Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

PENDIDIKAN AKHLAK

PENDIDIKAN AKHLAK 1. PENGERTIAN PENDIDIKAN AKHLAK Dalam pengertian pendidikan akhlak ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak. a. Pengertian Pendidikan Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John Dewey, seperti yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir(intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.[1] Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampun memerankan diri sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia.[2] Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang.[3] Walaupun dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang definisi pendidikan, namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah pendidian, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 : وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَياَّنِيْ صَغِيْرًا. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)[4] Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah adalah proses pengasuhan pada fese permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka pendidikan anak sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya menuju ke tahap selanjutnya. Menurut Frederic J. Mc. Donald, dalam bukunya Educational Psychology, mengungkapkan bahwa education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producting desirable changes in the behaviour of human beings. Pendidikan dalam pengertian yang digunakan di sini adalah sebuah proses atau aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku manusia.[5] Menurut Nelson B. Henry, education is the process by which those powers (abilities, capacities) of the man that are susceptible to habituation are perfected by good habits.[6] Artinya, pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana kemampuan seseorang dapat terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang baik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. b. Pengertian Akhlak Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat.[7] Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق) yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Menurut Rahmat Djatnika, bahwa pengertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminolog, kata budi pekerti terdiri dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut denganbehaviour. Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[8] Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[9] Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called “true morality” not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within.[10] Artinya, bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri. Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut : الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويّة عقلا وسرعا. [11] Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali mencakup dua syarat.Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya. Menurutnya juga, bahwa akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat, maupun kodrat(qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’arasikha fi-n-nafs).[12] Akhlak adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap kali kita temukan pernyataan, seperti ‘akhlak kedermawanan” dan “akhlak-akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika Al-Ghazali, suatu amal lahiriyah tak dapat secara tegas disebut baik dan buruk. Maka ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi jual belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu suatu amal dapat dikatakan suatu amal shaleh atau amal jahat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela. c. Pengertian Pendidikan Akhlak Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dn pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak mulia.[13] Atau suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan pebuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan. 2. DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK a. Dasar-Dasar Pendidikan Akhlak Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 : لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فىِْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلا خِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)[14] Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam : 4 : وَاِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ. (القلم : 4) Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. al-Qalam : 4)[15] Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia). Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa : عن عبد الله حد ثي أبى سعيدبن منصور قال : حدثنا عيد العزيز ين محمد عن محمد بن عجلا عن القعقاع بن حكم عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صا.م : انما بعثت لأ تمم صالح الاخلاق.(رواه احمد) [16] Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata : menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad) Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. b. Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 1) Tujuan Umum Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi : a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.[17] Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.[18] 2) Tujuan Khusus Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan : a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah. c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar. d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain. e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah. f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah yang baik.[19] Adapun menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.[20] Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.[21] 3. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua adalah akhlak terhadap makhluknya (semua ciptaan Allah).[22] Dan ruang lingkup pendidikan akhlak, di antaranya adalah : a. Akhlak Terhadap Allah SWT Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap/perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan yang Khaliq. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah : 1) Karena Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu’minun : 12-13) 2) Karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia. 3) Karena Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13) 4) Allah lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra’ : 70)[23] Dalam berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara, di antaranya dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah SWT menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. 51/Adz-Dzariyat : 56 : وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ. Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia,melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. (Q.S. adz-Dzariyat : 56)[24] Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT : 1. Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan (kewajiban kepada Allah) Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 : يا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوْ اللهَ وَاَطِيْعُوْ الرَّسُوْلَ وَاُولىِ اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ج فَاِنْ تَنزَعْتُمْ فىِ شَئٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْ مِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاخِرِ ط ذلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisaa : 59)[25] Akhlak kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya, mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib lima waktu. 2. Akhlak kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah (keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 23/Al-Mukminun : 1-7 : قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. اَلَّذِيْنَ فِىْ صَلاَتِهِمْ خشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ الَّلغْوِمُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكوةِ فعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُجِهِمْ حفِظُوْنَ. اِلاَّعَلىاَزْوجِهِمْ اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمنُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُمَلُوْمِيْنَ. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-Mukminun : 1-7)[26] Untuk menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf, ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya. b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia Akhlak terhadap sesama manusia,antara lain meliputi akhlak terhadap Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat. 1) Akhlak terhadap Rasulullah Akhlak karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah SWT dalamQ.S. 4/An-Nisaa : 80 : مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَ لىّ فَمَا اَرْسَلْنكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا. Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S.an-Nisaa : 80)[27] 2) Akhlak terhadap orang tua (ayah dan ibu) Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada keluarganya, di antaranya : a) Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S. 17/Al-Isra : 23 : وَقَض رَبُّكَ اَلاَّتَعْبُدُوْا اِلاّ اِيَّاهُ وَبِالْولِدَيْنِ اِحْسنًاط اِمَّايَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَاَحَدُهُمَا اَوْكِلاَهُمَا فَلاَتَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْ هُمَاوَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاًكَرِيْمًا. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra’ : 23)[28] b) Membantu orang tua (ayah dan ibu) 3) Akhlak terhadap guru Akhlakul karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalahspiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya. Penyair Syauki telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-katanya sebagai berikut : قُمْ لِلْمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَّبْجِيْلاَ # كَادَالْمُعَلِّمُ اَنْ يَكُوْنَ رَسُوْلاً. [29] Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul. 4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam al-Qur’an Q.S. 5/Al-Maaidah : 2 : وَتَعَاوَنُوْاعَلَىالْبِرِّ وَالتَّقْوَىصوَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَالْعُدْوانِص وَاتَّقُوا اللهَ ط اِنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ. Dan tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya. (Q.S. Al-Maaidah : 2)[30] c. Akhlak Terhadap Lingkungan Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara wajar dan baik, seperti firman Allah SWT dalam Q.S. 6/Al-An’aam : 38 : وَمَامِنْ دَآ بَّةٍ فىِ اْلاَرْضِ ولاَ طَئِرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَا حَيْهِ اِلاَّ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ط مَافَرَطْنَا فىِ الْكِتبِ مِن شَيْئٍ ثُمَّ اِلى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(Q.S. Al-An’aam : 38)[31] 4. METODE PENDIDIKAN AKHLAK Dalam buku Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah :[32] a. Keteladanan Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak. Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta kontinyu, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur. b. Dengan memberikan tuntunan Yang dimaksud di sini adalah dengan memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan al-Qur’an dan Sunnah. c. Dengan kisah-kisah sejarah Islam memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Di antaranya adalah kisah-kisah para Nabi, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak. d. Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada Allah) Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya. e. Memupuk hati nurani Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk. Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :[33] a. Dengan pembiasaan Tujuannya adalah agar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu. b. Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap Dengan diberikan pengetahuan dan pengertian c. Pembentukan kerohanian yang luhur 5. MATERI PENDIDIKAN AKHLAK Mengenai materi akhlak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu : a. Akhlak Mahmudah Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.[34] Akhlak yang terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[35] 1) Taat Lahir Taat lahir berarti melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan dan dikerjakan oleh anggota lahir. Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat lahir adalah : a) Tobat Menurut para sufi adalah fase awal perjalanan menuju Allah (taqarrub ila Allah). Tobat dikategorikan taat lahir dilihat dari sikap dan tingkah laku seseorang. Namun, sifat penyesalannya merupakan taat batin. b) Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar Yaitu perbuatan yang dilakukan kepda manusia untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. c) Syukur Yaitu berterima kasih pada nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya. 2) Taat Batin Taat batin adalah segala sifat yangbaik, yang terpuji yang dilakukan oleh anggota batin (hati). Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat batin adalah : a) Tawakal Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menanti atau menunggu hasil pekerjaan. b) Sabar Dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sabar dalam beribadah, sabar ketika dilanda malapetaka, sabar terhadap kehidupan dunia, sabar terhadap maksiat, sabar dalam perjuangan. c) Qanaah Yaitu merasa cukup dan rela dengan pemberian yang dianugerahkan oleh Allah. b. Akhlak madzmumah Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan. Pada dasarnya, sifat dan perbiatan yang tercela dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[36] 1) Maksiat Lahir Yaitu pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf), karena melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syariat Islam. Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu : a) Maksiat mata Seperti melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya, melihat aurat laki-laki yang muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina dan melihat kemungkaran tanpa beramar ma’ruf nahi mungkar. b) Maksiat telinga Seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada Allah SWT, mendengarkan umpatan, caci maki, perkataan kotor dan ucapan-ucapan yang jahat. c) Maksiat lisan Seperti berkata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan, berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencaci maki atau mengucapkan kata laknat, baik kepada manusia, binatang, maupun kepada benda-benda lainnya, menghina, menertawakan, atau merendahkan orang lain, berkata dusta, dan lain sebagainya. d) Maksiat perut Seperti memasukkan makanan yang haram dan syubhat, kekenyangan, makan dari harta milik orang lain yang belum jelas (yang diambil dari harta wakaf tanpa ada ketentuan untuk itu dari orang yang memberikan wakaf) e) Maksiat farji (kemaluan) Seperti tidak menjaga auratnya (kehormatan) dengan melakukan perbuatan yang haram, dan tidak menjaga kemaluannya. f) Maksiat tangan Seperti menggunakan tangan untuk mencuri, merampok, mencopet, merampas, mengurangi timbangan, memukul sesama kaum muslim dan menulis sesuatu yang diharamkan membacanya. g) Maksiat kaki Seperti jugalah kaki jangan sampai ke tempat-tempat yang haraf. Hendaklah dijaga dan dipelihara dari segala macam langkah yang salah dan janganlah dipakai untuk berjalan menuju ke tempat raja yang dzalim itu tanpa alasan yang sah akan mendorong terjadinya kemaksiatan yang besar.[37] 2) Maksiat batin Beberapa contoh penyakit batin (akhlak tercela) adalah :[38] a) Marah (ghadab) Dapat dikatakan seperti nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu hasil godaan setan pada manusia. b) Dongkol (hiqd) Perasaan jengkel yang ada di dalam hati, atau buah dari kemasahan yang tidak tersalurkan. c) Dengki (hasad) Penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi. d) Sombong (takabur) Perasaan yang terdapat di dalam hati seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan. [1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm. 1. [2] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 51. [3] Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung : Ramadhani, 1993), hlm. 9. [4] Departemen Agama Republiik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 428. [5] Frederic J. Mc. Donald, Educational Psychology, (San Francisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959), hlm. 4. [6] Nelson B. Henry, Philosophies of Education, (The United States of America : The University, 1962), hlm. 205. [7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 15. [8] Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 26. [9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 5. [10] Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa, Mc. Grow Hill, 1978), hlm. 386. [11] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 58. [12] Muhammad Abul Quasem, Kamil, , Etika Al-Ghazali, “Etika Majemuk Di Dalam Islam, terj. J. Muhyidin, (Bandung : Pustaka, 1975), hlm. 81-82. [13] Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63. [14] Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 670. [15] Ibid., hlm. 960. [16] Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th.), hlm. 504. [17] Barnawy Umari, Materi Akhlak, (Sala : Ramadhani, 1984), hlm. 2. [18] M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), hlm. 11. [19] Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 136. [20] Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm. 114. [21] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 6-7. [22] M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 352. [23] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 148. [24] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 862. [25] Ibid.,hlm. 128. [26] Ibid., hlm. 526. [27] Ibid., hlm. 132. [28] Ibid., hlm. 427. [29] M.Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit., hlm. 136. [30] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 157. [31] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 192. [32] Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, terj. Ibnu Burdah, “Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1998), hlm. 85-95. [33] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), hlm. 76-81. [34] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158. [35] Ibid.,hlm. 159-160. [36] Ibid., hlm. 155. [37] Imam Al-Ghazali, Pedoman Amaliah Ibadat,(Semarang : CV.Wicaksana, 1989), hlm.113-117. [38] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit., hlm. 156-157. http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2011/02/pendidikan-akhlak.html AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN HADIST BAB 1 : PENDAHULUAN Globalisasi menyisakan dampak-dampak negatif bagi perkembangan etika moral masyarakat kita. Pengaruh arus informasi yang deras tanpa batas dan mudah di akses baik melalui internet , handphone, dan media lainnya, telah menjadikan anak-anak kita tumbuh dengan tidak sesuai fitrahnya. Di Negara-negara Islam gelombang dekadensi moral semakin meningkat. Gelobang yang berasal dari barat tersebut sama sekali tidak mengindahkan urgensi agama dalam menjaga moral. Dalam pandangan barat semua hal yang berhubungan dengan keyakinan tidaklah relevan dengan kehidupan, apalagi dalam hal penyembahan Tuhan.[1] Ironisnya budaya barat yang sudah mengalami kerusakan moral ini tersebar dengan mudah , baik melalui media cetak maupun elektronik. Akibatnya, budaya lokal masyarakat muslim terkontaminasi dengan budaya barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat. Indonesia Negeri kita tercinta adalah salah satu korban dari dekadensi moral tersebut. Hal itu tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam Indonesia saat ini terutama di kalangan remaja. Gaya hidup hedonis, seks bebas dan pengunaan obat-obatan penenang sudah menjadi tontonan biasa dikalangan masyarakat. Sementara pembendungannya masih sangat lemah dan dengan konsep yang tidak jelas. Padahal kejayaan suatu bangsa itu ditentukan oleh moralnya, sebagaimana sya'ir berikut ini : وإنما الأمم الأخلاق ما بقيت * فإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا Sesunggunya umat suatu bangsa itu ditentukan oleh akhlaknya, jika akhlak telah hilang dari mereka maka hilang pula kejayaanya.[2] Maka dari itulah diperlukan kajian khusus mengenai akhlak ini yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Assunnah, karena dengan akhlak mulia, seorang muslim akan meraih kesempurnaan dalam imannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”[3] Adapun judul makalah ini adalah : " AKHLAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN HADIST " . Makalah ini merupakan studi kepustakaan ( Library research ) dengan pendekatan tafsir maudhu'i yang memfokuskan pada kajian akhlak menurut pandangan Al-Qur'an dan Al-Hadist, bukan dari sudut pandang filsafat barat.  Sumber primer kajian ini adalah Al-Qur'an dan Al-Hadist, dan sumber skunder mencakup kitab-kitab akhlak yang ditulis ulama' salaf, seperti ihya' ulum addin, tahdzib al-akhlak, kitab al-adab yang tercantum di kutub as-sunan dan lain-lain. BAB 11 : PENGERTIAN AKHLAK SECARA BAHASA DAN ISTILAH Pengertian Akhlak menurut bahasa Secara bahasa ( etimologi ) Kata akhlak (الأخلاق ) merupakan jama' dari khuluq (خُلُق ) yang masing-masing berakar dari kata khalaqa ( خَلَقَ ) yang secara bahasa memiliki arti sebagai berikut : 1. menaqdirkan, menciptakan[4] (التقدير والإبداع), sebagaimana firman Allah : خَلَقَ الله السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ (العنكبوت : 44)Dialah ( Allah ) yang menciptakan langit dan bumi .[5] 1. Tabiat kepribadian[6] ( السجية والطبيعة ) 2. Harga diri [7](مُرُوءة ) 3. kebaikan ( البر )[8] 4. Agama[9] ( الدين ) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kata khalaqa ( خَلَقَ ) lebih cenderung pada bentuk lahirnya, sedangkan kata khuluq (خُلُق ) lebih cenderung pada bentuk batinnya. Sehingga ada ungkapan : فلان حسن الخلق والخلق ( sifulan baik lahirnya dan batinnya ). Hal itu sebagaimana disinyalir oleh Ar-raghib al-asfihani .[10]Sebagaimana tercakup dalam salah satu do'a Rasullah saw adalah : " Ya Allah, jadikanlah pada akhlakku mulia seperti Engkau menjadikan jasadku baik.[11] Hal itu karena manusia tersusun dari fisik lahir yang bisa dilihat dengan mata kepala, dan ruh yang dapat ditangkap dengan mata batin.[12] Dari dua unsur ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena keduanya saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Jika baik maka memang keluar dari akhlaq yang baik, dan ada pula yang buruk jika keluar dari akhlaq yang buruk.[13] Miqdad yalijin menambahkan, akhlak terbentuk dari dua sisi yaitu nafsi ( dorongan jiwa ) dan suluki ( perilaku kebiasaan ) yang keduanya harus berjalan secara bersamaan.[14] Adapun kata akhlak kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata moral , Dalam kamus besar bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.[15] Kata moral sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[16] Pengertian Akhlak secara Istilah 1. Imam Ghazali dalam kitab ulumuddin, akhlak adalah suatu gejala kejiwaan yang sudah mapan dan menetap dalam jiwa, yang dari padanya timbul dan terungkap perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.[17] 2. Abu Usman al-Jahidz dalam kitab Tahdhib Al-Ahlak, akhlak adalah suatu gejala jiwa yang dengannya manusia berperilaku tanpa berfikir dan memilih, terkadang perilku ini terjadi secara spontanitas karena insting dan tabiat, dan terkadang pula membutuhkan sebuah latihan.[18] 3. Ibnu Maskawaih dalam kitab tahzibul akhlaq watathirul araq, mendifinisikan bahwa akhlaq itu sebagai sikap jiwa seserorang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran.[19] 4. Prof. Ahmad Amin dalam kitab Al-Akhlak mendifinisikan, akhlaq adalah adatul iradah (kehendak yang dibiasakan) lalu menjadi kelaziman (kebiasaan).[20] 5. Ibrahim Anis dalam kitab Al-Mu'jam Al-Wasith mengatakan, Akhlak adalah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.[21] 6. Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq al Hasani dalam kitab Tajjul ‘Arusy, Hakikatnya (akhlak) adalah gambaran batin manusia, yakni jiwanya, sifat-sifatnya, dan makna-maknanya yang spesifik, yang dengannya terlihat kedudukan makhluk, lantaran gambarannya secara zahir, baik sifat-sifatnya dan makna-maknanya, dan keduanya memeliki sifat yang baik atau buruk, mendapat pahala dan sanksi, yang kaitan keduanya dengan sifat-sifat yang tergambar secara batin adalah lebih banyak, dibanding apa-apa yang yang terkait dengan gambaran zahirnya.[22] 7. Al-Jurjani dalam kitab Al-Ta'rifat, Akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendalam ( rasyikhah ) yang melahirkan perilaku dengan mudah tanpa harus berfikir panjang, jika perilaku itu baik maka disebut khuluqan hasanan dan sebaliknya jika buruk maka disebut khuluqan sayyi'an.[23] 8. Ibn A'syur dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa At-Tanwir, Akhlak adalah tabi'at jiwa yang akan memunculkan perilaku yang baik jika tidak dipengaruhi hal-hal yang mengiringinya, akhlak akan selalu tertanam pada jiwa, dan akan melahirkan perbuatan yang bisa dilihat dari tutur katanya, raut wajahnya, ketegarannya, kebijakannya, gerak diamnya, pola makan minumnya, sikap terhadap keluarganya dan seterusnya.[24] Dari pengertian-pengertian Akhlak yang berbeda-beda tersebut di atas, dapatlah penulis menyimpulkan, sebagaimana yang disimpulkan oleh Abdurrahman Hasan Al-Medani, bahwa akhlak adalah sebuah sifat yang tertanam dalam jiwa ( Al-Shifah Al-Nafsiyyah ) seseorang baik secara fitrah atau usaha ( fitriyah/muktasabah ) yang melahirkan kehendak kebiasaan, baik yang terpuji maupun yang tercela.[25] Hal itu berbeda dengan " Suluk " ( Behavior ) karena ia merupakan perilaku yang tanpak secara dhahir saja dan tidak secara batin. http://ahmadalim.blogspot.co.id/2010/02/akhlak-dalam-perspektif-al-quran-dan.html BAB I PENDAHULUAN 1.1  Latar Belakang Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya. Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”. Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis, kehendak ’penguasa’ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan. Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist. Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya. 1.2 Identifikasi Masalah Dalam penulisan makalah ini penulis memaparkan tentang beberapa sumber ajaran agama islam. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari makalah ini adalah : Memaparkan dan menjelaskan tentang sumber-sumber ajaran agama islam 1.4 Sistematika Penulisan Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat sistematika penulisan makalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan berisikan latar belakang mengenai ajaran islam, identifikasi masalah, tujuan dibuatnya makalah, dan sistematika penulisan. BAB II PEMBAHASAN Pembahasan tentang sumber-sumber ajaran agama islam yaitu, al-qur’an, as-sunnah (hadist), dan ijtihad. BAB III KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-saran. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sumber-Sumber Ajaran Islam Primer   2.1.1 AL-QUR’AN Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampai- kan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Medinah. Al-Qur’an menyajikan tingkat tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat mengaggumkan bukan saja bagi orang mukmin, melainkan juga bagi orang-orang kafir. Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Wahyu yang perta kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-5. Al-Qur’an memiliki beberapa nama lain, antara lain adalah Al-Qur’an (QS. Al-Isra: 9), Al-Kitab (QS. Al-Baqoroh: 1-2), Al-Furqon (QS. Al-Furqon: 1), At-Tanzil (QS. As-Syu’ara: 192), Adz-Dzikir (QS. Al-Hijr: 1-9). Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah (sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah) ke Madinah. Ayat-ayat yang tutun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah di sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Muhammad pindah ke Medinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah Ciri-cirinya adalah : 1.  Ayat-ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28 surat, 1456 ayat. 2.  Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang ayat–ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai orang-orang yang beriman). 3.  Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada Kemaha Esaan Allah, hari Kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu, sedang ayat-ayat Madaniya memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan sebagainya. Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain: 1.  Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh manusia. Petunjuk akidah ini berintikan keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan kepastian adanya hari kebangkitan, perhitungan serta pembalasan kelak. 2.  Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus diikuti manusia dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan demi kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak. 3.  Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus diindahkan leh manusia dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. 4.  Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau. Sebagai contoh kisah kaum Saba yang tidak mensyukuri karunia yang diberikan Allah, sehingga Allah menghukum mereka dengan mendatangkan banjir besar serta mengganti kebun yang rusak itu dengan kebun lain yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit rasanya. 5.  Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia yang disebut kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala (terompet) oleh malaikat Israil. “ Apabila sangkakala pertamaditiupkan, diangkatlah bumi dan gunung-gunung, la- lu keduanya dibenturkan sekali bentur. Pada hari itulah terjadilah kiamat dan terbelahlah langit...”. (Qs al-Haqqah (69) : 13-16. 6.  Benih dan Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. 7.  Hukum yang berlaku bagi alam semesta. Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain: Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi) Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim). Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim). Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi). Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut: 1.  Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam. 2.  Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih. 3.  Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf. Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni: 1.  Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji 2.  Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut: ·  Hukum munakahat (pernikahan). ·  Hukum faraid (waris). ·  Hukum jinayat (pidana). ·  Hukum hudud (hukuman). ·  Hukum jual-beli dan perjanjian. ·  Hukum tata Negara/kepemerintahan ·  Hukum makanan dan penyembelihan. ·  Hukum aqdiyah (pengadilan). ·  Hukum jihad (peperangan). ·  Hukum dauliyah (antarbangsa).   Fungsi Al-Qur’an antara lain adalah: Menerangkan dan menjelaskan (QS. 16:89; 44:4-5) Al-Qur’an kebenaran mutlak (Al-Haq) (QS. 2: 91, 76) Pembenar (membenarkan kitab-kitab sebelumnya) (QS. 2: 41, 91, 97; 3: 3; 5: 48; 6: 92; 10: 37; 35: 31; 46: 1; 12: 30) Sebagai Furqon (pembeda antara haq dan yang bathil, baik dan buruk) Sebagai obat penyakit (jiwa) (QS. 10: 57; 17:82; 41: 44) Sebagai pemberi kabar gembira Sebagai hidayah atau petunjuk (QS. 2:1, 97, 185; 3: 138; 7: 52, 203, dll) Sebagai peringatan Sebagai cahaya petunjuk (QS. 42: 52) Sebagai pedoman hidup (QS. 45: 20) Sebagai pelajaran   2.1.2 HADIST Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut : 1.  Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi. 2.  Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat. 3.  Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah larangan itu jelas bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya hubungan silaturrahim antara dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama Islam. Macam-macam As-Sunnah: ditinjau dari bentuknya 1.  Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah 2.  Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah 3.  Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain 4.  Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan ditinjau dari segi jumlah orang-orang yang menyampaikannya 1.  Mutawir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak 2.  Masyhur, diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi tidak sampai (jumlahnya) kepada derajat mutawir 3.  Ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang. Ditinjau dari kualitasnya 1.  Shahih, yaitu hadits yang sehat, benar, dan sah 2.  Hasan, yaitu hadits yang baik, memenuhi syarat shahih, tetapi dari segi hafalan pembawaannya yang kurang baik. 3.  Dhaif, yaitu hadits yang lemah 4.  Maudhu’, yaitu hadits yang palsu. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 1.  Maqbul, yang diterima. 2.  Mardud, yang ditolak. 2.2 Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder   2.2.1 IJTIHAD Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist. Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu 1.  Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. 2.  Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua. 3.  Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian. 4.  Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat. 5.  Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan. 6.  Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu. 7.  Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli. BAB III PENUTUP 3.1  Kesimpulan Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder. Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-sunnah (hadist), sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad. 3.2  Saran Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita pelajri sesuia dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam as-sunnah (hadist). DAFTAR PUSTAKA 1. ”Ijtihad,” www.wikipedia.com 2. http\www.hikmatun.wordpress.com\pengertian al-qur’an 3. http\www.google.com http://makalah4all.wap.sh/Data/Kumpulan+makalah+pertanian Makalah Pend.Agama Islam (MORAL, AKHLAK, NILAI DAN NORMA) BAB I PENDAHULUAN 1.    Latar belakang Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut. Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu. Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu. 2.    Rumusan masalah 1)    Apa pengertian moral, akhlak, nilai dan norma? 2)    Bagaimana perbedaan moral, akhlak, nilai dan norma? 3)    Apa manfaat moral dan akhlak dalam kehidupan? 3.    Tujuan 1)    Mengetahui apa yang dimaksud dengan moral, akhlak, nilai, dan norma. 2)    Untuk mengetahui perbedaan moral, akhlak, nilai dan norma. 3)    Untuk mengetahui bagaimana pentingnya moral dan akhlak dalam kehidupan. 4)    Mampu menerapkan moral dan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. 4.    Manfaat Dengan membaca makalah ini kita mampu mngetahui apa itu moral, akhlak, nilai dan norma serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. BAB II PEMBAHASAN 1.   Pengertian Moral, Akhlak, Nilai Dan Norma A.   Pengertian Moral Kata moral berasal dari kata latin “mos”yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa latin yaitu Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif dimata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal yang mutlak yang harus dimiliki manusia. Moral secara umum adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. B.   Pengertian Akhlak Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama. Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4: Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim, yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. Sedangkan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innama bu'itstu liutammima makarima al akhlaqi, yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Perjalanan keilmuan selanjutnya kemudian mengenal istilah-istilah adab (tatakrama), etika, moral, karakter disamping kata akhlak itu sendiri, dan masing-masing mempunyai definisi yang berbeda. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al khuluqu haiatun rasikhotun tashduru 'anha al afal bi suhulatin wa yusrin min ghoiri hajatin act_ fikrin wa ruwiyyatin. Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika berbicara tentang nilai baik buruk maka munculah persoalan tentang konsep baik buruk. Konsep baik buruk perspektip ilmu Akhlak berasal dari kata kholaqo yang artinya penciptaan, maka nilai kebaikan dari akhlaq basiknya adalah dari nilai kebaikan universal, yakni sifat-sifat kebaikan yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Baik. Oleh karena itu sumber utama nilai akhlak adalah wahyu. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika. C.   Pengertian Nilai Pengertian nilai, menurut Djahiri (1999), adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Disini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku. Sedangkan menurut Dictionary dalam Winataputra (1989), nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga.  D.   Pengertian Norma Pengertian norma adalah tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan tindakan manusia. Normal juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah. Norma yang berlaku dimasyarakat Indonesia ada lima, yaitu (1) norma agama, (2) norma susila, (3) norma kesopanan, (4) norma kebiasan, dan (5) norma hukum, disamping adanya norma-norma lainnya. Pelanggaran norma biasanya mendapatkan sanksi, tetapi bukan berupa hukuman di pengadilan. Menurut anda apa sanksi dari pelanggaran norma agama? Sanksi dari agama ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, hukumannya berupa siksaan di akhirat, atau di dunia atas kehendak Tuhan. Sanksi pelanggaran/ penyimpangan norma kesusilaan adalah moral yang biasanya berupa gunjingan dari lingkungannya. Penyimpangan norma kesopanan dan norma kebiasaan, seperti sopan santun dan etika yang berlaku di lingkungannya, juga mendapat sanksi moral dari masyarakat, misalnya berupa gunjingan atau cemooh. Begitu pula norma hukum, biasanya berupa aturan-aturan atau undang-undang yang berlaku di masyarakat dan disepakati bersama. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa norma adalah petunjuk hidup bagi warga yang ada dalam masyarakat, karena norma tersebut mengandung sanksi. Siapa saja, baik individu maupun kelompok, yang melanggar norma dapat hukuman yang berwujud sanksi, seperti sanksi agama dari Tuhan dan dapartemen agama, sanksi akibat pelanmggaran susila, kesopanan, hukum, maupun kebiasaan yang berupa sanksi moral dari masyarakat. 2.    Menganalisis Perbedaan Moral, Akhlak, Nilai Dan Norma Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud: Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya. 3.    Pentingnya Agama Sebagai Moral Dan Akhlak Dalam Kehidupan Akhlak merupakan garis pemisah antara yang berakhlak dengan orang yang tidak berakhlak. Akhlak juga merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad yang tidak bernyawa, karena salah satu misi yang dibawa oleh Rasulullah saw ialah membina kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu mulai pada jaman penyembahan berhala oleh pengikutnya yang telah menyeleweng. Hal ini juga berlaku pada zaman jahilliyyah dimana akhlak manusia telah runtuh,perangai umat yang terdahulu dengan tradisi meminum arak, membuang anak, membunuh, melakukan kezaliman sesuka hati, menindas, suka menjolimi kaum yang rendah martabatnya dan sebagainya. Dengan itu mereka sebenarnya tidak berakhlak dan tidak ada bedanya dengan manusia yang tidak beragama. Akhlak juga merupakan nilai yang menjamin keselamatan kita dari siksa api neraka. Islam menganggap mereka yang tidak berakhlak tempatnya di dalam neraka. Umpamanya seseorang itu melakukan maksiat, durhaka kepada kedua orang tuanya, melakukan kezhaliman dan sebagainya, sudah pasti Allah akan menolak mereka untuk dijadikan ahli syurga. Selain itu, akhlak juga merupakan ciri-ciri kelebihan di antara manusia karena akhlak merupakan lambang kesempurnaan iman, ketinggian taqwa dan kealiman seseorang manusia yang berakal. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda yang bermaksud : “Orang yang sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya.” Kekalnya suatu ummah juga karena kokohnya akhlak dan begitulah juga runtuhnya suatu ummah itukarena lemahnya akhlaknya. Hakikat kenyataan di atas dijelaskan dalam kisah-kisah sejarah dan tamadun manusia melalui al-Quran seperti kisah kaum Lut, Samud, kaum nabi Ibrahim, Bani Israel dan lain-lain. Ummah yang berakhlak tinggi dan sentiasa berada di bawah keridhoan dan perlindungan Allah ialah ummah yang seperti pada zaman Rasulullah saw. Tidak adanya akhlak yang baik pada diri individu atau masyarakat akan menyebabkan manusia krisis akan nilai diri, keruntuhan rumah tangga, yang tentunya hal seperti ini dapat membawa kehancuran dari suatu negara. Presiden Perancis ketika memerintah Perancis dulu pernah berkata : “Kekalahan Perancis di tangan tantara Jerman disebabkan karena tentaranya runtuh moral dan akhlak” Pencerminan diri seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan. Malahan, akhlak merupakan perhiasan diri bagi seseorang karena orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh perbedaannya. Akhlak tidak dapat dibeli atau dinilai dengan suatu mata uang apapun, akhlak merupakan wujud di dalam diri seseorang yang merupakan hasil didikan dari kedua orang tua serta pengaruh dari masyarakat sekeliling mereka. Jika sejak kecil kita kenalkan,didik serta diarahkan pada akhlak yang mulia, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari hingga seterusnya. Pada lingkungan masyarakat yang tak beragama, orang cenderung melakukan beragam tindakan yang tak bermoral. Perbuatan buruk seperti penyogokkan, perjudian, iri hati atau berbohong merupakan hal yang biasa. Hal demikian tidak terjadi pada orang yang ta’at kepada agama. Mereka tidak akan melakukan semua perbuatan buruk tadi karena mengetahui bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya di akhirat kelak. Sukar dipercaya jika ada orang mengatakan, Saya ateis namun tidak menerima sogokan”, atau Saya ateis namun tidak berjudi. Mengapa? Karena orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak mempercayai adanya pertanggungjawaban di akhirat, akan melakukan salah satu hal di atas jika situasi yang dihadapinya berubah. Seseorang yang mengatakan, Saya ateis namun tidak berjinah cenderung melakukannya jika perjinahan di lingkungan tertentu dianggap normal. Atau seseorang yang menerima sogokan bisa saja beralasan, Anak saya sakit berat dan sekarat, karenanya saya harus menerimanya, jika ia tidak takut kepada Allah. Di negara yang tak beragama, pada kondisi tertentu maling pun bisa dianggap sah-sah saja. Contohnya, masyarakat tak beragama bisa beranggapan bahwa mengambil handuk atau perhiasan dekorasi dari hotel atau pusat rekreasi bukanlah perbuatan pencurian. Seorang yang beragama tak akan berperilaku demikian, karena ia takut kepada Allah dan tak akan pernah lupa bahwa Allah selalu mengetahui niat dan pikirannya. Dia beramal setulus hati dan selalu menghindari perbuatan dosa. Seorang yang jauh dari bimbingan agama bisa saja berkata Saya seorang ateis namun pemaaf. Saya tak memiliki rasa dendam ataupun rasa benci. Namun sesuatu hal dapat terjadi padanya yang menyebabkannya tak mampu mengendalikan diri, lalu mempertontonkan perilaku yang tak diinginkan. Dia bisa saja melakukan pembunuhan atau mencelakai orang lain, karena moralnya berubah sesuai dengan lingkungan dan kondisi tempat tinggalnya. Sebaliknya, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak kan pernah menyimpang dari moral yang baik, seburuk apapun kondisi lingkungannya. Moralnya tidak berubah-ubah melainkan tetap kokoh. Orang-orang beriman memiliki moral yang tinggi. Sifat-sifat mereka disebut Allah dalam ayatNya: Mereka yang teguh dengan keyakinannya kepada Allah dan tidak mengingkari janji; yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya dan takut kepada Tuhan mereka dan takut pada hisab yang buruk; mereka yang sabar untuk mencari perjumpaan dengan Tuhan mereka, dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami berikan kepadanya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, menolak kejahatan dengan kebaikan. Merekalah yang mendapat kedudukan yang tinggi. (Surat Ar-Rad: 20-22) BAB III PENUTUP 1.    Simpulan      Nilai adalah suatu ukuran terhadap suatu objek tertentu. Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Seseorang yang bersikap sesuai dengan nilai, akhlak, norma dan moral yang diyakininya dan diaplikasikan dalam kehidupan akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Jadi, Moral, akhlak, nilai dan norma merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia 2.    Saran Demikian makalah yang kami buat, Namun kami sadar sebagai manusia biasa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya agar lebih baik. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita, Amin. Daftar Pustaka Ahmad Amin, Etika (Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1993 Amir Dain Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1973 http://ruslantara06.blogspot.com/2013/04/persamaan-dan-perbedaan-antara.html http://yesisanrhadita.wordpress.com/2012/11/08/akhlaktasawuf-persmaan-dan-perbedaad-sertaketerkaitan-akhlak-etoka-moral-kesusilaan-dan-kesopanan/ http://rusmini-andiani.blogspot.com/2012/10/penerapan-etika-moral-dan-akhlak-dalam.html http://slavinovic.blogspot.com/2011/09/agama-sebagai-sumber-moral-dan-akhlak.html http://heryanigx.blogspot.co.id/2014/08/makalah-pendagama-islam-moral-akhlak.html BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Al-Qur’an adalah kitab suci ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril. Secara harfiah Qur’an berarti bacaan. Namun walau terdengar merujuk ke sebuah buku/kitab, ummat Islam merujuk Al-Qur’an sendiri lebih pada kata-kata atau kalimat di dalamnya, bukan pada bentuk fisiknya sebagai hasil cetakan. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur’an disampaikan kepada Muhammad melalui malaikat Jibril. Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya beliau 632 M. Walau Al-Qur’an lebih banyak ditransfer melalui hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut Islam pada masa itu yang menuliskannya pada tulang, batu-batu dan dedaunan. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini persis sama dengan yang disampaikan kepada Muhammad, kemudian disampaikan lagi kepada pengikutnya, yang kemudian menghapalkan dan menulis isi Al Qur’an tersebut. Secara umum para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur’an yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman. Al-Qur’an memiliki 114 surah , dan sejumlah 6.236 ayat (terdapat perbedaan tergantung cara menghitung). Hampir semua Muslim menghafal setidaknya beberapa bagian dari keseluruhan Al-Qur’an, mereka yang menghafal keseluruhan Al-Qur’an dikenal sebagai hafiz (jamak:huffaz). Pencapaian ini bukanlah sesuatu yang jarang, dipercayai bahwa saat ini terdapat jutaan penghapal Al-Qur’an diseluruh dunia. Di Indonesia ada lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an yaitu lomba membaca Al-Qur’an dengan tartil atau baik dan benar. Yang membacakan disebut Qari (pria) atau Qariah (wanita). Muslim juga percaya bahwa Al-Qur’an hanya berbahasa Arab. Hasil terjemahan dari Al-Qur’an ke berbagai bahasa tidak merupakan Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu terjemahan hanya memiliki kedudukan sebagai komentar terhadap Al-Qur’an ataupun hasil usaha mencari makna Al-Qur’an, tetapi bukan Al-Qur’an itu sendiri.  Hadits (bahasa Arab: الحديث, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur’an. Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.   BAB 2 PEMBAHASAN A. Al-Qur’an Pengertian Al-Qur’an Sebagaimana telah disinggung sebelum ini tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Secara Bahasa (Etimologi) Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-‘a yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Secara Syari’at (Terminologi) Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. تَنْزِيلا الْقُرْآنَ عَلَيْكَ نَزَّلْنَا نَحْنُ إِنَّا Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (Al-Insaan:23) تَعْقِلُونَ لَعَلَّكُمْ عَرَبِيًّا قُرْآنًا أَنْزَلْنَاهُ إِنَّا Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2) Allah ta’ala telah menjaga Al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, لَحَافِظُونَ لَهُ وَإِنَّا الذِّكْرَ نَزَّلْنَا نُ نَحْ إِنَّا “Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (Al-Hijr:9) Al-Qur’an disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah. Dalam surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Qur’an dengan membawa kebenaran”. Surah An Nahl ayat 89, “Dan telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu dan ia merupakan petunjuk, rahmat serta pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah. Al-Qur’an turun di dua tempat yaitu: Di Mekkah atau yang disebut Ayat Makkiyah. Pada umumnya berisikan soal-soal kepercayaan atau ketuhanan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, ayat-ayatnya pendek dan ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar 2/3 seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.   Di Madinah atau yang disebut Ayat Madaniyah. Ayat-ayatnya panjang, berisikan peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan, anjuran, hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai keluarga, masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan sebagainya.   Mu’jizat Al-Qur’an Al-Qur’an memiliki mu’jizat-mu’jizat yang membuktikan bahwa ia benar-benar datang dari Allah SWT. Menurut Mana’ Qattan di dalam buku Mabahits Fi Ulumil Qur’an menyebutkan bahwa Al-Qur’an memilki mujizat pada 4 bidang yaitu: Pada lafadz dan susunan kata. Pada zaman Rasulullah Syair sangat trend pada saat itu maka Al-Qur’an turun dengan kata-kata dan susunan kalimat yang maha puitis, sehingga Al-Qur’an memastikan bahwa tak ada seorangpun yang dapat membuat satu surah sekalipun semisal Al-Qur’an. Seperti yang termaktub dalam surah Al Isra ayat 88, Hud ayat 13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23. Pada keterangannya, selain pada kata-katanya Al-Qur’an juga memiliki mu’jizat pada artinya yang membuka segala hijab tentang hakikat manusiawi. Pada ilmu pengetahuan. Di dalam terdapat sangat banyak pengetahuan baik hal yang zahir maupun yang gaib, baik masa sekarang maupun yang akan datang. Pada penetapan hukum. Peraturan yang ada di dalam Al-Qur’an bebas dari kesalahan karena ia berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu atas segala ciptaanNya. Fungsi dan Tujuan Al-Qur’an Al-Qur’an pertama kali turun di Gua Hira surah Al Alaq ayat 1-5 dan terakhir kali turun surah al Maidah ayat 3. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 144 surah, 6.326 ayat, 324.345 huruf . Al-Qur’an berfungsi sebagai: Sumber pokok dan utama dari segala sumber-sumber hukum yang ada. Hal ini dilandasi oleh ayat Al-Qur’an di dalam surah An Nisa ayat 5. Penuntun manusia dalam merumuskan semua hukum, agar tercipta kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman dan berwawasan Al-Qur’an. Petunjuk yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dengan penuh rahmat kepada kebahagiaan umat manusia baik didunia maupun diakhirat dan sebagai ilmu pengetahuan. Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan Al-Qur’an Akidah Akidah adalah keyakinan atau kepercayaan. Akidah islam adalah keyakinan atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman. Ibadah dan Muamalah Kandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-Qur’an tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56) Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82. Hukum Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum perang,hukum antar bangsa. Akhlak Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4. Kisah-kisah umat terdahulu Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menaruh perhatian penting terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39. Isyarat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Al-Qur’an banyak menghimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9. Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia. Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an : Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia manusia. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa. Kehujjahan Al-Qur’an Al-Qur’an dari segi penjelasannya ada 2 macam, Pertama muhkam yaitu ayat-ayat yang teran artinya, jelas maksudnya dan tidak mengandung keraguan atau pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat pada lafaznya.   Kedua mutasyabih yaitu ayat yang tidak jelas artinya sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai penafsiran dan pemahaman yang disebabkan oleh adanya kata yang memiliki dua arti/maksud, atau karena penggunaan nama-nama dan kiasan-kiasan. Ibarat Al-Qur’an dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa model. Suruhan, yang berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Keharusan seperti perintah shalat, Allah berfirman yang artinya,”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Larangan contohnya firman Allah dalam surah Al An’am ayat 151 yang artinya,”Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan hak”. Janji baik dan buruk, pahala dan dosa serta pujian dan celaan. Ibarat, contohnya seprti istri yang ditalak harus menjalankan masa iddah.   B. As-Sunnah(Al-Hadits) Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:  Artinya: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7) Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW: رَسُوْلِهِ سُنَّةُ وَ اللهِ كِتَابَ اَبَدًا ضِلُّوْا تَلَنْ بِهِمَا مَسَّكْتُمْ تَمَا اَمْرَيْنِ فِيْكُمْ تَرَكْتُ Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasulnya”. (HR. Imam Malik) Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30) Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:  Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3) Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW: وَالطِّحَالِ فَالْكَبِدُ : الدَّمَانِ وَاَمَّا, وَالْجَرَادُ الْحُوْتُ: الْمَيْتَتَانِ فَامَّا, دَمَانِ وَ مَيْتَتَانِ لَنَا اُحِلَّتْ Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)   Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:   بِالتُّرَابِ اَوْلَهِنَّ مَرَّاتٍ سَبْعَ يُغْسِلَ اَنْ الْكَلْبُ فِيْهِ وَلِغَ اِذَا اَحَدِكُمْ اِنَاءِ طُهُوْرُ Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)   Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu: 1. Rawinya bersifat adil 2. Sempurna ingatan 3. Sanadnya tidak terputus 4. Hadits itu tidak berilat, dan 5. Hadits itu tidak janggal BAB III PENUTUP   A.KESIMPULAN Dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Secara terminologis dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan meneapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut denagan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Al-Qur’an yang berasal dari kata qara’a yang dapat diartikan dengan membaca, namun yang dimaksud dengan Al-Qur’an dalam uraian ini ialah,”kalamullah yang diturunkan berperantakan ruhul amin kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan agar menjadi pelajaran bagi orang yang mengikuti petunjuknya. Menjadi ibadah bagi siapa yang membacanya, ia ditulis di atas lembaran mushaf, dimulai dengan surah Al Fatihah dan di akhiri dengan surah An Naas. Yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generai ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. B. SARAN    Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.     BAB IV DAFTAR PUSTAKA Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika. Abdurachman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia. Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril Hadits. http://www.scribd.com/doc/21104231/Sumber-Hukum-Islam http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam http://one.indoskripsi.com/node/2563 http://www.gsfaceh.com/buku/sumber_sumber_hukum_islam.pdf https://zainrochmanstmikprsw.wordpress.com/2012/01/05/makalah-al-quran-dan-al-hadits-sebagai-sumber-hukum-islam/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut. Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu. Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu. B. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengertian, pembagian dan peranan dari Etika 2. Untuk mengetahui pengertian dari Moral 3. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam dari Akhlak BAB II PEMBAHASAN 1. ETIKA A. Pengertian Etika adalah suatu ajaran yang berbicara tentang baik dan buruknya yang menjadi ukuran baik buruknya atau dengan istilah lain ajaran tenatang kebaikan dan keburukan, yang menyangkut peri kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.          Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ”ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. B. Etika Dibagi Atas Dua Macam 1. Etika deskriptif                          Etika yang berbicara mengenai suatu fakta yaitu tentang nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. 2. Etika Normatif Etika yang memberikan penilaian serta himbauan kepada manusia tentang bagaimana harus bertindak sesuai norma yang berlaku. Mengenai norma norma yang menuntun tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari hari. Etika dalam keseharian sering dipandang sama denga etiket, padahal sebenarnya etika dan etiket merupakan dua hal yang berbeda. Dimana etiket adalah suatu perbuatan yang harus dilakukan. Sementa etika sendiri menegaskan bahwa suatu perbuatan boleh atau tidak. Etiket juga terbatas pada pergaulan. Di sisi yang lain etika tidak bergantung pada hadir tidaknya orang lain. Etiket itu sendiri bernilairelative atau tidak sama antara satu orang dengan orang lain. Sementa itu etika bernilaiabsolute atau tidak tergantung dengan apapun. Etiket memandang manusia dipandang dari segi lahiriah. Sementara itu etika manusia secara utuh. Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. C. Etika Memiliki Peranan Atau Fungsi Diantaranya Yaitu: 1. Dengan etika seseorang atau kelompok dapat menegemukakan penilaian tentang perilaku manusia 2. Menjadi alat kontrol atau menjadi rambu-rambu bagi seseorang atau kelompok dalam melakukan suatu tindakan atau aktivitasnya sebagai mahasiswa 3. Etika dapat memberikan prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. 4. Etika dapat menjadi prinsip yang mendasar bagi mahasiswa dalam menjalankan aktivitas kemahasiswaanya. 5. Etika menjadi penuntun agar dapat bersikap sopan, santun, dan dengan etika kita bisa di cap sebagai orang baik di dalam masyarakat. D. Etika Dalam Penerapan Kehidupan Sehari-hari 1. Etika bergaul dengan orang lain a) Hormati perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat. b) Jaga dan perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya. c) Bermuka manis dan senyumlah bila anda bertemu orang lain. Berbicaralah kepada mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka. d) Berbaik sangkalah kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka. e) Mema`afkan kekeliruan mereka dan jangan mencari-cari kesalahankesalahannya, dan tahanlah rasa benci terhadap mereka.  2. Etika bertamu a) Untuk orang yang mengundang: - Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang fakir. - Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan. - Jangan kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah. - Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya. - Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian. b) Bagi tamu: - Hendaknya tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap perasaannya. - Jangan tidak hadir sekalipun karena sedang berpuasa, tetapi hadirlah pada waktunya. - Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu. - Hendaknya pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada tuan rumah. 3. Etika di jalan a) Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur. b) Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. c) Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. d) Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. 4. Etika makan dan minum a) Berupaya untuk mencari makanan yang halal. b) Hendaknya mencuci tangan sebelum makan jika tangan kamu kotor, dan begitu juga setelah makan untuk menghilangkan bekas makanan yang ada di tanganmu. c) Hendaklah kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya. d) Hendaknya jangan makan sambil bersandar atau dalam keadaan menyungkur. e) Hendaklah makan dan minum yang kamu lakukan diniatkan agar bisa dapat beribadah kepada Allah, agar kamu mendapat pahala dari makan dan minummu itu. f) Hendaknya memulai makanan dan minuman dengan membaca Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah. g) Tidak berlebih-lebihan di dalam makan dan minum. 5. Etika berbicara a) Hendaknya pembicaraan selalu di dalam kebaikan.. b) Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani). c) Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu disebutkan: "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun". Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: "Orang-orang yang sombong". (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani). d) Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. e) Menghindari perkataan jorok (keji). f) Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. g) Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. h) Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan. 6. Etika bertetangga a) Menghormati tetangga dan berprilaku baik terhadap mereka. b) Bangunan yang kita bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat mereka tertutup dari sinar mata hari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui batasnya, apakah merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti perasaannya. c) Jangan kikir untuk memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya kita ajak mereka berbuat yang ma`ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana (hikmah) dan nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan mereka. d) Hendaknya kita selalu memberikan makanan kepada tetangga kita. e) Hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahan/kekeliruan mereka dan jangan pula bahagia bila mereka keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan mereka. f) Hendaknya kita sabar atas prilaku kurang baik mereka terhadap kita. 8. Etika menjenguk orang sakit a) Untuk orang yang berkunjung (menjenguk): - Hendaknya tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung, dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan membahagiakannya. - Mendo`akan semoga cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan. - Mengingatkan si sakit untuk bersabar atas taqdir Allah SWT. b) Untuk orang yang sakit: - Hendaknya segera bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih. - Berbaik sangka kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk yang lemah di antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak mem-butuhkan ketaatannya. - Hendaknya cepat meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan segera mem-bayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemi-liknya, dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. 9. Etika Berbeda Pendapat a) Ikhlas dan mencari yang hak serta melepaskan diri dari nafsu di   saat berbeda pendapat. b) Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu. c) Mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. d) Sebisa mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu denga cara menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik. e) Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang. f) Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah. g) Berpegang teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah membantah dan kasar menghadapi lawan. 10. Etika Berkomunikasi Lewat Telepon a) Hendaknya penelpon memulai pembicaraannya dengan ucapan Assalamu’alaikum, karena dia adalah orang yang datang, maka dari itu ia   harus memulai pembicaraannya dengan salam dan juga menutupnya dengan salam. b) Pilihlah waktu yang tepat untuk berhubungan via telepon, karena manusia mempunyai kesibukan dan keperluan, dan mereka juga mempunyai waktu tidur dan istirahat, waktu makan dan bekerja. c) Jangan memperpanjang pembicaraan tanpa alasan, karena khawatir orang yang sedang dihubungi itu sedang mempunyai pekerjaan penting atau mempunyai janji dengan orang lain. d) Maka hendaknya wanita berhati-hati, jangan berbicara diluar kebiasaan dan tidak melantur berbicara dengan lawan jenisnya via telepon, apa lagi memperpanjang pembicaraan, memperindah suara, memperlembut dan lain sebagainya. 2. MORAL A. Pengertian Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.                         Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.                   Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. B. Perbedaan Antara Etika dan Moral Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada. Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal, yaitu: 1. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. 2. Kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. 3. Kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar. 3. AKHLAK A. Pengertian       Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.     Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari.     Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke derajat yang tinggi dan mulia. Akhlak yang buruk akan membinasakan seseorang insan dan juga akan membinasakan ummat manusia. Manusia yang mempunyai akhlak yang buruk senang melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Senang melakukan kekacauan, senang melakukan perbuatan yang tercela, yang akan membinasakan diri dan masyarakat seluruhnya. Nabi S.A.W.bersabda yang bermaksud: "Orang Mukmin yang paling sempurna imannya, ialah yang paling baik akhlaknya."(H.R.Ahmad). Nabi S.A.W.bersabda yang maksudnya:"Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budipekerti yang mulia."(H.R.Ahmad). Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim, yang artinya: ”Sesungguhnya engkau (Muhammad)  berada di atas budi pekerti yang agung” (Al Qalam:4). Ciri-Ciri Perbuatan Akhlak: 1) Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya. 2) Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran. 3) Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. 4) Dilakukan dengan sungguh-sungguh. 5) Dilakukan dengan ikhlas. B. Macam-Macam Akhlak 1. Akhlak kepada Allah a) Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembahNya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikanketundukkan terhadap perintah Allah. b) Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi,baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati. c) Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu d) Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan. e) Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. 2. Akhlak kepada diri sendiri a) Sabar, yaitu prilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil daripengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya.Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika ditimpa musibah. b) Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya. c) Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain. 3. Akhlak kepada keluarga Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkann kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain : a) Menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut b) Mentaati perintah c) Meringankan beban, serta d) Menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha. 4. Akhlak kepada sesama manusia a) Akhlak terpuji (Mahmudah) 1) Husnuzan Berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain: - Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul Nya Adalah untuk kebaikan manusia. - Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk. Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan). Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain. 2) Tawaduk Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah takabur. Allah berfirman , Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al Isra/17:24) Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua. 3) Tasamu Artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia. Allah berfirman, ”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S.Alkafirun/109: 6) Ayat tersebut menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini. 4) Ta’awun  Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengansesama manusia. Allah berfirman, ”...dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”(Q.S. Al Maidah/5:2) b) Akhlak tercela (Mazmumah) 1) Hasad Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau cemburu melihat orang lain beruntung. Allah berfirman, ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atassebagian yang lain.(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya...” (Q.S. AnNisa/4:32) 2) Dendam Dendam yaitu keinginan keras yang terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan. Allah berfirman, ”Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhlah itulah yang terbaik bagi orang yang sabar” (Q.S. An Nahl/16:126) 3) Gibah dan Fitnah Membicarakan kejelekan orang lain dengan tujuan untuk menjatuhkan nama baiknya. Apabila kejelekan yang dibicarakan tersebut memang dilakukan orangnya dinamakan gibah. Sedangkan apabila kejelekan yang dibicarakan itu tidak benar, berarti pembicaraan itu disebut fitnah. Allah berfirman, ”...dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik...” (Q.S. Al Hujurat/49:12). 4) Namimah Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya. Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat/49:6). D. PERBEDAAN ETIKA,MORAL DAN AKHLAK      Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya : “ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).      Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah  dilaksanakan berdasarkan aqidah. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk,layak atau tidak layak,patut maupun tidak patut. Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Ketiga hal tersebut (etika, moral dan akhlak) merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling baik budi pekertinya adalah Rasulullah S.A.W. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim). B. Saran Dan diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat menerapkan etika, moral dan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W, setidaknya kita termasuk kedalam golongan kaumnya. http://nurdinfivers1.blogspot.co.id/2014/02/makalah-agama-tentang-etika-moral-dan.html