telah mempengaruhi De
Saussure sehingga terdorong untuk membatasi unit-unit
kebahasaan dan memerikan bahasa sebagai suatu sistem dari
perselisihan-perselisihan.
(3) Ch. S. Peirce (1839-1914), dia berbicara tentang bukti
kebahasaan. Masalah ini betul-betul telah memepengaruhi De
Saussure untuk mengkonstruksi apa yang disebut ilmu lambang
Semiotik(1).
(4) Emile Durkheim (1858-1917), dia adalah sosiolog; De
Saussure terpengaruh oleh pendapatnya tentang kajian fenomena
sosial, khususnya ketika dia membatasi fakta sosial sebagai hal
yang meyerupai segala hal yang dikaji dalam ilmu eksakta. Dia
menetapkan bahwa fakta sosial ini mempunyai ciri umum, yaitu
bahwa ia tidak berdiri sendiri. Menurutnya segala sesuatu itu dapat
menembus segala topik pengetahuan yang tidak dapat dipahami
melalui kegiatan nalar intern, tetapi ia menuntut pengalaman,
pengamatan
dan
percobaan.
Emile
Durkheim
telah
mengisyaratkan bahasa dengan mengatakan bahwa bahasa tidak
dapat dianggap sebagai sesuatu yang bersifat khusus, tetapi
bersifat umum. Sesungguhnya Durkheimlah yang merupakan
penyebab dalam mengubah kajian bahasa ke kecenderungan
ilmiah. Hal yang demikian itu karena dia menganggap bahasa
55
ilmiah sebagai sesuatu yang bersifat umum, seperti halnya fakta
sosial lainnya. Inilah yang membuka jalan ke penerapan kaidahkaidah ilmu dalam mengkaji fenomena kebahasaan(1).
Buku De Saussure: Course in General Linguistics
Buku ini diterbitkan setelah tiga tahun dari wafatnya De
Saussure. Buku tersebut mencakup hasil-hasil pengamatan yang
diperlihatkan oleh De Saussure kepada para mahasiswanya dalam
berbagai perkuliahannya yang disampaikannya kepada mereka.
Sebagian isyaratnya dikaji dari teori yang telah dikristalisasi oleh
para linguis, kemudian teori itu dikenal dengan nama teori De
Saussure. Pentingnya buku ini merujuk pada metode-metode yang
dominan dalam kajian bahasa pada abad 19 yang betul-betul
dihadirinya. De Saussure menegaskan aspek-aspek berikut.
(1) Bahasa adalah fenomena yang vital,
(2) Bahasa memadukan beberapa sistem yang koheren, yaitu
sistem fonologis, sistem morfologis, sistem sintaksis, sistem
semantik, berbeda dengan pendapat-pendapat terdahulu yang
mengucilkan sistem fonologi dari sistem-sistem lainnya.
(3) Bahasa adalah fenomena sosial(1)
(4) Mendahulukan bahasa lisan daripada bahasa tulis.
De Saussure mendahulukan bahasa lisan; dalam hal itu dia
bersandar pada hal-hal berikut. Ketika anak lahir, ia belajar
berbicara sebelum belajar menulis. Berbicara lebih dahulu
daripada menulis dan paling tersiar. Sampai sekarang kita dapati
masyarakat yang terorganisasi, semuanya tidak menulis bahasanya. Ini berarti bahwa bahasa mempunyai peranan menulis ada-lah
skunder(2).
* Metode De Saussure dalam kajian bahasa
Metode ini berdasar pada tiga prinsip berikut.
56
1. Bahasa dikaji dari dua aspek: 1) aspek deskriptif yang diberi
istilah ‘Synchronic’ dan aspek historis yang disebut ‘Diachronic’.
De Saussure menganggap bahwa asas deskriptif itu penting
untuk mengkaji bahasa. Sebab, bahasa adalah gejala yang vital,
sedangkan kajian deskriptif menaruh perhatian pada kajian bahasa
pada tahap tertentu karena ia merupakan rangkuman bagi segala
kegiatan berbahasa yang digunakan oleh masyarakat bahasa. De
Saussure mengharuskan mengacu pada contoh-contoh bahasa
yang disimpulkan dari induksi yang mencakup bahasa yang
mencerminkan masa tertentu dan mewajibkan menjauhi tafsiran
apapun yang mengacu pada aspek-aspek sejarah. Ini berarti bahwa
unsur masa tidak akan diperhatikan dalam kajian ini. Jadi, linguis
tidak akan memperhatikan perubahan apapun yang datang pada
bahasa tertentu ini(1).
De Saussure membedakan kajian deskriptif dengan kajian
prespektif/normatif dan menjelaskan bahwa perbedaan antara
keduanya bukanlah perbedaan dalam metode penelitiannya saja,
tetapi juga perbedaan itu ada dalam materi yang dipilih oleh
linguis. Maka korpus bahasa yang menjadi dasar kajian deskriptif
dihimpun tanpa seleksi tertentu dan tanpa melebihkan satu
ekspresi atas yang lainnya atau menerima ekspresi bahwa yang itu
adalah rancu, sedangkan yang lainnya tidak rancu. Prinsip yang
menjadi dasar kajian di sini adalah: Apakah ekspresi ini atau itu
dipakai atau tidak? Ini berarti bahwa kajian deskriptif menaruh
perhatian pada kenyataan bahasa sebagaimana adanya.
Adapun kajian prespektif (normatif), masalahnya berbeda
dengan kajian deskriptif. Dalam kajian prespektif, linguis memilih korpusnya dari banyak fakta kebahasaan. Biasanya korpus
ini memelihara tataran tertentu yang memperoleh kerelaan lapisan
masyarakat terdidik. Dalam kajian ini, linguis membedakan
tataran kebenaran dan tataran kesalahan(1).
57
Aspek kedua, yaitu kajian bahasa berdasarkan kajian
historis. Di sini linguis menaruh perhatian pada kajian perkembangan yang terjadi pada bahasa, sedangkan metode-metode
yang diikutinya dalam kajian ini adalah komparasi antara dua
tahap sejarah tertentu. Itu karena bahasa berubah terus menerus.
Perlu dicatat bahwa kajian historis tidak dimulai kecuali setelah
bahasa itu diperikan pada setiap periode waktu tertentu. Tujuan
kajian historis adalah menjelaskan perubahan-perubahan yang
terjadi pada bahasa. De Saussure menegaskan pentingnya mengkaji bahasa berdasarkan dua prinsip ini.
2. De Saussure membedakan ketiga istilah berikut.
a. Bahasa menurut arti umum adalah fenomena sosial dan disebut
‘Le Langue’
b. Bahasa dalam arti tertentu (khusus) adalah yang dijadikan
topik kajian dan diberi istilah ‘La Langue’
c. Ujaran adalah kegiatan otot fonetik yang dilakukan oleh
seseorang yang sama dan dinamakan ‘La Parole’
Dalam arti umum, bahasa adalah fenomena sosial yang
terletak dalam sosiologi. Bahasa tertentulah yang merupakan
kegiatan manusia yang dihasilkan oleh semua makhluk melalui
heriditi sebagai akibat bagi pemakaian organ yang membentang
dari dada hingga kepala dan yang dinamakan organ bunyi. De
Saussure memandang bahwa bahasa tertentu merupakan unit yang
universal dari kajian gambar-gambar yang tersimpan dalam
ingatan para pemakai bahasa ini. Jadi, bahasa merupakan hubungan gudang yang mencakup gambaran-gambaran tentang
hubungan-hubungan yang tersimpan dalam akal orang-orang ini.
De Saussure menegaskan bahwa ciri-ciri bahasa tertentu secara
nyata terdapat dalam pikiran para penuturnya. Demikianlah,
sesungguhnya seorang penutur mampu memakai bahasa secara
sederhana, tetapi ia tidak mampu secara sendirian mem-
58
pengaruhinya, karena bahasa merupakan fenomena sosial yang
kolektif.
Adapun ujaran adalah performansi nyata dan kongkrit bagi
bahasa dari pihak individu. Performansi ini bersifat psiko-logis
dan sosial secara simultan dan terjadi akibat pendengar
terpengaruh oleh situasi tertentu.
Jadi, ujaran adalah suatu soal, sedangkan bahasa merupakan soal lain. Karena itu ujaran merupakan akibat pendengar
terpengaruh oleh suatu masalah tertentu. Adapun bahasa adalah
merupakan gambaran mentalistik yang ada dalam pikiran semua
penutur di masyarakat tertentu. Adapun ujaran adalah gambaran
kongkrit bagi bahasa. Dan ujaranlah yang dijadikan sandaran oleh
linguis dalam kajiannya agar sampai pada gambaran mentalistik
dalam akal pikiran para penutur bahasa. Juga, kajian ujaran itu
memberi kita manfaat dalam mengkaji kejiwaan para penutur ini.
De Saussure telah mendalami kajian bahasa tertentu dan
menggunakan dua istilah pokok berikut.
a. Dialek, maksudnya adalah sistem bahasa yang dianut oleh
sekelompok kecil yang semuanya berpartisipasi dalam pema-kaian
bahasa tertentu. Dari sini, De Saussure menyeru mengkaji
pengaruh faktor tempat terhadap perbedaan bahasa. Kajian
semacam ini disebut linguistik geografis(1). Dia menjelaskan
bahwa ilmu ini mengkaji hubungan fenomena kebahasaan dengan bidang persebarannya. Dan dia menetapkan bahwasanya
dalam memulai kajian aspek ini – apabila perbedaan-perbedaan
kebahasaan masih samar dalam pandangan para linguis dalam
kawasan tertentu waktu, maka perbedaan-perbedaan ini menerobos pandangan seseorang sesuai dengan tempatnya. Bagaimanapun lemahnya bagian budaya, tetapi sesungguhnya orangorang primitif sendiri memahami hal itu ketika mereka berkomunikasi dengan kabilah-kabilah lain yang berdekatan yang
bertutur dengan bahasa lain(2).
59
b. Tingkatan pemakaian bahasa secara subjektif, maksudnya
adalah bahwa bahasa orang-orang terdidik berbeda dengan bahasa
orang-orang pekerja. Masing-masing dari kita meng-ekspresikan
dengan bahasanya tingkatan subjektif yang menjadi tempat dia
berasal.
3. Tingkatan ketiga yang menjadi dasar metode De Saussure
tercermin dalam masalah makna.
De Saussure menjelaskan bahwa kajian-kajian di atas
dalam mengkaji masalah makna mengacu pada apa yang telah di
tetapkan oleh Plato, yaitu bahwasanya ada hubungan yang erat
antara lafal dengan maknanya. Dia menolak prinsip ini dan
menegaskan bahwa hubungan antara keduanya bersifat arbriter.
Dia membedakan tiga hal.
a. Maujud khariji (eksistensi ekstern), misalnya tumbuhan kayu
yang kita namakan sebuah pohon.
b. Lafal adalah seperangkat bunyi yang dipakai dalam
menunjukkan maujud khariji.
c. Gambaran mentalistik, yaitu gambaran maujud khariji yang
ada dalam pikiran.
Maujud khariji dinamakan madlul (signifie); lafal
dinamakan dall (signifiant); dan gambaran mentalistik disebut
lambang. Dia menjelaskan bahwa gambaran mentalistik mencerminkan hubungan antara madlul (yang ditunjukkan) dan dall
(yang menunjukkan) dan menjelaskan bahwa lambang membentuk unit dasar dalam berkomunikasi, yaitu yang menyatu
dalam semua bahasa masyarakat, yang bersifat mentalistik. Dari
sini De Saussure menegasakan bahwa bahasa adalah sistem
lambang.
De Saussure beranggapan bahwa kalimat merupakan
untaian lambang dan setiap lambang memberikan andil terhadap
sesuatu tentang makna keseluruhan. Oleh karena itu, setiap
60
lambang di dalam kalimat berkaitan dengan apa yang ada
sebelumnya dan apa yang sesudahnya. Untaian lambang dan
keterkaitannya dalam kalimat dinamakan ‘Sintagmatik’, yaitu
hubungan horizontal antarlambang. Misalnya, kalimat :
*م
mencakup hubungan horizontal yang tercermin bahwa posisi
musnad (predikat), yaitu * مada permulaan, kemudian diiringi oleh
musnad ilaih. Hubungan i’rab dalam musnad ilaih adalah
dhammah, sedangkan musnad adalah mabni, yaitu mufarad
mudzakkar, demikian pula musnad ilaih.
Di samping hubungan ini, kalimat mencakup hubungan
vertikal yang dinamakan oleh De Saussure ‘Paragdimatik’.
Maksudnya adalah masuknya lambang yang sama dalam suatu
hubungan dengan semua lambang yang dapat menduduki tempat
terbatas dan tertentu bagi lambang tertenmu. Misalnya, apa
lambang yang dapat dipakai dalam hubungan tambahan dengan
lambang (2# ...) 2# ا. Jawabnya: 2# بatau 2#
زوatau
2# ن
(1). Jadi, بmasuk dalam hubungan vertikal dengan
زوatau ن.
2. Mazhab Kebahasaan Modern
Murid-mnurid De Saussure telah mengembangkan teorinya secara besar-besaran dan membentuk mazhab-mazhab kebahasaan tersendiri di Eropa dan Amerika. Di antara mazhab ini
yang terpenting adalah:
(1) Mazhab Prague
Sepeninggalnya De Saussure pada tahun 1913, pada tahun
1926 terbentuklah suatu kelompok kebahasaan yang dikenal
kelompok Prague . Di antara orang-orang yang terlihat di dalamnya adalah S. Karcevski, Trabtskuey dan Jakobson. Kelompok ini
telah mempublikasikan gagasan awalnya pada tahun 1929 dengan
61
judul A’maal Madrasah Prague al-Lughawiyyah (Hasil Karya
Mazhab Kebahasaan Prague).
Mazhab ini memelihara gagasan De Saussure, khususnya
tentang definisi bahasa, yaitu bahasa adalah sistem lambang. Ia
menaruh perhatian pada metode deskriptif De Saussure. Akan
tetapi dalam kajiannya, mazhab ini terfokus pada aspek fonologi.
Dan buku yang merangkum prinsip-prinsip mazhab ini adalah
buku tentang prinsip-prinsip fonologi, hasil karya Trabtskuey.
Buku itu diterbitkan pada tahun 1939 di Prague.
(2)
Mazhab Perancis
Mazhab Perancis berjalan dalam kecenderungan yang sama
dengan yang ditempuh oleh mazhab Prague. Kajiannya terfokus
pada sekitar fonologi, baik kajian deskriptif maupun historis. Di
antara para pendukung mazhab ini adalah Marten, Kajnhym dan
Panvist.
Linguis Perancis terpenting adalah Marten; dia
memusatkan kajiannya dalam analisis bahasa pada satuan bahasa;
dia menjelaskan bahwa bahasalah yang berfungsi komunikasi
antara penutur dan pendengar dan keterkaitan antarsatuan itu
membawa ke struktur. Ada dua macam struktur : 1) interferensi
monem-monem untuk pembentukan kalimat dan 2) interferensi
monem-monem agar saling keterkaitannya lebih banyak daripada
keterkaintannya dengan monem-monem kalimat. Misalnya, apabila kita perhatikan kalimat: سM P ل
57 ا طX,) ( ا1),
maka akan kita dapati bahwa struktur berikut saling berkaitan;
masing-masing membentuk struktur tersendiri:
+,) س دول أM – P
* Satuan bahasa
62
3 C – 57 ا طX,) ا
Martinet berpendapat bahwa satuan bahasa mempunyai
dua aspek: aspek pertama dinamakan monem dan aspek kedua
dinamakan fonem.
Monem adalah unsur terkecil yang mempunyai makna
dalam untaian ujaran. Monem terdiri atas dua bagian: yang
pertama dinamakan leksem, yaitu yang mengikuti leksikon, dan
yang kedua dinamakan morfem yang mengikuti sintaksis. Apabila
kita analisis kalimat berikut : B C ن ﷲ ورK, ن- اmaka
akan kita dapati bahwa leksem-leksem itu adalah : ! – )م( ط ع لC – ﷲ – رdan morfem-morfem (unsur-unsur sintaksis) adalah :
ء ا ' ر, – ال – ونSetelah itu Martinent beralih ke kajian
monem pada tataran isi dan ekspresi, lalu ia menjelaskan bahwa
setiap bahasa menggunakan sejumlah monem tertentu untuk
mengekspresikan sejumlah ungkapan yang tak terhingga. Hal itu
dijelaskan dengan mengemukakan tabel berikut.
Situasi
Ekspresi
1.
(a)
2.
(b)
3.
(d)
dst
dst
Dia menjelaskan bahwasanya tidak ada kesamaan antara
(a) dan (b) atau (a) dan (c), melainkan ada kesesuaian antara (a)
dan 1; (b) dan 2; (c) dan 3. Kesesuaian ini membawa kepada
kejelasan dan ketidaktaksaan. Dan apabila kita bandingkan kedua
kolom, yaitu kolom situasi dan kolom ekspresi, maka akan kita
lihat bahwa kolom situasi membentang ke arah yang tak terhingga.
Mustahil kolom situasi disertai oleh kolom ekspresi sampai
kepada yang tak terhingga. Maka apa yang harus kita lakukan?
Jadi, bagaimana masalah-masalah itu berjalan. Kita harus
memperhatikan tabel berikut.
63
Konteks (Situasi)
1
2
3
Ekspresi
)أ( أ و ت أ س
;)ب( أ> ! أد
)ف, 9 )ج( ھ
Kita mengamati bahwa ekspresi (a), (b) dan (c) di antara ketiganya terdapat unsur-unsur kolektif. Pada (a) dan (b) ada > أdan ء
اdan pada (b) dan (c) ada dan (1).
Itu berarti bahwasanya terdapat satuan-satuan yang masuk
dalam pembentukan beraneka ragam ekspresi. Satuan-satuan ini
merupakan monem. Dan yang demikian itu berkat interferensi
yang memungkinkan. Jadi, monem adalah satuan semantik terkecil. Oleh karena itu kajian aspek pertama terfokus pada tataran
isi dan tataran ekspresi(2).
* Fonem
Apabila kita memperhatikan tiga satuan: Z –
–
maka kita mengamati bahwa satuan-satuan itu mempunyai
kesamaan dalam sejumlah unsur : ت – ب – ع. Maka unsur-unsur
kolektif dalam pembentukan monem itu menduduki aspek kedua,
yaitu tidak dapat masuk dalam tataran ekspresi dan bukanlah
lambang-lambang bahasa serta bukanlah satuan-satuan yang
bermakna. Lalu yang demikian itu dinamakan apa? Dimanakan
monem. Setiap monem terdiri atas keterhubungan fonem-fonem
ini. Studi fonem berada pada dua tataran: tataran fonologi dan
tataran fonetik. Fonologi terbatas pada kajian bunyi yang memberi
andil – ketika ia berkaitan dengan bunyi-bunyi lain – terhadap
pemaknaan kata pada makna tertentu dan menentukan perbedaanperbedaan dalam pengucapan setiap bunyi, baik perbedaan ini
merujuk pada perbedaan penutur ataupun pada perbedaan
konteks(1).
64
(3). Mazhab Kobanhagn
Mazhab ini berdiri pada tahun 1931 di bawah pengaruh
Helmsliv dan Brondal. Hasil karya pertamanya diterbitkan pada
tahun 1933. Di antara pendukung terpenting adalah Helmsliv.
Helmsliv mendukung pandangan De Saussure tentang
bahasa dan linguistik. Bahasa mencakup dua cabang, yaitu: bahasa
dan ujaran. Linguis menaruh perhatian pada bahasa saja. Adapun
linguistik adalah ilmu yang berdiri sendiri. Dia berang-gapan
bahwa teori kajian bahasa berdasar pada tiga poros, yaitu:
(1) kajian bahasa bersifat induktif, lebih banyak daripada bersifat
deduktif;
(2) kajian bahasa bersifat arbitrer daripada bersifat sesuai;
(3) kajian bahasa merespon tiga faktor yang dikenal dalam kajian
eksperimental, yaitu koherensi internal, kepaduan dan
kesederhanaan(2).
Induksi tercermin dalam menyusun masalah-masalah dan
menggeneralisasi pengamatan-pengamatan dengan menjauhi gagasan terdahulu apapun. Adapun deduksi tercermin dalam menginduksi seperangkat premis-premis struktural yang berdasar pada
konsep umum ujaran. Teori ini bersifat arbitrer karena tidak dapat
tunduk kepada pengawasan masalah-masalah ekspreri-mental.
Teori ini sesuai karena menerapkan hasil-hasil yang dicapainya
pada sejumlah besar bahasa. Di samping itu teori ini merespon tiga
prinsip kajian eksperimental, yaitu koherensi internal, kepaduan
dan kesederhanaan. Helmsliev mengatakan bahwa kesederhanaan
adalah satu-satunya prinsip untuk meng-ukur benar tidaknya
kedua prinsip tadi, yaitu kepaduan dan koherensi, karena
kesederhanaan merupakan kriteria tempat bertemunya teori
dengan aplikasinya(1).
Helmsliev telah mengkristalisasi kecenderungan tertentu
dalam kajian bahasa, yang dikenal dengan nama ‘glossmatic’. Di
65
antara keistimewaan metode ini adalah bahwa ia tidak hanya
menaruh perhatian terhadap kajian bahasa tertentu, melainkan
menaruh perhatian juga terhadap perian yang bersifat umum dan
kolektif antara semua bahasa. Sesungguhnya manakala ia
mengkaji bahasa tertentu, maka berarti ia hanya mengkajinya
sebagai suatu pola untuk menginduksi fenomena-fenomena umum
kebahasaan. Hal itu terbukti dengan menerapkan feno-menafenomena ini pada lebih dari satu bahasa. Glossmatic bertolak dari
studi dan analisis satuan-satuan terkecil. Linguis menaruh
perhatian terhadap perian hubungan yang menghu-bungkan
satuan-satuan ini. Helmsliev mengadakan perubahan dalam
peristilahan yang dipakai oleh De Saussure, antara lain, dia
mengganti dalil (petunjuk), dall (yang menunjukkan) dan madlul
(yang ditunjukkan) dengan tataran ekspresi (pengganti dari
madlul) dan tataran isi (pengganti dari dall). Dia menje-laskan
bahwa masing-masing dari keduanya mempunyai bentuk dan
substansi. Bentuk dapat dianalisis ke dalam kerangka-kerangka.
Kerangka ekspresi itu disebut ‘plereme’ dan kerangka isi disebut
‘ceneme’. Misalnya, kata C رatau petunjuk (lambang) bahasa
– sebagaimana dipakai oleh De Saussure ( C ) رterdiri atas dua
tataran, yaitu ekspresi dan isi. Ekspresi apabila dianalisis, maka ia
dianalisis ke dalam kerangka-kerangka ekspresif, yaitu (pleremes):
Adapun isi apabila dianalisis ke dalam kerangka-kerangka isi,
yaitu (cenemes), yakni (konstruksi) + (jenis) – demikian
seterusnya, maka perbedaan dalam (( )الpleremes) membawa
kepada perbedaan dalam (cenems). Dan ini mengakibatkan
perbedaan dalam ekspresi. Dari sini, glossmatic memandang
bahwa bentuk (kontruksi) membentuk substansi umum yang
berlaku kolektif bagi semua bahasa. Perbedaan yang terjadi pada
konstruksi itu mempunyai hubungan dengan bentuk, tetapi tidak
berhubungan dengan substansi. Substansi diperikan melalui
bentuk, bukan melalui bunyi atau maknanya. Ini menghindari
66
medan sebagai gagasan kemungkinan adanya sistem bunyi
internasional. Demikianlah Helmsliev mendukung De Saussure
dalam mendefinisikan fonem sebagai satuan yang abstrak dan jauh
dari realisasi bunyi dalam pencapaiannya. Berdasarkan teori ini
bahasa dipandang sebagai konstruksi yang terdiri atas : 1) isi dan
ekspresi, masing-masing saling berkaitan dan 2) konteks dan
sistem, ada hubungan tertentu di dalam konteks dan dalam sistem.
Teori ini menggunakan istilah glosem; maksudnya adalah bentukbentuk terkecil yang tidak dapat dibagi ke dalam bentuk-bentuk
yang lebih kecil lagi, baik itu pada tataran ekspresi ataupun isi.
Misalnya, dalam kata ( C )ا رkita dapati ( )الadalah glosem;
( ) adalah glosem lain. Demikian juga ( )رdan ( C). Ini pada
tataran ekspresi. Adapun pada tataran isi, maka konstruksi
(bentuk) adalah glosem, sedangkan sifat-sifat ( C )ا رyang
berkaitan dengan konstruksi itu adalah glosem lain. Teori ini
memakai istilah fungsi; maksudnya adalah hubungan antara dua
unsur pada tataran kata atau pada tataran struktur(1).
(4) Mazhab Inggris
Mazhab ini didirikan oleh Charles C. Fries. Dia menempuh
metode De saussure, lalu mendukungnya dalam studi bahasa untuk
kepentingan bahasa. Dari sini, dia menegaskan bahwa linguistik
tidaklah lebih banyak daripada seperangkat teknik penelitian yang
memungkinkan peneliti (linguis) untuk mengatasi peristiwaperistiwa kebahasaan. Dan dia menegaskan bahwa ilmu ini berdiri
sendiri, tidak bercabang dari ilmu lain, seperti soisologi atau
psikologi. Freis menolak pendapat tentang bilingualism individu
dan masyarakat, yang telah dikatakan oleh Dorkeim dan De
Saussure dan dia menjelaskan bahwa kepri-badian seseorang
merupakan unit yang berdiri sendiri; kepri-badian itu mempunyai
ciri-cirinya yang membedakannya dari kepribadian-kepribadian
67
lainnya. Freis berpendapat bahwa ketika kita mengkaji bahasa,
maka kita hanya mengkajinya sebagai bagian dari proses sosial.
Demikianlah Fries dan para pengikut-nya telah mendirikan
mazhab kebahasaan baru yang disebut mazhab kebahasaan sosial.
Fries berpendapat bahwa pendukung mazhab lain, baik di Eropa
ataupun di Amerika, mereka menaruh perhatian terhadap struktur
internal (dalam) bahasa lebih banyak daripada apa yang
seharusnya. Akan tetapi mereka mengabaikan aspek pemakaian
bahasa yang sebenarnya dalam kerangka masyarakat dan normanorma dan kaitan yang mungkin diharus-kan oleh masyarakat atas
para pemakai bahasa itu. Oleh karena makna dan berbagai
aspeknya merupakan tujuan penutur untuk menyampaikannya
kepada para anggota masyarakat lain, maka sebagian para
pendukung mazhab ini memusatkan perhatiannya pada masalah
makna. Mereka mulai menganalisis konsep-konsep umum dan
khusus yang ingin diekspresikan oleh setiap orang – di mana saja
ia berada di dunia ini – melalui bahasa. Kemudian mereka mulai
mengkaji ciri-ciri umum dan khusus yang dimiliki oleh setiap
struktur bahasa. Oleh karena itu, mereka mulai meng-adakan
bentuk-bentuk dan struktur-struktur bahasa yang dapat
mengungkapkan fungsi-fungsi itu ke dalam kerangka setiap
konsep umum. Para ilmuwan (linguis) berusaha mencapai kaidahkaidah yang dapat mengontrol pemakaian bahasa yang sebenarnya
di masyarakat, dengan mengetahui apa yang umum sesuai dengan
berbagai masyarakat dan apa yang khusus sesuai dengan
masyarakat tertentu.
Ada dua hal yang dapat mengontrol pemakaian bahasa.
Pertama, konteks bahasa. Kosakata tidak terbatas maknamaknanya jika disajikan secara terpisah-pisah. Misalnya, kata أ
tidak terbatas maknanya kecuali dalam konteks, seperti :
BC رأP
68
4)< 5
أ
B
ط5
أ
! ا2 -ا
أ
! لا5
> هB 4 R أ5
أ
أ
Firman Allah SWT:
(12 :) ورة ا رات
B ;! أ
M, ! أنE ّ أ,أ
Yang keduanya adalah situasi atau kondisi tempat berlangsungnya ujaran itu dikatakan, yaitu disebut: م ل+
. Unsurunsur konteks itu banyak. Pertama, penutur itu sendiri: Apakah ia
laki-laki atau perempuan, muda atau tua, seorang atau berdua atau
kelompok atau orang banyak; dan apakah kebangsaannya,
agamanya, bentuk luarnya, aksen suaranya dan tempat sosialnya?
Kedua, pendengar. Ketiga, hubungan penutur dengan pendengar
dari segi kekerabatan atau persahabatan atau kenal tidaknya secara
lahiriyah atau kurang kepedulian atau permusuhan sentral sosial
(ekonomi atau politik dan seterusnya).
Di antara unsur-unsur konteks itu adalah topik, yaitu topik
pembicaraan dalam suatu suasana, tempat, waktu, cara bicara dan
dorongan bicaranya(1).
Fries berpendapat bahwa apa yang kita namakan sistem
fonologis, morfologis, sintaktis dan semantis tidak lebih dari
sekedar kerangka-kerangka kreatif dan sistematis. Hipotesisnya
ialah sampai kepada analisis peristiwa-peristiwa kebahasaan(1).
(5) Mazhab Distributif Amerika
Mazhab Amerika, kajian-kajiannya terfokus pada bahasabahasa orang India yang berkulit merah. Dahulunya, bahasa ini
adalah bahasa lisan saja, bukan bahasa tulis dan tidak diketahui
sejarahnya. Di antara para tokoh ternama mazhab ini adalah:
1. Boas (1858-1940), dia berbicara tentang hubungan bahasa
dengan untaian yang kita pakai.
2. Sapir (1884-1939), dia adalah spesialis dalam bahasa-bahasa
orang India yang berkulit merah. Dia menyusun sebuah buku yang
berjudul ‘Language’. Dalam buku itu, dia menaruh perhatian pada
69
pembatasan makna fonem dan definisi bahasa sebagai suatu
bentuk.
3. Bloomfied terpengaruh oleh kecenderungan behavioristik dan
menerapkan hasil studinya secara cermat dalam bukunya
‘Language’ yang diterbitkan pada tahun 1933. Antara lain, dia
berpendapat bahwa bahasa berdasar pada dorongan-dorongan dan
reaksi-reaksi. Dari sini, Bloomfied menaruh perhatian terhadap
aspek indrawi bahasa dan menolak merujuk ke makna untuk
menentukan satuan-satuan bahasa. Bloomfied dianggap pendiri
metode distribusi dan prinsip analisis unsur-unsur langsung, yang
bertahap dalam analisis struktur bahasa dari fonem sampai ke
kalimat(2).
4. Harris, pada tahun 1954 dia menerbitkan sebuah buku yang
berjudul ‘Metode Linguistik Struktural’; di dalamnya dikemukakan metode distribusi. Dia menjelaskan bahwa dia bertolak dari
studi sampel bahasa; melalui studinya, dia sampailah kepada
kesimpulan mengetahui sistem yang ditempuh berdasarkan
sampel. Sistem inilah yang dinamakan ‘bahasa’, sebagaimana
dikatakan De Saussure. Selama masalahnya demikian, maka
peranan linguis - tatkala mengkaji sampel - terfokus pada
pembagiannya ke dalam unsur-unsur, kemudian mengklasifikasinya. Harris menjelaskan bahwasanya – sebelum mengkaji sampel kebahasaan – dalam pikiran linguis harus ada prinsip-prinsip
klasifikasi sampel sehingga ia mampu mengklasifikasinya secara
otomatis. Juga, Harris menjelaskan bahwa peranan linguis terbatas pada deskripsi (perian). Gagasan-gagasan Harris dianggap
jalan utama bagi munculnya mazhab generatif-transformatif(1).
3. Dasar-dasar Kecenderungan Distribusi
Kecenderungan ini beranggapan bahwa bahasa adalah
sebuah sistem dari bukti-bukti yang arbiter dan beranggapan
bahwa bahasa tersusun dalam dua pola. Pertama, horizontal,
70
kehorizontalan ini merupakan penyebab bahwa setiap unsur
bahasa menduduki suatu tempat yang leluasa bagi isinya secara
material. Dan ia juga merupakan penyebab dalam hal bahwa
rangkaian ujaran dapat dibagi-bagi ke dalam unsur-unsur yang
dapat berdiri sendiri dan bercirikan khas. Meskipun demikian
tidak setiap susunan sejumlah fonem dapat membawa ke pembentukan kata yang berterima. Dan tidak setiap susunan sejumlah
kata dapat membawa ke pembentukan kalimat yang berterima. Ini
berarti bahwa susunan fonem untuk membentuk kata dan susunan
kalimat untuk membentuk kalimat itu tunduk pada faktor-faktor
tertentu. Kedua, pola vertikal, ia bertujuan menentukan unsurunsur yang dapat saling menggantikan tempat dan posisi tertentu,
baik pada tataran fonem atau pun pada tataran struktur sintaksis,
maka pada tataran fonem kita dapati contoh * لdan ل. Fonem
yang hendak dikaji dalam pola vertikal adalah fonem yang
menduduki tempat pertama. Kita melihat bahwa-sanya ketika kaf
menduduki tempat qaf dalam posisi ini, maka muncullah kata
baru. Jadi, bunyi pertama disebut fonem. Adapun apabila kita
ucapkan: * لdan ( لyang dipakai dalam dialek Riyad), maka
akan kita dapati ! " اdalam posisi ini menduduki fungsi ف+ ا. Ini
berarti bahwa penduduk Riyad melafalkan ف+ اdengan !
dinamakan alofonem.
Pada tataran, ketika kita mengatakan :
.
Dalam bidang struktur, analisis bertujuan - pada tataran
vertikal - menjelaskan jenis morfologi unsur-unsur yang saling
bergantian posisinya dalam tempat tertentu. Oleh karena itu kita
bersandar pada tiga tabel yang akan dijelaskan dalam kajian
morfologi, yaitu tabel ilshaq (afiksasi), tabel tashrif (infleksi), dan
tabel isnad (prerdiksi). Tabel ilshaq menjelaskan kepada kita
afiks-afiks yang melekat pada kata, baik di awal, di tengah,
ataupun di akhir. Apabila afiks-afiks ini merupakan adat ta’rif
(partikel definit) atau tanwin atau dhamir-dhamir idhafat
(pronomina-pronomina yang disandarkan), maka kata itu akan
berupa isim (nomina) atau sifat (adjektiva) atau dharaf (adverb).
Dan jika afiks itu berupa haraf mudhara’ah atau ya mukhatabah
atau nun taukid atau taa mutaharrirah (bervokal) atau sakinah
(berkonsonan), maka kata itu adalah fi’il (verba). Jadi, tabel ini
memberikan gambaran tentang jenis morfologi kata secara umum.
Hal yang demikian itu dapat kita amati dari contoh kata berikut :
kata ع4 ketika ia dalam keadaan sukun, di sini jenis morfologinya
sulit ditentukan. Oleh karena itu kita bersandar pada tabel ilshaq.
V 4 -V 4 : 7 - أو ا
Ini
Z #, :
Z# :
2 # :
) # – !, * – ب, ب
kita dapati bahwa kata : ) # – !, * – ,
menduduki posisi
بsecara langsung. Setiap kata ini
berfungsi membatasi ;ا بsesekali buku itu baru; sesekali buku
kedua, yaitu setelah kata
itu lama; dst. Ini berarti bahwasanya dapat ditentukan jenis
morfologi kata yang berfungsi membatasi, yaitu na’at (kete-rangan
sifat).
71
!Cا
()ب
) ا ءا
)ف ا ' رE
# طG ء ا,
> نا
د )أ( أن ا
د )ب( أن ا
()أ
ع = ا راع# ا:
ال
ع4 : 2, 7 ا
5 4 : ! "#< ) ا
ا2 [ 7 -> -1 : ج7 C9ا
ا2 [ 7 -> -2
Akan tetapi tabel ilshaq menjelaskan kepada kita jenis
morfologi umum. Terkadang ini tidak cukup dalam analisis
sintaksis. Oleh karena itu, kita bersandar pada tabel lain yaitu tabel
72
tashrif untuk menentukan jenis morfologis, khususnya ketika kita
ingin membedakan shifat (adjektiva) atau dharaf (adverb) dari
isim (nomina). Misalnya, ( )*)طyakni sejenis perhiasan yang
diletakkan pada telinga dan () ), maka kita dapati bahwa *)ط
tidak ada fi’ilnya sehingga tidak ada musytaqat (derivasi)
daripadanya bagi fi’il ini. Adapun kata ) , maka kata itu bisa
dibentuk shifat musyabbahah, shigat mubalaghah, dan af’al tafdhl
(bentuk perbandingan). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa *)ط
adalah isim, sedangkan ) adalah sifat. Perkara yang dapat
membantu kita dalam hal itu adalah tabel tashrif. Maka kata yang
dapat dimasukan ke dalam tabel tashrif (infleksi) itu bisa berupa
sifat (adjektiva) atau fi’il (verba). Adapun kata yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam tabel ini, maka kata itu adalah isim
(nomina). Dalam keadaan ini kita bersandar pada tabel ketiga
untuk membedakan sifat (adjektiva) dari fi’il (verba). Tabel ini
adalah tabel isnad (predikasi). Maka kata yang dapat disandarkan
kepada dhamir-dhamir rafa’ atau kata yang disandarkan kepada
salah satu haraf mudhara’ah itu adalah fi’il (verba), sedangkan
kata yang tidak menerima penyandaran ini adalah sifat (adjektiva).
Demikianlah, kata (
) tidak dapat dimasukkan ke dalam tabel
) masuk ke dalam tabel ini.
ini, sedang-kan kata (
* Peristilahan yang Dominan dalam Kecenderungan ini.
1. Distribusi terpadu, maksudnya adalah adanya dua unsur. Akan
tetapi salah satunya tidak saling bergantian tempat dengan yang
lain, tetapi ia hanya tampak bersamanya. Misalnya, و+ ال. Jadi,
( )الketika itu berada dalam distribusi terpadu dengan و. Hal
yang sama kita dapati pada tataran fonologi, seperti ي – ق – ل,
maka ا ءtidak saling bergantian tempat dengan ا ف, tetapi
terletak sebelumnya.
73
2. Hubungan Persilangan dan Hubungan Penggabungan.
Yang dimaksud dengan hubungan persilangan (‘alaqah
taqathu’) adalah bahwa dua unsur itu dapat tampak dalam konteks
yang kolektif, seperti :
ذھ
)ء –ا
) ') – اE
)ا
Oleh karena itu dikatakan kepada unsur yang berada dalam
distribusi terpadu bahwa ia ada dalam hubungan persilangan. (≠)
maka ( )الtidak bergantian tempat dengan ( )و, tetapi ia muncul
bersama dan menetap dengannya, lalu dikatakan ( )و. Adapun
hubungan penggabungan (‘alaqah idmaj), maka maksudnya adalah
bahwa kedua unsur bisa tampak dalam sebagian konteks dan
ط
mungkin tidak tampak dalam konteks lain, seperti dua unsur :
–, maka kita katakan: " – ھ`ا ا ) اK ھ`ا ا ) ا. Akan
tetapi apabila kita katakan : " ! ا+ – ھ`ا اK ! ا+ ھ`ا اmaka di
طdan
tidak dipakai dalam kedua
sisni kita dapati bahwa
konteks ini. Sebab, kedua kata itu tidak dapat saling bergantian
tempat yang sama. Hubungan ini disebut
hubungan
penggabungan (‘alaqah idmaj)(1).
* Mazhab Generatif-Trasnformatif
Mazhab ini didirikan oleh Avram Noam Choamsky.
Choamsky lahir di wilayah Fieladalvia di wilayah Amerika Serikat
pada tahun 1928. Sekarang dia bekerja sebagi guru besar linguistik
di Massachuset Institute of Technology (MIT).
4. Choamsky dan Kajian Sosial
Secara umum, ada dua kecenderungan kajian sosial. Yang
pertama menganggap bahwa kemajuan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pengamatan yang cermat terhadap perilaku manusia
yang sebenarnya(2). Yang kedua beranggapan bahwa pengamatan74
pengamatan seperti ini tidak memperoleh manfaat-nya kecuali
dengan ukuran yang di dalamnya dapat terungkap bagi kita aturanaturan yang tersembunyi, yang tidak jelas bagi kita dalam perilaku
yang sebenarnya kecuali suatu gambaran partial atau
diputarbalikan daripadanya(3).
Choamsky mendukung kecenderungan yang kedua, yaitu
kecenderungan yang memiliki aturan-aturan yang tersembunyi
yang mengontrol perilaku manusia yang sebenarnya. Oleh karena
itu ketika mengkaji bahasa, dia membedakan dua hal. Pertama
sistem bahasa yang tersembunyi dalam pikiran orang-orang yang
bertutur dengan satu bahasa. Sistem itu dinamakan kafaah (kom
pentensi). Kedua, perilaku yang sebenarnya atau pelaksanaan
praktis terhadap sistem mentalistik. Istilah itu disebut adā’
(performasi)(1).
5. Kritik terhadap para Linguis Behavioristik
Sesungguhnya dukungan Choamsky terhadap kecenderungan yang menyelidiki aturan-aturan yang tersembunyi dalam
pikiran para penutur membuatnya menghantam para pendukung
kecenderungan itu. Pertama, yang menaruh perhatian pada pengamatan perilaku manusia yang sebenarnya. Dari sini, Choamsky
menghantam Skinner sebagai tokoh mazhab behavioristik.
Hantaman Choamsky terfokus pada kesimpulan yang
diterbitkannya dalam bukunya ‘Perilaku Bahasa’ tentang
eksperimentasi praktis yang telah dilakukannya pada binatang.
Dari hasil eksperimentasi itu dia menyimpulkan bahwa bahasa
tidak melebihi keberadaannya sebagai kebiasaan sosial yang
perumpamaannya seperti kebiasaan lain. Dan sesungguhnya
pemerolehan bahasa dapat berlangsung dengan metode yang sama,
75
yang digunakan untuk memperoleh kebiasaan sosial lainnya, yaitu
try and error. Hantaman Choamsky terfokus pada dua hal.
Pertama, sama sekali tidak ada hubungan perilaku tikus
dalam kotak eksperimentasi di laboratorium dengan bahasa
manusia. Sebabnya sederhana dan jelas sekali, yaitu bahwa bahasa
termasuk kekhususan manusia dan semua sarana komunikasi
lainnya yang digunakan oleh binatang dan sarana yang disebutnya
sebagai pinjaman bagi bahasa binatang itu merupakan sarana yang
sangat terbatas dan tidak mengambil manfaat unsur-unsur pokok
yang membentuk bahasa manusia.
Kedua, sesungguhnya pemahaman Skinner akan ciri
bahasa merupakan pemahaman yang keliru. Sebab, dia beranggapan bahwa bahasa adalah seperangkat kebiasaan yang
terbentuk pada manusia sebagai akibat respon yang berkesinambungan terhadap stimulus eksternal sehingga dia
berpendapat bahwasanya tidak ada hajat keperluan akan organ
potensial individu atau mentalistik khusus yang membantunya
dalam hal itu. Demikian pula dia berpendapat tentang kemungkinan prediksi perilaku bahasa individu melalui stimulus eksternal
yang ada di sekitarnya.
Choamsky menjelaskan bahwa Skinner tidak berada dalam
situasi orang yang mampu berbicara tentang akibat-akibat perilaku
bahasa selama dia tidak mengetahui karakteristik perilaku itu(1)
Choamsky menjelaskan dukungannya terhadap mazhab
mentalistik yang diserukan oleh Dekarth dan Lebintiez, dan
mazhab yang beranggapan bahwa mental manusia mencakup
pikiran-pikiran potensial. Ini berbeda dengan para pendukung
mazhab eksperimental yang beranggapan bahwa pengetahuan
manusia tumbuh dari pengalaman. Demikianlah Choamsky berpendapat bahwa sebagian pengetahuan itu bersifat fitri (poten-sial)
dan mendahului pengalaman, sebagaimana pendapat para
pendukung mazhab mentalistik. Setelah itu Choamsky mulai
76
mengingkari pendapat para linguis eksperimental yang disebutkan tadi. Keingkarannya terfokus pada metode yang digunakan
oleh anak dalam belajar bahasa, lalu Choamsky menjelaskan
bahwa kemampuan anak dalam belajar bahasa tertentu tidak
berkaitan dengan intelegensi atau motivasi. Hal yang demikian itu
karena semua anak, baik mereka itu cerdas ataupun tidak cerdas,
baik mereka itu mempunyai motivasi ataupun tidak, mereka
belajar berbicara dengan bahasa ibu mereka. Apabila kita
berasumsi bahwa anak tidak belajar bahasa pertama sebelum usia
balig, maka mustahil ia akan mempelajarinya nanti.
Choamsky menegaskan bahwa anak yang telah belajar
bahasa pertama akan dapat melaksanakan suatu kegiatan
mentalistik yang cemerlang. Sebab, ketika anak menguasai nahwu
dalam pikirannya, maka kira-kira ia telah membangun teori
bahasa. Fakta ini tidak dapat ditafsirkan dengan mengatakan
bahwa pikiran merupakan lembaran putih. Tetapi tafsiran yang
sahih adalah bahwa anak sebelumnya telah memiliki pola bahasa
yang tergambar dalam pikirannya sebelum belajar berbicara secara
umum. Maka anak itu - seperti pendapat Choamsky – lahir
dengan dibekali pengetahuan yang utuh tentang nahwu secara
keseluruhan atau alami, yaitu bahwa ia dibekali rancangan yang
kokoh yang dipakai untuk pemerolehan bahasa. Oleh karena itu,
anak mampu memperoleh bahasa manusia apapun. Ini karena anak
memiliki pola-pola umum yang kolektif antarsemua bahasa
manusia sebagai bagian dari perlengkapan mentalistik dan
potensialnya.
Choamsky mengemukakan bahwa di antara bukti adanya
bakat bahasa khusus pada manusia adalah bahwa sistem-sistem
komunikasi binatang berbeda secara mendasar dengan bahasa
manusia. Maka bahasa mempunyai kekuatan generatif yang tak
terhingga. Tidak mungkin kita dapat memprediksi ungkapanungkapan bahasa yang dapat dikatakan sebagai sandaran kepada
77
stimulus-stimulus eksternal. Ciri kreativitas untuk pemakaian
bahasa ini termasuk kekhususan manusia(1).
6. Kritik terhadap para linguis Behavioristik
Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa para linguis
behavioristik dalam kegiatannya bertujuan mengklasifikasi dan
mendistribusi unsur-unsur bahasa. Hockett mengatakan bahwa
linguistik merupakan ilmu klasifikasi (kategorial). Misalnya,
apabila linguis ingin memerikan bahasa tertentu, maka dia
memulai kegiatannya dengan mengumpulkan sejumlah besar
kalimat dalam bahasa ini; dia melakukan pencatatan/perekaman
data dalam suatu rekaman atau membukukannya melalui lambang-lambang bunyi fonetis. Setelah itu, dia mulai mengklasifikasi unsur-unsur kalimat ini ke dalam beberapa tataran. Pertama,
tataran fonologi, di dalamnya linguis mengklasifikasi fonemfonem dalam bahasa ini. Kedua, tataran morfologi, di dalamnya
linguis menaruh perhatian pada penentuan satuan-satuan sintaktis
atau morfem-morfem. Ketiga, tataran sintaksis, di dalamnya
linguis mengkaji struktur frasa kata dan mengklasifikasinya ke
dalam frasa nominal dan frasa verbal, kemudian beralih ke tataran
yang tertinggi, yaitu untaian frasa ini, yaitu kalimat dengan
berbagai jenisnya.
Jadi, tujuan para linguis kategorial atau behavioristik
adalah menentukan metode-metode yang akurat yang dapat
membantu linguis dalam mengklasifikasi unsur-unsur bahasa yang
dikajinya. Para linguis ini tidak menaruh perhatian terhadap kajian
makna kalimat-kalimat karena mereka berpendapat bahwa makna
semantik termasuk kekhususan para psikolog. Sebab maknamakna itu mencerminkan pola perilaku yang spesifik yang dibatasi
pada hubungan antara stimulus dan respon.
Ketika Choamsky mempersiapkan disertasinya untuk
memperoleh gelar doktor di Universitas Panselvnia, dia berusaha
78
menerapkan metode-metode para linguis behavioristik pada studi
struktur. Lalu dia menemukan bahwa metode-metode ini
mengambil manfaat efektivitas besar dalam studi fonem dan
morfem, tetapi sama sekali tidak bermanfaat dalam studi kalimat.
Dalam hal ini Choamsky mengatakan bahwa setiap bahasa
mengandung sejumlah fonem tertentu, juga mengandung sejumlah morfem tertentu. Sebaliknya, jumlah kalimat dalam bahasa
tertentu tak terhingga. Maka tidak ada batasan jumlah kalimat baru
yang dapat dibangun. Lagi pula, prinsip-prinsip para linguis
kategorial tidak mampu meneliti hubungan internal yang ada
dalam kalimat atau hubungan yang mungkin ada antara berbagai
kalimat. Dua kalimat dalam satu konstruksi sintaksis bisa sama,
seperti dalam contoh berikut:
, ز2 ا لZ د-1
, ز2 )ق ا لC -2
Masing-masing dari kedua kalimat ini terdiri atas fi’il
mabni majhul (bentuk pasif), na’ib fa’il (objek pelaku), haraf jarr,
dan isim ‘alam (nomina nama diri) majrur. Meskipun strukturnya
sama, namun kedua kalimat itu berbeda dari segi sintaksis. Dalam
kalimat pertama Zaid berfungsi sebagai fa’il (subjek) bagi fi’il
(verba) dafa’a. Meskipun demikian ia tidak tampak dalam struktur
lahir kata, karena kalimat itu berarti : , ز2 ا لZ د. Adapun
dalam kalimat kedua, Zaid berfungsi sebagai maf’ul bih (objek)
bagi fi’il saraqa, karena kalimat itu berarti : B ا, ھ! زE)ق أC.
Dalam kedua distribusi itu tidak terdapat sarana apapun untuk
membedakan kedua macam kalimat ini(1).
Dari segi lain, ada kalimat-kalimat yang terdiri atas
struktur tertentu, kosakata yang sama, dan posisinya tidak
berubah. Namun demikian, kalimat-kalimat itu mengandung
ط
makna ganda (ambigious sentences). Misalnya, antara lain :
79
) -, ل أن2 ادW Kalimat ini berarti bahwa ل2
اد طW
(ادW ) ) -, أنatau
( ) ) ل-, ل أن2 ادW طItu disebabkan oleh adanya dua
struktur batin bagi kalimat ini, yaitu:
(ادW ) -,) ل2 ادW ط
a.
ط
b. ( ) ل-,) ل2 ادW
Kemudian ketika konstruksi batin (dalam) diubah ke
dalam struktur lahir (luar), terjadi pelesapan isim yang berulang,
yaitu Fuad dalam kalimat (a) dan Kamal dalam kalimat (b).
Struktur lahir itu cukup dengan dhamir mustatir huwa yang
dicakup oleh fi’il yusafiru dalam dua kalimat. Kemudian kalimat
kedua dihubungkan dengan kalimat pertama, lalu kalimat kedua
menjadi maf’ul bih bagi fi’il (thalaba). Kemudian fi’il yusafiru
berfungsi sebagai maf’ul bih. Adapun maf’ul bihnya berupa isim
atau mashdar sharih dan apa yang setara dengan isim atau mashdar
sharih itu adalah mashdar muawwal. Oleh karena itu, ()أن
ditambahkan kepada fi’il mudhari’ ini sehingga mucullah satu
kalimat yang mengungkapkan dua struktur batin, yaitu :
) -, ل أن2 ادW ط
2 )Q أ5 )م, ;. Struktur lahir ini
Juga, di antaranya : )
mempunyai dua struktur batin (dalam), yaitu :
a.
() )م, ;) 2 )Q أP )م, ;
b. (P )م, ) ) 2 )Q أP )م, ;
Setelah itu ketika kedua struktur dalam ini diubah kedalam
struktur lahir, terjadi penghilangan ibarat mukkarah (frasa/kalimat
berulang), yaitu dalam kalimat (a) ; )م, ; dan dalam kalimat
(b) : P )م,. Maka muncullah satu struktur lahir, yaitu :
)
2 )Q أ5 )م,
;
Untuk memperjelas hal itu, perhatikan pengubahan kedua kalimat
berikut,
80
a.
b.
() ) 2 )Q أP )م,
() ) 2 )Q أP )م,
; ()أ
; ()ب
اV; أV "> )ا `يK ( ھ`ا ھ ا3)
Jumlah shilah, yaitu jumlah (kalimat) yang pada prinsipnya memerikan salah satu isim dalam kalimat pokok, harus
mencakup pengulangan isim maushuf dan jika tidak, maka jumlah shilah itu menjadi salah. Dari sini, kalimat pertama dan kalimat kedua adalah benar, sedangkan kalimat ketiga tidak benar(1).
Dari segi kelima, ada hal-hal lain memberikan justifikasi
kepada taqdir (perkiraan) konstruksi batin kalimat, antara lain
adanya unsur dalam makna, yang tidak tercermin dalam suatu
kosakata yang terucap. Maka ketika dikatakan:
اذھV>اذھ أ
(1)
ھ ذھ ذھ
(2)
(3) b =7 ) 3+ ل وأ ا- , K ا
ا
(3)
Dari segi lain lagi, ada kalimat-kalimat yang mempunyai
struktur yang berbeda, tetapi maknanya sama, seperti:
a.
` ( ا ! أ )م ا1)
( أ )م ا ! ا2)
b. `
Di sini makna kalimat itu sama meskipun struktur batinnya
berbeda. Hubungan antara kedua kalimat itu menunjukkan dengan
jelas bahwa keduanya muncul dari struktur batin yang sama.
Sesungguhnya perbedaan lahir itu akibat dari pengalihan salah
satu kosakata dari satu posisi ke posisi lain untuk menegaskan
gagasan tertentu. Jika tujuan penutur ialah menegaskan bahwa
gurulah yang menghargai siswa, maka ia katakan : ا ! أ )م
` ا. Akan tetapi apabila penutur ingin menegaskan penghargaan
itu, maka ia katakan : `
أ )م ا ! ا.
Dari segi keempat, ada syarat-syarat tertentu atas ketepatan
konstruksi lahir kalimat sehingga diperikan sebagai kalimat yang
berterima secara sintaksis, tetapi tidak dapat ditentukan kecuali
dengan merujuk ke konstruksi batin. Bagaimana kita menafsirkan
ketepatan kalimat pertama dan kalimat kedua dan ketidaktepatan
kalimat ketiga di bawah ini.
(1) $ ا `ي
K ( ھ`ا ھ ا1)
(2) B ; أV "> ` ا
K ( ھ`ا ھ ا2)
(3) ! اV; أV "> ا `ي
K ( ھ`ا ھ ا3)
Sesungguhnyta tepat tidaknya kalimat-kalimat di atas
berkaitan dengan dhamir ‘aid (anaphora) dalam jumlah shilah
(kalimat penghubung), masalah ini akan jelas ketika kita memperkirakan konstruksi batin yang menghasilkan ketiga kalimat tadi.
(1) ( K اa"> +)ا `ي
K ( ھ`ا ھ ا1)
(2) ( K اV; أV "> +)ا `ي
K ( ھ`ا ھ ا2)
81
(!
b =7 ) 3+ ل وأ ا ا- , K ا
(4)
V # ا5 B74ا ) وا
V # ا5 B74 واV # ا5
)ا
ا
Meskipun penutur tidak mengucapkan kata (V> )أdalam contoh
pertama, ( )ھوdalam contoh kedua, ( )اdalam contoh ketiga,
( ) ' ا & تdalam contoh keempat, makna yang dialihkan kepada
kita menunjukkan adanya kosakata ini dalam konstruksi batin bagi
contoh-contoh kalimat diatas.
7. Tata Bahasa Generatif
Karena semua penyebab yang lima tadi, Choamsky
menolak prinsip-prinsip mazhab distribusi dan menegaskan bahwa
tujuan perian bahasa harus mengarah ke pembentukan teori yang
dapat menguasai perhatian terhadap sejumlah kalimat yang tak
terhingga dalam bahasa tertentu, menjelaskan apa untaian kata
82
yang membentuk kalimat-kalimat sintaktis yang benar dan
untaian-untaian yang membentuk kalimat-kalimat sintaktis yang
tidak benar, dan memerikan konstruksi sintaksis bagi setiap
kalimat. Kemudian teori ini dinamakan tata bahasa generatif,
karena ia mengarah ke pembentukan premis yang melahirkan
kalimat-kalimat dalam bahasa tertentu(1). Dalam hal ini
Choamsky mengatakan bahwa setiap bahasa mengandung
sejumlah kalimat yang tak terhingga. Oleh karena itu, setiap matan
– hingga jika jumlah kalimat yang dicakup oleh sepe-rangkat
karangan yang terdapat di perpustakaan nasional – adalah matan
yang sangat kecil. Maka kajian linguistik tentang seperangkat
kalimat yang dipilih – secara sembarang - harus membatasi topik
kajiannya yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang implisit
tentang bahasa yang dimiliki penutur, yakni kompetensi
kebahasaan yang memberikan kesempatan kepada penutur untuk
membangun dan memahami kalimat yang belum didengar
sebelumnya(2).
Tujuan teori kebahasaan Choamsky yang telah disajikan
dalam bukunya ‘Syntactic Structures’ yang diterbitkan pada tahun
1957 adalah menentukan konstruksi batin bagi struktur lahir. Akan
tetapi teori ini dimatangkan dalam bukunya ‘Aspecs of The
Theory of Syntax’ yang diterbitkan pada tahun 1965. Dan
tujuannya adalah menafsirkan hubungan kebahasaan yang ada
dalam bahasa antara sistem bunyi (fonologi) dan sistem makna
(semantik). Untuk mencapai tujuan ini, tata bahasa yang lengkap
bagi bahasa tertentu harus mencakup 3 (tiga) aspek.
a. Aspek struktur, yaitu yang menjelaskan konstruksi batin bagi
jumlah kalimat yang tak terhingga dalam bahasa tertentu dan
generasi (penurunan)nya.
b. Aspek fonologi, yaitu yang menjelaskan konstruksi bunyi
(fonologi) kalimat yang diturunkan oleh komponen struktur.
83
c. Aspek makna (semantik), yaitu yang menjelaskan makna
konstruksinya.
Struktur menduduki posisi dasar, sedangkan fonologi dan
semantik, keduanya hanya merupakan faktor yang memerikan
bunyi dan makna kalimat yang dibangun oleh struktur. Skema
berikut dapat memperjelas hubungan aspek struktur dengan aspek
semantik dan aspek fonologi.
Komponen Dasar
Struktur Batin
Komponen Transformasional
Komponen Semantik
Struktur Lahir
Komponen Fonologi
Representasi fonologi kalimat
Representasi Semantik
Kalimat
8. Struktur Batin, Struktur Lahir, dan kaidah Transformasi
Dari sajian terdahulu, kita tahu bahwa Choamsky menaruh
perhatian dalam teorinya pada penyelidikan konstruksi-konstruksi
batin, karena daripadanya terlahir sejumlah kalimat yang
terhingga. Sebab, struktur batin memberikan tafsiran kepada kita
tentang hubungan yang tidak diungkapkan oleh struktur lahir
kalimat. Choamsky berpendapat bahwasanya agar tata bahasa
menaruh perhatian terhadap fakta ini, maka untuk lebih
menjelaskan struktur batin, tata bahasa itu menuntut semacam
kaidah lain yang dinamakan kaidah transformasi. Kaidah ini
mengubah struktur batin (dalam) atau muqaddarah (yang
diperkirakan) ke dalam struktur lahir (luar) melalui substitusi,
penambahan atau penghilangan sebagian unsur. Sesungguhnya
kaidah ini menafsirkan bagi kita pemaknaan kalimat yang sama
84
dalam dua kalimat untuk mengubah salah satu unsurnya atau
kesamaan makna pada dua kalimat yang berbeda.
Ringkasnya, tata bahasa menurut Choamsky mengandung
penyelidikan struktur batin dan kaidah-kaidah transformasinya ke
dalam struktur lahir, dan menafsirkan struktur batin (dalam)
dengan taqdir (mengira-ngira) unsur-unsur yang dihilangkan serta
menjelaskan fungsi unsur-unsur yang memberi andil terhadap
pembentukannya(2).
HUBUNGAN LINGUISTIK
DENGAN ILMU-ILMU LAIN
1. Linguistik Dengan Psikologi
Psikologi menjelaskan kepada para linguis cara pemerolehan bahasa anak; psikologi terfokus pada studi hal ihwal
kegagapan pemerolehan bahasa orang-orang dewasa. Para
psikolog harus berhubungan dengan studi kebahasaan untuk
mengetahui metode-metode studinya karena hal itu akan
membantu mereka dalam melaksanakan tugas mereka. Dari sini,
lahirlah suatu ilmu yang memadukan keduanya, yaitu psikolinguistik. Lahirnya ilmu ini karena jasa Caroll pada tahun 1953.
* Pemerolehan Bahasa Anak
Studi pemerolehan bahasa ibu (bahasa pertama) pada anakanak dimulai pada abad 18 dan mencapai puncak kematang-annya
di tangan Stern dan istrinya. Pada tahun 1907 mereka berdua telah
menerbitkan sebuah penelitian yang mereka tetapkan sebagai hasil
eksperimennya yang dilakukan pada tiga orang anak seputar cara
pemerolehan bahasa anak.
Pada pertengahan abad sekarang, para psikolog melakukan studi pemerolehan bahasa anak berdasarkan prinsip asumsi
bahwa belajar bagaimanapun rumitnya, namun ia tidak berbeda
dengan jenis belajar lainnya. Pada tahap awal, studi para psikolog
terfokus pada penemuan hubungan antara pemerolehan bahasa dan
intelegensi anak. Di antara para pendukung studi topik ini adalah
Maccarthy. Kemudian studi-studi itu beralih ke segi lain, yaitu
konsentrasi pada aspek-aspek psikologis, yaitu berfikir, kemudian
beralih ke perkembangan bahasa anak sejak masa lahir sampai
masa sekolah. Dalam studi ini, para linguis dan para psikolog
mengikuti metode ilmiah. Lalu mereka memulai tugasnya dengan
merekam pelafalan sejumlah anak yang baru lahir pada masa-masa
FASAL V
85
86
yang berdekatan. Kemudian mereka mencatat korpus bahasa yang
sudah direkam itu secara fonetis, kemudian mengkaji korpus
bahasa yang tertulis. Dari hasil rekaman-rekaman itu terjadilah
perdebatan seputar hasil rekaman tersebut, yang merupakan
rekaman terbanyak daripada rekaman yang telah dilakukan oleh
Roger Brown dan kawan-kawannya terhadap ketiga anak yang
baru lahir.
Pada tahun 1960 berkembanglah studi bahasa anak secara
pesat sebab terjadi revolusi linguistik yang pernah dilakukan oleh
Choamsky. Ketika menjelaskan metode linguis ini, kita tahu
bahwa Choamsky membedakan dua unsur struktur kalimat, yaitu
struktur batin dan struktur lahir. Struktur batin merupakan dasar
bagi struktur lahir. Choamsky menegaskan bahwa anak dilahir-kan
sudah mempunyai pengetahuan fitri tentang hubungan-hubungan
sintaksis dasar. Teori ini mempunyai kesimpulan yang dalam
untuk menafsirkan pemerolehan bahasa ibu (bahasa per-tama)
pada anak.
Sebelum munculnya teori Noam Choamsky, para psikolog
memandang bahasa sebagai pemerolehan kebiasaan yang sama
dengan pemerolehan kebiasaan lain. Mereka berang-gapan bahwa
anak dilahirkan, dalam pikirannya terdapat lem-baran putih yang
kosong dari bahasa. Mereka berpendapat bahwa penyebab
pemerolehan anak akan bahasa kedua orang tuanya adalah latihan
yang berkesinambungan yang dilaksanakan oleh kedua orang tua
untuk mengajari anaknya kebiasaan berbicara. Di antara para
pendukung teori ini adalah Bavlon, Vygotsky dan Skinner. Teori
ini dinamakan teori psikologi perilaku. Dan teori ini membangun
arah pandangannya atas dasar bahwa bahasa tersusun dari reaksireaksi atau respon-respon terhadap stimulus-stimulus eksternal.
Pola yang berterima secara sosial menjadi kebiasaan bagi
seseorang, yang diperoleh melalui kedua orang tuanya dan orangorang di sekitarnya. Demikan pula para behavioristik beranggapan
87
bahwa anak setelah belajar bahasa dari kedua orang tuanya, ia
akan sampai ke tahap hafalan dan penyimpangan sejumlah pola
kalimat yang spesifik, yang dapat direntangkan dan diperluas
secara horizontal melalui berbagai metode dengan melestarikan
prinsip setiap modelnya. Ketika seseorang terpengaruh oleh suatu
stimulus eksternal, maka ia boleh merespon dengan salah satu pola
yang tersimpan padanya.
Akan tetapi teori ini tidak bersambut oleh para psikolog
pada masa sekarang, bahkan mereka mendukung sudut pandang
yang diserukan oleh Choamsky, yang mengatakan bahwa anak
datang ke dunia ini dengan dibekali bakat fitriyah yang
membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Ini berarti bahwa
anak dilahirkan dalam keadaan memiliki kemampuan-kemampuan
umum tentang ciri-ciri bahasa, hubungan-hubungan dan bab-bab
sintaksis dasar, seperti bab fa’il (subjek) dan maf’ul. Hubunganhubungan ini dan bab-bab itu umumnya terdapat pada semua
bahasa manusia. Ada kecenderungan yang sangat baru yang
muncul dalam psikologi; ia beranggapan bahwa anak dilahirkan
dalam keadaan mempunyai pengetahuan fitrahnya tentang babbab, kaidah-kaidah sintaksis, semantik dan fonologi. Anak
mempunyai kemampuan memakai kaidah-kaidah khusus.
Kemudian ia berlanjut dalam revisinya sampai menye-rupai
kaidah-kaidah yang dapat mengontrol bahasa orang-orang dewasa.
* Perkembangan Bahasa Anak
Di antara hal-hal yang diasumsikan dalam psikologi adalah
bahwa permulaan pelafalan dan perilaku berbahasa anak tunduk
pada jadwal waktu yang cermat saat anak menempuh langkahlangkah berikut.
1) Hal yang pertama kali dipelajari oleh anak adalah prinsipprinsip yang berkaitan dengan klasifikasi kosakata hingga
rumpun-rumpunnya. Misalnya, kata ‘kursi’ bagi anak
88
menunjukkan rumpun kursi semuanya tanpa memperhatikan
ukuran-ukurannya dan bahan-bahan untuk membuatnya. Demikian
pula, anak mempelajari asas-asas yang memungkinkan dia
menyusun bunyi yang satu dengan bunyi yang lain untuk
membentuk kalimat, kemudian anak mulai melafalkan kata-kata
tunggal. Vygotsky dan Bloom berpendapat bahwa kata-kata yang
diulang-ulang oleh siswa pada tahap ini mengungkapkan struktur
sintaksis yang lengkap.
2) Setelah itu anak mengucapkan kalimat-kalimat yang tersusun
dari dua kata. Di antara para psikolog yang menaruh perhatian
pada studi tahap ini adalah L. Boom. Eksperimennya dilakukan
pada tiga orang anak. Studi itu mengkonfirmasikan bahwa
kalimat-kalimat yang diucapkan oleh anak pada tahap ini terdiri
dari dua kata yang disusun secara sintaksis dan stabil yang
mengacu pada kaidah-kaidah yang stabil. Dengan sarana itu, anak
dapat mengungkapkan hubungan-hubungan tertentu, seperti
hubungan fa’il (subjek/pelaku) dengan maf’ul bih (objek/sasaran).
3) Setelah itu anak mulai memperluas kalimatnya supaya
mencakup lebih dari dua kata.
* Bahasa dan Penyakit Kejiwaan
Di antara hasil kerja sama antara linguis dan psikolog
adalah bahwa para psikolog dapat memanfaatkan prinsip
pembagian bahasa ke dalam dua bagian. Yang pertama adalah
bahasa, yakni sistem mentalistik yang sebenarnya. Tatkala para
psikolog memanfaatkan pembagian kebahasaan ini, mereka mulai
membatasi medan bahasa dan medan ujaran dalam otak manusia.
Kemudian mereka menemukan bahwa pusat pelafalan terletak di
daerah kiri otak yang dinamakan ‘Broca’s Area’. Adapun pusat
bahasa atau kemampuan berbahasa – sebagaimana dinamakan oleh
Choamsky – ditemukan di daerah lain dalam otak yang disebut
‘Werica’s Area’.
89
Selanjutnya apabila manusia terkena musibah di daerah
pertama, maka ia akan terkena musibah kecacatan dalam
melafalkan bunyi-bunyi atau dalam struktur sintaksis kalimat.
Adapun apabila ia terkena musibah di daerah kedua, maka yang
terkena musibah itu akan mendapatkan kesulitan dalam
memahami apa yang ia dengar atau yang ia baca. Inilah penyakit
yang dinamakan ‘Aphazia’ oleh para ilmuwan.
2. Lingustik dengan Sosiologi
Linguitik berkaitan dengan sosiologi, karena bahasa dapat
membantu dalam berkomunikasi di antara para anggota masyarakat yang sama. Dari sini, lahirlah cabang linguistik yang dinamakan sosiolinguistik. Ilmu ini bertujuan menjelaskan pengaruh
masyarakat terhadap bahasa. Yang demikian itu tercermin dalam
hal-hal berikut.
1) Masyarakat terbagi atas beberapa lapisan: Lapisan atas, lapisan
menengah dan lapisan bawah sehingga muncullah tiga tingkatan
bahasa yang sama. Orang terdidik mempunyai bahasa tersendiri;
para sastrawan dan para pemikir mempunyai bahasa yang khas;
dan orang-orang lapisan bawah mempunyai bahasa tersendiri.
Misalnya, di antara yang demikian itu, bahasa Jawa terbagi
ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan lapisan masyara-katnya.
Bahasa lapisan bawah dinamakan ‘Ngoko’; bahasa lapisan atas
dinamakan ‘Krama’; bahasa lapisan masyarakat bawah disebut
‘Dmclya’.
Setiap tingkatan bahasa ini memiliki ciri-ciri yang khas.
Vendryes telah mengkaji bahasa orang yang kurang beruntung dan
orang-orang yang melanggar undang-undang di Perancis.
Kemudian dia menemukan bahwa bahasa mereka mempunyai
keistimewaan yang nyata dalam ekspresi-ekspresi yang memenuhi
naluri fisik dan non-fisik (sifat-sifat) yang tercela yang mengarah
ke perbuatan dosa, seperti pencurian, perzinaan dan mabuk90
mabukan. Misalnya, bahasa mereka mencakup 18 kata yang
mengungkapkan ‘al-akl’ (makan); 20 kata yang mengungkapkan
al-khubz (mentega); 40 kata yang mengungkapkan ‘asy-syurthi’
karena mereka selalu takut kepadanya. Di antara contoh-contoh
peristilahan yang khas bagi mereka bahwa mereka menamakan assijn (penjara) ‘ma’had’ (lembaga); al-bu’s (kesengsaraan)
falsafah; al-hidza al-baly (sepatu usang) filosof; ar-rajul al
mustaqim (orang laki-laki yang lurus) ‘basith’ (sederhana).
Adapun as-sayyidah al-fadhilah mereka ungkapkan dengan satu
kata.
Vendryes menjelaskan bahwa pembelajaran yang penuh
perhatian tidak cukup dengan pembagian tingkatan-tingkatan
bahasa ke dalam tiga tingkatan, melainkan pembagian tersebut
lebih dari itu. Sebab, setiap kelompok mempunyai bahasa
tersendiri; murid-murid sekolah mempunyai bahasa tersendiri.
Bahkan sesungguhnya bahasa ini dapat berbeda karena per-bedaan
kelas; semua orang yang memiliki pekerjaan tertentu mempunyai
bahasa tersendiri, seperti tukang tambang, tukang berburu dan
tukang kayu. Demikian pula, Vendryes menjelaskan bahwa
masyarakat mempunyai potensi-potensi yang dapat me-ngalahkan
bahasa. Sebab, apabila seseorang berusaha melanggar salah satu
fenomena kebahasaan dalam bahasanya, maka ia segera sadar
memberikan reaksi yang berlawanan di masyara-katnya, yang
tercermin dalam mempermainkan atau memper-olok-olokannya.
Kita menyadari hal itu ketika berbicara dengan bahasa fusha di
depan orang-orang awam atau sebaliknya (1).
Akan tetapi ada lima gaya bahasa yang dapat dipakai oleh
seseorang tanpa diperolok-olok oleh masyarakat. Martin Joos telah
membatasi gaya bahasa ini sebagai berikut.
1. Gaya bahasa statis, yaitu yang dipakai dalam ujaran resmi
seperti gaya berpidato resmi, shalat, doa’a-do’a keagamaan dan
bacaan buku-buku keagamaan.
91
2. Gaya bahasa resmi, yaitu gaya bahasa yang dipersiapkan
dengan baik dan dibaca dengan penuh perhatian, seperti sejumlah
program siaran radio, televsisi dan kuliah universitas.
3. Gaya bahasa konsultasi, yaitu gaya bahasa yang banyak
kesamaannya dengan gaya bahasa resmi, tetapi tidak dirancang
dengan penuh perhatian oleh penutur. Di dalamnya penutur
menghindari pemakaian ungkapan yang standar. Misalnya, gaya
bahasa ini dipakai di kalangan para hakim, para konsultan atau
para menteri ketika mereka berdiskusi tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan hukum.
4. Gaya bahasa biasa, yaitu gaya bahasa yang dipakai oleh temanteman di kalangan mereka. Gaya bahasa ini meng-asumsikan latar
belakang konsep-konsep dan informasi-informasi yang kolektif di
kalangan para penutur. Dalam gaya bahasa ini, banyak bahasa
yang dominan dipakai pada lapisan para penutur.
5. Gaya bahasa loma, yaitu gaya bahasa yang paling tidak resmi.
Biasanya gaya bahasa ini tersusun dari semi-semi kalimat,
kosakata dan isyarat-isyarat. Di dalamnya, dipakai bahasa yang
umum dalam lapisan para penutur(1), dipakai di kalangan kekasih,
suami istri dan anggota-anggota dalam satu keluarga. M. Joos
mengemukakan pendapat dengan mengatakan: Banyak sekali
penutur yang menetapkan pemakaian uslub (gaya bahasa) tertentu
tanpa memperhatikan konteks. Hal ini untuk mengkonfirmasikan
indentitas penutur. Biasanya hal itu bertujuan membanggakan diri
atau memberitahukan kepentingan penutur kepada para pendengar
atau menetapkan pemakaian tingkatan kebahasaan yang berkaitan
dengan para penutur tingkatan itu atau jaringan sosial yang
lansung ada di atasnya dengan tujuan menyerupai mereka.
2) Bahasa dapat berbeda karena perbedaan usia orang-orang yang
membentuk masyarakat tertentu.
92
Bahasa seseorang berkembang pada saat berbagai tahap
pertumbuhannya. Kita memperhatikan bahwa ketika anak memperoleh bahasa, ia menempuh beberapa tahap, mulai dengan tahap
haohakeng yang dikeluarkan oleh anak sebagai suara yang tak
terbatas untuk mengungkapkan perasaan lapar, pedih atau sakit.
Kemudian setelah itu, ia beralih ke pembentukan kalimat-kalimat
yang terdiri atas satu kata, dua kata, kemudian beberapa kata. Pada
tahap-tahap ini anak berbicara dengan suatu bahasa yang disebut
bahasa anak-anak. Kata-kata yang selalu dipakainya adalah ambu
untuk menunjukan maaa (air); mah untuk menunjukkan lam
(daging); kukh untuk menunjukkan qadzarah (kotor); dah untuk
menunjukkan masy (berjalan). Ketika anak itu mencapai usia lima
atau enam tahun, ia akan dapat berkaidah bahasa dan memperoleh
sejumlah kosakata sebelum masuk sekolah. Di sini terjadi
perubahan besar dalam bahasanya; secara bertahap ia mulai
belajar bahasa tinggi (baku). Dari segi lain, ia mulai bergaul
dengan teman-temannya, yaitu anak-anak yang datang dari
berbagai tingkatan, karena itu bahasanya terpengaruh oleh apa
yang didengarnya. Selanjutnya ia mulai memakai bahasa yang
mempunyai cap yang berbeda dengan apa yang dipakainya
sebelum masuk sekolah. Perkembangan bahasa itu terus
berlangsung sejalan dengan perkembangan anak. Dan bahasanya
berbeda ketika ia melewati tahap masa puber. Ia memakai
ungkapan-ungkapan dan kosakata yang telah tenggelam dalam
bahasa ‘amiyah (slang), kemudian bahasanya berkembang lagi
pada masa kematangannya.
Dari sini, kita dapat memyimpulkan bahwa setiap tahap
yang dilalui oleh anak mempunyai bahasa yang sesuai dengan
tahapannya. Selanjutnya anak akan membentuk ciri-ciri yang
berbeda dengan bahasa pada tahap lain yang dilalui oleh anak.
Setiap orang di masyarakat mengetahui kaidah-kaidah yang mengontrol pemakaian bahasa pada setiap tahap yang dilalui oleh
93
anak. Apabila terjadi terjadi salah seorang melanggar salah satu
kaidah, maka ia akan mendapat kritikan dari semuanya, sebagaimana hal itu kita lihat pada bagian terdahulu (1).
3) Bahasa dapat berbeda karena perbedaan jenis
Di antara perbedaan yang nyata antara jenis laki-laki dan
perempuan adalah bahwa suara perempuan paling tajam dan
paling tinggi tingkatannya daripada laki-laki. Juga, perempuan
lebih jelas dalam pelafalannya daripada laki-laki dan lebih
berambisi melafalkan dengan benar kosakata dan kalimat daripada
laki-laki. Biasanya, perempuan menggunakan beberapa kosakata
yang tidak dipakai oleh laki-laki. Antara lain, perem-puan
menggunakan sejumlah besar warna, seperti muf, tarkawaz, bij,
zuhri dan bunai. Kosakata ini jarang dipakai oleh laki-laki. Bahasa
perempuan mempunyai keistimewaan dengan dihiasi sifat-sifat
yang mengungkapkan kekuatan rasa, baik yang bersifat hakikat
(sebenarnya) ataupun dipakai basa-basi(2).
94
FASAL VI
LINGUISTIK HISTORIS
Linguistik historis menaruh perhatian pada penelusuran
perkembangan yang terjadi pada bahasa, yaitu pada fonologi,
morfologi, sintaksis dan semantik. Itu dilakukan melalui komparasi antara kajian bahasa pada dua atau lebih periode waktu yang
berbeda. Lingustik historis dalam kajiannya mengacu pada
dokumen-dokumen yang terpercaya secara historis. Dokumendokumen ini tampak dalam beberapa bentuk, seperti prasastiprasasti yang terkubur di atas batu-batu besar dan batu biasa, di
atas lereng-lereng gunung dan dalam sabak-sabak kayu atau sabak
tanah yang terkubur dengan peralatan yang tipis serta dalam
sabak-sabak lilin dan daun-daun kurma.
Linguis historis tidak dapat bersandar pada tulisan saja
untuk menelusuri perkembangan yang terjadi pada bahasa karena
dua sebab berikut.
1) Sesungguhnya bentuk tulisan bahasa berperan penting dalam
mengosongkan arus perubahan yang menyusul bahasa ujaran
dengan cepat. Bahasa ujaran dapat berubah-ubah secara alami dan
fitri karena jauhnya dari pusat dan mengekspresikan dirinya
melalui zaman serta tampak dalam bentuk dialek sepanjang
zaman(1). Misalnya, kita mendapati bahwa bunyi ghain dalam
95
bahasa Inggris – pada prinsipnya – diungkapkan dengan gh.
Adapun sekarang, maka bunyi ini tersembunyi dari suara-suara
orang Inggris modern, lalu ia tidak melafalkannya. Adapun
tulisan, maka itu masih ditulis sebagaimana tertulis pada masa
silam, seperti kata night.
2) Sesunguhnya tulisan terkadang dilambangkan dengan lambang
yang berbeda dengan lambang asli bunyi ini, seperti C yang
dilafalkan ke dalam Camel, sementara lambang asli kaf adalah k,
seperti pada Milk dan ph dalam Elephant yang dilafalkan fa,
padahal lambang dasarnya adalah F, seperti pada Family. Bahkan
sesungguhnya tulisan terkadang dapat menetapkan huruf tetapi
tidak diucapkan. Kita mengamati hal itu dalam alif lam syamsiyyah, seperti : c = اdan alif yang mengiringi wau jama’ah
pada fi’il, seperti : ا# dan terkadang terjadi sebaliknya, yaitu
bahwa sistem tulisan cenderung ke perafalan fathah thawilah,
tetapi tulisan tidak menetapkannya, seperti:
2 E) ا# – Bھ`ا – ھ`ه –ط
Oleh karena itu, linguis historis mengacu pada korpus yang
vital juga, yaitu pada dialek lisan dan menghimpunnya secara
ilmiah dengan metode khusus yang dikenal dengan nama geografi
bahasa. Linguis melakukan pengumpulan bermacam-macam
gambar visual pada peta-peta komponennya yang dikenal dengan
atlas bahasa(2) karena studi dialek dianggap sebagai instrumen
yang menjelaskan aspek-aspek sejarah bahasa klasik, yaitu sebagai
alat untuk memahami masa lalu.
Linguis dalam bidang linguistik historis mengacu pada
prinsip-prinsip berikut dalam menganalisis korpus bahasa yang
vital dan terbukukan.
1. Membandingkan fenomena-fenomena kebahasaan yang berkaitan dengan sejarah kejadiannya, jika hal itu memungkinkan,
dan mengamati perubahan fenomena-fenomena ini dari satu
periode ke periode lain.
96
2. Ketika pembatasan historis itu tidak ada, korpus bahasa yang
berserakan dapat dibandingkan, yang klasik dan yang modern;
fenomena-fenomena dan perjalanannya dapat dibandingkan
melalui korpus itu berdasarkan ijtihad yang berdasar pada asas
seperangkat kecenderungan umum yang terkontrol dalam
perkembangan bahasa. Misalnya, di antara kecenderungan-kecenderungan ini adalah kecenderungan kepada meringankan (menyederhanakan) beberapa bentuk sehingga dapat disimpulkan
bahwa bentuk yang ringan lebih baru daripada dialek yang
biasanya menggunakan bentuk yang utuh, seperti : ا )سV# ر.
Sebagai akibat dari penyederhanaan ini, terkadang fi’il-fi’il
berubah menjadi adawat. Misalnya fi’il : ! > berubah menjadi ! >
dan نkamilah (utuh) kepada نnaqishah(1).
2. Teori Historis Sosial
De Suassure menghubungkan perubahan-perubahan bunyi
dengan masa-masa kegoncangan dalam sejarah umat manusia.
Misalnya, di antara hal yang demikian itu adalah bahwa penyebab
dalam perkembangan bahasa latin di antara bahasa-bahasa
Rumania disebabkan oleh masa yang goncang yang dibutuhkan
oleh bahasa Italia.
Jespersen mengatakan bahwa huruf-huruf dan pergolakan
sosial mengakibatkan masuknya bahasa dalam pergulatan dengan
bahasa latin. Terkadang, itu menjadi bahasa para prajurit atau
bahasa para emigran baru. Tentu ini membawa ke perkem-banganperkembangan tertentu dan ukurannya tergantung pada
sejauhmana kekuatan dan budaya bahasa para prajurit atau para
emigran.
* Teori-teori Perkembangan Bunyi
1. Teori Perubahan Anatomi
Teori ini berarti bahwa glotal dan artikulasi lainnya pada
manusia berubah dari generasi ke generasi. Penelitian anatomi
menunjukkan bahwa organ-organ perlengkapan pernafasan pada
manusia masa lalu berbeda dengan manusia modern. Selanjutnya
hal ini membawa kepada perubahan dalam pelafalan bunyi.
Misalnya, bunyi ا ' دsebagaimana yang diuacapkan oleh para
linguis terdahulu dan sebagaimana yang kita ucapkan sekarang.
Sibawaih telah memerikan makhrajnya bahwa makhrajnya dari
makhraj (! " )اatau (2 = )ا, namun ia bersifat hampiran seperti
(مL )اdan bersifat istithalah. Adapun sekarang, maka makhraj
( )ا ' دadalah makhraj ()ا ال, sedangkan perbedaan antara
keduanya ialah bahwa ( )ا ' دadalah bunyi mufakhkham dan kita
sekarang tidak dapat melafalkan ( )ا ' دseperti yang diucapkan
oleh para linguis terdahulu.
3. Teori Kemudahan
Jespersen mengatakan: Saya tidak khawatir akan pertentangan apapun ketika saya menghubungkan kecenderungan
manusia dengan kemalasan, bersantai-santai, dan kemudahan.
Apabila hal ini merupakan kecenderungan manusia, maka bahasa
ketika berkembang, bunyi-bunyinya cenderung hemat dalam
upayanya.
Osthoff, salah seorang ahli nahwu baru (Neogrammarian),
menentang teori ini. Dia mengatakan bahwa kemudahan dan
kesukaran merupakan dua istilah yang relatif. Sebab, apa yang
dianggap mudah oleh seorang penutur akan dianggap sukar oleh
penutur lain. Bunyi sin dan tsa itu mudah bagi orang Inggris,
tetapi keduanya sukar bagi pembelajar bahasa Inggris, yang non
Inggris.
Pendapat ini didukung oleh Dr. Abdurarahman Ayyub,
namun demikian bahasa ketika bunyi-bunyinya berkembang, maka
ia cenderung melepaskan bunyi-bunyi yang sukar.
97
98
4. Teori Imitasi
Para pendukung teori ini beranggapan bahwasanya ketika
bunyi-bunyi bahasa itu berkembang, maka kita temukan bahwa
suatu bunyi dapat menduduki bunyi lain. Perkembangan bunyi tsa
dalam bahasa Arab Fusha menjadi bunyi ta dalam dialek Kairo,
seperti pada tsa’lab dan ta’lab.Itu berarti bahwa bunyi tsa ditukar
dengan bunyi ta. Satu-satunya tafsiran terhadap yang demikian ini
adalah bahwa para penutur dengan dialek Kairo menirukan bunyi
ta ketika mereka melafalkan tsa.
Teori ini didukung oleh Jespersen dengan mengatakan
bahwa asal perubahan bunyi disebabkan oleh peniruan kebisaankebiasan ujaran pada orang lain.
Di samping itu, harus kita katakan bahwa peniruan
membawa kepada perubahan, sedangkan melawan peniruan itulah
yang membawa kepada perubahan.
5. Teori Interferensi Ujaran
Faktor yang terpenting dalam perkembangan bunyi adalah
penutur memakai dua bahasa. Ketika penutur berbicara dalam dua
bahasa, maka akan terdapat interferensi dalam ujaran. Inteferensi
ini muncul ketika seseorang yang bilingual berusaha mengadakan
kemiripan antara fonem dalam bahasa keduanya dan fonem yang
mendekatinya dalam bahasa ibunya. Kasus ini tidak terbatas pada
bilingualism saja, tetapi ia tersebar secara umum di kalangan
orang yang belajar bahasa asing. Misalnya, mahasiswa Turki yang
belajar bahasa Arab cenderung melafalkan fonem wau dalam
bahasa Arab sebagaimana ia ucapkan dalam bahasa Turkinya,
yaitu v. Alih-alih melafalkan kata bahasa Arab: walad dengan
pelafalan Arab yang fasih, ia melafalkannya valad(1).
* Pola-pola Perubahan Bunyi
99
1. Perubahan bunyi
Orang yang pertama kali menaruh perhatian terhadap
pergerakan bunyi adalah Grimm, salah seorang pencetus filologi
bandingan. Kemudian hal itu dikenal dengan nama kaidah Grimm.
Dia mengatakan bahwa bunyi-bunyi letupan yang ber-suara dalam
seperangkat bahasa Indo-Eropa berubah menjadi bunyi-bunyi
letupan yang tak bersuara dalam bahasa Jerman. Demikianlah, (b)
menjadi (p); (d) menjadi (t); (j) menjadi (k). Adapun bunyi-bunyi
letupan yang frikatif dalam bahasa Indo-Eropa berubah menjadi
bunyi-bunyi frikatif yang tak bersuara. Demikianlah, (p) menjadi
(f) dan (t) menjadi (ts) serta (k) menjadi (kh)(1).
Dalam bahasa Arab kita temukan pola-pola pergerakan
bunyi sebagai berikut.
Bunyi-bunyi dental yang frikatif bergeser kepada bunyibunyi letupan yang uvular. Berikut ini penjelasan tentang bunyibunyi ini dan bunyi-bunyi yang menduduki posisinya.
* ()ا `ال
a. posisinya diduduki oleh (اىS )ا, seperti : `ور4 danورS4
b. posisinya diduduki oleh ()ا ال, seperti : )ذءة4 dan
)د4
;
7* dan ` 7* ; > لdan ر ; >`لdan `ر.
* ()ا ء
a. posisnya diduduki oleh (2 - )ا, seperti =E dan B -E
b. posisinmya diduduki oleh ()ا ء, seperti : رe dan م ; رe dan
م
* ( ءf )ا:
a. posisinya diduki oleh ()ا ' د, seperti : f7E dan '7E (2).
Bunyi-bunyi palatal diubah menjadi bunyi-bunyi uvular.
Berikut ini penjelasan tentang hal itu.
100
* ( )ا ف:
( )ا فberubah menjadi (g ) apabila diikuti oleh kasrah
dalam dialek Rabi’ah dan dialek Mudhar, yaitu apabila ()ا ف
menunjukkan dhamir mukhathabah muannatsah (pronomina
orang kedua perempuan). Dalam keadaan waqaf, maka ()ا ف
berubah menjadi (2 N) saja, sebagaimana hal itu tampak dalam
contoh berikut: g – g – h (1).
Di antara contoh-contoh perubahan ini adalah ucapan Rajiz
:
g i7 V ان د> ت
g > V V,M> وان
g * 5 jQE V وان
g 7 اX#+7 P+7 P E
di kalangan penduduk Quraisy pada zaman Nabi SAW. Kemudian
pelafalan itu menjadi pelafalan Al Qur’an dan bahasa Arab fusha
(1).
c. Bunyi ( )ا الhilang dan bunyi (2 = )اyang bersuara tetap ada.
Ini dinisbatkan kepada kabilah Tamim. Zuhair bin Dzuaib al و > اB ! اiN)وا * أ4 R ! ل
‘Adawi berkata : -# ا4)
Juga, diantaranya : F = – F " – )ثN( ا )ث – ا2).
2. Bunyi (aw) berubah menjadi dhammah mumalah thawilah dan
bunyi (ay) berubah menjadi kasrah mumalah thawilah. Kemudian
kedua-duanya berubah menjadi fathah thawilah, seperti : –
– ب
* (! " )ا
- Jim ( )ا مberubah dari pangkal palatal ke tengah-tengahnya. Itu
terjadi di awalnya sebelum kasrah, yaitu gi. Kemudian ini bersifat
umum, di mana makhrajnya menjadi dari tengah-tengah palatal
sebelum fathah, kasrah dan dhammah.
- Bunyi gi berubah menjadi di, seperti : g N دsebagai penganti
dari g = .
- Pada bunyi di terjadi perubahan-perubahan berikut:
a. Bunyi ( )ا الhilang dan bunyi kasrah tetap ada dan ditulis ( ,).
Yang demikian itu dinisbatkan kepada kabilah Tamim. Ummu
Haitsam mengatakan : 2 ﷲ2 4M P7 9ل و
ّ ظ2 2 , ! اذا
)اتN yaitu dari ")اتN.
b. Bunyi ( )ا ءbertukar menjadi (2 N) yang bersuara dengan
bunyi ( )ا الtetap ada, maka bunyi itu menjadi dj. Pelafalan ini
dominan pada penduduk Quraisy. Pelafalan inilah yang dominan
101
Gejala ini dinisbatkan kepada Kabilah Balharits, yaitu
kabilah Yaman yang mengharuskan mutsanna dengan alif. Rajiz
berkata :
ھL = 2ھL ط رت
اھE +E P7Q 4 و = د
ھ4و> أ
>
Juga, di antaranya :
, dan
, (3). Atas dasar bahasa
dialek ini, datanglah firman Allah SWT : (()انE - ))ان ھ`ان
3. Gugurnya bunyi hamzah (ةS )ھ:
a. Di awal kata
Telah kami jelaskan sebelumnya ketika mengkaji kaidahkaidah bunyi dalam bahasa Arab bahwa kaidah itu cenderung
menggugurkan hamzah di awal kata, seperti: ) M, -) ; أdan `;أ
`; – `;M, –. Di sini ingin kami tunjukkan bahwa kecenderungan
ini bersifat umum. Di antara rambu-rambu dasar dalam
perkembangan bahasa, Abu Bakar bin Ambari mengatakan bahwa
102
orang awam melakukan kesalahan dalam menjamakkan kata 2- ا
dengan ن7C ; dalam kata مF4l اdengan مF4. Orang kebanyakan
pada masa al-Jawaliqi cenderung menggugurkan hamzah أب, lalu
mereka mengatakan ح, 4 sebagai pengganti dari ح, ر4أ.
b. Di tengah kata
Gejala ini membedakan dialek Quraisy, seperti kata :
لMC dan لC ; لM-, dan ل-,.
c. Di akhir kata
Di akhir fi’il, pengguguran hamzah mengakibatkan
ketaksaannya dengan fi’il-fi’il mu’tal akhir, lalu ia saling
berinteraksi ketika disandarkan kepada dhamir. Ibnu Ambari
mengatakan : Katanya : B ,أردأت ا ) – أردا – أرد
Barangsiapa yang membaca B أردا, berarti ia menghaluskan hamzah (menjadikannya sebagai hamzah lin) dan barang
siapa yang membaca B ,أرد, maka ia beralih dari hamzah (1).
Diserupakan V, أردdengan V <أر. Contoh semacam ini adalah
ucapan bangsa Arab : رأت+ dengan mentahqiq hamzah dan رات+
dengan mentalyin hamzah; V,)* dengan meninggalkan hamzah;
dan dari situ beralih ke tasybih (menyerupakan dengan V '* dan
V )ر. Demikian pula, dapat diucapkan ا*)أdengan tahqiq dan
ا*)اdengan talyin.
d. Gugurnya hamzah membawa kepada semacam isytiqaq
(derivasi) baru, karena gugurnya hamzah dari fi’il (PCاW,) adalah
mudhari dari (PCدى ;)آW, adalah mudhari dari آدى. Misalnya,
perubahannya menjadi PC ا, dan دى, adalah tanggung jawab
terhadap isytiqaq madhi (derivasi verba lampau) yang baru : ودى
– PC أdan contoh selain itu yang umum dipakai dalam dialek
modern. Hal itu pernah terjadi dalam dialek kabilah Thai lama.
103
4. Qalb makani (pertukaran dari segi posisi)
Qalb makani tercermin dalam saling mendahulukan
beberapa bunyi kata, seperti : `بdan `# ; )F
dan 8; )ھ
جS dan S" ;
< اdan ' ا. Juga, di antaranya ada kabilah
Tamim yang mengucapkan , - رsebagai pengganti dari ; )ى
! + dan Z* اR sebagai pengganti dari + R ; ق- واdan
kata X dalam kata X .
FASAL VII
LINGUISTIK BANDINGAN
A. Pembagian Bahasa ke dalam Rumpun-rumpun Bahasa
Metode bandingan mengacu pada asas-asas metode
historis. Metode ini berbeda dengan metode historis dalam hal
menelusuri gejala bahasa pada masa lalu. Di antara kesimpulan
yang paling menonjol dalam metode ini adalah bahwa ia
menentukan bahasa-bahasa manusia tertulis dalam sembilan
rumpun yang diklasifikasi menurut kemiripan setiap rumpun
dalam ciri-ciri umum, baik aspek fonologis, morfologis, sintaktis
maupun aspek semantis. Tabel berikut memperjelas rumpunrumpun ini yang disusun berdasarkan jumlah penduduk yang
bertutur dalam setiap rumpun.
Jumlah Penduduk
1000
500
104
Nama Rumpun
Indo-Eropa
Cina dan Tibtia
100
100
100
90
75
60
10
pertama mencakup semua dialek yang dominan di Afrika Barat
dan Afrika Tengah sebelah utara sampai daerah khatulistiwa. Di
antara dialek kelompok bahasa ini ada dialek Hawisa, Yorisa dan
Madinja. Kelompok kedua mencakup bahasa Banto dan
membentang hingga daerah Afrika Utara.
Afrika
Darvidia
Jepang-Korea
Melayu
Semit-Hamit
Orolia
Indo-Amerika
* Keterangan :
1. Indo-Eropa
Rumpun bahasa ini dipakai untuk bertutur oleh sejumlah
besar penutur. Mereka berada di sebagian besar daerah geografis.
Rumpun bahasa itu mencakup bahasa Inggris, bahasa Perancis,
bahasa Spanyol, bahasa Persia dan bahasa-bahasa lain yang
banyak di India.
2. Cina-Tibtia
Rumpun bahasa ini mencakup sekelompok bahasa yang
tidak saling berkaitan, sedangkan hubungan antarbahasa itu tidak
memberi inspirasi sedikitpun tentang koleski budaya. Bahasa Cina
merupakan rumpun bahasa yang paling menyebar.
Dalam bahasa Cina, sistem tulis mencakup sejumlah dialek
yang beraneka ragam dan bercampur baur. Juga, rumpun bahasa
ini mencakup sekelompok bahasa Tibtia dan Burma.
Bahasa-bahasa itu bercirikan bahwa sebagian besar kata di
dalamnya terdiri atas dua suku kata dan juga merupakan bahasa
yang berstres serta menggunakan kata-kata penghubung yang
memberi pengertian persona dan jumlah.
3. Bahasa Afrika
Rumpun bahasa ini mencakup sekelompok besar dialek
yang dapat kita himpun dalam dua kelompok besar. Kelompok
105
4. Bahasa Jepang-Korea
Para anggota penutur rumpun bahasa tidak saling
berkaitan. Bahasa Jepang meskipun menyerupai bahasa Cina
dalam sistem tulisannya, namun bahasa itu berbeda dengannya
dalam ciri-ciri lainnya, seperti sintaksis dan morfologi. Misalnya,
fi’il (verba) berinfleksi dengan infleksi yang berbeda dengan
infleksi yang dominan dalam bahasa Arab dan bahasa Perancis.
Semua verba tidak berkaitan dengan persona, karena di dalamnya
tidak terdapat dhamir-dhamir (pronomina-pronomina) personal.
Sebagai pengganti dari indikasi pada persona, verba itu menunjukkan ide keakraban, sopan santun dan paling sopan.
5. Rumpun Bahasa Dravida
Rumpun bahasa ini tersebar di Selatan India, utara
Srilangka dan Sailan. Di samping bahasa-bahasa Indo-Eropa, ada
rumpun bahasa yang membuat permasalahan sosial yang riskan.
6. Rumpun Bahasa Melayu dan Bulunezia
Rumpun bahasa ini tersebar di daerah-daerah yang jauh
dan asing bentuknya. Ia tersebar di daerah-daerah lautan yang jauh
dan banyak kepulauan. Rumpun bahasa ini membentang dari
Tahiti di timur hingga Majasy di barat. Distribusi ini terjadi secara
tidak sengaja.
7. Rumpun bahasa Semit
106
Rumpun bahasa ini terbagi atas dua kelompok, yaitu: 1)
kelompok bahasa Semit dan 2) kelompok bahasa Hamit.
Kelompok bahasa Semit yang terpenting adalah bahasa
Arab yang dipakai untuk bertutur oleh semua bangsa dunia Arab
sekarang. Adapun bahasa Hamit adalah bahasa yang dipakai oleh
penduduk utara Afrika, Sudan dan Somalia.
8. Rumpun Bahasa Orolia
Rumpun bahasa ini mencakup sejumlah besar bahasa.
Daerah yang penduduknya memakai rumpun bahasa ini adalah
dari utara dan pertengahan Eropa sampai ujung timur Seberia.
9. Rumpun bahasa Indo-Amerika
Bahasa-bahasa ini tidak tepat diistilahkan rumpun bahasa,
tetapi yang paling sesuai, bahasa-bahasa ini dinamakan kelompok
bahasa yang mencakup sejumlah dialek yang beraneka ragam di
utara dan pertengahan Amerika Selatan.
Di antara kelompok bahasa yang terpenting adalah dua
kelompok, yaitu kelompok Indo-Eropa dan kelompok SemitHamit.
B. Kelompok Bahasa Indo-Eropa
Kelompok bahasa ini mencakup beberapa cabang berikut. :
1. Cabang Jerman
Cabang ini terbagi atas dua kelompok dasar, yaitu:
(a) Timur, mencakup bahasa Swedia, bahasa Nurwegia, bahasa
Denmark dan bahasa Islandia;
(b) Barat, mencakup bahasa Inggris dan bahasa Jerman;
2. Cabang Rumania, istilah ini diambil dari kata Rumania yang
mencakup semua bahasa yang dominan dalam kekaisaran
Rumania. Ia dinamakan bahasa latin. Cabang ini mencakup bahasa
Spanyol, bahasa Portugal, bahasa Perancis dan bahasa Italia.
107
3. Cabang Baltiqia Slavia, ia mencakup bahasa Baltiqiya dan
bahasa Slovania. Adapun bahasa Baltiqia mencakup bahasa
Litswania, sedangkan bahasa Slovania mencakup bahasa Rusia,
bahasa Ukrania, bahasa Belanda, bahasa Mekdonia dan bahasa
Balkan.
4. Cabang Indo-Iran
Cabang ini mencakup dua kelompok, yaitu:
(a) Kelompok bahasa Iran, mencakup bahasa Persia, bahasa Kurdi,
bahasa Palusyia dan bahasa Afghania
(b) Kelompok bahasa India, mencakup bahasa Urdu, bahasa
Mongolia dan bahasa Tigania(1).
C. Rumpun Bahasa Semit
Rumpun bahasa Semit adalah kelompok bahasa yang berdekatan dan tersebar di Jazirah Arab, Suria, Palestina dan Irak (1).
Belum terungkap hubungan antara semua bahasa ini satu
kali pada abad 19, melainkan pada masa pertengahan para linguis
Arab telah mengenal bahwasanya ada kekerabatan antara bahasa
Arab, bahasa Ibrani dan bahasa Suryani. Mereka menyerupakan
kekerabatan ini dengan kekerabatan dialek-dialek dalam satu
bahasa. Khalil bin Ahmad dalam kamusnya ‘Al ‘Ain’ mengatakan:
Kan’an bin Sam bin Nuh menjadi nisbat bagi bangsa Kan’an dan
mereka bertutur dalam bahasa yang menyerupakan bahasa Arab.
Imam Suhail mengatakan: Sering terjadi kekerabatan antara orang
Suryani dan orang Arab atau mendekatinya dalam lafalnya(2).
Ibnu Hazm al-Andalusi mengatakan: Dan yang kita ketahui
dengan yakin adalah bahwa bahasa Suryani, bahasa Ibrani dan
bahasa Arab itulah yang merupakan bahasa kabilah Mudhar dan
kabilah Rabi’ah. Bukan satu bahasa kabilah Himyar, yang tempat
tinggal penduduknya saling berganti. Di dalamnya telah terjadi
suatu pergesekan, seperti yang terjadi di Andalusia. Apabila
penduduk Qirwan bermaksud suatu ritme, dan sebagian orang
108
Qirwan apabila ia bermaksud bahasa Andalusia – kita menemukan
orang yang mendengar bahasa penduduk Fash al Buluth – yaitu
bahasa pada satu malam dari Qurtubi, maka ia mengatakan bahwa
bahasa itu adalah bahasa lain selain penduduk Qurtubi.
Demikialah di banyak negara karena penduduk negeri itu
berdekatan dengan bangsa lain, bahasanya saling bertukar dengan
pertukaran yang tidak samar bagi orang yang mene-litinya.
Apabila orang Gelka menjadi bangsa Arab, maka ia mengganti
(2 )اdan ( )ا " ءdengan ھ ء. Lalu ia mengucapkan F apabila
ia ingin mengatakan :
dan contoh semacam ini banyak(1).
Barangsiapa yang merenungkan bahasa Arab dan bahasa
Suryani, maka dia akan meyakini bahwa perbedaan keduanya
adalah hanya dari seputar yang telah kami kemukakan, yaitu
pertukaran lafal-lafal manusia sepanjang zaman dan perbedaan
Negara dan umat-umat yang berdekatan dan sesungguhnya ia pada
mulanya merupakan satu bahasa.
Akan tetapi meskipun para linguis Arab mengetahui
hubungan yang mirip antara tiga bahasa, namun mereka belum
meneliti bahasa-bahasa ini dengan penelitian bandingan. Pada
abad 11 Masehi, Al-Hakkam Yahuda Hayuj (Abu Zakaria Yahya)
menerapkan metode-metode para ahli nahwu Arab pada bahasa
Ibrani. Demikianlah, ia telah membuat – dengan suatu metode
yang tidak disadari - lingustik bandingan terhadap bahasa-bahasa
Semit.
Situasinya masih demikian sampai datang abad 17 Masehi,
di mana bahasa ke empat, yaitu bahasa Habsyi (Ethopia) telah
ditambahkan kepada tiga bahasa itu. Tentu kita tidak
memaksudkan semua bahasa Habsyi, tetepi yang kita maksud
dengan itu adalah bahasa Semit yang dipakai bertutur di Habsyi.
Adapun dialek-dialek lain yang dominan di kalangan penduduk
terdahulu, maka di sini tidak kita maksudkan. Oleh karena itu,
orang-orang Eropa telah membuat suatu nama yang membedakan
109
bahasa Mismariyah yang dominan di Ethopia, yaitu bahasa
Ja’ziyah. Abad Abad 17 solusi lambang-lambang prasasti langit
telah mengakibatkan penambahan bahasa kelima, yaitu bahasa
Akadis, yakni bahasa Babilonia Klasik dan bahasa Asyuria
menengah(1).
Pada abad 18 para linguis berasumsi salah bahwa bahasabahasa ini mempunyai hubungan kolektif dengan kelompokkelompok bangsa yang pernah bertutur dengannya dan mereka
menganggap bahwa bahasa-bahasa Semit adalah bahasa-bahasa
bagi orang-orang Semit. Dari sudut ini, kita dapati bahwa orang
yang pertama kali memberi nama kolektif bagi bahasa-bahasa ini
dan bagi bangsa-bangsa yang bertutur dengannya adalah Slchotzer
pada tahun 1781. Tentu yang dia maksud dengan bangsa-bangsa
ini adalah bangsa Arab, bangsa Ibrani dan bangsa Aramia. Juga,
telah dominan keyakinan bahwasanya telah lama bahasa-bahasa
yang mirip dapat kembali ke satu bahasa atau bercabang
daripadanya, karena bangsa-bangsa yang bertutur dengan bahasa
yang mirip itu dapat kembali ke satu bangsa yang merupakan
sumber bercabangnya bangsa-bangsa ini. Dari sini Slchoetzer
menyarankan penamaan bahasa-bahasa ini dengan bahasa-bahasa
Semit dan bangsa-bangsa yang bertutur dengan-nya dinamai
Semit. Dia berpendapat bangsa itu lahir dari Sam bin Nuh. Dan dia
membangun sudut pandangnya ini berdasarkan tabel silsilah
keturunan yang terdapat dalam ‘Safar at-Takwin 1:5.
Tabel ini melihat bahwa Aram dan Arfakhsyad termasuk
putra Sam. Arfakhsyad dijadikan kakek tertinggi bagi Nabi
Ibrahim, kemudian Ibrahim melahirkan Ishak, yaitu nenek moyang
bangsa Israel dan Ismail adalah kakek bangsa Arab.
Akan tetapi apabila kita memusatkan perhatian terhadap
tabel ini, maka akan tampaklah bagi kita bahwasanya belum
diketahui ciri-ciri bangsa ini atau hubungan kemiripan antar
bahasa. Bahkan hal itu didasarkan pada asas pemeliharaan
110
hubungan politik dan batas-batas geografis yang pernah dominan
pada waktu penyusunan tabel ini. Misalnya, dari sini tabel itu
menganggap bahwa ‘Ailam melahirkan dua saudara Asyur
sehingga keduanya termasuk putra Sam, sementara orang-orang
‘Ailam dan orang-orang Luda serta orang-orang Asyur itu tidak
termasuk bangsa-bangsa yang berdekatan. Oleh karena itu, penyebab keduanya mengabungkan diri ke Asyur adalah bahwa
keduanya tunduk di bawah kekuasaan orang Asyur pada waktu
disusunnya tabel silsilah keturunan yang terdapat dalam Safar (1).
Dari segi lain, tabel itu tidak lagi mencakup bangsa Semit dan
bangsa Fenesia atau bangsa Kan’an, sementara bahasa mereka
sangat mendekati bahasa Ibrani. Akan tetapi tabel tersebut tidak
memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang hubungan
antarbangsa di sebelah selatan Jazirah Arab dan bangsa Ethopia(2).
Para linguis modern menyanggah bahwa bahasa-bahasa ini
mempunyai hubungan kolektif dengan kelompok bangsa yang
bertutur dengannya, karena sekarang sudah dengan mudah kita
ketahui bahwa pemerolehan bahasa dan asal bangsa serta
kecenderungan budaya ada tiga hal yang istimewa. Bangsa
mengacu pada ciri-ciri pisik. Dari sini kita mempertanyakan:
Apakah kita dapat mengatakan bahwa bangsa-bangsa yang
dahulunya bertutur dengan bahasa-bahasa ini berasal dari satu
ayah dan satu ibu? Pertanyaan ini tidak mudah. Banyak ilmuwan
yang berpendapat bahwa gagasan Semit tidak tepat kecuali dalam
medan kebahasaan. Sama sekali Semit itu tidak tepat dinamakan
bangsa. Para ilmuwan lain berpendapat bahwasanya yang
dimaksud dengan Semit adalah kemiripan dalam bahasa-bahasa
dan peradaban. Mereka memperkuat pendapat mereka dengan
menunjukkan kemiripan keluarga yang teramati dalam sistem
sosial dan agama serta bangsa-bangsa yang bertutur dengan
bahasa- bahasa Semit. Untuk menetapkan masalah ini, kita harus
membatasi makna bangsa. Ilmu antropologi modern mendefi111
nisikan bangsa sebagai sekelompok orang yang bisa berbeda jenis
dan tanah airnya, tetapi mereka bercampur dalam kesatuan yang
homogen berkat kesatuan tempat tinggal, bahasa, tradisi dari aspek
sejarah dan peradabannya.
Sesungguhnya apabila kita terapkan definisi ini pada
bangsa-bangsa yang bertutur dengan bahasa-bahasa Semit, kita
dapati bahwa hal itu jelas mencakup setiap bangsa tersendiri dan
kita dapati juga bahwasanya tidak ada kontradiksi dari segi
geografis terhadap homogenitas kelompok di antara bangsabangsa itu dan hal itu mencakup tradisi sejarah dan peradaban.
Yang demikian itu akan kita lihat nanti bahwa bangsa-bangsa yang
bertutur dalam bahasa Semit telah berdelegasi pada masa sejarah
dari Jazirah Arab. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa masalah
jenis bangsa tidak mempengaruhi pembatasan bangsa-bangsa
Semit. Sebab, bangsa yang paling koheren dan homogen bisa
mencakup unsur-unsur kebangsaan yang sangat beragam.
Sekarang dapat dipastikan bahwa teori yang sekarang telah
musnah pengaruhnya lebih banyak daripada yang bersandar pada
ilmu yang sungguh-sungguh. Dan para antropolog benar-benar
telah membuangnya(1).
Adapun bahasa dan budaya diperoleh melalui pengajaran,
pengalaman, tradisi dan sarana-sarana lain. Sesungguhnya bahasa
dipelajari pada masa anak-anak atau masa dewasa dan tidak
beralih dari kedua orang tua kepada anak melalui pembawaan.
Anak belajar dari kedua orang tuanya – bahasa yang dominan di
keluarga atau di kabilah atau di masyarakat tempat hidup keluarga
anak ini. Atau terkadang bahasa diperoleh seseorang nanti pada
waktu berlangsung proses kehidupan karena dorongan yang
penting. Terkadang masyarakat terpaksa meninggalkan bahasanya
apabila masyarakat menghadapi penjajah yang mengharuskan
bahasa melalui kekuatan, seperti semacam politik yang dikaji.
Hubungan bisnis bisa membawa kepada persebaran bahasa
112
tertentu dan misi agama juga bisa membawa kepada persebaran
bahasa yang mengandung agama ini. Terkadang kita dapati bahwa
dua masyarakat mempunyai dua bahasa yang dipakai saling
bergantian. Umumnya, salah satu bahasa dapat mencapai
puncaknya, sedangkan bahasa yang lainnya sangat melemah.
Demikianlah bahasa Arab masuk Mesir setelah kemenangan Islam
pada bad 17 masehi. Dan bahasa Arab-lah yang menjadi bahasa
politik, undang-undang dan sarana umum untuk berkominkasi
dengan dunia Islam lainnya.
Secara bertahap bahasa orang-orang Qibti mulai melemah
sehingga ia selalu berhenti dari pemakaiannya pada abad 16 M. Ia
hanya sebagai bahasa masalah-masalah keagamaan di-kalangan
orang Qibti saja. Dari sini jelaslah bahwa bangsa merupakan suatu
masalah, sedangkan bahasa betul-betul meru-pakan masalah lain.
D. Ciri-ciri Bahasa Semit
1. Aspek Fonologi
Aspek fonologi mempunyai keistimewaan dengan kekayaan yang teramati dalam konsonan. Dalam bahasa-bahasa Semit
terdapat banyak konsonan yang makhrajnya dari pangkal
tenggorokan dan anak tekak. Dan di dalam bahasa Semit terdapat
apa yang dinamakan shawamit mufakhkhamah atau muthbaqah,
seperti ()ص – ط – ظ. Adapun bunyi-bunyi vokal sangat sedikit.
Dalam bahasa Semit hanya terdapat tiga vokal, yakni fathah,
kasrah dan dhammah. Secara tulisan tidak diungkapkan vokalvokal pendek, melainkan hanya diinduksi oleh pembaca melalui
pelafalan konsonan.
2. Aspek Morfologi
a. Bentuk-bentuk kata berdasar pada sistem akar kata, yaitu dasar
bagi segela isim (nomina), fi’il (verba) dan dhamir (pronomina).
113
Akar kata isim (nomina) dan fi’il (verba) terbagi atas tiga
bagian.
Pertama, akar kata yang terdiri atas uhadiyah (unikonsonan), yang
merupakan akar kata paling klasik dalam bahasa Semit. Misalnya,
berarti ! (di sini ا اوmerupakan lambang bagi morfem i’rab,
yaitu dhammah thawilah) dan ةN (kata itu terdiri atas satu
konsonan dengan dalil bahwa kata tersebut dalam bahasa Ugarit
adalah SE)
Kedua, akar kata yang terdiri dari bikonsonan, yang merupakan
akar kata yang paling klasik dalam bahasa Semit, seperti :
!C – ا24 – أ, – – دمN – أب
Sebagian linguis beranggapan bahwa akar-akar kata
bikonsonan mencerminkan asal (pangkal) tiga akar. Setelah
ditambah konsonan yang ketiga, kita mengamati hal ini dalam
akar-akar yang ganda, yaitu ia asalnya merupakan akar-akar
bikonsonan, kemudian ditambahkannya konsonan yang serupa,
seperti : c . Juga, di antara contoh-contoh tentang itu adalah
akar-akar kata yang terdiri dari tiga akar yang mengandung
kesamaan dalam dua konsonan, tetapi berbeda dalam konsonan
ketiga. Konsonan-konsoan itu menunjukkan makna-makna yang
berdekatan atau serupa, antara lain : )م – )ق – )سberarti
لdalam bahasa Ibrani.
Ketiga, akar kata yang mengandung tiga konsonan yang
mengungkapkan makna dasar kata, kemudian membatasi makna
kata yang cermat, sedangkan fungsinya dengan menambahkan
vokal-vokal atau suku-suku kata pada awal, tengah atau akhir kata.
Inilah yang dinamakan morfem. Akar ()ك – ت – ب
mengungkapkan makna umum, yaitu 4 ا. Setelah ditambah-kan
morfem terikat kepadanya, dari situ dapat dibentuk shighat
(bentuk kata).
114
E. Judzur Dhamair (Akar-akar Pronomina)
Dalam metode deskriptif telah kami jelaskan bahwa
dhamir-dhamir itu mencakup dhamir syakhsiyah (pronomina
persona, isim isyarah (kata ganti penunjuk), isim maushul (kata
sambung) dan isim istifham (kata tanya).
Asalnya, dhamir-dhamir ini merujuk ke unsur-unsur isyarah (penunjuk). > أdan V> أmerujuk ke unsur isyarah : ت+ أن
atau 8 lا, asalnya adalah ء, atau واو, yakni (Ani) dan (Anooxii)
dalam bahasa Ibrani.
2. Dalam bahasa-bahasa ini fi’il (verba) mempunyai ciri khas
dengan serangkaian wazan mazid yang mengungkapkan maknamakna derivatif dari makna dasar. Wazan-wazan itu dibentuk
dengan mengubah akar kata dengan perubahan-perubahan yang
stabil. Demikianlah dapat diungkapkan kekuatan verba, pengulangan, kausalitas, konstruksi pasif, muthawa’ah (menyatakan
makna terpengaruh), musyarakah (menyatakan makna saling)
dalam fi’il (verba). Misalnya, apabila bentuk dasar fi’il adalah
( ), maka dari situ kita dapat membentuk shighat lain yang
menunjukkan makna musyarakah (saling) dengan menambahkan
hamzah (8 )أsetelah fa fi’il, lalu kita ucapkan :
yaitu : dua
orang saling menulis satu sama lainnya. Dan apabila kita
tambahkan hamzah maftuhah (berharakat fathah) pada awal fi’il
sebagai prefiks dan kita gugurkan harakat fa fi’il, maka kita
ucapkan:
أyang berarti seseorang mendiktekan sesuatu kepada
orang lain untuk menulisnya.
3. Isim itu mu’rab, jika isim mufrad (tunggal), maka ia dirafa’kan
dengan dhammah; dinashabkan dengan fathah dan dijarrkan
dengan kasrah. Adapun apabila isim itu mutsanna (dualis), maka
ia dirafa’kan dengan alif, dinashabkan dan dijarrkan dengan
( ;)ا ءisim jama’ dirafa’kan dengan ا او, dinashabkan dan
dijarrkan dengan ()ا ء. Adapun jama’ muannats salim dirafa’kan
115
dengan dhammah dan dinashabkan serta dijarrkan dengan kasrah.
Kemudian dalam semua bahasa ini terjadi bahwa i’rab itu
diabaikan selain bahasa Akadi dan bahasa Arab Fusha.
4. Bahasa Arab dan bahasa Habsyi (Ethopia) mempunyai ciri khas
dengan adanya pola jama’ khusus yang dinamakan jama’ taksir (1),
di samping jama’ salim (mudzakar salim dan muannats salim),
seperti : ب
jamaknya
.
F. Aspek Sintaksis
1. Dalam bahasa-bahasa ini ada dua jenis kalimat, yaitu jumlah
ismiyah (kalimat nominal) dan jumlah fi’liyah (kalimat verbal).
Jumlah ismiyah adalah jumlah yang dimulai dengan isim,
sedangkan jumlah fi’liyah adalah jumlah yang dimulai dengan
fi’il.
Yang stabil adalah agar kita mampu menderivasikan jama’ taksir
dari shighat mufrad (bentuk tunggal).
2. Bahasa-bahasa ini cenderung pada kalimat-kalimat yang
sederhana dan tidak melebihkan kalimat-kalimat penjelas, tetapi
hanya membuat kalimat-kalimat satu sama lainnya. Dari konteks
itu pembaca menyimpulkan hubungan antarkalimat. Misalnya, ! >
Eن أW ق اL;أ, maka di sini kita menghadapi dua kalimat, yaitu
1) نW ق اL; > ! أdan 2) Eأ. Kita memahami hal itu dari
konteks. Dalil atas hal itu adalah i’rab kalimat ini. Maka ! >
adalah fi’il madhi dan fa’il diidhafatkan kepada kata yang
mengandung; dan ( E )أadalah makhsus bil madh, khabar bagi
mubtada yang dibuang, Bukankah ini merupakan kalimat kedua,
kalimat (jumlah) ini ada, tetapi tidak dijelaskan dengan adawat
(partikel) khusus. Akan tetapi pendengar dapat memahami kedua
kalimat itu meskipun keduanya dibuat di samping sebagian
kalimat lainnya(1).
116
G. Rumpun Bahasa Semit
Rumpun bahasa Semit terbagi atas dua bagian, yaitu
bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara terbagi atas timur
laut dan barat laut, sedangkan bagian selatan mencakup bahasa
Arab Utara (bahasa Arab Fusha) dan bahasa Arab selatan klasik
dan bahasa Ja’ziyah.
H. Bagian Timur Laut
Bagian timur laut mencakup Akadia. Dinamakan demikian
karena dinisbatkan ke kota Akkad yang dibangun oleh Sorjon di
bagian utara daerah Babilonia klasik, menengah dan modern dan
bahasa Asyuria klasik, menengah dan modern (3).
Bahasa Akadis masuk dalam pergulatan dengan bahasa
yang pernah dominan pada waktu itu di selatan daerah Ravidain,
yaitu bahasa Sumaria. Pada mulanya bahasa Akadis tidak mampu
mengatasi bahasa Sumaria dan bahasa Sumaria pun tidak mampu
mengatasi bahasa Akadis, maka dominanlah bilingualism yang
berlangsung lebih dari enam abad (2500 - 100 SM). Di antara
hasil-hasil bilingualism ini adalah:
1) Bunyi-bunyi huruf yang keluar dari lubang tenggorokan
menjadi tidak jelas, yaitu : ء – ا ءF – ا2 اdari bahasa
Akadis. Itu diganti dengan memanjangkan harakat (vokal)
4 menjadi (Be:l); a * menjadi
sebelumnya. Misalnya, kata
(Ge:m) dan )F> menjadi (Na:r).
2) Posisi fi’il (verba) berubah dari tempat asalnya, yaitu awal
jumlah (kalimat) dalam jumlah fi’liyah atau di tengahnya dalam
jumlah ismiyah hingga akhir jumlah. Yang demikian itu berlaku
umum dalam teks-teks nasar (prosa), sedangkan teks-teks syair
memperhatikan posisi fi’il semula.
117
I. Perkembangan yang terjadi pada bahasa Akadis
1) Bunyi ghain ()غhilang sebagaimana halnya dalam semua
bahasa Semit utara.
2) Bunyi lahawi mahmus (( )قyang keluar dari anak tekak dan
tidak bersuara) berubah menjadi bunyi palatal bersuara, yaitu (G)
dalam bahasa Babilonia dan bunyi itu tetap mahmus (tak bersuara)
seperti aslinya dalam bahasa Asyuria.
3) Bunyi sin ()سyang berasal dari bahasa Semit berubah menjadi
syin ()شdan bercampur dengan bunyi syin yang asli.
4) Bunyi-bunyi dental panjang berubah menjadi bunyi yang keluar
dari gusi (kaki gigi). Bunyi ( )ا `الmenjadi ( ;)زاىbunyi ( ءQ )ا
menjadi (2 C).
5) Bahasa Babilonia klasik memperhatikan i’rab, sedangkan
bahasa Babilonia modern menggugurkannya (1).
Bahasa ini ditulis dengan khat Mismari (tulsian seperti
paku).
* Bagian Barat Laut
Bagian barat laut mencakup dua kelompok bahasa, yaitu
bahasa Kan’an dan bahasa Aramia.
J. Kelompok bahasa Kan’an
Dari segi geografis, bahasa-bahasa yang bercabang dari
kelompok bahasa Kan’an dapat dibagi ke dalam bahasa Kan’an
Utara, diwakili oleh bahasa Ugarit, bahasa Kan’an Tengah
diwakili oleh bahasa Fenesia dan bahasa Kan’an Selatan, diwakili
oleh bahasa Ibrani dan bahasa Muabia.
1. Bahasa Ugarit
Bahasa Ugarit ditemukan di daerah Ra’su Syamra pada
tahun 1929. Bahasa Ugarit dahulu dipakai bertutur di Ugarit, yaitu
sebuah kota yang berjarak 12 km dari utara Ladidziqia pada pantai
118
Suria. Bahasa Ugarit termasuk kelompok bahasa Kan’an yang
paling klasik, karena bahasa itu memelihara bunyi-bunyi yang
telah hilang dari kelompok bahasa ini, seperti bunyi ghain (2 o )ا
dan bunyi kha ( ءG )اdan memelihara fenomena-fenomena bahasa
Semit klasik, fenomena isim ghair musharif(1).
Bahasa ini ditulis dengan khat (tulisan) yang menyerupai
khat mismari, tetapi jumlah lambang khat ini dalam bahasa ini
lebih sedikit daripada jumlah lambang yang dipakai dalam khat
mismari dalam bahasa Akadis. Hal ini karena orang-orang Aka-dis
telah menulis bahasanya berdasarkan sistem suku kata, seperti
tulisan Sumaria. Ini berarti bahwa ba maftuah (! و1 ء ا# )ا,
misalnya, memiliki lambang yang berbeda dengan ba madhmumah (
' ء ا# )ا, sedangkan ba madhmumah memiliki
lambang yang berbeda dengan ba maksurah ( رة- ء ا# )ا.
Adapun tulisan Ugarit telah menyederhanakan lambang-lambang
tertulis ke dalam jumlah kecil yang tidak melebihi 30. Tulisan ini
telah mengungkapkan setiap bunyi dengan satu huruf. Orangorang Ugarit telah membuktikan bunyi-bunyi konsonan saja dan
mereka tidak membukukan bunyi-bunyi vokal. Dari merekalah
tulisan-tulisan bahasa Semit mengalihkan hal itu.
Sesungguhnya ini berarti bahwa orang-orang Ugarit adalah orang pertama yang menemukan huruf abjad. Atas jasa
merekalah muncul susunan abjad yang berdasar pada sistem abjad
Hoz Hatti Kalman Sa’fash Qarsyt (1).
2. Bahasa Fenesia
Dalam bahasa Fenesia kita mengenal bunyi-bunyi
konsonan melalui banyak prasasti yang sebagiannya merujuk ke
abad 9 atau abad 10 SM. Bunyi-bunyi ini sesuai dengan bunyibunyi yang dominan dalam bahasa Ibrani. Adapun bunyi-bunyi
119
vokal hanya kita ketahui melalui tulisan orang-orang ternama
dalam bahasa Yunani.
Bahasa Fenesia mempunyai keistimewaan dengan adanya
pembatasan zaman (kala) secara cermat dengan memakai fi’il
naqish ( ) نsebelum fi’il madhi untuk menunjukkan peristiwaperistiwa yang terjadi sebelum masa lampau(2).
Huruf abjad dalam bahasa Fenesia merupakan bentangan
langsung bagi huruf abjad Ugarit. Orang-orang Fenesia memelihara konsep sistem abjad. Hanya saja mereka telah merevisi
bentuk-bentuk huruf supaya mudah dalam tulisannya. Dalam
waktu yang sama orang-orang Fenesia memelihara susunan huruf
sebagaimana telah disusun oleh orang-orang Ugarit. Ketika orangorang Yunani mengadakan kontak dengan orang-orang Fenesia,
mereka mempelajari tulisan abjad dari orang-orang Fenesia. Akan
tetapi bangsa Yunani menemukan bahwa lambang-lambang bunyi
yang keluar dari tenggorokan orang-orang Fenesia tidak
bermanfaat bagi mereka. Kemudian mereka menjadikannya
sebagai lambang-lambang bunyi vokal dalam konteks kata. Secara
umum revisi ini dianggap sebagai tahap penting dalam sejarah
khat (tulisan). Dalam bahasa Yunani telah terjadi revisi lain, yaitu
bahwa mereka menjadikan arah tulisan masih merupakan dua ciri
pokok dalam tulisan-tulisan yang diambil dari khat (tulisan)
Yunani(1).
Orang-orang Fenesia telah menyebarkan bahasanya
melalui daerah jajahannya di berbagai daerah dari kepulauan laut
tengah di Qabrsh dan selatan Spanyol. Hanya satu tempat tinggal
yang terpenting adalah Utara Afrika di Qarthjannah. Di sana
bahasa itu dinamakan bahasa Bunia. Bahasa Bunia terbagai atas
dua tahap, yaitu bahasa Bunia dan bahasa Bunia modern. Bahasa
Bunia dimulai dengan persebaran orang-orang Fenesia di daerah
pantai Tunisia kira-kira abad 9 SM dan berakhir dengan jatuhnya
esksistensi politik negara Bunia pada tahun 146 M. Bangsa
120
Rumania telah menguasai kota Qarthajannah. Setelah itu dimulai
pase kedua dalam kehidupan bahasa Bunia. Dalam pase ini bahasa
Bunia terpengaruh oleh bahasa Latin. Bilingualism yang muncul
sebagai akibat yang demikian itu telah mengakibatkan lemahnya
pelafalan bunyi-bunyi faringal. Hal itu dibuktikan oleh ekspresi
bunyi (2 )اdengan hamzah dalam prasasti yang dinisbahkan
kepada masa ini dan ekspresi ( )ا ءdengan ( ءF )ا. Lambanglambang huruf faringal dipakai untuk melafalkan bunyi-bunyi
vokal(2).
3. Dialek-dialek Kan’an Selatan
Dialek-dialek ini mencerminkan beberapa komentar dalam
risalah-risalah yang tertulis dengan bahasa Babilonia dan Khat
Mismari dan risalah-risalah yang diarahkan oleh para penguasa
yunior Palestina pada abad 15 SM kepada raja Mesir, Amenovis 4.
Risalah-risalah itulah yang ditemukan pada puing al-‘Amaranah di
Mesir. Dalam komentar-komentar ini kita melihat fenomena yang
penting dalam vokal bahasa Kan’an, yaitu mengimalahkan harakat
(vokal) fathah ke dalam dhammah (O), kemudian ke dalam (U).
Sumber asli bahasa Kan’an Selatan yang paling klasik
adalah nashab tidzakari untuk melestarikan kemenangan raja
Maisya, raja Muab. Di dalamnya tampak segala ciri nahwu
(sintaksis) dan uslub (stylistik) bagi bahasa yang ditulisnya, yaitu
bahasa Muabiyah. Prasasti ini merujuk ke abad 9 SM, sedangkan
dialek Kan’an Selatan yang terpenting adalah dialek Ibrani.
4. Bahasa Ibrani
Bahasa Ibrani dimulai sejarahnya pada abad 12 SM ketika
kabilah Israil memasuki tanah Pelestina. Para putra kabilah ini
mempelajari bahasa yang pernah dominan di daerah itu, yaitu
salah satu dialek Kan’an klasik. Hampir perjanjian lama (termasuk
Taurat, yaitu lima shafar (kitab) Nabi Musa as: takwin, khuruj,
121
lawiyin, ‘adad, tasniyah, kitab para Nabi dan tulisan-tulisan seperti
seruling, peribahasa, himpunan, dan nyanyian) merupakan satusatunya sumber untuk mengenal sejarah bahasa ini. Memang, ada
sumber-sumber lain, seperti lipatan-lipatan laut mati yang
ditemukan baru-baru ini; ia mencakup teks-teks keagamaan dan
sastra yang merujuk ke masa antara abad tiga SM dan abad dua M.
Akan tetapi teks-teks itu dalam kepentingannya tidak sepenting
perjanjian lama(1). Bahasa Ibrani yang paling klasik yang sampai
kepada kita adalah kisah Dabura (Ishah lima dari shafar para
hakim). Bahasa Ibrani merujuk ke tahun 2000 SM, sedangkan
masa kejayaan sastra yang sampai kepada kita melalui para Nabi
dan akhbar ayyam (berita-berita hari) adalah masa raja-raja
mutakhir. Dari masa ini kita mempunyai prasasti, yaitu tentang
sabak kenangan yang ada di pintu masuk nafq qinal as-Salwan (2).
Ia berbicara tentang berakhirnya galian qinal itu dan sejarahnya
merujuk ke abad 7 SM.
Penawanan di Babilonia dan perobohan Baitul Maqdis di
tangan Bakhtanshir pada tahun 586 SM merupakan percobaan
gawat bagi bahasa Ibrani (3). Memang, sesungguhnya orang-orang
yang dibuang di Babilonmia tidak melepaskan bahasanya, -. Oleh
karena itu pada masa penawanan ditulis sastra Ibrani yang
mengagumkan, seperti ru’ya (mimpi) Asy’iya (Ishah empat dan
shafar Asy’iya yang sesudahnya). Ketika orang-orang buangan itu
kembali ke Pelstina, mereka mendapati bahasa Ibrani itu
digunakan(4).
Persebaran bahasa Aramea di kalangan bangsa Yahudi
telah mengakibatkan berkurangnya naungan bahasa Ibrani.
Kemudian para tokoh agama terpaksa menerjemahkan do’a-do’a
perjanjian lama yang mereka perlukan ke dalam bahasa Aramea.
Penerjemahan ini berlangsung lama dan secara lisan, yang
disampaikan setelah membaca teks bahasa Ibrani, kemudian
dibukukan dan dinamakan Turjum.
122
Bersamaan dengan permulaan masa ini, berakhirlah
kehidupan bahasa Ibrani, karena sejumlah besar orang Yahudi itu
– yang ketika mengembara ke Mesir dan pesisian Barat sekitarnya
– tidak mampu memelihara bahasa aslinya, malah bertutur dalam
bahasa Yunani. Demikian halnya dengan bangsa sejenis mereka
yang masih berada di tanah air mereka semula. Sebab, ketika itu
mereka menemukan bangsa mereka sendiri secara saling
berhadapan di depan bahasa masyarakat yang menerobos ke
permukaan Asia, yaitu bahasa Aramea. Oleh karena itu, mudahlah
jika mereka saling berinteraksi dalam bahasa ini alih-alih dari
bahasa asli mereka, karena masing-masing dari kedua bahasa itu
sangat saling berdekatan(1).
Selama beberapa abad setelah itu, bahasa Ibrani memelihara kedudukannya dalam bidang agama dan pendidikan.
Banyak teks ditulis dalam bahasa Ibrani sampai matinya menjadi
buah bibir orang banyak dalam waktu lama. Ciri-ciri bahasa sastra
ini tergantung pada sejauhmana pengalaman setiap pengarang dan
penguasaannya terhadap sastra Ibrani Klasik. Kemudian kitab
Ibnu Sirah yang dibukukan kira-kira tahun 200 SM tertulis dalam
bahasa Ibrani murni, sementara kitab-kitab yang hampir semasa
dengannya, seperti kitab Astir, kitab al-Jami’ah, dalam beberapa
mizmar Nabi Daud as, di dalamnya tampak bahasa Ibrani sangat
terpengaruh oleh bahasa Aramea. Tentu, keterpengaruhan oleh
bahasa Aramea ini dahulunya senantiasa berkembang sejalan
dengan lajunya zaman. Perde-batan hukum dan syiar-syiar yang
pernah terjadi di kalangan mazhab fiqih pada abad pertama masehi
itu tertulis dalam bahasa Ibrani. Hanya saja kebayakan kosakata
yang dipakai di dalamnya dipinjam dari bahasa Aramea(2). Tulisan
bangsa Yahudi yang terpenting pada akhir abad pertama dan awal
abad kedua adalah al-Masyana, yaitu teks keagamaan kedua
setelah perjanjian lama. Teks al-Masyna disusun dalam bahasa
Ibrani pada suatu periode ilmu pengetahuan yang terbatas pada
123
tokoh-tokoh agama saja. Hal ini mengakibatkan teks itu disyarahi
(dijelaskan) secara lisan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh
bangsa Yahudi, yaitu bahasa Aramea, sebagaimana telah kami
jelaskan sebelumnya. Akan tetapi tidak ada bahasa Aramea yang
resmi, melainkan ada banyak dialek Aramea. Demikanlah syarahsyarah secara lisan dalam bahasa Aramea menjadi banyak
(beraneka ragam) dengan keanekaragaman dialek ini. Kemudian
para pendeta dan tokoh-tokoh agama menulis syarah-syarah yang
berbahasa Aramea ini pada al-Masyna. Demikianlah lahirnya kitab
Talmnud. Kitab Talmud dalam bahasa Babilonia tersusun dari alMasyna, yaitu teks yang berbahasa Ibrani, dan tersusun dari alJamara, yaitu syarah yang berbahasa Aramea bagi teks yang
berbahasa Ibrani. Kitab Talmud yang berbahasa Pelestina terdiri
dari al-Masyna itu sendiri dan syarah yang terbukukan dalam
dialek Aramea – Pelestina, ia juga dinamakan al-Jamara(1).
Telah terjadi perubahan dalam bunyi-bunyi bahasa Ibrani
yang membuatnya berbeda dengan bahasa Semit pertama. Bunyibunyi dental panjang, seperti ا `يdan ءQ اtidak jelas. Bunyi ا `ال
berubah menjadi ()زاى. Maka ذراعdalam bahasa Ibrani menjadi
(Zroa) dan mulai menjadi (‘a: haz); bunyi ( ءQ )اberubah menjadi
(2 N). Misalnya( رe) dalam bahasa Ibrani menjadi (sho:r),
sementara bahasa Ibrani memelihara bunyi (s) bahasa Semit klasik
meskipun ucapannya betul-betul telah hilang dan bercampur
dengan bunyi (2 - )اasli serta di antara keduanya tidak ada
perbedaan kecuali dalam tulisan saja.
Abjad bahasa Ibrani – masalahnya seperti halnya masalah
abjad bahasa Fenesia – yang setelah itu diambil oleh bangsa Semit
dari mereka – mengungkapkan bunyi konsonan saja dan tidak
mengungkapkan bunyi-bunyi vokal. Selanjutnya kita tidak
mengenal vokal pendek apapun kecuali melalui riwayat-riwayat
Yahudi yang dibuat pada abad 7 M berdasarkan bacaan tartil
124
dalam shalat, yaitu yang dinamakan metode Babilonbia dalam
memberikan tanda titik(1).
Di bawah pemerintahan Arab di Andalusia, bangsa Yahudi
menaruh perhatian terhadap kajian bahasa mereka sama dengan
metode-metode kajian Arab, lalu mereka mengkaji bunyi-bunyi
dan menjelaskan makhraj-makhrajnya serta mengkaji gejala-gejala
fonologis. Kemudian mereka menjelaskan idgham, nabr (stress)
dan tanghim (intonasi); mereka mengkaji sharaf (morfologi),
membuat wazan sharaf (pola morfologi), membagi shiyagh
(bentuk-bentuk kata) ke dalam shighat mujarradah (bentuk kata
dasar) dan mazidah (bentuk kata jadian), mengkaji nahwu
(sintaksis), dan mengkonstruksinya berdasarkan sistem bab per
bab, sebagaimana yang telah dilakukan Sibawaih dalam kitabnya.
Kitab nahwu yang terpenting, yang muncul pada masa ini adalah
kitab ‘Allam’u’ karya Marwan bin Janah dan kitab ‘Huruf (al‘Ain), karya Yahuda Hayuj. Mereka membuat kamus bahasa
mereka. Kamus yang terpenting ini adalah kamus orjon yang
dibuat oleh Sa’diya al-Viomi, yaitu serupa dengan kamus Tahdzib
al-Lughah karya Azhari (2).
Pada masa modern ketika muncul gagasan nasionalisme
dan bangsa Yahudi menyeru bahwa mereka memiliki nasionalisme sendiri yang mereka namakan zionisme. Mereka mulai
menghidupkan bahasa mereka secara artifisial. Hal itu berarti
bahwa mereka membolehkan bagi bangsa Yahudi – apapun
kebangsaannya – memasukkan ungkapan-ungkapan yang mereka
biasakan dalam bahasa asli mereka ke dalam bahasa Ibrani. Yang
demikian itu berkat jasa Ya’zur bin Yahuda.
* Kelompok Bahasa Aramea
Sejak abad 14 SM dokumen-dokumen bahasa Babilonia
dan bahasa Asyuria memberi tahu kita tentang kabilah-kabilah
Arimi atau Ahlame yang pernah hidup secara nomaden dan
125
mengembara di gurun sahara di sebelah barat negeri Ravidin serta
mengintimidasi batas-batas tanah peradaban dengan perbuatanperbuatan pencurian. Mereka ini maju dari Sahara ke Selatan, lalu
dengan kekuatan itu mereka merampas Negara-negara yang
didiami oleh kaum-kaum dari kelompok non-bangsa Semit yang
memiliki peradaban tinggi. Mereka bergabung dengan bangsa
non-Semit dan memaksa mereka memakai bahasa mereka. Bahasa
Aramea telah hidup dalam waktu lama kira-kira 3000 tahun. Oleh
karena itu, kita dapati bahasa itu terbagi atas beberapa dialek;
dialek yang terpenting adalah dialek Aramea Klasik, Aramea
Kedaulatan, Aramea Barat dan Aramea Timur.
* Dialek Aramea Klasik
Kelompok prasasti klasik yang terbukukan dalam bahasa
Aramea dinamakan bahasa Aramea klasik. Prasasti yang terpenting ini adalah prasasti Umara Samuel, yang ditemukan di
tempat yang sekarang dinamakan Zanjirli dan prasasti yang
ditemukan oleh seorang amir yang bernama Panamu serta prasasti
yang ditemukan di Nerab dekat kota Damsyik.
Dari kajian dua prasasti ini, kita dapat mengemukakan ciriciri bahasa Aramea klasik sebagai berikut :
1) Orang-orang Aramea meminjam dari orang-orang Kan’an abjad
dan kebiasaan tulisan mereka.
2) Bunyi-bunyi dental sampiran hilang, seperti dialek-dialek
Kan’an, terutama dialek Ibrani. Lalu ( )ا `الberubah menjadi
()زاي, sebagaimana dalam bahasa Ibrani, kecuali akhirnya bunyi
( )ا `الberubah menjadi ()دال. Pertama-tama ( ءQ )اberubah
menjadi (2 N), kemudian menjadi ( ء( ;) ءf )اberubah menjadi
( دR), kemudian menjadi ()ط ء.
3) Konstruksi morfologis dalam dialek Aramea Klasik
terpengaruh oleh konstruksi morfologis dalam bahasa Akadis.
126
Demikianlah di dalamnya kita dapati dua shighat (bentuk) isim
maushul, yaitu : a) shighat dasar, yakni di atau zi dan b) sha(1).
4) Bunyi ( )ا ' دdalam bahasa Semit Klasik hilang dan ditempati
oleh bunyi ( ف+ )اdalam kata ( * ;)أرmaknanya رضlا. Dalam
bahasa Aramea mutakhir, bunyi ( ف+ )اditempati oleh bunyi
(2 )ا, maka menjadi ( ( )أر2).
* Bahasa Aramea Kedaulatan
Bangsa Aramea maju sedikit demi sedikit di tanah
kedaulatan Asyuria hingga akhirnya mencapai pemerintahan.
Dalam banyak transaksi yang terbukukan yang ditemukan dalam
prasasti pada akhir kedaulatan Asyuria, para peneliti mengamati
pemakaian bahasa Akadis dan bahasa Aramea secara bergantian.
Ketika kedaulatan Asyuria jatuh pada tahun 625 SM dan
bangsa Irak masuk dalam kekaisaran Persia, para hakim Persia
memperkokoh kedudukan bahasa Aramea. Demikianlah bahasa
Aramea menjadi bahasa umum untuk pergaulan. Para hakim
bangsa Persia mengakuinya sebagai bahasa resmi di semua
penjuru kedaulatan mereka. Dengan demikian bahasa Aramea
masuk Negara Iran dan bersama pengaruh Persia bahasa Aramea
masuk ke segala penjuru Timur lama. Kemudian bahasa Aramea
menjadi bahasa pergaulan bisnis dan politik sehingga para
penguasa bangsa Persia pernah membuat mata uang logam dengan
bahasa Aramea. Persebaran bahasa Aramea di Iran dan daerahdaerah yang berdekatan dengannya mengakibatkan para tokoh
agama Budha memakainya dalam nasihat-nasihat keaga-maan
mereka di daerah perbatasan Iran-Hindia. Prasasti dalam bahasa
Aramea telah ditemukan dekat Arabsun di daerah Kappadozien,
sedangkan khat (tulisan) bahasa Aramea berbicara tentang
peribadatan dalam bahasa Semit dan bahasa Iran (Persia)
127
campuran. Ini menujukkan bahwa bahasa Aramea menjadi bahasa
agama dalam kedaulatan Persia.
Juga, pada masa Persia bahasa Aramea telah menduduki
pusat perwakilan di Mesir sehingga bahasa Aramea masih dipakai
dalam waktu lama dalam dokumen-dokumen yang terbukukan di
atas daun-daun Burdi.
Di daerah Semit, bahasa Aramea tidak saja mengalahkan
bahasa Ka’an, tetapi ia juga masuk ke daerah bahasa Arab. Yang
demikian itu tampak bagi kita dari beberapa prasasti yang salah
satunya ditemukan di Taima sebelah utara HIjaz.
Akan tetapi kedudukan bahasa Aramea sedikit demi sedikit
mulai berkurang. Ketika kedaulatan Akhamania berakhir dan
diproklamirkan kedaulatan Sasanit pada permulaan abad 4 SM,
orang-orang Sasanit tidak memakai bahasa Aramea dalam
perkantoran. Dengan demikian berakhirlah bahasa Aramea
kedaulatan(1).
* Bahasa Aramea Barat
Bahasa Aramea Barat ini mencakup dialek-dialek berikut :
1) Bahasa Aramea perjanjian lama, yaitu bahasa Aramea yang
dipakai untuk menulis shafar (kitab) Azran dan Danial. Bahasa
Aramea yang dipakai untuk menulis shafar ‘Azaran tampak dalam
bentuk lebih klasik daripada bahasa Aramea yang dipakai untuk
menulis shafar Danial. Adapun shafar Danial dimulai dengan
bahasa Ibrani yang orsinil, kemudian beralih ke terjemah-an
bahasa Aramea, dan berakhir dalam bahasa Ibrani yang or-sinil.
2) Bahasa Aramea Pelestina, yaitu bahasa Aramea yang
mendominasi daerah Pelestina pada masa Nabi Isa as. Dalam
bahasa Aramealah kitab Injil lama ditulis, yang betul-betul sudah
hilang. Adapun terjemahan yang dibuat oleh Marqash dalam
bahasa Yunani, maka tidak dapat memberi kita gambaran yang
jelas – setelah diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Aramea –
128
tentang bahasa Aramea dasar yang dipakai untuk menulis Injil ini
dalam bentuk aslinya. Yang demikian itu, karena terjemahan
berpegang pada leterasi teks Yunani. Demikian pula kitab
perjanjian lama telah diterjemahkan ke dalam dialek ini dari
terjemahan Sab’iniyah, sebagaimana juga sebagian besar dari tata
kesopanan gereja Yunani telah diterjemahkan ke dalam dialek ini.
Beberapa sisa peninggalan dialek ini tampak di Sinai,
Damsyik dan Mesir.
3) Turjum, bangsa Yahudi di Pelestina memakai dialek ini. Ketika
bahasa Ibrani bertaburan dan bangsanya tidak lagi mema-haminya,
berlakulah kebiasaan pada waktu membaca kitab suci dengan
suara keras di gereja Yahudi, yaitu setiap ayat diikuti dengan
terjemahannya pada waktu itu juga. Terjemahan ini, sebagaimana
telah kami jelaskan sebelumnya, berlangsung secara lisan,
kemudian setelah itu ditulis dan dinamakan Turjum. Ada empat
terjemahan yang paling klasik adalah Turjum, Taurat, kemudian
Turjum al-Anbiya, kemudian Turjum Orsylim(1).
4) Dialek Samiria, bahasa Samiria mendekati bahasa Talmud
Orsylim. Ke dalam bahasa Samirialah lima shafar (kitab) Nabi
Musa as diterjemahkan(2).
5) Dialek Nabaten, dialek Nabaten adalah dialek Aramea yang
oleh bangsa Nabaten dipakai untuk menulis prasasti mereka.
Prasasti mereka yang paling klasik merujuk ke abad pertama
masehi. Bangsa Nabaten adalah bangsa Arab yang bertempat
tinggal di dataran (gurun Sahara) Syam dan sebelah Selatan Syria
pada abad enam SM.
Orang-orang Nabaten menjadikan bahasa Aramea untuk
bergaul dengan selain bangsa Arab. Adapun di kalangan mereka,
maka mereka bertutur dalam bahasa Arab. Mereka menjadikan
khat (tulisan) Aramea untuk menulis bahasa Arab mereka, yang
bercampur dengan lafal-lafal dan banyak unsur Aramea akibat
bilingualism pada mereka. Demikianlah kita dapati unsur-unsur
129
bahasa Arab dalam dialek Aramea yang mereka pergunakan untuk
bergaul. Misalnya, ( )الuntuk menunjukkan hubungan bangsa
Arab dan kesukuan; ( ىE )اberarti ةE واdan selainnya bermakna
sama dengan maknanya dalam bahasa Arab sekarang; fi’il-fi’il:
bermakna sama dengan makna dalam bahasa Arab. Mereka
menggunakan partikel definit (8,) )ال( )أداة اuntuk
memakrifatkan segala isim dalam bahasa Aramea. Yang demikian
itu karena partikel definit dalam bahasa Aramea, yaitu fathah
thawilah, telah kehilangan nilainya untuk definit (8,) )ا.
Orang-orang Nabanten menulis bahasa Arabnya dengan khat
(tulisan) Aramea dan disebut khat Nabaten, yaitu sangat
mendekati khat Kufi(2).
* Dialek Aramea Timur
Dialek Aramea Timur tersebar di pegunungan Armenia di
sebrang dua lembah sungai Tigris dan Euphrat sampai ke Selatan
sampai ke hulu kedua sungai itu di teluk Arabia. Dialek-dialek
Aramea Timur berbeda dengan dialek-dialek Aramea Barat dalam
hal bahwa harf mudhara’ah yang menunjukkan ghaib (orang
ketiga) adalah ( ن7 )ا, sementara hal itu dalam dialek Aramea
Barat dan rumpun bahasa lainnya adalah ()ا ء.
Dialek terpenting adalah sebagai berikut,
1) Dialek yang digunakan untuk penulisan kitab Talmud dalam
bahasa Babilonia
2) Dialek Suryani, yaitu dialek daerah Edisa yang terletak di utara
negara Ravidin. Pada abad pertama masehi daerah ini menjadi
pusat peradaban (kebudayaan). Sebelum masehi dialek Suryani
mempunyai nilai sastra yang tinggi yang memiliki dokumen
tertulis dalam bahasa ini; sebelum masehi dokumen itu tercermin
dalam khithab ‘Mara Bar Sarapion’; dan setelah persebaran
masehi, pada abad dua Masehi dimulai penerjemahan kitab Suci
130
ke dalam bahasa Suryani. Kemudian setelah itu sastra yang tinggi
ditulis dengan bahasa Suryani, yang berlangsung hingga abad 5
Masehi.
Persengketaan seputar ciri al-Masih al-Lahutiyah dan anNasutiyah pada abad 5 M mengakibatkan terbaginya gereja
Suryani ke dalam dua pasukan yangs saling bermusuhan. Orangorang Suryani Barat penganut kedaulatan Rumunia mengakui
ajaran-ajaran Ya’kub al-Barda’i yang mengatakan satu ciri alMasih. Oleh karena itu mereka menamakan diri mereka sendiri
Ya’aqibah (orang-orang penganut Ya’kub). Adapun saudarasaudara mereka di kedaulatan Persia, maka mereka menganut
ajaran Nasthorius. Dengan demikian kedua golongan Suryani
berpecah belah dan bahasa mereka terbagi atas dua dialek.
Tatakala bangsa Arab kaum muslimin menaklukan negara
Irak dan Syam, mereka setiap kelompok melakukan pembukuan
bahasanya karena mereka membutuhkannya dalam membaca teksteks Injil dalam peribadatan. Setelah penaklukan bangsa Arab,
bahasa Suryani tidak mati, melainkan hidup selama enam abad
sesudahnya sebagai bahasa gereja dan sastra(1). Sesung-guhnya
kontak bahasa Arab dengan bahasa Suryani telah meng-akibatkan
masuknya banyak kata dalam bahasa Suryani ke dalam bahasa
Arab(2).
* Dialek Manda’iyah
Dialek Manda’iyah termasuk dialek Aramea Timur dan
dipakai bertutur oleh masyarakat agamis yang dikenal dengan
nama Shaiban; masyarakat ini mempunyai kitab suci yang
bernama Janza, yaitu al-kanz(3).
# Bagian Selatan
Bagian ini mencakup bahasa Arab Utara dan bahasa Arab
Selatan Klasik serta bahasa Ja’ziyah.
131
# Bahasa Arab Utara
Bahasa ini memelihara bunyi-bunyi asal yang dimungkinkan bahwa bahasa itu dominan dalam bahasa Semit pertama.
Karena ia kaya dengan bunyi-bunyi faringal dan bunyi-bunyi
sampiran serta bunyi-bunyi dental; ia memelihara semua bunyi
vokal klasik dan cara mengkonstruksi bentuk (shighat) dalam
bahasa Semit pertama.
Tidak sampai kepada kita prasasti-prasasti yang mencerminkan permulaan bahasa ini agar kita dapat menelusuri perkembangannya, sebagaimana kita lihat dalam bahasa Akadis, bahasa
Kan’an dan bahasa Aramea. Semua yang sampai kepada kita tidak
lebih keberadaannya sebagai bahasa mukharbasyat yang di
dalamnya para pemerhati dan perantau membukukan nama-nama
mereka sebagai generasi-generasi mendatang. Bahasa mukhabasyat ini berbeda dengan bahasa Arab sastra yang kita kenal
dalam syair Jahili atau dalam teks-teks Al Qur’anul KArim.
Bahasa Mukharbasyat ini telah dibukukan dengan khat yang
menyerupai khat musnad yang dipakai untuk penulisan bahasa
Arab Selatan. Bahasa Mukhabasyat ini ditemukan dalam jarak
antara Damsyik dan al-Ula di sebelah Utara Hijaz, yaitu ada tiga
bagian: bahasa Shafat, bahasa Lihyah dan bahasa Tsamud (1).
* Prasasti Tsamud
Prasasti Tsamudiyah dinisbatkan kepada kabilah Tsamud
yang namanya tercantum dalam banyak ayat Al Qur’anul Karim
dan kisah penduduknya terdapat di dalamnya. Prasasti ini
ditemukan di kota Madain Shalih, Madinatul ‘Ula, Hail, Taima
dan Tabuk. Prasasti Tsamud lainnya ditemukan di semenanjung
Jazirah Sinai. Prasasti Tsamud yang paling klasik yang telah
132
ditemukan secara utuh itu merujuk ke abad lima SM, sedangkan
yang paling baru merujuk ke abad empat M(2).
penulisanya adalah termasuk bangsa Arab (selatan Jazirah
Arabia).
* Prasasti Shafat
Prasasti-prasasti ini dinisbatkan pada tempat ditemukannya, yaitu Shafa yang terletak di Tenggara Damsyik. Kita tidak
dapat menentukan permulaan sejarah prasasti-prasasti ini. Segala
yang kita ketahui adalah bahwa sebagiannya me-nunjukkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad 2 M. Dalam
sebagiannya tercatat nama raja Adzinah yang memerintah kota
Tadmur pada pertengahan abad 3 M. Dalam sebagian lain-nya
tercantum nama-nama orang Rumaina, seperti Alexander, Sirqash
dan Siqirsh. Mereka ini merujuk ke abad 3 M. Ada pra-sasti yang
disebutkan untuk Umruul Qais, raja bangsa Arab. Ini merujuk ke
permulaan abad 4 M. Hal ini berarti bahwa prasasti-prasasti yang
kita temukan merujuk ke pertengahan abad 2 M.
* Bahasa Prasasti ini
Prasasti-prasasti ini penuh dengan kata-kata Aramea,
Nabaten dan Ibrani. Bahkan sesungguhnya sebagiannya memakai
partikel definit (8,) )أداة اdalam bahasa Ibrani, yaitu ( ءF )ا.
Tetapi dari segi lain, prasasti ini mencakup bunyi-bunyi dental
yang telah hilang dalam semua rumpun bahasa Semit Utara dan
mencakup kata bahasa Arab, seperti : – ) – ذP – رE – !
–
و. Ini membuktikan bahwa kata-kata itu termasuk
bahasa Arab.
Setelah itu para peneliti (linguis) menemukan 4 (empat)
prasasti, yaitu 1) nammarah, 2) prasasti zabad, 3) prasasti harran
dan 4) prasasti ummi jamal di suatu daerah dekat daerah Shafa.
Prasasti nammarah ditemukan dekat kota Damsyik pada tahun 328
M; prasasti zabad ditemukan di Halb pada tahun 512 M atau 513
M; prasasti harran ditemukan di selatan kota Damsyik pada tahun
568 M. Perlu dicatat bahwa prasasti nammarah tertulis dalam
bahasa Arab, bahasa Suryani dan bahasa Yunani. Adapun prasasti
zabad tertulis dalam bahasa Arab dan bahasa Yunani.
Khat yang dipakai untuk membukukan prasasti ini adalah
khat Nabaten mutakhir, sedangkan huruf-hurufnya di dalamnya
saling berkaitan. Oleh karena itu sebagian linguis berpendapat
bahwa khat (tulisan) prasasti ini dianggap sebagai mata rantai
penghubung antara khat Nabaten klasik dan khat Arab pada awal
masa Islam(1).
Bahasa prasasti ini mendekati bahasa syair Jahili, tetapi
bukan bahasa Arab murni karena di dalamnya terdapat banyak
kata dalam bahasa Aramea.
Benar dapat dikatakan bahwa prasasti ini tidak mencermikan permulaan bahasa Arab. Dr. Ramadhan Abduttawwab
* Prasasti Lihyan
Prasasti Lihyaniyah dinisbatkan kepada kedaulatan Lihyah,
yang pernah memerintah Barat laut Jazirah Arabia. Di daerah al‘Ula telah ditemukan seperangkat prasasti ini. Sebagian prasasti
ini merujuk ke abad 2 M.
* Khat Prasasti ini
Prasasti ini ditulis dengan khat yang berdasar kepada asas
khat musnad yang tersiar di selatan Jazirah Arabia. Prasasti ini
mempunyai keistimewaan dengan membukukan bunyi-bunyi
konsonan, tetapi tidak menetapkan bunyi-bunyi vokal panjang
pendek.
Littman mengamati bahwa khat (tulisan) Shafat tersusun
dari 28 huruf dan dari sini dia menyimpulkan bahwa para
133
134
mengatakan bahwa hal itu tidak cukup karena beberapa sebab;
yang terpenting adalah: pertama, karena hal itu adalah campuran
dari gejala-gejala bahasa Arab dan yang lainnya bukan bahasa
Arab; kedua, korpus prasasti ini lemah karena merupakan sabaksabak di atas batu yang diletakkan di atas perkuburan dan di atas
sebagian bangunan yang diperkokoh sebelum Islam, seperti gereja.
Syabitalr mengatakan bahwasanya meskipun adanya ber-aneka
ragam prasasti, namun bacaanya dalam banyak hal tidak
meyakinkan, sedangkan hasil-hasilnya tidak bermanfaat, karena
korpus kebahasaannya, di samping banyak yang hilang(1).
Apabila bangsa Arab sebelum Islam tidak melestarikan
bahasanya kecuali jarang di atas batu, maka pada mereka telah
berkembang syair Jahili dan mencapai kecemerlangan yang besar.
Dalam hal itu mereka menggunakan bahasa kolektif (fusha) yang
mempunyai keistimewaan dengan banyaknya shighat (bentuk
kata) yang mengejutkan. Juga, bahasa kolektif dengan kesatuan
metodenya dalam membentuk kalimat menun-jukkan tingkat
perkembangan yang lebih tinggi daripada tingkatan dalam rumpun
bahasa Semit lainnya. Ini di samping kosakatanya mengungguli
ruang lingkupnya, karena ia dapat mengalahkan semua dialek
yang beraneka ragam yang ada di sekitarnya.
Di samping bahasa fusha (kolektif) ini dahulu pernah
hidup dialek-dialek kabilah. Kita tidak mengetahui ciri-cirinya
kecuali melalui isyarat-isyarat yang diambil dari sini dan dari sana
dalam kitab-kitab nahwu dan kebahasaan yang beragam.
Kelestarian bahasa Arab fusha telah ditulis ketika Al Qur’anul
Karim diturunkan dalam bahasa Arab fusha. Sesudah lahirnya
Islam, bahasa Arab fusha tersebar luas dan mengalahkan semua
bahasa yang bertentangan dengannya dalam menuju persebarannya, seperti bahasa Suryani di Syam dan bahasa Qibti di Mesir.
Prasasti bahasa Arab Selatan ditemukan abad 19. Setelah
diurai lambang-lambang khat musnadnya, bahasa prasasti ini dan
ciri-cirinya dapat dianalisis. Prasasti ini merujuk ke periode masa
yang membentang lebih dari 2000 tahun. Prasasti yang paling
klasik adalah dari abad 5 SM dan yang paling akhir merujuk ke
seperempat ketiga abad 6 M. Tatkala prasasti-prasasti Selatan pada
akhir abad 6 M berkurang, maka bahasa Arab Selatan mulai
tersebar di daerah bahasa Selatan.
Prasasti bahasa Arab Selatan ditemukan di pertengahan
Selatan Jazirah Arabia, yaitu di daerah-daerah yang sekarang
terletak di Selatan Kerajaan Arab Saudi dan Yaman. Hanya saja
ada sejumlah prasasti Selatan yang ditemukan di luar daerah ini.
Sejumlah orang Arab Selatan telah mendirikan pusat perdagang-an
di Barat Laut Jazirah Arabia, seperti al-‘Ula.
Prasasti bahasa Arab Selatan dibukukan dalam khat
(tulisan) abjadi yang dinamakan khat musnad. Khat musnad
terdiri dari 29 lambang, yaitu dikutip dari khat Kan’ani secara
langsung. Biasanya, bunyi-bunyinya sesuai dengan bunyi-bunyi
bahasa Arab Utara dan memelihara bunyi-bunyi ukhudiyah yang
tiga (s s sh) yang terdapat dalam bahasa Semit pertama dan yang
berubah menjadi dua bunyi dalam bahasa Arab Utara.
Dialek Arab Selatan yang terpenting adalah dialek Saba’,
dialek Main, dialek Qutban dan dialek Hadhramaut dan Harami.
Setelah hancur bendungan Ma’rib, kabilah-kabilah Arab
Selatan berhijrah ke Utara dan menjadi kabilah Arab dengan
bahasa Arab Utara. Bahasa asli yang klasik sudah tidak ada
kecuali tinggal kenangan dan keturunan sehingga para penyair
kabilah-kabilah ini sebelum Islam, seperti Umruul, menyusun
syairnya dengan bahasa Arab Selatan. Di samping itu, lahirnya
Islam telah membantu dalam persebaran bahasa Arab Selatan di
Yaman(1).
* Dialek Bahasa Arab Selatan yang Klasik
135
136
* Dialek Ja’ziyah
Rumpun bahasa Semit masuk ke Ethopia ketika sebagian
bangsa Arab berhijrah dari selatan Jazirah Arabia ke Ethopia setelah menyebrangi pintu Mandab. Tampaknya hijrah yang pertama kali berlangsung kira-kira abad 7 SM. Kabilah yang berhijrah yang terpenting adalah dua kabilah, yaitu Habsyah dan Aj’azi.
Daerahnya diberi nama kabilah pertama, yaitu Habsyah ),
sedangkan bahasanya diberi nama kabilah kedua, yaitu Ja’ziyah.
Prasasti Ja’ziyah yang paling klasik ditemukan pada tahun
350 M. Khat (Tulisan) Habsyi mempunyai keistimewaan dengan
adanya setiap lambang mencakup lambang-lambang vokal
sehingga terdapat tujuh bentuk bagi satu lambang sesuai dengan
vokal yang mengirinya. Pada dialek Ja’ziyah telah terjadi
perubahan yang tercermin dalam pengubahan bunyi-bunyi frikatif
(geseran) panjang kepada bandingannya yang ukhdudi,
sebagaimana kita lihat dalam bahasa Ibrani.
Setelah kaum Masehi (Nasrani) menguasai Habsyah
(Ethopia), Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Ja’zia dan banyak
tata krama kerohanian ditulis dalam bahasa Ja’zia.
Bahasa Ja’zia, sebaliknya dari bahasa Semit, cenderung
kepada kebebasan dalam mengkonstruksi kalimat dan tidak terikat
dalam menyusun kata-kata di dalamnya.
Bahasa Ja’zia telah musnah ketika bangsa Ja’zia kehilangan peranan politiknya di saat kelemahan melanda kedaulatan Oksom pada abad 12 M. Akan tetapi bahasa Ja’ziyah
dihidupkan kembali ketika keluarga Sulaiman berdiri pada tahun
1270 M. Kemudian mulailah gerakan penyusunan buku dalam
bahasa Ja’zia(1).
137
138