Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Studilinguistik FIQH LUGHOH

FASAL I FIQHULLUGHAH (FILOLOGI) Fiqhullughah Menurut Para Linguis Arab 1. Kata fiqh menurut bahasa: Kata fiqh berarti ilmu (pengetahuan) dan husnul idrak (pemahaman yang baik). Dikatakan dalam Mu'jam Maqayis alLughah, karangan Ibnu Faris: Faqihtul haditsa afqahahu; wa kullu ilmin bisyain fiqh(Saya memahami hadits yang paling faqih; segala pengetahuan akan sesuatu adalah fiqh) . Mereka mengatakan: La Yafqahu wala yanqahu; afqahtuka asy-syaia idza bayyatuhu laka(Ia tidak memahami; saya memberi pema-haman tentang sesuatu kepadamu apabila perkara itu telah saya jelaskan kepadamu) . Dalam Lisanul 'Arab tertera: al-Fiqhu huwal 'ilmu bisysyaii wal fahmu lahu. Faqiha fiqhan berarti 'alima 'ilman; faqiha 'anhu dengan kasrah berarti fahima; dan al-fiqhu adalah alfithnah. 2. Makna kata fiqh menurut istilah: Kata fiqh berarti ilmu syariat. Dikatakan dalam Mu'jam Maqayis al-Lughah: Li kulli 'alimin bil halali wal harami faqihun(Setiap ulama yang memahami perkara yang halal dan yang haram adalah ahli fiqih) . Dalam Lisanul Arab: Wa ghalabal fiqhu fi ilmiddin lisiyadatihi wa syarafihi wa fadhlihi 'ala sairil 'ulum (Dan fiqh mendominasi ilmu agama karena kemuliaanya dan keunggulannya atas segala ilmu) 3. Kata fiqh dan kajian bahasa: Pertama: Kitab ash-Shahibi Mula-mula Ahmad bin Faris memakai kata fiqh dalam kajian bahasa dalam bukunya Ash-Shahibi fi Fiqhullughah al1 'Arabiyyah dan Sunanul 'Arab fi Kalamiha. Ahmad bin Faris membatasi maksud fiqhullufhah dalam mukaddimah bukunya yang tersebut tadi. Lalu dia mengatakan bahwa ilmu bahasa Arab terbagi atas dua bagian: asal (pokok) dan far'i (cabang). Adapun Far'i adalah pengetahuan tentang isim dan sifat. Dan inilah yang dimulai ketika belajar. Adapun asal (pokok) adalah pembicaraan tentang topik, prioritas, dan sumber bahasa kemudian tentang tulisan Arab dalam dialog dan variasi seninya, baik secara hakiki maupun majazi. Tampaknya aspek yang terakhir ini adalah apa yang dimaksud dengan kajian fiqhullughah (filologi). Buktinya ialah bahwa kita mendapatinya telah diterapkannya definisi ini pada kajian bahasa yang dilakukan dalam kitab ini. Kemudian ia menjelaskan bahwa bahasa adalah taufiq dari sisi Allah SWT karena firman-Nya: (dan Dia mengajari Adam nama-nama benda seluruhnya (QS. Al-Baqarah: 31) kemudian ia berbicara tentang pertumbuhan khat (tulisan) Arab dan mengemukakan pendapat para ulama tentang hal itu serta sampai pada bahwa khat itu taufiq dari sisi Allah karena firman-Nya: {Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah mencip-takan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya} (QS AlFalaq: 1-5). Setelah itu ia beralih ke pembicaraan tentang kehidupan bahasa Arab. Lalu bahasa Arab dibagi ke dalam dua bagian: pertama, bahasa Arab Utara, yaitu bahasa Arab 'Aribah dan kedua bahasa Arab Selatan, yaitu bahasa Arab musta'ribah dan dinamakan Himyariyah. Di tengah-tengah pembicaraannya ia menegaskan bahwa setiap kaum mempunyai bahasa untuk berkomunikasi. Kemudian dikemukakan kehidupan bahasa Arab 'Aribah, lalu dibaginya ke dalam bahasa fusha (baku) dan bahasa bahasa ‘amiyah (non-baku/dialek). Dan ia menjelaskan bahwa suku Quraisy adalah bangsa Arab yang paling fasih bahasanya, 2 paling bersih bahasanya. Yang demikian itu karena Allah SWT telah memilih mereka dari segenap bangsa Arab dan memilih dari kalangan mereka Nabi pembawa rahmat, Muhammad SAW, lalu dijadikan suku Quraisy sebagai penduduk tanah Haram dan para tetangga Baitul Haram serta para pengurusnya. Adapun bahasa ‘amiyah (non-baku/dialek) dijelaskan, antara lain: (1) 'An'anah Tamim, yaitu menukar hamzah dengan 'ain dalam sebagian percakapan mereka. Mereka mengatakan: Sami’tu 'anna Fulanan qala; maksud mereka adalah anna. (2) Kasykasyah Asad, yaitu menukar kaf (al-mukhatabah) dengan syin. Lalu mereka mengatakan 'alaisy dengan arti ‘alaik. (3) Kaskasah Rabi'ah, yaitu menyambungkan kaf dengan sin, lalu mereka mengatakan 'alaikas. Setelah itu ditelusuri aspek-aspek perbedaan antarberbagai dialek Arab dan dibatasi pada perbedaan harakat, seperti nasta'inu dan nisti'inu atau menukar huruf, seperti ulaika dan ulalika; perbedaan dalam i'rab, seperti ma zaidun qaiman dan ma zaidun qaimun; dan perbedaan dalam waqaf pada ha ta'nits, seperti hadzi ummat dan hadzihi ummat. Setelah itu ia beralih ke pembicaraan tentang bahasa sebagai media turunnya Al-Quran, lalu dikemukakan pendapat para ulama dalam menafsirkan hadits Nabi yang mulia: Al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf. Dia mengatakan bahwa tujuh huruf itu berarti tujuh bahasa, antara lain, lima dengan bahasa al-'Ujz dari kabilah Hawazin. Kemudian dia menjelaskan bahwa inilah yang terdapat dalam bahasa kabilah Mudhar. Akan tetapi dalam Alqur'an tidak terdapat sesuatupun selain bahasa Arab, karena firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menjadikannya Qur'an dalam bahasa Arab(QS Azzukhruf: 3) dan karena firman-Nya: Tidaklah Kami mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya(QS Ibrahim: 4) serta firman-Nya: Dengan bahasa Arab yang jelas(QS Asy-Syuara: 195). 3 Kemudian ia berbicara tentang perkembangan yang terjadi pada bahasa Arab setelah Allah menurunkan agama-Nya yang hanif kepada rasul-Nya yang terpercaya. Di antara gejala perkembangan ini adalah dibuatnya makna-makna baru bagi katakata lama, antara lain mu'min, kafir, munafiq, shalat, ruku, sujud, dan mukhadhram. Sebelum Islam, kata mu'min berasal dari kata aman dan iman, yaitu membenarkan, kemudian syariah menambahkan persyaratan dan sifat-sifat untuk dapat dinamakan mu'min secara umum. Demikian pula dengan kata Islam dan muslim. Sesungguhnya bangsa Arab hanya mengenal dari kata itu Islamusy syai. Kemudian pula bangsa Arab tidak menganal kata kufur kecuali tutup dan tirai. Kemudian ia berbicara tentang karakteristik-karakteristik bahasa Arab dan menjelaskan, antara lain: (1) Bayan, yaitu pemerian ujaran yang paling komunikatif; Allah SWT berfirman: (Dan sesungguhnya Alqur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas) (QS Asy-Syu'ara 192195). Dan Allah SWT mengkhususkan bahasa Arab dengan bayan. Ibnu Faris berpendapat bahwa al-bayan membuat bahasa Arab sebagai bahasa yang paling utama dan paling luas. Oleh karena itu seorang penerjemah tidak akan mampu mengalihkan Alqur'an dalam bahasa lain sebagaimana adanya. Akan tetapi mereka (para penerjemah) dapat mengalihkan Injil dari bahasa Suryani ke dalam bahasa Ethopia dan bahasa Rumawi. (2) I'rab, yaitu pembeda antara makna-makna yang setara lafalnya. Dengan i'rab, khabar dapat diketahui yang merupakan pokok ujaran. Dan seandainya tidak ada i'rab, tentu tidak dapat dibedakan fa'il dari maf'ul , mudhaf dari man'ut, ta'ajjub dari istifham, shadar (fi'il) dari mashdar, na'at dari taukid. 4 Setelah itu Ibnu Faris beralih ke pembicaraan tentang tataran kajian bahasa, yaitu ashwat (fonologi), sharaf (morfologi), nahwu (sintaksis), dan dalalah (semantik). (1) Ashwat (Fonologi) berbicara tentang segala bunyi selain bahasa Arab dan menjelaskan cara pengubahannya dalam bahasa Arab. Dia berkata tentang ini dengan mengalihkan dari Ibnu Duraid: Huruf yang tidak dilafalkan oleh bangsa Arab kecuali apabila perlu. Apabila mereka terpaksa kepadanya, maka mereka mengubahnya ketika berbicara dengannya kepada huruf yang paling mendekati makhrajnya. Di antara huruf-huruf itu adalah yang terletak pada ba dan fa. Misalnya, kata bur, apabila mereka terpaksa, maka mereka mengatakan fur; huruf yang ada di antara qaf dan kaf serta jim, yaitu bahasa yang beredar di Yaman, seperti jamal apabila mereka terpaksa, maka mereka mengatakan kamal; huruf yang ada di antara syin, jim, dan ya; dalam mudzakar ghalamij dan dalam muannats ghalamisy. Adapun Bani Tamim, maka mereka membubuhkan kaf dengan lahah (anak lidah) sampai keras sekali. Maka mereka mengatakan alqayyum hingga berada antara kaf dan qaf. Dan inilah bahasa pada mereka. (2) Huruf-huruf bergabung: dalam kata-kata Arab yang banyak frekuensi pemakaiannya disyaratkan tersusun dari huruf-huruf bergabung. Adapun huruf yang tak bertitik, maka diperikan bahwa huruf itu terbagi atas dua macam. Pertama yang tidak boleh sama sekali tersusun huruf-hurufnya pada bangsa Arab, yaitu seperti jim disusun dengan kaf atau kaf didahulukan atas jim dan seperti 'ain dengan ghain atau ha (tengah tenggorokan) n atau ha (pangkal tenggorokan) atau ghain. Kedua, tidak boleh hurufhurufnya bergabung, tetapi bangsa Arab tidak mengata-kannya, seperti ghadhakha. Dan ketiga, yaitu seseorang yang hendak mengatakan suatu kata atas lima huruf yang tidak ada di antara yang lima huruf itu salah satu huruf dzalq atau ithbaq. 5 (3) Mengganti huruf, seperti pada madahahu ( madahahu ( ‫ ;) دھ‬rifl (‫ )ر ل‬dan rifn (‫)ر ن‬. ‫ ) د‬dan Sharaf (Morfologi) Ia berbicara tentang pentingnya tataran kajian morfologi dalam bahasa. Adapun tashrif (deklinasi), orang yang kehilangan ilmunya, maka ia kehilangan sebagian besarnya. Sebab kita mengatakan: wajada, yaitu kata yang samar. Apabila kita menashrifnya, maka jelaslah kata itu. Lalu kita mengatakan wujdan pada harta; wijdanan dalam kesesatan; maujidatan dalam marah; dan wajdan dalam kesedihan. Allah SWT. Berfirman: {Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam}(QS Al-Jinn:15) Dan Allah SWT berfirman: {Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil}(QS Al-Hujurat: 15). Bagaimana makna dapat berubah melalui tashrif adil ke zalim. Hal yang demikian itu terjadi dalam isim (nomina) dan fi’il (verba). Kemudian mereka mengatakan untuk jalan di pasir khibbah; untuk tanah yang subur dan kering khabbah; tentang tanah yang datar khuwwarah: kharat – khauran – khauran; tentnag banteng; khara – khuwaran; tentang manusia apabila lemah: khara – khawaran. Dan mereka mengatakan untuk wanita yang besar: dhanakum; untuk anak bungsu dhunakun. Mereka mengatakan untuk yang telah habis susunya syaulun: syaulun adalah bentuk jamak dari syailun; untuk unta yang tidak ada ekornya: syuwwalun, yaitu jamak dari syailun. Mereka mengatakan orang yang sedang rindu ‘ammid; untuk unta yang tinggi punuknya ‘amid dan ujaran selain itu itu yang tak terhitung(1) Morfologi berbicara tentang topik-topik morfologis berikut: 6 (1) Isim mufrad, mutsana, dan jama’; (2) Dalalah fi’il madhi terhadap zaman madhi dan mudhari; dan dalalah mudhari terhadap madhi; (3) Membedakan fi’il lazim (verba intransitif) dan fi’il muta’addi (verba transitif); (4) Wazan-wazan yang menunjukkan banyak, seperti fa’ul. fa’aal dalam contoh dharub dan dharrab; (5) Makna-makna wazan fi’il. Nahwu (Sintaksis) Nahwu (Sintaksis) dalam tataran ini mempelajari macammacam kalimat dalam bahasa Arab. Kalimat terbagi atas khabar (berita), istikhbar (istifham/tanya), amar (perintah), nahy (larangan), du’a (permohonan), thalab (permintaan), ‘ardh (tawaran/ajakan), tahdhid (anjuran), tammani (harapan/anganangan), dan ta’ajjub (aklamasi). Dalalah (Semantik) Dalalah (Semantik) berbicara tentang hakikat (makna sebenarnya) dan majaz (makna kiasan/pinjaman), taraduf (sinonim), tadhad (antonim), dan musytarak lafdhi (polisemi). Dari sajian ini, dapat kami simpulkan bahwa fiqhullughah menurut Ibnu Faris berarti: (1) kajian tentang asal usul, perkembangan, dan pembagian bahasa ke dalam beberapa dialek; (2) studi berbagai tataran bahasa: fonologi, morfologi, sintaksis dan dalalah. Dia mengaitkan studi filologi dengan pemahaman AlQur’anul Karim secara baik dan cermat. Seolah-olah tujuan studi filologi adalah studi dan pemahaman teks Alqur’an. Kedua: Filologi dan Rahasia Bahasa Arab 7 Pusaka Arab dikenal sebagai buku kedua yang mengandung istilah filologi yang berjudul buku Fiqhullughah (Filologi) dan Sirrul al-Arabiyyah (Rahasia bahasa Arab) karya Abu Mansur Tsa’labi yang wafat tahun 430 H. Tsa’labi semangat dengan Ibnu Faris. Tsa’labi menyusun bukunya setelah munculnya buku Shahibi yang lebih dahulu dikenal. Buku Tsa’labi terbagi atas dua bagian. Bagian pertama, yang dinamakan fiqhullughah menurut Tsa’labi adalah salah satu kamus bahasa yang merupakan wadah tersusunnya materi secara maknawi, bukan berdasarkan susunan huruf hija (abjad). Adapun manfaatnya adalah bagi orang mengetahui makna, menuntut lafal yang mengartikannya, berbeda dengan kamus lafal yang hendak diteliti tentang makna-makna lafal yang hendak ditafsirkan oleh peneliti. Kitab Fiqhullughah Tsa’labi ada hubungan erat dengan kitab AlGharib al-Mashnaf karya Abu Abdil Qasim bin Salam. Ia dianggap sebagai pembuka jalan untuk menyusun kitab AlMukhashash karya Ibnu Sayyidih. Dan karangan Tsa’labi yang menyerupai kitab Shahibi adalah bagian kedua dari kitabnya: Sirrul al-‘Arabiyah (1) berbeda dengan materi Fiqhullughah menurut Ibnu Faris. Fiqhullughah (filologi) menurut Tsa’labi berarti memahami perbedaan-perbedaan yang mendetail antarmakna yang berkisar seputar topik yang sama, yaitu mempelajari apa yang dapat dinamakan fiqhullughah (filologi) menurut para linguis Arab Modern. Kitab Fiqhullughah karangan Ali Abdul Wahid Wafi: Dr. Ali Abdul Wahid Wafi berpendapat bahwa ada dua ilmu untuk mengkaji bahasa. Pertama mengkaji bahasa secara umum dari segi aturan-aturan umum bagi perlakuan bahasa tentang pertumbuhannya, peralihannya dari generasi (ulama) salaf (terdahulu) ke generasi (ulama) khalaf (terakhir), pem-bagiannya 8 ke dalam beberapa cabang, terbentuknya kelompok bahasa dan rumpun-rumpunnya, pergulatannya satu sama lain, dan perkembangannya dari generasi salaf ke generasi khalaf. Ilmu ini dinamakan istilah ilmu lughah (linguistik). Kedua mengkaji rumpun bahasa tertentu, yaitu rumpun bahasa semit secara umum dan bahasa Arab secara khusus. Ilmu ini dinamakan Fiqhullughah (Filologi). Dia mengatakan dalam muqadimah kitabnya (Fiqhullughah): Karangan kami ini dengan kedudukan bagian kedua dari buku kami adalah ilmu lughah (linguistik), hanya saja kami lebih mengutamakan penamaannya dengan nama khusus yang sering dipakai dalam topik-topik yang disajikannya, khususnya apa yang berkaitan dengan bahasa Arab. Topik-topik yang dibahas dalam bukunya (fiqhullughah) mencakup hal-hal berikut: 1. karakteristik bahasa Semit dan ciri terpenting, 2. pertumbuhan dan perkembangan bahasa Arab, 3. studi tataran bahasa Arab: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan stailistik (gaya bahasa). Fiqhullughah (Filologi) menurut Dr. Ali Abdul Wahid Wafi berarti kajian tentang topik-topik pertumbuhan dan perkembangan bahasa, ciri-ciri bahasa, dan studi berbagai tataran bahasa. Ini menyerupai pendapat kami menurut Ibnu Faris dan Tsa'labi dalam bagian yang berbicara tentang rahasia bahasa Arab. Filologi Menurut Para Linguis Barat 1. Makna menurut bahasa: Sesungguhnya istilah filologi berasal dari bahasa Yunani, yang tersusun dari (philos) dengan arti kecintaan atau persahabatan dan (logos) dengan arti bahasa. Maknanya secara keseluruhan adalah cinta bahasa. 9 2. Makna menurut istilah: Para linguis Eropa bersilang pendapat dalam membatasi konsep filologi menurut istilah. Pendapat terpenting tentang hal itu adalah sebagai berikut. a. Sebagian linguis berpendapat bahwa filologi berarti hanya mengkaji kaidah-kaidah sintaksis dan morfologi dan mengkritik teks-teks peninggalan klasik. b. Sebagian linguis lain berpendapat bahwa filologi berarti mengkaji kata-kata, aturan-aturan, susunannya dalam kamus. c. Senior Guidi berpendapat bahwa filologi mangkaji sejarah bahasa dan mengkontraskan bahasa-bahasa, sintaksis, morfologi, 'arudh, ilmu balaghah, ilmu sastra dengan arti luas. Maka filologi mencakup sejarah sastra, sejarah ilmu pengetahuan, dari segi penyusunan buku-buku ilmiah, sejarah fiqh dari segi pembukuannya pada lembaga-lembaga dan majalah-majalah, sejarahsejarah agama dari segi pengkajian kitab-kitab suci, dan karangan buku-buku keagamaan dan ketuhanan. d. John B. Carrol berpendapat dalam bukunya (studi bahasa) bahwa folologi adalah bumi (disiplin ilmu) yang luas antara linguistik dari satu segi dan kajian-kajian sastra dan sosial dari segi lain. Atas dasar ini filologi menaruh perhatian terhadap dokumen-dokumen budaya dan sosial dengan berbagai jenisnya. Demikian pula, filologi mementingkan kajian-kajian sastra dan budaya. Kemudian pada akhirnya dia menjelaskan bahwa di antara hasil kajian filologi adalah kajian sejarah budaya bahasa dan pembuatan kaidah-kaidah umum serta penjelasan karya sastra dan sastra masyarakat(1) e. Robins berpendapat bahwa filologi dipakai sedikit berbeda oleh setiap orang-orang Baritania, orang-orang Jerman, dan orangorang Perancis. Dalam pemakaian orang-ornag Baritania, istilahnya sama dengan filologi bandingan, yaitu yang sekarang dinamakan linguistik bandingan dalam istilah kebahasaan. Adapun 10 istilah ini menurut orang-orang Jerman berarti kajian ilmiah tentang teks-teks sastra lama, khususnya teks-teks bahasa Yunani dan bahasa Rumawi klasik. Lebih dari itu, filologi barati kajian tentang tentang budaya dan peradaban melalui teks-teks sastra. Adapun filologi bandingan menurut orang-orang Inggris dikontraskan dengan linguistik bandingan menurut orang-orang Jerman. Dan Robins mengemukakan pendapatnya : Barangkali tafsiran orang-orang Jerman terhadap istilah ini berarti bahwa filologi mengaitkan linguistik dengan kajian keindahan dan sosial tentang sastra dan bidang acuan ahli berbagai fenomena peradaban pada kesimpulan linguistik dalam memahami teks-teks dan prasasti-prasati dan dalam membuat asas-asas yang mengacu pada manuskrip-manuskrip, dokumen-dokumen, dan bahan-bahan untuk dijadikan landasan kajiannya. Hubungan antara linguistik dan filologi dengan makna yang terakhir ini sangat dekat dan lapangan keduanya sering bertemu. Linguistik dengan arti sempit memusatkan perhatinnya pada analisis untuk mensintesis dan memerikan bahasa. Manakala para linguis memperluas bidang garapannya, lalu mengolah makna, maka mereka mendekati bidang filologi Eropa pada abad 19, yaitu filologi pernah mendominasi bidang kajian bahasa. Itu sebagai akibat penemuan bahasa sangsekerta(1). Setelah penyajian ini, kita dapat mengatakan bahwa filologi menurut orang-orang Barat berarti kajian bahasa secara historis dan komparatif dan penyelidikan teks-teks untuk memahami sejarah budaya dan sastra masyarakat bagi bangsa yang bertutur dengan bahasa itu sebagai tempat kajiannya. Dan pemahaman akan istilah itu dengan makna ini dekat dengan pemahamannya menurut para linguis Arab terdahulu dan modern. 11 FASAL II LINGUISTIK 1. Linguistik menurut para linguis Arab Orang yang pertama kali memakai istilah ini adalah Ibnu Khaldun dalam mukadimahnya. Menurut pendapatnya, linguistik berarti leksikologi dengan berbagai jenisnya, baik berkaitan dengan pengumpulan lafal-lafal yang bertahap di bawah satu topik atau ia berkaitan dengan sinonim, kata serapan, dan polisemi. Setelah itu, istilah linguistik dipakai oleh Jalaluddin sebagai judul bukunya "Al-Muzhir fi 'Ulumil Lughah wa Anwa'iha". Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa buku ini tidak berbeda dengan buku "Fiqhullughah al-'Arabiyah" karangan Ibnu Faris dan "Fiqhullughah" karangan Tsa'labi. Ini berarti bahwa para linguistik Arab terdahulu tidak membedakan dalam pemakaiannya konsep kedua istilah: fiqhullughah (filologi) dan ilmullughah (linguistik)(1). 2. Linguistik menurut para linguis Barat Linguistik ialah ilmu yang mengkaji secara ilmiah bahasa itu sendiri dan maksudnya itu sendiri. Ilmu ini berdasar pada prinsip tidak melebihkan suatu bahasa atas bahasa lain. Ia mengkaji bahasa seluruh masyarakat sosial. Dalam kajiannya, ia menaruh perhatian pada struktur setiap bahasa dan cara pemakaiannya dari pihak para anggota masyarakat yang bertutur dengan bahasa itu sebagai objek kajiannya serta hubungan bahasa ini dengan bahasa-bahasa lainnya. Demikian pula ilmu ini mengkaji bagaimana bahasa itu bisa berbeda dari satu dialek ke dialek lain dan bagaimana ia berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Sesungguhnya kita telah mengetahui atas dasar bahasa bahwasanya itu adalah kajian ilmiah tentang bahasa. Definisi yang 12 sederhana ini menutup - dibalik itu – perbedaan pendapat tentang pembatasan makna istilah kajian ilmiah tentang bahasa. Oleh karena itu secara sederhana dapat kita katakan bahwa kajian ilmiah adalah kajian yang berdasar pada organisasi korpus bahasa sesuai dengan salah satu metode penelitian bahasa. Linguis mengkaji bahasa untuk menemukan karakteristik sistem bahasa yang mendasar. Tentu dia tidak akan mampu melakukan yang demikian itu kecuali ia memiliki latar belakang pengetahuan tentang metode-metode struktur bahasa. Dari segi lain, linguis harus mengkaji teori yang akan dipilihnya tentang struktur bahasa untuk membuktikan bahwa teori itu sesuai dengan fakta bahasa yang dikumpulkannya melalui kajiannya. Dari berbagai kecenderungan penelitian bahasa, akan jelaslah bagi kita bahwa sebagian kecenderungan itu terpusat pada suatu masalah tertentu sementara kecenderungan lain berpusat pada masalah yang lain. Mazhab bahasa berpusat pada organisasi bahan dan masalah kurikulum yang kadang-kadang dihadapi oleh peneliti ketika penelitian itu sedang berlangsung. Sebagian yang lain meneliti cara penutur mengalihkan gagasannya kepada pendengar. Atau dengan kata lain bagaimana penutur mengadakan hubungan komunikasi dengan pendengar. Akan tetapi meskipun demikian dapat dikatakan bahwa berbagai teori kebahasaan berpusat pada struktur bahasa dan kajian tentang bahan (korpus) bahasa yang dihimpun sesuai dengan sistem tertentu. Dalam linguistik – sebagaimana dalam ilmu-ilmu lain - kita dapati bahwa teori dan aplikasi itu terpadu dan saling berkaitan. Sesungguhnya segala jenis analisis bahasa berdasar pada prinsip asumsi bahwa bahasa adalah kompleks. Ini berarti bahwa ujaran apapun yang kita dengar tidak terdiri dari kata-kata secra acak, tetapi ia yang tersusun sesuai dengan asas-asas tertentu. Asas-asas ini membatasi kata-kata yang digunakan, bentuk, dan 13 susunan. Linguis dalam analisis yang dilakukannya mengguna-kan tiga aturan, yaitu: (1). menyeluruh, yaitu analisis yang menyeluruh terhadap semua bahan (korpus) yang dihimpun; (2). terpadu, yaitu tidak ada kontradiksi antarberbagai bagian kajian; (3). ekonomis, yaitu semakin ungkapan yang dipakai dalam memerikan struktur tertentu itu sedikit, maka ini semakin lebih baik daripada berlaku umum. Menyeluruh dan ekonomis itu bebas. Artinya bahwa ungkapan yang ringkas atau penjelasan yang ringkas itu tidak lebih baik apabila penjelasan itu tidak menyeluruh/mencakup semua bagian yang dikaji. Dari segi lain kita dapati bahwa pemerian yang menyeluruh kadang-kadang berubah dengan adanya penyimpangan kaidah yang tidak dapat dihindari. Sebagai kesimpulan dari penerapan asas-asas yang tiga ini, linguis mengantisipasi bahwa dia telah mematuhi objektivitas dalam pemeriannya. Tujuannya selalu mengajukan analisis yang dapat diterima untuk diterapkan oleh pihak penganalisis itu sendiri dan dari pihak lain yang mematuhi metodenya dalam pemerian. Sesungguhnya mematuhi objektivitas dalam kajian kebahasaan – sebagimana akan tampak jelas bagi kita nanti – termasuk salah satu ciri metode ilmiah bagi linguistik(1). Pada masa modern kajian-kajian kebahasaan telah meluas dan sekarang para linguis membedakan dua bidang garapan liguistik. Pertama, bidang yang luas yang mengkaji secara umum dan menyeluruh segala apa yang berkaitan dengan bahasa. Kemudian dikajinya dari aspek psikologis; inilah yang diistilahkan dengan nama “psikolinguistik”; dikajinya dari aspek sosial; inilah yang diistilahkan dengan nama “sosiolinguistik”; dari aspek sejarah; inilah yang dinamakan “linguistik historis”; dikajinya dari 14 penyakit ujaran yang menimpa sebagian orang; inilah yang dinamakan “patologi bicara”; dikajinya dari arah pandang komunikasi dan alat hitung otomatis; bidang inilah yang dinamakan “makrolinguistik” Kedua, bidang yang terbatas pada struktur bahasa yang mencakup struktur fonologi, sintaksis, dan semantik. Inilah bidang khusus dalam kajian bahasa dan dinamakan “mikrolinguistik”(1). Ciri-ciri Metode Ilmiah Linguistik Pada alinea terdahulu, telah kami jelaskan bahwa linguistik mengikuti metode ilmiah dalam mengkaji bahasa dan telah kami jelaskan bahwa objektivitas dapat membentuk salah asas metode ini. Jadi apa asas-asas ini? Metode ini berdasar pada tiga asas, yaitu: (1) diqqah (akurasi), (2) tandhim (sistematisasi), dan (3) maudui’yyah (objektivitas). Diqqah (Akurasi) Yang dimaksud dengan diqqah (akurasi) adalah membatasi secara akurat (cermat) makna istilah-istilah yang kita hadapi dalam kajian kebahasaan kita. Misalnya, apabila kita menghadapi definisi isim (nomina), kita tidak dapat menerima definisi yang mengatakan bahwa isim (nomina) adalah kata yang menunjukkan suatu yang diberi nama. Akan tetapi definisi yang lebih diutamakan oleh linguistik adalah kata yang didahului oleh salah satu harf jarr atau menerima alif lam atau tanwin atau salah satu huruf nida atau isnad (predikasi). Dan ia mempunyai keistimewaan karena dapat ditatsniyahkan dan menerima tandatanda i’rab dan idhafat. Linguis tidak dapat mengacu pada istilah-istilah yang tetap manakala ia menganalisis bahasa yang dikajinya. Masalah ini terkadang menuntut pemakaian istilah baru atau pemakaian istilah 15 lama. Akan tetapi dengan makna baru, ini menuntut perubahan segala istilah terdahulu karena istilah-istilah yang dipakai dalam linguistik saling bergantung satu sama lain. Suatu istilah terkadang membatasi istilah lain atau sebaliknya terkadang terbatas dengannya. Misalnya, apabila kita himpun lafal-lafal dan kita lihat sebagiannya diakhiri dengan alif dan nun, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa itu semuanya adalah mutsanna (dualis), seperti wildan dan Utsman. Sebab, wildan mempunyai bentuk mufrad (tunggal), yaitu walad. Adapun Utsman, maka ia tidak mempunyai bentuk mufrad. Ini berarti bahwa ia adalah mufrad dengan sendirinya. Dari sini kita mengeluarkan definisi mutsanna bahwa mutsanna adalah isim (nomina) yang diakhiri dengan alif dan nun dengan syarat ia mempunyai bentuk mufrad dari lafalnya. Adapun apabila kita mengatakan bahwa mutsanna adalah lafal yang diakhiri dengan alif zaidah dan nun ziadah, maka definisi ini tidak tepat karena alif dan nun dalam kata seperti ‘athasyan, itu adalah zaidah. Sekalipun demikian ia bukan mutsanna karena tidak mempunyai bentuk mufrad dari lafalnya. Jadi, supaya cermat dalam keputusan-keputusannya, linguis mengacu pada prinsip penting, yaitu taqabul (pengkontrasan). Unsur ini dipakai dalam semua tahapan analisis kebahasaanya. Dan prinsip inilah yang bertanggung jawab terhadap pembedaan berikut dalam kajian fonologis: majhur (bersuara) kontras dengan mahmus (takbersuara); mufakhkham (ditebalkan ucapannya) kontras dengan muraqqaq (ditipiskan pelafalannya); infijari (hambat) kontras dengan ihtikaki (frikatif); basith (sederhana) kontras dengan murakkab (kompleks); shamit (konsonan) kontras dengan harakat (vokal). Dalam bidang sharaf (morfologi), mufrad (tunggal) kontras dengan mutsanna (dualis) dan jama’; mudzakkar kontras dengan muannats; isim (nomina) kontras dengan fi’il (verba); isim kontras dengan sifat (ajektiva), dharaf (adverbia), dan dhamir 16 (pronomina). Dan dalam bidang nahwu (sintaksis) jumlah ismiyah (kalimat nominal) kontras dengan jumlah fi’liyah (kalimat verbal); jumlah basithah (kalimat sederhana) dengan jumlah murakkabah (jumlah kompleks). Pengkontrasan itu harus cermat (teliti) sekali. Jika tidak, maka studi itu tidak akan membuahkan kesimpulan yang baik. Misalnya, apabila kita katakan bahwa fi’il mudhari menunjukkan peristiwa yang terjadi pada masa kini, seperti Muhammad yal’abu dan fi’il madhi menunjukkan peristiwa yang terjadi pada masa lalu, seperti: Muhammad la’iba, serta dari hasil analisis itu kita simpulkan, maka kesimpulan ini tidaklah akurat. Sebab, kita mengabaikan faktor penting sebelum sampai kepada kesimpulan ini, yaitu hubungan antara zaman (tense) dan waktu (time). Di sini kita harus mempertanyakan: Apakah zaman fi’il madhi membawa peranan lain dalam bahasa selain mengisyaratkan waktu tertentu? Apakah ada cara lain yang dipakai oleh bahasa untuk mengisyaratkan waktu tertentu yang jauh dari pemakaian sistem zaman? Kita tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kecuali apabila kita telah mengumpulkan sampel (korpus) bahasa tertentu dan kita telah mengkajinya. Sekarang marilah kita perhatikan contoh-contoh berikut. 1. Dalam iklan salah satu surat kabar terdapat: Assayyid Fulan yamuutu fi al-mustasyfaa. Kalimat ini tidak berarti bahwa sayyid ini sedang sakaratul maut pada waktu terbitnya surat kabar, melainkan berarti bahwa ia betul-betul telah mati. 2. Misalnya, engkau adalah penanggung jawab pada salah satu kantor pemerintah, kemudian engkau memanggil salah seorang pegawai dan kaukatakan kepadanya ketika memasuki ruangan: Yaquulu zamiiluka innaka turiidu an tatakallama ma’ii. Ini tidak berarti bahwa engkau menerangkan keinginanmu untuk berbicara dengan pegawai ini pada waktu engkau berbicara dengannya 17 melainkan berarti bahwa penjelasan tentang keinginan berbicara itu telah muncul sebelum itu. Ini berarti bahwa shighat mudhari’ dipakai dalam kedua contoh tadi untuk menunjukkan zaman lampau. Demikian pula fi’il mudhari’ pada contoh-contoh lain menunjukkan mudhari’. Misalnya: Akhi yaktubu ad-dars fi al-hujrah wa ummi tu’iddu aththa’am fi al-mathbakh. Kesimpulan yang akurat yang dapat diinduksi ialah bahwa mudhari’ mununjukkan madhi dalam beberapa konteks dan menunjukkan mudhari’ dalam konteks-konteks lain. Kesimpulan ini mengalihkan kita ke pertanyaan lain: Apakah ada unsur-unsur kebahasaan lain yang menunjukkan waktu selain fi’il-fi’il. Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita harus memperhatikan pertanyaan berikut: Shallaitu al-jum’ata ams ma’a ashdiqai fi al-ka’bah al musyarrafah wa adzhabu ghadan ilaa ‘amalin fi ar-Riyadh. Kalimat ini memberi pengertian bahwa pelaksanaan shalat jum’at telah terjadi pada waktu yang lalu sebelum munculnya kalimat itu dan kepergian ke pekerjaan akan berlangsung setelah munculnya kalimat tersebut. Jadi, kita dapat sampai kepada kesimpulan yang cermat yang memberi pengertian bahwa zaraf makan (keterangan tempat) dapat menentukan waktu secara lebih cermat dalam kalimat tadi. Tandhim (Sistematisasi) Prinsip ini berarti bahwa usaha yang pertama kali dilakukan oleh linguis ialah menghimpun bahan (korpus) kebahasaan yang hendak dikajinya, kemudian setelah itu menganalisisnya berdasarkan tataran-tataran berikut. 1. Tataran bunyi, mencakup fonetik dan fonologi. a. Fonetik, dalam fonetik linguis menaruh perhatian pada kajian gerakan-gerakan organik yang dilakukan oleh organ yang 18 membentang dari dada sampai kepala, nada bunyi yang diakibatkan oleh gerakan-gerakan ini, penelusuran peralihannya dalam udara sampai bertabrakan dengan gendang telinga, pembagian bunyi yang tampak ke dalam shawamit (konsonan) dan harakat (vokal), pembagian konsonan ke dalam majhur (bersuara) dan mahmus (takbersuara), infijari (hambat) dan ihtikaki (frikatif), murraqqaq (bunyi tipis) dan bunyi mufakhkham (bunyi tebal), vokal depan, vokal belakang, dan vokal tengah dan pembagiannya ke dalam bunyi tinggi dan bunyi rendah. b. Fonologi, dalam fonologi linguis menaruh perhatian pada penelusuran aspek-aspek berikut. (1) Cara pelafalan satu bunyi oleh para penutur. Tidak syak lagi bahwa masing-masing dari kita berbicara dengan caranya yang khas sesuai dengan pembentukan psikologis dan kebiasaan berbahasanya. Oleh karena itu kita dapat membedakan suara-suara orang lain ketika mereka berbicara – misalnya – melalui telepon. Demikianlah bunyi-bunyi yang digunakan dalam bahasa apapun tidak diucapkan dengan satu pola, tetapi diucapkan oleh anggotaanggota masyarakat dengan berbagai cara. (2) Cara pelafalan bunyi yang sama dalam berbagai konteks bahasa. Tidak syak lagi bahwa masing-masing dari kita tidak mengucapkan satu bunyi dengan bentuk yang sama dalam berbagai konteks bahasa. Yang demikan itu karena kontekslah yang membatasi bentuk ucapan. Misalnya, bunyi alif mamdudah terpengaruh oleh bunyi-bunyi yang sebelumnya atau sesudahnya. Jika bunyi yang mendahuluinya itu muraqqaq, maka diucapkan muraqqaq (ditipiskan), seperti saala dan baada, sedangkan jika bunyi yang sebelumnya itu mufakhkham, maka diucapkan mufakhkham, seperti shaala dan baadha. Juga, kontekslah yang membatasi munculnya bunyi tertentu dalam suatu kata dan kesamaran bunyi itu dalam kata lainnya, seperti min dan mim ; asy-syams dan al-qamar. (3) Meninggikan suara atau merendahkannya; ini menunjukkan kepribadian penutur. Terkadang dia menonjolkan bunyi tertentu karena menginginkan sesuatu tertentu. Inilah yang dinamakan nabr (stress) dan tanghim (intonasi). 2. Tataran Morfologi Dalam tataran morfologi linguis menaruh perhatian pada studi kontruksi intern kosakata, mengetahui konstruksi dasar, menentukan afiks yang melekatnya, dan menelusuri perubahan yang terjadi padanya untuk menghasilkan berbagai makna. Misalnya: kataba, aktaba, dan kaataba. Kataba hanya bermakna menulis ; aktaba bermakna bahwa seseorang mendiktekan sesuatu kepada orang lain untuk ditulisnya; dan kaataba bermakna bahwa seseorang berkorespendensi dengan orang lain. 3. Tataran Sintaksis Dalam tataran sintaksis linguis mengkaji teknik-teknik penyusunan kata-kata dalam kalimat dan sarana-sarana keterpaduannya, yaitu bentuk morfologi, posisi letak, persesuaian dalam bentuk tunggal, dualisme dan jamak; dalam jenis, ta’yin dan tanda i’rab. Misalnya, kalimat: Akala Muhammad ath-tha’aama dikaji oleh linguis sesuai dengan sistem berikut: (2) ‫ل‬ ‫اط م‬ (1) Dari segi unsur-unsur morfologi: 19 20 (1) ‫أ‬ Unsur morfologi pertama adalah fi’il (akala) sebagai musnad (predikat). Unsur morfologi kedua adalah isim (Muhammad) berfungsi sebagai musnad ilaih atau fa’il (subjek). Adapun kata (atha’aam) tidak dianggap sebagai unsur ketiga tetapi ia berkaitan dengan fi’il (verba) untuk mengkhususkan makna kejadian, yaitu al-akl (makan). (2) Dari segi posisi letak, musdnad ada di awal (predikat) kemudian diiringi oleh musnad ilaih (subjek). (3) Dari segi tathabuq (persesuaian): - dalam ifrad (tunggal jamaknya): musnad ilaih dan musnadnya adalah mufrad; - dalam jenis (mudzakkar muannatsnya): musnad ilaihnya adalah mufrad; - dalam ta’yin (nakirah ma’rifatnnya): musnad iliah tidak disyaratkan ma’rifat atau nakirah. (4) Dari segi tanda i’rab: musnad ilaih marfu’ karena ia adalah isim mufrad dan bertashrif, sedangkan musnad adalah mabni ‘alal fath ia adalah fi’il madhi yang tidak disandarkan kepada sesuatu. Adapun maf’ul bih tidak berkaitan dengan jumlatul isnad (kalimat predikasi), karena itu di dalamnya tidak disyaratkan studi posisi letak atau persesuaian, sedangkan tanda i’rab membedakannya dengan nashab. Itu karena tanda nashablah yang merupakan sarana kebahasaan untuk membedakannya dengan fa’il. Maudhu’iyah (objetivitas) Lingustik mengacu pada metode eksperimental. Metode ini menuntut penyelidikan fenomena tertentu yang ingin di-kajinya. Kesimpulannya bersandar pada hasil observasi yang diamati oleh linguis. Tentu saja ini tidak akan sempurna kecuali apabila terlebih dahulu linguis menginduksi korpus bahasa dan membaginya serta mengorganisasinya. Dalam linguistik(1) li-nguis betul-betul 21 menghindari hipotesis. Ketika berlangsung penelitiannya, linguis menggunakan teknik-teknik statistik dan matematika dan prinsip yang telah kami kemukakan sebelumnya, yaitu pengkontrasan antara paling sedikit dua unit bahasa. Para linguis menggunakan prinsip pengkontrasan ketika mereka mengkaji suatu bahasa yang tidak mereka ketahui. 4. Linguistik Deskriptif, Historis, dan Komparatif (Bandingan) * Linguistik Deskriptif Lingustik deskriptif adalah ilmu yang mementingkan pemerian dan analisis bahasa sebagaimana dipakai oleh para penuturnya pada masa tertentu. Masa ini mungkin masa sekarang. Ini mencakup bahasa-bahasa yang tak tertulis atau bahasa-bahasa yang tertulis pada masa modern yang sedikitpun tidak kita ketahui tentang masa lalunya. Dan masa ini mungkin juga masa lalu. Oleh karena itu disyaratkan linguis mempunyai sumber-sumber tertulis yang mencerminkan bahasa pada salah satu masa lalu. Yang demikian itu sebagaimana halnya dalam mengkaji bahasa Arab fusha karena sudah tersedianya teks-teks syair Jahili, teks Al Qur’an dan Hadits Nabi yang mulia. Sesuatu yang penting dalam kajian bahasa secara deskriptif pada masa lalu atau sekarang adalah konsentrasi secara menyeluruh pada masa tertentu dan tidak menjauhkan masa sebelumnya atau masa berikutnya. Linguistik deskriptif pada umumnya dianggap jenis linguistik yang terpenting karena mencerminkan segi yang substansial dalam studi kebahasaan. Itu karena ia menjelaskan garis-garis lebar tentang jenis-jenis kajian bahasa lainnya. Maksudnya adalah lingusitik historis dan lingustik bandingan(1). * Lingustik Historis 22 Yang dimaksud dengan Lingustik Historis adalah studi perkembangan bahasa lewat masa lalu yang ditempuh oleh bahasa-bahasa itu dalam perubahannya dari periode ke periode lain, sebab-sebab perubahan dan kesimpulannya, baik sebab ini merujuk pada faktor linguistik atau faktor non-lingustik. Studi semacam ini harus berdasar pada pemerian bahasa pada dua tahap historis atau lebih dari tahap-tahap yang dilalui oleh bahasa tersebut. Nanti akan kami jelaskan bahwa De Saussure telah menunjukkan kedua macam studi ini. Yang pertama dinamakan Sinkronik dan yang kedua dinamakan Diakronik. * Linguistik Komparatif (Bandingan) Lingistik dipandang dalam beberapa segi sebagai studi banding. Dalam linguistik bandingan, linguis mementingkan komparansi dua bahasa atau lebih dari satu segi atau lebih. Linguistik bandingan mengacu pada komparansi untuk menjelaskan hubungan historis antarbahasa tertentu dan menentukan aspek-aspek kemiripan antarberbagai bahasa tanpa mempertimbangkan faktor sejarah. Sesungguhnya linguistik bandingan memainkan peranan yang menonjol dalam studi kebahasaan sejak abad 19 – sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya – karena faktor-faktor sejarah lebih banyak daripada faktor-faktor bahasa atau metode penelitian ilmiah dalam bidang bahasa. Oleh karena itu studi ini disebut filologi bandingan. Sekarang linguistik umum telah menempati faktor-faktor sejarah ini. Ini berarti bahwa linguistik bandingan mengacu pada prinsip linguistik umum dalam studi aspek-aspek kemiripan antara berbagai bahasa(1). 23 FASAL III BAHASA DAN FUNGSINYA 1. Definisi Bahasa Menurut Ibnu Jinni (391 H), bahasa adalah bunyi-bunyi yang diungkapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuan-nya. Dalam definisi ini, Ibnu Jinni menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena yang berfungsi sosial, yaitu menghubungkan para anggota masyarakat. Dan setiap masyarakat memiliki bahasa tertentu. Menurut De Saussure, bahasa adalah sistem mentalistik yang merupakan dasar berlangsungnya hubungan unsur-unsur kebahasaan, baik pada tataran fonologi atau morfologi maupun sintaksis. Dia berpendapat bahwa sistem inilah yang membatasi nilai fungsional segala kata, meskipun bukan sistem itu saja yang melakukan demikian itu, tetapi juga – di samping itu – perbedaannya, dengan bukti bahwa apabila kita mendengar suatu bahasa asing yang belum kita ketahui sebelumnya, maka kita akan mendapati kesulitan dalam membedakan kata-kata dalam kalimat atau membedakan kalimat dalam paragraf. Dan kita akan berpendapat bahwa yang kita dengar itu bukanlah bunyi-bunyi yang berbeda dan tidak bermakna. Oleh karena itu, usaha yang pertama kali dilakukan dalam belajar bahasa asing adalah kita menguasai sistem bunyinya(1). Dan yang menjelaskan kepada kita adalah bahwa bahasa ialah sistem yang membawa kepada menghubungkan berbagai unsur pada tataran fonologi dan sintaksis, yaitu studi kedua tataran ini. Pada tataran fonologi, kita akan melihat contoh bunyi-bunyi infijariyah (letupan/hambat) dalam bahasa Arab. 24 Bunyi-bunyi dalam tabel berikut mempunyai keistimewaan berdasarkan tempat makhraj (artikulasi) dan sifat (cara arti-kulasi); majhurah (bersuara) atau mahmusah (tak bersuara). Laminoalveolar (Latsawi) (Aqsha Hanaki) Pangkal langit-langit Mahmus ‫ت‬ ‫ك‬ (Takbersuara) Majhur ‫د‬ ‫ج‬ (Bersuara) Setiap bunyi dari keempat bunyi ini satu sama lain berbeda. Perbedaan ini membantu kita dalam membedakan katakata berikut : – – ‫– دب‬ . Maka ‫ ا ء‬berbeda dengan ‫ ا ال‬dalam sifatnya. Oleh karena itu masing-masing dari kedua bunyi itu mencerminkan bunyi tersendiri. Demikian pula halnya dengan ‫ ا ف‬dan ! " ‫ا‬. Susunan setiap bunyi dengan bunyi berikutnya untuk membentuk ‫ دب‬dengan arti ‫ ا ب‬itulah yang diperoleh oleh fi’il tersebut. Karena itu perbedaan antara bunyibunyi itulah yang menjelaskan kepada kita rambu-rambu setiap bunyi dan susunan setiap bunyi dengan bunyi ‫ ء‬# ‫ ا‬itulah yang mengakibatkan setiap fi’il mempunyai bunyi tersendiri. Pada tataran sintaksis, kita akan melihat unit-unit verba (fi’il) yang menunjukkan zaman (kala_) dalam bahasa Arab. Unitunit ini dapat dibagi ke dalam sistem yang tersusun dari 6 (enam) bagian yang berbeda. Setiap unit mencakup zaman madhi (kala lampau) dan zaman mudhari’ (kala kini dan kala nanti) dari satu sisi dan ada tidaknya kontinyuitas dari sisi lain serta ada tidaknya kejadian dari sisi lain lagi. Tabel berikut dapat memperjelas hal itu. 25 ‫' رع‬ ‫ض‬ ------------------------------------------------ ‫ م‬, – ‫)أ‬+, – ‫*)أ‬ ---------------------------------------------------- ) - (‫) ر ب‬ * – ‫ م * *)أ‬x x ( # ) * ‫ن * *)أ – ن‬ , ‫)أ – زال‬+, ‫زال‬ ‫ م‬x x , ‫)أ – ط‬+, ‫ظ‬ ---------------------------------------------------- ) - + ‫)أ‬+, ‫ظ‬ , ‫)م – ن‬+, ‫ن‬ ‫ م‬+ , ‫ظ‬ 2. Bahasa dan Ujaran De Saussure membedakan language (bahasa) dan parole (ujaran). Language (bahasa) – sebagaimana kami jelaskan sebelumnya – adalah sistem tersendiri yang menuntut keterkaitan unsur-unsur bahasa. Sistem ini kolektif antara anggota-anggota kelompok yang bertutur dengan bahasa yang sama. Dan sistem inilah yang membatasi ciri-ciri parole (ujaran) anggota-anggota kelompok ini. Sistem ini dapat dilihat secara sederhana, bahwa ia mencerminkan kaidah-kaidah umum bahasa. Adapun parole (ujaran) adalah bentuk tuntutan perwujudan bahasa. Linguis yang berkebangsaan Amerika (Noam Chomsky), yang terakhir – membedakan dua fenomena bahasa, yaitu kompetensi (al-kafa-ah) dan performansi (al-ada). Menurutnya, kompetensi mencer26 minkan pengetahuan ideal pemakai bahasa dengan kaidah-kaidah bahasanya. Adapun performansi adalah realisasi pengetahuannya yang sebenarnya. Dan sarana realisasi ini adalah pelafalan. Performansi mencakup seperangkat faktor psikologi, alam, dan sosial. Dari uraian terdahulu dapat kita amati bahwa kedua istilah yang disampaikan De Saussure itu berbeda dengan kedua istilah yang dikemukakan oleh Chomsky. Terkadang kedua istilah itu bertemu dengan kedua istilah tersebut di kesempatan lain. Dari segi perbedaannya, De Saussure berpendapat bahwa bahasa adalah karya sosial. Adapun Chomsky berpendapat bahwa bahasa adalah – dia melambangkannya dengan istilah kompetensi – mencerminkan salah satu ciri akal seseorang dan berkembang sesuai dengan pertumbuhannya. Dan dari segi kesamaannya kita dapati bahwa kajian bahasa menurut mereka berdua bertujuan menemukan kaidah atau sistem, yang menjadi dasar adanya parole (ujaran) yang kita dengar(1). 3. Bahasa dan Tulisan Telah kami jelaskan bahwa bahasa adalah sistem mentalistik yang menjadi dasar adanya keterkaitan unsur-unsur bahasa. Adapun parole (ujaran) adalah pengalihan sistem ini ke ekstra mental (pikiran) dengan memakai bunyi. Dan tulisan adalah usaha pengalihan ujaran yang terdengar ke dalam suatu fenomena tulisan yang terlihat. Maka ujaran dapat didengar melalui telinga, sedangkan tulisan dapat dilihat melalui mata. Karena itu tulisan adalah upaya menerjemahkan ujaran ke dalam fenomena tulisan yang terlihat. Juga tulisan adalah upaya meng-alihkan ujaran dari aspek waktu ke dalam aspek tempat. Sebab itu, fenomenafenomena bunyi adalah untaian dalam waktu sedangkan huruf adalah untaian dalam tempat. Dari sini dapat kita simpulkan 27 bahwa bahasa Arab merupakan suatu masalah, sedangkan tulisan Arab merupakan masalah lain. Dengan demikian tulisan mempunyai kedudukan tertentu, yaitu mem-bukukan bunyi-bunyi konsonan, seperti : ‫ د‬3 ‫ ا‬- 2 - ‫ ء – ا‬# ‫ ا‬dan sebagainya; bunyibunyi vokal panjang, yaitu dhammah thawilah, fathah thawilah, dan kasrah thawilah(1). * Fungsi bahasa Bahasa mempunyai fungsi penting di masyarakat. Fungsi yang terpenting ada dua, yaitu: 1. Bahasa adalah sarana komunikasi antaranggota kelompok yang bertutur dalam bahasa yang sama. Untuk menjelaskan makna istilah ini dan cara berlangsungnya, kami kemukakan contoh berikut. Apabila kita misalkan bahwa kita mempunyai seorang pembicara yang kita beri lambang dengan huruf (A) dan pendengar yang kita beri lambang dengan huruf (B). A ingin mengatakan sesuatu kepada B dan B akan memahaminya. Di sini terjadi proses komunikasi melalui bahasa. Proses komuniksai terdiri dari langkah-langkah berikut. (1) Memilih makna Tentu saja, A akan mempunyai suatu makna yang ingin dia alihkan kepada B. Langkah pertama yang dilakukannya adalah menentukan makna yang mengungkapkan makna-makna yang hendak diungkapkannya. Ini menyerupai proses redaksi surat. Pertama penulis menentukan makna yang hendak diungkapkannya. (2) Memilih pola-pola sintaksis Setelah pembicara menentukan unit semantik yang sesuai dengan suratnya, dia menyusunnya dengan cara yang dituntut oleh sistem sintaksis dalam bahasanya. Misalnya, apabila pembi-cara 28 mempunyai makna-makna berikut: 5 – 4 * – , dia ingin mengatakan bahwa Muhammad telah menemui Ali, maka dia terpaksa menjadikan Muhammad sebagai fa’il (subjek) dan Ali 4 *. sebagai maf’ul bih (objek). Dia mengatakan : Adapun apabila dia ingin mengatakan bahwa Ali adalah yang menemui Muhammad, maka ketika itu kita ubah sistemnya, di mana kita jadikan yang menemui adalah subjek dan yang ditemui adalah objek serta kita katakan: ‫ا‬ 5 4* Di sini kita dapati bahwa bahasa Arab menggunakan tiga cara untuk menyusun makna dalam pola sintaksis, yaitu : (1) posisi atau urutan : tidak syak lagi bahwa urutan fa’il (subjek) sebelum urutan maf’ul bih (objek) dan man’ut sebelum na’at. (2) Tanda i’rab: i’rab menunjukkan makna-mkana yang dimaksud. (3) Persesuaian: Persesuaian mencakup ‘adad (jumlah), jenis, ta’rif (definitasi) atau tankir (non-definitasi). Unit-unit dasar yang dipakai untuk mengubah maknamakna ke dalam tanda-tanda sintaksis dinamakan unit morfologis (morfem). Morfem bisa berupa kata. Pada gilirannya, ini (kata) terbagai atas fi’il (verba), isim (nomina), sifat (adjektiva), zaraf (adverbia), adawat (partikel) dan haraf (kata tugas). Setiap unit itu mempunyai fungsi sintaksis khusus. Dan morfem bisa berupa bagian dari kata, seperti ‫ ا او‬atau ‫ ن‬7 ‫ ا‬atau ‫ ا ء‬dan ‫ ن‬7 ‫ ا‬yang menunjukkan jama’ mudzakar salim atau 8 9‫ا‬ yang menunjukkan jama’ muannats salim. Morfem yang mengungkapkan unit sintaksis terbagai atas tiga bagian, yaitu: (1) morfem tunggal, seperti : , - ‫– ا ب‬ (2) morfem yang terdiri dari dua unit, seperti : ‫با‬ Perhatian modern terhadap nahwu (sintaksis) tertuju pada hakikat bahwa pembicara mampu memproduksi jumlah kalimat 29 tak terhingga; pembicara mampu memahami kalimat-kalimat ini tanpa kesulitan yang berarti walaupun dia belum pernah mendengar sebelumnya. Dalam hal yang demikian itu, sebabnya berpulang pada keelastisan nahwu (sintaksis). Nahwu membolehkan mengubah satu kalimat ke dalam sejumlah besar kalimat. Misalnya, kalimat : ‫ ! أ; ه‬- ‫ ا‬4 * dapat berubah menjadi mufrad muannats, mutsanna mudzakkar, mutsanna muannats, jama’ mudzakkar, dan jama’ muannats. Setiap kalimat ini boleh diubah ke mabni majhul (bentuk pasif), kemudian bisa diubah ke uslub insya-i (bukan kalimat berita). Ini mencakup beberapa macam, antara lain : istifham (kalimat Tanya), thalab (kalimat permohonan), nahyi (kalimat larangan). Di samping itu, kalimat dapat berubah dari kalimat sederhana ke kalimat kompleks dengan partikel konjungsi khusus. (3) Mengubah morfem menjadi lambang-lambang mentalistik (fonem-fonem) Setelah itu morfem-morfem dapat diubah menjadi lambang-lambang mentalistik atau fonem-fonem sesuai dengan lambang-lambang yang tercakup dalam morfem. (4) Mengubah setiap fonem menjadi bunyi Inilah peranan yang dilakukan oleh otot-otot syaraf. (5) Melafalkan bunyi Otot-otot syaraf dapat mempengaruhi alat ucap (artikulasi) pada manusia untuk mengubah fonem yang telah terlebih dahulu diproduksi oleh otot syaraf ke dalam suatu bunyi. Misalnya, apabila pembicara dalam pembicaraannya hendak memakai kata: ( ‫)ر‬, maka pertama-tama otot urat syaraf mengubah fonem-fonem kata ini menjadi lambang-lambang mentalistik yang membentuknya, yaitu : ‫ ل‬+ < + ‫ ج‬+ + ‫’ر‬ kemudian alat ucap (artikulasi) itu mengubah fonem awal menjadi bunyi yang dapat didengar, fonem kedua dan demikianlah seterusnya. 30 (6) Ketika bibir melafalkan bunyi-bunyi ini secara berturut-turut dan cepat, maka bunyi-bunyi itu beralih ke kawasan udara. Di sinilah terjadi proses getaran udara; partikel-partikel udara yang membawa setiap bunyi ini ke telinga pendengar, yang pada gilirannya dialihkannya ke alat syaraf. Lalu, pertama, diubahnya ke dalam fonem-fonem; kemudian kedua, ke dalam unit-unit bunyi; kemudian ketiga ke dalam hubungan sintaksis; kemudian keempat ke dalam makna-makna sampai pendengar itu memahami maksud pembicara. 2. Bahasa dianggap sarana ekspresi tentang peradaban yang hidup di antara naungannya. Yang demikian itu karena bahasalah yang dapat mengekspresikan dan memenuhi tujuan-tujuan per-adaban ini. Setelah lahirnya Islam, bahasa Arab mulai meng-ungkapkan peradaban Islam, lalu mengadakan peristilahan baru yang mementingkan tujuan-tujuan peradaban ini, seperti: zakat, shaum, syahadah, shalat, raka’at dan tasyahhud. Ini tidak berarti bahwasanya ada suatu bahasa yang lebih utama daripada bahasa lainnya. Sebab, ia mengungkapkan peradaban lain tertentu atau lebih utama dari pada peradaban lainnya. Para linguis menegaskan bahwa setiap bahasa dapat memenuhi hajat peradaban tertentu. Akan tetepi ia terkadang bisa berupa alat yang tidak memadai apabila dipakai untuk meng-ungkapkan hajat peradaban lain. Dalam kenyataannya ekspresi yang baik menurut para penutur bahasa tertentu adalah ekspresi yang baik dalam kerangka peradaban yang memakai bahasa itu. Akan tetapi ekspresi itu mungkin berupa ekspresi yang tidak berterima atau tidak baik apabila dipakai dalam lingkup peradaban lain. Apabila kita mengira bahwa bahasa Perancis adalah bahasa yang paling sejalan dengan logika, maka yang demikian itu menuntut kita juga mengira bahwa peradaban Perancis paling sejalan dengan logika. Kenyataannya ialah bahwa bahasa Perancis 31 bukan bahasa yang paling logis, demikian pula dengan peradabannya. Jadi, tidak ada suatu bahasa yang dapat dikatakan bahwa bahasa itu paling sejalan dengan logika atau paling logis daripada bahasa lain. Dalam hal yang demikian itu, sebabnya adalah bahwa setiap bahasa tampaknya logis bagi para penuturnya. Itu karena bahasa merupakan sarana terbaik untuk mengungkapkan peradaban. BAB II SEJARAH KAJIAN BAHASA FASAL I FASAL II FASAL III FASAL IV FASAL V FASAL VI FASAL VII 32 : STUDI BAHASA DALAM PERADABAN LAMA : STUDI BAHASA DI KALANGAN BANGSA ARAB : STUDI BAHASA ARAB : LINGUISTIK MODERN : LINGUISTIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN ILIMU-ILMU LAIN : LINGIISTIK HITORIS : LINGUITIK BANDINGAN terdahulu meyakini bahwa langit telah mengirim air; buaya-buaya berenang dalam air itu dan pada punggungnya ada tanda tulisan; orang-orang India terdahulu meyakini bahwa Tuhan Brahma telah memberi mereka kemampuan berbicara dan menulis. Adapun para filosof filsafat Yunani dari kalangan para pendukung mazhab alami, maka filosof (Cratyle) melihat bahwa bahasa adalah sesuatu yang merupakan putra alam. Dan para pendukung teori sima’ dalam bahasa berpendapat bahwa bahasa adalah putra alam juga(1). Mereka berdalil tentang hal itu dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam bahasa. Seandainya bahasa itu merupakan hasil kesepakatan antar para anggota masyarakat yang bertutur dengannya, maka tentulah mereka bersepakat dalam memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka dan bahasa menjadi berlaku umum sebagaimana dikatakan oleh para pendukung analogi. FASAL I STUDI BAHASA DALAM PERADABAN LAMA Kajian-kajian bahasa pada masa silam terfokus pada dua poros dasar, yaitu asal usul bahasa dan hubungan antara lafal dan maknanya. 1. Asal usul bahasa Para linguis terdahulu tidak membedakan bahasa sebagai fenomena ujaran dan tulisan sebagai sistem untuk merekam ujaran, tetapi mereka mencampuradukkan keduanya. Dalam hal yang demikan itu, para linguis terdahulu mempunyai dua pendapat. * Pendapat pertama: Pendapat pertama mengatakan bahwa bahasa merupakan taufik dari Allah SWT. Orang-orang Mesir terdahulu mengatakan pendapat ini. Mereka meyakini bahwa Tuhan (Zos) adalah asalnya ujaran dan tulisan. Adapun orang-orang Babilonia berkeyakinan bahwa Tuhan Nabo adalah asal usul bahasa; orang-orang Cina 33 * Pendapat kedua Pendapat kedua mengatakan bahwa bahasa adalah hasil istilah masyarakat bahasa yang bertutur dengannya. Pendapat ini merujuk kepada para filosof Yunani yang dinamakan ittifaqiyyin (orang-orang yang bersepakat). Ini berarti bahwa bahasa merupakan salah satu hasil tradisi, konvensasi, dan kebiasaan manusia bagi masyarakat yang bertutur dengannya(1) dalam peradaban lama, manusia telah mengadakan beberapa ekspe-rimen untuk mengetahui bahasa manusia yang paling dahulu. Di antara eksperimen ini adalah: a. Fir’aun di Mesir, Absamatik (dia hidup pada abad 7 SM) telah mengatakan dua orang anak yang baru lahir pada tempat yang terpencil. Dia menyuruh para tukang tenung untuk memberikan perawatan kepada keduanya tanpa berbicara di depan mereka berdua. Dia berkeyakinan bahwa manakala tiba waktumu untuk berbicara tanpa menerima tanda kebahasaan apapun, maka 34 keduanya akan bertutur dengan bahasa manusia yang paling dahulu. Setelah dua tahun, kedua anak itu mulai mengulang-ulang kata yang namanya (Bekos), maka Fir’aun minta penafsiran tentang hal itu. Lalu dia mendapati kata itu berarti roti dalam bahasa yang berdekatan, yaitu bahasa yang nyata. Dari sini dia menyimpulkan bahwa bahasa ini merupakan bahasa yang paling dahulu. b. Raja Jims VI, raja Scotlandia pada tahun 1483 M telah mengadakan percobaan yang serupa. Dikatakan bahwa pada akhirnya kedua anak itu dapat berbicara bahasa Ibrani. c. Pada tahun 1797 M ditemukan seorang anak yang terlantar di hutan dekat Afriyun di Perancis. Para penemu anak itu berpendapat bahwa pada kekanak-kanakannya ia tidak pernah kontak dengan kelompok manusia. Mereka mengira bahwa dia akan berbicara bahasa Ibrani. Akan tetapi mereka terkejut bahwa anak tadi tidak mampu berbicara bahasa apapun yang dipakai manusia, tertapi ia bisa berteriak dengan kegaduhan yang menyerupai kegaduhan binatang. Dari sini dapat dikatakan bahwa eksperimen-eksperimen ini tidak akan membantu para linguis dalam mengetahui bahasa manusia yang paling dahulu. Deskripsi pertama konferensi bahasa yang diadakan di Paris pada permulaan abad ini me-rupakan masalah penelitian tentang bahasa manusia yang paling dahulu, bahwa masalah itu tidak menyerupai karakteristik ilmiah. Dalam masalah ini, Edward Sapir mengatakan: Tidak ada bahasa yang dapat dikatakan bahasa primitif dan sesungguhnya masyarakat primitif itu tidak bertutur kecuali dengan bahasa yang sempurna perkembangannya. 2. Hubungan antara lafal dengan makna 35 Pada masa lalu keyakinan mendominasi bahwasanya ada hubungan yang kokoh antara lafal dan maknanya. Oleh karena itu lafal itu suci dalam peradaban-peradaban ini. Misalnya, menurut orang-orang Yahudi, orang biasa tidak mampu melafalkan kata Allah, tetapi yang diucapkannya adalah Yang Maha Besar; dia tidak mengucapkan kecuali satu kali dalam setahun. Dan keyakinan itu mendominasi bahwa kata-kata mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengaruh yang besar. Kepercayaan ini masih dominan sampai sekarang. Misalnya, siapa di antara kita yang dapat mengatakan sarthan (penyakit kanker) di depan orang sakit. Dalam sebagian peradaban lama, ia meyakini bahwa seorang anak meninggal dunia, maka ibunya – ketika menjauhi anak yang kedua – menamakannya dengan lafal masy’um minhu (anak yang malang) untuk menjelaskan kepada ruh mayit bahwa anak yang baru telah terjaga dari kejahatankejahatan. Para filosof eksakta telah mengadopsi pendapat ini. Mereka mengatakan bahwa segala kata itu dahulunya sesuai secara alamiah dengan maknanya. Para filosof ini berpendapat bahwa situasi ini tidak dapat dibuktikan dengan mudah oleh masyarakat umum. Akan tetapi para filosof mampu berargumentasi terhadap situasi itu karena merekalah yang mampu mencapai hakikat melalui argumentasi logis. Dan di antara yang termasuk fakta ini adalah mereka sampai kepada konfirmasi pendapat ini. Demikianlah penelitian tentang isytiqaq (derivasi) itu berkembang (1), yaitu suatu istilah yang berarti menurut mereka – sampai kepada hakikat dan mengetahui kenyataan. Di antara bukti-bukti yang meraka jadikan dalil akan kebenaran pendapat mereka adalah hubungan yang alami antara: lafal dan kata-kata yang bermakna. Ada kata-kata yang maknamaknanya ditirukan. Dalam kedua kasus ini, ada hubungan yang alami antara lafal dan maknanya. Adapun istilah yang mem36 persatukan kedua macam ini adalah (ono ma to pacia). Para filosof ini berpendapat bahwa hubungan dalam permulaan menciptakan bahasa-bahasa – dahulunya – merupakan hubungan nominasi, di mana pada permulaannya suatu kata dibuat untuk segala sesuatu, yang merupakan peniruan bunyi terhadap sesuatu yang maujud bahannya. Kemudian setiap sesuatu itu mempunyai makna tersendiri; tidak ada perbedaan yang substansial antara sesuatu dan maknanya kecuali menurut panca-indra. Sebab itu mata dapat melihat sesuatu dan telinga dapat mendengar sesuatu. Dengan demikian gambaran audio betul-betul cocok dengan gambaran visual(1). FASAL II STUDI BAHASA DI KALANGAN BANGSA ARAB Kajian bahasa di kalangan bangsa Arab muncul pada pertengahan abad pertama hijriyah untuk berkhidmat kepada Al Qur’an dan memberantas lahn (kesalahan dalam i’rab) yang tersiar pada bahasa karena bangsa-bangsa yang terkalahkan bergabung dengan bangsa Arab dan lemahnya tabiat kebahasaan di kalangan mereka. Hal itu disebabkan mereka berurbanisasi ke perkotaan Islam dan jauhnya dari sumber-sumber bahasa yang fasih (stnadar) hingga pada kalangan para hali balaghah(1). Ibnu Salam berkata: Saya telah diberi khabar oleh Unus bin Habib. Hajjaj berkata kepada Ibnu Ya’mur: Apakah kau dengar aku berlahn (melakukan kesalahan dalam i’rab). Jawab Ya’mur: Satu haraf. Hajjaj bertanya : Mana? Jawab Ya’mur: dalam Al Qur’an Hajjaj bertanya : Apa itu? Ya’mur menjawab : Kau baca : 37 ‫ ؤ ! وا; ا> ! وأ ! و = ) ! أ ال ا* ) ھ‬74‫ ؤ ! وأ‬4‫)* ان ن آ‬ (B C‫ ﷲ ور‬2 ! ‫ ا‬E‫ أ‬F> <) 2 - ‫ دھ و‬- ‫= ن‬G ‫و " رة‬ (2)(24 : 4 ‫ رة ا‬C) Dia membacanya dengan rafa’; seolah-olah ketika kalam itu panjang, dia lupa akan permulannnya. Adapun cara membacanya adalah ! ‫ ا‬E‫ أ‬dinasabkan karena ia sebagai khabar kaana. Hajjaj menjawab: Tidak apa-apa, kau tidak akan dengar lagi aku salah dalam i’rab selama-lamanya. Dia dibuang ke Kurdistan(3). Kajian-kajian ini mencakup pembahasan dalam berbagai tataran bahasa, seperti fonologi, sintaksis, semanntik dan leksikografi. 1. Buku-buku Ath-Thabaqat dinisbatkan kepada Abul Aswad Ad Duali bahwa dia telah mendeskripsikan makhrajul harakat (tempat-tempat artikulasi vokal) dan membuat lambang khusus bagi setiap harakat (vokal). Untuk itu dia mengambil seorang penulis dari Bani Abd Qais dan dia mengatakan kepadanya: Apa bila kau lihat aku membuka kedua bibirku untuk melafalkan huruf, maka letakkan sebuah titik di atasnya; jika aku membundarkan kedua bibirku, maka berilah titik di antara depan huruf itu; dan jika aku kebawahkan kedua bibirku, maka jadikanlah titik itu di bawahnya. Maka jika aku mengikutsertakan ghunnah (tanwin) kepada sesuatu dari hal yang demikian itu, maka jadikanlah tempat titik itu dua titik. Abu Aswad memulai mushaf itu hingga selesai pada akhirnya, sementara penulis itu membuat titik dengan celupan yang berbeda dengan warna tinta yang dipakai menulis ayat Al Qur’an. Kemudian penduduk Madinah – setelah itu – menemukan tanda tasydid, yaitu kedua ujungnya berupa kurung sampai ke atas, dengan gambar demikian ( ◌ّ ). Tanda tasydid diletakkan di atas 38 huruf yang berharakat fathah dan di bawah huruf yang berharakat kasrah serta pada sebelah kiri huruf yang berharakat dhammah(1). Setelah itu, Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi (89 H) membedakan bunyi-bunyi yang mirip dalam Al Qur’an, lalu dibuat titik baru pada huruf-huruf yang mirip yang terdapat dalam Mushaf dalam tulisannya, kemudian sebagainnya diberi titik di atasnya dan sebagian lagi di bawahnya hingga sempurna hurufhuruf diberi titik, yaitu yang kita kenal sekarang. Penitikan ini dinamakan nuqthah al-i’jaam(1). Kajian fonologi berkembang di tangan Khalil bin Ahmad. Dia telah meneliti bunyi-bunyi dari tiga aspek. Pertama, rasa bunyi-bunyi huruf melalui buka mulut dengan alif berhamzah yang diiringi oleh huruf bertanda sakin (konsonan). Pada ‫ ء‬# ‫ا‬ diucapkan ‫ ;أب‬pada ‫ ا ء‬diucapkan ‫ ;أت‬dan seterusnya. Dengan demikian jelaslah bunyi huruf yang diwaqafkan menjadi sakin (konsonan); berhenti sebentar padanya. Aspek kedua adalah deskripsi nada bunyi huruf, yaitu hams (tak bersuara) jahr (bersuara), syaddah(letupan), rakhwah (geseran), isti’la (tinggi), istifal (rendah); dan deskripsi bunyi-bunyi harakat (vokal) termasuk imalah, raum dan isymam. Adapun aspek ketiga adalah perubahan bunyi yang terjadi pada bentuk kata yang membawa kepada qalb (penukaran), hadzf (pembuangan) i’al, ibdal (penggantian) dan idgham. Mendalami aspek-aspek ini betul-betul mendorongnya untuk memasukkan pada penitikan atau pemberian titik tandatanda untuk rom, isyam, tasydid dan hamzah yang bersambung dan terpisah. Khalil bin Ahmad telah menciptakan tanda pensyakalan yang masih kita pakai sekarang, karena dia telah mengambil dari huruf-huruf mad bentuk/gambarnya dalam bentuk mini untuk indikasinya. Dhammah adalah wau kecil di atas huruf; kasrah adalah ya bersambung di bawah huruf; dan fathah terbentang di atasnya. 39 Kajian fonologi berkembang dengan cemerlang di tangan dua ilmuwan kenamaan, yaitu: 1) Abul Fath Utsman bin Jinni (392 H); dia mengkhususkan menyusun buku khusus tentang fonologi yang dia beri nama ‘Sirr Shinaa’atil I’rab; di dalamnya ia berbicara tentang makhrajul huruf (tempat artikulasi huruf) dan sifat-sifat/cara-caranya, apa yang terjadi pada bunyi kata termasuk i’lal, ibdal, pengalihan dan pembuangan serta kese-larasan huruf yang berlaku, yang membawa kepada keindahan bunyi; dan 2) Ibnu Sina, Filosof terkenal dalam risalahnya tentang sebab-sebab terjadinya huruf. Bangsa Arab telah memanfaatkan kajian fonologi dalam qiraat dan tajwid Alqur’an. Mereka menaruh perhatian terhadap aspek ini sehingga ilmu tajwid merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Mereka memanfaatkannya juga dalam studi I’jazil Qur’an. Yang demikian itu karena studi fonologi dapat mem-bantu mereka dalam mementingkan tanaafur (incom-patibility) dan taaluf (keselarasan) antar bunyi-bunyi satu kata dan pengaruh jauh dekatnya dalam hal itu. Ali bin Isa ar-Rummani mengatakan dalam bukunya ‘An-Nakt fi I’jazil Qur’an – setelah dia membagi kalam (ujaran) ke dalam mutanaafir (takselaras) dan mutalaim (selaras): (B ‫)آن‬+ ‫ا‬ ‫ ا‬+#K ‫ ا‬5 ‫ؤم‬L ‫)وا‬ ‘Talaaum (keselarasan) dalam tingkatan tinggi adalah Al Qur’an seluruhnya. Juga, bangsa Arab memanfaatkan juga studi fonologi dalam penyusunan kamus. Khalil bin telah menyusun kamus ‘Al Ain’ berdasarkan makhrajul huruf. Demikian pula Ibnu Darid telah menyusun kamus ‘Al-Jamharah’. 2. Nahwu (Sintaksis) dan Sharaf (Morfologi). Para lingius belum sepakat dalam menentukan orang pertama yang telah menyusun dasar-dasar ilmu nahwu dan sharaf. 40 Sirafi mengatakan: Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar ilmu. Ada orang-orang yang mengatakan: Abul Aswad ad-Duali; katanya : dia-lah Nashr bin Ashim; bahkan katanya : dia-lah Abdurahman bin Hurmuz. Akan tetapi kebanyakan orang mengatakan bahwa penyusunnya adalah Abul Aswad ad-Duali. Ibnu Salam mengatakan: Orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar bahasa Arab, membuka pintunya, membuat jalannya, dan membuat analoginya adalah Abul Aswad adDuali(1) (2). Akan tetapi kita tidak memiliki argumentasi yang dapat membuktikan kebenaran riwayat-riwayat ini. Dr. Syauqi Haif berpendapat bahwa Abul Aswad-lah yang telah memberi titik pada akhir kata-kata dalam mushaf, sebagaimana telah kami buktikan sebelumnya. Dan dia mengatakan tugas inilah yang diberikan oleh Sarafi bahwa Abul Aswad telah menyusun kaidah bahasa Arab dan dia-lah yang merupakan penyebab adanya perbedaan masalah – setelahnya – tentang para perowi. Mereka mengira bahwa Abul Aswad telah menyusun ilmu nahwu dan sedikit mengira bahwa Abul Aswad telah menyusun ilmu nahwu dan sedikit tentang bab-babnya. Ilmuwan yang pertama kali kita dapati padanya perintis ilmu nahwu adalah Ibnu Ishak al-Khadhrami (wafat tahun 117 H). Ibnu Salam memerikannya seraya mengatakan: Dia adalah orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu dan mem-bentangkan qiyas (analogi) dan i’lal; dia lebih abstrak dalam menyusun qiyas (analogi). Sesungguhnya Ibnu Abi Ishak sangat keras pendiriannya sehingga membuatnya menghapuskan syadz (anomalous) dan tidak mempercayainya, baik dalam syadz yang sedikit maupun yang banyak. Manakala yang syadz itu bertabrakan dengan pendapatnya, maka dia menyalahkannya atau menakwilnya. Adapun dari segi induksi, dia telah mensyaratkan keabsahan bahan yang menjadi dasar pengambilan ilmu qawa’id. 41 Oleh karena itu dia dan para linguis modern lainnya dan berikutnya mengembara ke pedalaman Najed, gurun sahara Hijaz dan Tihamah untuk mengumpulkan korpus bahasa dan sumbersumbernya yang bersih yang tidak tercemar oleh peradaban. Ini berarti bahwa para linguis mengembara ke kabilah Tamim, Qais, Asad, Thay, Hudzail dan sebagian kabilah Kinanah. Mereka menambahkan pada sumber yang pokok suatu sumber nomaden, yang mengembara ke negeri mereka dari gurun sahara Najed, yaitu sekelompok penulis bangsa Arab, yang datang ke Basrah dan bertugas mengajari para pemudanya bahasa Arab fusha (baku) yang benar, syair-syairnya, dan qiraatnya menjadi bantuan yang tidak ada habis-habisnya bagi mereka dalam menyusun kaidah bahasa. Mereka (para linguis) tidak berhujjah dengan hadits Nabi dan menjadikannya sebagai imam untuk bukti-bukti dan contohcontohya. Sebab, hadits itu diriwayatkan melalui maknanya karena belum tertulis dan belum terbukukan kecuali pada tahun 100 H (3). Dari sajian ini kita dapat menyimpulkan bahwa Ibnu Abi Ishak telah menaruh perhatian kepada qiyas (analogi), dan ta’lil (pemberian alasan), dengan arti bahwa hal itu tidak cukup dengan kaidah, melainkan ia menaruh perhatian kepada ta’lilnya secara mentalistik. Ta’lil mentalistik itu telah dijadikannya sebagai pegangan yang ketat pada kaidah-kaidah yang diberi alasan itu dan analoginya secara cermat, yang menyalahkan setiap orang yang menyimpang daripadanya dalam ekspresinya. Di antara hal yang demikian itu, adalah terjadinya perdebatan dengan Faradzak tentang beberapa syadz nahwi (anomali sintaktis) yang tercantum dalam syair-syairnya. Dia berkata kepada Faradzak dalam menyanjung Yazid bin Abdil Malik: 7O 42 P ‫ ر‬Q7 2K+ ‫ ا‬8, 7 R 4 74)' – ‫م‬M= ‫ ل ا‬N 2 #+ ),‫ ر‬FG P S 8E‫ زوا‬P ‫ وأر‬P+ , Kemudian Ibnu Abi Ishak menjawab: ),‫ ر‬5‫ ا> ھ‬,‫ت‬MC‫أ‬ Dalam bait lain, dia berkata kepada Faradzak : ‫ف‬ ‫أو‬ - 9‫ ا ل ا‬2 ‫ ع‬, ! ‫ )وان‬24 , ‫ ز ن‬T ‫و‬ Lalu ia bertanya kepada Faradzak : ‫ ؟‬8 " ‫ أو‬V ‫! ر‬4 Maka Faradzak menjawab : ‫و ا‬M ‫! أن‬ ‫ك و‬W7,‫ك و‬W-, 4 Kajian nahwu dan sharaf berkembang di tangan Khalil bin Ahmad, karena dia-lah yang telah memberi nama alamat (tandatanda) i’rab dalam segala isim dengan nama rafa’, nashab, dan khafadh. Adapun harakat isim mabni dinamainya dhammah, fathah dan kasrah. Adapun sukunnya dinamainya waqaf kasrah ghair munawwanah (kasrah takbertanwin), seperti (‫ ﷲ‬# 4 ‫) )رت‬ dinamakan jarr. Demikian juga, sukun yang terletak pada akhir fi’il mudhari’ majzum dinamakan jazm. Dia berpendapat bahwa alif, ya dan wau dalam isim mutsanna dan isim jama’ mudzakkar salim adalah sama dengan huruf i’rab. Dan dia berpendapat bahwa isim fi’il itu mabni, tidak menempati tempat i’rab. Dia-lah yang telah membagi kata ke dalam mujarrad (kata dasar murni) dan mazid (kata jadian). Dia mengamati bahwa katakata mujarrad tidak lebih dari lima huruf dan tidak kurang dari tiga huruf; dan dia telah membuat mizan sharfi (morfem) dan aturanaturan i’lal dan qalb(1). 3. Mu’jam (Leksikon) Sebelumnya telah kita jelaskan bahwa para linguis mengembara ke pedalaman Najed sahara Hijaz, dan Tihamah untuk mengumpulkan korpus bahasa dari sumbernya yang jernih. Pertama-tama pengumpulan ini dilakukan melalui tatap muka dan hafalan dan korpus bahasa yang dikumpulkan itu tidak disusun 43 secara metodologis. Prof. Ahmad Amin mengatakan: Para pencatat pendahulu korpus bahasa pada masa ini mencatat kosakata sebagaimana adanya dan mudah bagi mereka mendengarnya. Terkadang mereka mendengar sebuah kata tentang fars (kuda), ghaits (hujan) dan rajul qashir (orang pendek). Demikianlah mereka mengaitkan apa yang mereka dengar tanpa tersusun. Abu Amr bin al-‘Ala dianggap termasuk linguis terpenting yang menaruh perhatian pada pengumpulan korpus bahasa dari sumbernya yang jernih. Perkataan orang Arab yang sampai kepada Anda dinisbatkan kepadanya kecuali yang paling sedikit. Dan seandainya kalian didatangi sesuatu dalam jumlah yang banyak, tentulah kalian telah didatangi oleh ilmu dan syair yang banyak. Sesudahnya datanglah tingkatan para linguis yang menyusun risalah-risalah kecil. Mereka mengambil korpus bahasanya dari mulut orang-orang Arab tulen dan korpusnya disusun berdasarkan topik-topik. Di antara mereka ini adalah: a. Ashma’i (tahun 216 H); dia telah menyusun 4 (empat) risalah tentang ibil (unta), kahail (kuda), syat (domba) dan wuhusy (binatang liar); b. Abu Zaid al-Anshari (tahun 214 H); dia menyusun 4 (empat) risalah tentang mathar (hujan), hamz dan nawadir (kata-kata yang jarang) tentang lughah (bahasa) dan laban (susu); c. Al-Farra (tahun 203 H); dia menyusun risalah-risalah tentang ayyam (hari-hari), layali (malam-malam), isim manqush, isim mamdud, mudzakkar dan muannats; d. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (tahun 224 H); dia menyusun kitab ‘Al-Gharib al Mushannaf)’(1). Sesudah itu, berkembanglah karangan tentang mu’jam (leksikon) dan kata-katanya disusun secara fonetis atau secara alfabetis. 44 (jamak). Dia-lah yang telah membedakan 3 (tiga) sta-tus i’rab, yaitu: rafa’, nashab dan jarr. Dan Plato telah mengkaji jumlah (kalimat); dia melihat bahwa jumlah tersusun dari dua katagori logis, yaitu: musnad (predikat) dan musnad ilaih (subjek). Plato berpendapat bahwa kaidah-kaidah nahwiyah adalah satu-satunya sarana untuk memelihara kejernihan bahasa; kaidahkaidah nahwiyah merupakan bagian dari kajian yang lebih luas, yaitu kajian filsafat. Dari sinilah, dia menafsirkan kaidah-kaidah nahwiyah secara filsafat. Dia berkeyakinan bahwa kajian filsafat mempunyai kepentingan yang besar untuk memahami struktur kalimat dan struktur kata. Dia menegaskan bahwa perbedaan antara orang dungu dan orang bijaksana menyerupai perbedaan antara ahli nahwu yang tidak mengetahui aturan-aturan logika dan ahli nahwu yang mengetahui aturan-aturan ini dengan baik. Dia berpendapat bahwa filosof sajalah yang ahli (berkompeten) untuk mengkaji hukum-hukum nahwu. Dan dia berpendapat bahwasanya nahwu itu tidak cukup berdasar pada kajian struk-tural tentang bahasa. Akan tetapi nahwu berdasar pada aturan-aturan ‘illat, karena ta’lil kaidah-kaidah nahwiyah menurutnya lebih penting daripada kaidah-kaidah itu sendiri. FASAL III STUDI BAHASA DI KALANGAN BANGSA BARAT 1. Studi Bahasa di kalangan bangsa Yunani. Pada masa-masa pertengahan, kajian bahasa terbatas pada nahwu (sintaksis). Para linguis Eropa beranggapan bahwa Plato (429 – 347 M) adalah pencetus ilmu nahwu (sintaksis). Maka Plato adalah orang yang telah mengadakan apa yang dinamakan katagori-katagori sintaksis. Karena itu dia-lah yang telah membagi kalimat (kata) ke dalam isim (nomina), fi’il (verba). Kemudian Aristoteles menambahkannya bagian yang ketiga, yaitu harf. Dia membagi isim ke dalam mudzakkar (maskulin) dan muannats (feminin), dan mufrad (tunggal), mutsanna (dualis) dan jama’ 45 2. Studi Bahasa di Madrasah al-Iskandariyah. Madrasah ini menaruh perhatian pada kajian penyeli-dikan manuscript-manuscript yang mencakup teks-teks syair (homeros). Demikianlah dapat dikatakan bahwa madrasah ini telah melampui kajian nahwu ke kajian fiqhullughah (filologi). Ia tidak cukup mengkaji nahwu dan aturan-aturannya sebagai-mana dibatasi oleh Plato, melainkan juga hal itu telah terwujud dalam teks-teks klasik dan dekomentari. Dalam syair ini, ia telah menunjukkan aspekaspek yang sulit dan telah menjelaskannya secara sintaksis. Kemudian ia membandingkan teks-teks ini dan bahasa Yunani yang ketika itu ia pernah dominan di Iskan-dariyah. Madrasah itu 46 menyimpulkan bahwa bahasa syair (Homeros) lebih jernih daripada bahasa yang dipakai pada zamannya. Hasil-hasil kajian madrasah Iskandariyah telah menaruh perhatian pada perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan dan pada perubahan atau perkembangan yang datang pada bahasabahasa sepanjang zaman(1). 3. Studi Bahasa di kalangan Bangsa Rumawi Bangsa Rumawi telah menerapkan metode-metode Yunani secara utuh. Para linguis mereka betul-betul terpengaruh oleh metode-metode Yunani. Pengaruh ini jelas dari buku yang disusun Varron sekitar bahasa latin. Demikianlah kajian-kajian nahwu di Rumawi masih tunduk pada filsafat Yunani. Di kalangan bangsa Rumawi terus berlangsung silang pendapat yang berkepanjangan yang berkisar antara para penganut qiyas (analogi) dan para penganut sima’ (simak). Di antara kesimpul-annya adalah bahwa filosof Rumawi (Sizar) telah menyusun sebuah buku tentang nahwu dalam bahasa latin yang menerapkan teori qiyas secara cermat. Kemudian Deyns menyusun sebuah buku tentang nahwu dalam bahasa latin yang menjelaskan konsep nahwu, bahwa nahwu merupakan seni memperbaiki ujaran (tuturan), memperbaiki pemahaman para penyair terkemuka; dia membedakan uslub (gaya bahasa) yang baik dan yang jelek; nahwu menaruh perhatian pada kajian uslub yang baik saja. Dalam nahwu itu, dia menganut prinsip-prinsip yang telah dibuat oleh Plato dan Aristoteles untuk kajian nahwu(1). Pada masa keemasan bahasa latin dan mulai tahun 400 M lahirlah dua buku tentang nahwu. Buku pertama adalah nahwu hasil karya Donat; ia disusun sekitar tahun 400 M. Buku kedua adalah nahwu hasil karya Priscian. Dalam kedua buku ini terdapat pemerian yang cermat tentang bahasa tingkatan masyarakat terdidik. 47 4. Studi Bahasa Pada Abad Pertengahan Pada pase ini, pentingnya bahasa latin di Eropa semakin bertambah. Peningkatan apapun di masyarakat dinilai berdasarkan kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa latin. Bahasa latin adalah bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayan serta bahasa-bahasa bidang diplomatik. Akan tetapi bahasa latin melemah akibat menjalarnya bahasa latin pada tangan Aritokritiyah. Demikianlah bahasa latin telah menjauh dari pemakaian sehari-hari. Ia menjadi bahasa tulis yang lebih banyak daripada bahasa lisan. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam pelafalannya di suatu daerah dengan daerah lain. Sesungguhnya hal ini membawa kepada wajibnya menaruh perhatian terhadap bahasa tulis. Pada pase ini, muncullah sekelompok skolistik yang mengajak merangkum segala ilmu pengetahuan yang dominan. Di antara ilmu-ilmu ini adalah ilmu nahwu. Lalu mereka merangkumnya ke dalam seperangkat rangkuman kaidah. Mereka berpendapat bahwa induksi fakta menjadi mudah apabila rangkuman kaidah telah diketahui dan sesungguhnya bahasa merupakan sarana yang tepat untuk menganalisis bagian-bagian fakta. Oleh karena itu mereka menaruh perhatian terhadap semantik. Adapun metode nahwu, maka mereka berijtihad dalam isytiqaq (derivasi) katagori-katagori nahwu dari katagori-katagori logika dan metafisika. Mereka menetapkan bahwa kewajiban nahwu ilmiah atau reflektif adalah menemukan prinsip-prinsip yang menjadikan kata sebagai suatu yang berhubungan dengan jiwa manusia dari satu segi dan berhubungan dengan sesuatu yang bermakna dari segi lain. Prinsip-prinsp ini berlaku umum dan universal, kecuali bagaimana bahasa itu dapat menjadi sumber pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa nahwu itu sama dalam segala bahasa meskipun ada perbedaannya. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwasanya ketika kita mengetahui nahwu pada satu 48 bahasa, maka kita akan mengetahui nahwu segala bahasa. Hal yang demikian itu karena nahwu merupakan sub-stansi bahasabahasa. Dan apabila kita tidak berbicara tentang segala bahasa dan tidak memahami penuturnya, maka hal itu berpulang kepada perbedaan kata-kata dan perbedaan bentukan baru dalam nahwu(1) 5. Studi Bahasa pada Masa Kebangkitan Masa kebangkitan menyaksikan suatu perubahan tentang konsep-konsep yang dominan hingga waktu itu. Kemudian muncullah Sisron dan mengajak ke humanisme dengan menganggapnya sebagai sinonim bagi kata hadrarah (peradaban) dan lawan bagi kata wahsyiah (kesunyian) sehingga menjadi tinggilah suarasuara yang menyerang skolistik dan tersiarlah pendapat bahwa sastra pada masa pertengahan merupakan sumber bagi nilai-nilai peradaban. Pada akhir abad 15, penemuan alat hitung dapat membantu orang dalam menerbitkan secara pesat teks-teks sastra dan ini telah membantu dalam menaruh perhatian pada penerbitan buku-buku nahwu, karena menurut mereka buku-buku tersebut dapat membantu dalam memamahi teks-teks yang berbahasa latin yang baik. Perhatian itu tidak lagi terbatas pada bahasa Latin, tetapi perhatiannya menjangkau kajian nahwu dalam bahasa-bahasa lain, seperti nahwu dalam bahasa Yunani dan nahwu dalam bahasa Ibrani. Bahkan telah lahir buku-buku tentang nahwu dari sebagian bahasa Eropa. Kemudian muncullah sebuah buku tentang nahwu dalam bahasa Irlandia, bahasa Brovansalia dan bahasa Perancis. Di Perancis telah muncul pandangan/kecen-derungan terhadap nahwu rasionalis-reflektif. Kecenderungan ini berpulang kepada kelompok Port Royal. Pada tahun 1600 M, mereka telah menerbitklan nahwu umum dan rasionalis. Di dalamnya mereka berargumentasi bahwa konstruksi bahasa ada-lah hasil penalaran 49 dan bahasa tidak mengemukakan perbedaan dalam sistem yang logis dan bernalar. Kemudian kajian itu memutuskan cabang lain di tangan akademika Perancis yang didirikan oleh Rechiliea pada tahun 1637. Para anggota akademika beranggapan bahwa nahwu adalah teknik/seni berbicara dan menulis yang benar. Adapun tujuannya adalah menemukan hubungan antarunsur bahasa, baik secara alamiah maupun kesepakatan (buatan). Peranan ahli nahwu adalah memerikan pemakaian yang baik dan melindunginya dari kepunahan, seperti masuknya kosakata asing dan peristilahan teknis serta kata-kata umum yang muncul dari hari ke hari akibat dari pergaulan individual di bidang perdagangan, perindustrian, eksakta dan kelakar(1). Hanya saja upaya terpenting untuk mengkaji nahwu pada masa kebangkitan adalah upaya yang telah dilakukan oleh Dantry dan dengannya dia telah memerikan bahasa Italia. Dia betul-betul menjauhi cap filasafat yang membedakan kajian-kajian bahasa secara umum dan kajian nahwu secara khusus sebelumnya dan sesudahnya. 6. Lahirnya Metode Bandingan. Upaya yang paling awal untuk menghindari cap filsafat dalam kajian nahwu itu disandarkan pada upaya yang pernah di lakukan oleh Danty dan dengannya dia memerikan bahasa Italia. Dia telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul ‘Bahasa Masyarakat’; di dalamnya ia berbicara tentang asal usul bahasa Italia dan hubungan bahasa Italia dengan bahasa Provinsi. Mayoritas linguis menghendaki kecenderungan ini tumbuh berkembang nanti pada masa penjelajahan geografis. Pada masa itu telah ditemukan banyak bahasa yang belum diketahui 50 sebelumnya. Itu perlu dikaji. Oleh karena itu, para linguis terpaksa berfikir tentang suatu metode yang selain metode Plato untuk mengkaji bahasa-bahasa ini. Telah ada ajakan kepada menirukan upaya Danty untuk mengkaji bahasa Italia sebagai telinga yang mendengarkan. Kemudian setelah itu terjadi bahwa Sir William Jons yang pernah menjabat sebagai hakim di Mahkamah Tinggi di Bengal itu telah memproklamirkan pen-dapatnya tentang hubungan kebahasaan antara bahasa Sanse-kerta, bahasa Persia Klasik, bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Jerman dan bahasa Kiltia. Kajian Sir William Jons merupakan pengantar ke metode yang mengkristal nanti. Metode itu dikenal dengan metode bandingan dan di antara para pendukungnya adalah: (1). Schleget menerbitkan sebuah buku tentang bahasa dan pengetahuan pada tahun 1808 di kalangan orang India dan mengajaknya ke nahwu bandingan. (2) Pada tahaun 1808 M Franz Bopp telah menerbitkan bukunya yang penting yang membatasi kelahiran filologi bandingan; judulnya: ‘Sistem Infleksi dalam Bahasa Sansekerta’. Dalam buku itu dia membandingkan bahasa sansekerta dengan bahasa Latin, bahasa Persia dan bahasa Jerman. Pada tahun 1823 dia menerbitkan sebuah buku lain yang berjudul ‘An-Nahwu alMuqaran’ (Gramatika Bandingan). Dalam buku tersebut dia membandingkan bahasa Sansekerta dengan bahasa India, bahasa Armenia, bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Litwania, bahasa Salafia, bahasa Kuta dan bahasa Jerman. (3). Pada tahun 1861 M Augets telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul : ‘Tarkib Nahwil Muqaran fi al-Lughat al-Hindo Jirmaniyah’ (Struktur Gramatika Bandingan dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman). (4) Pada tahun 1818 M Rasik telah menerbitkan sebuah buku tentang bahasa Islandia. Dalam buku itu dia berusaha mencapai 51 asal mula bahasa Islandia klasik dengan membandingkan sejumlah besar bahasa Indo-Jerman. (5). Pada tahun 1819 Garim telah menerbitkan bagian pertama dari bukunya, an-Nahw al-Almany (Gramatika Bahasa Jerman); dia membaginya ke dalam pase-pase sejarah. Buku ini menaruh perhatian terhadap an-Nahw at-Tarikhy (Gramtaika Historis). Pada tahun 1822 M dia merivisi bagian ini dan menambahkan perubahan bunyi dalam bahasa-bahasa yang dia bandingkan. Dari uraian itu dia menyimpulkan kaidah-kaidah yang tetap bagi perubahan ini, yang kemudian dikenal dengan nama ‘Kaidah Garim’. (6) Pada tahun 1870 lahirlah kelompok ahli nahwu baru (Neo Drammarians). Kelompok itu mencakup Karl Ferner, Herman Paul dan Brugmann. Kelompok ini menganggap bahwa bahasa Sansekerta mencerminkan dasar penelitian bahasa. Karena itu, pembelajaran bahasa harus bersandar pada bahasa Sansekerta dalam menjelaskan fenomena bahasa Eropa. Dalam hal itu Maks Molr mengatakan bahwa bahasa Sansekerta adalah satu-satunya dasar bagi filologi badingan dan akan mengabadikan satu-satunya petunjuk yang tepat bagi ilmu ini. Linguis filologi bandingan yang tidak mengetahui bahasa Sansekerta, perumpa-maannya seprti ilmuwan falak yang tidak mengetahui eksakta. Metode bandingan berusaha membuktikan bahwa bahasabahasa itu berubah dan berbagai bahasa mirip dalam satu segi dan dua segi (1). Metode ini menaruh perhatian pada pemben-tukan bentuk-bentuk morfologis dan struktur sintaksis bagi ber-bagai bahasa untuk dibandingkan. Dari perbandingan itu dapat disimpulkan dua hal: a. derajat hubungan antarbeberapa bahasa yang diteliti; b. bentuk yang tampak lebih dekat kepada bahasa ibu yang dianggap sebagai asal usul bahasa-bahasa yang sama. 52 Ketika linguis menetapkan berbagai bahasa dihubungkan kepada asal-usul yang kolektif, maka pertama-tama dia harus meyakini bahwa bahasa-bahasa itu sama semuanya dalam tiga hal, yaitu : a. struktur gramatika dasar; b. kosakata; c. fonetik dan fonemik(1). Setelah metode bandingan itu diteliti secara induktif, mulailah kajian-kajian bahasa semakin mejauhi pengaruh filsafat dan dalam waktu yang sama kajian itu mendekati metode ilmiah eksperimental. Maka kajian bahasa terfokus pada analisis teks yang ada, dengan mengisolir interferensi unsur-unsur lain. Ini berarti bahwa kajian itu tidak boleh bercabang ke luar ruang lingkup teks. Demikianlah kajian-kajian bahasa modern berdasar pada prinsip kemandirian. Ini membuat linguistik sebagai ilmu yang berkaitan dengan kajian bahasa. Oleh karena itu linguis akan memandang linguistik sebagai konstruksi kebahasaan sebagaimana insinyur memandang bangunan sebagai konstruksi arsitektur. Unsur-unsurnya mempunyai keistimewaan dengan kemandirian internal yang bergerak dalam kerangkanya tanpa mengacu atau merujuk pada unsur-unsur eksternal (Extra Linguistics). 1. De Saussure Lahirnya linguistik modern adalah berkat jasa linguis, Ferdinand De Saussure. Pada tahun 1916 M, diterbitkan – setelah tiga tahun dari wafatnya – bukunya yang terkenal ‘Durus fi ‘Ilmillughah al-‘Aam’ (Coourse in General Linguistics). Buku ini telah mempengaruhi secara efektif segala kajian bahasa yang lahir di Eropa dan Amerika, yang dicetak pada periode tiga puluh tahunan. Sebelum kita berbicara tentang isi buku ini dan teori yang telah dikristalisasi oleh para linguis, kemudian dikenal dengan nama teori De Saussure, kita melihat penguasaan tentang gagasan pokok dari linguis ini. De Saussure lahir pada tahun 1857 di Genif dan wafat pada tahun 1913. De Saussure menaruh perhatian pada bahasa IndoEropa, juga pada bahasa dan sastra Jerman. Dia telah menyusun sebuah buku penting tentang gerakan Jerman, yang berjudul : ‘AlHarakat’ (Gerakan-gerakan). Dia pernah bekerja sebagai guru FASAL IV LINGUISTIK MODERN 53 54 besar tata bahasa bandingan di Universitas Sorbon di Perancis. Di antara orang-orang yang telah mempengaruhi pikiran orang ini adalah empat orang, yaitu: (1) D. Whitney (1818-1894), dia adalah linguis Amerika yang menaruh perhatian pada bahasa Sansekerta; di antara karangannya adalah : ‘Al-Kalam wa Dirasatul Kalam’. Dalam buku itu dia menonjolkan konsep bahasa dan sistem bahasa serta konstruksi bahasa. Konsep inilah yang mempengaruhi De Saussure sehingga terdorong untuk berfikir tentang linguistik deskriptif. (2) Baudouinde Courtenay (1845-1929), linguis Polania dan spesialis dalam ilmu fonologi. Linguis ini telah mempengaruhi De Saussure sehingga terdorong untuk membatasi unit-unit kebahasaan dan memerikan bahasa sebagai suatu sistem dari perselisihan-perselisihan. (3) Ch. S. Peirce (1839-1914), dia berbicara tentang bukti kebahasaan. Masalah ini betul-betul telah memepengaruhi De Saussure untuk mengkonstruksi apa yang disebut ilmu lambang Semiotik(1). (4) Emile Durkheim (1858-1917), dia adalah sosiolog; De Saussure terpengaruh oleh pendapatnya tentang kajian fenomena sosial, khususnya ketika dia membatasi fakta sosial sebagai hal yang meyerupai segala hal yang dikaji dalam ilmu eksakta. Dia menetapkan bahwa fakta sosial ini mempunyai ciri umum, yaitu bahwa ia tidak berdiri sendiri. Menurutnya segala sesuatu itu dapat menembus segala topik pengetahuan yang tidak dapat dipahami melalui kegiatan nalar intern, tetapi ia menuntut pengalaman, pengamatan dan percobaan. Emile Durkheim telah mengisyaratkan bahasa dengan mengatakan bahwa bahasa tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang bersifat khusus, tetapi bersifat umum. Sesungguhnya Durkheimlah yang merupakan penyebab dalam mengubah kajian bahasa ke kecenderungan ilmiah. Hal yang demikian itu karena dia menganggap bahasa 55 ilmiah sebagai sesuatu yang bersifat umum, seperti halnya fakta sosial lainnya. Inilah yang membuka jalan ke penerapan kaidahkaidah ilmu dalam mengkaji fenomena kebahasaan(1). Buku De Saussure: Course in General Linguistics Buku ini diterbitkan setelah tiga tahun dari wafatnya De Saussure. Buku tersebut mencakup hasil-hasil pengamatan yang diperlihatkan oleh De Saussure kepada para mahasiswanya dalam berbagai perkuliahannya yang disampaikannya kepada mereka. Sebagian isyaratnya dikaji dari teori yang telah dikristalisasi oleh para linguis, kemudian teori itu dikenal dengan nama teori De Saussure. Pentingnya buku ini merujuk pada metode-metode yang dominan dalam kajian bahasa pada abad 19 yang betul-betul dihadirinya. De Saussure menegaskan aspek-aspek berikut. (1) Bahasa adalah fenomena yang vital, (2) Bahasa memadukan beberapa sistem yang koheren, yaitu sistem fonologis, sistem morfologis, sistem sintaksis, sistem semantik, berbeda dengan pendapat-pendapat terdahulu yang mengucilkan sistem fonologi dari sistem-sistem lainnya. (3) Bahasa adalah fenomena sosial(1) (4) Mendahulukan bahasa lisan daripada bahasa tulis. De Saussure mendahulukan bahasa lisan; dalam hal itu dia bersandar pada hal-hal berikut. Ketika anak lahir, ia belajar berbicara sebelum belajar menulis. Berbicara lebih dahulu daripada menulis dan paling tersiar. Sampai sekarang kita dapati masyarakat yang terorganisasi, semuanya tidak menulis bahasanya. Ini berarti bahwa bahasa mempunyai peranan menulis ada-lah skunder(2). * Metode De Saussure dalam kajian bahasa Metode ini berdasar pada tiga prinsip berikut. 56 1. Bahasa dikaji dari dua aspek: 1) aspek deskriptif yang diberi istilah ‘Synchronic’ dan aspek historis yang disebut ‘Diachronic’. De Saussure menganggap bahwa asas deskriptif itu penting untuk mengkaji bahasa. Sebab, bahasa adalah gejala yang vital, sedangkan kajian deskriptif menaruh perhatian pada kajian bahasa pada tahap tertentu karena ia merupakan rangkuman bagi segala kegiatan berbahasa yang digunakan oleh masyarakat bahasa. De Saussure mengharuskan mengacu pada contoh-contoh bahasa yang disimpulkan dari induksi yang mencakup bahasa yang mencerminkan masa tertentu dan mewajibkan menjauhi tafsiran apapun yang mengacu pada aspek-aspek sejarah. Ini berarti bahwa unsur masa tidak akan diperhatikan dalam kajian ini. Jadi, linguis tidak akan memperhatikan perubahan apapun yang datang pada bahasa tertentu ini(1). De Saussure membedakan kajian deskriptif dengan kajian prespektif/normatif dan menjelaskan bahwa perbedaan antara keduanya bukanlah perbedaan dalam metode penelitiannya saja, tetapi juga perbedaan itu ada dalam materi yang dipilih oleh linguis. Maka korpus bahasa yang menjadi dasar kajian deskriptif dihimpun tanpa seleksi tertentu dan tanpa melebihkan satu ekspresi atas yang lainnya atau menerima ekspresi bahwa yang itu adalah rancu, sedangkan yang lainnya tidak rancu. Prinsip yang menjadi dasar kajian di sini adalah: Apakah ekspresi ini atau itu dipakai atau tidak? Ini berarti bahwa kajian deskriptif menaruh perhatian pada kenyataan bahasa sebagaimana adanya. Adapun kajian prespektif (normatif), masalahnya berbeda dengan kajian deskriptif. Dalam kajian prespektif, linguis memilih korpusnya dari banyak fakta kebahasaan. Biasanya korpus ini memelihara tataran tertentu yang memperoleh kerelaan lapisan masyarakat terdidik. Dalam kajian ini, linguis membedakan tataran kebenaran dan tataran kesalahan(1). 57 Aspek kedua, yaitu kajian bahasa berdasarkan kajian historis. Di sini linguis menaruh perhatian pada kajian perkembangan yang terjadi pada bahasa, sedangkan metode-metode yang diikutinya dalam kajian ini adalah komparasi antara dua tahap sejarah tertentu. Itu karena bahasa berubah terus menerus. Perlu dicatat bahwa kajian historis tidak dimulai kecuali setelah bahasa itu diperikan pada setiap periode waktu tertentu. Tujuan kajian historis adalah menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada bahasa. De Saussure menegaskan pentingnya mengkaji bahasa berdasarkan dua prinsip ini. 2. De Saussure membedakan ketiga istilah berikut. a. Bahasa menurut arti umum adalah fenomena sosial dan disebut ‘Le Langue’ b. Bahasa dalam arti tertentu (khusus) adalah yang dijadikan topik kajian dan diberi istilah ‘La Langue’ c. Ujaran adalah kegiatan otot fonetik yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan dinamakan ‘La Parole’ Dalam arti umum, bahasa adalah fenomena sosial yang terletak dalam sosiologi. Bahasa tertentulah yang merupakan kegiatan manusia yang dihasilkan oleh semua makhluk melalui heriditi sebagai akibat bagi pemakaian organ yang membentang dari dada hingga kepala dan yang dinamakan organ bunyi. De Saussure memandang bahwa bahasa tertentu merupakan unit yang universal dari kajian gambar-gambar yang tersimpan dalam ingatan para pemakai bahasa ini. Jadi, bahasa merupakan hubungan gudang yang mencakup gambaran-gambaran tentang hubungan-hubungan yang tersimpan dalam akal orang-orang ini. De Saussure menegaskan bahwa ciri-ciri bahasa tertentu secara nyata terdapat dalam pikiran para penuturnya. Demikianlah, sesungguhnya seorang penutur mampu memakai bahasa secara sederhana, tetapi ia tidak mampu secara sendirian mem- 58 pengaruhinya, karena bahasa merupakan fenomena sosial yang kolektif. Adapun ujaran adalah performansi nyata dan kongkrit bagi bahasa dari pihak individu. Performansi ini bersifat psiko-logis dan sosial secara simultan dan terjadi akibat pendengar terpengaruh oleh situasi tertentu. Jadi, ujaran adalah suatu soal, sedangkan bahasa merupakan soal lain. Karena itu ujaran merupakan akibat pendengar terpengaruh oleh suatu masalah tertentu. Adapun bahasa adalah merupakan gambaran mentalistik yang ada dalam pikiran semua penutur di masyarakat tertentu. Adapun ujaran adalah gambaran kongkrit bagi bahasa. Dan ujaranlah yang dijadikan sandaran oleh linguis dalam kajiannya agar sampai pada gambaran mentalistik dalam akal pikiran para penutur bahasa. Juga, kajian ujaran itu memberi kita manfaat dalam mengkaji kejiwaan para penutur ini. De Saussure telah mendalami kajian bahasa tertentu dan menggunakan dua istilah pokok berikut. a. Dialek, maksudnya adalah sistem bahasa yang dianut oleh sekelompok kecil yang semuanya berpartisipasi dalam pema-kaian bahasa tertentu. Dari sini, De Saussure menyeru mengkaji pengaruh faktor tempat terhadap perbedaan bahasa. Kajian semacam ini disebut linguistik geografis(1). Dia menjelaskan bahwa ilmu ini mengkaji hubungan fenomena kebahasaan dengan bidang persebarannya. Dan dia menetapkan bahwasanya dalam memulai kajian aspek ini – apabila perbedaan-perbedaan kebahasaan masih samar dalam pandangan para linguis dalam kawasan tertentu waktu, maka perbedaan-perbedaan ini menerobos pandangan seseorang sesuai dengan tempatnya. Bagaimanapun lemahnya bagian budaya, tetapi sesungguhnya orangorang primitif sendiri memahami hal itu ketika mereka berkomunikasi dengan kabilah-kabilah lain yang berdekatan yang bertutur dengan bahasa lain(2). 59 b. Tingkatan pemakaian bahasa secara subjektif, maksudnya adalah bahwa bahasa orang-orang terdidik berbeda dengan bahasa orang-orang pekerja. Masing-masing dari kita meng-ekspresikan dengan bahasanya tingkatan subjektif yang menjadi tempat dia berasal. 3. Tingkatan ketiga yang menjadi dasar metode De Saussure tercermin dalam masalah makna. De Saussure menjelaskan bahwa kajian-kajian di atas dalam mengkaji masalah makna mengacu pada apa yang telah di tetapkan oleh Plato, yaitu bahwasanya ada hubungan yang erat antara lafal dengan maknanya. Dia menolak prinsip ini dan menegaskan bahwa hubungan antara keduanya bersifat arbriter. Dia membedakan tiga hal. a. Maujud khariji (eksistensi ekstern), misalnya tumbuhan kayu yang kita namakan sebuah pohon. b. Lafal adalah seperangkat bunyi yang dipakai dalam menunjukkan maujud khariji. c. Gambaran mentalistik, yaitu gambaran maujud khariji yang ada dalam pikiran. Maujud khariji dinamakan madlul (signifie); lafal dinamakan dall (signifiant); dan gambaran mentalistik disebut lambang. Dia menjelaskan bahwa gambaran mentalistik mencerminkan hubungan antara madlul (yang ditunjukkan) dan dall (yang menunjukkan) dan menjelaskan bahwa lambang membentuk unit dasar dalam berkomunikasi, yaitu yang menyatu dalam semua bahasa masyarakat, yang bersifat mentalistik. Dari sini De Saussure menegasakan bahwa bahasa adalah sistem lambang. De Saussure beranggapan bahwa kalimat merupakan untaian lambang dan setiap lambang memberikan andil terhadap sesuatu tentang makna keseluruhan. Oleh karena itu, setiap 60 lambang di dalam kalimat berkaitan dengan apa yang ada sebelumnya dan apa yang sesudahnya. Untaian lambang dan keterkaitannya dalam kalimat dinamakan ‘Sintagmatik’, yaitu hubungan horizontal antarlambang. Misalnya, kalimat : ‫*م‬ mencakup hubungan horizontal yang tercermin bahwa posisi musnad (predikat), yaitu ‫ * م‬ada permulaan, kemudian diiringi oleh musnad ilaih. Hubungan i’rab dalam musnad ilaih adalah dhammah, sedangkan musnad adalah mabni, yaitu mufarad mudzakkar, demikian pula musnad ilaih. Di samping hubungan ini, kalimat mencakup hubungan vertikal yang dinamakan oleh De Saussure ‘Paragdimatik’. Maksudnya adalah masuknya lambang yang sama dalam suatu hubungan dengan semua lambang yang dapat menduduki tempat terbatas dan tertentu bagi lambang tertenmu. Misalnya, apa lambang yang dapat dipakai dalam hubungan tambahan dengan lambang (2# ...) 2# ‫ا‬. Jawabnya: 2# ‫ ب‬atau 2# ‫ زو‬atau 2# ‫ن‬ (1). Jadi, ‫ ب‬masuk dalam hubungan vertikal dengan ‫ زو‬atau ‫ ن‬. 2. Mazhab Kebahasaan Modern Murid-mnurid De Saussure telah mengembangkan teorinya secara besar-besaran dan membentuk mazhab-mazhab kebahasaan tersendiri di Eropa dan Amerika. Di antara mazhab ini yang terpenting adalah: (1) Mazhab Prague Sepeninggalnya De Saussure pada tahun 1913, pada tahun 1926 terbentuklah suatu kelompok kebahasaan yang dikenal kelompok Prague . Di antara orang-orang yang terlihat di dalamnya adalah S. Karcevski, Trabtskuey dan Jakobson. Kelompok ini telah mempublikasikan gagasan awalnya pada tahun 1929 dengan 61 judul A’maal Madrasah Prague al-Lughawiyyah (Hasil Karya Mazhab Kebahasaan Prague). Mazhab ini memelihara gagasan De Saussure, khususnya tentang definisi bahasa, yaitu bahasa adalah sistem lambang. Ia menaruh perhatian pada metode deskriptif De Saussure. Akan tetapi dalam kajiannya, mazhab ini terfokus pada aspek fonologi. Dan buku yang merangkum prinsip-prinsip mazhab ini adalah buku tentang prinsip-prinsip fonologi, hasil karya Trabtskuey. Buku itu diterbitkan pada tahun 1939 di Prague. (2) Mazhab Perancis Mazhab Perancis berjalan dalam kecenderungan yang sama dengan yang ditempuh oleh mazhab Prague. Kajiannya terfokus pada sekitar fonologi, baik kajian deskriptif maupun historis. Di antara para pendukung mazhab ini adalah Marten, Kajnhym dan Panvist. Linguis Perancis terpenting adalah Marten; dia memusatkan kajiannya dalam analisis bahasa pada satuan bahasa; dia menjelaskan bahwa bahasalah yang berfungsi komunikasi antara penutur dan pendengar dan keterkaitan antarsatuan itu membawa ke struktur. Ada dua macam struktur : 1) interferensi monem-monem untuk pembentukan kalimat dan 2) interferensi monem-monem agar saling keterkaitannya lebih banyak daripada keterkaintannya dengan monem-monem kalimat. Misalnya, apabila kita perhatikan kalimat: ‫س‬M P ‫ل‬ 57‫ ا ط‬X,) ‫( ا‬1), maka akan kita dapati bahwa struktur berikut saling berkaitan; masing-masing membentuk struktur tersendiri: +,) ‫س دول أ‬M – P * Satuan bahasa 62 3 C – 57‫ ا ط‬X,) ‫ا‬ Martinet berpendapat bahwa satuan bahasa mempunyai dua aspek: aspek pertama dinamakan monem dan aspek kedua dinamakan fonem. Monem adalah unsur terkecil yang mempunyai makna dalam untaian ujaran. Monem terdiri atas dua bagian: yang pertama dinamakan leksem, yaitu yang mengikuti leksikon, dan yang kedua dinamakan morfem yang mengikuti sintaksis. Apabila kita analisis kalimat berikut : B C‫ ن ﷲ ور‬K, ‫ ن‬- ‫ ا‬maka akan kita dapati bahwa leksem-leksem itu adalah : ‫ ! – )م( ط ع‬‫ ل‬C‫ – ﷲ – ر‬dan morfem-morfem (unsur-unsur sintaksis) adalah : ‫ ء ا ' ر‬, – ‫ ال – ون‬Setelah itu Martinent beralih ke kajian monem pada tataran isi dan ekspresi, lalu ia menjelaskan bahwa setiap bahasa menggunakan sejumlah monem tertentu untuk mengekspresikan sejumlah ungkapan yang tak terhingga. Hal itu dijelaskan dengan mengemukakan tabel berikut. Situasi Ekspresi 1. (a) 2. (b) 3. (d) dst dst Dia menjelaskan bahwasanya tidak ada kesamaan antara (a) dan (b) atau (a) dan (c), melainkan ada kesesuaian antara (a) dan 1; (b) dan 2; (c) dan 3. Kesesuaian ini membawa kepada kejelasan dan ketidaktaksaan. Dan apabila kita bandingkan kedua kolom, yaitu kolom situasi dan kolom ekspresi, maka akan kita lihat bahwa kolom situasi membentang ke arah yang tak terhingga. Mustahil kolom situasi disertai oleh kolom ekspresi sampai kepada yang tak terhingga. Maka apa yang harus kita lakukan? Jadi, bagaimana masalah-masalah itu berjalan. Kita harus memperhatikan tabel berikut. 63 Konteks (Situasi) 1 2 3 Ekspresi ‫)أ( أ و ت أ س‬ ;‫)ب( أ> ! أد‬ ‫ )ف‬, 9 ‫)ج( ھ‬ Kita mengamati bahwa ekspresi (a), (b) dan (c) di antara ketiganya terdapat unsur-unsur kolektif. Pada (a) dan (b) ada >‫ أ‬dan ‫ء‬ ‫ ا‬dan pada (b) dan (c) ada dan (1). Itu berarti bahwasanya terdapat satuan-satuan yang masuk dalam pembentukan beraneka ragam ekspresi. Satuan-satuan ini merupakan monem. Dan yang demikian itu berkat interferensi yang memungkinkan. Jadi, monem adalah satuan semantik terkecil. Oleh karena itu kajian aspek pertama terfokus pada tataran isi dan tataran ekspresi(2). * Fonem Apabila kita memperhatikan tiga satuan: Z – – maka kita mengamati bahwa satuan-satuan itu mempunyai kesamaan dalam sejumlah unsur : ‫ت – ب – ع‬. Maka unsur-unsur kolektif dalam pembentukan monem itu menduduki aspek kedua, yaitu tidak dapat masuk dalam tataran ekspresi dan bukanlah lambang-lambang bahasa serta bukanlah satuan-satuan yang bermakna. Lalu yang demikian itu dinamakan apa? Dimanakan monem. Setiap monem terdiri atas keterhubungan fonem-fonem ini. Studi fonem berada pada dua tataran: tataran fonologi dan tataran fonetik. Fonologi terbatas pada kajian bunyi yang memberi andil – ketika ia berkaitan dengan bunyi-bunyi lain – terhadap pemaknaan kata pada makna tertentu dan menentukan perbedaanperbedaan dalam pengucapan setiap bunyi, baik perbedaan ini merujuk pada perbedaan penutur ataupun pada perbedaan konteks(1). 64 (3). Mazhab Kobanhagn Mazhab ini berdiri pada tahun 1931 di bawah pengaruh Helmsliv dan Brondal. Hasil karya pertamanya diterbitkan pada tahun 1933. Di antara pendukung terpenting adalah Helmsliv. Helmsliv mendukung pandangan De Saussure tentang bahasa dan linguistik. Bahasa mencakup dua cabang, yaitu: bahasa dan ujaran. Linguis menaruh perhatian pada bahasa saja. Adapun linguistik adalah ilmu yang berdiri sendiri. Dia berang-gapan bahwa teori kajian bahasa berdasar pada tiga poros, yaitu: (1) kajian bahasa bersifat induktif, lebih banyak daripada bersifat deduktif; (2) kajian bahasa bersifat arbitrer daripada bersifat sesuai; (3) kajian bahasa merespon tiga faktor yang dikenal dalam kajian eksperimental, yaitu koherensi internal, kepaduan dan kesederhanaan(2). Induksi tercermin dalam menyusun masalah-masalah dan menggeneralisasi pengamatan-pengamatan dengan menjauhi gagasan terdahulu apapun. Adapun deduksi tercermin dalam menginduksi seperangkat premis-premis struktural yang berdasar pada konsep umum ujaran. Teori ini bersifat arbitrer karena tidak dapat tunduk kepada pengawasan masalah-masalah ekspreri-mental. Teori ini sesuai karena menerapkan hasil-hasil yang dicapainya pada sejumlah besar bahasa. Di samping itu teori ini merespon tiga prinsip kajian eksperimental, yaitu koherensi internal, kepaduan dan kesederhanaan. Helmsliev mengatakan bahwa kesederhanaan adalah satu-satunya prinsip untuk meng-ukur benar tidaknya kedua prinsip tadi, yaitu kepaduan dan koherensi, karena kesederhanaan merupakan kriteria tempat bertemunya teori dengan aplikasinya(1). Helmsliev telah mengkristalisasi kecenderungan tertentu dalam kajian bahasa, yang dikenal dengan nama ‘glossmatic’. Di 65 antara keistimewaan metode ini adalah bahwa ia tidak hanya menaruh perhatian terhadap kajian bahasa tertentu, melainkan menaruh perhatian juga terhadap perian yang bersifat umum dan kolektif antara semua bahasa. Sesungguhnya manakala ia mengkaji bahasa tertentu, maka berarti ia hanya mengkajinya sebagai suatu pola untuk menginduksi fenomena-fenomena umum kebahasaan. Hal itu terbukti dengan menerapkan feno-menafenomena ini pada lebih dari satu bahasa. Glossmatic bertolak dari studi dan analisis satuan-satuan terkecil. Linguis menaruh perhatian terhadap perian hubungan yang menghu-bungkan satuan-satuan ini. Helmsliev mengadakan perubahan dalam peristilahan yang dipakai oleh De Saussure, antara lain, dia mengganti dalil (petunjuk), dall (yang menunjukkan) dan madlul (yang ditunjukkan) dengan tataran ekspresi (pengganti dari madlul) dan tataran isi (pengganti dari dall). Dia menje-laskan bahwa masing-masing dari keduanya mempunyai bentuk dan substansi. Bentuk dapat dianalisis ke dalam kerangka-kerangka. Kerangka ekspresi itu disebut ‘plereme’ dan kerangka isi disebut ‘ceneme’. Misalnya, kata C‫ ر‬atau petunjuk (lambang) bahasa – sebagaimana dipakai oleh De Saussure ( C‫ ) ر‬terdiri atas dua tataran, yaitu ekspresi dan isi. Ekspresi apabila dianalisis, maka ia dianalisis ke dalam kerangka-kerangka ekspresif, yaitu (pleremes): Adapun isi apabila dianalisis ke dalam kerangka-kerangka isi, yaitu (cenemes), yakni (konstruksi) + (jenis) – demikian seterusnya, maka perbedaan dalam (‫( )ال‬pleremes) membawa kepada perbedaan dalam (cenems). Dan ini mengakibatkan perbedaan dalam ekspresi. Dari sini, glossmatic memandang bahwa bentuk (kontruksi) membentuk substansi umum yang berlaku kolektif bagi semua bahasa. Perbedaan yang terjadi pada konstruksi itu mempunyai hubungan dengan bentuk, tetapi tidak berhubungan dengan substansi. Substansi diperikan melalui bentuk, bukan melalui bunyi atau maknanya. Ini menghindari 66 medan sebagai gagasan kemungkinan adanya sistem bunyi internasional. Demikianlah Helmsliev mendukung De Saussure dalam mendefinisikan fonem sebagai satuan yang abstrak dan jauh dari realisasi bunyi dalam pencapaiannya. Berdasarkan teori ini bahasa dipandang sebagai konstruksi yang terdiri atas : 1) isi dan ekspresi, masing-masing saling berkaitan dan 2) konteks dan sistem, ada hubungan tertentu di dalam konteks dan dalam sistem. Teori ini menggunakan istilah glosem; maksudnya adalah bentukbentuk terkecil yang tidak dapat dibagi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih kecil lagi, baik itu pada tataran ekspresi ataupun isi. Misalnya, dalam kata ( C‫ )ا ر‬kita dapati (‫ )ال‬adalah glosem; ( ) adalah glosem lain. Demikian juga (‫ )ر‬dan ( C). Ini pada tataran ekspresi. Adapun pada tataran isi, maka konstruksi (bentuk) adalah glosem, sedangkan sifat-sifat ( C‫ )ا ر‬yang berkaitan dengan konstruksi itu adalah glosem lain. Teori ini memakai istilah fungsi; maksudnya adalah hubungan antara dua unsur pada tataran kata atau pada tataran struktur(1). (4) Mazhab Inggris Mazhab ini didirikan oleh Charles C. Fries. Dia menempuh metode De saussure, lalu mendukungnya dalam studi bahasa untuk kepentingan bahasa. Dari sini, dia menegaskan bahwa linguistik tidaklah lebih banyak daripada seperangkat teknik penelitian yang memungkinkan peneliti (linguis) untuk mengatasi peristiwaperistiwa kebahasaan. Dan dia menegaskan bahwa ilmu ini berdiri sendiri, tidak bercabang dari ilmu lain, seperti soisologi atau psikologi. Freis menolak pendapat tentang bilingualism individu dan masyarakat, yang telah dikatakan oleh Dorkeim dan De Saussure dan dia menjelaskan bahwa kepri-badian seseorang merupakan unit yang berdiri sendiri; kepri-badian itu mempunyai ciri-cirinya yang membedakannya dari kepribadian-kepribadian 67 lainnya. Freis berpendapat bahwa ketika kita mengkaji bahasa, maka kita hanya mengkajinya sebagai bagian dari proses sosial. Demikianlah Fries dan para pengikut-nya telah mendirikan mazhab kebahasaan baru yang disebut mazhab kebahasaan sosial. Fries berpendapat bahwa pendukung mazhab lain, baik di Eropa ataupun di Amerika, mereka menaruh perhatian terhadap struktur internal (dalam) bahasa lebih banyak daripada apa yang seharusnya. Akan tetapi mereka mengabaikan aspek pemakaian bahasa yang sebenarnya dalam kerangka masyarakat dan normanorma dan kaitan yang mungkin diharus-kan oleh masyarakat atas para pemakai bahasa itu. Oleh karena makna dan berbagai aspeknya merupakan tujuan penutur untuk menyampaikannya kepada para anggota masyarakat lain, maka sebagian para pendukung mazhab ini memusatkan perhatiannya pada masalah makna. Mereka mulai menganalisis konsep-konsep umum dan khusus yang ingin diekspresikan oleh setiap orang – di mana saja ia berada di dunia ini – melalui bahasa. Kemudian mereka mulai mengkaji ciri-ciri umum dan khusus yang dimiliki oleh setiap struktur bahasa. Oleh karena itu, mereka mulai meng-adakan bentuk-bentuk dan struktur-struktur bahasa yang dapat mengungkapkan fungsi-fungsi itu ke dalam kerangka setiap konsep umum. Para ilmuwan (linguis) berusaha mencapai kaidahkaidah yang dapat mengontrol pemakaian bahasa yang sebenarnya di masyarakat, dengan mengetahui apa yang umum sesuai dengan berbagai masyarakat dan apa yang khusus sesuai dengan masyarakat tertentu. Ada dua hal yang dapat mengontrol pemakaian bahasa. Pertama, konteks bahasa. Kosakata tidak terbatas maknamaknanya jika disajikan secara terpisah-pisah. Misalnya, kata ‫أ‬ tidak terbatas maknanya kecuali dalam konteks, seperti : BC‫ رأ‬P 68 4)< 5 ‫أ‬ B ‫ط‬5 ‫أ‬ ! ‫ا‬2 -‫ا‬ ‫أ‬ ! ‫ لا‬5 ‫ > ه‬B 4 R‫ أ‬5 ‫أ‬ ‫أ‬ Firman Allah SWT: (12 :‫) ورة ا رات‬ B ;‫! أ‬ M, ‫ ! أن‬E‫ ّ أ‬,‫أ‬ Yang keduanya adalah situasi atau kondisi tempat berlangsungnya ujaran itu dikatakan, yaitu disebut: ‫ م ل‬+ . Unsurunsur konteks itu banyak. Pertama, penutur itu sendiri: Apakah ia laki-laki atau perempuan, muda atau tua, seorang atau berdua atau kelompok atau orang banyak; dan apakah kebangsaannya, agamanya, bentuk luarnya, aksen suaranya dan tempat sosialnya? Kedua, pendengar. Ketiga, hubungan penutur dengan pendengar dari segi kekerabatan atau persahabatan atau kenal tidaknya secara lahiriyah atau kurang kepedulian atau permusuhan sentral sosial (ekonomi atau politik dan seterusnya). Di antara unsur-unsur konteks itu adalah topik, yaitu topik pembicaraan dalam suatu suasana, tempat, waktu, cara bicara dan dorongan bicaranya(1). Fries berpendapat bahwa apa yang kita namakan sistem fonologis, morfologis, sintaktis dan semantis tidak lebih dari sekedar kerangka-kerangka kreatif dan sistematis. Hipotesisnya ialah sampai kepada analisis peristiwa-peristiwa kebahasaan(1). (5) Mazhab Distributif Amerika Mazhab Amerika, kajian-kajiannya terfokus pada bahasabahasa orang India yang berkulit merah. Dahulunya, bahasa ini adalah bahasa lisan saja, bukan bahasa tulis dan tidak diketahui sejarahnya. Di antara para tokoh ternama mazhab ini adalah: 1. Boas (1858-1940), dia berbicara tentang hubungan bahasa dengan untaian yang kita pakai. 2. Sapir (1884-1939), dia adalah spesialis dalam bahasa-bahasa orang India yang berkulit merah. Dia menyusun sebuah buku yang berjudul ‘Language’. Dalam buku itu, dia menaruh perhatian pada 69 pembatasan makna fonem dan definisi bahasa sebagai suatu bentuk. 3. Bloomfied terpengaruh oleh kecenderungan behavioristik dan menerapkan hasil studinya secara cermat dalam bukunya ‘Language’ yang diterbitkan pada tahun 1933. Antara lain, dia berpendapat bahwa bahasa berdasar pada dorongan-dorongan dan reaksi-reaksi. Dari sini, Bloomfied menaruh perhatian terhadap aspek indrawi bahasa dan menolak merujuk ke makna untuk menentukan satuan-satuan bahasa. Bloomfied dianggap pendiri metode distribusi dan prinsip analisis unsur-unsur langsung, yang bertahap dalam analisis struktur bahasa dari fonem sampai ke kalimat(2). 4. Harris, pada tahun 1954 dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul ‘Metode Linguistik Struktural’; di dalamnya dikemukakan metode distribusi. Dia menjelaskan bahwa dia bertolak dari studi sampel bahasa; melalui studinya, dia sampailah kepada kesimpulan mengetahui sistem yang ditempuh berdasarkan sampel. Sistem inilah yang dinamakan ‘bahasa’, sebagaimana dikatakan De Saussure. Selama masalahnya demikian, maka peranan linguis - tatkala mengkaji sampel - terfokus pada pembagiannya ke dalam unsur-unsur, kemudian mengklasifikasinya. Harris menjelaskan bahwasanya – sebelum mengkaji sampel kebahasaan – dalam pikiran linguis harus ada prinsip-prinsip klasifikasi sampel sehingga ia mampu mengklasifikasinya secara otomatis. Juga, Harris menjelaskan bahwa peranan linguis terbatas pada deskripsi (perian). Gagasan-gagasan Harris dianggap jalan utama bagi munculnya mazhab generatif-transformatif(1). 3. Dasar-dasar Kecenderungan Distribusi Kecenderungan ini beranggapan bahwa bahasa adalah sebuah sistem dari bukti-bukti yang arbiter dan beranggapan bahwa bahasa tersusun dalam dua pola. Pertama, horizontal, 70 kehorizontalan ini merupakan penyebab bahwa setiap unsur bahasa menduduki suatu tempat yang leluasa bagi isinya secara material. Dan ia juga merupakan penyebab dalam hal bahwa rangkaian ujaran dapat dibagi-bagi ke dalam unsur-unsur yang dapat berdiri sendiri dan bercirikan khas. Meskipun demikian tidak setiap susunan sejumlah fonem dapat membawa ke pembentukan kata yang berterima. Dan tidak setiap susunan sejumlah kata dapat membawa ke pembentukan kalimat yang berterima. Ini berarti bahwa susunan fonem untuk membentuk kata dan susunan kalimat untuk membentuk kalimat itu tunduk pada faktor-faktor tertentu. Kedua, pola vertikal, ia bertujuan menentukan unsurunsur yang dapat saling menggantikan tempat dan posisi tertentu, baik pada tataran fonem atau pun pada tataran struktur sintaksis, maka pada tataran fonem kita dapati contoh ‫ * ل‬dan ‫ ل‬. Fonem yang hendak dikaji dalam pola vertikal adalah fonem yang menduduki tempat pertama. Kita melihat bahwa-sanya ketika kaf menduduki tempat qaf dalam posisi ini, maka muncullah kata baru. Jadi, bunyi pertama disebut fonem. Adapun apabila kita ucapkan: ‫ * ل‬dan ‫( ل‬yang dipakai dalam dialek Riyad), maka akan kita dapati ! " ‫ ا‬dalam posisi ini menduduki fungsi ‫ ف‬+ ‫ا‬. Ini berarti bahwa penduduk Riyad melafalkan ‫ ف‬+ ‫ ا‬dengan ! dinamakan alofonem. Pada tataran, ketika kita mengatakan : . Dalam bidang struktur, analisis bertujuan - pada tataran vertikal - menjelaskan jenis morfologi unsur-unsur yang saling bergantian posisinya dalam tempat tertentu. Oleh karena itu kita bersandar pada tiga tabel yang akan dijelaskan dalam kajian morfologi, yaitu tabel ilshaq (afiksasi), tabel tashrif (infleksi), dan tabel isnad (prerdiksi). Tabel ilshaq menjelaskan kepada kita afiks-afiks yang melekat pada kata, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir. Apabila afiks-afiks ini merupakan adat ta’rif (partikel definit) atau tanwin atau dhamir-dhamir idhafat (pronomina-pronomina yang disandarkan), maka kata itu akan berupa isim (nomina) atau sifat (adjektiva) atau dharaf (adverb). Dan jika afiks itu berupa haraf mudhara’ah atau ya mukhatabah atau nun taukid atau taa mutaharrirah (bervokal) atau sakinah (berkonsonan), maka kata itu adalah fi’il (verba). Jadi, tabel ini memberikan gambaran tentang jenis morfologi kata secara umum. Hal yang demikian itu dapat kita amati dari contoh kata berikut : kata ‫ ع‬4 ketika ia dalam keadaan sukun, di sini jenis morfologinya sulit ditentukan. Oleh karena itu kita bersandar pada tabel ilshaq. V 4 -V 4 : 7 - ‫أو ا‬ Ini Z #, : Z# : 2 # : ) # – !, * ‫ – ب‬, ‫ب‬ kita dapati bahwa kata : ) # – !, * – , menduduki posisi ‫ ب‬secara langsung. Setiap kata ini berfungsi membatasi ‫ ;ا ب‬sesekali buku itu baru; sesekali buku kedua, yaitu setelah kata itu lama; dst. Ini berarti bahwasanya dapat ditentukan jenis morfologi kata yang berfungsi membatasi, yaitu na’at (kete-rangan sifat). 71 !C‫ا‬ (‫)ب‬ ) ‫ا ءا‬ ‫)ف ا ' ر‬E #‫ ط‬G ‫ ء ا‬, ‫> نا‬ ‫د )أ( أن ا‬ ‫د )ب( أن ا‬ (‫)أ‬ ‫ ع = ا راع‬# ‫ ا‬: ‫ال‬ ‫ ع‬4 : 2, 7 ‫ا‬ 5 4 : ! "#‫< ) ا‬ ‫ ا‬2 [ 7 -> -1 : ‫ ج‬7 C9‫ا‬ ‫ ا‬2 [ 7 -> -2 Akan tetapi tabel ilshaq menjelaskan kepada kita jenis morfologi umum. Terkadang ini tidak cukup dalam analisis sintaksis. Oleh karena itu, kita bersandar pada tabel lain yaitu tabel 72 tashrif untuk menentukan jenis morfologis, khususnya ketika kita ingin membedakan shifat (adjektiva) atau dharaf (adverb) dari isim (nomina). Misalnya, (‫ )*)ط‬yakni sejenis perhiasan yang diletakkan pada telinga dan () ), maka kita dapati bahwa ‫*)ط‬ tidak ada fi’ilnya sehingga tidak ada musytaqat (derivasi) daripadanya bagi fi’il ini. Adapun kata ) , maka kata itu bisa dibentuk shifat musyabbahah, shigat mubalaghah, dan af’al tafdhl (bentuk perbandingan). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ‫*)ط‬ adalah isim, sedangkan ) adalah sifat. Perkara yang dapat membantu kita dalam hal itu adalah tabel tashrif. Maka kata yang dapat dimasukan ke dalam tabel tashrif (infleksi) itu bisa berupa sifat (adjektiva) atau fi’il (verba). Adapun kata yang tidak dapat dimasukkan ke dalam tabel ini, maka kata itu adalah isim (nomina). Dalam keadaan ini kita bersandar pada tabel ketiga untuk membedakan sifat (adjektiva) dari fi’il (verba). Tabel ini adalah tabel isnad (predikasi). Maka kata yang dapat disandarkan kepada dhamir-dhamir rafa’ atau kata yang disandarkan kepada salah satu haraf mudhara’ah itu adalah fi’il (verba), sedangkan kata yang tidak menerima penyandaran ini adalah sifat (adjektiva). Demikianlah, kata ( ) tidak dapat dimasukkan ke dalam tabel ) masuk ke dalam tabel ini. ini, sedang-kan kata ( * Peristilahan yang Dominan dalam Kecenderungan ini. 1. Distribusi terpadu, maksudnya adalah adanya dua unsur. Akan tetapi salah satunya tidak saling bergantian tempat dengan yang lain, tetapi ia hanya tampak bersamanya. Misalnya, ‫ و‬+ ‫ال‬. Jadi, (‫ )ال‬ketika itu berada dalam distribusi terpadu dengan ‫و‬. Hal yang sama kita dapati pada tataran fonologi, seperti ‫ي – ق – ل‬, maka ‫ ا ء‬tidak saling bergantian tempat dengan ‫ا ف‬, tetapi terletak sebelumnya. 73 2. Hubungan Persilangan dan Hubungan Penggabungan. Yang dimaksud dengan hubungan persilangan (‘alaqah taqathu’) adalah bahwa dua unsur itu dapat tampak dalam konteks yang kolektif, seperti : ‫ذھ‬ )‫ء –ا‬ ) ‫') – ا‬E )‫ا‬ Oleh karena itu dikatakan kepada unsur yang berada dalam distribusi terpadu bahwa ia ada dalam hubungan persilangan. (≠) maka (‫ )ال‬tidak bergantian tempat dengan ( ‫)و‬, tetapi ia muncul bersama dan menetap dengannya, lalu dikatakan ( ‫)و‬. Adapun hubungan penggabungan (‘alaqah idmaj), maka maksudnya adalah bahwa kedua unsur bisa tampak dalam sebagian konteks dan ‫ط‬ mungkin tidak tampak dalam konteks lain, seperti dua unsur : –, maka kita katakan: " ‫ – ھ`ا ا ) ا‬K ‫ھ`ا ا ) ا‬. Akan tetapi apabila kita katakan : " ‫ ! ا‬+ ‫ – ھ`ا ا‬K ‫ ! ا‬+ ‫ ھ`ا ا‬maka di ‫ ط‬dan tidak dipakai dalam kedua sisni kita dapati bahwa konteks ini. Sebab, kedua kata itu tidak dapat saling bergantian tempat yang sama. Hubungan ini disebut hubungan penggabungan (‘alaqah idmaj)(1). * Mazhab Generatif-Trasnformatif Mazhab ini didirikan oleh Avram Noam Choamsky. Choamsky lahir di wilayah Fieladalvia di wilayah Amerika Serikat pada tahun 1928. Sekarang dia bekerja sebagi guru besar linguistik di Massachuset Institute of Technology (MIT). 4. Choamsky dan Kajian Sosial Secara umum, ada dua kecenderungan kajian sosial. Yang pertama menganggap bahwa kemajuan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pengamatan yang cermat terhadap perilaku manusia yang sebenarnya(2). Yang kedua beranggapan bahwa pengamatan74 pengamatan seperti ini tidak memperoleh manfaat-nya kecuali dengan ukuran yang di dalamnya dapat terungkap bagi kita aturanaturan yang tersembunyi, yang tidak jelas bagi kita dalam perilaku yang sebenarnya kecuali suatu gambaran partial atau diputarbalikan daripadanya(3). Choamsky mendukung kecenderungan yang kedua, yaitu kecenderungan yang memiliki aturan-aturan yang tersembunyi yang mengontrol perilaku manusia yang sebenarnya. Oleh karena itu ketika mengkaji bahasa, dia membedakan dua hal. Pertama sistem bahasa yang tersembunyi dalam pikiran orang-orang yang bertutur dengan satu bahasa. Sistem itu dinamakan kafaah (kom pentensi). Kedua, perilaku yang sebenarnya atau pelaksanaan praktis terhadap sistem mentalistik. Istilah itu disebut adā’ (performasi)(1). 5. Kritik terhadap para Linguis Behavioristik Sesungguhnya dukungan Choamsky terhadap kecenderungan yang menyelidiki aturan-aturan yang tersembunyi dalam pikiran para penutur membuatnya menghantam para pendukung kecenderungan itu. Pertama, yang menaruh perhatian pada pengamatan perilaku manusia yang sebenarnya. Dari sini, Choamsky menghantam Skinner sebagai tokoh mazhab behavioristik. Hantaman Choamsky terfokus pada kesimpulan yang diterbitkannya dalam bukunya ‘Perilaku Bahasa’ tentang eksperimentasi praktis yang telah dilakukannya pada binatang. Dari hasil eksperimentasi itu dia menyimpulkan bahwa bahasa tidak melebihi keberadaannya sebagai kebiasaan sosial yang perumpamaannya seperti kebiasaan lain. Dan sesungguhnya pemerolehan bahasa dapat berlangsung dengan metode yang sama, 75 yang digunakan untuk memperoleh kebiasaan sosial lainnya, yaitu try and error. Hantaman Choamsky terfokus pada dua hal. Pertama, sama sekali tidak ada hubungan perilaku tikus dalam kotak eksperimentasi di laboratorium dengan bahasa manusia. Sebabnya sederhana dan jelas sekali, yaitu bahwa bahasa termasuk kekhususan manusia dan semua sarana komunikasi lainnya yang digunakan oleh binatang dan sarana yang disebutnya sebagai pinjaman bagi bahasa binatang itu merupakan sarana yang sangat terbatas dan tidak mengambil manfaat unsur-unsur pokok yang membentuk bahasa manusia. Kedua, sesungguhnya pemahaman Skinner akan ciri bahasa merupakan pemahaman yang keliru. Sebab, dia beranggapan bahwa bahasa adalah seperangkat kebiasaan yang terbentuk pada manusia sebagai akibat respon yang berkesinambungan terhadap stimulus eksternal sehingga dia berpendapat bahwasanya tidak ada hajat keperluan akan organ potensial individu atau mentalistik khusus yang membantunya dalam hal itu. Demikian pula dia berpendapat tentang kemungkinan prediksi perilaku bahasa individu melalui stimulus eksternal yang ada di sekitarnya. Choamsky menjelaskan bahwa Skinner tidak berada dalam situasi orang yang mampu berbicara tentang akibat-akibat perilaku bahasa selama dia tidak mengetahui karakteristik perilaku itu(1) Choamsky menjelaskan dukungannya terhadap mazhab mentalistik yang diserukan oleh Dekarth dan Lebintiez, dan mazhab yang beranggapan bahwa mental manusia mencakup pikiran-pikiran potensial. Ini berbeda dengan para pendukung mazhab eksperimental yang beranggapan bahwa pengetahuan manusia tumbuh dari pengalaman. Demikianlah Choamsky berpendapat bahwa sebagian pengetahuan itu bersifat fitri (poten-sial) dan mendahului pengalaman, sebagaimana pendapat para pendukung mazhab mentalistik. Setelah itu Choamsky mulai 76 mengingkari pendapat para linguis eksperimental yang disebutkan tadi. Keingkarannya terfokus pada metode yang digunakan oleh anak dalam belajar bahasa, lalu Choamsky menjelaskan bahwa kemampuan anak dalam belajar bahasa tertentu tidak berkaitan dengan intelegensi atau motivasi. Hal yang demikian itu karena semua anak, baik mereka itu cerdas ataupun tidak cerdas, baik mereka itu mempunyai motivasi ataupun tidak, mereka belajar berbicara dengan bahasa ibu mereka. Apabila kita berasumsi bahwa anak tidak belajar bahasa pertama sebelum usia balig, maka mustahil ia akan mempelajarinya nanti. Choamsky menegaskan bahwa anak yang telah belajar bahasa pertama akan dapat melaksanakan suatu kegiatan mentalistik yang cemerlang. Sebab, ketika anak menguasai nahwu dalam pikirannya, maka kira-kira ia telah membangun teori bahasa. Fakta ini tidak dapat ditafsirkan dengan mengatakan bahwa pikiran merupakan lembaran putih. Tetapi tafsiran yang sahih adalah bahwa anak sebelumnya telah memiliki pola bahasa yang tergambar dalam pikirannya sebelum belajar berbicara secara umum. Maka anak itu - seperti pendapat Choamsky – lahir dengan dibekali pengetahuan yang utuh tentang nahwu secara keseluruhan atau alami, yaitu bahwa ia dibekali rancangan yang kokoh yang dipakai untuk pemerolehan bahasa. Oleh karena itu, anak mampu memperoleh bahasa manusia apapun. Ini karena anak memiliki pola-pola umum yang kolektif antarsemua bahasa manusia sebagai bagian dari perlengkapan mentalistik dan potensialnya. Choamsky mengemukakan bahwa di antara bukti adanya bakat bahasa khusus pada manusia adalah bahwa sistem-sistem komunikasi binatang berbeda secara mendasar dengan bahasa manusia. Maka bahasa mempunyai kekuatan generatif yang tak terhingga. Tidak mungkin kita dapat memprediksi ungkapanungkapan bahasa yang dapat dikatakan sebagai sandaran kepada 77 stimulus-stimulus eksternal. Ciri kreativitas untuk pemakaian bahasa ini termasuk kekhususan manusia(1). 6. Kritik terhadap para linguis Behavioristik Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa para linguis behavioristik dalam kegiatannya bertujuan mengklasifikasi dan mendistribusi unsur-unsur bahasa. Hockett mengatakan bahwa linguistik merupakan ilmu klasifikasi (kategorial). Misalnya, apabila linguis ingin memerikan bahasa tertentu, maka dia memulai kegiatannya dengan mengumpulkan sejumlah besar kalimat dalam bahasa ini; dia melakukan pencatatan/perekaman data dalam suatu rekaman atau membukukannya melalui lambang-lambang bunyi fonetis. Setelah itu, dia mulai mengklasifikasi unsur-unsur kalimat ini ke dalam beberapa tataran. Pertama, tataran fonologi, di dalamnya linguis mengklasifikasi fonemfonem dalam bahasa ini. Kedua, tataran morfologi, di dalamnya linguis menaruh perhatian pada penentuan satuan-satuan sintaktis atau morfem-morfem. Ketiga, tataran sintaksis, di dalamnya linguis mengkaji struktur frasa kata dan mengklasifikasinya ke dalam frasa nominal dan frasa verbal, kemudian beralih ke tataran yang tertinggi, yaitu untaian frasa ini, yaitu kalimat dengan berbagai jenisnya. Jadi, tujuan para linguis kategorial atau behavioristik adalah menentukan metode-metode yang akurat yang dapat membantu linguis dalam mengklasifikasi unsur-unsur bahasa yang dikajinya. Para linguis ini tidak menaruh perhatian terhadap kajian makna kalimat-kalimat karena mereka berpendapat bahwa makna semantik termasuk kekhususan para psikolog. Sebab maknamakna itu mencerminkan pola perilaku yang spesifik yang dibatasi pada hubungan antara stimulus dan respon. Ketika Choamsky mempersiapkan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Panselvnia, dia berusaha 78 menerapkan metode-metode para linguis behavioristik pada studi struktur. Lalu dia menemukan bahwa metode-metode ini mengambil manfaat efektivitas besar dalam studi fonem dan morfem, tetapi sama sekali tidak bermanfaat dalam studi kalimat. Dalam hal ini Choamsky mengatakan bahwa setiap bahasa mengandung sejumlah fonem tertentu, juga mengandung sejumlah morfem tertentu. Sebaliknya, jumlah kalimat dalam bahasa tertentu tak terhingga. Maka tidak ada batasan jumlah kalimat baru yang dapat dibangun. Lagi pula, prinsip-prinsip para linguis kategorial tidak mampu meneliti hubungan internal yang ada dalam kalimat atau hubungan yang mungkin ada antara berbagai kalimat. Dua kalimat dalam satu konstruksi sintaksis bisa sama, seperti dalam contoh berikut: ,‫ ز‬2 ‫ ا ل‬Z ‫ د‬-1 ,‫ ز‬2 ‫)ق ا ل‬C -2 Masing-masing dari kedua kalimat ini terdiri atas fi’il mabni majhul (bentuk pasif), na’ib fa’il (objek pelaku), haraf jarr, dan isim ‘alam (nomina nama diri) majrur. Meskipun strukturnya sama, namun kedua kalimat itu berbeda dari segi sintaksis. Dalam kalimat pertama Zaid berfungsi sebagai fa’il (subjek) bagi fi’il (verba) dafa’a. Meskipun demikian ia tidak tampak dalam struktur lahir kata, karena kalimat itu berarti : ,‫ ز‬2 ‫ ا ل‬Z ‫د‬. Adapun dalam kalimat kedua, Zaid berfungsi sebagai maf’ul bih (objek) bagi fi’il saraqa, karena kalimat itu berarti : B ‫ ا‬,‫ ھ! ز‬E‫)ق أ‬C. Dalam kedua distribusi itu tidak terdapat sarana apapun untuk membedakan kedua macam kalimat ini(1). Dari segi lain, ada kalimat-kalimat yang terdiri atas struktur tertentu, kosakata yang sama, dan posisinya tidak berubah. Namun demikian, kalimat-kalimat itu mengandung ‫ط‬ makna ganda (ambigious sentences). Misalnya, antara lain : 79 ) -, ‫ ل أن‬2 ‫اد‬W Kalimat ini berarti bahwa ‫ ل‬2 ‫اد ط‬W (‫اد‬W ) ) -, ‫ أن‬atau (‫ ) ) ل‬-, ‫ ل أن‬2 ‫اد‬W ‫ ط‬Itu disebabkan oleh adanya dua struktur batin bagi kalimat ini, yaitu: (‫اد‬W ) -,) ‫ ل‬2 ‫اد‬W ‫ط‬ a. ‫ط‬ b. (‫ ) ل‬-,) ‫ ل‬2 ‫اد‬W Kemudian ketika konstruksi batin (dalam) diubah ke dalam struktur lahir (luar), terjadi pelesapan isim yang berulang, yaitu Fuad dalam kalimat (a) dan Kamal dalam kalimat (b). Struktur lahir itu cukup dengan dhamir mustatir huwa yang dicakup oleh fi’il yusafiru dalam dua kalimat. Kemudian kalimat kedua dihubungkan dengan kalimat pertama, lalu kalimat kedua menjadi maf’ul bih bagi fi’il (thalaba). Kemudian fi’il yusafiru berfungsi sebagai maf’ul bih. Adapun maf’ul bihnya berupa isim atau mashdar sharih dan apa yang setara dengan isim atau mashdar sharih itu adalah mashdar muawwal. Oleh karena itu, (‫)أن‬ ditambahkan kepada fi’il mudhari’ ini sehingga mucullah satu kalimat yang mengungkapkan dua struktur batin, yaitu : ) -, ‫ ل أن‬2 ‫اد‬W ‫ط‬ 2 )Q ‫ أ‬5 ‫ )م‬, ;. Struktur lahir ini Juga, di antaranya : ) mempunyai dua struktur batin (dalam), yaitu : a. () ‫ )م‬, ;) 2 )Q ‫ أ‬P ‫ )م‬, ; b. (P ‫ )م‬, ) ) 2 )Q ‫ أ‬P ‫ )م‬, ; Setelah itu ketika kedua struktur dalam ini diubah kedalam struktur lahir, terjadi penghilangan ibarat mukkarah (frasa/kalimat berulang), yaitu dalam kalimat (a) ; ‫ )م‬, ; dan dalam kalimat (b) : P ‫ )م‬,. Maka muncullah satu struktur lahir, yaitu : ) 2 )Q ‫ أ‬5 ‫ )م‬, ; Untuk memperjelas hal itu, perhatikan pengubahan kedua kalimat berikut, 80 a. b. () ) 2 )Q ‫ أ‬P ‫ )م‬, () ) 2 )Q ‫ أ‬P ‫ )م‬, ; (‫)أ‬ ; (‫)ب‬ ‫ ا‬V;‫ أ‬V "> ‫ )ا `ي‬K ‫( ھ`ا ھ ا‬3) Jumlah shilah, yaitu jumlah (kalimat) yang pada prinsipnya memerikan salah satu isim dalam kalimat pokok, harus mencakup pengulangan isim maushuf dan jika tidak, maka jumlah shilah itu menjadi salah. Dari sini, kalimat pertama dan kalimat kedua adalah benar, sedangkan kalimat ketiga tidak benar(1). Dari segi kelima, ada hal-hal lain memberikan justifikasi kepada taqdir (perkiraan) konstruksi batin kalimat, antara lain adanya unsur dalam makna, yang tidak tercermin dalam suatu kosakata yang terucap. Maka ketika dikatakan: ‫ اذھ‬V>‫اذھ أ‬ (1) ‫ھ ذھ ذھ‬ (2) (3) b =7 ) 3+ ‫ ل وأ ا‬- , K ‫ا‬ ‫ا‬ (3) Dari segi lain lagi, ada kalimat-kalimat yang mempunyai struktur yang berbeda, tetapi maknanya sama, seperti: a. ` ‫( ا ! أ )م ا‬1) ‫( أ )م ا ! ا‬2) b. ` Di sini makna kalimat itu sama meskipun struktur batinnya berbeda. Hubungan antara kedua kalimat itu menunjukkan dengan jelas bahwa keduanya muncul dari struktur batin yang sama. Sesungguhnya perbedaan lahir itu akibat dari pengalihan salah satu kosakata dari satu posisi ke posisi lain untuk menegaskan gagasan tertentu. Jika tujuan penutur ialah menegaskan bahwa gurulah yang menghargai siswa, maka ia katakan : ‫ا ! أ )م‬ ` ‫ا‬. Akan tetapi apabila penutur ingin menegaskan penghargaan itu, maka ia katakan : ` ‫أ )م ا ! ا‬. Dari segi keempat, ada syarat-syarat tertentu atas ketepatan konstruksi lahir kalimat sehingga diperikan sebagai kalimat yang berterima secara sintaksis, tetapi tidak dapat ditentukan kecuali dengan merujuk ke konstruksi batin. Bagaimana kita menafsirkan ketepatan kalimat pertama dan kalimat kedua dan ketidaktepatan kalimat ketiga di bawah ini. (1) $ ‫ا `ي‬ K ‫( ھ`ا ھ ا‬1) (2) B ;‫ أ‬V "> ` ‫ا‬ K ‫( ھ`ا ھ ا‬2) (3) ! ‫ ا‬V;‫ أ‬V "> ‫ا `ي‬ K ‫( ھ`ا ھ ا‬3) Sesungguhnyta tepat tidaknya kalimat-kalimat di atas berkaitan dengan dhamir ‘aid (anaphora) dalam jumlah shilah (kalimat penghubung), masalah ini akan jelas ketika kita memperkirakan konstruksi batin yang menghasilkan ketiga kalimat tadi. (1) ( K ‫ ا‬a"> +‫)ا `ي‬ K ‫( ھ`ا ھ ا‬1) (2) ( K ‫ ا‬V;‫ أ‬V "> +‫)ا `ي‬ K ‫( ھ`ا ھ ا‬2) 81 (! b =7 ) 3+ ‫ ل وأ ا ا‬- , K ‫ا‬ (4) V # ‫ ا‬5 B74‫ا ) وا‬ V # ‫ ا‬5 B74‫ وا‬V # ‫ ا‬5 )‫ا‬ ‫ا‬ Meskipun penutur tidak mengucapkan kata (V>‫ )أ‬dalam contoh pertama, (‫ )ھو‬dalam contoh kedua, ( ‫ )ا‬dalam contoh ketiga, (‫ ) ' ا & ت‬dalam contoh keempat, makna yang dialihkan kepada kita menunjukkan adanya kosakata ini dalam konstruksi batin bagi contoh-contoh kalimat diatas. 7. Tata Bahasa Generatif Karena semua penyebab yang lima tadi, Choamsky menolak prinsip-prinsip mazhab distribusi dan menegaskan bahwa tujuan perian bahasa harus mengarah ke pembentukan teori yang dapat menguasai perhatian terhadap sejumlah kalimat yang tak terhingga dalam bahasa tertentu, menjelaskan apa untaian kata 82 yang membentuk kalimat-kalimat sintaktis yang benar dan untaian-untaian yang membentuk kalimat-kalimat sintaktis yang tidak benar, dan memerikan konstruksi sintaksis bagi setiap kalimat. Kemudian teori ini dinamakan tata bahasa generatif, karena ia mengarah ke pembentukan premis yang melahirkan kalimat-kalimat dalam bahasa tertentu(1). Dalam hal ini Choamsky mengatakan bahwa setiap bahasa mengandung sejumlah kalimat yang tak terhingga. Oleh karena itu, setiap matan – hingga jika jumlah kalimat yang dicakup oleh sepe-rangkat karangan yang terdapat di perpustakaan nasional – adalah matan yang sangat kecil. Maka kajian linguistik tentang seperangkat kalimat yang dipilih – secara sembarang - harus membatasi topik kajiannya yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang implisit tentang bahasa yang dimiliki penutur, yakni kompetensi kebahasaan yang memberikan kesempatan kepada penutur untuk membangun dan memahami kalimat yang belum didengar sebelumnya(2). Tujuan teori kebahasaan Choamsky yang telah disajikan dalam bukunya ‘Syntactic Structures’ yang diterbitkan pada tahun 1957 adalah menentukan konstruksi batin bagi struktur lahir. Akan tetapi teori ini dimatangkan dalam bukunya ‘Aspecs of The Theory of Syntax’ yang diterbitkan pada tahun 1965. Dan tujuannya adalah menafsirkan hubungan kebahasaan yang ada dalam bahasa antara sistem bunyi (fonologi) dan sistem makna (semantik). Untuk mencapai tujuan ini, tata bahasa yang lengkap bagi bahasa tertentu harus mencakup 3 (tiga) aspek. a. Aspek struktur, yaitu yang menjelaskan konstruksi batin bagi jumlah kalimat yang tak terhingga dalam bahasa tertentu dan generasi (penurunan)nya. b. Aspek fonologi, yaitu yang menjelaskan konstruksi bunyi (fonologi) kalimat yang diturunkan oleh komponen struktur. 83 c. Aspek makna (semantik), yaitu yang menjelaskan makna konstruksinya. Struktur menduduki posisi dasar, sedangkan fonologi dan semantik, keduanya hanya merupakan faktor yang memerikan bunyi dan makna kalimat yang dibangun oleh struktur. Skema berikut dapat memperjelas hubungan aspek struktur dengan aspek semantik dan aspek fonologi. Komponen Dasar Struktur Batin Komponen Transformasional Komponen Semantik Struktur Lahir Komponen Fonologi Representasi fonologi kalimat Representasi Semantik Kalimat 8. Struktur Batin, Struktur Lahir, dan kaidah Transformasi Dari sajian terdahulu, kita tahu bahwa Choamsky menaruh perhatian dalam teorinya pada penyelidikan konstruksi-konstruksi batin, karena daripadanya terlahir sejumlah kalimat yang terhingga. Sebab, struktur batin memberikan tafsiran kepada kita tentang hubungan yang tidak diungkapkan oleh struktur lahir kalimat. Choamsky berpendapat bahwasanya agar tata bahasa menaruh perhatian terhadap fakta ini, maka untuk lebih menjelaskan struktur batin, tata bahasa itu menuntut semacam kaidah lain yang dinamakan kaidah transformasi. Kaidah ini mengubah struktur batin (dalam) atau muqaddarah (yang diperkirakan) ke dalam struktur lahir (luar) melalui substitusi, penambahan atau penghilangan sebagian unsur. Sesungguhnya kaidah ini menafsirkan bagi kita pemaknaan kalimat yang sama 84 dalam dua kalimat untuk mengubah salah satu unsurnya atau kesamaan makna pada dua kalimat yang berbeda. Ringkasnya, tata bahasa menurut Choamsky mengandung penyelidikan struktur batin dan kaidah-kaidah transformasinya ke dalam struktur lahir, dan menafsirkan struktur batin (dalam) dengan taqdir (mengira-ngira) unsur-unsur yang dihilangkan serta menjelaskan fungsi unsur-unsur yang memberi andil terhadap pembentukannya(2). HUBUNGAN LINGUISTIK DENGAN ILMU-ILMU LAIN 1. Linguistik Dengan Psikologi Psikologi menjelaskan kepada para linguis cara pemerolehan bahasa anak; psikologi terfokus pada studi hal ihwal kegagapan pemerolehan bahasa orang-orang dewasa. Para psikolog harus berhubungan dengan studi kebahasaan untuk mengetahui metode-metode studinya karena hal itu akan membantu mereka dalam melaksanakan tugas mereka. Dari sini, lahirlah suatu ilmu yang memadukan keduanya, yaitu psikolinguistik. Lahirnya ilmu ini karena jasa Caroll pada tahun 1953. * Pemerolehan Bahasa Anak Studi pemerolehan bahasa ibu (bahasa pertama) pada anakanak dimulai pada abad 18 dan mencapai puncak kematang-annya di tangan Stern dan istrinya. Pada tahun 1907 mereka berdua telah menerbitkan sebuah penelitian yang mereka tetapkan sebagai hasil eksperimennya yang dilakukan pada tiga orang anak seputar cara pemerolehan bahasa anak. Pada pertengahan abad sekarang, para psikolog melakukan studi pemerolehan bahasa anak berdasarkan prinsip asumsi bahwa belajar bagaimanapun rumitnya, namun ia tidak berbeda dengan jenis belajar lainnya. Pada tahap awal, studi para psikolog terfokus pada penemuan hubungan antara pemerolehan bahasa dan intelegensi anak. Di antara para pendukung studi topik ini adalah Maccarthy. Kemudian studi-studi itu beralih ke segi lain, yaitu konsentrasi pada aspek-aspek psikologis, yaitu berfikir, kemudian beralih ke perkembangan bahasa anak sejak masa lahir sampai masa sekolah. Dalam studi ini, para linguis dan para psikolog mengikuti metode ilmiah. Lalu mereka memulai tugasnya dengan merekam pelafalan sejumlah anak yang baru lahir pada masa-masa FASAL V 85 86 yang berdekatan. Kemudian mereka mencatat korpus bahasa yang sudah direkam itu secara fonetis, kemudian mengkaji korpus bahasa yang tertulis. Dari hasil rekaman-rekaman itu terjadilah perdebatan seputar hasil rekaman tersebut, yang merupakan rekaman terbanyak daripada rekaman yang telah dilakukan oleh Roger Brown dan kawan-kawannya terhadap ketiga anak yang baru lahir. Pada tahun 1960 berkembanglah studi bahasa anak secara pesat sebab terjadi revolusi linguistik yang pernah dilakukan oleh Choamsky. Ketika menjelaskan metode linguis ini, kita tahu bahwa Choamsky membedakan dua unsur struktur kalimat, yaitu struktur batin dan struktur lahir. Struktur batin merupakan dasar bagi struktur lahir. Choamsky menegaskan bahwa anak dilahir-kan sudah mempunyai pengetahuan fitri tentang hubungan-hubungan sintaksis dasar. Teori ini mempunyai kesimpulan yang dalam untuk menafsirkan pemerolehan bahasa ibu (bahasa per-tama) pada anak. Sebelum munculnya teori Noam Choamsky, para psikolog memandang bahasa sebagai pemerolehan kebiasaan yang sama dengan pemerolehan kebiasaan lain. Mereka berang-gapan bahwa anak dilahirkan, dalam pikirannya terdapat lem-baran putih yang kosong dari bahasa. Mereka berpendapat bahwa penyebab pemerolehan anak akan bahasa kedua orang tuanya adalah latihan yang berkesinambungan yang dilaksanakan oleh kedua orang tua untuk mengajari anaknya kebiasaan berbicara. Di antara para pendukung teori ini adalah Bavlon, Vygotsky dan Skinner. Teori ini dinamakan teori psikologi perilaku. Dan teori ini membangun arah pandangannya atas dasar bahwa bahasa tersusun dari reaksireaksi atau respon-respon terhadap stimulus-stimulus eksternal. Pola yang berterima secara sosial menjadi kebiasaan bagi seseorang, yang diperoleh melalui kedua orang tuanya dan orangorang di sekitarnya. Demikan pula para behavioristik beranggapan 87 bahwa anak setelah belajar bahasa dari kedua orang tuanya, ia akan sampai ke tahap hafalan dan penyimpangan sejumlah pola kalimat yang spesifik, yang dapat direntangkan dan diperluas secara horizontal melalui berbagai metode dengan melestarikan prinsip setiap modelnya. Ketika seseorang terpengaruh oleh suatu stimulus eksternal, maka ia boleh merespon dengan salah satu pola yang tersimpan padanya. Akan tetapi teori ini tidak bersambut oleh para psikolog pada masa sekarang, bahkan mereka mendukung sudut pandang yang diserukan oleh Choamsky, yang mengatakan bahwa anak datang ke dunia ini dengan dibekali bakat fitriyah yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Ini berarti bahwa anak dilahirkan dalam keadaan memiliki kemampuan-kemampuan umum tentang ciri-ciri bahasa, hubungan-hubungan dan bab-bab sintaksis dasar, seperti bab fa’il (subjek) dan maf’ul. Hubunganhubungan ini dan bab-bab itu umumnya terdapat pada semua bahasa manusia. Ada kecenderungan yang sangat baru yang muncul dalam psikologi; ia beranggapan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan mempunyai pengetahuan fitrahnya tentang babbab, kaidah-kaidah sintaksis, semantik dan fonologi. Anak mempunyai kemampuan memakai kaidah-kaidah khusus. Kemudian ia berlanjut dalam revisinya sampai menye-rupai kaidah-kaidah yang dapat mengontrol bahasa orang-orang dewasa. * Perkembangan Bahasa Anak Di antara hal-hal yang diasumsikan dalam psikologi adalah bahwa permulaan pelafalan dan perilaku berbahasa anak tunduk pada jadwal waktu yang cermat saat anak menempuh langkahlangkah berikut. 1) Hal yang pertama kali dipelajari oleh anak adalah prinsipprinsip yang berkaitan dengan klasifikasi kosakata hingga rumpun-rumpunnya. Misalnya, kata ‘kursi’ bagi anak 88 menunjukkan rumpun kursi semuanya tanpa memperhatikan ukuran-ukurannya dan bahan-bahan untuk membuatnya. Demikian pula, anak mempelajari asas-asas yang memungkinkan dia menyusun bunyi yang satu dengan bunyi yang lain untuk membentuk kalimat, kemudian anak mulai melafalkan kata-kata tunggal. Vygotsky dan Bloom berpendapat bahwa kata-kata yang diulang-ulang oleh siswa pada tahap ini mengungkapkan struktur sintaksis yang lengkap. 2) Setelah itu anak mengucapkan kalimat-kalimat yang tersusun dari dua kata. Di antara para psikolog yang menaruh perhatian pada studi tahap ini adalah L. Boom. Eksperimennya dilakukan pada tiga orang anak. Studi itu mengkonfirmasikan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan oleh anak pada tahap ini terdiri dari dua kata yang disusun secara sintaksis dan stabil yang mengacu pada kaidah-kaidah yang stabil. Dengan sarana itu, anak dapat mengungkapkan hubungan-hubungan tertentu, seperti hubungan fa’il (subjek/pelaku) dengan maf’ul bih (objek/sasaran). 3) Setelah itu anak mulai memperluas kalimatnya supaya mencakup lebih dari dua kata. * Bahasa dan Penyakit Kejiwaan Di antara hasil kerja sama antara linguis dan psikolog adalah bahwa para psikolog dapat memanfaatkan prinsip pembagian bahasa ke dalam dua bagian. Yang pertama adalah bahasa, yakni sistem mentalistik yang sebenarnya. Tatkala para psikolog memanfaatkan pembagian kebahasaan ini, mereka mulai membatasi medan bahasa dan medan ujaran dalam otak manusia. Kemudian mereka menemukan bahwa pusat pelafalan terletak di daerah kiri otak yang dinamakan ‘Broca’s Area’. Adapun pusat bahasa atau kemampuan berbahasa – sebagaimana dinamakan oleh Choamsky – ditemukan di daerah lain dalam otak yang disebut ‘Werica’s Area’. 89 Selanjutnya apabila manusia terkena musibah di daerah pertama, maka ia akan terkena musibah kecacatan dalam melafalkan bunyi-bunyi atau dalam struktur sintaksis kalimat. Adapun apabila ia terkena musibah di daerah kedua, maka yang terkena musibah itu akan mendapatkan kesulitan dalam memahami apa yang ia dengar atau yang ia baca. Inilah penyakit yang dinamakan ‘Aphazia’ oleh para ilmuwan. 2. Lingustik dengan Sosiologi Linguitik berkaitan dengan sosiologi, karena bahasa dapat membantu dalam berkomunikasi di antara para anggota masyarakat yang sama. Dari sini, lahirlah cabang linguistik yang dinamakan sosiolinguistik. Ilmu ini bertujuan menjelaskan pengaruh masyarakat terhadap bahasa. Yang demikian itu tercermin dalam hal-hal berikut. 1) Masyarakat terbagi atas beberapa lapisan: Lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah sehingga muncullah tiga tingkatan bahasa yang sama. Orang terdidik mempunyai bahasa tersendiri; para sastrawan dan para pemikir mempunyai bahasa yang khas; dan orang-orang lapisan bawah mempunyai bahasa tersendiri. Misalnya, di antara yang demikian itu, bahasa Jawa terbagi ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan lapisan masyara-katnya. Bahasa lapisan bawah dinamakan ‘Ngoko’; bahasa lapisan atas dinamakan ‘Krama’; bahasa lapisan masyarakat bawah disebut ‘Dmclya’. Setiap tingkatan bahasa ini memiliki ciri-ciri yang khas. Vendryes telah mengkaji bahasa orang yang kurang beruntung dan orang-orang yang melanggar undang-undang di Perancis. Kemudian dia menemukan bahwa bahasa mereka mempunyai keistimewaan yang nyata dalam ekspresi-ekspresi yang memenuhi naluri fisik dan non-fisik (sifat-sifat) yang tercela yang mengarah ke perbuatan dosa, seperti pencurian, perzinaan dan mabuk90 mabukan. Misalnya, bahasa mereka mencakup 18 kata yang mengungkapkan ‘al-akl’ (makan); 20 kata yang mengungkapkan al-khubz (mentega); 40 kata yang mengungkapkan ‘asy-syurthi’ karena mereka selalu takut kepadanya. Di antara contoh-contoh peristilahan yang khas bagi mereka bahwa mereka menamakan assijn (penjara) ‘ma’had’ (lembaga); al-bu’s (kesengsaraan) falsafah; al-hidza al-baly (sepatu usang) filosof; ar-rajul al mustaqim (orang laki-laki yang lurus) ‘basith’ (sederhana). Adapun as-sayyidah al-fadhilah mereka ungkapkan dengan satu kata. Vendryes menjelaskan bahwa pembelajaran yang penuh perhatian tidak cukup dengan pembagian tingkatan-tingkatan bahasa ke dalam tiga tingkatan, melainkan pembagian tersebut lebih dari itu. Sebab, setiap kelompok mempunyai bahasa tersendiri; murid-murid sekolah mempunyai bahasa tersendiri. Bahkan sesungguhnya bahasa ini dapat berbeda karena per-bedaan kelas; semua orang yang memiliki pekerjaan tertentu mempunyai bahasa tersendiri, seperti tukang tambang, tukang berburu dan tukang kayu. Demikian pula, Vendryes menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai potensi-potensi yang dapat me-ngalahkan bahasa. Sebab, apabila seseorang berusaha melanggar salah satu fenomena kebahasaan dalam bahasanya, maka ia segera sadar memberikan reaksi yang berlawanan di masyara-katnya, yang tercermin dalam mempermainkan atau memper-olok-olokannya. Kita menyadari hal itu ketika berbicara dengan bahasa fusha di depan orang-orang awam atau sebaliknya (1). Akan tetapi ada lima gaya bahasa yang dapat dipakai oleh seseorang tanpa diperolok-olok oleh masyarakat. Martin Joos telah membatasi gaya bahasa ini sebagai berikut. 1. Gaya bahasa statis, yaitu yang dipakai dalam ujaran resmi seperti gaya berpidato resmi, shalat, doa’a-do’a keagamaan dan bacaan buku-buku keagamaan. 91 2. Gaya bahasa resmi, yaitu gaya bahasa yang dipersiapkan dengan baik dan dibaca dengan penuh perhatian, seperti sejumlah program siaran radio, televsisi dan kuliah universitas. 3. Gaya bahasa konsultasi, yaitu gaya bahasa yang banyak kesamaannya dengan gaya bahasa resmi, tetapi tidak dirancang dengan penuh perhatian oleh penutur. Di dalamnya penutur menghindari pemakaian ungkapan yang standar. Misalnya, gaya bahasa ini dipakai di kalangan para hakim, para konsultan atau para menteri ketika mereka berdiskusi tentang beberapa hal yang berkaitan dengan hukum. 4. Gaya bahasa biasa, yaitu gaya bahasa yang dipakai oleh temanteman di kalangan mereka. Gaya bahasa ini meng-asumsikan latar belakang konsep-konsep dan informasi-informasi yang kolektif di kalangan para penutur. Dalam gaya bahasa ini, banyak bahasa yang dominan dipakai pada lapisan para penutur. 5. Gaya bahasa loma, yaitu gaya bahasa yang paling tidak resmi. Biasanya gaya bahasa ini tersusun dari semi-semi kalimat, kosakata dan isyarat-isyarat. Di dalamnya, dipakai bahasa yang umum dalam lapisan para penutur(1), dipakai di kalangan kekasih, suami istri dan anggota-anggota dalam satu keluarga. M. Joos mengemukakan pendapat dengan mengatakan: Banyak sekali penutur yang menetapkan pemakaian uslub (gaya bahasa) tertentu tanpa memperhatikan konteks. Hal ini untuk mengkonfirmasikan indentitas penutur. Biasanya hal itu bertujuan membanggakan diri atau memberitahukan kepentingan penutur kepada para pendengar atau menetapkan pemakaian tingkatan kebahasaan yang berkaitan dengan para penutur tingkatan itu atau jaringan sosial yang lansung ada di atasnya dengan tujuan menyerupai mereka. 2) Bahasa dapat berbeda karena perbedaan usia orang-orang yang membentuk masyarakat tertentu. 92 Bahasa seseorang berkembang pada saat berbagai tahap pertumbuhannya. Kita memperhatikan bahwa ketika anak memperoleh bahasa, ia menempuh beberapa tahap, mulai dengan tahap haohakeng yang dikeluarkan oleh anak sebagai suara yang tak terbatas untuk mengungkapkan perasaan lapar, pedih atau sakit. Kemudian setelah itu, ia beralih ke pembentukan kalimat-kalimat yang terdiri atas satu kata, dua kata, kemudian beberapa kata. Pada tahap-tahap ini anak berbicara dengan suatu bahasa yang disebut bahasa anak-anak. Kata-kata yang selalu dipakainya adalah ambu untuk menunjukan maaa (air); mah untuk menunjukkan lam (daging); kukh untuk menunjukkan qadzarah (kotor); dah untuk menunjukkan masy (berjalan). Ketika anak itu mencapai usia lima atau enam tahun, ia akan dapat berkaidah bahasa dan memperoleh sejumlah kosakata sebelum masuk sekolah. Di sini terjadi perubahan besar dalam bahasanya; secara bertahap ia mulai belajar bahasa tinggi (baku). Dari segi lain, ia mulai bergaul dengan teman-temannya, yaitu anak-anak yang datang dari berbagai tingkatan, karena itu bahasanya terpengaruh oleh apa yang didengarnya. Selanjutnya ia mulai memakai bahasa yang mempunyai cap yang berbeda dengan apa yang dipakainya sebelum masuk sekolah. Perkembangan bahasa itu terus berlangsung sejalan dengan perkembangan anak. Dan bahasanya berbeda ketika ia melewati tahap masa puber. Ia memakai ungkapan-ungkapan dan kosakata yang telah tenggelam dalam bahasa ‘amiyah (slang), kemudian bahasanya berkembang lagi pada masa kematangannya. Dari sini, kita dapat memyimpulkan bahwa setiap tahap yang dilalui oleh anak mempunyai bahasa yang sesuai dengan tahapannya. Selanjutnya anak akan membentuk ciri-ciri yang berbeda dengan bahasa pada tahap lain yang dilalui oleh anak. Setiap orang di masyarakat mengetahui kaidah-kaidah yang mengontrol pemakaian bahasa pada setiap tahap yang dilalui oleh 93 anak. Apabila terjadi terjadi salah seorang melanggar salah satu kaidah, maka ia akan mendapat kritikan dari semuanya, sebagaimana hal itu kita lihat pada bagian terdahulu (1). 3) Bahasa dapat berbeda karena perbedaan jenis Di antara perbedaan yang nyata antara jenis laki-laki dan perempuan adalah bahwa suara perempuan paling tajam dan paling tinggi tingkatannya daripada laki-laki. Juga, perempuan lebih jelas dalam pelafalannya daripada laki-laki dan lebih berambisi melafalkan dengan benar kosakata dan kalimat daripada laki-laki. Biasanya, perempuan menggunakan beberapa kosakata yang tidak dipakai oleh laki-laki. Antara lain, perem-puan menggunakan sejumlah besar warna, seperti muf, tarkawaz, bij, zuhri dan bunai. Kosakata ini jarang dipakai oleh laki-laki. Bahasa perempuan mempunyai keistimewaan dengan dihiasi sifat-sifat yang mengungkapkan kekuatan rasa, baik yang bersifat hakikat (sebenarnya) ataupun dipakai basa-basi(2). 94 FASAL VI LINGUISTIK HISTORIS Linguistik historis menaruh perhatian pada penelusuran perkembangan yang terjadi pada bahasa, yaitu pada fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Itu dilakukan melalui komparasi antara kajian bahasa pada dua atau lebih periode waktu yang berbeda. Lingustik historis dalam kajiannya mengacu pada dokumen-dokumen yang terpercaya secara historis. Dokumendokumen ini tampak dalam beberapa bentuk, seperti prasastiprasasti yang terkubur di atas batu-batu besar dan batu biasa, di atas lereng-lereng gunung dan dalam sabak-sabak kayu atau sabak tanah yang terkubur dengan peralatan yang tipis serta dalam sabak-sabak lilin dan daun-daun kurma. Linguis historis tidak dapat bersandar pada tulisan saja untuk menelusuri perkembangan yang terjadi pada bahasa karena dua sebab berikut. 1) Sesungguhnya bentuk tulisan bahasa berperan penting dalam mengosongkan arus perubahan yang menyusul bahasa ujaran dengan cepat. Bahasa ujaran dapat berubah-ubah secara alami dan fitri karena jauhnya dari pusat dan mengekspresikan dirinya melalui zaman serta tampak dalam bentuk dialek sepanjang zaman(1). Misalnya, kita mendapati bahwa bunyi ghain dalam 95 bahasa Inggris – pada prinsipnya – diungkapkan dengan gh. Adapun sekarang, maka bunyi ini tersembunyi dari suara-suara orang Inggris modern, lalu ia tidak melafalkannya. Adapun tulisan, maka itu masih ditulis sebagaimana tertulis pada masa silam, seperti kata night. 2) Sesunguhnya tulisan terkadang dilambangkan dengan lambang yang berbeda dengan lambang asli bunyi ini, seperti C yang dilafalkan ke dalam Camel, sementara lambang asli kaf adalah k, seperti pada Milk dan ph dalam Elephant yang dilafalkan fa, padahal lambang dasarnya adalah F, seperti pada Family. Bahkan sesungguhnya tulisan terkadang dapat menetapkan huruf tetapi tidak diucapkan. Kita mengamati hal itu dalam alif lam syamsiyyah, seperti : c = ‫ ا‬dan alif yang mengiringi wau jama’ah pada fi’il, seperti : ‫ ا‬# dan terkadang terjadi sebaliknya, yaitu bahwa sistem tulisan cenderung ke perafalan fathah thawilah, tetapi tulisan tidak menetapkannya, seperti: 2 E) ‫ ا‬# – B‫ھ`ا – ھ`ه –ط‬ Oleh karena itu, linguis historis mengacu pada korpus yang vital juga, yaitu pada dialek lisan dan menghimpunnya secara ilmiah dengan metode khusus yang dikenal dengan nama geografi bahasa. Linguis melakukan pengumpulan bermacam-macam gambar visual pada peta-peta komponennya yang dikenal dengan atlas bahasa(2) karena studi dialek dianggap sebagai instrumen yang menjelaskan aspek-aspek sejarah bahasa klasik, yaitu sebagai alat untuk memahami masa lalu. Linguis dalam bidang linguistik historis mengacu pada prinsip-prinsip berikut dalam menganalisis korpus bahasa yang vital dan terbukukan. 1. Membandingkan fenomena-fenomena kebahasaan yang berkaitan dengan sejarah kejadiannya, jika hal itu memungkinkan, dan mengamati perubahan fenomena-fenomena ini dari satu periode ke periode lain. 96 2. Ketika pembatasan historis itu tidak ada, korpus bahasa yang berserakan dapat dibandingkan, yang klasik dan yang modern; fenomena-fenomena dan perjalanannya dapat dibandingkan melalui korpus itu berdasarkan ijtihad yang berdasar pada asas seperangkat kecenderungan umum yang terkontrol dalam perkembangan bahasa. Misalnya, di antara kecenderungan-kecenderungan ini adalah kecenderungan kepada meringankan (menyederhanakan) beberapa bentuk sehingga dapat disimpulkan bahwa bentuk yang ringan lebih baru daripada dialek yang biasanya menggunakan bentuk yang utuh, seperti : ‫ ا )س‬V# ‫ر‬. Sebagai akibat dari penyederhanaan ini, terkadang fi’il-fi’il berubah menjadi adawat. Misalnya fi’il : ! > berubah menjadi ! > dan ‫ ن‬kamilah (utuh) kepada ‫ ن‬naqishah(1). 2. Teori Historis Sosial De Suassure menghubungkan perubahan-perubahan bunyi dengan masa-masa kegoncangan dalam sejarah umat manusia. Misalnya, di antara hal yang demikian itu adalah bahwa penyebab dalam perkembangan bahasa latin di antara bahasa-bahasa Rumania disebabkan oleh masa yang goncang yang dibutuhkan oleh bahasa Italia. Jespersen mengatakan bahwa huruf-huruf dan pergolakan sosial mengakibatkan masuknya bahasa dalam pergulatan dengan bahasa latin. Terkadang, itu menjadi bahasa para prajurit atau bahasa para emigran baru. Tentu ini membawa ke perkem-banganperkembangan tertentu dan ukurannya tergantung pada sejauhmana kekuatan dan budaya bahasa para prajurit atau para emigran. * Teori-teori Perkembangan Bunyi 1. Teori Perubahan Anatomi Teori ini berarti bahwa glotal dan artikulasi lainnya pada manusia berubah dari generasi ke generasi. Penelitian anatomi menunjukkan bahwa organ-organ perlengkapan pernafasan pada manusia masa lalu berbeda dengan manusia modern. Selanjutnya hal ini membawa kepada perubahan dalam pelafalan bunyi. Misalnya, bunyi ‫ ا ' د‬sebagaimana yang diuacapkan oleh para linguis terdahulu dan sebagaimana yang kita ucapkan sekarang. Sibawaih telah memerikan makhrajnya bahwa makhrajnya dari makhraj (! " ‫ )ا‬atau (2 = ‫)ا‬, namun ia bersifat hampiran seperti (‫م‬L ‫ )ا‬dan bersifat istithalah. Adapun sekarang, maka makhraj (‫ )ا ' د‬adalah makhraj (‫)ا ال‬, sedangkan perbedaan antara keduanya ialah bahwa (‫ )ا ' د‬adalah bunyi mufakhkham dan kita sekarang tidak dapat melafalkan (‫ )ا ' د‬seperti yang diucapkan oleh para linguis terdahulu. 3. Teori Kemudahan Jespersen mengatakan: Saya tidak khawatir akan pertentangan apapun ketika saya menghubungkan kecenderungan manusia dengan kemalasan, bersantai-santai, dan kemudahan. Apabila hal ini merupakan kecenderungan manusia, maka bahasa ketika berkembang, bunyi-bunyinya cenderung hemat dalam upayanya. Osthoff, salah seorang ahli nahwu baru (Neogrammarian), menentang teori ini. Dia mengatakan bahwa kemudahan dan kesukaran merupakan dua istilah yang relatif. Sebab, apa yang dianggap mudah oleh seorang penutur akan dianggap sukar oleh penutur lain. Bunyi sin dan tsa itu mudah bagi orang Inggris, tetapi keduanya sukar bagi pembelajar bahasa Inggris, yang non Inggris. Pendapat ini didukung oleh Dr. Abdurarahman Ayyub, namun demikian bahasa ketika bunyi-bunyinya berkembang, maka ia cenderung melepaskan bunyi-bunyi yang sukar. 97 98 4. Teori Imitasi Para pendukung teori ini beranggapan bahwasanya ketika bunyi-bunyi bahasa itu berkembang, maka kita temukan bahwa suatu bunyi dapat menduduki bunyi lain. Perkembangan bunyi tsa dalam bahasa Arab Fusha menjadi bunyi ta dalam dialek Kairo, seperti pada tsa’lab dan ta’lab.Itu berarti bahwa bunyi tsa ditukar dengan bunyi ta. Satu-satunya tafsiran terhadap yang demikian ini adalah bahwa para penutur dengan dialek Kairo menirukan bunyi ta ketika mereka melafalkan tsa. Teori ini didukung oleh Jespersen dengan mengatakan bahwa asal perubahan bunyi disebabkan oleh peniruan kebisaankebiasan ujaran pada orang lain. Di samping itu, harus kita katakan bahwa peniruan membawa kepada perubahan, sedangkan melawan peniruan itulah yang membawa kepada perubahan. 5. Teori Interferensi Ujaran Faktor yang terpenting dalam perkembangan bunyi adalah penutur memakai dua bahasa. Ketika penutur berbicara dalam dua bahasa, maka akan terdapat interferensi dalam ujaran. Inteferensi ini muncul ketika seseorang yang bilingual berusaha mengadakan kemiripan antara fonem dalam bahasa keduanya dan fonem yang mendekatinya dalam bahasa ibunya. Kasus ini tidak terbatas pada bilingualism saja, tetapi ia tersebar secara umum di kalangan orang yang belajar bahasa asing. Misalnya, mahasiswa Turki yang belajar bahasa Arab cenderung melafalkan fonem wau dalam bahasa Arab sebagaimana ia ucapkan dalam bahasa Turkinya, yaitu v. Alih-alih melafalkan kata bahasa Arab: walad dengan pelafalan Arab yang fasih, ia melafalkannya valad(1). * Pola-pola Perubahan Bunyi 99 1. Perubahan bunyi Orang yang pertama kali menaruh perhatian terhadap pergerakan bunyi adalah Grimm, salah seorang pencetus filologi bandingan. Kemudian hal itu dikenal dengan nama kaidah Grimm. Dia mengatakan bahwa bunyi-bunyi letupan yang ber-suara dalam seperangkat bahasa Indo-Eropa berubah menjadi bunyi-bunyi letupan yang tak bersuara dalam bahasa Jerman. Demikianlah, (b) menjadi (p); (d) menjadi (t); (j) menjadi (k). Adapun bunyi-bunyi letupan yang frikatif dalam bahasa Indo-Eropa berubah menjadi bunyi-bunyi frikatif yang tak bersuara. Demikianlah, (p) menjadi (f) dan (t) menjadi (ts) serta (k) menjadi (kh)(1). Dalam bahasa Arab kita temukan pola-pola pergerakan bunyi sebagai berikut. Bunyi-bunyi dental yang frikatif bergeser kepada bunyibunyi letupan yang uvular. Berikut ini penjelasan tentang bunyibunyi ini dan bunyi-bunyi yang menduduki posisinya. * (‫)ا `ال‬ a. posisinya diduduki oleh (‫اى‬S ‫)ا‬, seperti : ‫`ور‬4 dan‫ور‬S4 b. posisinya diduduki oleh (‫)ا ال‬, seperti : ‫)ذءة‬4 dan ‫)د‬4 ; 7* dan ` 7* ; ‫ > ل‬dan ‫ ر ; >`ل‬dan ‫ `ر‬. * (‫)ا ء‬ a. posisnya diduduki oleh (2 - ‫)ا‬, seperti =E dan B -E b. posisinmya diduduki oleh (‫)ا ء‬, seperti : ‫ ر‬e dan ‫ م ; ر‬e dan ‫م‬ * (‫ ء‬f ‫ )ا‬: a. posisinya diduki oleh (‫)ا ' د‬, seperti : f7E dan '7E (2). Bunyi-bunyi palatal diubah menjadi bunyi-bunyi uvular. Berikut ini penjelasan tentang hal itu. 100 * (‫ )ا ف‬: (‫ )ا ف‬berubah menjadi (g ) apabila diikuti oleh kasrah dalam dialek Rabi’ah dan dialek Mudhar, yaitu apabila (‫)ا ف‬ menunjukkan dhamir mukhathabah muannatsah (pronomina orang kedua perempuan). Dalam keadaan waqaf, maka (‫)ا ف‬ berubah menjadi (2 N) saja, sebagaimana hal itu tampak dalam contoh berikut: g – g – h (1). Di antara contoh-contoh perubahan ini adalah ucapan Rajiz : g i7 V ‫ان د> ت‬ g > V V,M> ‫وان‬ g * 5 jQE V ‫وان‬ g 7 ‫ ا‬X#+7 P+7 P E di kalangan penduduk Quraisy pada zaman Nabi SAW. Kemudian pelafalan itu menjadi pelafalan Al Qur’an dan bahasa Arab fusha (1). c. Bunyi (‫ )ا ال‬hilang dan bunyi (2 = ‫ )ا‬yang bersuara tetap ada. Ini dinisbatkan kepada kabilah Tamim. Zuhair bin Dzuaib al‫ و > ا‬B ‫ ! ا‬iN‫)وا * أ‬4 R ! ‫ل‬ ‘Adawi berkata : -# ‫ ا‬4) Juga, diantaranya : F = – F " – ‫ )ث‬N‫( ا )ث – ا‬2). 2. Bunyi (aw) berubah menjadi dhammah mumalah thawilah dan bunyi (ay) berubah menjadi kasrah mumalah thawilah. Kemudian kedua-duanya berubah menjadi fathah thawilah, seperti : – ‫– ب‬ * (! " ‫)ا‬ - Jim (‫ )ا م‬berubah dari pangkal palatal ke tengah-tengahnya. Itu terjadi di awalnya sebelum kasrah, yaitu gi. Kemudian ini bersifat umum, di mana makhrajnya menjadi dari tengah-tengah palatal sebelum fathah, kasrah dan dhammah. - Bunyi gi berubah menjadi di, seperti : g N‫ د‬sebagai penganti dari g = . - Pada bunyi di terjadi perubahan-perubahan berikut: a. Bunyi (‫ )ا ال‬hilang dan bunyi kasrah tetap ada dan ditulis ( ,). Yang demikian itu dinisbatkan kepada kabilah Tamim. Ummu Haitsam mengatakan : 2 ‫ ﷲ‬2 4M P7 9‫ل و‬ ّ ‫ ظ‬2 2 , ! ‫اذا‬ ‫ )ات‬N yaitu dari ‫")ات‬N. b. Bunyi (‫ )ا ء‬bertukar menjadi (2 N) yang bersuara dengan bunyi (‫ )ا ال‬tetap ada, maka bunyi itu menjadi dj. Pelafalan ini dominan pada penduduk Quraisy. Pelafalan inilah yang dominan 101 Gejala ini dinisbatkan kepada Kabilah Balharits, yaitu kabilah Yaman yang mengharuskan mutsanna dengan alif. Rajiz berkata : ‫ھ‬L = 2‫ھ‬L ‫ط رت‬ ‫ اھ‬E +E P7Q 4 ‫و = د‬ ‫ ھ‬4‫و> أ‬ > Juga, di antaranya : , dan , (3). Atas dasar bahasa dialek ini, datanglah firman Allah SWT : ((‫)ان‬E - ‫))ان ھ`ان‬ 3. Gugurnya bunyi hamzah (‫ة‬S ‫)ھ‬: a. Di awal kata Telah kami jelaskan sebelumnya ketika mengkaji kaidahkaidah bunyi dalam bahasa Arab bahwa kaidah itu cenderung menggugurkan hamzah di awal kata, seperti: ) M, -) ‫ ; أ‬dan `;‫أ‬ `; – `;M, –. Di sini ingin kami tunjukkan bahwa kecenderungan ini bersifat umum. Di antara rambu-rambu dasar dalam perkembangan bahasa, Abu Bakar bin Ambari mengatakan bahwa 102 orang awam melakukan kesalahan dalam menjamakkan kata 2- ‫ا‬ dengan ‫ ن‬7C ; dalam kata ‫ م‬F4l‫ ا‬dengan ‫ م‬F4. Orang kebanyakan pada masa al-Jawaliqi cenderung menggugurkan hamzah ‫أب‬, lalu mereka mengatakan ‫ ح‬, 4 sebagai pengganti dari ‫ ح‬,‫ ر‬4‫أ‬. b. Di tengah kata Gejala ini membedakan dialek Quraisy, seperti kata : ‫ل‬MC dan ‫ ل‬C ; ‫ل‬M-, dan ‫ ل‬-,. c. Di akhir kata Di akhir fi’il, pengguguran hamzah mengakibatkan ketaksaannya dengan fi’il-fi’il mu’tal akhir, lalu ia saling berinteraksi ketika disandarkan kepada dhamir. Ibnu Ambari mengatakan : Katanya : B ,‫أردأت ا ) – أردا – أرد‬ Barangsiapa yang membaca B ‫أردا‬, berarti ia menghaluskan hamzah (menjadikannya sebagai hamzah lin) dan barang siapa yang membaca B ,‫أرد‬, maka ia beralih dari hamzah (1). Diserupakan V,‫ أرد‬dengan V <‫أر‬. Contoh semacam ini adalah ucapan bangsa Arab : ‫رأت‬+ dengan mentahqiq hamzah dan ‫رات‬+ dengan mentalyin hamzah; V,)* dengan meninggalkan hamzah; dan dari situ beralih ke tasybih (menyerupakan dengan V '* dan V ‫)ر‬. Demikian pula, dapat diucapkan ‫ ا*)أ‬dengan tahqiq dan ‫ ا*)ا‬dengan talyin. d. Gugurnya hamzah membawa kepada semacam isytiqaq (derivasi) baru, karena gugurnya hamzah dari fi’il (PC‫ا‬W,) adalah mudhari dari (PC‫دى ;)آ‬W, adalah mudhari dari ‫آدى‬. Misalnya, perubahannya menjadi PC‫ ا‬, dan ‫ دى‬, adalah tanggung jawab terhadap isytiqaq madhi (derivasi verba lampau) yang baru : ‫ودى‬ – PC‫ أ‬dan contoh selain itu yang umum dipakai dalam dialek modern. Hal itu pernah terjadi dalam dialek kabilah Thai lama. 103 4. Qalb makani (pertukaran dari segi posisi) Qalb makani tercermin dalam saling mendahulukan beberapa bunyi kata, seperti : ‫ `ب‬dan `# ; )F dan 8‫; )ھ‬ ‫ج‬S dan S" ; <‫ ا‬dan ' ‫ا‬. Juga, di antaranya ada kabilah Tamim yang mengucapkan , -‫ ر‬sebagai pengganti dari ‫; )ى‬ ! + dan Z*‫ ا‬R sebagai pengganti dari + R ; ‫ق‬-‫ وا‬dan kata X dalam kata X . FASAL VII LINGUISTIK BANDINGAN A. Pembagian Bahasa ke dalam Rumpun-rumpun Bahasa Metode bandingan mengacu pada asas-asas metode historis. Metode ini berbeda dengan metode historis dalam hal menelusuri gejala bahasa pada masa lalu. Di antara kesimpulan yang paling menonjol dalam metode ini adalah bahwa ia menentukan bahasa-bahasa manusia tertulis dalam sembilan rumpun yang diklasifikasi menurut kemiripan setiap rumpun dalam ciri-ciri umum, baik aspek fonologis, morfologis, sintaktis maupun aspek semantis. Tabel berikut memperjelas rumpunrumpun ini yang disusun berdasarkan jumlah penduduk yang bertutur dalam setiap rumpun. Jumlah Penduduk 1000 500 104 Nama Rumpun Indo-Eropa Cina dan Tibtia 100 100 100 90 75 60 10 pertama mencakup semua dialek yang dominan di Afrika Barat dan Afrika Tengah sebelah utara sampai daerah khatulistiwa. Di antara dialek kelompok bahasa ini ada dialek Hawisa, Yorisa dan Madinja. Kelompok kedua mencakup bahasa Banto dan membentang hingga daerah Afrika Utara. Afrika Darvidia Jepang-Korea Melayu Semit-Hamit Orolia Indo-Amerika * Keterangan : 1. Indo-Eropa Rumpun bahasa ini dipakai untuk bertutur oleh sejumlah besar penutur. Mereka berada di sebagian besar daerah geografis. Rumpun bahasa itu mencakup bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Spanyol, bahasa Persia dan bahasa-bahasa lain yang banyak di India. 2. Cina-Tibtia Rumpun bahasa ini mencakup sekelompok bahasa yang tidak saling berkaitan, sedangkan hubungan antarbahasa itu tidak memberi inspirasi sedikitpun tentang koleski budaya. Bahasa Cina merupakan rumpun bahasa yang paling menyebar. Dalam bahasa Cina, sistem tulis mencakup sejumlah dialek yang beraneka ragam dan bercampur baur. Juga, rumpun bahasa ini mencakup sekelompok bahasa Tibtia dan Burma. Bahasa-bahasa itu bercirikan bahwa sebagian besar kata di dalamnya terdiri atas dua suku kata dan juga merupakan bahasa yang berstres serta menggunakan kata-kata penghubung yang memberi pengertian persona dan jumlah. 3. Bahasa Afrika Rumpun bahasa ini mencakup sekelompok besar dialek yang dapat kita himpun dalam dua kelompok besar. Kelompok 105 4. Bahasa Jepang-Korea Para anggota penutur rumpun bahasa tidak saling berkaitan. Bahasa Jepang meskipun menyerupai bahasa Cina dalam sistem tulisannya, namun bahasa itu berbeda dengannya dalam ciri-ciri lainnya, seperti sintaksis dan morfologi. Misalnya, fi’il (verba) berinfleksi dengan infleksi yang berbeda dengan infleksi yang dominan dalam bahasa Arab dan bahasa Perancis. Semua verba tidak berkaitan dengan persona, karena di dalamnya tidak terdapat dhamir-dhamir (pronomina-pronomina) personal. Sebagai pengganti dari indikasi pada persona, verba itu menunjukkan ide keakraban, sopan santun dan paling sopan. 5. Rumpun Bahasa Dravida Rumpun bahasa ini tersebar di Selatan India, utara Srilangka dan Sailan. Di samping bahasa-bahasa Indo-Eropa, ada rumpun bahasa yang membuat permasalahan sosial yang riskan. 6. Rumpun Bahasa Melayu dan Bulunezia Rumpun bahasa ini tersebar di daerah-daerah yang jauh dan asing bentuknya. Ia tersebar di daerah-daerah lautan yang jauh dan banyak kepulauan. Rumpun bahasa ini membentang dari Tahiti di timur hingga Majasy di barat. Distribusi ini terjadi secara tidak sengaja. 7. Rumpun bahasa Semit 106 Rumpun bahasa ini terbagi atas dua kelompok, yaitu: 1) kelompok bahasa Semit dan 2) kelompok bahasa Hamit. Kelompok bahasa Semit yang terpenting adalah bahasa Arab yang dipakai untuk bertutur oleh semua bangsa dunia Arab sekarang. Adapun bahasa Hamit adalah bahasa yang dipakai oleh penduduk utara Afrika, Sudan dan Somalia. 8. Rumpun Bahasa Orolia Rumpun bahasa ini mencakup sejumlah besar bahasa. Daerah yang penduduknya memakai rumpun bahasa ini adalah dari utara dan pertengahan Eropa sampai ujung timur Seberia. 9. Rumpun bahasa Indo-Amerika Bahasa-bahasa ini tidak tepat diistilahkan rumpun bahasa, tetapi yang paling sesuai, bahasa-bahasa ini dinamakan kelompok bahasa yang mencakup sejumlah dialek yang beraneka ragam di utara dan pertengahan Amerika Selatan. Di antara kelompok bahasa yang terpenting adalah dua kelompok, yaitu kelompok Indo-Eropa dan kelompok SemitHamit. B. Kelompok Bahasa Indo-Eropa Kelompok bahasa ini mencakup beberapa cabang berikut. : 1. Cabang Jerman Cabang ini terbagi atas dua kelompok dasar, yaitu: (a) Timur, mencakup bahasa Swedia, bahasa Nurwegia, bahasa Denmark dan bahasa Islandia; (b) Barat, mencakup bahasa Inggris dan bahasa Jerman; 2. Cabang Rumania, istilah ini diambil dari kata Rumania yang mencakup semua bahasa yang dominan dalam kekaisaran Rumania. Ia dinamakan bahasa latin. Cabang ini mencakup bahasa Spanyol, bahasa Portugal, bahasa Perancis dan bahasa Italia. 107 3. Cabang Baltiqia Slavia, ia mencakup bahasa Baltiqiya dan bahasa Slovania. Adapun bahasa Baltiqia mencakup bahasa Litswania, sedangkan bahasa Slovania mencakup bahasa Rusia, bahasa Ukrania, bahasa Belanda, bahasa Mekdonia dan bahasa Balkan. 4. Cabang Indo-Iran Cabang ini mencakup dua kelompok, yaitu: (a) Kelompok bahasa Iran, mencakup bahasa Persia, bahasa Kurdi, bahasa Palusyia dan bahasa Afghania (b) Kelompok bahasa India, mencakup bahasa Urdu, bahasa Mongolia dan bahasa Tigania(1). C. Rumpun Bahasa Semit Rumpun bahasa Semit adalah kelompok bahasa yang berdekatan dan tersebar di Jazirah Arab, Suria, Palestina dan Irak (1). Belum terungkap hubungan antara semua bahasa ini satu kali pada abad 19, melainkan pada masa pertengahan para linguis Arab telah mengenal bahwasanya ada kekerabatan antara bahasa Arab, bahasa Ibrani dan bahasa Suryani. Mereka menyerupakan kekerabatan ini dengan kekerabatan dialek-dialek dalam satu bahasa. Khalil bin Ahmad dalam kamusnya ‘Al ‘Ain’ mengatakan: Kan’an bin Sam bin Nuh menjadi nisbat bagi bangsa Kan’an dan mereka bertutur dalam bahasa yang menyerupakan bahasa Arab. Imam Suhail mengatakan: Sering terjadi kekerabatan antara orang Suryani dan orang Arab atau mendekatinya dalam lafalnya(2). Ibnu Hazm al-Andalusi mengatakan: Dan yang kita ketahui dengan yakin adalah bahwa bahasa Suryani, bahasa Ibrani dan bahasa Arab itulah yang merupakan bahasa kabilah Mudhar dan kabilah Rabi’ah. Bukan satu bahasa kabilah Himyar, yang tempat tinggal penduduknya saling berganti. Di dalamnya telah terjadi suatu pergesekan, seperti yang terjadi di Andalusia. Apabila penduduk Qirwan bermaksud suatu ritme, dan sebagian orang 108 Qirwan apabila ia bermaksud bahasa Andalusia – kita menemukan orang yang mendengar bahasa penduduk Fash al Buluth – yaitu bahasa pada satu malam dari Qurtubi, maka ia mengatakan bahwa bahasa itu adalah bahasa lain selain penduduk Qurtubi. Demikialah di banyak negara karena penduduk negeri itu berdekatan dengan bangsa lain, bahasanya saling bertukar dengan pertukaran yang tidak samar bagi orang yang mene-litinya. Apabila orang Gelka menjadi bangsa Arab, maka ia mengganti (2 ‫ )ا‬dan (‫ )ا " ء‬dengan ‫ھ ء‬. Lalu ia mengucapkan F apabila ia ingin mengatakan : dan contoh semacam ini banyak(1). Barangsiapa yang merenungkan bahasa Arab dan bahasa Suryani, maka dia akan meyakini bahwa perbedaan keduanya adalah hanya dari seputar yang telah kami kemukakan, yaitu pertukaran lafal-lafal manusia sepanjang zaman dan perbedaan Negara dan umat-umat yang berdekatan dan sesungguhnya ia pada mulanya merupakan satu bahasa. Akan tetapi meskipun para linguis Arab mengetahui hubungan yang mirip antara tiga bahasa, namun mereka belum meneliti bahasa-bahasa ini dengan penelitian bandingan. Pada abad 11 Masehi, Al-Hakkam Yahuda Hayuj (Abu Zakaria Yahya) menerapkan metode-metode para ahli nahwu Arab pada bahasa Ibrani. Demikianlah, ia telah membuat – dengan suatu metode yang tidak disadari - lingustik bandingan terhadap bahasa-bahasa Semit. Situasinya masih demikian sampai datang abad 17 Masehi, di mana bahasa ke empat, yaitu bahasa Habsyi (Ethopia) telah ditambahkan kepada tiga bahasa itu. Tentu kita tidak memaksudkan semua bahasa Habsyi, tetepi yang kita maksud dengan itu adalah bahasa Semit yang dipakai bertutur di Habsyi. Adapun dialek-dialek lain yang dominan di kalangan penduduk terdahulu, maka di sini tidak kita maksudkan. Oleh karena itu, orang-orang Eropa telah membuat suatu nama yang membedakan 109 bahasa Mismariyah yang dominan di Ethopia, yaitu bahasa Ja’ziyah. Abad Abad 17 solusi lambang-lambang prasasti langit telah mengakibatkan penambahan bahasa kelima, yaitu bahasa Akadis, yakni bahasa Babilonia Klasik dan bahasa Asyuria menengah(1). Pada abad 18 para linguis berasumsi salah bahwa bahasabahasa ini mempunyai hubungan kolektif dengan kelompokkelompok bangsa yang pernah bertutur dengannya dan mereka menganggap bahwa bahasa-bahasa Semit adalah bahasa-bahasa bagi orang-orang Semit. Dari sudut ini, kita dapati bahwa orang yang pertama kali memberi nama kolektif bagi bahasa-bahasa ini dan bagi bangsa-bangsa yang bertutur dengannya adalah Slchotzer pada tahun 1781. Tentu yang dia maksud dengan bangsa-bangsa ini adalah bangsa Arab, bangsa Ibrani dan bangsa Aramia. Juga, telah dominan keyakinan bahwasanya telah lama bahasa-bahasa yang mirip dapat kembali ke satu bahasa atau bercabang daripadanya, karena bangsa-bangsa yang bertutur dengan bahasa yang mirip itu dapat kembali ke satu bangsa yang merupakan sumber bercabangnya bangsa-bangsa ini. Dari sini Slchoetzer menyarankan penamaan bahasa-bahasa ini dengan bahasa-bahasa Semit dan bangsa-bangsa yang bertutur dengan-nya dinamai Semit. Dia berpendapat bangsa itu lahir dari Sam bin Nuh. Dan dia membangun sudut pandangnya ini berdasarkan tabel silsilah keturunan yang terdapat dalam ‘Safar at-Takwin 1:5. Tabel ini melihat bahwa Aram dan Arfakhsyad termasuk putra Sam. Arfakhsyad dijadikan kakek tertinggi bagi Nabi Ibrahim, kemudian Ibrahim melahirkan Ishak, yaitu nenek moyang bangsa Israel dan Ismail adalah kakek bangsa Arab. Akan tetapi apabila kita memusatkan perhatian terhadap tabel ini, maka akan tampaklah bagi kita bahwasanya belum diketahui ciri-ciri bangsa ini atau hubungan kemiripan antar bahasa. Bahkan hal itu didasarkan pada asas pemeliharaan 110 hubungan politik dan batas-batas geografis yang pernah dominan pada waktu penyusunan tabel ini. Misalnya, dari sini tabel itu menganggap bahwa ‘Ailam melahirkan dua saudara Asyur sehingga keduanya termasuk putra Sam, sementara orang-orang ‘Ailam dan orang-orang Luda serta orang-orang Asyur itu tidak termasuk bangsa-bangsa yang berdekatan. Oleh karena itu, penyebab keduanya mengabungkan diri ke Asyur adalah bahwa keduanya tunduk di bawah kekuasaan orang Asyur pada waktu disusunnya tabel silsilah keturunan yang terdapat dalam Safar (1). Dari segi lain, tabel itu tidak lagi mencakup bangsa Semit dan bangsa Fenesia atau bangsa Kan’an, sementara bahasa mereka sangat mendekati bahasa Ibrani. Akan tetapi tabel tersebut tidak memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang hubungan antarbangsa di sebelah selatan Jazirah Arab dan bangsa Ethopia(2). Para linguis modern menyanggah bahwa bahasa-bahasa ini mempunyai hubungan kolektif dengan kelompok bangsa yang bertutur dengannya, karena sekarang sudah dengan mudah kita ketahui bahwa pemerolehan bahasa dan asal bangsa serta kecenderungan budaya ada tiga hal yang istimewa. Bangsa mengacu pada ciri-ciri pisik. Dari sini kita mempertanyakan: Apakah kita dapat mengatakan bahwa bangsa-bangsa yang dahulunya bertutur dengan bahasa-bahasa ini berasal dari satu ayah dan satu ibu? Pertanyaan ini tidak mudah. Banyak ilmuwan yang berpendapat bahwa gagasan Semit tidak tepat kecuali dalam medan kebahasaan. Sama sekali Semit itu tidak tepat dinamakan bangsa. Para ilmuwan lain berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan Semit adalah kemiripan dalam bahasa-bahasa dan peradaban. Mereka memperkuat pendapat mereka dengan menunjukkan kemiripan keluarga yang teramati dalam sistem sosial dan agama serta bangsa-bangsa yang bertutur dengan bahasa- bahasa Semit. Untuk menetapkan masalah ini, kita harus membatasi makna bangsa. Ilmu antropologi modern mendefi111 nisikan bangsa sebagai sekelompok orang yang bisa berbeda jenis dan tanah airnya, tetapi mereka bercampur dalam kesatuan yang homogen berkat kesatuan tempat tinggal, bahasa, tradisi dari aspek sejarah dan peradabannya. Sesungguhnya apabila kita terapkan definisi ini pada bangsa-bangsa yang bertutur dengan bahasa-bahasa Semit, kita dapati bahwa hal itu jelas mencakup setiap bangsa tersendiri dan kita dapati juga bahwasanya tidak ada kontradiksi dari segi geografis terhadap homogenitas kelompok di antara bangsabangsa itu dan hal itu mencakup tradisi sejarah dan peradaban. Yang demikian itu akan kita lihat nanti bahwa bangsa-bangsa yang bertutur dalam bahasa Semit telah berdelegasi pada masa sejarah dari Jazirah Arab. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa masalah jenis bangsa tidak mempengaruhi pembatasan bangsa-bangsa Semit. Sebab, bangsa yang paling koheren dan homogen bisa mencakup unsur-unsur kebangsaan yang sangat beragam. Sekarang dapat dipastikan bahwa teori yang sekarang telah musnah pengaruhnya lebih banyak daripada yang bersandar pada ilmu yang sungguh-sungguh. Dan para antropolog benar-benar telah membuangnya(1). Adapun bahasa dan budaya diperoleh melalui pengajaran, pengalaman, tradisi dan sarana-sarana lain. Sesungguhnya bahasa dipelajari pada masa anak-anak atau masa dewasa dan tidak beralih dari kedua orang tua kepada anak melalui pembawaan. Anak belajar dari kedua orang tuanya – bahasa yang dominan di keluarga atau di kabilah atau di masyarakat tempat hidup keluarga anak ini. Atau terkadang bahasa diperoleh seseorang nanti pada waktu berlangsung proses kehidupan karena dorongan yang penting. Terkadang masyarakat terpaksa meninggalkan bahasanya apabila masyarakat menghadapi penjajah yang mengharuskan bahasa melalui kekuatan, seperti semacam politik yang dikaji. Hubungan bisnis bisa membawa kepada persebaran bahasa 112 tertentu dan misi agama juga bisa membawa kepada persebaran bahasa yang mengandung agama ini. Terkadang kita dapati bahwa dua masyarakat mempunyai dua bahasa yang dipakai saling bergantian. Umumnya, salah satu bahasa dapat mencapai puncaknya, sedangkan bahasa yang lainnya sangat melemah. Demikianlah bahasa Arab masuk Mesir setelah kemenangan Islam pada bad 17 masehi. Dan bahasa Arab-lah yang menjadi bahasa politik, undang-undang dan sarana umum untuk berkominkasi dengan dunia Islam lainnya. Secara bertahap bahasa orang-orang Qibti mulai melemah sehingga ia selalu berhenti dari pemakaiannya pada abad 16 M. Ia hanya sebagai bahasa masalah-masalah keagamaan di-kalangan orang Qibti saja. Dari sini jelaslah bahwa bangsa merupakan suatu masalah, sedangkan bahasa betul-betul meru-pakan masalah lain. D. Ciri-ciri Bahasa Semit 1. Aspek Fonologi Aspek fonologi mempunyai keistimewaan dengan kekayaan yang teramati dalam konsonan. Dalam bahasa-bahasa Semit terdapat banyak konsonan yang makhrajnya dari pangkal tenggorokan dan anak tekak. Dan di dalam bahasa Semit terdapat apa yang dinamakan shawamit mufakhkhamah atau muthbaqah, seperti (‫)ص – ط – ظ‬. Adapun bunyi-bunyi vokal sangat sedikit. Dalam bahasa Semit hanya terdapat tiga vokal, yakni fathah, kasrah dan dhammah. Secara tulisan tidak diungkapkan vokalvokal pendek, melainkan hanya diinduksi oleh pembaca melalui pelafalan konsonan. 2. Aspek Morfologi a. Bentuk-bentuk kata berdasar pada sistem akar kata, yaitu dasar bagi segela isim (nomina), fi’il (verba) dan dhamir (pronomina). 113 Akar kata isim (nomina) dan fi’il (verba) terbagi atas tiga bagian. Pertama, akar kata yang terdiri atas uhadiyah (unikonsonan), yang merupakan akar kata paling klasik dalam bahasa Semit. Misalnya, berarti ! (di sini ‫ ا او‬merupakan lambang bagi morfem i’rab, yaitu dhammah thawilah) dan ‫ ة‬N (kata itu terdiri atas satu konsonan dengan dalil bahwa kata tersebut dalam bahasa Ugarit adalah SE) Kedua, akar kata yang terdiri dari bikonsonan, yang merupakan akar kata yang paling klasik dalam bahasa Semit, seperti : !C‫ – ا‬24‫ – أ‬, – ‫ – دم‬N – ‫أب‬ Sebagian linguis beranggapan bahwa akar-akar kata bikonsonan mencerminkan asal (pangkal) tiga akar. Setelah ditambah konsonan yang ketiga, kita mengamati hal ini dalam akar-akar yang ganda, yaitu ia asalnya merupakan akar-akar bikonsonan, kemudian ditambahkannya konsonan yang serupa, seperti : c . Juga, di antara contoh-contoh tentang itu adalah akar-akar kata yang terdiri dari tiga akar yang mengandung kesamaan dalam dua konsonan, tetapi berbeda dalam konsonan ketiga. Konsonan-konsoan itu menunjukkan makna-makna yang berdekatan atau serupa, antara lain : ‫ )م – )ق – )س‬berarti ‫ ل‬dalam bahasa Ibrani. Ketiga, akar kata yang mengandung tiga konsonan yang mengungkapkan makna dasar kata, kemudian membatasi makna kata yang cermat, sedangkan fungsinya dengan menambahkan vokal-vokal atau suku-suku kata pada awal, tengah atau akhir kata. Inilah yang dinamakan morfem. Akar (‫)ك – ت – ب‬ mengungkapkan makna umum, yaitu 4 ‫ا‬. Setelah ditambah-kan morfem terikat kepadanya, dari situ dapat dibentuk shighat (bentuk kata). 114 E. Judzur Dhamair (Akar-akar Pronomina) Dalam metode deskriptif telah kami jelaskan bahwa dhamir-dhamir itu mencakup dhamir syakhsiyah (pronomina persona, isim isyarah (kata ganti penunjuk), isim maushul (kata sambung) dan isim istifham (kata tanya). Asalnya, dhamir-dhamir ini merujuk ke unsur-unsur isyarah (penunjuk). >‫ أ‬dan V>‫ أ‬merujuk ke unsur isyarah : ‫ ت‬+ ‫أن‬ atau 8 l‫ا‬, asalnya adalah ‫ ء‬, atau ‫واو‬, yakni (Ani) dan (Anooxii) dalam bahasa Ibrani. 2. Dalam bahasa-bahasa ini fi’il (verba) mempunyai ciri khas dengan serangkaian wazan mazid yang mengungkapkan maknamakna derivatif dari makna dasar. Wazan-wazan itu dibentuk dengan mengubah akar kata dengan perubahan-perubahan yang stabil. Demikianlah dapat diungkapkan kekuatan verba, pengulangan, kausalitas, konstruksi pasif, muthawa’ah (menyatakan makna terpengaruh), musyarakah (menyatakan makna saling) dalam fi’il (verba). Misalnya, apabila bentuk dasar fi’il adalah ( ), maka dari situ kita dapat membentuk shighat lain yang menunjukkan makna musyarakah (saling) dengan menambahkan hamzah (8 ‫ )أ‬setelah fa fi’il, lalu kita ucapkan : yaitu : dua orang saling menulis satu sama lainnya. Dan apabila kita tambahkan hamzah maftuhah (berharakat fathah) pada awal fi’il sebagai prefiks dan kita gugurkan harakat fa fi’il, maka kita ucapkan: ‫ أ‬yang berarti seseorang mendiktekan sesuatu kepada orang lain untuk menulisnya. 3. Isim itu mu’rab, jika isim mufrad (tunggal), maka ia dirafa’kan dengan dhammah; dinashabkan dengan fathah dan dijarrkan dengan kasrah. Adapun apabila isim itu mutsanna (dualis), maka ia dirafa’kan dengan alif, dinashabkan dan dijarrkan dengan (‫ ;)ا ء‬isim jama’ dirafa’kan dengan ‫ا او‬, dinashabkan dan dijarrkan dengan (‫)ا ء‬. Adapun jama’ muannats salim dirafa’kan 115 dengan dhammah dan dinashabkan serta dijarrkan dengan kasrah. Kemudian dalam semua bahasa ini terjadi bahwa i’rab itu diabaikan selain bahasa Akadi dan bahasa Arab Fusha. 4. Bahasa Arab dan bahasa Habsyi (Ethopia) mempunyai ciri khas dengan adanya pola jama’ khusus yang dinamakan jama’ taksir (1), di samping jama’ salim (mudzakar salim dan muannats salim), seperti : ‫ب‬ jamaknya . F. Aspek Sintaksis 1. Dalam bahasa-bahasa ini ada dua jenis kalimat, yaitu jumlah ismiyah (kalimat nominal) dan jumlah fi’liyah (kalimat verbal). Jumlah ismiyah adalah jumlah yang dimulai dengan isim, sedangkan jumlah fi’liyah adalah jumlah yang dimulai dengan fi’il. Yang stabil adalah agar kita mampu menderivasikan jama’ taksir dari shighat mufrad (bentuk tunggal). 2. Bahasa-bahasa ini cenderung pada kalimat-kalimat yang sederhana dan tidak melebihkan kalimat-kalimat penjelas, tetapi hanya membuat kalimat-kalimat satu sama lainnya. Dari konteks itu pembaca menyimpulkan hubungan antarkalimat. Misalnya, ! > E‫ن أ‬W ‫ق ا‬L;‫أ‬, maka di sini kita menghadapi dua kalimat, yaitu 1) ‫ن‬W ‫ق ا‬L;‫ > ! أ‬dan 2) E‫أ‬. Kita memahami hal itu dari konteks. Dalil atas hal itu adalah i’rab kalimat ini. Maka ! > adalah fi’il madhi dan fa’il diidhafatkan kepada kata yang mengandung; dan ( E‫ )أ‬adalah makhsus bil madh, khabar bagi mubtada yang dibuang, Bukankah ini merupakan kalimat kedua, kalimat (jumlah) ini ada, tetapi tidak dijelaskan dengan adawat (partikel) khusus. Akan tetapi pendengar dapat memahami kedua kalimat itu meskipun keduanya dibuat di samping sebagian kalimat lainnya(1). 116 G. Rumpun Bahasa Semit Rumpun bahasa Semit terbagi atas dua bagian, yaitu bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara terbagi atas timur laut dan barat laut, sedangkan bagian selatan mencakup bahasa Arab Utara (bahasa Arab Fusha) dan bahasa Arab selatan klasik dan bahasa Ja’ziyah. H. Bagian Timur Laut Bagian timur laut mencakup Akadia. Dinamakan demikian karena dinisbatkan ke kota Akkad yang dibangun oleh Sorjon di bagian utara daerah Babilonia klasik, menengah dan modern dan bahasa Asyuria klasik, menengah dan modern (3). Bahasa Akadis masuk dalam pergulatan dengan bahasa yang pernah dominan pada waktu itu di selatan daerah Ravidain, yaitu bahasa Sumaria. Pada mulanya bahasa Akadis tidak mampu mengatasi bahasa Sumaria dan bahasa Sumaria pun tidak mampu mengatasi bahasa Akadis, maka dominanlah bilingualism yang berlangsung lebih dari enam abad (2500 - 100 SM). Di antara hasil-hasil bilingualism ini adalah: 1) Bunyi-bunyi huruf yang keluar dari lubang tenggorokan menjadi tidak jelas, yaitu : ‫ ء – ا ء‬F ‫ – ا‬2 ‫ ا‬dari bahasa Akadis. Itu diganti dengan memanjangkan harakat (vokal) 4 menjadi (Be:l); a * menjadi sebelumnya. Misalnya, kata (Ge:m) dan )F> menjadi (Na:r). 2) Posisi fi’il (verba) berubah dari tempat asalnya, yaitu awal jumlah (kalimat) dalam jumlah fi’liyah atau di tengahnya dalam jumlah ismiyah hingga akhir jumlah. Yang demikian itu berlaku umum dalam teks-teks nasar (prosa), sedangkan teks-teks syair memperhatikan posisi fi’il semula. 117 I. Perkembangan yang terjadi pada bahasa Akadis 1) Bunyi ghain (‫)غ‬hilang sebagaimana halnya dalam semua bahasa Semit utara. 2) Bunyi lahawi mahmus (‫( )ق‬yang keluar dari anak tekak dan tidak bersuara) berubah menjadi bunyi palatal bersuara, yaitu (G) dalam bahasa Babilonia dan bunyi itu tetap mahmus (tak bersuara) seperti aslinya dalam bahasa Asyuria. 3) Bunyi sin (‫)س‬yang berasal dari bahasa Semit berubah menjadi syin (‫)ش‬dan bercampur dengan bunyi syin yang asli. 4) Bunyi-bunyi dental panjang berubah menjadi bunyi yang keluar dari gusi (kaki gigi). Bunyi (‫ )ا `ال‬menjadi (‫ ;)زاى‬bunyi (‫ ء‬Q ‫)ا‬ menjadi (2 C). 5) Bahasa Babilonia klasik memperhatikan i’rab, sedangkan bahasa Babilonia modern menggugurkannya (1). Bahasa ini ditulis dengan khat Mismari (tulsian seperti paku). * Bagian Barat Laut Bagian barat laut mencakup dua kelompok bahasa, yaitu bahasa Kan’an dan bahasa Aramia. J. Kelompok bahasa Kan’an Dari segi geografis, bahasa-bahasa yang bercabang dari kelompok bahasa Kan’an dapat dibagi ke dalam bahasa Kan’an Utara, diwakili oleh bahasa Ugarit, bahasa Kan’an Tengah diwakili oleh bahasa Fenesia dan bahasa Kan’an Selatan, diwakili oleh bahasa Ibrani dan bahasa Muabia. 1. Bahasa Ugarit Bahasa Ugarit ditemukan di daerah Ra’su Syamra pada tahun 1929. Bahasa Ugarit dahulu dipakai bertutur di Ugarit, yaitu sebuah kota yang berjarak 12 km dari utara Ladidziqia pada pantai 118 Suria. Bahasa Ugarit termasuk kelompok bahasa Kan’an yang paling klasik, karena bahasa itu memelihara bunyi-bunyi yang telah hilang dari kelompok bahasa ini, seperti bunyi ghain (2 o ‫)ا‬ dan bunyi kha (‫ ء‬G ‫ )ا‬dan memelihara fenomena-fenomena bahasa Semit klasik, fenomena isim ghair musharif(1). Bahasa ini ditulis dengan khat (tulisan) yang menyerupai khat mismari, tetapi jumlah lambang khat ini dalam bahasa ini lebih sedikit daripada jumlah lambang yang dipakai dalam khat mismari dalam bahasa Akadis. Hal ini karena orang-orang Aka-dis telah menulis bahasanya berdasarkan sistem suku kata, seperti tulisan Sumaria. Ini berarti bahwa ba maftuah (! ‫ و‬1 ‫ ء ا‬# ‫)ا‬, misalnya, memiliki lambang yang berbeda dengan ba madhmumah ( ' ‫ ء ا‬# ‫)ا‬, sedangkan ba madhmumah memiliki lambang yang berbeda dengan ba maksurah (‫ رة‬- ‫ ء ا‬# ‫)ا‬. Adapun tulisan Ugarit telah menyederhanakan lambang-lambang tertulis ke dalam jumlah kecil yang tidak melebihi 30. Tulisan ini telah mengungkapkan setiap bunyi dengan satu huruf. Orangorang Ugarit telah membuktikan bunyi-bunyi konsonan saja dan mereka tidak membukukan bunyi-bunyi vokal. Dari merekalah tulisan-tulisan bahasa Semit mengalihkan hal itu. Sesungguhnya ini berarti bahwa orang-orang Ugarit adalah orang pertama yang menemukan huruf abjad. Atas jasa merekalah muncul susunan abjad yang berdasar pada sistem abjad Hoz Hatti Kalman Sa’fash Qarsyt (1). 2. Bahasa Fenesia Dalam bahasa Fenesia kita mengenal bunyi-bunyi konsonan melalui banyak prasasti yang sebagiannya merujuk ke abad 9 atau abad 10 SM. Bunyi-bunyi ini sesuai dengan bunyibunyi yang dominan dalam bahasa Ibrani. Adapun bunyi-bunyi 119 vokal hanya kita ketahui melalui tulisan orang-orang ternama dalam bahasa Yunani. Bahasa Fenesia mempunyai keistimewaan dengan adanya pembatasan zaman (kala) secara cermat dengan memakai fi’il naqish (‫ ) ن‬sebelum fi’il madhi untuk menunjukkan peristiwaperistiwa yang terjadi sebelum masa lampau(2). Huruf abjad dalam bahasa Fenesia merupakan bentangan langsung bagi huruf abjad Ugarit. Orang-orang Fenesia memelihara konsep sistem abjad. Hanya saja mereka telah merevisi bentuk-bentuk huruf supaya mudah dalam tulisannya. Dalam waktu yang sama orang-orang Fenesia memelihara susunan huruf sebagaimana telah disusun oleh orang-orang Ugarit. Ketika orangorang Yunani mengadakan kontak dengan orang-orang Fenesia, mereka mempelajari tulisan abjad dari orang-orang Fenesia. Akan tetapi bangsa Yunani menemukan bahwa lambang-lambang bunyi yang keluar dari tenggorokan orang-orang Fenesia tidak bermanfaat bagi mereka. Kemudian mereka menjadikannya sebagai lambang-lambang bunyi vokal dalam konteks kata. Secara umum revisi ini dianggap sebagai tahap penting dalam sejarah khat (tulisan). Dalam bahasa Yunani telah terjadi revisi lain, yaitu bahwa mereka menjadikan arah tulisan masih merupakan dua ciri pokok dalam tulisan-tulisan yang diambil dari khat (tulisan) Yunani(1). Orang-orang Fenesia telah menyebarkan bahasanya melalui daerah jajahannya di berbagai daerah dari kepulauan laut tengah di Qabrsh dan selatan Spanyol. Hanya satu tempat tinggal yang terpenting adalah Utara Afrika di Qarthjannah. Di sana bahasa itu dinamakan bahasa Bunia. Bahasa Bunia terbagai atas dua tahap, yaitu bahasa Bunia dan bahasa Bunia modern. Bahasa Bunia dimulai dengan persebaran orang-orang Fenesia di daerah pantai Tunisia kira-kira abad 9 SM dan berakhir dengan jatuhnya esksistensi politik negara Bunia pada tahun 146 M. Bangsa 120 Rumania telah menguasai kota Qarthajannah. Setelah itu dimulai pase kedua dalam kehidupan bahasa Bunia. Dalam pase ini bahasa Bunia terpengaruh oleh bahasa Latin. Bilingualism yang muncul sebagai akibat yang demikian itu telah mengakibatkan lemahnya pelafalan bunyi-bunyi faringal. Hal itu dibuktikan oleh ekspresi bunyi (2 ‫ )ا‬dengan hamzah dalam prasasti yang dinisbahkan kepada masa ini dan ekspresi (‫ )ا ء‬dengan (‫ ء‬F ‫)ا‬. Lambanglambang huruf faringal dipakai untuk melafalkan bunyi-bunyi vokal(2). 3. Dialek-dialek Kan’an Selatan Dialek-dialek ini mencerminkan beberapa komentar dalam risalah-risalah yang tertulis dengan bahasa Babilonia dan Khat Mismari dan risalah-risalah yang diarahkan oleh para penguasa yunior Palestina pada abad 15 SM kepada raja Mesir, Amenovis 4. Risalah-risalah itulah yang ditemukan pada puing al-‘Amaranah di Mesir. Dalam komentar-komentar ini kita melihat fenomena yang penting dalam vokal bahasa Kan’an, yaitu mengimalahkan harakat (vokal) fathah ke dalam dhammah (O), kemudian ke dalam (U). Sumber asli bahasa Kan’an Selatan yang paling klasik adalah nashab tidzakari untuk melestarikan kemenangan raja Maisya, raja Muab. Di dalamnya tampak segala ciri nahwu (sintaksis) dan uslub (stylistik) bagi bahasa yang ditulisnya, yaitu bahasa Muabiyah. Prasasti ini merujuk ke abad 9 SM, sedangkan dialek Kan’an Selatan yang terpenting adalah dialek Ibrani. 4. Bahasa Ibrani Bahasa Ibrani dimulai sejarahnya pada abad 12 SM ketika kabilah Israil memasuki tanah Pelestina. Para putra kabilah ini mempelajari bahasa yang pernah dominan di daerah itu, yaitu salah satu dialek Kan’an klasik. Hampir perjanjian lama (termasuk Taurat, yaitu lima shafar (kitab) Nabi Musa as: takwin, khuruj, 121 lawiyin, ‘adad, tasniyah, kitab para Nabi dan tulisan-tulisan seperti seruling, peribahasa, himpunan, dan nyanyian) merupakan satusatunya sumber untuk mengenal sejarah bahasa ini. Memang, ada sumber-sumber lain, seperti lipatan-lipatan laut mati yang ditemukan baru-baru ini; ia mencakup teks-teks keagamaan dan sastra yang merujuk ke masa antara abad tiga SM dan abad dua M. Akan tetapi teks-teks itu dalam kepentingannya tidak sepenting perjanjian lama(1). Bahasa Ibrani yang paling klasik yang sampai kepada kita adalah kisah Dabura (Ishah lima dari shafar para hakim). Bahasa Ibrani merujuk ke tahun 2000 SM, sedangkan masa kejayaan sastra yang sampai kepada kita melalui para Nabi dan akhbar ayyam (berita-berita hari) adalah masa raja-raja mutakhir. Dari masa ini kita mempunyai prasasti, yaitu tentang sabak kenangan yang ada di pintu masuk nafq qinal as-Salwan (2). Ia berbicara tentang berakhirnya galian qinal itu dan sejarahnya merujuk ke abad 7 SM. Penawanan di Babilonia dan perobohan Baitul Maqdis di tangan Bakhtanshir pada tahun 586 SM merupakan percobaan gawat bagi bahasa Ibrani (3). Memang, sesungguhnya orang-orang yang dibuang di Babilonmia tidak melepaskan bahasanya, -. Oleh karena itu pada masa penawanan ditulis sastra Ibrani yang mengagumkan, seperti ru’ya (mimpi) Asy’iya (Ishah empat dan shafar Asy’iya yang sesudahnya). Ketika orang-orang buangan itu kembali ke Pelstina, mereka mendapati bahasa Ibrani itu digunakan(4). Persebaran bahasa Aramea di kalangan bangsa Yahudi telah mengakibatkan berkurangnya naungan bahasa Ibrani. Kemudian para tokoh agama terpaksa menerjemahkan do’a-do’a perjanjian lama yang mereka perlukan ke dalam bahasa Aramea. Penerjemahan ini berlangsung lama dan secara lisan, yang disampaikan setelah membaca teks bahasa Ibrani, kemudian dibukukan dan dinamakan Turjum. 122 Bersamaan dengan permulaan masa ini, berakhirlah kehidupan bahasa Ibrani, karena sejumlah besar orang Yahudi itu – yang ketika mengembara ke Mesir dan pesisian Barat sekitarnya – tidak mampu memelihara bahasa aslinya, malah bertutur dalam bahasa Yunani. Demikian halnya dengan bangsa sejenis mereka yang masih berada di tanah air mereka semula. Sebab, ketika itu mereka menemukan bangsa mereka sendiri secara saling berhadapan di depan bahasa masyarakat yang menerobos ke permukaan Asia, yaitu bahasa Aramea. Oleh karena itu, mudahlah jika mereka saling berinteraksi dalam bahasa ini alih-alih dari bahasa asli mereka, karena masing-masing dari kedua bahasa itu sangat saling berdekatan(1). Selama beberapa abad setelah itu, bahasa Ibrani memelihara kedudukannya dalam bidang agama dan pendidikan. Banyak teks ditulis dalam bahasa Ibrani sampai matinya menjadi buah bibir orang banyak dalam waktu lama. Ciri-ciri bahasa sastra ini tergantung pada sejauhmana pengalaman setiap pengarang dan penguasaannya terhadap sastra Ibrani Klasik. Kemudian kitab Ibnu Sirah yang dibukukan kira-kira tahun 200 SM tertulis dalam bahasa Ibrani murni, sementara kitab-kitab yang hampir semasa dengannya, seperti kitab Astir, kitab al-Jami’ah, dalam beberapa mizmar Nabi Daud as, di dalamnya tampak bahasa Ibrani sangat terpengaruh oleh bahasa Aramea. Tentu, keterpengaruhan oleh bahasa Aramea ini dahulunya senantiasa berkembang sejalan dengan lajunya zaman. Perde-batan hukum dan syiar-syiar yang pernah terjadi di kalangan mazhab fiqih pada abad pertama masehi itu tertulis dalam bahasa Ibrani. Hanya saja kebayakan kosakata yang dipakai di dalamnya dipinjam dari bahasa Aramea(2). Tulisan bangsa Yahudi yang terpenting pada akhir abad pertama dan awal abad kedua adalah al-Masyana, yaitu teks keagamaan kedua setelah perjanjian lama. Teks al-Masyna disusun dalam bahasa Ibrani pada suatu periode ilmu pengetahuan yang terbatas pada 123 tokoh-tokoh agama saja. Hal ini mengakibatkan teks itu disyarahi (dijelaskan) secara lisan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh bangsa Yahudi, yaitu bahasa Aramea, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Akan tetapi tidak ada bahasa Aramea yang resmi, melainkan ada banyak dialek Aramea. Demikanlah syarahsyarah secara lisan dalam bahasa Aramea menjadi banyak (beraneka ragam) dengan keanekaragaman dialek ini. Kemudian para pendeta dan tokoh-tokoh agama menulis syarah-syarah yang berbahasa Aramea ini pada al-Masyna. Demikianlah lahirnya kitab Talmnud. Kitab Talmud dalam bahasa Babilonia tersusun dari alMasyna, yaitu teks yang berbahasa Ibrani, dan tersusun dari alJamara, yaitu syarah yang berbahasa Aramea bagi teks yang berbahasa Ibrani. Kitab Talmud yang berbahasa Pelestina terdiri dari al-Masyna itu sendiri dan syarah yang terbukukan dalam dialek Aramea – Pelestina, ia juga dinamakan al-Jamara(1). Telah terjadi perubahan dalam bunyi-bunyi bahasa Ibrani yang membuatnya berbeda dengan bahasa Semit pertama. Bunyibunyi dental panjang, seperti ‫ ا `ي‬dan ‫ ء‬Q ‫ ا‬tidak jelas. Bunyi ‫ا `ال‬ berubah menjadi (‫)زاى‬. Maka ‫ ذراع‬dalam bahasa Ibrani menjadi (Zroa) dan mulai menjadi (‘a: haz); bunyi (‫ ء‬Q ‫ )ا‬berubah menjadi (2 N). Misalnya(‫ ر‬e) dalam bahasa Ibrani menjadi (sho:r), sementara bahasa Ibrani memelihara bunyi (s) bahasa Semit klasik meskipun ucapannya betul-betul telah hilang dan bercampur dengan bunyi (2 - ‫ )ا‬asli serta di antara keduanya tidak ada perbedaan kecuali dalam tulisan saja. Abjad bahasa Ibrani – masalahnya seperti halnya masalah abjad bahasa Fenesia – yang setelah itu diambil oleh bangsa Semit dari mereka – mengungkapkan bunyi konsonan saja dan tidak mengungkapkan bunyi-bunyi vokal. Selanjutnya kita tidak mengenal vokal pendek apapun kecuali melalui riwayat-riwayat Yahudi yang dibuat pada abad 7 M berdasarkan bacaan tartil 124 dalam shalat, yaitu yang dinamakan metode Babilonbia dalam memberikan tanda titik(1). Di bawah pemerintahan Arab di Andalusia, bangsa Yahudi menaruh perhatian terhadap kajian bahasa mereka sama dengan metode-metode kajian Arab, lalu mereka mengkaji bunyi-bunyi dan menjelaskan makhraj-makhrajnya serta mengkaji gejala-gejala fonologis. Kemudian mereka menjelaskan idgham, nabr (stress) dan tanghim (intonasi); mereka mengkaji sharaf (morfologi), membuat wazan sharaf (pola morfologi), membagi shiyagh (bentuk-bentuk kata) ke dalam shighat mujarradah (bentuk kata dasar) dan mazidah (bentuk kata jadian), mengkaji nahwu (sintaksis), dan mengkonstruksinya berdasarkan sistem bab per bab, sebagaimana yang telah dilakukan Sibawaih dalam kitabnya. Kitab nahwu yang terpenting, yang muncul pada masa ini adalah kitab ‘Allam’u’ karya Marwan bin Janah dan kitab ‘Huruf (al‘Ain), karya Yahuda Hayuj. Mereka membuat kamus bahasa mereka. Kamus yang terpenting ini adalah kamus orjon yang dibuat oleh Sa’diya al-Viomi, yaitu serupa dengan kamus Tahdzib al-Lughah karya Azhari (2). Pada masa modern ketika muncul gagasan nasionalisme dan bangsa Yahudi menyeru bahwa mereka memiliki nasionalisme sendiri yang mereka namakan zionisme. Mereka mulai menghidupkan bahasa mereka secara artifisial. Hal itu berarti bahwa mereka membolehkan bagi bangsa Yahudi – apapun kebangsaannya – memasukkan ungkapan-ungkapan yang mereka biasakan dalam bahasa asli mereka ke dalam bahasa Ibrani. Yang demikian itu berkat jasa Ya’zur bin Yahuda. * Kelompok Bahasa Aramea Sejak abad 14 SM dokumen-dokumen bahasa Babilonia dan bahasa Asyuria memberi tahu kita tentang kabilah-kabilah Arimi atau Ahlame yang pernah hidup secara nomaden dan 125 mengembara di gurun sahara di sebelah barat negeri Ravidin serta mengintimidasi batas-batas tanah peradaban dengan perbuatanperbuatan pencurian. Mereka ini maju dari Sahara ke Selatan, lalu dengan kekuatan itu mereka merampas Negara-negara yang didiami oleh kaum-kaum dari kelompok non-bangsa Semit yang memiliki peradaban tinggi. Mereka bergabung dengan bangsa non-Semit dan memaksa mereka memakai bahasa mereka. Bahasa Aramea telah hidup dalam waktu lama kira-kira 3000 tahun. Oleh karena itu, kita dapati bahasa itu terbagi atas beberapa dialek; dialek yang terpenting adalah dialek Aramea Klasik, Aramea Kedaulatan, Aramea Barat dan Aramea Timur. * Dialek Aramea Klasik Kelompok prasasti klasik yang terbukukan dalam bahasa Aramea dinamakan bahasa Aramea klasik. Prasasti yang terpenting ini adalah prasasti Umara Samuel, yang ditemukan di tempat yang sekarang dinamakan Zanjirli dan prasasti yang ditemukan oleh seorang amir yang bernama Panamu serta prasasti yang ditemukan di Nerab dekat kota Damsyik. Dari kajian dua prasasti ini, kita dapat mengemukakan ciriciri bahasa Aramea klasik sebagai berikut : 1) Orang-orang Aramea meminjam dari orang-orang Kan’an abjad dan kebiasaan tulisan mereka. 2) Bunyi-bunyi dental sampiran hilang, seperti dialek-dialek Kan’an, terutama dialek Ibrani. Lalu (‫ )ا `ال‬berubah menjadi (‫)زاي‬, sebagaimana dalam bahasa Ibrani, kecuali akhirnya bunyi (‫ )ا `ال‬berubah menjadi (‫)دال‬. Pertama-tama (‫ ء‬Q ‫ )ا‬berubah menjadi (2 N), kemudian menjadi (‫ ء( ;) ء‬f ‫ )ا‬berubah menjadi (‫ د‬R), kemudian menjadi (‫)ط ء‬. 3) Konstruksi morfologis dalam dialek Aramea Klasik terpengaruh oleh konstruksi morfologis dalam bahasa Akadis. 126 Demikianlah di dalamnya kita dapati dua shighat (bentuk) isim maushul, yaitu : a) shighat dasar, yakni di atau zi dan b) sha(1). 4) Bunyi (‫ )ا ' د‬dalam bahasa Semit Klasik hilang dan ditempati oleh bunyi (‫ ف‬+ ‫ )ا‬dalam kata ( *‫ ;)أر‬maknanya ‫رض‬l‫ا‬. Dalam bahasa Aramea mutakhir, bunyi (‫ ف‬+ ‫ )ا‬ditempati oleh bunyi (2 ‫)ا‬, maka menjadi ( ‫( )أر‬2). * Bahasa Aramea Kedaulatan Bangsa Aramea maju sedikit demi sedikit di tanah kedaulatan Asyuria hingga akhirnya mencapai pemerintahan. Dalam banyak transaksi yang terbukukan yang ditemukan dalam prasasti pada akhir kedaulatan Asyuria, para peneliti mengamati pemakaian bahasa Akadis dan bahasa Aramea secara bergantian. Ketika kedaulatan Asyuria jatuh pada tahun 625 SM dan bangsa Irak masuk dalam kekaisaran Persia, para hakim Persia memperkokoh kedudukan bahasa Aramea. Demikianlah bahasa Aramea menjadi bahasa umum untuk pergaulan. Para hakim bangsa Persia mengakuinya sebagai bahasa resmi di semua penjuru kedaulatan mereka. Dengan demikian bahasa Aramea masuk Negara Iran dan bersama pengaruh Persia bahasa Aramea masuk ke segala penjuru Timur lama. Kemudian bahasa Aramea menjadi bahasa pergaulan bisnis dan politik sehingga para penguasa bangsa Persia pernah membuat mata uang logam dengan bahasa Aramea. Persebaran bahasa Aramea di Iran dan daerahdaerah yang berdekatan dengannya mengakibatkan para tokoh agama Budha memakainya dalam nasihat-nasihat keaga-maan mereka di daerah perbatasan Iran-Hindia. Prasasti dalam bahasa Aramea telah ditemukan dekat Arabsun di daerah Kappadozien, sedangkan khat (tulisan) bahasa Aramea berbicara tentang peribadatan dalam bahasa Semit dan bahasa Iran (Persia) 127 campuran. Ini menujukkan bahwa bahasa Aramea menjadi bahasa agama dalam kedaulatan Persia. Juga, pada masa Persia bahasa Aramea telah menduduki pusat perwakilan di Mesir sehingga bahasa Aramea masih dipakai dalam waktu lama dalam dokumen-dokumen yang terbukukan di atas daun-daun Burdi. Di daerah Semit, bahasa Aramea tidak saja mengalahkan bahasa Ka’an, tetapi ia juga masuk ke daerah bahasa Arab. Yang demikian itu tampak bagi kita dari beberapa prasasti yang salah satunya ditemukan di Taima sebelah utara HIjaz. Akan tetapi kedudukan bahasa Aramea sedikit demi sedikit mulai berkurang. Ketika kedaulatan Akhamania berakhir dan diproklamirkan kedaulatan Sasanit pada permulaan abad 4 SM, orang-orang Sasanit tidak memakai bahasa Aramea dalam perkantoran. Dengan demikian berakhirlah bahasa Aramea kedaulatan(1). * Bahasa Aramea Barat Bahasa Aramea Barat ini mencakup dialek-dialek berikut : 1) Bahasa Aramea perjanjian lama, yaitu bahasa Aramea yang dipakai untuk menulis shafar (kitab) Azran dan Danial. Bahasa Aramea yang dipakai untuk menulis shafar ‘Azaran tampak dalam bentuk lebih klasik daripada bahasa Aramea yang dipakai untuk menulis shafar Danial. Adapun shafar Danial dimulai dengan bahasa Ibrani yang orsinil, kemudian beralih ke terjemah-an bahasa Aramea, dan berakhir dalam bahasa Ibrani yang or-sinil. 2) Bahasa Aramea Pelestina, yaitu bahasa Aramea yang mendominasi daerah Pelestina pada masa Nabi Isa as. Dalam bahasa Aramealah kitab Injil lama ditulis, yang betul-betul sudah hilang. Adapun terjemahan yang dibuat oleh Marqash dalam bahasa Yunani, maka tidak dapat memberi kita gambaran yang jelas – setelah diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Aramea – 128 tentang bahasa Aramea dasar yang dipakai untuk menulis Injil ini dalam bentuk aslinya. Yang demikian itu, karena terjemahan berpegang pada leterasi teks Yunani. Demikian pula kitab perjanjian lama telah diterjemahkan ke dalam dialek ini dari terjemahan Sab’iniyah, sebagaimana juga sebagian besar dari tata kesopanan gereja Yunani telah diterjemahkan ke dalam dialek ini. Beberapa sisa peninggalan dialek ini tampak di Sinai, Damsyik dan Mesir. 3) Turjum, bangsa Yahudi di Pelestina memakai dialek ini. Ketika bahasa Ibrani bertaburan dan bangsanya tidak lagi mema-haminya, berlakulah kebiasaan pada waktu membaca kitab suci dengan suara keras di gereja Yahudi, yaitu setiap ayat diikuti dengan terjemahannya pada waktu itu juga. Terjemahan ini, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, berlangsung secara lisan, kemudian setelah itu ditulis dan dinamakan Turjum. Ada empat terjemahan yang paling klasik adalah Turjum, Taurat, kemudian Turjum al-Anbiya, kemudian Turjum Orsylim(1). 4) Dialek Samiria, bahasa Samiria mendekati bahasa Talmud Orsylim. Ke dalam bahasa Samirialah lima shafar (kitab) Nabi Musa as diterjemahkan(2). 5) Dialek Nabaten, dialek Nabaten adalah dialek Aramea yang oleh bangsa Nabaten dipakai untuk menulis prasasti mereka. Prasasti mereka yang paling klasik merujuk ke abad pertama masehi. Bangsa Nabaten adalah bangsa Arab yang bertempat tinggal di dataran (gurun Sahara) Syam dan sebelah Selatan Syria pada abad enam SM. Orang-orang Nabaten menjadikan bahasa Aramea untuk bergaul dengan selain bangsa Arab. Adapun di kalangan mereka, maka mereka bertutur dalam bahasa Arab. Mereka menjadikan khat (tulisan) Aramea untuk menulis bahasa Arab mereka, yang bercampur dengan lafal-lafal dan banyak unsur Aramea akibat bilingualism pada mereka. Demikianlah kita dapati unsur-unsur 129 bahasa Arab dalam dialek Aramea yang mereka pergunakan untuk bergaul. Misalnya, (‫ )ال‬untuk menunjukkan hubungan bangsa Arab dan kesukuan; (‫ ى‬E‫ )ا‬berarti ‫ ة‬E‫ وا‬dan selainnya bermakna sama dengan maknanya dalam bahasa Arab sekarang; fi’il-fi’il: bermakna sama dengan makna dalam bahasa Arab. Mereka menggunakan partikel definit (8,) ‫ )ال( )أداة ا‬untuk memakrifatkan segala isim dalam bahasa Aramea. Yang demikian itu karena partikel definit dalam bahasa Aramea, yaitu fathah thawilah, telah kehilangan nilainya untuk definit (8,) ‫)ا‬. Orang-orang Nabanten menulis bahasa Arabnya dengan khat (tulisan) Aramea dan disebut khat Nabaten, yaitu sangat mendekati khat Kufi(2). * Dialek Aramea Timur Dialek Aramea Timur tersebar di pegunungan Armenia di sebrang dua lembah sungai Tigris dan Euphrat sampai ke Selatan sampai ke hulu kedua sungai itu di teluk Arabia. Dialek-dialek Aramea Timur berbeda dengan dialek-dialek Aramea Barat dalam hal bahwa harf mudhara’ah yang menunjukkan ghaib (orang ketiga) adalah (‫ ن‬7 ‫)ا‬, sementara hal itu dalam dialek Aramea Barat dan rumpun bahasa lainnya adalah (‫)ا ء‬. Dialek terpenting adalah sebagai berikut, 1) Dialek yang digunakan untuk penulisan kitab Talmud dalam bahasa Babilonia 2) Dialek Suryani, yaitu dialek daerah Edisa yang terletak di utara negara Ravidin. Pada abad pertama masehi daerah ini menjadi pusat peradaban (kebudayaan). Sebelum masehi dialek Suryani mempunyai nilai sastra yang tinggi yang memiliki dokumen tertulis dalam bahasa ini; sebelum masehi dokumen itu tercermin dalam khithab ‘Mara Bar Sarapion’; dan setelah persebaran masehi, pada abad dua Masehi dimulai penerjemahan kitab Suci 130 ke dalam bahasa Suryani. Kemudian setelah itu sastra yang tinggi ditulis dengan bahasa Suryani, yang berlangsung hingga abad 5 Masehi. Persengketaan seputar ciri al-Masih al-Lahutiyah dan anNasutiyah pada abad 5 M mengakibatkan terbaginya gereja Suryani ke dalam dua pasukan yangs saling bermusuhan. Orangorang Suryani Barat penganut kedaulatan Rumunia mengakui ajaran-ajaran Ya’kub al-Barda’i yang mengatakan satu ciri alMasih. Oleh karena itu mereka menamakan diri mereka sendiri Ya’aqibah (orang-orang penganut Ya’kub). Adapun saudarasaudara mereka di kedaulatan Persia, maka mereka menganut ajaran Nasthorius. Dengan demikian kedua golongan Suryani berpecah belah dan bahasa mereka terbagi atas dua dialek. Tatakala bangsa Arab kaum muslimin menaklukan negara Irak dan Syam, mereka setiap kelompok melakukan pembukuan bahasanya karena mereka membutuhkannya dalam membaca teksteks Injil dalam peribadatan. Setelah penaklukan bangsa Arab, bahasa Suryani tidak mati, melainkan hidup selama enam abad sesudahnya sebagai bahasa gereja dan sastra(1). Sesung-guhnya kontak bahasa Arab dengan bahasa Suryani telah meng-akibatkan masuknya banyak kata dalam bahasa Suryani ke dalam bahasa Arab(2). * Dialek Manda’iyah Dialek Manda’iyah termasuk dialek Aramea Timur dan dipakai bertutur oleh masyarakat agamis yang dikenal dengan nama Shaiban; masyarakat ini mempunyai kitab suci yang bernama Janza, yaitu al-kanz(3). # Bagian Selatan Bagian ini mencakup bahasa Arab Utara dan bahasa Arab Selatan Klasik serta bahasa Ja’ziyah. 131 # Bahasa Arab Utara Bahasa ini memelihara bunyi-bunyi asal yang dimungkinkan bahwa bahasa itu dominan dalam bahasa Semit pertama. Karena ia kaya dengan bunyi-bunyi faringal dan bunyi-bunyi sampiran serta bunyi-bunyi dental; ia memelihara semua bunyi vokal klasik dan cara mengkonstruksi bentuk (shighat) dalam bahasa Semit pertama. Tidak sampai kepada kita prasasti-prasasti yang mencerminkan permulaan bahasa ini agar kita dapat menelusuri perkembangannya, sebagaimana kita lihat dalam bahasa Akadis, bahasa Kan’an dan bahasa Aramea. Semua yang sampai kepada kita tidak lebih keberadaannya sebagai bahasa mukharbasyat yang di dalamnya para pemerhati dan perantau membukukan nama-nama mereka sebagai generasi-generasi mendatang. Bahasa mukhabasyat ini berbeda dengan bahasa Arab sastra yang kita kenal dalam syair Jahili atau dalam teks-teks Al Qur’anul KArim. Bahasa Mukharbasyat ini telah dibukukan dengan khat yang menyerupai khat musnad yang dipakai untuk penulisan bahasa Arab Selatan. Bahasa Mukhabasyat ini ditemukan dalam jarak antara Damsyik dan al-Ula di sebelah Utara Hijaz, yaitu ada tiga bagian: bahasa Shafat, bahasa Lihyah dan bahasa Tsamud (1). * Prasasti Tsamud Prasasti Tsamudiyah dinisbatkan kepada kabilah Tsamud yang namanya tercantum dalam banyak ayat Al Qur’anul Karim dan kisah penduduknya terdapat di dalamnya. Prasasti ini ditemukan di kota Madain Shalih, Madinatul ‘Ula, Hail, Taima dan Tabuk. Prasasti Tsamud lainnya ditemukan di semenanjung Jazirah Sinai. Prasasti Tsamud yang paling klasik yang telah 132 ditemukan secara utuh itu merujuk ke abad lima SM, sedangkan yang paling baru merujuk ke abad empat M(2). penulisanya adalah termasuk bangsa Arab (selatan Jazirah Arabia). * Prasasti Shafat Prasasti-prasasti ini dinisbatkan pada tempat ditemukannya, yaitu Shafa yang terletak di Tenggara Damsyik. Kita tidak dapat menentukan permulaan sejarah prasasti-prasasti ini. Segala yang kita ketahui adalah bahwa sebagiannya me-nunjukkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad 2 M. Dalam sebagiannya tercatat nama raja Adzinah yang memerintah kota Tadmur pada pertengahan abad 3 M. Dalam sebagian lain-nya tercantum nama-nama orang Rumaina, seperti Alexander, Sirqash dan Siqirsh. Mereka ini merujuk ke abad 3 M. Ada pra-sasti yang disebutkan untuk Umruul Qais, raja bangsa Arab. Ini merujuk ke permulaan abad 4 M. Hal ini berarti bahwa prasasti-prasasti yang kita temukan merujuk ke pertengahan abad 2 M. * Bahasa Prasasti ini Prasasti-prasasti ini penuh dengan kata-kata Aramea, Nabaten dan Ibrani. Bahkan sesungguhnya sebagiannya memakai partikel definit (8,) ‫ )أداة ا‬dalam bahasa Ibrani, yaitu (‫ ء‬F ‫)ا‬. Tetapi dari segi lain, prasasti ini mencakup bunyi-bunyi dental yang telah hilang dalam semua rumpun bahasa Semit Utara dan mencakup kata bahasa Arab, seperti : – ) ‫ – ذ‬P ‫ – ر‬E – ! – ‫و‬. Ini membuktikan bahwa kata-kata itu termasuk bahasa Arab. Setelah itu para peneliti (linguis) menemukan 4 (empat) prasasti, yaitu 1) nammarah, 2) prasasti zabad, 3) prasasti harran dan 4) prasasti ummi jamal di suatu daerah dekat daerah Shafa. Prasasti nammarah ditemukan dekat kota Damsyik pada tahun 328 M; prasasti zabad ditemukan di Halb pada tahun 512 M atau 513 M; prasasti harran ditemukan di selatan kota Damsyik pada tahun 568 M. Perlu dicatat bahwa prasasti nammarah tertulis dalam bahasa Arab, bahasa Suryani dan bahasa Yunani. Adapun prasasti zabad tertulis dalam bahasa Arab dan bahasa Yunani. Khat yang dipakai untuk membukukan prasasti ini adalah khat Nabaten mutakhir, sedangkan huruf-hurufnya di dalamnya saling berkaitan. Oleh karena itu sebagian linguis berpendapat bahwa khat (tulisan) prasasti ini dianggap sebagai mata rantai penghubung antara khat Nabaten klasik dan khat Arab pada awal masa Islam(1). Bahasa prasasti ini mendekati bahasa syair Jahili, tetapi bukan bahasa Arab murni karena di dalamnya terdapat banyak kata dalam bahasa Aramea. Benar dapat dikatakan bahwa prasasti ini tidak mencermikan permulaan bahasa Arab. Dr. Ramadhan Abduttawwab * Prasasti Lihyan Prasasti Lihyaniyah dinisbatkan kepada kedaulatan Lihyah, yang pernah memerintah Barat laut Jazirah Arabia. Di daerah al‘Ula telah ditemukan seperangkat prasasti ini. Sebagian prasasti ini merujuk ke abad 2 M. * Khat Prasasti ini Prasasti ini ditulis dengan khat yang berdasar kepada asas khat musnad yang tersiar di selatan Jazirah Arabia. Prasasti ini mempunyai keistimewaan dengan membukukan bunyi-bunyi konsonan, tetapi tidak menetapkan bunyi-bunyi vokal panjang pendek. Littman mengamati bahwa khat (tulisan) Shafat tersusun dari 28 huruf dan dari sini dia menyimpulkan bahwa para 133 134 mengatakan bahwa hal itu tidak cukup karena beberapa sebab; yang terpenting adalah: pertama, karena hal itu adalah campuran dari gejala-gejala bahasa Arab dan yang lainnya bukan bahasa Arab; kedua, korpus prasasti ini lemah karena merupakan sabaksabak di atas batu yang diletakkan di atas perkuburan dan di atas sebagian bangunan yang diperkokoh sebelum Islam, seperti gereja. Syabitalr mengatakan bahwasanya meskipun adanya ber-aneka ragam prasasti, namun bacaanya dalam banyak hal tidak meyakinkan, sedangkan hasil-hasilnya tidak bermanfaat, karena korpus kebahasaannya, di samping banyak yang hilang(1). Apabila bangsa Arab sebelum Islam tidak melestarikan bahasanya kecuali jarang di atas batu, maka pada mereka telah berkembang syair Jahili dan mencapai kecemerlangan yang besar. Dalam hal itu mereka menggunakan bahasa kolektif (fusha) yang mempunyai keistimewaan dengan banyaknya shighat (bentuk kata) yang mengejutkan. Juga, bahasa kolektif dengan kesatuan metodenya dalam membentuk kalimat menun-jukkan tingkat perkembangan yang lebih tinggi daripada tingkatan dalam rumpun bahasa Semit lainnya. Ini di samping kosakatanya mengungguli ruang lingkupnya, karena ia dapat mengalahkan semua dialek yang beraneka ragam yang ada di sekitarnya. Di samping bahasa fusha (kolektif) ini dahulu pernah hidup dialek-dialek kabilah. Kita tidak mengetahui ciri-cirinya kecuali melalui isyarat-isyarat yang diambil dari sini dan dari sana dalam kitab-kitab nahwu dan kebahasaan yang beragam. Kelestarian bahasa Arab fusha telah ditulis ketika Al Qur’anul Karim diturunkan dalam bahasa Arab fusha. Sesudah lahirnya Islam, bahasa Arab fusha tersebar luas dan mengalahkan semua bahasa yang bertentangan dengannya dalam menuju persebarannya, seperti bahasa Suryani di Syam dan bahasa Qibti di Mesir. Prasasti bahasa Arab Selatan ditemukan abad 19. Setelah diurai lambang-lambang khat musnadnya, bahasa prasasti ini dan ciri-cirinya dapat dianalisis. Prasasti ini merujuk ke periode masa yang membentang lebih dari 2000 tahun. Prasasti yang paling klasik adalah dari abad 5 SM dan yang paling akhir merujuk ke seperempat ketiga abad 6 M. Tatkala prasasti-prasasti Selatan pada akhir abad 6 M berkurang, maka bahasa Arab Selatan mulai tersebar di daerah bahasa Selatan. Prasasti bahasa Arab Selatan ditemukan di pertengahan Selatan Jazirah Arabia, yaitu di daerah-daerah yang sekarang terletak di Selatan Kerajaan Arab Saudi dan Yaman. Hanya saja ada sejumlah prasasti Selatan yang ditemukan di luar daerah ini. Sejumlah orang Arab Selatan telah mendirikan pusat perdagang-an di Barat Laut Jazirah Arabia, seperti al-‘Ula. Prasasti bahasa Arab Selatan dibukukan dalam khat (tulisan) abjadi yang dinamakan khat musnad. Khat musnad terdiri dari 29 lambang, yaitu dikutip dari khat Kan’ani secara langsung. Biasanya, bunyi-bunyinya sesuai dengan bunyi-bunyi bahasa Arab Utara dan memelihara bunyi-bunyi ukhudiyah yang tiga (s s sh) yang terdapat dalam bahasa Semit pertama dan yang berubah menjadi dua bunyi dalam bahasa Arab Utara. Dialek Arab Selatan yang terpenting adalah dialek Saba’, dialek Main, dialek Qutban dan dialek Hadhramaut dan Harami. Setelah hancur bendungan Ma’rib, kabilah-kabilah Arab Selatan berhijrah ke Utara dan menjadi kabilah Arab dengan bahasa Arab Utara. Bahasa asli yang klasik sudah tidak ada kecuali tinggal kenangan dan keturunan sehingga para penyair kabilah-kabilah ini sebelum Islam, seperti Umruul, menyusun syairnya dengan bahasa Arab Selatan. Di samping itu, lahirnya Islam telah membantu dalam persebaran bahasa Arab Selatan di Yaman(1). * Dialek Bahasa Arab Selatan yang Klasik 135 136 * Dialek Ja’ziyah Rumpun bahasa Semit masuk ke Ethopia ketika sebagian bangsa Arab berhijrah dari selatan Jazirah Arabia ke Ethopia setelah menyebrangi pintu Mandab. Tampaknya hijrah yang pertama kali berlangsung kira-kira abad 7 SM. Kabilah yang berhijrah yang terpenting adalah dua kabilah, yaitu Habsyah dan Aj’azi. Daerahnya diberi nama kabilah pertama, yaitu Habsyah ), sedangkan bahasanya diberi nama kabilah kedua, yaitu Ja’ziyah. Prasasti Ja’ziyah yang paling klasik ditemukan pada tahun 350 M. Khat (Tulisan) Habsyi mempunyai keistimewaan dengan adanya setiap lambang mencakup lambang-lambang vokal sehingga terdapat tujuh bentuk bagi satu lambang sesuai dengan vokal yang mengirinya. Pada dialek Ja’ziyah telah terjadi perubahan yang tercermin dalam pengubahan bunyi-bunyi frikatif (geseran) panjang kepada bandingannya yang ukhdudi, sebagaimana kita lihat dalam bahasa Ibrani. Setelah kaum Masehi (Nasrani) menguasai Habsyah (Ethopia), Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Ja’zia dan banyak tata krama kerohanian ditulis dalam bahasa Ja’zia. Bahasa Ja’zia, sebaliknya dari bahasa Semit, cenderung kepada kebebasan dalam mengkonstruksi kalimat dan tidak terikat dalam menyusun kata-kata di dalamnya. Bahasa Ja’zia telah musnah ketika bangsa Ja’zia kehilangan peranan politiknya di saat kelemahan melanda kedaulatan Oksom pada abad 12 M. Akan tetapi bahasa Ja’ziyah dihidupkan kembali ketika keluarga Sulaiman berdiri pada tahun 1270 M. Kemudian mulailah gerakan penyusunan buku dalam bahasa Ja’zia(1). 137 138