Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Urban Demography

Kemitraan Agenda Habitat Indonesia Habitat Agenda Partners Indonesia URBAN DEMOGRAFI 3 4 Daftar Isi Daftar Isi i Kata Pengantar iii SUBTEMA : DEMOGRAFI PERKOTAAN 1 Habitat & Fokus Perhatiannya 1 1. Pengelolaan Urbanisasi yang Cepat 5 Pemanfaatan Jendela Kesempatan dalam Pembangunan Perkotaan 16 2. Pengelolaan Hubungan antara daerah Perkotaan dan Perdesaan 23 Mega Urban Region di Indonesia Pengelolaan Metropolitan Maminasata 3. Identifikasi Kebutuhan Penduduk Muda Perkotaan 27 36 41 Implementasi KLA di Indonesia 47 Pemuda & Tumbuhnya Kota Kreatif di Indonesia 53 Indonesia Berkebun 61 4. Respon terhadap Kebutuhan Usia Lanjut 66 Kehidupan Lansia di Indonesia 78 Kehidupan Lansia di Kota Jakarta 81 5. Pengarusutamaan Gender dalam Integrasi Pembangunan Perkotaan 84 Upaya Pemberdayaan Perempuan di Kota Makassar 89 Provinsi dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) Tertinggi 90 6. Tantangan Pengelolaan Perkotaan 96 7. Agenda ke Depan 98 Glossary iv Daftar Pustaka viii 5i 6 ii Kata Pengantar Indonesia telah aktif dalam forum internasional bidang permukiman dan perumahan sejak Konferensi Internasional Habitat yang pertama yang diadakan di Vancouver pada tahun 1976. Hingga 40 tahun kemudian, Indonesia masih aktif dan sedang dalam tahap persiapan dalam rangka Konferensi Internasional Habitat ke 3 yang akan diadakan di tahun 2016. Terlepas dari keikutsertaan Indonesia dalam konferensi Habitat, Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya Direktorat Jenderal Cipta Karya, memiliki visi yaitu “Terwujudnya permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan melalui penyediaan infrastruktur yang handal dalam pengembangan permukiman, pengembangan sistem penyediaan air minum, pengembangan penyehatan lingkungan permukiman dan penataan bangunan dan lingkungan”. Artinya Indonesia telah lama berupaya mewujudkan habitat yang berkelanjutan dalam pembangunan baik di perkotaan maupun perdesaan. Laporan Nasional Habitat III merupakan hasil dari analisis perkembangan perkotaan selama 40 tahun terakhir. Bagian penunjang sub tema urban demography ini merupakan hasil analisis dari sisi demograi perkotaan. Aspek demograi terutama urbanisasi merupakan salah satu aspek penting yang mempengaruhi aspek-aspek pendukung lainnya yang mempengaruhi perkembangan perkotaan, antara lain land & urban planning, environment & urbanization, governance & institution, urban economics, dan housing & basic services, yang menjadi sub tema lain yang dikupas dalam buku laporan nasional Habitat III Indonesia. Buku ini tidak hanya membahas penduduk produktif pada umumnya, akan tetapi semua unsur mulai dari keterlibatan lansia, perempuan, hingga pemuda dan anak-anak yang juga merupakan unsur penting dalam mengarahkan dan mempengaruhi perkembangan perkotaan baik unsur isik dan non-isiknya. Diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai konsisi urban demography di Indonesia sekaligus memberikan masukan dan rekomendasi yang bermanfaat untuk pengembangan permukiman dan perumahan yang berkelanjutan. Jakarta, 24 November 2014 Ir. Mochammad Natsir, M.Sc Direktur Pengembangan Air Minum iii 7 Kumpulan tulisan ini disusun dalam rangka menunjang National Report yang akan digunakan sebagai Bahan Konferensi Habitat III (Oktober, 2014). Disusun Oleh : Rudy P.Tambunan Chotib Syarifah F.Syaukat Yuli Nurraini Diah Arlina Fathia Hashilah 8 DEMOGRAFI PERKOTAAN Habitat & Fokus Perhatiannya Konferensi Habitat merupakan suatu forum bagi negara-negara yang memiliki kepedulian pada permasalahan perkotaan, forum ini pertama kali diadakan pada tahun 1976 (Konferensi Habitat I, Vancouver), dan kemudian tahun 1996 (Konferensi Habitat II, Istambul). Sesuai dengan agenda Istambul, pada tahun 2016 akan diselenggarakan Konferensi Habitat III dengan tema Sustainable Urbanization. Dalam partisipasinya untuk kegiatan tersebut, negara anggota perlu menyiapkan National Report, yang berisikan isu-isu perkotaan dan membahas Agenda Perkotaan Baru (New Urban Agenda) yang akan menjadi kesepakatan bersama. 1 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan bahwa peringatan Hari Habitat Sedunia diselenggarakan pada minggu pertama bulan Oktober setiap tahun. Perhatian PBB pada habitat atau secara lebih spesiik pada permukiman (human settlement), khususnya untuk negaranegara sedang berkembang, secara formal telah dideklarasikan pada Konferensi Habitat Internasional I di Vancouver, Kanada, tahun 1976. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Vancouver tentang habitat yang antara lain menekankan bahwa, permukiman harus merupakan instrumen dan obyek pembangunan, pemenuhan perumahan dan kelengkapannya sebagai salah satu hak mendasar manusia, khususnya masyarakat miskin, serta pengendalian penggunaan dan kepemilikan lahan. Sebagai implementasi dari deklarasi tersebut, banyak negara berkembang melaksanakan berbagai program pembangunan perumahan, khususnya untuk masyarakat kurang mampu di perkotaan. 2 Sementara di Indonesia, sejak pertengahan 1970-an hingga kini telah berlangsung berbagai program terkait permukiman, diantaranya Site and Services yang populer hingga pertengahan tahun 1980-an, perbaikan daerah kumuh, perbaikan kampung/kampung improvement project (KIP), pembangunan infrastruktur perkotaan, konsolidasi lahan, pemilikan rumah, dan KPR-BTN. Dua puluh tahun kemudian, 1996, Konferensi Habitat II di Istanbul, Turki, mendeklarasikan bahwa lingkup habitat semakin melebar, tidak hanya masalah perumahan dan permukiman (shelter) semata, tetapi juga perkotaan secara luas. Perkotaan harus diarahkan menjadi pusatpusat peradaban, pendorong kemajuan ekonomi, serta pengembangan budaya, spiritual, dan ilmu pengetahuan. Disadari pula bahwa pengembangan perkotaan harus mempertimbangkan pluralitas dan mendorong solidaritas masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas hidup di permukiman, perlu didorong program-program pembangunan untuk mengantisipasi kepadatan penduduk berlebihan, kekurangan perumahan, kemiskinan, lapangan kerja, serta buruknya infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Demikian pula dengan eksklusi sosial, kekerasan, serta keamanan, khususnya untuk wanita dan anak-anak, penyandang cacat (disabled), serta berbagai masalah sosial lain. Aspek isik pembangunan perkotaan juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa kondisi lingkungan hidup semakin memburuk serta rentan terhadap bencana, baik alam maupun akibat ulah manusia. Lebih dari sekadar menekankan habitat dengan pembangunan di perkotaan, Deklarasi Istanbul juga menyoroti hubungan perkotaan dengan perdesaan. Perkembangan perkotaan sangat terkait dengan apa yang terjadi di wilayah perdesaan. Pengembangan wilayah secara terintegrasi akan mengurangi laju mobilitas penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya keterkaitan (linkage) kota-kota besar dengan kota-kota kecil dan menengah, apalagi dengan wilayah perdesaan, cenderung melemah, kecuali untuk sektor- sektor ekonomi informal. Ini karena kota-kota besar tersebut lebih banyak menjadi ”pelayan” ekonomi global. Hal ini akan semakin mendorong disparitas kota-kota besar dengan kota-kota kecil dan wilayah perdesaan. dan kabupaten, seperti Jabodetabekjur, jelas tidak dapat dilakukan secara parsial oleh kota dan kabupaten, tetapi harus terintegrasi sebagai suatu kesatuan wilayah perkotaan. Sementara itu berbagai aspek dalam Deklarasi Vancouver (1976) dan Deklarasi Istanbul (1996) mengenai habitat masih relevan hingga kini. Namun, dengan perkembangan yang terjadi serta kecenderungannya ke depan, seyogianya agenda-agenda habitat, baik dari PBB, pemerintah pusat, maupun pemerintah kota di Indonesia perlu diperluas dan disesuaikan dengan dinamika pembangunan perkotaan. Saat ini, yang sangat diperlukan adalah kehadiran sebuah kebijakan dan arah pembangunan perkotaan secara nasional yang diprogramkan dan dilaksanakan secara konsisten. Tantangan lain yang perlu mendapat perhatian adalah dampak negatif perubahan iklim pada kota-kota besar, khususnya yang berlokasi di tepi pantai, karena memicu banjir dan rob (tidal lood), pemanasan, dan lainnya. Selain itu, dalam era otonomi daerah dan desentralisasi, pembangunan wilayah perkotaan yang bersifat lintas kota 3 Diantara hal yang menjadi focus bahasan adalah kerentanan dalam bencana alam, konlik sosial-politik dalam penggunaan lahan dan sumberdaya alam, dan penggunaan energi. Pada prepatory committee Konferensi Habitat III yang dilakukan pada 17-18 September 2014 di New York, Joan Cloas menyatakan bahwa persiapan menuju Konferensi Habitat III membutuhkan beberapa kesepakatan dan perhatian bersama dengan mempertimbangkan kondisi saat ini, bahwa dunia secara cepat didominasi oleh wilayah perkotaan, dengan jumlah penduduk yang menetap di perkotaan mencapai 4 Miliar. Dengan tren pertumbuhan penduduk saat ini, maka Pemerintah Kota harus cepat menyediakan perumahan bagi 70% populasi yang akan menetap di perkotaan pada tahun 2050. Penduduk dunia butuh kota dan permukiman yang inclusive, safe, resilient dan sustainable. Hal ini perlu direalisasikan dengan skema kerjasama public private partnership sehingga dapat tercapai pengadaan permukiman yang terjangkau dan layak. Preparatory Committee dilakukan untuk menentukan bahasan utama dalam Konferensi III kelak, khususnya untuk mencapai human settlement & sustainable urban development. Bahasan ditentukan berdasarkan trend dan permasalahan yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini. 4 Selain itu, untuk menggugah kesadaran masyarakat akan kondisi kota saat ini, urban campaign untuk dibutuhkan meningkatkan partisipasi dari seluruh stakeholder kota. Keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting, karena akan terjadi demographic shift pada 20-30 tahun ke depan. Dengan demikian penyiapan dan pengelolaan komunitas perkotaan merupakan tantangan kedepan. Sementara itu, Ban Ki Moon menyebutkan bahwa, agenda Habitat III akan diarahkan pada capaian Housing Settlement dan Sustainable Urban Development, dengan fokus bahasan diperluas pada sektor health dan resilience. Tantangan ke depan bagi Negara-negara dalam mengimplementasikan agenda habitat, terutama dalam menyediakan permukiman dan mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan diantaranya adalah penggunaan energi untuk konsumsi kegiatan di perkotaan, keterkaitan desakota dengan peran masing-masing yang harus didukung oleh insfrastruktur dan pelayanan publik yang baik, bencana dan dampak perubahan iklim, wabah penyakit, adaptasi dan urban resilience, peningkatan kapasitas pengelola kota, impulsion cooperation dengan seluruh stakeholder di perkotaan, menderivasikan agenda Habitat dalam agenda pembangunan nasional, dan komitmen terhadap implementasi agenda habitat. 1. Pengelolaan Urbanisasi yang Cepat Bintarto (1986) menyampaikan pandangan tentang urbanisasi, yakni proses pemusatan penduduk di daerah perkotaan dalam artian: (a) meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk kota, baik akibat kenaikan fertilitas penghuni kota maupun karena adanya tambahan penduduk dari desa yang bermukim dan berkembang di kota, (b) isik kota menjadi lebih padat dan makin luas sebagai akibat pertambahan penduduk, (c) berubahnya pola kehidupan desa atau suasana desa menjadi suasana kehidupan kota dan (d) bertambahnya jumlah kota dalam suatu negara atau wilayah sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk kota, perkembangan ekonomi, budaya dan teknologi. Menurut Koestoer (1997)1, pandangan di atas secara tidak langsung memberikan batasan wilayah desakota, tetapi cenderung 1. Koestoer, Raldi Hendro. (1997). Perspektif Lingkungan Desa-Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: UI-Press. memberi pengertian dasar secara lepas tentang desa dan kota. Desa disebutkan merupakan hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Perpaduan tersebut tertuang dalam kenampakannya di permukaan bumi, yang tidak lain berasal dari komponenkomponen isiograi, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi. Kecirian isik ditandai oleh permukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka, penggunaan tanah persawahan, khususnya untuk wilayah perdesaan di negara-negara berkembang di kawasan Asia. Kecirian lain berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa, yaitu penduduk dan tata kehidupannya. Ikatan tali kekeluargaan di desa sangat erat atau gemeinschaft dengan perilaku gotongroyong masyarakat menjadi dominan. Lebih lanjut menurut Koestoer (1997), untuk batasan di Indonesia umumnya, kota secara alamiah merupakan desa yang 5 berkembang. Tidak mustahil Jakarta di sekitar tahun 1960-1970- an sering dikenal sebagai the big village. Ini mungkin karena kondisi Jakarta saat itu menunjukkan lingkungan yang kumuh secara mayoritas. Kekumuhan Jakarta saat itu merupakan bentuk peralihan kota yang menuju ke arah modernisasi, di mana tingkat urbanisasi sangat tinggi, di lain pihak, kesiapan pemerintah daerah saat itu masih sangat terbatas dalam menghadapi arus migrasi desa kota yang besar. Secara jelas pengertian desakota termasuk di dalamnya tentang penjabaran suatu region sebagai wilayah peralihan, sebagai tempat bermukim masyarakat wilayah pinggir kota dan dengan demikian juga mencakup semua aspek interaksi, perilaku sosial dan struktur isik secara spasial. Di mana perkembangannya sangat bergantung kepada spatial system yang lebih tinggi, yaitu kota. Jadi, suatu wilayah desakota masih termasuk dalam kawasan sistem konurbasi suatu kota. Wilayah desakota dalam tinjauan para pakar membutuhkan penjelasan lebih mendasar, khususnya dalam batasan isik dan non isik keruangannya. Pakar di bidang keruangan dari berbagai visi disiplin ilmu telah berusaha untuk memberi batasan yang mendasar tentang desakota. Pakar di bidang soisologi-antropologi banyak menekankan perhatiannya pada aspek keruangan desakota dan mereka mengaitkan kehidupan wilayah desakota dengan perilaku tertentu, seperti transisi, anonimitas dan superisialitas. Penjabarannya lebih memfokus pada perbedaan karakteristik sosial dalam konteks wilayah. Riggs (dalam Nasution, 20092) mengemukakan beberapa ciri masyarakat 2. 3. 6 daerah transisi yang meliputi: (a) terjadinya tumpang tindih antara nilai-nilai tradisional dan proses modernisasi. Pada satu sisi nilainilai modern mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat perdesaan untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional, namun pada sisi lain nilai-nilai tradisional yang positif tetap dipertahankan, seperti solidaritas dan partisipasi masyarakat; (b) masyarakat menjadi heterogen, seperti: tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kepercayaannya; (c) terjadinya pembangunan perumahan baru di desa pinggiran yang tidak memerhatikan kondisi masyarakat sekitar, mengakibatkan bias terjadinya pertentangan antara nilai-nilai yang dibangun masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, dan kecemburuan sosial; (d) kawasan desa pinggiran kota, kawasan di mana semakin tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri, perdagangan, dan perumahan yang membawa dampak positif, yakni memberikan kesempatan kerja non pertanian bagi masyarakat di wilayah tersebut dan sisi negatifnya terjadi konlik antara masyarakat asli dan pendatang; (e) masyarakat desa mengalami peralihan dari mata pencaharian di bidang agraris (pertanian) menuju mata pencaharian non pertanian. Ciri lain relasi sosial masyarakat perkotaan, menurut Quinn (1967) dalam Chotib (2014)3 adalah tingkat segmentasi kelompok yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan setiap individu di daerah perkotaan memiliki tingkat heterogenitas yang cukup tinggi pula. Kelompok-kelompok yang berbeda satu sama lain menuntut anggotanya memiliki lebih banyak peran yang berbeda dalam setiap kelompok. Kebanyakan dari dari penduduk kota berpotensi besar menjadi Nasution, Zulkarnain. (2009). Solidaritas Sosial dan Partisipasi Masyarakat Desa Transisi: Suatu Tinjauan Sosiologis. Malang: UMM-Press. Chotib. (2014). Dampak Mobilitas Ulang Alik terhadap Kohesi Sosial Para Pekerja di Komunitas Perumahan Kota Depok. Disertasi Program Studi Sosiologi Program Pasca Sarjana FISIP UI. Depok. seorang individualis (extreme individualist), karena kebanyakan masyarakat perkotaan menikmati lebih banyak kemungkinan untuk berpartisipasi dalam berbagai hubungan kelompok, mereka akan memilih dari berbagai kemungkinan kontak spsesiik yang ada. Karenanya penghuni kota dapat memilih kelompok mana dia akan berinteraksi dan berpartisipasi, sehingga akan membangun kohesiitas kelompok tersebut. Secara phisiograi, Indonesia memiliki beberapa karakter kota, diantaranya kota pesisir, kota daratan dan kota pulau. Terdapat 281 kota/kabupaten yang terdapat di Pesisir, dari total 444 kota/kabupaten yang ada di Indonesia, atau sekitar 63,3%.4 Sementara itu, beberapa kota mengalami urbanisasi yang cukup tinggi, mulai dari tingkat megalopolitan sampai pada kota kecil, baik yang terdapat di pesisir, mainland maupun Kota Pulau, diantaranya adalah Jabodetabek, Makassar, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Batam, Solo, Cimahi, Cilegon, Gorontalo, Payakumbuh, Pekalongan, Solok, Sawahlunto, Sibolga, dsb. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menangani urbanisasi, diantaranya dengan menangani mobilitas penduduk dari perdesaan ke perkotaan yang marak dan sekaligus proses urbanisasi yang cepat di Indonesia, hal ini tercermin dalam dokumen Buku I RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014 (Bappenas, 2010) yang menyatakan bahwa keadilan dalam pembangunan, perlu ditunjukkan dengan pembangunan yang merata di semua bidang, baik pembangunan antara kotakota metropolitan, besar, menengah, dan kecil yang diseimbangkan pertumbuhannya, baik dengan mengacu pada sistem 4. pembangunan perkotaan nasional maupun pembangunan di berbagai bidang yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Keadilan dalam pemerataan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan isik kota yang tidak terkendali serta untuk mengendalikan arus migrasi langsung dari desa ke kotakotabesar dan metropolitan, dengan cara menciptakan kesempatan kerja dan peluang usaha di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, harus dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi sejak tahap awal. Dalam kaitan itu, percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah yang telah berjalan selama ini harus terus ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai penggerak pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya dan melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, dengan memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing. Di sisi lain, pembangunan perdesaan harus terus didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi kawasan yang berbasis pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna; pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil terdekat dalam upaya menciptakan keterkaitan isik, sosial, dan ekonomi yang saling melengkapi dan saling menguntungkan; peningkatan akses informasi dan pemasaran, Wibowo, A. Kerentanan Lingkungan Laut Tiap Provinsi Di Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm.145-162, Juni 2012. Bogor, FPIKIPB. 7 lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan teknologi; pengembangan social capital dan humancapital yang belum tergali potensinya sehingga kawasan perdesaan tidak sematamata mengandalkan sumber daya alam saja; serta intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak ke produk pertanian, terutama terhadap harga dan upah. Pada bagian lain dari Buku I RPJMN 2010-2014, dijelaskan bahwa dalam upaya mendukung percepatan pembangunan wilayah, kebijakan pembangunan wilayah juga diarahkan untuk: (1) pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh, (2) pengembangan daerah tertinggal, kawasan perbatasan, dan rawan bencana, (3) pengembangan kawasan perkotaan dan perdesaan, dan (4) penataan dan pengelolaan pertanahan. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan maka strategi yang diterapkan pada butir 4 dan 5 dokumen Buku I RPJMN 2010-2014 adalah sebagai berikut: (4). Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional. yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan isik kota yang tidak terkendali (urban sprawl & conurbation), seperti yang terjadi di wilayah pantura Pulau Jawa, serta untuk mengendalikan arus migrasi masuk langsung dari desa ke kota- kota besar dan metropolitan, dengan cara menciptakan kesempatan kerja, termasuk peluang usaha, di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa; dan (5). Mempercepat pembangunan kotakota kecil dan menengah terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Statistik Indonesia mencatat persentase penduduk urban terus meningkat seperti yang dapat dilihat pada tabel 1. Kondisi tersebut melampaui perkiraan UN, yang didasarkan pada asumsi bahwa tahun 1980 penduduk urban Indonesia 22%, akan mencapai 36% pada tahun 20005, padahal statistik Indonesia tahun 2010 telah mencatat penduduk urban mencapai 42,3%. Tampaknya memang terjadi akselarasi peningkatan jumlah penduduk urban sejak tahun 1980, diantaranya karena pada masa itu struktur ekonomi Indonesia bergeser dari negara pertanian menuju negara industri. Dengan demikian Indonesia di masa datang tidak hanya menghadapi tantangan bagaimana mengelola urbanisasi yang akan terjadi, tetapi juga bagaimana mengatasi akibat urbanisasi yang telah melonjak pada tahun 80an. Sebelum tahun 2000, Statistik Indonesia menjelaskan bahwa suatu wilayah Tahun Jumlah Penduduk Indonesia persentase Penduduk Kota Jumlah Penduduk Kota 1971 119.208.229 14,8 17.642.817 1980 147.490.298 17,4 25.663.311 1990 179.378.946 30,9 55.428.094 2000 206.264.595 42,3 87.249.923 2010 237.641.326 49,8 118.345.380 Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Jumlah Penduduk Urban Indonesia 5. 8 UN (1985), Estimate and Projection of Urban, Rural and City Population 1950-2025: The 1982 Assessment, Department of International Economic and Social Afair, New York. administratif setingkat desa/kelurahan mempunyai kepadatan penduduk lebih dari 5000 orang/km2, persentase rumah tangga pertanian kurang dari 25%, dan mempunyai sekurang-kurangnya 8 fasilitas perkotaan. Namun, kriteria ini kemudian diubah, tidak lagi dengan angka baku tetapi penentuan ciri urban itu dilakukan dengan kisaran dan sistem skor (score).6 Pola angka urbanisasi di Indonesia memperlihatkan bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki angka urbanisasi terbesar (100 persen), dan angka terbesar kedua di Jawa adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 66,4 persen pada tahun 2010, setelah sebelumnya 57,64 persen pada tahun 2000. Kemudian diikuti oleh Provinsi Jawa Barat, dengan angka urbanisasi sebesar 65,7 persen pada tahun 2010 dan sebelumnya 50,31 persen pada tahun 2000. 6. Hal ini menunjukkan pertambahan angka urbanisasi di Jawa Barat lebih pesat daripada di DI Yogyakarta. Sementara itu Provinsi Jawa Timur juga memperlihatkan angka urbanisasi yang cukup tinggi, yaitu 40,9 persen pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 47,6 persen pada tahun 2010. Hal yang sama juga terjadi pada Provinsi Jawa Tengah yang memiliki angka urbanisasi 40,19 persen pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 45,7 persen pada tahun 2010. Beberapa provinsi di luar Jawa terlihat cukup tinggi sejak tahun 2000 seperti Sumatera Utara dengan angka urbanisasi 42,64 persen; kemudian meningkat menjadi 49,2 persen pada tahun 2010. Hal yang sama juga terjadi di Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Khusus provinsi Kepulauan Riau, angka urbanisasi di provinsi ini jauh melebihi angka urbanisasi nasional, yaitu sebesar 82,8 persen. Sementara itu Provinsi Riau sebagai provinsi induk Kepualuan Riau sebelum pemekaran mengalami penurunan Menurut sistem ini sebuah desa dapat dikategorikan sebagai perkotaan jika dapat memperoleh sekor paling sedikit 10, dari pensekoran atas : kepadatan penduduk dengan sekor antara 1 s/d 8 untuk kepadatan berkisar kurang dari 500/km2 - 8500/km2 , sekor 1 s/d 8 untuk persentase rumah tangga pertanian dari 70% sampai 5%; dan masing-masing sekor 1 untuk akses pada fasilitas urban berupa: sekolah taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA masing-masing berjarak sekurang-krangnya dari 2,5 km dari desa, pertokoan dan atau pasar yang berjarak kurang dari 2 km dari desa, bioskop dan rumah sakit sekurang-kurangnya 5 km dari desa, tersedia hotel/diskotik /bilyard/panti pijat/salon; jumlah rumah tangga pengguna telpon sekurang-kurangnya 8% dan 90% rumah tangga dilayani aliran listrik. 9 angka urbanisasi dari 43,30 persen pada tahun 2000 menjadi 39,2 persen pada tahun 2010. Dari perbandingan antara kedua provinsi yang disebutkan terakhir ini tampak bahwa menurunnya angka urbanisasi di Riau terjadi karena sebagian besar wilayah perkotaan di provinsi ini merupakan wilayah Kepulauan Riau yang kini telah menjadi provinsi sendiri. Sementara itu beberapa provinsi di wilayah timur Indonesia juga terlihat telah cukup tinggi seperti di Bali dari 49,74 persen pada tahun 2000 menjadi 60,2 persen pada tahun 2010. Demikian juga dengan Kalimantan Timur, dari 57,75 persen pada tahun 2000 menjadi 63,2 persen pada tahun 2010. Kedua provinsi telah memiliki angka urbaniasi di atas nasional sejak tahun 2000. Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara tengah mengalami perkembangan menuju wilayah perkotaan yang lebih luas. Secara umum pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk nasional, meski demikian alur tren peningkatan pertumbuhan penduduk nasional dan petumbuhan penduduk perkotaan memiliki kesamaan pada pada periode tahun 1970-1980 dan 1980-1990, sedangkan pada periode 1990-2000 pertumbuhan penduduk perkotaan trennya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan nasional, dan tren tersebut kembali sama menurun pada periode 2000-2010. Sedangkan tren pertumbuhan penduduk perkotaan pada tahun 2025 diperkirakan 68% penduduk akan menetap di wilayah perkotaan, dan tahun 2045 diperkirakan 82% pendidik Indonesia akan tinggal di Kawasan Perkotaan (KSPPN, 2014). Graik 1. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan, Nasional dan Perdesaan Keterangan: Angka pertumbuhan dihitung dengan metode eksponensial Sumber : BPS (berbagai tahun) 10 Dengan demikian peningkatan penduduk urban setelah tahun 2000, dipengaruhi oleh perbedaan variabel penentuan wilayah urban tersebut. Namun, angka statistik belum dapat menggambarkan perubahan sosial budaya sebagai akibat terjadinya proses pemadatan dan perubahan sumber penghidupan ke non pertanian. Dengan demikian meskipun suatu desa mendapatkan skor sebagai urban, tetapi kehidupan sosialnya bisa jadi masih perdesaan. Distribusi spasial penduduk yang menetap di perkotaan pada periode tahun 1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010 dapat dilihat pada peta di bawah ini, yang secara umum menunjukan pertumbuhan yang tinggi di bagian Barat Indonesia, meskipun pada 2000 sudah mulai menunjukan pertumbuhan yang pesat ke beberapa wilayah bagian Timur Indonesia. Gambar 1. Persentase Penduduk yang Tinggal di Perkotaan Menurut Provinsi di Indonesia 2010 11 Berdasarkan gambaran yang telah disampaikan di atas terkait urbanisasi. Pemerintah Indonesia mengelola kondisi urbanisasi tersebut dengan beberapa pendekatan, yaitu : (a) pengelolaan kependudukan, (b) perbaikan dan perluasan wilayah urban; (c) pengelolaan migrasi dan mobilitas penduduk. (a) Pengelolaan urbanisasi dalam arti pengelolaan kependudukan 12 daerah, terdapat arah dan tujuan yang jelas dalam penurunan angka kelahiran menjadi setengahnya pada tahun 2000 (dipercepat menjadi tahun 1990) dari keadaan tahun 1971. Program KB Nasional dilaksanakan dengan komitmen politik yang tinggi dari pemerintah pusat, diantaranya Presiden bertanggung jawab penuh dan melibatkan diri dalam hampir semua kegiatan penting berkaitan dengan promosi dan peningkatan jumlah akseptor. Kebijakan yang dicanangkan dari pemerintah pusat diterjemahkan ke bawah dengan memanfaatkan struktur pemerintahan sentralistik yang kuat dari pusat sampai ke lini lapangan terbawah. Pengelolaan kependudukan dilakukan sebagai upaya mengelola pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, yaitu dengan menurunkan angka kelahiran dan angka kematian, sekaligus peningkatan kesehatan reproduksi. Upaya ini telah dimulai sejak tahun 1957 yang pada awalnya diprakarsai oleh ikatan dokter Indonesia, yang dikenal sebagai Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Sejak tahun 1969 prakarsa tersebut diformalkan menjadi program pemerintah dan kemudian dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diperluas tugasnya dengan mengaitkan perencanaan keluarga dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Tahun 1993 dibentuk Kementerian Negara Kependudukan dan Keluarga Berencana. Program ini telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 2,31% pada tahun 19701980, menjadi 1,98% pada 1980-1990 dan menjadi 1,49% pada tahun 19902000. Pada periode tahun 2000-2010 pertumbuhan itu tetap 1,49% . Namun, pada era desentralisasi saat ini, implementasi program tergantung kepada komitmen kepala daerah, dengan demikian ketersediaan alat dan obatobatan kontrasepsi sangat bergantung pada kemampuan pengadaan dan pengelolaan dari pemerintah daerah. Meski demikian, pelajaran yang baik dari masa lalu hendaknya diteruskan dengan penyesuaian terhadap kondisi masyarakat masa kini, dalam era perubahan, reformasi birokrasi dan meningkatnya kesadaran tentang hakhak azasi manusia pada era demokrasi saat ini, terutama ketika bonus demograi telah mulai dirasakan saat ini. Pemerintah Daerah memiliki tantangan untuk mampu memahami kondisi dan potensi kependudukan wilayahnya dan mengelolanya dengan beriorientasi mencapai window opportunity. Terjadinya stagnasi angka pertumbuhan pada dua dasawarsa terakhir diakibatkan oleh adanya nuansa demokratisasi di kalangan masyarakat Indonesia dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan. Sebelum era otonomi Bagaimanapun negara Indonesia telah memastikan upaya pengendalian kependudukan ini berkelanjutan dengan ditetapkannya UU No 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. UU ini kemudian diganti dengan UU No.52/2009 yang selain karena perkembangan desentralisasi dalam penyelanggaraan pemerintahan antara lain juga ditambahkan amanat agar mobilitas penduduk diarahkan dan mengaitkannya dengan daya dukung lingkungan. Untuk itu pengelolaan kependudukan ini telah diperkuat dengan UU N0.24/2013 tentang Administrasi Kependudukan dan modernisai registrasi penduduk dengan E-KTP diseluruh Indonesia. (b) Pengelolaan urbanisasi dalam arti perbaikan dan pengembangan wilayah urban. Perbaikan wilayah urban adalah untuk mengatasi akibat urbanisasi yang telah terjadi, terutama yang menyebabkan tumbuhnya permukiman kumuh. Pengembangan wilayah urban dapat berupa perluasan atau penambahan wilayah dan atau peningkatan daya tampung wilayah urban yang ada. Apa yang telah dilakukan tentang hal ini secara lebih detail dibahas dalam Subtema : Perumahan dan Layanan Dasar Perkotaan, dan Lingkungan Perkotaan. (c) Pengelolaan urbanisasi dalam arti pengendalian migrasi dan mobilitas. Pengelolaan urbanisasi tidak ditujukan untuk mencegah terjadinya urbanisasi yang memang telah menjadi keniscayaan, tetapi untuk mengupayakan agar urbanisasi membuahkan hasil yang positif dan konstruktif dan tidak berdampak negatif dan destruktif. Oleh karena itu migrasi dan mobilitas penduduk tidak dicegah, tetapi diupayakan lebih selektif dan terarah seperti yang diamanatkan UU kependudukan. Pada sektor formal, seleksi ini telah terjadi dengan sendirinya oleh lapangan kerja, tetapi pada sektor informal masih menjadi beban bagi wilayah urban yang dituju. Di Indonesia belum ada instrumen yang efektif untuk mengelola migrasi ini, walaupun telah ada UU yang mengamanatkan upaya ini. Program transmigrasi sejak reformasi tidak lagi menonjol seperti pada tahun 80an. Salah satu upaya pengendalian migrasi dari perdesaan ke perkotaan adalah dengan dilakukannya upaya “Rekayasa Urbanisasi di Perdesaan”, yang dicanangkan oleh Kementrian Negara Kependudukan/Kepala BKKBN pada era 1990-an. Secara internasional, istilah rekayasa ini belum lazim namun perlu diperkenalkan kembali dalam literature demograi – yang dapat diartikan sebagai “upayaupaya untuk mempercepat terjadinya proses urbanisasi pada daerah- daerah perdesaan”. Upaya ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kota-kota kecil baru sebagai daerah penyangga yang akan dapat “mengerem” arus migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Pertumbuhan kota-kota kecil seperti ini akan meningkatkan terjadinya pola-pola mobilitas ulangalik (commuting) antar kota. Namun perlu didukung akses transportasi yang link and match karena topograi wilayah kepulauan tentu saja membutuhkan ragam moda untuk meningkatkan arus ulang-alik dan mengurangi mobilitas (migrasi) permanen. 13 Graik 2. Proyeksi Persentase Penduduk Perkotaan-Perdesaan Tahun 2045 Pengelolaan urbanisasi perlu memperhatikan proyeksi ke depan. Berdasarkan proyeksi Bappenas, BPS, UNPF disebutkan bahwa, pada tahun 2025 komposisi struktur umur penduduk Indonesia adalah : penduduk umur 0-14 tahun mencapai 23,3%, penduduk umur 1564 tahun mencapai 68,7%, dan penduduk umur > 65 tahun mencapai 8,1%. Komposisi ini menggambarkan kebutuhan penyediaan permukiman dan sarana prasarana dasar perkotaan, lapangan kerja, dan sarana transportasi. Celah lain yang dapat dimasuki para pencari kerja secara terbuka, tanpa keahlian dan regulasi yang mengikat adalah sector informal. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa sektor ini mampu menjadi katup penolong bagi 70% tenaga kerja di Negara Berkembang. Di Indonesia, sektor informal umumnya bergerak dalam usaha perdagangan seperti : pedagang asongan, warung kopi, warung nasi, penjual bakso, jasa pengangkutan seperti : tukang ojek dan tukang becak, PKL dengan berbagai jenis mata dagangnya. Berbagai laporan penelitian terkait memperlihatkan bahwa penduduk yang masuk ke wilayah perkotaan merupakan tenaga kerja muda berusia produktif. Sementara itu, perkembangan pembangunan suatu daerah tergantung kepada kualitas sumberdaya manusia migran yang datang ke daerah tersebut. Menurut Adioetomo (2005), peningkatan jumlah penduduk usia kerja yang amat pesat harusnya dihadapi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai. Jika pasar kerja tidak siap menampung mereka, maka terjadilah peningkatan pengangguran secara terus menerus, terutama di daerah perkotaan. Selain menyerap jumlah tenaga kerja yang tinggi, sektor ini juga berperan sebagai sektor penyangga (bufer) yang sangat lentur, juga memiliki kaitan erat dengan jalur distribusi barang dan jasa di tingkat bawah, dan bahkan menjadi ujung tombak pemasaran yang potensial.7 7. 8. 14 Berdasarkan hasil penelitian di 8 (delapan) kota dunia ketiga, Sethuraman menemukan bahwa, mereka yang terlibat dalam sektor informal ini kebanyakan berada pada usia kerja utama (prime age), berpendidikan rendah.8 Sektor ini berkontribusi sebagai the origin self-employment yang merangsang Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed), 2005, Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Prenada Media. Rolis, Ilyas. 2013. Sektor Infromal Perkotaan dan Ikhtiar Pemberdayaannya. Jurnasl Sosiologi Islam Vol 3 No. 2 Oktober 2013. ISSN : 2089-0192 tumbuhnya kewirausahaan mayarakat lokal, menggerakan pertumbuhan ekonomi perkotaan, menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, meyerap ruralurban yang tidak terserap sektor formal, memiliki pendapatan rendah dibawah upah minimum, modal usaha rendah, menampung perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian serta memiliki kemungkinan untuk mobilitas vertikal dan sebagai alternatif pertama untuk mencari penghasilan secara mandiri. Selain itu, sektor ini juga memiliki kontribusi dalam memecahkan masalah sosial dan memperkokoh sendi-sendi kehidupan masyarakat yang penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara.9 Sementara itu, menurut data BPS, sektor informal menyerap 70% angkatan kerja, sementara sektor formal hanya 30%. Namun, di Indonesia umumnya keberadaan sektor informal identik dengan aneksasi terhadap ruang publik, yang mengganggu ketertiban, keindahan dan kebersihan kota.10 9. Alisjahbana. Sumbanagan Ekonomi Sektor Informal. (http://digilib.unipasby.ac.id/download.php?id=164, diakses pada tanggal 26 Agustus 2014 Pukul 12.12 am) 10. Bahri, Syamsul (2012). Pembangunan Perkotaan dan Pedagang Kaki Lima (PKL) Suatu Kajian Intervensi 15 Pemanfaatan Jendela Kesempatan dalam Pembangunan Perkotaan Indonesia akan menghadapi era dimana rasio jumlah penduduk usia produktif (1564 tahun) melebihi jumlah penduduk usia non produktif (0-14 dan 65 tahun ke atas). Masa dimana penduduk usia produktif jauh melebihi penduduk usia non produktif ini akan berpengaruh terhadap rasio ketergantungan - yang menggambarkan beban “ekonomi” yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif terhadap penduduk usia non produktif mencapai titik terrendah. Era ini dikenal sebagai Bonus Demograi yang diperkirakan akan berlangsung antara 2015-2040. Menurut Adioetomo (2005), bonus demograi hanya akan terjadi satu kali saja bagi semua penduduk suatu negara yaitu yang disebut sebagai window of opportunity. Kesempatan yang diberikan oleh bonus demograi ini berupa tersedianya kondisi atau ukuran yang sangat ideal pada perbandingan jumlah penduduk yang produktif dengan penduduk yang tidak produktif. Pada saat itu rasio ketergantungan berada dibawah 50 %. Artinya perbandingan antara penduduk produktif (usia kerja) dengan penduduk non usia kerja sekitar 2 kalinya. Bonus demograi biasanya hanya terjadi satu atau dua dekade saja, karena dengan berjalannya waktu penduduk lansia akan terus bertambah, sehingga rasio ketergantungan akan meningkat kembali. Konsekuensi dari transisi demograi tersebut - dimana jumlah penduduk produktif Graik 3. Pola Rasio Ketergantungan Muda (0-14) dan Tua (65+) dan Jendela Kesempatan Sumber: Adioetomo, 2005 16 meningkat lebih banyak dibandingkan penduduk yang tidak produktif - memberikan implikasi pada keuntungan ekonomi. Karena ketika beban ketergantungan sangat rendah, terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang apabila semuanya terserap dalam kesempatan kerja yang tersedia, maka akan meningkatkan total output yang diperoleh. Dengan semua penduduk usia kerja, maka akan terjadi akumulasi yang lebih besar, karena semua tenaga kerja yang bekerja mampu memperbesar tabungan mereka. Tabungan ini akan lebih bermakna jika diinvestasikan untuk kegiatan yang produktif. Selain itu tenaga kerja yang besar ini dapat ditingkatkan kualitasnya melalui kebijakan investasi yang khusus. Manfaat lain dari pemanfaatan jendela kesempatan adalah kesempatan perempuan untuk memiliki peningkatan pendapatan11. Indikator Bonus Demografi 1950 1961 1971 1980 1990 2000 2010 Jumlah Penduduk (juta) 79,54 97,02 119,21 147,49 179,38 206,30 237,64 Proporsi Penduduk 0-14 (%) 39.1 42.3 43.7 40.7 36.6 30.6 28.9 Proporsi Penduduk 15-64 (%) 56.9 55.0 53.1 55.6 59.5 64.5 66.1 Proporsi Penduduk 65+ (%) 4.0 2.7 2.5 3.2 3.8 4.6 5.0 Rasio Ketergantungan (per 100) 75,8 81,8 86,8 79,1 67,8 54,7 51,31 Proyeksi Indikator Bonus Demografi 2015 2020 2025 2030 2035 255,46 271,07 Jumlah Penduduk 0-14 (juta) 27,3 26,1 24,6 22,9 21,5 Jumlah Penduduk 15-64 (juta) 67,3 67,7 67,9 68,1 67,9 Proporsi Penduduk 65+ (%) 5,4 6,2 7,5 9,0 10,6 Rasio Ketergantungan (per 100) 48,6 47,7 47,2 46,9 47,3 Jumlah Penduduk (juta) 284,83 296,40 305,65 Tabel 2. Indikator Bonus Demograi Indonesia, Tahun 1950-2035 Sumber: Diolah dari BPS berbagai Tahun; Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 (Bappenas, BPS, UNFPA, 2013). 11. Paparan Optimalisasi Pemanfaatan Bonus Demograi oleh Kepala BKKBN, Prof. dr. Jalal, PhD, SpGK, 13 Mei 2014 17 Data demograi Indonesia memperlihatkan adanya pergeseran proporsi penduduk usia non produktif, yaitu menurunnya proporsi usia non produktif muda (0-14) dan meningkatnya proporsi penduduk usia non produktif tua (65 tahun ke atas). Perubahan ini terus terjadi sepanjang periode proyeksi. Angka ketergantungan yang semula dibebani oleh terutama penduduk muda, mengalami penurunan hingga tahun 2010 dan berlanjut ke tahuntahun proyeksi. Namun kelanjutan angka ketergantungan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan proporsi penduduk usia tua. Bonus Demograi Indonesia memberikan peluang terbukanya Jendela Kesempatan yang sangat singkat, rata-rata hanya dua decade saja. Ini terjadi apabila rasio penduduk non produktif dengan penduduk lansia 18 adalah yang terrendah (low dependency ratio). Setelah selesainya era ini, maka kemudian sumbangan proporsi penduduk tua akan meningkat lagi, dan rasio antara penduduk non produktif dengan penduduk usia kerja kembali tinggi, bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Oleh karenanya, respon kebijakan dari pemerintah harus menyiapkan pemanfaatan jendela kesempatan ini. Menurut Adioetomo, pada satu kesempatan Focus Group Discussion di Jakarta bulan Juli 2014, Indonesia pada saat ini sesungguhnya telah menikmati hasil dari bonus demograi tersebut. Seperti terlihat pada tabel di atas, rasio ketergantungan Indonesia telah mencapai 51 %, dimana proporsi usia produktif telah mencapai 66 %, sedangkan pada sisi lain proporsi usia muda telah menurun menjadi 28 %. Proporsi penduduk usia produktif yang maksimal ini sudah seharusnya dimanfaatkan sebaik mungkin apalagi jika kualitas sumberdaya manusia mereka sangat memadai. Perubahan struktur umur penduduk akibat transisi demograi jangka panjang ini berdampak pada peningkatan jumlah tenaga kerja, yang apabila mendapatkan kesempatan kerja yang produktif, akan meningkatkan total output. Tersedianya human capital yang jumlahnya lebih besar ini (daripada tahun-tahun sebelumnya) harus diarahkan melalui kebijakan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui investasi pembangunan mutu modal manusia yang menjadi prioritas utama. Pemanfaatan Jendela Kesempatan dalam pembangunan jangka menengah dan jangka panjang ke depan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Program Keluarga Berencana harus terus berlanjut melalui perluasan jangkauan dan peningkatan kualitas pelayanan. 2. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi masyarakat, kesehatan reproduksi. 5. Dalam aspek ketenagakerjaan, upaya penurunan angka pengangguran harus tercapai paling tinggi 5 %. 6. Makin meningkatnya pendidikan penduduk perempuan, perlu diperluas kesempatan kerja yang merata khususnya kepada penduduk perempuan, sehingga terjadi peningkatan partisipasi angkatan kerja di kalangan perempuan. Program-program yang disebutkan di atas merupakan hanya beberapa contoh kebijakan di bidang kependudukan dalam kaitannya dengan pemanfaatan Jendela Kesempatan yang sebentar lagi akan dihadapi oleh Indonesia. Setiap wilayah di Indonesia memiliki variasi waktu untuk menghadapi era Bonus Demograi tersebut, di samping memiliki kekhasan dan ciri sosial masyarakat setempat. Karena itu berbagai kebijakan kependudukan yang dirumuskan hendaknya disesuaikan dengan ciri dan keunikan wilayah masing-masing guna peningkatan daya saing penduduk di masa depan. 3. Guna meningkatkan daya saing global, investasi di sektor pendidikan perlu terus ditingkatkan. Pendidikan usia dini, pendidikan dasar sembilan tahun diperluas jangkauan pelayanannya melalaui kebijakan wajib belajar dan pendidikan gratis. Akses jangkau diperluas hingga daerah-daerah terpencil dan akses yang merata kepada penduduk perempuan. Untuk itu, pengarahan dan pengontrolan momen dividen demograi melalui kebijakan dan program menjadi peluang emas dalam proses pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, akan menjadi kekhawatiran dan bencana besar jika momen dividen demograi ini tidak diarahkan dan dikontrol dengan baik. 4. Masih rendahnya pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas dapat diantisipasi melalui pendidikan vokasi dan kecakapan hidup (life skill). Jika perlu dicanangkannya program pendidikan seumur hidup, meski melalui jalur pendidikan luar sekolah sekalipun. Hingga saat ini telah ada beberapa negara yang berhasil memanfaatkan kondisi fenomena dividen demograi ini, diantaranya Korea Selatan dan Latin Amerika. Berdasarkan beberapa negara yang dikategorikan berhasil dalam memanfaatkan dividen demograi, dapat dilihat adanya perhatian khusus pada beberapa bidang. 19 Gambar 2. Kebijakan Global untuk Mencapai Keberhasilan Bonus Demograi (Dividen Demograi)12 Salah satu negara yang berhasil memanfaatkan dividen demograi (bonus demograi) adalah Korea Selatan. Korea Selatan memiliki beberapa tahap yang dilakukan sebagai bagian dari proses pencapaian dividen demograi; 1. Perubahan Struktur Populasi. Perubahan strukstur populasi di Korea Selatan ini dilakukan dengan penerapan kebijakan terkait populasi dalam bentuk perencanaan keluarga. Hal ini berhasil dilakukan melalui penyuluhan ke setiap rumah di seluruh Korea Selatan. Keberhasilan ini dibuktikan dengan menurunnya nilai TFR (Total Fertility Rate). Pada tahun 1950, nilai TFR di Korea Selatan adalah 5.4 anak per perempuan, kemudian pada tahun 1975 bernilai 2.9 dan kemali menurun pada tahun 2005 dengan nilai TFR hanya berkisar 1.2. 3 2. Penerapan program kesehatan untuk meningkatkan angka harapan hidup. Program kesehatan yang diterapkan di Korea Selatan adalah diberlakukannya asuransi kesehatan yang disubsidi pemerintah dan bersifat gratis. Ini diterapkan sejak tahun 1960an, saat itu angka harapan hidup hanya mencapai 53 tahun. Setelah diberlakukannya asuransi kesehatan bagi warga Korea Selatan, secara drastis angka harapan hidup meningkat menjadi 83 tahun.3 3. Kebijakan di bidang pendidikan. Pada awalnya, sekitar tahun 1960, sistem pendidikan di Korea Selatan berorientasi pada pendidikan dasar wajib, namun kemudian disesuaikan menjadi “pendidikan yang berorientasi pada produksi”. Pendidikan yang berorientasi pada produksi dimaksudkan sebagai pendidikan yang menekankan pada pengetahuan dan keterampilan (vokasional) yang dibutuhkan sebagai modal pembangunan ekonomi negara. Kebijakan ini mampu meningkatkan jumlah angka peserta didik yang tadinya hanya 54% dari jumlah anak usia sekolah (1960) menjadi 97% pada tahun 1990.3 12. Sumber: James N. Gribble dan Jason Bremner: Achieving A Demographic Dividend. Population Bulletin, PRB (Pupulation Reference Bureau Desember 2012 20 21 22 2. Pengelolaan Hubungan antara Daerah Perkotaan dan Perdesaan Zelinsky pada tahun 1971 yang mencoba melihat kaitan tahapan pembangunan ekonomi dengan besaran dan tipe mobilitas penduduk. Ia membuat lima tahap transisi mobilitas: masyarakat tradisional pra modern (premodern traditional society), masyarakat transisi awal (early transitional society), masyarakat transisi akhir (late transitional society), masyarakat maju (advance socety), dan masyarakat supermaju masa depan (future superadvanced society). Pada tahap pertama, mobilitas penduduk sangat kecil karena berbagai keterbatasan alat transportasi dan pembatasanpembatasan sosial (misalnya peraturanperaturan suku). Tahap kedua, penduduk mulai berpindah, baik dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan maupun dari daerah yang relatif ’maju’ ke daerah-daerah frontier/baru sebagai pionir (misalnya pionirpionir yang membuka wilayah-wilayah pedalaman di benua Amerika sekitar abad 17-18). Tahap ketiga ditandai dengan mulai terbatasnya – walau tetap dalam jumlah besar – perpindahan dari perdesaan ke perkotaan, serta berkurangnya pembukaan daerah-daerah frontier (karena mulai habis). Tahap keempat ditandai dengan mulai membesarnya mobilitas antarkota dan ulang-alik (commuting). Tahap terakhir, kelima, mobilitas isik penduduk mungkin akan mulai berkurang akibat sistem komunikasi dan pengiriman barang yang sudah sangat baik. 23 Pemikiran ini kemudian disempurnakan oleh Skeldon (1990) dengan menganalisis pola mobilitas penduduk di negara-negara berkembang yang kemudian dikembangkan menjadi tujuh tahapan transisi mobilitas. Transisi mobilitas yang dikembangkan oleh Skeldon (1990) ini adalah (1) masyarakat pratransisi (pre-transitional society), (2) masyarakat transisi awal (early transitional society), (3) masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society), (4) masyarakat transisi akhir (late transitional society), (5) masyarakat mulai maju, (6) masyarakat maju lanjut, dan (7) masyarakat super maju. Jika dikaitkan dengan kondisi Indoenesia saat ini, maka tidak dapat dipastikan sudah berada pada tahap yang mana dalam tahapan transisi mobilitas, baik menurut Zelinsky (1971) maupun Skeldon (1990). Namun beberapa ciri masyarakat Indonesia mulai dari ciri pada tahap ke empat hingga tahap ke tujuh tampaknya menunjukkan kemiripan. Tahap keenam maupun ketujuh tampaknya mewarnai masyarakat perkotaan di Indonesia, yaitu terjadinya suburbanisasi penduduk yang menyebar ke pinggiran kota-kota besar. Sedangkan maraknya penggunaan ponsel dengan teknologi SMS maupun internet merupakan gejala yang umum di Indonesia yang menunjukkan tahap ke tujuh. Dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan daerah dan pembangunan perdesaan yang dilengkapi dengan program penanggulangan kemiskinan, Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN pada era Orde Baru telah mencanangkan suatu kebijakan yang dikenal sebagai Gerakan Pembangunan Keluarga Modern dengan Suasana Kota di Desa (Bangga Suka Desa). Program tersebut diarahkan untuk mewujudkan kota-kota penyangga yang mandiri sebagai bufer-zone bagi perkotaan yang telah ada. Bahkan diupayakan agar dapat meningkatkan mobilitas barang dan jasa serta dana dan tenaga kerja untuk dapat mengalir ke daerah perdesaan di sekitar kota- kota besar dan menengah, sehingga diharapkan akan dapat secara cepat memberikan hasil terbentuknya penduduk berciri perkotaan pada daerahdaerah perdesaan13. Tentu saja hubungan perdesaan dan perkotaan bukan hanya masalah demograis , bukan hanya soal bagaimana mengendalikan migrasi penduduk pedesaan ke perkotaan. Kesenjangan sosial dan ekonomi antara pedesaan dan perkotaan adalah masalah simptomatik yang dapat didata dan diamati. Telah menjadi suatu keniscayaan bahwa jumlah penduduk urban meningkat dan penduduk pedesaan (rural) menurun. Diproyeksikan bahwa penduduk pedesaan hanya tinggal sekitar 30%, tetapi nilai absolutnya masih akan besar, masih akan lebih dari 100 juta jiwa dan sebagai besar di luar Jawa masih akan bertahan sebagai desa adat. Selain itu angka statistik juga menunjukkan bahwa segala indikator kesejahteraan sosial seperti: jumlah penduduk miskin, PDB perkapita, IPM, Indeks Kesehatan, angka kematian balita menunjukan bahwa kesejahteraan rakyat di wilayah perkotaan lebih baik dari pedesaan. Meskipun produk desa adat ada yang mempunyai nilai tinggi di mata masyarakat urban, tetapi pertambahan nilai lebih banyak dinikmati masyarakat urban yang menjadi perantaranya. Pemerintah juga tidak kurang menyalurkan subsidi ke perdesaan seperti: subsidi benih , pupuk dan pestisida, bahan bakar, maupun bantuan langsung tunai, 13. Aris Ananta dan Chotib. (1996). Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demograi FEUI dan Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. 24 tetapi kesenjangan kesejahteraan penduduk perkotaan dan perdesaan masih lebar. Mungkin karena subsidi besar lain berupa bahan bakar minyak dan listrik lebih banyak dinikmati oleh penduduk urban. Dengan demikian pengelolaan hubungan urban dan pedesaan pada dasarnya adalah mengelola ketimpangan urban-rural. Hal ini dicoba diatasi dengan desentralisasi dan penguatan penyelenggaraan pemerintahan desa. Untuk itu UU No 5 /1979 tentang Desa diganti dengan UU No.6/2014 . Undangundang ini tidak lain adalah bagian dari komitmen untuk melaksanakan reformasi penyelenggaraan negara. Intinya UU ini menegaskan dan mengatur : Pertama penghargaan terhadap pluralitas desa di Indonesia. Dalam UU ini diakui keragaman bentuk desa dan keberadaan desa adat. Kedua kejelasan kedudukan dan kewenangan Desa sebagai bagian NKRI. Desa tidak serta merta dideinisikan sebagai bagian integral pemerintahan kabupaten, tetapi diakui memiliki sistem pengelolaan kekuasaan dan sumberdaya yang mandiri. Ketiga menjamin adanya subsidi sebagai tanggung jawab konstitusionil negara terhadap rakyat desa untuk dapat keluar dari proses marginalisasi pedesaan. Pemerintah Kabupaten adalah satuan pemerintahan yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh untuk membina kapasitas pemerintahan desa agar dapat mengimbangi invasi dan penetrasi sektor urban. Dengan demikian pemeritah Kabupaten-lah yang mendatang harus lebih berperanan dalam pengelolaan hubungan ekonomi urban rural dan kondisi sosio kultural yang telah menyalurkan hasil keberhasilan para migran ke pedesaan asalnya. Kesediaan para migran untuk 25 mengeksploitasi diri agar dapat menabung untuk ditransfer atau dibawa ke pedesaan melalui acara antara lain “mudik” adalah contoh kondisi sosio kultural yang mewarnai hubungan perkotaan dan perdesaan. Pertimbangan mendasar dalam mendorongpembangunankearahketerkaitan dan integrasi desa kota adalah prinsip pembagian peran dalam pembangunan wilayah perkotaan berkelanjutan. Pada satu sisi, kawasan perdesaan akan sukar mengembangkan kegiatan ekonominya tanpa mempertimbangkan kota sebagai pusat pengolahan produksi dan pemasaran hasil pertanian ke pasar yang lebih luas, maupun pelayanan bagi input kegiatan sektor pertanian. Pada sisi lain pembangunan perkotaan tidak dapat hanya dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan alam di perdesaan, namun juga mengembangkan industry, jasa dan perdagangan di wilayah perkotaan. Pembangunan perdesaan yang terintegrasi dengan perkotaan dengan mempertimbangkan peningkatan kerjasama dan peran antar wilayah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan mencapai lingkungan yang berkelanjutan merupakan prasyarat bagi keberlangsungan keterkaitan desa-kota. 26 Penelitian yang dilakukan oleh McGee (1991) dalam Sugiana (2005) pada wilayah metropolis Jabodetabek dan Asia menggambarkan mega urban sebagai wilayah perkotaan yang mencakup berbagai ukuran kota dan wilayah di belakangnya dan membentuk kesatuan yang kompak. Mega urban dapat merupakan satu kota utama dengan kota-kota kecil di sekitarnya, tetapi dapat pula terdiri atas kota metropolitan, beberapa kota besar, sedang dan kecil. Kota-kota tersebut dihubungkan oleh jaringan-jaringan transportasi yang mendukung kegiatan di dalamnya. Mega urban di wilayah Jabodetabek dan Asia merupakan model sosio-ekonomi ruang wilayah yang terdiri atas: (1) wilayah peri-urban, merupakan wilayah di sekitar kota-kota besar yang dapat dicapai dengan komuter secara harian ke kota inti. Pada wilayah ini terjadi penurunan kegiatan ekonomi perdesaan, pertanian dan peralihan pemanfaatan lahan pertanian ke perkotaan; (2) wilayah desa-kota, dimana kegiatan pertanian dan non pertanian bercampur secara intensif. Wilayah ini terbentang sepanjang koridor antara kota-kota besar, wilayah padat penduduk, dan peningkatan keterkaitan transportasi dengan kota-kota besar dan peningkatan infrastruktur; (3) wilayah perdesaan di sekitar kota-kota pada hirarki sekunder dan tersier dengan kepadatan tinggi namun perkembangan ekonomi lamban; dan wilayah frontier dengan penduduk terpencar dan kepadatan rendah; ditemukan berbagai upaya bentuk kegiatan untuk pengembangan pertanian. Mega Urban Region di Indonesia Indonesia memiliki 1 (satu) wilayah Mega Urban yaitu Jabodetabek, wilayah ini merupakan kesatuan wilayah yang mengalami proses urbanisasi yang cepat. Sesuai dengan Peraturan Presiden No.54 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jabodetabek, wilayah ini mencakup beberapa gabungan wilayah administrasi, yaitu 3 Provinsi, 12 Kabupaten/Kota.14 Hal di atas memang tidak dapat dielakkan, mengingat saat ini Jakarta masih menjadi pusat perputaran uang di Pulau Jawa, bahkan nasional. Berdasarkan data dari Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2014 (BPS), 58,70% kegiatan ekonomi Indonesia berada di Pulau Jawa, dan DKI Jakarta adalah penyumbang terbesar dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebesar 16,76 % dari seluruh kegiatan ekonomi Indonesia. Sementara itu, saat ini mega urban region Jabodetabek dihuni oleh 28 juta jiwa penduduk. Posisi Jakarta sebagai ibukota, dan beberapa pusat kegiatan lain (jasa, perdagangan, budaya, pendidikan, pelabuhan dan industri) menyebabkan derasnya aliran migran ke Jakarta, baik migran permanen, maupun migran tidak permanen (seperti penglaju). Berdasarkan data dalam RPJMD Kota Jakarta, diketahui bahwa migran permanen ke Jakarta mencapai 9,6 juta jiwa, sementara penglaju yang memasuki wilayah Jakarta sehari-harinya berjumlah 1,5 juta jiwa dari wilayah sekitar Jakarta (Bodetabek). Aliran migran yang dijelaskan di atas tidak terlepas dari peran ketersediaan infrastruktur transportasi. Ketersedian jaringan jalan di sekitar Ibukota memiliki panjang dan luas masing- masing mencapai 6.932.292,84 m dan 48.311.359,97 m.2 15 Sementara keberadaan jaringan kereta api listrik commuter di wilayah ini setiap harinya mampu mengangkut 600 – 700 ribu jiwa16, belum lagi aliran kendaraan penglaju melalui pintu tol di sekitar Jakarta yang rerata perharinya mencapai 1.974.954 kendaraan/ hari.17 14. MP3EI 2011 - 2025, 15. Jakarta dalam Angka 2012, 16. Website Resmi PT KAI Commuterline JABODETABEK (www.krl.co.id) 17. Website Resmi JASAMARGA Tahun 2013 27 Gambar 3. Perkembangan Wilayah Terbangun DKI Jakarta dan Sekitarnya 1900 - 2000 Salah satu kota yang berada di sekitar Jakarta adalah Kota Depok. Secara geograis Kota Depok terletak di bagian Selatan dari Jakarta. Kota Depok awalnya dirancang sebagai tempat bermukim yang memiliki luas 5882 ha.18 Namun, seiring dinamika penggunaan tanah di wilayah ini, tercatat bahwa proporsi lahan terbangun meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir, dari sekitar 9.299 Ha atau 46.49 % pada tahun 2005 menjadi sebesar 10.461,99 Ha atau sekitar 52.23 % pada tahun 2010, rata-rata pertumbuhan lahan terbangun mencapai 3,14 % per tahun. Sementara dominasi penggunaan lahan terbangun terbesar diperuntukkan bagi lahan permukiman dengan luas sebesar 9540,64 ha atau sebesar 48,57%. 18. Pemkot Depok tahun 1998 dalam ‘Saraswati.Ratna. 2002. Perbedaan Perluasan Daerah Tutupan pada Wilayah Permukiman di Kotamadya Depok. Depok: Makara Sains Vol. 6, No. 1, April 2002. 28 Gambar 3. Pembagian Administrasi Kota Depok Pasca Pemekaran Tahun 200819 Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, Kota Depok dihuni oleh 1.736.565 jiwa, dengan sex ratio penduduk laki-laki terhadap perempuan sebesar 102. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 316.085 jiwa dari tahun 2006 yang baru mencapai 1.420.480 jiwa. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dipengaruhi oleh tingginya arus migrasi yang masuk ke Kota Depok, hal ini karena Depok dinilai sebagai wilayah yang strategis, dengan akses yang baik menuju Jakarta dan sarana prasarana yang memadai sebagai lingkungan permukiman. Sebut saja keberadaan KRL Bogor-Jakarta yang melintasi Kota Depok merupakan salah satu tulang punggung akses transportasi Depok-Jakarta-Depok yang menjadi pilihan masyarakat. Sejak pindahnya Kampus UI ke kota Depok pada tahun 1987,20 hingga saat ini (2014) tercatat terdapat 5 perguruan tinggi yang terdapat di Kota Depok.21 Kemunculan berbagai institusi pendidikan di Kota Depok memberikan dampak yang berbeda terhadap ‘wajah’ isik kota Depok. Kondisi ini sekaligus merupakan salah satu keunggulan Kota Depok, yang secara otomatis memiliki network langsung dengan berbagai center of excellent untuk mengarahkan pembangunan dan pengelolaan kotanya menjadi lebih baik. 19. RPJMD Kota Depok 2011-2016 20. Website Resmi Universitas Indoeniesia (old.ui.ac.id) 21. Depok dalam Angka 2013/2014 29 Graik 4. Jumlah Penduduk Kota Depok 2006 - 2010 Gambar 4. Salah satu Stasiun yang Dijadikan akses warga Depok Menuju Jakarta (Kiri) & Kondisi Stasiun Sudirman Arah Depok di Waktu Sore (Kanan). Sumber: Fathia Hashilah, 2014 Keberadaan Universitas Indonesia yang berada di lahan seluas 300 Ha, dengan dominasi lanskap ruang terbuka hijau, memiliki 6 danau, stadion olah raga, in-door gymnasium, out-door gymnasium, perpustakaan, jalur sepeda, hutan kota dan berbagai laboratorium alam menjadikan alternative ruang relaksasi yang nyaman bagi sebagian warga Kota Depok pada akhir pekan. 30 Namun, di tengah perkembangan kota dan berbagai potensinya, Kota Depok menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan kotanya, diantaranya semakin menyusutnya proporsi lahan tidak/belum terbangun. Proporsi lahan tidak terbangun yang pada tahun 2005 masih mencapai 53,51 %, menjadi tinggal 47,64 % pada 2009. Ini berarti laju konversi lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun mencapai 3,14 % per tahun. Hal di atas diantaranya terjadi karena Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Kota Depok yang tinggi, yang mencapai rata-rata 4,27% dalam 10 tahun terakhir (laju pertumbuhan tertinggi di kecamatan Limo sebesar 8,48% dan terendah di kecamatan Sukmajaya sebesar 3,27%), atau peringkat ke dua di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bekasi. Angka ini jauh di atas rata- rata nasional (1,49%) maupun Propinsi Jawa Barat (1,89%). Saat ini jumlah penduduk Kota Depok mencapai 1,7 juta jiwa. Dengan LPP saat ini, jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2016 diproyeksikan akan mencapai sekitar 1,968 juta jiwa. Sementara itu, komposisi penduduk usia produktif merupakan yang dominan (sekitar 69% pada tahun 2010), dengan tingkat mobilitas harian (berdasarkan asumsi penelitian) mencapai 87,7%, dengan tujuan Jakarta dan sisanya menglaju ke Bekasi, Tangerang dan Bogor. 22 Dengan tingginya pertumbuhan penduduk, maka Kota Depok dihadapkan pada tuntutan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, gambaran dominasi usia produktif merupakan tantangan bagi pemerintah kota Gambar 5. (Kiri ke Kanan). Aktiitas Anak di Rotunda Universitas Indonesia (Sumber: Tim Urban Demograi, 2014) untuk membuka lapangan kerja, sehingga mobilitas penduduk dapat dikendalikan dan sumber daya manusia lokal dapat diberdayakan untuk pembangunan di Kota Depok. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar Depok dapat tumbuh tidak sekedar sebagai tempat tinggal, tapi juga berkembang sesuai dengan potensi lokal menjadi kutub pertumbuhan baru yang mampu mendampingi keberadaan Jakarta. 22. Sitanala, Frans. 2005. “Pergerakkan Penduduk Kota Depok Menuju ke Tempat Bekerja Tahun 2001”. Depok: Makara, Sains, Vol. 9, No. 1, April 2005: 41-44 31 Gambar 6. Perumahan di Kota Depok (Sumber : Fathia Hashilah, 2012) Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Parkir Motor di Sekitar Stasiun KA, Suasana Salah Satu Stasiun KA di Kota Depok, Kondisi Lalu LIntas pada waktu puncak di Kota Depok (Sumber : Tim Urban Demograi, 2014) Arah Kebijakan yang dirumuskan dalam draft RPJMN 2015-2019 Bidang Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan adalah “Mewujudkan pusat pertumbuhan baru”, dengan: (1)Mewujudkan industri pengolahan hasil pertanian secara luas yang berbasis koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah; (2) Meningkatkan akses terhadap modal usaha, pemasaran, teknologi, dan informasi; (3) Menerapkan teknologi dan inovasi di tingkat lokal untuk meningkatkan nilai tambah; (4) Meningkatkan kelembagaan dan tata kelola ekonomi daerah; dan (5) Mengembangkan kerjasama antar daerah dan kerjasama pemerintah-swasta. Selama ini pengelolaan hubungan perdesaan perkotaan diterjemahkan dalam arti membatasi migrasi dari perdesaan ke perkotaan yang dilakukan dengan menggunakan instrumen administrasi 32 kependudukan yang efeknya tidak diketahui. Namun, makin terbatasnya lapangan kerja di daerah perdesaan akibat menyempitnya lahan pertanian menjadi pendorong utama orang-orang desa pergi ke kota. Sejalan dengan fakta tersebut, berdasarkan data BPS (2013), setidaknya terjadi penurunan lahan pertanian sebesar 1,75% pertahun, sejak sepuluh tahun yang lalu. Dengan kondisi di atas, faktanya hubungan kota-desa saat ini diwarnai dengan keterbatasan penyediaan perumahan di perkotaan yang mengakibatkan harga tanah dan perumahan tidak terjangkau oleh kebanyakan penduduk. Hanya kelompok penduduk berpendapatan tinggi yang dapat membeli atau menyewa tempat tinggal di perkotaan. Sedangkan kelompok bawah lebih banyak menempati daerah-daerah yang tidak layak huni (slum area). Sementara kelompok menengah akan pindah daerah pinggiran untuk memperoleh tanah dan perumahan yang lebih terjangkau, dengan resiko biaya transportasi dari tempat tinggal ke tempat kerja menjadi meningkat. Kondisi ini pada gilirannya meningkatkan pola mobilitas non permanen di kalangan penduduk, baik dalam bentuk migrasi musiman, sirkuler, dan ulang alik (commuting). Sebaliknya, kehidupan modern kota yang diperlihatkan oleh berbagai media merupakan penarik orang-orang dari desa untuk datang ke kota. Oleh karena itu, mobilitas penduduk perdesaanperkotaan mempunyai peranan sebagai “jembatan modernisasi perdesaan” yang menghubungkan kehidupan desa yang dianggap tradisional dengan kota yang dinilai modern (Saefulah, 1996). Secara demograis, jika ditinjau dari lamanya tinggal di daerah tujuan, mobilitas penduduk dibedakan atas mobilitas permanen dan non permanen. Mobilitas permanen yang sering disebut sebagai migrasi merupakan perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dan lamanya tinggal di daerah tujuan sedikitnya 6 bulan, atau berniat tinggal di daerah tujuan selama 6 bulan atau lebih. Sedangkan mobilitas non permanen merupakan perpindahan penduduk yang terjadi secara berulangulang dalam waktu yang singkat, dengan kata lain jika pelaku mobilitas tinggal di daerah tujuan kurang dari 6 bulan (Shryock & Siegel, 1875). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saefullah (1996) memperlihatkan bahwa, umumnya pelaku mobilitas non permanen terdiri dari kelompok umur potensial yang kebanyakan berumur antara 20 dan 40 tahun. Bahkan pada waktu mulai melakukan mobilitas atau pergi dari daerahnya mereka berumur rata-rata di bawah 30 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok umur produktif yang dapat memberikan implikasi atas hilangnya tenaga potensial yang diperlukan dalam kegiatan pembangunan di daerah asal. Namun pada sisi lain, Hugo (1978) dalam Saefullah (1996) menyatakan bahwa kekhawatiran atas hilangnya tenaga potensial tidak perlu berlebihan, mengingat hampir semua pelaku mobilitas non permanen terutama yang berjarak dekat antara daerah asal dan daerah tujuan, kembali ke daerah asalnya yang membutuhkan banyak tenaga kerja pada waktu musim panen dan mengerjakan sawah. Di luar musim tersebut pekerjaan-pekerjaan lainnya lebih banyak dilakukan kaum perempuan dan anggota keluarga lainnya, sedangkan penduduk lakilaki pergi mencari pekerjaan tambahan di luar daerah. Fenomena menarik lainnya dalam interaksi antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan adalah tradisi mudik23 yang berlangsung secara massif di berbagai wilayah perkotaan di Indonesia. Meski data tentang mudik di Indonesia tidak tersedia, namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam setiap tahunnya menjelang lebaran berinisiatif melakukan survei arus mudik balik (amuba) sejak tahun 2012 hingga 2014 untuk melakukan estimasi jumlah pemudik yang dari DKI Jakarta ke daerah asal migran, serta jumlah pendatang baru pada saat arus balik dari daerah asal ke DKI Jakarta pasca lebaran. 23. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Mudik pun sarat simbol kultural mengenai cerita sukses warga desa berjuang di kerasnya kehidupan kota-kota besar. Pada konteks ini, warga yang tidak mudik biasanya diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti berhalangan (positif ) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif ). (Prof. Dr. der Soz. Drs. Gumilar Rusliwa Somantri, 2001) 33 Tabel 3 memperlihatkan jumlah arus mudik dan arus balik dari dan ke DKI Jakarta pada saat menjelang lebaran dan pasca lebaran. Aspek penting dari fenomena ini dan menjadi perhatian utama dari Pemerintah DKI Jakarta adalah adanya sejumlah pendatang baru yang menyertai para pemudik ketika mereka balik ke Jakarta. Dari tabel terlihat bahwa dalam tiga tahun terakhir, jumlah pendatang baru yang masuk ke DKI Jakarta mengalami peningkatan yang pada gilirannya akan memberi dampak atas kehidupan sosial-ekonomi dan aspekaspek lainnya bagi masyarakat Jakarta. Tahun Estimasi Jumlah Pemudik Estimasi Jumlah Pendatang Baru 2012 3,49 juta jiwa 34.671 jiwa 2013 4,05 juta jiwa 52.166 jiwa 2014 3,61 juta jiwa 68.537 jiwa Tabel 3. Estimasi Jumlah Pemudik dan Pendatang Baru Dari dan Ke DKI Jakarta Sumber: Dinas Dukcapil DKI Jakarta (berbagai tahun) Ada beberapa esensi yang dimiliki mudik yaitu, pertama, aktivitas mudik (termasuk arus balik) akan menciptakan perputaran uang yang begitu besar dan cepat (velocity of money). Puluhan triliun rupiah berpindah tangan dari kota ke kota, dari kota ke desadesa dan perkampungan kecil. Tentu, secara agregat, nilai uang di sini bukan hanya berbentuk cash, namun juga bisa berupa perkakas elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan lainnya. Dalam pendekatan teori ekonomi, fenomena seperti ini disebut sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan. Yaitu, terjadinya perpindahan kekayaan dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu individu ke individu lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tradisi mudik memang akan menciptakan redistribusi ekonomi dari kota besar, khususnya Jakarta ke daerah-daerah yang pada gilirannya bisa menstimulasi aktivitas produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam titik tertentu, kondisi ini juga bisa meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan daerah kepada pusat. Kedua, tradisi mudik juga berpengaruh positif pada keberadaan infrastruktur. Tak jarang, datangnya aktivitas mudik mengharuskan pemerintah memperbaiki Gambar 8. (Kiri, Kanan) Suasana Stasiun Solo Balapan di saat musim Mudik (Sumber : Dipta, 2014) 34 dan menambah kondisi infrastruktur yang ada, mulai dari pembangunan jalan darat, rel kereta api, jembatan, bandar udara, hingga pelabuhan laut. Hal ini tentu positif untuk sektor infrastruktur itu sendiri maupun sisi ketepatan penyerapan anggaran. Ketiga, aktivitas mudik Lebaran juga menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, yakni melalui peningkatan konsumsi. Ini terjadi karena begitu besarnya volume pemudik yang mencapai puluhan juta orang, sehingga nilai konsumsi agregat yang dihasilkan pun akan sangat besar, mencapai ratusan triliun rupiah. Dengan demikian jelas bahwa mudik merupakan sebuah trickle down efect bagi desa. Keempat, aktivitas mudik menjelaskan ada sense of place atau rasa keterikatan individu terhadap ruang tempat tumbuh dan berkembang, termasuk keterikatan dengan budaya dan nilai yang dianut dalam ruang tersebut, hal ini menjelaskan bahwa, meskipun secara nyata individu bergerak ke wilayah perkotaan, namun budaya dan nilai yang dianut masih berpegang pada wilayah asalnya. Untuk menunjang mobilitas non permanen, maka sarana dan prasarana transportasi atau akses desa-kota hendaknya ditingkatkan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pelayanan transportasi massal antar moda yang memadai antara daerah asal dan daerah tujuan migran merupakan syarat utama bagi keberhasilan promosi mobilitas permanen, sehingga masyarakat dapat melakukan bepergian dengan cepat, murah, aman dan nyaman. 35 Pengelolaan Metropolitan Maminasata Di awal abad 20 (zaman kolonialisme), sebagai kota bandar niaga internasional, Makassar dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai wilayah dan kepentingan. Di awal kemerdekaan, kembali terjadi migrasi besarbesaran menuju Makassar, karena alasan keamanan. Saat itu umumnya penduduk memilih bermigrasi ke kota besar seperti makassar. Proses migrasi pada tahap ini terjadi hingga awal tahun 1960. Perkembangan Kota Makassar terus berlanjut hingga tahap pembangunan ekonomi berbasis stabilitas keamanan dalam negeri. Dalam kurun waktu 10 tahun (1970-1980) perekonomian Kota Makassar membaik, yang ditandai dengan berkembangnya sektor perdagangan dan jasa, seperti dibangunnya Kawasan Industri Makassar (PT KIMA). Pesatnya pertumbuhan ekonomi Makassar menjadikan daya tarik yang sangat kuat bagi para penduduk Sulawesi lainnya sehingga muncul arus migrasi besar menuju Makassar. Tidak bisa dipungkiri proses migrasi ini berpengaruh pada pola permukiman Kota Makassar. Dengan tipe migrasi berantai (Migrasi diawali perintis kemudian menarik kerabat lain untuk juga bermigrasi) menjadikan pola permukiman di Makassar bersifat mengelompok sesuai etnis tertentu. Karena menetap sesuai dengan etnis masing-masing, maka secara tidak langsung juga tampak adanya keterampilan yang beragam sesuai etnis masing-masing. Hal ini mengakibatkan munculnya pengelompokan pekerjaan mengacu pada etnis tertentu. Beberapa contoh diantaranya adalah Etnis Bugis Sidrap dan Bugis Makassar yang masing-masing memiliki profesi sebagai pandai emas, tukang kayu dan pedagang 36 ikan. Tidak dapat dielakkan, dengan mengelompoknya permukiman berdasarkan etnis tertentu menjadikan Kota Makassar sangat rawan dengan unsur SARA. Berdasarkan tujuan migrasinya, ada dua lokasi yang berbeda. Lokasi yang menjadi tujuan migrasi adalah menuju pusat kota dan menuju pinggiran kota. Motif migran yang menuju pusat dan pinggiran kota juga memiliki perbedaan. Migran yang memilih migrasi ke pinggiran kota umumnya beralasan mencari lahan yang cukup untuk mendirikan tempat tinggal ataupun membeli rumah dari developer yang membutuhkan lahan cukup luas untuk membangun perumahan. Sedangkan migran yang bermigrasi menuju pusat kota beralasan mencari lokasi strategis yang dekat dengan lokasi kerja atau mereka sudah terlebih dahulu memiliki keterikatan dengan pusat kota sebelumnya. Dengan semakin banyaknya migran yang menuju Makassar, tidak dipungkiri hal seperti ketersediaan lahan menjadi isu yang kuat. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 51 Tahun 1971 ditetapkan perluasan batas Daerah Kotamadya Makassar (reklasiikasi) yang mengambil sebagian wilayah Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, migrasi risen di Kota Makassar mencapai 9,82%, jika dibandingkan dengan migrasi risen Sulawesi Selatan (hanya 4,27%) maka jauh lebih besar. Dalam 5 tahun terakhir (2006-2010), terjadi pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi ini dilihat dari nilai PDRB berdasarkan harga berlaku, yang pada tahun 2006 bernilai Rp. 18.165.876,32 miliar dan meningkat hingga Rp. 37.007.451,94 miliar pada tahun 2010. Dalam hal ini tampaknya Pemerintah belum sepenuhnya melakukan upayaupaya terkait hubungan yang harmonis antara wilayah perdesan dan perkotaan, baik dalam hal mobilitas non permanen, upaya meredam alih fungsi lahan pertanian akibat meningkatnya keterkaitan desakota, penyediaan sarana transportasi, dan penyediaan kebutuhan dasar di perkotaan. 24 Selain itu, untuk mendukung pengelolaan metropolitan ini, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No.55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Maminasata. Melalui kebijakan ini, Pemerintah Kota Makassar melalui Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Maminasata (BKSPMM) menetapkan 8 (delapan) titik pengembangan di luar Makassar yang berfungsi menjadi bufer atau wilayah penyangga untuk menampung pergerakan masyarakat yang menuju Kota Makassar. Dengan kondisi Hal di atas, merupakan bagian dari alasan pembentukan Metropolitan Maminasata. Maminasata, merupakan gabungan dari wilayah Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar. Wilayah Metropolitan ini merupakan salah satu yang direkomendasikan bentuk pengelolaannya oleh Kementerian Pekerjaan Umum, hal ini diantaranya karena Kawasan Metropolitan Mamminasata memiliki peran yang sangat strategis secara geograis dan fungsional sebagai pusat pengembangan di Kawasan Indonesia Timur. Untuk mendukung optimalisasi pengelolaan metropolitan ini dilakukan pengembangan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah, baik melalui pendampingan lembaga international maupun nasional. 24. Ramli, M. Gentriikasi Peri-Urban Ekspansi Perkotaan dan Politik Spasial Komunitas Lokal di Makassar. Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen Sosiologi. Universitas Indonesia. Depok 37 rencana pengembangan fasilitas sebagai berikut : tersebut, maka tumbuh beragam wilayah yang menjadi icon pertumbuhan baru, diantaranya seperti Kawasan Nusa Dua, Citraland, Tanjung Bunga, Pantai Gelesong. Urbanisasi di Makassar terjadi diantaranya karena dominasi pertumbuhan alamiah penduduk yang saat ini mencapai 1,3 juta jiwa, meskipun juga terjadi migrasi musiman dari wilayah sekitarnya. Saat ini, secara umum terdapat 4 etnis yang menetap di Kota Makassar, yaitu : Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar yang sangat tinggi, bahkan menurut pidato Presiden SBY baru-baru ini (Agustus, 2014) melebihi pertumbuhan Kota Tiongkok, yaitu mencapai 9,41% per tahun (BPS, 2012). Untuk terus meningkatkan produktivitas kota, maka Pemerintah Kota mengarahkan Rencana Tata Ruang Kota Makassar pada peningkatan infrastruktur kota, diantaranya melalui beberapa program di bawah ini : 1. Pengendalian banjir dengan memperbaiki sistem drainase, 2. Pengelolaan persampahan, 3. Penyediaan air bersih, 4. Pengembangan kawasan KIMA (Kawasan Industri Makassar), 5. Pengembangan Pelabuhan Perikanan di luar Kota Makassar (Takalar), 6. Penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) bagi masyarakat, 7. Pengembangan kearah Selatan untuk pembangunan Makassar New Port (Gowa), Kawasan Energi Center dan Hiburan, 8. Pembangunan Centre Point Of Indonesia yang diarahkan menjadi Landmark baru Makassar, dengan 38 a. Pembangunan Wisma Negara, b. Ruang terbuka bagi masyarakat, c. Sarana ibadah, d. Museum pahlawan nasional. 9. Beberapa program untuk peningkatan pelayanan public dan pemberdayaan masyarakat diantaranya : Program Depthcare, yaitu fasilitas kesehatan yang dapat mengakses langsung pasien di rumah; program MTR (Makassar Ta Rantasa), yaitu program partisipatif untuk mencapai kebersihan lingkungan kota dengan membina dan mendampingi pengelolaan lingkungan pada 143 kelurahan; Mabelo (Makassar benahi lorong), yaitu program untuk membenahi 1417 lorong yang ada di Makassar baik melalui penataan isik maupun pembinaan sumberdaya manusia yang ada di wilayah tersebut; Smart City, yaitu beberapa program berbasis teknologi untuk memudahkan system administrasi kependudukan perkotaan dengan menggandeng mitra swasta baik dalam dan luar negeri. Program-program di atas merupakan bagian dari upaya Pemerintah Kota untuk mencapai visinya untuk mewujudkan Kota Dunia untuk Semua melalui Tata Lorong Bangun Kota Dunia. Program di atas merupakan bagian dari derivasi program yang dijabarkan melalui 8 jalan masa depan menuju masyarakat sejahtera, kota nyaman dan pelayanan public kelas dunia. Dengan program-program di atas, diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kota dan memberikan multiplier efect bagi wilayah sekitarnya. Selain itu, sebagai Hub dari wilayah Timur Indonesia, kota Makassar dapat menjadi cermin pengelolaan kota dan metropolitan di Kawasan Timur Indonesia. Di tengah implementasi program pembangunan yang disebutkan di atas, tantangan yang dihadapi Kota Makassar dalam mencapai visinya adalah terkait ketersediaan permukiman, penanganan persampahan dan pencemaran lingkungan, pengelolaan wilayah pesisir dan laut, menekan pertumbuhan alami penduduk, membangun wilayah sekitar, dan meningkatkan infrastruktur kota sebagai pelayanan dasar menuju World Class City. Sebagai Hub bagi wilayah Timur Indonesia, kota Makassar memiliki sarana prasarana pergerakan yang cukup baik, terutama pergerakan berbasis air dan udara yang diarahkan untuk pergerakan eksternal ke luar Pulau, dan pengembangan jalan darat untuk pergerakan internal Pulau, dan rencana pengembangan akses Trans Maminasata untuk mengelola pergerakan wilayah sekitar Makassar agar tidak masuk ke dalam inner city. Dengan potensi akses seperti tersebut, dalam konstelasi Maminasata, Makassar memiliki peran sebagai pusat jasa, perdagangan, dan industri. Selain itu, pengelolaan Metropolitan Maminasata secara umum diarahkan menuju peningkatan infrastruktur, sehingga memudahkan pergerakan antar kota dan mendorong pembagian peran antar kota. Pertumbuhan ke luar wilayah Makassar juga sangat didorong kuat agar fungsi dan peran kota dapat terbagi ke wilayah sekitar, hal ini diantaranya diwujudkan dengan rencana pembangunan KIMA II di Maros. Gambar 9. Aktivitas di Pelabuhan Makassar (Atas ke bawah) (Sumber : Tim Urban Demograi, 2014) 39 40 3. Identifikasi Kebutuhan Penduduk Muda Perkotaan Dalam pengklasiikasian usia penduduk muda di Indonesia terdapat overlap penggolongan usia, jika mengacu pada deinisi yang tertera pada UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa, anak-anak adalah individu yang berusia dibawah 18 tahun. Namun, jika kita mengacu pada kategori yang digunakan dalam UN statistic, mereka yang berusia 15-24 tahun masuk dalam kategori usia remaja. Sedangkan dalam UU No.40 Tahun 2009 tentang kepemudaan disebutkan bahwa individu yang berusia 16-30 tahun masuk ke dalam kategori usia muda. Dari ketiga pengkategorian usia ini maka tampak jelas bahwa ada overlapping dalam setiap kategori. Untuk memperjelas hal tersebut maka dalam penulisan ini yang dimaksud dengan penduduk usia muda adalah mereka yang berusia 0-30 tahun. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penggelompokkan usia dimana usia 0-17 tahun dikategorikan sebagai usia anak, dan usia 18-30 tahun dikategorikan dalam usia pemuda. 41 Berdasarkan data proyeksi penduduk yang dilakukan Bappenas dengan berpatokan pada data SUPAS tahun 2005, jumlah penduduk muda yaitu yang berusia antara 0-30 tahun berjumlah 125 juta jiwa, hal ini berarti sebanyak 53% dari total penduduk Indonesia yaitu sebanyak 234 juta jiwa adalah pemuda. Penduduk muda usia sekolah, yang berusia 5-19 tahun berjumlah 62.015,3 juta jiwa atau sebanyak 26,5% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan untuk penduduk muda usia sekolah yang berusia 20-30 tahun berjumlah 41 juta jiwa atau sekitar 17,8%. Graik 5. Struktur Penduduk Indonesia Tahun 2010 Menurut Usia. Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025 Bappenas, 2008 Melihat dari struktur penduduk tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami struktur usia muda, dimana jumlah penduduk usia muda jauh lebih banyak dibandingkan penduduk usia dewasa. Berdasarkan proyeksi pada tahun 2025, jumlah penduduk usia anak yaitu 0-14 tahun turun dari 28,5% pada tahun 2005 menjadi 23,3% pada tahun 2025. Sedangkan untuk usia 15-64 tahun akan meningkat hingga 68,7% pada tahun 2025. Untuk penduduk usia 65 tahun ke atas juga meningkat jumlahnya hingga 8,1% pada tahun 2025. Pertumbuhan penduduk khususnya yang masuk dalam kategori pemuda mengalami perubahan yang cukup signiikan jika dilihat berdasarkan klasiikasi kota dan desa. Dimana pada tahun 1970 hingga tahun 2000, jumlah pemuda yang ada di perdesaan masih lebih banyak dibandingkan dengan pemuda yang tinggal di perkotaan. Namun, pada tahun 2010 jumlah pemuda yang tinggal di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pemuda di perdesaan. Untuk keterangan lebih jelas dapat dilihat dari graik 6 di bawah ini. 42 Graik 6. Pertumbuhan Pemuda di Perkotaan dan Perdesaan. Sumber: Data BPS Berbagai Tahun (Diolah) Dari graik tersebut terlihat bahwa pada tahun 1970 jumlah pemuda yang tinggal di perdesaan sebanyak 11.57% dari total penduduk . Angka tersebut naik pada tahun 1980 yaitu 12,29%, dan mengalami penurunan pada periode selanjutnya yaitu pada tahun 1990 sebesar 11,3%, tahun 2000 sebesar 9,03% dan pada tahun 2010 kembali meningkat yaitu 12,37%. Peningkatan jumlah pemuda di perdesaan pada tahun 2010 disebabkan karena efek dari bonus demograi yang sedang dialami oleh Indonesia, yaitu sebagiamana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa pada periode bonus demograi ini jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan dengan usia anakanak dan lansia. Meskipun kembali terjadi peningkatan pemuda di perdesaan tetapi masih lebih besar jumlah pemuda yang tinggal di perkotaan. pemuda yang tinggal di perkotaan. Trend penduduk yang tinggal di perkotaan terus mengalami peningkatan. Dimana pada tahun 1970 jumlah pemuda yang tinggal di perkotaan sebanyak 2.86% dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 1980 mengalami peningkatan yaitu 4.29%, begitu juga pada tahun 1990 sebesar 6.04%, tahun 2000 sebesar 9.03% dan pada tahun 2010 sebesar 14,25%. Pada tahun 2010 jumlah pemuda di perkotaan sudah jauh lebih besar dibandingkan jumlah pemuda yang tinggal di perdesaan. Peningkatan jumlah pemuda yang tinggal di perkotaan dapat disebabkan karena semakin besarnya arus migrasi pemuda dari desa ke kota, juga dapat disebabkan karena adanya reklasiikasi desa menjadi kota sehingga wilayah yang masuk ke dalam kategori kota semakin banyak, disamping karena faktor pertumbuhan penduduk alami. Jika pemuda yang tinggal di perdesaan cenderung mengalami trend penurunan, tetapi hal sebaliknya terjadi pada jumlah Dalam rangka menghadapi era bonus demograi, yaitu masa ketika terjadi penurunan fertilitas dan mortalitas yang 43 mengakibatkan munculnya perubahan struktur umur penduduk. Penurunan fertilitas akan menurunkan proporsi penduduk usia muda, sedangkan mortalitas akan meningkatkan harapan hidup proporsi penduduk usia kerja. Secara sistemik hal-hal tersebut akan menurunkan rasio ketergantungan karena proporsi penduduk muda dan terjadi peningkatan proporsi penduduk usia kerja. Pada dasarnya perubahan struktur umur dapat menghasilkan beberapa manfaat, seperti : meningkatnya pendapatan perkapita karena tingginya suplai tenaga kerja, dan keterlibatan perempuan dalam peningkatan pendapatan25. Kondisi ini juga disebut sebagai dividen ekonomi, atau sebuah keuntungan yang didapat dari suatu kondisi demograi. Dalam menghadapi era ini tentunya penyiapan kualitas dan daya saing para pemuda merupakan tantangan lain bagi para pengelola perkotaan. Penyediaan sarana pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan pendidikan vokasi sangat diperlukan dalam merespon kebutuhan para pemuda di perkotaan. Terbatasnya kesempatan kerja dan besarnya pasokan pekerja muda tersebut akan menyebabkan pengangguran serta setengah pengangguran muda. Tandatanda belum terakomodasinya potensi pemuda juga tampak dari munculnya perilaku menyimpang di kalangan muda, penyalahgunaan narkoba dan tingkat kejahatan telah meningkat. Pada tahun 1998, lebih dari 40 % pasien muda berusia di antara 20-24 tahun yang rawat inap mempunyai masalah dengan narkoba. Kelompok usia sekolah menengah atas menunjukkan derajat penyalahgunaan obat yang signiikan (lebih dari 30 %) sejak 1995. Adapun hasil estimasi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan BNN (Badan Narkotika Nasional) menyebutkan bahwa, penyalahgunaan narkoba pada tahun 2011 terjadi pada kelompok usia 1059 tahun, yaitu pada 3,8 juta penduduk, atau 2,2% dari total penduduk Indonesia. Melihat data tersebut maka dapat diindikasikan sebagai suatu peringatan 25. Paparan Optimalisasi Pemanfaatan Bonus Demograi oleh Kepala BKKBN, Prof. dr. Jalal, PhD, SpGK, 13 Mei 2014 44 bahwa, hal tersebut merupakan dampak pengangguran dan kurang terakomodasinya ruang gerak pemuda dalam pembangunan perkotaan. Jika orang muda yang tidak bekerja, tidak dapat mengaktualisasikan diri, dan tidak dapat mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat, mereka bisa jatuh ke perilaku yang menyimpang. Terkait kualitas sumber daya pemuda di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak No.14 Tahun 2010 Tentang Kota Layak Anak, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 14 Tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak, dan UU No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan. Pada kenyataannya implementasi kebijakan yang belum dilakukan sepenuhnya masih menyisakan permasalahan. Pendidikan adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh penduduk usia muda di Indonesia. Meskipun pada tahun 2008 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar namun pada kenyataannya masih banyak anak usia 7-15 tahun yang putus sekolah. Berdasarkan laporan dari UNICEF Indonesia tahun 2012, masih ada sekitar 2,3 juta anak usia 7- 15 tahun yang tidak bersekolah. Sementara di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,dan Jawa Barat masih ada sekitar 42% anak putus sekolah. Dalam proil anak Indonesia Tahun 2013 disebutkan juga bahwa, angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SD adalah sebesar 1,5 % pada tahun 2012, pada jenjang pendidikan SMP angka putus sekolah mencapai 0,86 % dan pada jenjang pendidikan sekolah menengah angka putus sekolah mencapai 0,36 %. Hampir separuh (44,01 %) anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah disebabkan karena tidak adanya biaya, 9,64 % karena bekerja, 4,18 % karena sekolah jauh, 3,95 % karena menikah atau mengurus rumahtangga, dan sisanya karena alasan lainnya. Selain itu, masih ada sekitar 0,67 % anak berusia 16-17 tahun yang tidak mempunyai kemampuan baca tulis. Hasil Susenas 2007 menunjukkan sekitar 1,7 % pemuda belum/tidak pernah sekolah, 6,9 % masih/sedang bersekolah, dan 91,3 % sudah tidak bersekolah lagi. Sementara itu, berdasarkan tingkat kelulusan pemuda: 7,2 % lulus perguruan tinggi, 31,8 % lulus SMA, 24,0 % lulus SMP, 29,2 % lulus SD, dan 7,8 % tidak memiliki ijazah dan belum tamat SD. Akan tetapi, terdapat peningkatan, meskipun kecil, dalam hal partisipasi sekolah pemuda. Hasil Susenas 2005 dan 2007 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) pemuda usia 16–18 tahun atau setingkat SLTA meningkat dari dari 53,9 % tahun 2005 menjadi 54,1 % pada tahun 2007. 45 Sementara itu, APS pemuda berumur 19–24 tahun (setingkat S1) meningkat dari 12,2 % di tahun 2005 menjadi 12,6% tahun 2007. Angka buta huruf pemuda menurun dari 2,6% pada tahun 2007 menjadi 0,9% pada tahun 2008. Pemuda perempuan lebih cenderung untuk buta huruf daripada pemuda laki-laki (3,1% versus 2,1% pada tahun 2007). Sementara itu, pemuda perdesaan lebih cenderung untuk buta huruf daripada pemuda perkotaan (4,4% versus 2,9% pada tahun 2007 dan 1,6% versus 0,2% pada tahun 2008). Sejalan dengan hal tersebut, RPJMN tahun 2010-2014 menyebutkan bahwa salah satu permasalahan dalam pembangunan pemuda adalah masih rendahnya kualitas pemuda. Rendahnya kualitas pemuda, antara lain, ditunjukkan oleh (1) rendahnya partisipasi pemuda dalam pembangunan di segala bidang; (2) terbatasnya kesempatan 46 pemuda untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran terbuka pemuda; (3) makin maraknya pornograi dan pornoaksi di kalangan pemuda; (4) menurunnya jiwa kewirausahaan, kepeloporan, dan kepemimpinan pemuda; dan (5) banyaknya generasi muda yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza), minuman keras, dan terjangkit penyakit menular seksual HIV/AIDS. Dengan perkembangan kawasan perkotaan yang semakin pesat, maka kondisi sosial masyarakat pun mengalami perubahan. Ketidakmampuan kota untuk memberikan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru seperti meningkatkan jumlah tawuran remaja, pelecehan seksual dan kekerasan pada anak, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan meningkatnya jumlah pekerja anak. Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah melalui Peraturan menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak No14 Tahun 2010 mencanangkan program Kota Layak Anak di Indonesia. Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Selain itu, Presiden Republik Indonesia menginstrusikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak” sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010. hak anak melalui pengembangan KLA; dan (8) dikembangkannya model-model KLA di beberapa RT, RW, desa/kelurahan dan kecamatan. Implementasi KLA di Indonesia Salah satu kota yang mengimplementasikan program Kota Layak Anak (KLA) adalah Kota Depok. Bukti implementasi Kota Layak Anak di Kota Depok adalah dengan dikeluarkannya Perda No.15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran Menindaklanjuti hal tersebut dikeluarkan pula Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.14 Tahun 2011 Tentang Panduan Evaluasi Kota Layak Anak (KLA). Adapun hasil dari evaluasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (1) diterbitkannya berbagai peraturan dan kebijakan daerah tentang KLA; (2) terbentuknya Gugus Tugas KLA di provinsi dan kabupaten/kota; (3) tersusunnya Proil Anak yang berisi seluruh data anak di masing-masing daerah; (4) meningkatnya alokasi dana APBD provinsi dan kabupaten/ kota untuk pemenuhan hak anak; (5) tersusunnya Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; (6) meningkatnya koordinasi pelaksanaan KLA melalui penerapan 5 klaster hak anak oleh seluruh pemangku kepentingan daerah; (7) meningkatnya dukungan dunia usaha dan masyarakat dalam pemenuhan 47 Kota Layak Anak. Kebijakan yang dilakukan Kota Depok dalam mendukung pelaksanaan program ini adalah sebagai berikut (1) peduli pendidikan anak tidak mampu, (2) peduli anak jalanan, (3) peduli kesehatan anak, (4) peduli keamanan anak. Saat ini meskipun implementasi program kota layak anak di kota Depok belum berjalan sepenuhnya, namun ada fenomena unik terkait pengembangan potensi dan kreatiitas anak dan remaja di Kota Depok. Fenomena unik yang terjadi muncul karena adanya Universitas Indonesia yang dijadikan ruang dan wadah oleh masyarakat Depok untuk menyalurkan, hobi, potensi dan kreatiitas. Sejalan dengan kegiatan Universitas Indonesia sebagai kampus, maka berbagai kegiatan yang ada tentunya memberikan ruang keterlibatan untuk anak. 48 Namun sayangnya hal tersebut berada di luar campur tangan Pemerintah Daerah. Sementara itu, sarana yang dibangun Pemerintah untuk anak, seperti GOR (Gelanggang Olah Raga), Kawasan Snada Tapos, dsb namun belum menjadi pilihan bagi sebagian besar anak di Kota Depok. Sinergi Pemerintah Kota dan Universitas dalam hal ini perlu diwujudkan untuk membentuk sarana dan program yang dapat menangkap dan mengembangkan potensi anak yang ada di Kota Depok. Kota lain yang sudah mengimplementasikan program kota layak anak adalah kota Surabaya. Kota Surabaya merupakan salah satu kota yang dalam dua tahun berturut-turut meraih penghargaan sebagai kota layak anak, yaitu kategori madya pada tahun 2011 dan nindya pada tahun 2012. Penghargaan ini sendiri memiliki 5 (lima) kategori penghargaan yaitu Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA yang fungsinya seperti level maupun kelas sehingga setiap kota/kabupaten peserta KLA harus terus meningkatkan level penghargaan setiap tahunnya dan indikator penilaian pun juga akan menjadi semakin kompleks. Penilaian dalam penghargaan itu harus memenuhi enam kluster antara lain pengembangan komitmen kebijakan, program, penganggaran, penyediaan infrastruktur anak, pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak, serta pemenuhan hak anak untuk mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Adapun kebijakan yang telah dilakukan kota Surabaya dalam mendukung pertumbuhan kota layak anak diantaranya : a. Pembentukan payung hukum terkait kota layak anak b. Pemenuhan hak sipil dan kebebasan terhadap anak dengan pemberian akte kelahiran gratis c. Diselenggarakannya pelatihan terhadap hak anak untuk kader masyarakat dan keluarga. d. Penyediaan fasilitas panti asuhan dan lembaga social e. Penyediaan pengobatan gratis f. Pencanangan wajib belajar 12 tahun g. Penyediaan fasilitas taman bacaan h. Dibentuknya Pusat Krisis Berbasis Masyarakat (PKBM) di tiap kecamatan, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT-P2A), serta Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIKKRR). i. Dibuatnya kampung layak daerah Kejambon, Surabaya anak di Selain mengimplementasikan Kota Layak Anak, anak juga membutuhkan pola pengembangan yang jelas dan terarah. Salah satu aksesibilitas pengembangan potensi anak adalah dengan menggalakkan kembali kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Dengan aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler, maka anak dapat mengembangkan bakat dan minat mereka sejak duduk di bangku sekolah. Selain itu kegiatan ekstrakulikuler juga mampu melatih jiwa kepedulian terhadap sesama melalui kegiatan sosial yang dilakukan misalnya pramuka. Dan hal lain yang tidak kalah penting adalah penyediaan ruang terbuka hijau sebagai sarana dan wahana pengembangan kreatiitas anak. Menurut standar pelayanan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seharusnya adalah 9m2/kapita. Di Indonesia, RTH belum mencapai standar pelayanan yang seharusnya, bahkan untuk wilayah Jakarta ratio RTH adalah 0,22 m2/kapita. Artinya, setiap orang yang tinggal di Jakarta hanya memiliki RTH sebesar 0,22m2. Sementara itu, pada kelompok usia yang lebih tinggi, permasalahan yang kerap dialami oleh pemuda adalah rendahnya angka penyerapan tenaga kerja usia muda di Indonesia. Dari sisi ketenagakerjaan, pemuda lebih cenderung menganggur daripada angkatan kerja usia lebih dari 30 tahun. Meskipun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pemuda turun, dari 17,7% pada tahun 2006 menjadi 14,4% pada tahun 2008 (Sakernas, 2008), angka ini masih terbilang tinggi. Pemuda perempuan lebih cenderung untuk menganggur daipada pemuda laki-laki. Selain itu, pemuda perkotaan lebih cenderung menganggur daripada pemuda perdesaan. Hasil SP 2010 bahkan menujukkan tingkat pengangguran kelompok pemuda lebih tinggi daripada kelompok lainnya, yakni sebesar 19,59%. 49 Hal ini menunjukkan kurangnya akses terhadap kesempatan kerja bagi pemuda, yang jika tidak ditanggulangi dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, seperti meningkatnya prostitusi, penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika serta maraknya premanisme. Seperti halnya penduduk bekerja Indonesia umumnya, seperti terlihat pada Tabel 1.1. sebagian besar (50.6%) pemuda Indonesia bekerja di sektor informal (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, pekerja bebas atau pekerja keluarga/tidak dibayar). Sedangkan pemuda bekerja perkotaan lebih dari dua kali cenderung untuk bekerja di sektor formal (berusaha dengan buruh tetap/dibayar atau buruh/karyawan) dibandingkan pemuda bekerja perdesaan (70% versus 28%). Hal ini menunjukkan bahwa pemuda bekerja perkotaan lebih aman (employment security) dalam hal bekerja daripada pemuda bekerja perdesaan. Status pekerjaan Perkotaan Perdesaan Total Jumlah % Jumlah % Jumlah % 2.401.338 14,75 2.816.8601 7,64 5.218.198 16,18 Berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar 264.451 1,62 1.556.247 9,75 1.820.698 5,65 Berusaha dibantu buruh tetap/dibayar 463.726 2,85 370.263 2,32 833.989 2,59 10.938.028 67,17 4.169.897 26,12 15.107.925 46,84 1.478.967 9,08 2.139.368 13,40 3.618.335 11,22 738.081 4,53 4.914.040 30,78 5.652.121 17,53 Berusaha sendiri Buruh/karyawan Pekerja bebas Pekerja keluarga/tidak dibayar Jumlah 16.284.591 100,00 15.966.675 100,00 32.251.266 100,00 Tabel 4. Pemuda yang Bekerja menurut Status Pekerjaan dan Tempat Tinggal: Indonesia 2010 Sumber: Statistik Pemuda 2010 dalam Simanjuntak (2012). Dari data diatas kita dapat lihat bahwa, jumlah pemuda yang bekerja paling banyak berstatus sebagai buruh atau karyawan yaitu 46,84%, posisi kedua berstatus sebagai pekerja keluarga/pekerja tidak dibayar sebanyak 17,53% dan posisi ketiga yaitu berstatus sebagai pekerja yang berusaha sendiri sebanyak 16,18%. Kondisi menggambarkan bahwa ternyata jumlah pemuda yang berstatus bekerja sendiri cukup besar yaitu sebanyak 5.218.198 jiwa, hal ini tentu saja menjadi sebuah modal besar untuk meningkatkan kesadaran akan peluang entrepreneurship bagi penduduk usia muda. 50 Salah satu upaya untuk meningkatkan hal tersebut adalah dengan mencanangkan pertumbuhan kota kreatif di Indonesia. Kota kreatif diharapkan selain mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja usia muda juga mampu meningkatkan pembangunan di masing-masing daerah, sehingga dapat mengurangi ekses urbanisasi dan meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. Charles Landry, melalui bukunya The Creative City : A Toolit for Urban Innovators menjelaskan bahwa kota kreatif adalah kota yang menciptakan lingkungan yang Bisnis Kreatif Anak muda bandung yang mendunia mendukung orang untuk memikirkan, merencanakan, dan bertindak dengan imajinasi dalam memanfaatkan kesempatan dan masalah kota, mengubah kesempatan menjadi pemecahan. Untuk mendukung terwujudnya kota kreatif, Landry menyebutkan pentingnya ketersediaan infrastruktur serta tenaga kerja yang dinamis, leksibel dan memiliki kemampuan yang tinggi. Berdasarkan siaran pers Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Tahun 2015-2019 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ekonomi kreatif berkontribusi secara signiikan terhadap perekonomian nasional, yaitu sebesar 7% terhadap PDB Nasional, menyerap 11,8 juta tenaga kerja atau sebesar 10,72% dari total tenaga kerja nasional, menciptakan 5,4 juta usaha atau sekitar 9,68% dari total jumlah usaha nasional, serta berkontribusi terhadap devisa negara sebesar 119 Triliun atau sebesar 5,72% dari total ekspor nasional. Pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi kreatif mencapai 5,76% atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,74%. Tujuh isu strategis dalam pengembangan ekonomi kreatif,meliputi: (1) Ketersediaan sumber daya kreatif (orang kreatif-OK) yang profesional dan kompetitif; (2) Ketersediaan sumber daya alam yang berkualitas, beragam, dan kompetitif; dan sumber daya budaya yang dapat diakses secara mudah; (3) Industri kreatif yang berdaya saing, tumbuh, dan beragam; (4) Ketersediaan pembiayaan yang sesuai, mudah diakses dan kompetitif; (5) Perluasan pasar bagi karya kreatif; (6) Ketersediaan infrastruktur 51 dan teknologi yang sesuai dan kompetitif; dan (7) Kelembagaan yang mendukung pengembangan ekonomi kreatif. Di Indonesia, peran industri kreatif dalam ekonomi Indonesia cukup signiikan dengan besar kontribusi terhadap PDB rata-rata tahun 20022006 adalah sebesar 6,3% atau setara dengan 104,6 Triliun rupiah (nilai konstan) dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal). Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan bahwa sumbangan ekonomi kreatif sekitar 4,75% pada PDB 2006 (sekitar Rp 170 triliun rupiah) dan 7% dari total ekspor pada 2006. Pertumbuhan ekonomi kreatif mencapai 7,3% pada 2006, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,6%. Sektor ekonomi itu juga mampu menyerap sekitar 3,7 juta tenaga kerja setara 4,7% total penyerapan tenaga kerja baru. Menurut Kementerian Perdagangan (2009), Ekonomi kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumberdaya manusia sebagai factor produksi utama dalam kegiatan ekonomi; sedangkan industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan memberdayakan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Untuk mendukung perkembangan industri kreatif, maka umumnya Kota Kreatif mampu memberikan ruang dan instrument untuk berkarya, seperti : area public untuk pengembangan industri kreatif, infrastruktur yang menunjang, penyelenggaraan even kreatif, lembaga pendidikan formal yang menunjang, dan dokumen rencana pengembangan industri kreatif. 52 Sebagai upaya menindaklanjuti pengembangan ekonomi kreatif yang diimplementasikan menjadi industri kreatif dan didukung oleh pengelola kota melalui wadah kota kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah melakukan beberapa rencana inisiasi diantaranya : 1. Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional 2009-2025, yang merupakan revisi dari dokumen Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009- 2025 yang telah disusun pada tahun 2009; 2. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional 2015-2019, yang merupakan rencana pengembangan jangka menengah ekonomi kreatif nasional; 3. Rencana Pengembangan Subsektor Ekonomi Kreatif Nasional 20152019, yang merupakan rencana pengembangan jangka menengah ekonomi kreatif prioritas subsektor. Pemuda & Tumbuhnya Kota Kreatif di Indonesia Pemuda adalah generasi penerus dan perubah pada sebuah bangsa, sebagaimana yang dikatakan oleh bapak proklamator Indonesia, Soekarno “beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Sebaris kalimat ini mengisyaratkan sebuah arti penting mengenai peranan pemuda dalam pembangunan bangsa. Usia muda diibaratkan sebagai periode emas dalam tumbuh kembang manusia, dimana pada periode ini manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk dikembangkan dan dilatih jika dibandingkan dengan usia anakanak dan lansia. Begitu pula di Indonesia, pemuda memiliki peranan yang besar dalam menggerakan pembangunan bangsa, salah satunya dalam bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi,pemuda memiliki peranan yang besar dalam menggerakan sektor usaha khususnya dalam industry kreatif. Berikut ini ada beberapa contoh kota yang mulai bergeliat untuk menggembangkan industry kreatif, diantaranya : 1. Kota Surakarta (Kota Kreatif Berbasis Desain) Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Solo adalah salah satu kota yang telah dicanangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai kota kreatif di Indonesia dengan kategori kota desain. Potensi yang dimiliki oleh Kota Solo dari sektor industry kreatifnya adalah furniture ukir, 53 2. Kota Cimahi (Kota Kreatif Berbasis Animasi) Kota lain yang memiliki keunggulan dalam pembanguanan kota kreatif adalah kota Cimahi. Pesatnya pertumbuhan industri animasi di Cimahi mengantarkan kota Cimahi sebagai salah satu kota kreatif yang berbasis animasi di Indonesia. Di tahun 2005, kota itu menginisiasikan diri sebagai kota cyber. Lantas riset terus dilakukan oleh pemerintah kota hingga mendapatkan hasil Cimahi sebagai kota yang aktif berkreasi di bidang digital pada 2009. Untuk mendukung upaya tersebut maka pada tahun 2009 dibentuklah perkumpulah komunitas animasi yaitu yang dikenal dengan Cimahi Creative Association (CCA). Keseriusan Pemerintah Kota Cimahi mendukung program itu ditandai dengan ukiran kaca, kulit, keris dan batik tulis. Tingginya perkembangan industri kreatif di Solo mampu menyerap tenaga kerja dengan rata-rata 5,4 juta pertahun, dimana hal ini diikuti dengan peningkatan pertumbuhan industry kreatif sekitar 7% setiap tahunnya. Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan Solo sebagai Kota MICE (meeting,incenti ve,convention,exhibition) akan bersinergi dengan pembangunan ekonomi kreatif. Program MICE seharusnya diikuti dengan pertumbuhan industri kreatif sehingga multiplier efect dan spillover efect dari MICE dapat ditangkap dengan produk barang/ jasa industri kreatif sehingga secara nyata perekonomian dapat bertumbuh dan pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Solo meningkat. 26. Penyusunan Ekonomi Kreatif Kota Surakarta, 2013 54 Contoh karya Film animasi “Keluarga Somat” produksi studio dreamToon yg berlokasi di cimahi. dibangunnya gedung yang menjadi markas CCA dengan nama Gedung Baros Information Technology and Creative Center (BITC). Saat ini produksi animasi dari Kota Cimahi sudah mulai dilirik oleh industri hiburan dalam negaeri maupun luar negeri salah satu rumah produksi animasi di Cimahi adalah Dreamtoon. Selain itu untuk mendukung pertumbuhan animasi di kota Cimahi diadakanlah pameran Baros International Animasi Festival (BIAF), kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan kota Cimahi sebagai kota kreatif animasi di Indonesia dan juga dunia internasional. Pada pameran BIAF yang diselengarakan pada tahun 2013 Pemerintah Kota Cimahi bekerja sama dengan Cimahi Creative Association (CCA) menyelenggarakan Pameran Animasi Internasional dengan mengundang semua elemen yang bergerak di bidang animasi termasuk mengundang para pelaku studio animasi di Indonesia, production house, investor baik dari dalam maupun luar negeri, pemangku kebijakan, dan juga masyarakat yang mempunyai minat besar terhadap animasi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), menjadikan Cimahi masuk kedalam bagian rencana nasional dalam mengembangkan industri kreatif berbasis animasi. Rencananya pada 6-9 November 2014 akan diselenggarakan untuk kedua kalinya. Kali ini Belanda, Filipina, Singapura, Iran, Korea, dan Jepang akan ikut serta. jaringan iber optik yang menghubungkan Struktur Organisasi Perangkat Daerah (SOPD), seperi kabupaten, kelurahan, dan pusat pelayanan kesehatan. Masing-masing SOPD itu terhubung oleh satu data center yang menyimpan data seluruh aktivitas SOPD. Kota Cimahi juga sedang mengembangkan 44 buah aplikasi internet untuk menunjang e-government. Terobosan lainnya yang dilakukan adalah terkait digitalisasi kota Cimahi antara lain pengadaan Citizen Cyber Card, yang memudahkan warga kota Cimahi untuk mengurus persoalan kependudukan dan pelayanan kesehatan. 3. Kota Yogyakarta (Kota Berbasis Kerajinan) Kota kreatif lainnya yang memberikan kontribusi nyata terhadap penyerapan tenaga kerja usia muda ke dalam industri kreatif adalah kota Yogyakarta. Berdasarkan data dari Jogja Digital Valley (JDV) tahun 2014 terungkap bahwa, 90,75% penggerak industri kreatif digital di Jojga adalah pemuda (usia sampai 35 tahun) dengan latar belakang pendidikan mayoritas adalah Strata-1 (60,30%). Gambaran ini menjadikan pengelola kota terstimulus untuk menangkap peluang dengan menyiapkan dan meningkatkan sarana dan prasarana kotanya menuju kota kreatif. Dukungan pemerintah Kota Cimahi terhadap pengembangan animasi selain pembangunan gedung Baros Information Technology and Creative (BITC), pemerintah juga memberikan bantuan untuk pelatihan. Selain itu pemerintah Kota Cimahi telah mengalokasikan 2% dari total belanja daerah kami untuk sektor teknologi, informasi, dan komunikasi. Untuk mendukung terbentuknya kota cyber maka Cimahi telah menerapkan 55 Kota Yogyakarta sejak lama telah erat disebut sebagai salah satu kota Budaya di Indonesia. Menariknya, industri kreatif berkembang secara cepat di Yogyakarta. Ini dikarenakan mudahnya akses, banyak tenaga kerja muda terdidik dengan spesialisasi industri kreatif, banyak lembaga- lembaga pendidikan terkait dengan industri kreatif, dan banyaknya komunitas di berbagai bidang kreatif. Yogyakarta memiliki banyak seniman ternama baik di tingkat nasional maupun di luar negeri. Potensi industri kota kreatif di Yogyakarta diantaranya : Fashion, kerajian, ilm dan animasi, kuliner, pariwisata. Kalangan muda utamanya para mahasiswa, banyak yang tertarik dan antusias dengan industri kreatif. Oleh karenanya, pemerintah daerah sangat mendukung dan menfasilitasi mereka untuk berkembang. Tentunya ini akan menjadikan Yogyakarta sebagai kota persemaian untuk para wiraswasta muda. Adapun kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan kota kreatif : a. Melakukan pemetaan terkait ekonomi kreatif b. Penyediaan ruang kreatif berupa taman Budaya Yogyakarta, Malioboro dan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri c. Menyelenggarakan event tahunan seperti Festival Film Pelajar Yogyakarta, JOgja Asian Film Festival, the Jogja International Performing Arts Festival, The Parade Clothing Exhibition. Sebagaimana yang dilansir dalam laman Jogja Invest, berikut beberapa peluang untuk industri kreatif yang ada di Kota Yogyakarta27 : a. Fesyen. Yogyakarta mempunyai lebih dari 400 macam corak batik, dan batik adalah komoditas ekspor (dalam nilai) utama dari Yogyakarta. b. Kerajinan. Kerajinan yang terkenal dari Yogyakarta seperti a.l. kerajinan kayu dari Desa Kerebet; kerajinan keramik dari Desa Kasongan; kerajinan kulit dari Desa Manding; dan kerajinan perak dari Desa Kotagede. c. Perangkat Lunak. Hal ini meliputi industri animasi dan games. d. Film. Yogyakarta dikenal baik sebagai lokasi untuk pengambilan gambar ilm baik untuk ilm nasional ataupun internasional. Hal ini disamping karena lokasinya yang unik dan indah, juga karena banyak sineas andal dari Yogyakarta. e. Kuliner. Bisnis kuliner di Yogyakarta tumbuh pesat baik kuliner khas Yogyakarta seperti Gudeg, juga kuliner yang berasal dari berbagai daerah lain baik dari dalam maupun luar negeri. Selain kuliner tradisional di Yogyakarta berkembang pula kuliner-kuliner hasil inovasi kreatif seperti makanan unik dari ketela yang diolah sedemikian rupa menjadi makanan yang bernuansa modern, seperti brownies tela, coklat tela, es krim tela, dan lain-lain. f. 27. http://www.jogjainvest.jogjaprov.go.id/id/mengapa-yogyakarta/keunggulan-kami 56 Film dan Animasi, Industri yang meroket. Yogyakarta memiliki sejumlah animator kelas dunia yang berjumlah sekitar 100 orang. Selain itu Yogyakarta juga memiliki tidak kurang dari 20 studio animasi. Kualitas produk ilm dan animasi yang diproduksi telah diakui oleh komunitas internasional. Bahkan terdapat direktur ilm Hollywood yang mempercayakan produksi ilm animasinya di Yogyakarta. Yogyakarta juga merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang dipercaya oleh GAMELOFT, sebuah perusahaan animasi internasional sebagai tempat untuk mendirikan salah satu dari 12 cabang internasionalnya. g. Perdagangan dan UKM. Varian andalan produk ekspor DIY meliputi produk olahan kulit, tekstil dan kayu. Pakaian jadi tekstil dan mebel kayu merupakan produk yang mempunyai nilai ekspor tertinggi. Namun demikian secara umum ekspor ke mancanegara didominasi oleh produk-produk yang dihasilkan dengan nilai seni dan kreatiitas tinggi yang padat karya (labor Program pembangunan intensive). dalam mengembangkan koperasi dan UKM di DIY, salah satunya adalah memberdayakan usaha mikro dan kecil dan menengah yang disinergikan dengan kebijakan program dari pemerintah pusat. Salah satu upaya pembinaan UKM adalah melalui kelompok (sentra) karena upaya ini lebih efektif dan eisien, di samping itu dengan sentra akan banyak melibatkan usaha mikro dan kecil. Pada 2010 tercatat sebanyak 1.926 koperasi aktif dan 13.998 unit usaha UKM. Adapun langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah kota untuk mendukung terlaksananya pengembangan kota kreatif di Indonesia, terutama terkait pembinaan pemuda untuk terlibat aktif menghidupkan industri kreatif di perkotaan, yaitu : 1. Membuat skema potensi kota yang terstruktur untuk menggembangkan kota kreatif di Indonesia. Pengimplementasian kota kreatif tidak serta merta dapat dilakukan, tetapi memerlukan justiikasi terlebih dahulu terhadap karakteristik wilayah atau kawasan perkotaan yang akan direncanakan. 2. Ikut sertanya pemerintah dalam penyediaan pendidikan non-formal seperti kursus bahasa asing, kursus kesenian, dan kursus keterampilan lainnya. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia terutama penduduk usia muda. Selama ini pendidikan non formal masih dinilai sebagai pendidikan tambahan bagi masyarakat dan dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sekolah non formal cukup tinggi maka hanya masyarakat yang berpendapatan tinggi dan tinggal di kawasan perkotaan saja yang mampu mengakses pendidikan non formal tersebut. 3. Peningkatan pemberdayaan sekolah berbasis kejuruan seperti SMK, STM maupun vokasi. Sekolah berbasis kejuruan tersebut diharapkan mampu mencetak lulusan yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik sehingga lebih siap untuk masuk ke pasar kerja. Hal di atas perlu diupayakan, agar jangan sampai belum terakomodasinya potensi pemuda dalam pembangunan perkotaan memunculkan perilaku menyimpang di kalangan muda, seperti : penyalahgunaan narkoba dan meningkatnya tingkat kejahatan. Pada tahun 1998, lebih dari 40 % pasien muda berusia di antara 20-24 tahun yang rawat inap mempunyai masalah dengan narkoba. 57 Kelompok usia sekolah menengah atas menunjukkan derajat penyalahgunaan obat yang signiikan (lebih dari 30 %) sejak 1995. Adapun hasil estimasi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan BNN (Badan Narkotika Nasional) menyebutkan bahwa penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2011 untuk usia 10 tahun sampai dengan 59 tahun sebanyak 2,2% dari total penduduk yaitu berjumlah 3,8 juta. Sedangkan data residen UPT terapi dan rehabilitasi dapat dilihat pada graik di bawah ini. Graik 7. Data Residen UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN Tahun 2011. Sumber : UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN,Maret 2012 Masalah lainnya yang menjadi menjadi fokus perhatian adalah semakin meningkatnya angka penderita HIV Aids di Indonesia. Sebagaimana yang dilansir oleh Direktorat Jenderal PP dan PL kementerian Kesehatan pada tahun 2012, dimana jumlah penderita Aids untuk laki-laki sebanyak 20.333 jiwa sedangkan untuk perempuan sebanyak 8122 jiwa28. Melihat data tersebut maka dapat diindikasikan sebagai suatu peringatan bahwa hal ini merupakan dampak pengangguran di kalangan kaum muda. Jika orang muda yang tidak bekerja tidak dapat mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat, mereka bisa jatuh ke perilaku yang menyimpang. Pentingnya menyiapkan pemuda sebagai kader bangsa sudah disadari oleh para pemimpin bangsa, karena itu kementerian yang mengurus kepemudaan telah ada sejak tahun 1946 dan bahkan kehadiran organisasi pemuda telah hadir sejak zaman kolonial sejak awal abad ke 20 . Kini , dalam kehidupan yang lebih demokratis muncul berbagai komunitas /gerakan yang dilakukan oleh anak-anak muda di Indonesia dalam berbagai bidang. Ada perkumpulan hobi seperti fotograi, seni tari , olahraga, tetapi juga komunitas berbasis sosial, lingkungan, gerakan dalam bidang kewirausahaan dan masih banyak lagi. 28. Butar Butar, Darwis. 2012.Kondisi Narkoba di Indonesia Pada Akhir Tahun 2011. BNN. 58 Beberapa dari komunitas pemuda ini mampu memberikan kontribusi secara nyata terhadap masyarakat seperti misalnya: Komunitas 1001 buku yang mengelola perpustakaan untuk anak- anak, komunitas Indonesia Mengajar yang mengisi kekurangan guru SD; Akademi Berbagi gerakan sosial nirlaba yang bertujuan untuk berbagi pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang bisa diaplikasikan langsung sehingga para peserta bisa meningkatkan kompetensi di bidang yang telah dipilihnya; Card to Post merupakan gerakan yang mengajak masyarakat terutama kaum muda untuk menjadi kreatif dengan membuat kartu pos untuk menyampaikan sebuah pesan; Diet Kantong Plastik, gerakan ini mengkampanyekan secara nasional ajakan kepada masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik; Indonesia bercerita adalah suatu gerakan yang muncul dari insiatif mempromosikan dan memberikan upaya mendidik melalui cerita; Indonesia berkebun komunitas yang bergerak melalui media jejaring sosial yang bertujuan untuk menyebarkan semangat positif untuk lebih peduli kepada lingkungan dan perkotaan dengan program urban farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif hijau yang dilakukan oleh peran masyarakat dan komunitas sekitar serta memberikan manfaat bagi mereka. Pencerah Nusantara adalah gerakan untuk melakukan perubahan pola pikir dalam masyarakat. Indonesian Future Leaders adalah lembaga swadaya masyarakat yang digagas oleh kaum muda dengan tujuan sebagai wadah untuk menampung gagasan dan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi langsung bagi masyarakat. Sahabat Pulau adalah organisasi nirlaba yang digerakkan oleh pemuda untuk menginisiasi aksi proyek berkelanjutan untuk membantu kelanjutan pendidikan anak-anak Indonesia terutama yang berada di berbagai pulau terpencil di Indonesia. Save Street Child adalah komunitas skala nasional yang berupaya menjadi wadah penggerak yang peduli terhadap anak-anak jalanan. Transformasi Hijau adalah komunitas relawan yang bergerak pada isu pendidikan lingkungan dengan mendorong para generasi muda untuk melestarikan lingkungan. Dan masih banyak lagi gerakan kaum muda yang kreatif konstruktif yang terus tumbuh tanpa hambatan eksternal yang berarti. Gambar 10. Indonesia Mengajar di Halmahera Selatan (Sumber : Riangga Sudjatmiko, 2014) 59 Adalah menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga dan menjamin keberlanjutan perkembangan inisiatif kaum muda tersebut. Kehidupan demokrasi yang menjadi lebih berkembang di Indonesia juga telah memunculkan kepala daerah muda, yang mendorong dan mengakomodasikan prakarsa kaum muda tersebut. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, ada tantangan lain yang akan dihadapi terkait dengan pemenuhan kebutuhan penduduk usia muda Indonesia ke depannya diantaranya adalah : 1. Peningkatan efektiftiitas pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun yang telah dicanangkan sejak tahun 2013, 60 dengan program ini diharapkan akan mampu menekan jumlah anak putus sekolah dan meningkatkan jumlah partisipasi sekolah sampai tingkat pendidikan menengah atas. 2. Penyediaan fasilitas sarana prasarana pendidikan yang berbasis teknologi. Dengan perubahan gaya hidup saat ini dengan teknologi yang menjadi bagian tidak terpisahkan lagi, karena itu untuk menciptakan generasi muda yang memiliki daya saing, maka penting bagi pemerintah untuk menyediakan pendidikan berbasis teknologi. ‘Pemuda Perkotaan & Kekuatan Menggerakan Masa untuk Lingkungan Hidup’ Indonesia Berkebun adalah komunitas yang bergerak melalui media jejaring sosial (baik itu twitter, facebook, dll) yang bertujuan untuk menyebarkan semangat positif untuk lebih peduli kepada lingkungan dan perkotaan dengan program urban farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang diubah menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif yang dilakukan oleh peran masyarakat sekitar. Dengan semangat ini sekarang Indonesia Berkebun sudah berkembang dan menularkan semangat di lebih dari 32 kota dan 9 kampus di Indonesia (kota-kota dan kampus-kampus yang bergabung di dalam jejaring Indonesia Berkebun) dengan visi dan tujuan yang sama. Awal mula terbentuknya komunitas Indonesia berkebun adalah pada tahun 2010, yang digagas oleh Ridwan Kamil melalui peran yang intensif dari sosial media. Awalnya kegiatan pada komunitas Indonesia Berkebun dimulai dengan Jakarta Berkebun, tepatnya di daerah Kemayoran, tepatnya lokasi properti Spring Hill. Saat itu Ridwan Kamil sedang melakukan kerja sama dengan pengembang properti tersebut, dan bermaksud memanfaatkan lahan kosong yang ada di sekitar lokasi properti yang juga dimiliki oleh pengembang untuk dijadikan areal berkebun. Luas lahan yang akan dimanfaatkan berkebun saat itu sekitar 10.500 m2. Kegiatan di lahan ini dilakukan dengan mengundang masyarakat sekitar untuk turut berkebun, dan juga masyarakat kota Jakarta. Rencana ini kemudian disuarakan melalui media sosial (twitter, facebook, dll), sehingga kelompok masyarakat yang dibayangkan terlibat adalah penduduk sekitar dan para pengguna media sosial. Kegiatan mengundang masyarakat ini dilakukan pada masa panen pertama, tepatnya 20 Februari 2011, yang sekaligus ditetapkan sebagai awal berdirinya komunitas indonesia berkebun. Kegiatan berkebun di Spring Hill berakhir pada tahun 2012, hal ini dikarenakan pada tahun 2012 lahan kosong akan mulai dibangun hotel. Kesepakatan penggunaan lahan dilakukan secara informal oleh pihak pengembang dan pengelola komunitas. 61 62 Sebagai review singkat dari kegiatan perdana ini, media sosial memiliki daya sebarluas informasi yang tinggi, hal ini ditandai dengan capaian 80.000 pengikut jejaring komunitas ini sejak kegiatan perdana. Potensi ini ditambah dengan akses informasi di perkotaan yang semakin tinggi, dan respon cepat para pengguna media sosial untuk turut berkabar tentang kegiatan ini, yang otomatis memberi brand kuat dan positif pada komunitas ini, sebagai komunitas pemuda perkotaan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dan masyarakat sekitar. Konsep yang dicanangkan Indonesia Berkebun dalam kegiatannya adalah 3E, yaitu Ekologi, Edukasi, dan Ekonomi. Dengan asumsi bahwa, dengan menanam maka akan melindungi lahan agar tidak rusak, memberikan pengetahuan kepada masyarakat, sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat (setidaknya mengurangi belanja untuk kebutuhan sayuran), dan lebih lanjut diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Di Jakarta, kegiatan komunitas ini banyak bekerjasama dengan para pengembang, seperti Bumi Pesanggrahan Mas, Casa Goya, dsb. Saat ini, di tengah kebijakan terkait green building dan green city, maka komunitas ini mendapatkan banyak tawaran dari para pengembang untuk mengelola lahan kosong yang dimiliki pengembang. Pada dasarnya, hal ini memberikan manfaat antara komunitas berkebun maupun pengembang sendiri, karena masyarakat dapat menggarap kebun dan menikmati hasilnya dan pengembang mendapat image memperhatikan lingkungan sekaligus mendekatkan pengembangan dengan masyarakat sekitar. Namun, para penggiat tetap merasa perlu mempertimbangkan kesungguhan pengembang dalam berbagai tawaran yang menghampiri komunitas ini. Keterlibatan pemuda dalam kegiatan ini awalnya dapat dikatakan sekedar turut berpartisipasi dan menunjukan keberadaannya dalam komunitas yang digagas via media sosial. Namun, seiring perkembangannya, komunitas ini berfungsi sebagai wadah berkumpul, bersosialisasi, mengembangkan diri dan menambah pengetahuan bercocok tanam bagi masyarakat berbagai usia, meskipun komunitas ini di dominasi oleh kawula muda dengan kisaran usia 18-35 tahun. Melalui sebuah kegiatan ‘penilaian komunitas yang berguna di masyarakat’, Indonesia berkebun pernah menjadi inalis, dan dipertemukan dengan komunitas Akademi Berkebun. Akademi berkebun ini merupakan wadah edukasi berkebun, yang kemudian bersinergi dengan kegiatan Indonesia Berkebun dengan maksud mengoptimalisasikan kegiatan berkebun dengan meningkatkan pengetahuan tentang tata cara berkebun. Akademi Berkebun dilakukan 2 kali dalam 1 bulan untuk anggota komunitas Indonesia Berkebun, dengan biaya sekitar Rp. 30.000- Rp.60.000/orang untuk konsumsi. Kegiatan Akademi Berkebun ini berjalan dengan jejaring Indonesia Berkebun di wilayah BSD, Provinsi Banten. Selain dengan komunitas yang sejalan. Indonesia Berkebun juga pernah bekerjasama dengan berbagai unsur Pemerintah, diantaranya Kementerian Pekerjaan Umum, yaitu dalam Program Hidden Park yang dilakukan di 3 taman di Kota Jakarta, yaitu Taman Langsat, Taman Tebet, dan Taman Tanjung. Program ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan keberadaan taman publik yang ada disekitar mereka, melalui berbagai kegiatan yang membuat taman lebih hidup dan ramai dikunjungi, diantaranya dengan kegiatan seperti Sunday Food Market, Pertunjukan Musik, dsb. 63 Selain itu, kerjasama dengan Pemerintah Daerah juga terjalin pada beberapa kota, diantaranya dukungan penyediaan lahan kosong untuk kegiatan berkebun di Kota Solo, pengembangan kegiatan berkebun yang dilanjutkan menjadi Program Kota Hijau di Kota Batam, dan dukungan langsung Pemerintah Kota terhadap kegiatan komunitas ini di Kota Surabaya. Secara reguler, setiap tahun Indonesia Berkebun melakukan pertemuan atau Konferensi Nasional dengan mengundang jejaringnya di seluruh indonesia. Kegiatan ini dimulai pada tahun 2012 di Kota Solo, kemudian pada tahun 2013 di Pulau Bali dan tahun 2014 rencananya akan dilakukan di Kota Makassar. Umumnya konferensi dilakukan untuk bertukar informasi dan perkembangan yang telah dilakukan antar jejaring, dan membahas rencana kedepan. Saat ini, Indonesia berkebun telah memiliki 41 jejaring komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia, terdiri dari 32 kota dan 9 Universitas. Sementara itu, tantangan yang dihadapi oleh Komunitas ini ke depan adalah : a. Pengelolaan atas tawaran-tawaran kerjasama berkebun dari berbagai pihak. Dalam hal ini, co-inisiator yang merupakan pengelola komunitas ini mengalami kesulitan karena umumnya kegiatan ini dilakukan disela kegiatan utamanya atau di akhir pekan, b. Keterikatan keanggotaan yang leksibel menyebabkan anggota sering kali datang dan pergi, sementara itu pembinaan atau regenerasi masih kurang dilakukan, c. Dengan kondisi komunitas Indonesia Berkebun yang belum berbadan hukum (Yayasan/Badan), sehingga secara umum belum dapat mengumpulkan dana untuk kesinambungan kegiatan, namun masih berupa sumbangan sukarela dari 64 para penggiat. Namun, proses ke arah ini perlu persiapan yang cukup, mengingat komunitas ini berorientasi non-proit dan berkembang dari forum dunia maya yang secara umum memiliki ragam pemerhati dengan berbagai pemikirannya. Sampai saat ini hal-hal di atas dapat dikatakan sebagai program dari komunitas ini, namun selebihnya merupakan inisiatif spontan dari anggota komunitas yang mengalir dalam proses perkembangan komunitas ini. Selain itu, jejaring yang tergabung dalam Indonesia Berkebun juga seringkali mengikutsertakan komunitas ini dalam penilaian atau award terkait kegiatan pemuda dan lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun internasional. Untuk merintis kegiatan berkebun melalui jejaring ini, berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan : - mempunyai visi dan misi yang sama jejaring Indonesia Berkebun lainnya, http://indonesiaberkebun.org/ start-a-new-network, - Perintis yang akan menjadi penggiat pada jejaring baru, minimal memiliki 5 sumberdaya manusia, - Sudah melihat dan memahami konsep dan visi Indoneisa Berkebun, - Sudah mendapatkan lahan yang akan dimanfaatkan oleh teman-teman jejaring komunitas dan warganya di daerah perkotaan (bukan area pedesaan) atau kampusnya yang sudah siap untuk diproduktifkan (sudah disiapkan untuk ditanam). Luas lahan adalah bebas, - Sudah membuat akun media sosial untuk sosialisasi dan komunikasi jejaring komunitas dan warga kota/kampusnya. Ketentuan logo di atur oleh Indonesia Berkebun, - - Memiliki draft rencana untuk melaksanakan kegiatan #TanamPerdana dan diikuti #PanenPerdana dengan mengajak seluruh warga kota/kampus (tidak hanya penggiat jejaring komunitas saja), sebaiknya juga mengajak pihakpihak yang berkepentingan seperti pemerintah/pihak kampus setempat, pihak swasta/donatur dan juga mengundang media lokal setempat, Bukti-bukti kegiatan #TanamPerdana dan #PanenPerdana dengan seluruh warga disosialisasikan melalu media sosial (Twitter) dan dimention ke akun twitter @IDberkebun beserta fotofoto, - Kesungguhan dan komitmen dari seluruh penggiat di kota/kampus masing-masing untuk membuat dan melakukan kegiatan komunitas di kotanya secara berkelanjutan (lestari), tidak hanya membuat satu atau dua kegiatan kemudian tidak berlanjut. Jika telah memahami dan siap untuk melaksanakan kegiatan #TanamPerdana, perwakilan atau contact person dari jejaring komunitas bisa menghubungi Indonesia Berkebun kembali untuk komunikasi yang lebih intensif melalui Public Relation Indonesia Berkebun. Gambar 11 & 12. Berbagai kegiatan Indonesia Berkebun di Jakarta (Kiri ke Kanan). (Sumber : Sigit Kusumawijaya | @SIG_architect, arsitek dan inisiator Indonesia Berkebun, 2011) 65 4. Respon terhadap Kebutuhan Usia Lanjut Struktur penduduk usia lanjut merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian pembangunan manusia. Hal ini karena kehidupan penduduk usia lanjut mencerminkan perbaikan kualitas kesehatan dan kondisi sosial masyarakat. Setiap negara memiliki budaya yang berbeda dalam memperlakukan individu lanjut usia. Di Indonesia lansia sangat dihormati, hal ini dikarenakan budaya indonesia yang masih ketimuran. Dalam budaya Jawa sendiri peran lansia dinyatakan dalam 3 ur : a. Tutur : Pengetahuan. Orang lansia digambarkan sebagai orang yang penuh dengan pengetahuan dan tahu segala macam asam garam kehidupan b. Wuwur : Uang. Mereka yang sudah lansia tidak lagi memperhitungkan masalah uang.Uang bagi mereka hanya sebagai sarana bukan tuuan yang harus dicari. Aktualisasi diri sebagai lansia ang arif bijaksana itu menjadi harapan mereka. c. Sembur : Moral. Dengan banyak kejadian yang telah dialami mereka, banyak cerita moral yang bisa dipetik serta dibagikan kepada kaum muda. Mereka adalah gudang pengalaman moral. Selain itu norma dan nilai sosial di Indonesia memiliki nilai tradisional kuat yang masih menempatkan lansia pada kependudukan yang lebih tinggi, sebagai sumber nasehat dan restu, sangat dihormati dalam upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari.29 Dengan demikian gambaran lansia adalah golongan masyarakat yang sangat dipandang tinggi di masyarakat, namun tidak produktif secara ekonomi. 29 . Anonim, 2011. Nasib Lansia di Indonesia. Diunduh http://sosbud.kompasiana.com/2011/11/30/nasib-lansia-di-indonesia-414783.html 66 Di Indonesia masih memegang budaya untuk mengurus lansia bersama keluarga. Hal ini jelas memberikan dampak positif kepada perkembangan lansia, karena keluarga dapat memberikan efek positif dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Meirina (2011), yang menyebutkan bahwa perhatian lansia terhadap nutrisi yang mereka konsumsi masih kurang, karakter lansia dengan gaya hidup yang kurang baik disebabkan dari lingkungan lansia yang kurang baik. Oleh karena itu, dukungan emosional keluarga sangat berkontribusi terhadap pemenuhan nutrisi lansia, dukungan emosional dibutuhkan oleh lansia disebabkan karena lansia mengalami kemunduran isik dan psikologis. Selain itu, keluarga dapat memberikan dukungan penghargaan kepada lansia, sehingga lansia merasa diperhatikan baik nutrisi atau posisinya sebagai anggota keluarga. Dengan kebutuhan nutrisi yang baik maka akan berdampak pada kondisi isik lansia yang lebih baik dan dapat lebih produktif.21 Peran keluarga tidak hanya untuk memberikan nutrisi yang baik pada lansia, tetapi juga dapat mendukung lansia untuk mencapai successful aging. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Unversitas Indonesia, yang menyebutkan karakteristik khusus lansia yang terdapat pada lansia yang mencapai successful aging yaitu adanya rasa terpenuhi (sense of fulilment) artinya kehidupan seseorang tidak harus berhasil dalam segala hal, yang terpenting adalah bagaimana bisa menyesuaikan diri dengan menerima dan merasa puas akan keadaan dirinya baik kelebihan maupun kekurangannya. Hal ini juga didukungan karena kondisi lingkungan, lingkungan meliputi lingkungan keluarga dan sosial. Keluarga yang penuh kasih, hubungan yang baik antara anak dan orang tua, dan pola asuh yang demokratis, membuat individu merasa diterima dan dicintai. Selain itu penanaman nilai dan moral sejak dini seperti kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, serta pola hidup sehat dan semangat beraktiitas akan memberikan perkembangan lansia mencapai successful aging.30 Sementara jika dilihat lansia yang tinggal tidak bersama dengan keluarga atau di panti werdha ternyata berdampak pada kondisi isik dan kesehatan, serta cenderung meningkatkan depresi. Berdasarkan hasil penelitian, lansia yang tinggal di panti werdha merupakan pilihan terakhir karena mereka kesepian di rumah, orang terdekat seperti anak atau pasangan sibuk bekerja di luar rumah. Selain itu, karena tidak ada pekerjaan atau aktivitas yang bisa dilakukan Gambar 13. Aktivitas Lansia Sumber: (atas) http://dimaslambe.wordpress.com/; (bawah) http://www.komnaslansia.or.id/ 30. Meirina. 2011. Hubungan Dukungan Keluarga, Karakteristik Keluarga dan Lansia dengan Pemenuhan Nutrisi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskemas Bogor Selatan. Tesis Program Studi Magister Ilmu Keperawatan. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia. Depok 67 untuk tetap menjaga mereka agar tetap aktif.31 Dalam penelitian lain disebutkan pula, bahwa masa lansia bukan berarti masa tidak produktif, masih ada kebutuhan yang tinggi untuk mereka mengaktualisasi diri. Namun, di dalam panti werdha para lansia memiliki mobilitas yang rendah dan rendahnya dorongan untuk mengaktualisasikan diri, meskipun di li ngkungan tersebut lansia merasa aman.32 Namun, jika dilihat dari perkembangan jaman yang menuntut kebutuhan hidup yang tinggi, norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat tentang cara pandang terhadap lansia mulai luntur dan bergeser dengan upaya memberdayakan lansia sesuai dengan potensi dan kemampuannya, diantaranya melalui kebijakan Pemerintah terkait perubahan usia pensiun pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia, pada jabatan administratif dari 56 tahun menjadi 58 tahun, dan pada jabatan fungsional usia dari 60 tahun dan 65 tahun. Pada faktanya, saat ini kondisi lansia di perkotaan lebih berpendidikan, sehat, dan terpapar informasi. Banyak yang masih bekerja, menggunakan gadget yang dapat memperluas hubungan dengan dunia luar, dengan anak dan kerabat yang tinggal di tempat lain. Dengan adanya Teknologi Informasi (TI) memungkinkan warga lansia mencari informasi berbagai hidup sehat meski kendala penyakit degenerasi, mencari tempat pelayanan kesehatan yang diperlukan. Dengan demikian, pemerintah harus dapat memfasilitasi warga lansia yang masih ingin berkegiatan, dan memberdayakan keluarga serta masyarakat peduli. Selain itu, pada usia pra-lansia sebaiknya setiap individu dipersiapkan untuk menghadapi masa lansia dengan tetap sehat, produktif dan potensial. Jika tercapai hal ini, maka Indonesia akan mencapai bonus demograi kedua yang dikontribusikan oleh lansia.33 31. Chotimah, Husnul. 2000. Analisis Perkembangan Lansia yang Mencapai Successful Aging Menurut Teori Psikososial Erikson. Skripsi Fakultas Psikologis Universitas Indonesia. Depok 32. Indriani,Novie. 2012. Perbedaan Kepuasaan Hidup Lansia Dini yang Tinggal Bersama Anak, Mandiri, dan di Panti Werdha. Skripsi Fakultas Psikologis Universitas Indonesia. Depok 33. Moertiningsih, Sri. 2014. Rekayasa Demograi Masa Depan. Koran Kompas 29 September 2014. Jakarta 68 Aktiitas lansia di perkotaan 69 Pada dasarnya terkait kesejahteraan lansia, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundangan terkait lansia diantaranya Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Keputusan Presiden No. 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lanjut Usia, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 60 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Komisi Daerah Lanjut Usia dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanganan Lanjut Usia di Daerah. Menurut data statistik BPS, pada tahun 1970 populasi penduduk lansia berjumlah 53 juta jiwa (4,48% dari total penduduk), pada tahun 1990 meningkat menjadi 12,7 juta jiwa (6,29%), tahun 2010 berjumlah 23 juta jiwa (10%), tren tersebut umumnya diikuti dengan fenomena tingginya angka harapan hidup lansia perempuan dibandingkan lakilaki. Sedangkan jika dilihat dari wilayah tempat tinggal, persentase penduduk lansia lebih banyak berada di wilayah perdesaan dibandingkan perkotaan, yakni masing-masing 9,32% dan 7,27% (Susenas, 2012). Sementara itu, berdasarkan Hasil Sensus Penduduk dari periode 1970-2010, Penduduk lansia perkotaan pada tahun 1970 sekitar 3% dan di pedesaan 4,64%, angka ini memiliki kecenderungan terus meningkat setiap 10 tahun. (lihat graik di bawah ini). Graik 8. Persentase Komposisi Lansia di Wilayah Perkotaan dan Perdesaan. Sumber : Sensus Penduduk 1970, 1980, 1990, 2000, dan 2010 70 Namun, secara umum BPS (2012) menyebutkan bahwa 59,12 % lansia di Indonesia tergolong miskin, dan merupakan 27% dari total penduduk miskin, dengan rata-rata pendidikan lansia Sekolah Dasar, dan tanpa pekerjaan tetap. Sementara itu, terdapat 11 provinsi yang penduduk lansianya sudah lebih dari 7%, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (14,04%), Jawa Tengah (11,16%), Jawa Timur (11,14%), Bali (11,02%), Sulawesi Selatan (9,05%), Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan 5 (lima) provinsi dengan persentase lansia terendah adalah: Papua (2,15 persen); Papua Barat (2,92 persen), Kepulauan Riau (3,78 persen), Kalimantan Timur (4,53 persen), dan Riau (4,86 persen). Penduduk lansia yang termasuk dalam angkatan kerja merupakan lansia potensial. Lansia potensial banyak ditemukan di negara berkembang dan negara yang belum memiliki tunjangan sosial untuk hari tua, karena mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2011, hampir separuh (45,41%) lansia di Indonesia memiliki kegiatan utama bekerja (lansia potensial) dan sebesar 28,69% mengurus rumah tangga, kemudian 1,67% termasuk menganggur/mencari kerja, dan kegiatan lainnya sekitar 24,24%. Kondisi ini diikuti dengan fakta bahwa, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada lansia lakilaki lebih tinggi (72,26%) dibandingkan perempuan yang hanya mencapai 37,83%. Masih berdasarkan data Sakernas (2011), sektor pertanian masih menjadi tumpuan sebagian besar pekerja lansia (60,92%), kemudian sektor jasa (28,80%), dan sektor industri (10,28%). Sedangkan bila ditinjau menurut tipe daerah, persentase lansia yang bekerja di daerah perkotaan (51,46%) lebih tinggi dibandingkan lansia perdesaan (38,99%). Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh jenis pekerjaan di perdesaan bersifat informal yang umumnya dapat dipenuhi oleh penduduk lansia. Saat ini, di Indonesia derajat kesehatan penduduk Lansia masih tergolong rendah, hal ini ditunjukan dengan prosentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan cenderung naik, tahun 2003 mencapai 48,95%, dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 54,25%. Angka kesakitan juga cenderung naik dari 28, 48 % pada tahun 2003 menjadi 31,11% ditahun 2005. Kondisi tersebut diikuti dengan angka keterlantaran penduduk Lansia masih cukup tinggi, pada tahun 2006 terdata ada sekitar 2,7 juta lansia terlantar (15% dari total penduduk Lansia) yang memerlukan perhatian dan jaminan sosial (Komnas Lansia, 2007). Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 138 menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi lansia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produkti. Maka, pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lansia untuk bisa tetap hidup mandiri, produktif secara sosial dan ekonomi. Namun, hal yang masih sulit diwujudkan adalah pemerataan pelayanan seluruh kota, baik kota besar, sedang, maupun kecil. Di Indonesia pelayanan kesehatan dan sosial bagi lanjut usia dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Masing-masing kementerian tersebut memiliki berbagai program pendukung bagai kesejahteraan lanjut usia di Indonesia. Kementerian Kesehatan memiliki berbagai program pelayanan kesehatan lansia seperti : 71 a. Pengembangan PUSKESMAS ‘Santun Lansia’. Pelakuan khusus untuk lansia juga mencakup kemudahan dalam akses dan biaya. Bahkan nantinya akan ada poliklinik, loket terpisah, dan tempat duduk khusus lansia. b. Pengembangan Poliklinik Geriatri di Rumah Sakit. c. Peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang tepat dan berguna bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia. d. Pemberdayaan masyarakat melalui kelompok usia lanjut. Pemberdayaan melalui POSYANDU/POSBINDU lansia, e. Peningkatan mutu perawatan kesehatan bagi lansia dalam keluarga (home care). Mengingat Indonesia termasuk kedalam kebudayaan timur, keluarga masih merupakan faktor penting dalam perawatan penduduk lanjut usia. Dengan demikian, perlu dikembangkan terus kualitas perawatan penduduk lanjut usia dalam keluarga. f. Peningkatan peran masyarakat dalam upaya ke s e h a ta n lanjut usia. Didalam PUSKESMAS ‘Santun Lansia’ ada kegiatan lansia baik di dalam gedung dan di luar gedung. Kegiatan diluar gedung, berupa pelayanan kunjungan rumah atau membentuk komunitas lanjut usia dengan berbagai kegiatan bersama masyarakat.34 Sementara itu, Kementerian Sosial dalam pelayanannya masih memprioritaskan pada lajut usia miskin, hal ini dikarenakan keterbatasan dana yang tersedia. Berdasarkan data Kementerian Sosial terdapat 2.851.606 jiawa warga lanjut usia yang terlantar, dan jumlah tersebut yang saat ini menjad fokus Kementerian Sosial. Dalam pelayanannya, Kementerian Sosial memiliki beberapa Gambar 14. Kegiatan Posyandu Lansia Sumber : http://lawanggeriatri.blogspot.com/ dan http://banjarangkan1.diskesklungkung.net/ prinsip dasar yaitu (a) masyarakat lanjut usia harus dihormati dan dibahagiakan, (b) keluarga merupakan wahana pelayanan yang terbaik bagi lanjut usia, (c) perhatian keluarga dan masyarakat merupakan faktor terpenting, dan (d) pelayanan dalam panti merupaan upaya terakhir apabila upaya lain tidak mungkin lagi. Berdasarkan prinsip tersebut berikut program yang dilakukan Kementerian Sosial yaitu : a. Perawatan di rumah (home care), program perawatan lanjut usia yang dilakukan dalam keluarga dan diberi pendampingan. Program ini sudah berlangsung di seluruh Indonesia dan target setiap setahun hanya 1.000 orang lanjut usia. b. Pelayanan perawatan harian (day care service). Program ini sudah adai di 33 34. Gufron, Ali. 2012. Strategi & Kebijakan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Lokakarya Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan & Langkah Lanjut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta 72 provinsi, target yang dilayani setiap tahun hanya 920 lansia. Program ini bekerjasama dengan Dinas Sosial di setiap daerah. c. Program Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT), yang dulu biasa disebut program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Program ini ditujukan kepada lanjut usia yang sudah tidak potensial dengan skala prioritas pada lansia sudah bed ridden atau bedrest. d. Program Pelayanan Sosial dalam Situasi Darurat. Program ini ditujukan kepada lanjut usia dalam situasi darurat, dalam situasi bencana, korban kekerasan atau eksploitasi. e. Program Pemantapan Pra-Lanjut Usia. Program ini menekankan pada pemberian keterampilan dan modal usaha untuk mereka yang akan memasuki lanjut usia. f. Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Program ini memberikan bantuan modal usaha kecil kepada 3.300 orang lanjut usia setiap tahun di 33 provinsi. g. Bantuan Sosial terhadap Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) atau Panti Sosial. Bantuan diberikan kepada 12.500 lanjut usia di panti yang tersebar di 22 provinsi. 2009-2014 yaitu (a) membentuk dan memperkuat Kelembagaan Lanjut Usia; (b) memperkuat koordinasi antar instansi dan instansi terkait; (c) memperkuat penanganan terhadap lanjut usia miskin, terlantar, cacat dan mengalami tindakan kekerasan; (d) memelihara dan memperkuat dukungan keluarga dan masyarakat terhadap kehidupan lanjut usia; (e) memantapkan upaya pelayanan kesejahteraan bagi lanjut usia; (f) meningkatkan kualitas hidup lanjut usia, baik dari aspek ekonomi, mental keagamaan, aktualisasi dan kualitas diri lanjut usia; (g) meningkatkan upaya penyediaan sarana dan fasilitas khusus bagi lanjut usia; (h) meningkatkan upaya mutu pendidikan kemandirian bagi lanjut usia; dan (i) meningkatkan jaringan kerjasama internasional. Dengan keberadaan peraturanperaturan tersebut, ternyata belum banyak dirasakan manfaatnya bagi penanganan dan kesejahteraan lanjut usia. Sementara itu, Tahun 2002, WHO telah mengeluarkan ‘Pedoman Kota Ramah Lanjut Usia’ (Old-age Friendly Cities Guideline). Pedoman WHO mencakup delapan dimensi yaitu : h. Program Bedah Rumah Lansia. Pada tahun 2012, program bedah rumah lansia diberikan kepada 150 rumah lansia.35 Sebagaimana kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh lansia, maka sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasinya adalah dengan menindaklanjuti pelaksanaan Undang- Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yaitu dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia (RAN-LU) tahun 2009-2014. Beberapa tujuan dalam RAN-LU tahun Gambar 15. Pedoman Kota Ramah Lanjut Usia WHO 35. Jhoni, Mulyo. 2012. Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Lokakarya Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan & Langkah Lanjut. Kementerian Sosial Republik Indonesia. Jakarta 73 Delapan dimensi tersebut sangat komprehensif memperhatikan semua aspek lingkungan yang mendukung kehidupan. Sehingga, jika suatu kota telah memenuhi indikator-indikator tersebut, bukan hanya menjadi satu tempat ramah lanjut usia saja, tetapi menjadi ramah untuk semua kelompok umur (termasuk anak-anak, kaum difabel, dan perempuan). Dengan demikian, kota dan berbagai komunitas di seluruh dunia saat ini sedang berusaha untuk mewujudkan kota ramah lansia. komunitas yang ramah lansia dapat dibedakan berdasarkan dua hal yaitu ; Kanada, Prancis, Irlandia, Portugal, Federsia Rusia, Slovenia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Program tersebut dimaksud untuk mempromosikan pendekatan kota ramah lansia dan memberikan perspektif lokal pada tiap anggota, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman.36 a. AKSES FISIK : yaitu tersedia ruang publik yang aman, dapat diakses siapa saja, baik yang normal maupun yang memiliki keterbatasan isik secara mandiri. Ruang publik yang damah lansia bisa mendorong terwujudnya hidup yang sehat dan sejahtera. b. TERBUKA : tersedia tempat yang aman bagi orang untuk bertemu dan berinteraksi, memperhatikan aspirasi lansia dalam urusa-urusan lokal dan pemerintah, para lansia tahu bahwa mereka diaspersiasi dan dicintai, konstribusi lansia dianggap penting dan bermanfaat bagi masyarakat. Secara umum, jika suatu kota mampu memenuhi setidaknya 25% dari indikator dimensi di atas, maka kota tersebut layak dikatakan sebagai Kota Ramah Lansia. Sebagai bentuk keseriusan WHO untuk menciptakan kota ramah lansia di seluruh dunia. WHO telah membuat jaringan global untuk kota dan komunitas ramah lansia yang dibentuk pada tahun 2010, memiliki 105 anggota yang tesebar di 19 negara di dunia, mulai dari New York di AS sampai Kolkata (bergabung Oktober 2012), termasuk berbagai desa dan beberapa daerah terpencil di pedalaman Kanada atau Australia. Jaringan tersebut telah memiliki sembilan program di Gambar 14. Kegiatan Posyandu Lansia Sumber : http://lawanggeriatri.blogspot.com/ dan http://banjarangkan1.diskesklungkung.net/ Untuk mewujudkan kota ramah lansia, Indonesia telah melakukan kajian terkait kota ramah lansia antara SurveyMETER dan Center for Ageing Studies Universitas Indonesia (UI), dilaksanakan di 14 kota besar dan kota kecil di Indonesia yaitu Medan, Payakumbuh, Mataram, Denpasar, Jakarta Pusat, Depok, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Makassar, Balikpapan, Semarang, dan Bandung. Dalam kajian ini, dilakukan wawancara individu, SKPD, dan pengamatan langsung dilapangan. Secara umum, hasil kajian memperlihatkan 14 kota tersebut mencapai nilai 42,9% (dari nilai total 100) dalam memenuhi kriteria kota ramah lanjut usia WHO. Dimensi kota ramah lanjut usia yang terdepan pada 14 kota adalah partisipasi sosial (55,6%). Dimensi yang masih kurang adalah partisipasi sipil dan pekerjaan (16,9%). 36. Warth, Liza. 2012. Menciptakan Kota Ramah Lansia. Ageing and Life Course WHO Jenewa Swiss 74 Gambar 17. Gambar Taman Khusus Lansia. Sumber: http://pujidarmawan.wordpress.com/ Berdasarkan kajian tersebut, strategi menuju kota ramah lanjut usia 2030 dapat diawali dengan membenahi indikator yang pencapaiannya renah, tidak memerlukan banyak dana, dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Misalnya, peraturan lalu lintas ditaati dengan pengendara memprioritaskan pejalan kaki. Perlu komitmen dari pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya untuk dapat menggapai kota ramah lanjut usia pada tahun 2030.37 Dalam kaitannya dengan komposisi usia lansia di perkotaan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenalkan fenomena “Revolusi Demograis” atau pergeseran demograi. Artinya adalah penduduk lansia dunia (usia 60 tahun ke atas) tumbuh sangat cepat, bahkan lebih cepat dibandingkan kelompok usia lain. Pada tahun 2000, jumlah lansia dunia sekitar 600 juta jiwa dan diperkirakan menjadi 1,2 miliar jiwa pada tahun 2025, meningkat menjadi 2 miliar jiwa pada tahun 2050. Pada saat itu, akan terdapat lebih banyak lansia dibanding anak-anak usia 1- 14 tahun. Di negara-negara berkembang, pada tahun 2002 ada sekitar 61% (400 juta jiwa) penduduk lansia. Pada tahun 2025, diperkirakan akan menjadi 70% (840 juta jiwa), dan tahun 2050 akan mencapai 80% (1,6 miliar jiwa). Separuh jumlah penduduk lansia hidup di Asia dan proporsinya cenderung terus meningkat. Dan Indonesia berada pada posisi keempat di Asia setelah Cina, India, dan Jepang.38 Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2020 struktur penduduk lansia akan meningkat menjadi 28,8 juta jiwa (11,34%), kondisi ini akan membawa Indonesia tergolong pada negara berstruktur penduduk tua (populasi lansia di atas 7%). 37. Surastini, Ni Wayah. 2012. Indikator-Indikator Merancang Kebijakan Kota Ramah Lansia. SuveyMETER. Yogyakarta. 38. Hartono, Toni. 2012. Upaya Pemerintah Menghadapi Tantanag Revolusi Demograis. Komisi Nasional Lanjut Usia. Jakarta. 75 Penuaan penduduk merupakan suatu kecenderungan perkembangan pada abad ke 21, yang dapat berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan politik. Usia harapan hidup (UHH) di 33 negara yaitu 80 tahun, sementara di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan UHH penduduk Indonesia rerata 71 tahun. Model Pertumbuhan Penduduk di Indonesia dapat dilihat dari jika trend penduduk di masa depan mengikuti tren penduduk saat ini dan di waktu yang lalu, maka diperkirakan bahwa secara kuantitas akan terjadi peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dimasa depan. Pertumbuhan penduduk lansia tertinggi diperkirakan akan dialami pada periode sekitar 2015-2020. Peningkatan jumlah penduduk lansia mengindikasikan kelangsungan hidup penduduk yang diperkirakan semakin panjang. Dilihat dari rasio jenis kelamin yang merupakan perbandingan antara penduduk lansia laki-laki dan perempuan. Dimana penduduk lansia perempuan di wilayah Jawa dan Bali maupun di luar wilayah Jawa dan Bali, jumlahnya sedikit di atas jumlah penduduk lansia laki-laki. Disebutkan pula peningkatan penduduk lansia di masa depan baik di wilayah jawa dan Bali maupun di luar Jawa dan Bali berpengaruh pada jumlah migran penduduk lansia.39 Jika melihat proil lansia di Indonesia, pemerintah sudah memiliki komitmen untuk menjaga kesejahteraan lansia melalui berbagai macam regulasi pendukung. Namun, implikasi dari berbagai regulasi tersebut masih terbatas, sosialisasi di kalangan pemerintah dan unsur masyarakat juga belum optimal. Koordinasi lintas sektor dengan RAN lansia juga belum optimal. Dalam rangka menghadapi tantangan Revolusi Demograi maka perlu adanya pendekatan baru agar seluruh unsur dan lapisa masyarakat mempunya perspektif dalam hubungan sosial antar generasi. Selain itu, juga perlu adanya dukungan pemerintah dan pengarustamaan isu lansia dalam program-program pembangunan, serta sistem data yang akurat dan tidak berubahubah sehingga dapat untuk memastikan keterpaduan isu penuaan penduduk lebih efektif dalam proses pembangunan. Selain WHO, dalam konstelasi global terdapat beberapa forum yang memperhatikan dan melakukan berbagai penelitian terkait kelayakan hidup Lansia, sebut saja HelpAge International dan Global AgeWatch Index. Berdasarkan Global AgeWatch Index, Indonesia berada pada urutan ke-71 jauh dibawah Thailand (ke-36), Filipina (ke-44), dan Vietnam (ke-45) dalam hal kelayakan dan harapan hidup Lansia. Indeks global tersebut disusun oleh HelpAge International (London) yang berailiasi di 65 negara, dengan tujuan membantu warga lanjut usia untuk melawan diskriminasi, mengatasi kemiskinan, serta menjalani hidup yang aktif dan terjamin. Indeks tesebut diukur dengan menggunakan 13 indikator yang dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu jaminan pendapatan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan pekerjaan serta lingkungan yang mendukung. Sementara, harapan hidup, cakupan pensiun, akses ke transportasi umum, dan angka kemiskinan untuk usia diatas 60 tahun juga termasuk dalam 13 indikator yang diukur. Masih merujuk pada sumber yang sama, persentase penduduk lansia di Indonesia tahun 2014 sebesar 8,3% dari jumlah populasi, meningkat pada tahun 2030 menjadi 14,1%, dan 21,1% pada tahun 2050. Berdasarkan penilaian dari forum ini, 39. Prihastuti, Dewi. 2000. Model Pertumbuhan Penduduk Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia Dengan Pendekatan Multiregional. Tesis Magister Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia. Depok 76 Indonesia menempati nilai tertinggi dalam bidang lingkungan untuk lansia, atau berada di urutan kedelapan jauh di atas rata-rata untuk semua indikator, dan salah satu yang tertinggi dalam hal keterhubungan sosial. Namun, Indonesia mendapatkan angka yang rendah dalam hal pelayanan kesehatan, berada dibawah rata-rata kawasan untuk indikator harapan hidup, dan paling rendah dalam bidang jaminan kesehatan. Sumber tersebut juga menjelaskan bahwa, harapan hidup warga Indonesia setelah melewati 60 tahun adalah 18 tahun, dengan harapan hidup sehat hanya selama 14,3 tahun. Sedangkan terkait pensiun, hanya 8 persen warga berusia di atas 65 tahun yang tercakup pensiun. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Norwegia yang menempati peringkat pertama dalam daftar tersebut. setelah berusia 60 tahun, orang Norwegia mempunyai harapan hidup 24 tahun, dengan 17,4 tahun dalam keadaan sehat, dan seratus persen warga di atas 65 tahun tercakup dalam program pensiun. Sementara itu, menurut HelpAge International, saat ini terdapat 868 juta warga dunia yang berusia diatas 60 tahun atau hampir 12% dari populasi global. Menjelang tahun 2050, jumlahnya akan melonjak menjadi 2,02 miliar atau 21% dari jumlah penduduk dunia. Di puluhan negara termasuk sebagian besar negara Eropa Timur jumlah warga lansia akan melebihi 30 persen populasi dunia. berdasarkan data yang sama, negara Swedia, Swiss, Kanada dan Jerman merupakan negara-negara yang menempati posisi lima besar. Amerika Serikat berada pada urutan ke-8, Jepang urutan ke-9, Tiongkok diurutan 48, Rusia ke-65 dan India ke- 69 yang masuk dalam negara nyaman untuk lansia. Merujuk sumber yang sama, pertumbuhan ekonomi bukan jaminan untuk memperbaiki kehidupan kaum lanjut usia. Kebijakan jaminan pendapatan di Meksiko dalam beberapa tahun terakhir dapat melonjakkan posisi negara tersebut ke urutan ke-30 walau negara itu tidak sekaya Turky yang hanya berada pada posisi ke-77. Menurut lembaga tersebut hanya setengah dari penduduk dunia yang bisa berharap mendapatkan pensiun di usia tuanya. Lembaga HelpAge International menggalangkan aksi yang diberinama Age Demands Action (ADA). ADA mulai diluncurkan pada Hari Internasional Lanjut Usia pada tahun 2007 dengan 27 negara yang berkampanye untuk mendukung hak-hak lanjut usia. Pada tahun 2014 sudah terdapat 62 negara yang ikut aktif berkampanye. Tujuan dari ADA adalah agar pemerintah dapat mendukung warga lanjut usia dan bagian yang berharga dari masyarakat. Di Indonesia kegiatan ADA sudah mulai dicanangkan, Yayasan Emong Lansia (YEL) merupakan organisasi yang berailiasi dengan ADA di Indonesia. Pada Tanggal 1 Januari 2014 Yayasan Emong Lansia (YEL) mengadakan pawai di Jakarta dengan kelompok Alzheimer Indonesia. Tujuannya untuk meminta pemerintah untuk menanggapi kebutuhan masyarakat lanjut usia di Indonesia. Dari kegiatan tersebut Pemerintah mulai memberika tanggapan dan perhatian terhadap masalah ini. Pada kesempatan ini, sesuai dengan beberapa programnya, Pemerintah Jakarta berjanji untuk mengimplementasikan program untuk membuat Kota Jakarta ramah lansia, dimulai dari aksesibilitas, dan taman yang dapat digunakan oleh warga lansia untuk beraktivitas dan bersosialisasi.40 40. http://www.helpage.org/blogs/jemma-stovell-22620/age-demands-action-on-1-october-global-roundup-774/ 77 Gambar 18. Kampanye ADA di Jakarta Kehidupan Lansia di Indonesia Kota Payakumbuh terletak pada jalur tengah lintas Barat dan Timur yang menghubungkan Provinsi Sumatera Barat dengan wilayah Sumatera Bagian Tengah. Letak kota Payakumbuh sangat stretegis karena berada pada titik penghubung Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat dan Kota Bukittinggi sebagai pusat pertumbuhan wilayah. Secara geograis Kota Payakumbuh terletak pada posisi 00 – 10° sampai dengan 00 – 17’ LS dan 100° – 35’ sampai dengan 100° – 48’ BT. Jika melihat visi Kota Payakumbuh yaitu “Terwujudnya Payakumbuh menjadi kota maju, sejahtera, dan relegius, pro rakyat, berbasis ilmu pengetahuan dan pendidikan yang berlandaskan pada adat basandi syarak, 41. Policy Brief Kota Ramah Lansia Kota Payakumbuh, SurveyMeter. 78 syarak basandi kitabullah.” Dan melihat salah satu misi yang berhubungan untuk masyarakat lansia yaitu mengoptimaliskan pembangunan infrastruktur publik dan fasilitas umum sesuai RTRW Kota Payakumbuh. Hal ini terlihat dari hasil kajian yang telah dilakukan oleh surveyMETER bahwa dimensi gedung dan ruang hijau, transportasi, perumahan sebagai indikator dimensi ramah lansia cukup baik walau masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan data BPS Kota Payakumbuh Tahun 2012, jumlah lansia Kota Payakumbuh sebanyak 8.431 jiwa. Berdasarkan data yang sama lansia dengan usai diatas 65 tahun lebih banyak banyak dibandingkan dengan lansia dengan usia 60-64 tahhun. Dan lansia dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lakilaki. Dengan demikian, pemerintah Kota Payakumbuh sudah mulai mengakomodir untuk meningkatan kesejahteraan lansia. Salah satu, kegiatan yang sedang dicanangkan adalah Payakumbuh sebagai kota ramah lansia. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh SurveyMETER dan Center for Ageing Studies Universitas Indonesia (UI) kota ramah lansia di Payakumbuh yaitu bahwa dimensi gedung dan ruang hijau, transportasi, perumahan sebagai indikator dimensi ramah lansia cukup baik walau masih perlu ditingkatkan. Menurut survey yang sama, juga disebutkan bahwa dimensi penghormatan dan inklusi, komunikasi dan informasi, dan dukungan masyarakat & pelayanan kesehatan persentasenya lebih dari 50%.41 Walaupun demikian, Kota Payakumbuh belum dinobatkan sebagai Kota Ramah Lansia, tetapi setiap kegiatan yang dilakukan dalam sepuluh tahun terakir, sudah menjadi acuan bagi kota/kabupaten di Indonesia. Hal ini didukung karena budaya Payakumbuh yang menghargai orang tua. Menurut ketua umum Komda Lansia Payakumbuh, kota ini sering mendapatkan kunungan bagi lansia dari berbagai kota/ kabupaten di Indonesia. Karena pembinaan dan pembedayaan lansia yang intensitasnya terbilang tinggi, muali dari kegiatan Posbindu (Pusat Pembinaan Terpadu) lansia di kelurahan, kecamatan dan kota. Usia harapan hidup di Payakumbuh juga semakin tinggi yaitu 78 tahun. Hal ini didukung dari program lansia yang diperiksa rutin kesehatannya disetiap Posbindu kelurahan dengan didampingi dokter dan tenaga kesehatan yang sudah ditunjuk. Selain itu, juga ada aktiitas olahraga dan kegiatan keagamaan melalui kelompok pengajian.42 Gambar 20. Kegiatan Pemerintah Kota Payakumbuh untuk Lansia Dalam lingkup Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya merupakan kota terbesar ketiga dengan jumlah penduduk lansia yang berusia 60 tahun ke atas setelah Malang, dan Jember. Berdasarkan Data BPS (2007) jumlah penduduk lansia di Jawa Timur sebesar 11,14%. Sementara itu, berdasarkan data Dinas Penduduk dan Catatan Sipil Kota Surabaya (2010), jumlah penduduk lansia tahun 1990 sebesar 5,1%, tahun 2000 (7,7%), tahun 2010 (11,04%). Pada Tahun 2011 (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), terdapat 3 kecamatan di Surabaya memiliki jumlah penduduk lansia terbanyak yaitu Kecamatan Tambaksari (34.462 jiwa), Kecamatan Sawahan (34.448 jiwa) dan Kecamatan Tambaksari (9.157 jiwa). Menurut BPS, 2012 rasio ketergantungan penduduk tua Kota Surabaya sebesar 9,74, persentase pendudukan lasia 6,81%, tingkat pendidikan lansia tidak sekolah (15,39%), tidak tamat SD (15,41%), SD (23,38%), SMP (16,52%), SMA (22,19%) dan Perguruan Tinggi (7,11%). Sementara, untuk proporsi keluhan kesehatan sebsar 45,49 dengan angka kesakitan 24,36. Dan dibidang ekonomi, TPAK lansia laki-laki 49,92 perempuan 26,84, dengan bekerja di sektor pertanian 1,02%, industsi 9,19% dan jasa 89,79%.43 Dengan kondisi modernisasi di Kota Surabaya, berdampak pada tingkat penelantara lansia. Hal ini didukung dengan 42. http://payakumbuhkota.go.id/2013/02/18/tm-survei-meter-yogyakarta-kaji-lansia-payakumbuh/ 43. Anonim. 2012. Proil Penduduk Lanjut Usia Jawa Timur 2012. Badan Pusat Statistik. Surabaya. 79 banyak dibangunnya Panti Werdha di setiap Kelurahan. Keberadaan Panti Werdha memberikan manfaat menampung lansia yang terlantar, namun disisi lain mereka akan kehilangan kehangatan sebuah keluarga. Kota Surabaya, juga telah melakukan gerakan peduli lansia dengan cara memberikan beberapa fasilitas seperti taman lansia, kamar mandi dan pedestrian khusus lansia. Upaya lain yang dilakukan Kota Surabaya dalam mendukung ramah lansia juga mendirikan UPTD Griya Wreda yang berada di bawah Dinas Sosial. Selain itu, Pemerintah Kota Surabaya juga berupaya pada penyediaan fasilitas publik seperti taman. Pada dasarnya taman bagi lansia sangat diperlukan dalam sebuah perkotaan, karena masyarakat kalangan lansia sangat membutuhkan ruang untuk dapat meningkatkan kualitas hidup, kesehatan, bahkan meningkatkan tingkat produktiitas lansia. Gerakan Ramah Lansia di Kota Surabaya diantaranya dilakukan melalui ; (a) harapan hidup lansia cukup tinggi yaitu usia pria 71 tahun, dan wanita 73 tahun; (b) pengadaan pembinaan dan pelatihan, serta membuat Karang Wreda di tiap kelurahan; (c) didirikannya taman lansia, serta fasilitasfasilitas yang disediakan khusus untuk lansia; (d) infrastruktur dibuatnya kamar mandi dan pedestrian khusus lansia; (e) rencana dibuatnya bus kota lansia dengan tangga landai; (f) pembentukan Komisi Daerah Lanjut Usia; Gambar 16. Kegiatan Lansia di Kota Surabaya. Sumber: Hilda, 2012 (g) kerjasama penyelenggaraan program antar instansi pemerintahan, seperti Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kesehatan, dan dinas terkait.44 Selain itu di Kota Surabaya juga sedang dikembangkan pendekatan berbasis masyarakat melalui Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) agar para lansia dapat mempersiapkan diri menghadapi masa tuanya yang diperkirakan akan lama. Mereka yang mampu akan diberdayakan agar bisa meneruskan, atau bekerja sesuai dengan kesempatan yang ada. 44. Hilda. 2012 Surabaya Kota Ramah Lansia. Gapura Majalah Pemerintah Kota Surabaya. ISSN 1978-3663. Vol XLIV. No.66 Oktober 2012. 80 Sedangkan yang memerlukan bantuan karena kesehatannya dapat memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar atau dari pemerintah. Lainnya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan lansia, dicanangkannya Bina Keluarga Lansia oleh BKKBN, yaitu meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga lansia dan keluarga yang memiliki lansia. Selain itu melalui Bina Keluarga Lansia diharapkan keluarga dapat berperan aktif dalam memberikan kepedulian terhadap kebutuhan lansia. Adapun program pokok yang dilakukan oleh Bina Keluarga Lansia adalah sebagai berikut : 1. Pelaksanaan usaha ekonomi produktif keluarga lansia dalam memanfaatkan waktu luang dan memberdayakan kemampuan anggota keluarga dan lansia 2. Membudidayakan tingkah laku anggota keluarga dalam memberikan pelayanan, penghormatan dan penghargaan kepada anggota keluarga lansia 3. Pemberdayaan peran serta lansia sesuai dengan kekayaan pengalaman, keahlian dan kearifannya dalam pembangunan keluarga sejahtera demi meningkatkan mutu kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kehidupan Lansia di Kota Jakarta Basuki Tjahja Purnama sebagai plt. Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada pertengahan tahun 2014 mendukung terwujudnya ibukota Jakarta sebagai Kota Ramah Lansia. Pemerintah akan mempersiapkan infrastruktur yang dapat menunjang kegiatan sehari-hari warga Jakarta yang lanjut usia. Selain itu, pemerintah DKI Jakarta juga mulai mempersiapkan gedung-gedung dengan membuat jalur landai untuk memudahkan mobilitas para lansia yang menggunakan kursi roda. Basuki juga mengatakan seharusnya fasilitas-fasilitas umum harus didesain untuk lebih ramah terhadap lansia, misalnya transjakarta yang dilengkapi dengan lower deck untuk memudahkan lansia naik fasilitas transportasi andalan warga DKI Jakarta tersebut. Di DKI Jakarta terdapat Senior Club Indonesia, sebuah klub untuk lansia bersosialisasi yang berdiri pada tahun 2007 di Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara. Berbeda dengan panti jompo, Senior Club masih memberikan kesempatan kepada anak-anak atau cucu mereka untuk tetap menjaga dan memperhatikan orang tua mereka. Dengan adanya Senior Club ini mereka dapat berkumpul bersama-sama dengan teman usianya. 45 45. http://www.seniorclubindonesia.com/ 81 Bentuk kepedulian Pemerintah Jakarta terlihat dari keseriusan untuk membenahi kebutuhan lansia dengan memberikan pelayanan kepada lansia Jakarta di tingkat terendah yaitu RT dan RW. Pada peringatan Hari Lansia, Basuki Tjahja Purnama memberikan kursi roda, kaki palsu dan tongkat bagi para lansia dari sumbangan CSR. Dan memberikan bantuan alat kemandirian lansia sebesar Rp. 8,45 milyar untuk 4.250 lansia dan bantuan sebesar Rp. 1,1 milyar kepada 900 orang lansia potensial.46 Selain itu, Taman Langsat dicanangkan sebagai taman lansia pada masa pemerintah Fauzi Bowo. Taman seluas 3,5 ha akan ditunjang fasilitas berolahraga untuk lansia, seperti jogging track sepanjang sekitar 750 meter, serta jalan batu untuk releksi. Menurut Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Selatan, Taman Langsat akan ditambahkan fasilitas seperti besi untuk berpegangan, memperbanyak tempat duduk, tempat sampah dan saung.47 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun taman lansia dan anak-anak di lahan Taman Putra Putri yang terletak Gambar 22. Senior Club Indonesia dan Kegiatannya 46. Rozak, Abdul. 2014. Jakarta Mulai Berbenah Ramah Lansia. Gatra News. Diakses melalui http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/55028- ahok-jakarta-mulaiberbenah-ramah-lansia.html pada pukul 11.47 (9 Oktober 2014) 47. http://news.detik.com/read/2010/06/04/095306/1369578/10/taman-lansia-dibangun-di-jalan-langsat-jaksel 82 di Jalan Pluit Putra Raya dan Jalan Pluit Putri Raya, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Taman lansia dan anak-anak ini merupakan salah satu taman tematik yang akan dibangun Pemerintah Jakarta. 48 Taman lansia lain yang ada di DKI Jakarta dan telah diresmikan oleh Gubernur DKI Jowo Widodo pada perayaan ulang tahun DKI Jakarta ke-486 adalah Taman Lansia yang terletak di Cakung dan berjarak sekitar 200 meter dari Kawasan PIK (Pusat Industri Kecil).49 Gambar 23. Taman Lansia di DKI Jakarta 48. http://news.liputan6.com/read/2106245/pemprov-dki-segera-bangun-taman-lansia-dan-anak-anak 49. http://news.detik.com/read/2013/06/02/101132/2262419/10/jokowi-resmikan-taman-khusus-lansia-di-cakung 83 5. Pengarusutamaan Gender dalam Integrasi Pembangunan Perkotaan Secara kodrati ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan alasan kodrat kemudian terjadi diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, domestikasi dan pemberian label yang membuat perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan atau menduduki posisi tertentu, tidak boleh menjadi pemimpin dan sebagainya. Masyarakat pada negara yang menganut system patriarki, seperti Indonesia umumnya memiliki persepsi yang khas mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga, memiliki ruang yang terbatas dalam hak milik, hak waris, terlibat dalam politik, mengejar pendidikan, mendapat pengawasan ketat dalam berbagai kegiatan, dan sebagainya. Perempuan pada system patriarki memiliki lingkup kehidupan domestik, seperti urusan masak memasak, mencuci, dan mengurus anak. Hal ini karena pemikiran yang berkembang bahwa, keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah sebagai pencari nafkah, dan istri mengerjakan pekerjaan rumah dan menjalankan fungsi pengasuhan anak dan mengelola rumah tangga. Hubungan laki-laki dan perempuan dalam sistem patriarki tidak digambarkan sebagai hubungan dengan entitas masingmasing. Akan tetapi, salah satu entitas (perempuan) digambarkan identitasnya dalam hubungannya dengan laki-laki.50 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah tata kekeluargaan yang 50. Perempuan dalam Kuasa Patriarki, Oleh Muhammad Adji, M.Hum dkk, UNPAD. 2009 84 sangat mementingkan garis keturunan bapak. Sedangkan secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial dimana ayah menguasai seluruh harta dari anggota keluarganya, serta sumber-sumber ekonomi dan muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan.51 Pada prakteknya, dampak dari system ini adalah, rasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi bagi seseorang laki-laki dan munculnya ego yang berakibat banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP). Namun, seiring perkembangan jaman, perempuan Indonesia kini sudah merambah ruang gerak yang awalnya hanya dapat dimasuki oleh laki- laki. Hal ini disebabkan adanya tuntutan peran ganda perempuan, yaitu sebagai peran domestic dan peran transisi, yaitu posisi perempuan sebagai tenaga kerja yang ikut turut aktif untuk mencari nafkah sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Upaya untuk merambah ruang gerak perempuan dan merubah persepsi yang demikian itulah yang dimaksud dengan pengintegrasian gender. Hal ini telah dilakukan sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan oleh para aktivis. Kemudian secara formal upaya tersebut menjadi kebijakan pemerintah dengan meratiikasi kesepakatan global PBB pada Convention On The Elimination Of All Form Of Discrimination Against Women (CEDAW), yang menetapkan kewajiban untuk menghapus diskriminasi dan pemajuan kesetaraan dan keadilan gender baik yang bersifat sementara maupun berkesinambungan. Sementara itu, dalam tataran nasional, Pemerintah Indonesia berupaya mengakomodasi kesepakatan internasional di atas melalui penerbitan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Dalam Pembangunan Nasional, kebijakan ini mengamanatkan untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang harus dilakukan oleh berbagai tingkat lembaga pemerintahan atau pimpinan daerah dengan pengarahan melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2005-2025, menetapkan arah pembangunan mencapai pemberdayaan perempuan dan anak untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, diantaranya melalui peningkatan kualitas hidup perempuan, kesejahteraan perlindungan anak, penurunan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi serta penguatan kelembagan dan jaringan PUG. Sementara itu, berdasarkan implementasi kebijakan dan rencana terkait pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/ RPJMN (2004-2009) menguraikan beberapa permasalahan terkait gender, diantaranya adalah kesenjangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki; banyaknya hukum dan peraturan perundangan-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan; lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk ketersediaan data rendahnya partisipasi masyarakat. Permasalahan di atas diupayakan untuk diselesaikan melalui penetapan arah kebijakan dalam RPJMN (2004-2009), sebagai berikut : a) Meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik b) Meningkatkan taraf pendidikan dan 51. Budaya Hukum Patriarki versus Feminis: Dalam Penegakan Hukum Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 85 layanan kesehatan serta pembangunan lainnya, mempertinggi kualitas hidup bidang untuk c) Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan d) Memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang. Sementara itu, penetapan arah kebijakan dalam RPJMN (2010-2014) dalam butir (a) menjelaskan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraaan gender dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan. Gender dideinisikan sebagai perbedaan sifat, peranan, fungsi dan status antara lakilaki dan perempuan bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas. Sementara itu, berdasarkan Inpres No.9 tahun 2000, Pengarusutamaan Gender (PUG) dijelaskan sebagai strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Pelaksanaan PUG diinstruksikan kepada seluruh kementerian maupun lembaga pemerintah dan non pemerintah di pemerintah nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Strategi ini dilaksanakan melalui sebuah proses yang memasukkan analisa gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan 86 dan laki-laki kedalam proses pembangunan. Secara umum, tujuan PUG untuk memastikan perempuan dan laki-laki diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh Akses, Kontrol, Partisipasi dan memperoleh Manfaat (AKPM) yang sama atas pembangunan. Selain itu, untuk mendukung hal di atas Pemerintah secara progresif menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 119/ PMK.02/2009, yang mengamanatkan Anggaran Responsif Gender. Penganggaran yang responsif gender bukanlah tujuan, melainkan sebuah kerangka kerja atau alat analisis kebijakan anggaran untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui proses-proses penentuan alokasi yang proporsional atau berkeadilan. Salah satu implementasi program pembangunan yang berhasil menyerap jumlah partisipasi perempuan yang cukup tinggi adalah program Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas (PPMK). Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum (2014), keterlibatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang digerakan oleh perempuan dalam PPMK adalah 61%, dengan jenis usaha KSM didominasi oleh jenis usaha olahan (42%). PPMK merupakan salah satu program dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang diadopsi dari Program terdahulu yaitu P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), dengan salah satu strateginya mendukung upaya peningkatan IPM dan pencapaian sasaran MDG’s, dimana salah satu sasaran MDG’s ke-3 adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Secara khusus, ada beberapa program PPMK yang dilakukan berbasis gender, diantaranya adalah program Selaras di Aceh. Wilayah ini dipilih karena tingkat partisipasi perempuan dalam PNPM Mandiri Perkotaan di tahun 2012 mencapai 42,2% (di atas indikator partisipasi perempuan yang diharapkan, yaitu 40%). Program Selaras bertujuan memberikan BLM (Bantuan Lansung Masyarakat) sebanyak 2 kali untuk secara langsung mendorong peran perempuan di 426 Gampong (Kelurahan) dan di 12 Kabupaten/Kota di Aceh, sehingga diharapkan perempuan dapat berkembang kemampuannya, mengambil posisi yang biasanya diisi oleh laki-laki dan berperan mengambil keputusan. Namun dalam prakteknya, implementasi kebijakan dan program PUG di Indonesia belum berjalan optimal dan memerlukan dukungan untuk penanganan permasalahan gender, yaitu berupa : - Peningkatan Pemahaman Masyarakat untuk Pemberdayaan Perempuan, - - Edukasi untuk Pelibatan Perempuan dalam Berbagai bidang Pembangunan di Perkotaan, Membuka Peluang Sosial Pemberdayaan Perempuan diamanatkan di dalam Inpres. untuk yang Berdasarkan data dari BPS (2012) diketahui bahwa komposisi perempuan di wilayah perkotaan mencapai 49,66%. Data ini diikuti dengan komposisi perempuan usia produktif (15-64 tahun) di wilayah perkotaan yang mencapai 67,49%. Jakarta merupakan provinsi dengan persentase penduduk perempuan usia produktif yang tertinggi, sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan yang terrendah. Masih menurut sumber yang sama, secara nasional sebaran penduduk perempuan lebih rendah dibandingkan dnegan penduduk laki-laki, yaitu 49,65% berbanding 50,35%. Sementara menurut wilayah tempat tinggal, penduduk perempuan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan, yaitu 49,66% berbanding 50,34%, dan sebaliknya yang terjadi pada kondisi penduduk laki-laki. Kualitas sumberdaya perempuan diantaranya dapat direleksikan melalui tingkat pendidikan, kesehatan, kesejahteraan keluarga dan aktivitas/pekerjaan yang dilakukan. Berdasarkan data BPS (2012) pada sector pendidikan, persentase perempuan (usia 15 tahun ke atas) di wilayah perkotaan yang sudah lulus dalam jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA & Perguruan Tinggi) mencapai 84,24%, atau lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 89,94%. Kondisi ini masih terbilang lebih baik dibandingkan dengan persentase perempuan yang telah menempuh pendidikan di wilayah perdesaan. Sementara di bidang kesehatan, persentase penduduk perempuan di wilayah perkotaan yang mengalami keluhan kesehatan mencapai 46,22%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan laki- laki yang mencapai 43,86%. Umumnya atas keluhan tersebut perempuan mengobatinya dengan pergi ke Puskesmas Pembantu, Tenaga Medis, dan Praktek Dokter/Poliklinik. Berdasarkan data BPS (2012) kecendrungan yang terjadi di wilayah perkotaan adalah sama, meskipun kuantitasnya perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan, karena umumnya di perdesaan mengobati keluhan kesehatannya sendiri. Untuk itu, ketersediaan fasilitas kesehatan sangat penting untuk perempuan, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dalam upaya mencapai kesejahteraan keluarga melalui pengendalian penduduk, Pemerintah menjalankan program Keluarga 87 Berencana (KB). Berdasarkan data BPS (2012) diketahui bahwa, persentase perempuan (usia 15-49 tahun) yang sedang menggunakan kontrasepsi/KB di wilayah perkotaan saat ini mencapai 61,47%, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan partisipasi laki-laki dalam program KB (vasektomi dan kondom) hanya mencapai 1,68%. Sementara di perdesaan, partisipasi perempuan dalam program KB lebih tinggi (63,33%) dibandingkan di perkotaan, sedangkan partisipasi laki-laki lebih rendah (0,75%) dibandingkan di perkotaan. Umumnya hal ini dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan, budaya dan nilai hidup yang dianut oleh masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Aktivitas perempuan (usia 15 tahun ke atas) di wilayah perkotaan yang tertinggi adalah bekerja (44,74%), dan mengurus rumah tangga (38,52%). Masih berdasarkan sumber yang sama (BPS, 2012), lapangan pekerjaan utama bagi perempuan di wilayah perkotaan adalah pada sector perdagangan (38,38%) dan sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan (27,57%). Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan (47,91%) masih lebih rendah dibandingkan laki-laki (79,57%), hal ini merupakan buntut dari implikasi prioritas lapangan kerja terhadap pekerja laki-laki. Kesenjangan juga terjadi pada upah yang diterima pekerja laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan ratio 0,8 meskipun tren rasio ini terus merangkak naik. Sejalan dengan kondisi di atas, keterlibatan perempuan dalam politik dan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat ini rata-rata hanya mencapai 20%, kecuali pada DPD yang mencapai lebih dari 20% (BPS, 2012). 88 Dalam kehidupan di perkotaan, keberadaan perempuan dan pengembangan sektor informal merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Karena umumnya, perempuan yang setiap harinya mengurus rumah tangga dapat dengan mudah berada pada sektor informal. Sektor informal merupakan kegiatan yang diantaranya bercirikan : mudah dimasuki siapa saja, menggunakan sumberdaya setempat, umumnya usaha milik keluarga, beroperasi kecil-kecilan, padat karya, tidak menuntut keterampilan dan pendidikan formal, dan pasar yang tidak diatur pemerintah namun sangat kompetitif. Saat ini (BPS, 2012), keterlibatan perempuan di perkotaan dalam pengembangan sector informal mencapai 37,56%, sementara lelaki mencapai 33,68%. Hal ini cukup jauh berbeda dengan pengembangan sector informal di perdesaan, dengan keterlibatan perempuan mencapai 75,11%, dan laki-laki mencapai 67,29%. Selama ini kita telah mengenal IPM (Indeks Pembangunan Manusia) sebagai salah indikasi capaian pembangunan manusia. Sedangkan secara spesiik, capaian keberhasilan pembangunan yang sudah mengakomodasi persoalan gender dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Gender (IPG). Ketimpangan antara capaian IPM dan IPG akan menggambarkan gap kemampuan dasar dan keterlibatan antara laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan (semakin tinggi IPG terhadap IPM, maka semakin rendah gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan, dan sebaliknya). Secara umum, angka IPG di Indonesia terus meningkat sejak 2004 (63.94) sampai 2012 (68.52), namun jika direrata gap antara indeks tersebut relative tetap dalam kurun waktu tersebut. Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta merupakan 3 (tiga) besar yang terbaik dalam capaian IPM dan IPG sepanjang tahun2006-2012 (BPS, 2012). Gambar 24. Lorong-lorong di Kota Makassar (Sumber : Tim Urban Demograi, 2014) Gambar 25. Perempuan Pekerja Sektor Formal dan Informal di Kota Makassar. Sumber: Tim Urban Geograi, 2014 Upaya Pemberdayaan Perempuan di Kota Makassar Adapun salah satu kota yang memiliki IPG yang tinggi adalah Kota Makassar 73,81 (BPS, 2012), sebagai kota yang tumbuh melalui kegiatan jasa, perdagangan, industri pengolahan, dan merupakan hub di Kawasan Timur Indonesia, maka wilayah ini menarik para migran untuk mengadu nasib di kota tersebut. Beberapa sektor usaha yang berkembang pesat di Kota Makassar pada sektor perdagangan seperti pembangunan Mall, sektor jasa dan industri pengolahan. Perkembangan sektor-sektor ini ternyata menimbulkan isu gender, yaitu sebagian besar tenaga kerja yang terlibat adalah perempuan, hal ini karena sektor yang sedang berkembang ini dianggap lebih ramah dan lebih membutuhkan tenaga kerja perempuan. Selain itu, preferensi pengusaha terhadap pekerja perempuan adalah karena adanya anggapan bahwa para pekerja perempuan dirasa lebih menerima, tidak memiliki banyak tuntutan 89 dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki. Selain itu, tingginya perubahan fungsi lahan dari kegiatan pertanian ke non-pertanian juga mendorong tingginya angka pekerja perempuan di perkotaan. Provinsi dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) Tertinggi Salah satu program pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar adalah upaya meningkatkan partisipasi perempuan dengan mencanangkan gerakan “Mabello” (Makassar Benahi Lorong) atau Program Tata Total Lorong, yang sedang dimulai pelaksanaannya tahun ini. Diantara tujuan dari gerakan ini adalah mengajak perempuan usia produktif, khususnya ibu-ibu rumah tangga yang biasanya duduk-duduk di sepanjang lorong permukiman untuk turut aktif membantu perekonomian keluarganya, melalui kegiatan ekonomi/usaha informal, maupun industri pengolahan rumahan atau home industry. Program ini dilakukan sejalan dengan Program Hidup Hijau dengan Kebun Kota, yang mendorong perempuan untuk membuat kebun hijau produktif secara vertikal pada lorong-lorong kota. Berdasarkan Undang- undang No. 29 Tahun 2007 (Pasal 3, 4 dan 5) Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi. Dengan demikian, selain berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi DKI Jakarta memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional. Di tengah tingginya jumlah pekerja perempuan di Kota Makassar dan berbagai program pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Pemerintah. Berikut ini beberapa tantangan dalam implementasi PUG di Kota Makassar, diantaranya yaitu : 1. Konsistensi Pemerintah dalam penetapan kebijakan atau p r o g r a m yang mengarusutamakan gender, 2. Kurangnya pemahaman bersama mengenai urgensi kebutuhan dan permasalahan terkait gender, 3. Sumberdaya manusia perempuan yang masih rendah, Gambar 26. Peta Provinsi DKI Jakarta (Sumber: Website Resmi Pemprov DKI Jakarta) 90 Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8.961.680 jiwa, sedangkan pada tahun 2011 jumlah penduduk bertambah menjadi 10.187.595 jiwa. Dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut, penduduk laki-laki adalah sebanyak 5.252.767 jiwa dan perempuan sebanyak 4.934.828 jiwa, dengan seks rasio 103. Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta pada periode 2000 - 2010 sebesar 1,42 % per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1990 – 2000 hanya sebesar 0,78 % pertahun. Struktur penduduk di Jakarta dapat dilihat pada gambar piramida penduduk berikut52. Pada tahun 2010, jumlah komuter dari Bodetabek menuju Jakarta mencapai 1,5 juta komuter per hari. Pada siang hari, jumlah penduduk Jakarta mencapai 12,1 juta jiwa (9,6 juta penduduk DKI Jakarta dan 2,5 juta warga komuter). Secara keseluruhan jumlah penduduk di sekitar Jakarta, kawasan Bodetabek, menurut Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak 18.354.756 Jiwa. Graik 10. Piramida Penduduk Provinsi DKI Jakarta Sensus Penduduk 2010 (Sumber: Sensus Penduduk 2010) Graik 11. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kota/Kabupaten Administrasi Periode 2007 – 2011 (Sumber: RJPMD DKI Jakarta 2013 – 2017) 52. Sensus Penduduk 2010 91 Angka di atas menjelaskan posisi Jakarta dalam menyerap tenaga kerja, baik pada sektor Perdagangan,Jasa dan Industri Pengolahan. Pada tahun 2010 tenaga kerja Jakarta mayoritas bekerja di Sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel sebanyak 36,97 %, diikuti oleh Sektor Jasa sebanyak 25,73 %, dan Sektor Industri Pengolahan 16,10 %. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang tertinggi secara nasional, yaitu 74,66. Sementara itu Kota Jakarta Pusat merupakan kota di Provinsi DKI Jakarta dengan IPG yang tertinggi, yaitu mencapai 75,59 (BPS, 2012). Hal ini sepertinya sebagai bagian dari capaian implementasi strategi pengarusutamaan gender (PUG) yang telah direncanakan oleh Provinsi DKI Jakarta. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) menyebutkan komposisi jumlah penduduk perempuan yang tinggi, dan hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk memenuhi dan memberikan layanan maksimal dalam kebutuhan hidup penduduk perempuan di kota Jakarta.Dalam mengimplementasikan PUG, Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur No. 176 Tahun 2010 tentang Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender. Pokja PUG ini terdiri dari berbagai instansi pemerintahan yang bekerjasama untuk mendorong perecapatan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Selain itu, DKI Jakarta juga memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Pusat pelayanan ini memberikan beberapa pelayanan, seperti : informasi, 53. Keadaan Ketenagakerjaan di DKI Jakarta Februari 2013 ( BPS, 2013) 92 medis, bantuan hukum, konsultasi psikologis, rumah aman, dan pendidikan. Dengan bentuk program layanan berupa : 1. Pelayanan Hotline Service 24 Jam Bagi Para Korban Kekerasan, 2. Pendampingan Litigasi dan Non Litigasi, 3. Program Penanganan Tahap Awal Bagi Korban Kekerasan, 4. Program Penanganan Tahap Lanjutan, 5. Program Pelatihan dan Pendidikan Relawan P2TP2A tentang Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, 6. Program Penyuluhan Kepada Masyarakat mengenai P2TP2A, 7. Kajian Ilmiah. Sebagai gambaran perempuan di Provinsi DKI Jakarta, secara statistik komposisi perempuan mencapai 4.934.828 jiwa, atau 48% dari total penduduk di Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu, berdasarkan data BPS (2012) diketahui bahwa struktur usia perempuan di DKI Jakarta didominasi pada kelompok umur 15-64 tahun yaitu 72,63%. Sedangkan berdasarkan jenis kegiatannya, terdapat 2 (dua) jenis kegiatan yang dominan dipilih oleh perempuan di Provinsi DKI Jakarta yaitu bekerja (53,37%) dan mengurus rumah tangga (29,58%). Perempuan di Provinsi DKI Jakarta bekerja dalam beberapa bidang pekerjaan. Dari keseluruhan jumlah angkatan kerja perempuan, yang bekerja di sektor primer ada sebanyak 0.16%, sektor sekunder 14% dan sektor tersier sebesar 74%53. Sementara itu, berdasarkan data Keadaan Ketenagakerjaan di DKI Jakarta pada Februari 2013 (BPS) diketahui selain sektor-sektor yang disebutkan tadi, kontribusi perempuan dalam pengembangan sektor informal juga diperhitungkan, hal ini dibuktikan dengan angka keterlibatan perempuan dalam sektor informal yang mencapai 25 % dari keseluruhan angkatan kerja. Sementara itu, selain pada sektor ekonomi yang disampaikan di atas, Provinsi DKI Jakarta memiliki indeks kesehatan reproduksi perempuan yang baik yaitu 0,264. Demikian juga pencapaian pendidikan (0,704), partisipasi ekonomi (0,436), dan keterwakilan perempuan pada jabatan publik (0,241). Namun, di tengah gambaran tersebut, aspek kekerasan terhadap perempuan di DKI Jakarta mencapai 0,019. Gambar 27. (Kiri ke Kanan) Perempuan Pekerja Sektor Informal di Provinsi DKI Jakarta (Sumber: Fathia Hashilah, 2014) Gambar 28. (Kiri ke Kanan) Perempuan Pekerja Sektor Formal di Provinsi DKI Jakarta (Sumber: Tim Urban Demograi, 2014) 93 Gambar 29. Commuter Line (Gerbong Khusus Wanita) (Sumber: Fathia Hashilah, 2014) 94 6. Tantangan Pengelolaan Perkotaan Untuk mencapai pembangunan perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan, dan berdasarkan pembelajaran yang telah dipaparkan langsung pada subbab-subbab di atas, maka beberapa hal menjadi tantangan dalam pengembangan pembangunan perkotaan ke depan, yaitu diantaranya sebagai berikut. Tantangan dalam menangani permasalahan urbanisasi yang cepat dan keterkaitan desa-kota diantaranya adalah, - Menegaskan kementerian/lembaga yang menangani administrasi kependudukan (terutama peristiwa vital demograi, yakni kelahiran, perkawinan, perpindahan dan kematian) untuk mendukung penerapan sistem informasi kependudukan perkotaan nasional; - Revitalisasi konsep kerjasama antar kota untuk tujuan pengendalian faktor penarik dan faktor pendorong migrasi desa-kota; - Mengembangkan industry prospektif di wilayah sekitar perkotaan, - Keterpaduan jaringan transportasi perkotaan multimoda, hal ini sangat dibutuhkan mengingat isiograi wilayah perkotaan Indonesia yang sebagian besar berada pada wilayah pesisir, - Kelembagaan yang representatif dan kredibel dalam menangani potensi dan permasalahan perkotaan, - Menyediakan sarana prasarana kota sesuai dengan komposisi dan struktur social masyarakat, hal ini diperlukan terutama dalam menghadapi Era Bonus Demograi dan konsekuensinya kelak, karena ketika era ini selesai dilewati maka akan ada komposisi dominan dari kelompok usia tertentu yang perlu diakomodasi kebutuhannya agar tetap dapat produktif dan mendorong pembangunan perkotaan, Tantangan dalam menangani permasalahan anak dan pemuda dalam pembangunan perkotaan diantaranya adalah, - Mengintegrasikan nomenklatur prasarana dan sarana sosial anak dan pemuda ke dalam RPJMD Kota dan rencana detail tata ruang kota dan peraturan zoning demi terjaminnya penyediaan sarana dimaksud; - Penyediaan dan peningkatan sarana pendidikan dan kesehatan merupakan bagian investasi Negara yang sangat penting untuk mencetak generasi yang kuat, melindungi perempuan dari berbagai penyakit, dan memperpanjang usia harapan hidup masyarakat, - Mendorong peningkatan kuantitas implementasi KLA, dan terus meningkatkan kualitas implementasi pada KLA yang telah ada saat ini, hal ini mengingat kelak anak yang akan menjawab dan meneruskan langkah saat ini dalam pembangunan perkotaan, - Membuka akses yang lebih besar untuk partisipasi pemuda dalam pembangunan, baik melalui peningkatan organisasi social kepemudaan, pembinaan organisasi, maupun akses langsung terhadap kegiatan pembangunan, 95 - Peningkatan efektiftiitas pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun yang telah dicanangkan sejak tahun 2013, dengan program ini diharapkan akan mampu menekan jumlah anak putus sekolah dan meningkatkan jumlah partisipasi sekolah sampai tingkat pendidikan menengah atas, - Penyediaan fasilitas sarana prasarana pendidikan yang berbasis teknologi. Dengan perubahan gaya hidup saat ini dimana teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi karena itu, untuk menciptakan generasi muda yang memiliki daya saing maka penting bagi pemerintah untuk menyediakan pendidikan berbasis teknologi, - 96 Era Bonus Demograi yang telah dimulai saat ini membutuhkan penyiapan kualitas dan daya saing para pemuda di perkotaan, selain itu juga berinvestasi social melalui perempuan untuk mencetak generasi-generasi pemuda yang pada gilirannya mampu menjawab tantangan masa setelah Bonus Demograi selesai. Mengingat hal ini merupakan crosscutting issue, maka dibutuhkan road map untuk menjelaskan peran dan keterlibatan multisektoral untuk menjawab dan mengantisipasi dampak dari fenomena ini ke depan, - Melanjutkan dan mengaktifkan berbagai program yang saat ini telah giat dilakukan sebagai bentuk upaya non-struktural dalam mengendalikan dampak pembangunan perkotaan kelak, seperti kegiatan Karang Taruna, Indonesia Mengajar, Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP3), Komunitas Sahabat Anak, dsb, - Kebutuhan untuk menjembatani kesenjangan antara wirausahawan muda dan kebutuhan dasar pengembangannya, seperti: (i) memperbaiki keterampilan teknis dan manajemen wirausaha untuk angkatan kerja muda; (ii) meningkatkan kemampuan untuk menjadi mandiri dan bertahan dalam menciptakan dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang produktif; serta (iii) menciptakan usaha produktif yang kecil untuk orang muda berpendidikan yang menawarkan kesempatan kerja bagi orang lain. - Langkah strategis yang harus dilakukan untuk mendukung terlaksananya kota kreatif adalah sebagai berikut : 1. Membuat skema potensi kota yang terstruktur untuk menggembangkan kota kreatif di Indonesia. Pengimplementasian kota kreatif tidak serta merta dapat dilakukan, tetapi memerlukan justiikasi terlebih dahulu terhadap karakteristik wilayah atau kawasan perkotaan yang akan direncanakan. 2. Ikut sertanya pemerintah dalam penyediaan pendidikan non-formal seperti kursus bahasa asing, kursus kesenian, dan kursus keterampilan lainnya. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia terutama penduduk usia muda. Selama ini pendidikan non formal masih dinilai sebagai pendidikan tambahan bagi masyarakat dan dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sekolah non formal cukup tinggi maka hanya masyarakat yang berpendapatan tinggi dan tinggal di kawasan perkotaan saja yang mampu mengakses pendidikan non formal tersebut. 3. Peningkatan pemberdayaan sekolah berbasis kejuruan seperti SMK, STM maupun vokasi. Sekolah berbasis kejuruan tersebut diharapkan mampu mencetak lulusan yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik sehingga lebih siap untuk masuk ke pasar kerja. Tantangan yang d i h a d a p i d a l a m merespon kebutuhan penduduk lanjut usia dalam pembangunan perkotaan adalah: - Mengintegrasikan nomenklatur prasarana dan sarana sosial lansia ke dalam RPJMD Kota dan rencana detail tata ruang kota & peraturan zonasi demi terjaminnya penyediaan sarana dimaksud; - Menyediakan fasilitas kota yang ramah lansia sehingga lansia dapat tetap hidup sehat, produktif dan mandiri, - Memingkatn kapasitas sumberdaya manusia Lansia, melalui penyediaan lapangan kerja yang sesuai dengan proil, potensi dan karakter lansia, - Koordinasi antar sektor untuk mengimplementasikan perundangan yang mengatur kesejahteraan lansia melalui peningkatan perlindungan, pelayanan kesehatan dan aksesibilitas lansia terhadap hasil pembangunan. - Investasi pada pembangunan kapasitas sumber daya manusia bidang kelanjutusiaan di semua tingkatan terutama tingkat desa, serta kabupaten/ kota, - Investasi dalam infrastruktur kelanjutusiaan sesuai pedoman Kota Ramah Usia/lanjut usia Global untuk menuju suatu masyarakat segala usia yakni manusia yang sesuai kodratnya, pada dasarnya, diberikan hak seperti layaknya semua anggota masyarakat untuk mempunyai peluang sama dalam kehidupan kemasyarakatan termasuk dalam hal ini penduduk lanjut usia. Tantangan yang dihadapi dalam pengarusutamaan gender dalam pembangunan perkotaan diantaranya adalah sebagai berikut : - Konsisten pemerintah di berbagai tingkat untuk mengimplementasikan pengarusutamaan gender dalam program pembangunan, sehingga ketimpangan kesempatan terhadap perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, upah, politik, dsb dapat diminimalisir dan terukur peningkatannya melalui IPG, - Koordinasi lintas sektoral untuk memaduserasikan program dan capaian dalam mengarusutamakan gender, - Kesadaran semua pihak bahwa, perempuan adalah mesin utama pembentuk generasi muda yang perlu dibekali pengembangan kapasitas yang baik secara akademik, moril dan spiritual. Sehingga negara perlu berinvestasi melalui kesehatan dan kecerdasan perempuan untuk mencapai generasi penerus yang potensial, - Ketersediaan data dasar sampai pada tingkat local untuk menggambarkan keragaman proil (potensi, kekuatan, kelemahan dan tantangan perempuan di setiap wilayah). 97 7. Agenda ke Depan Laju pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia yang pesat bahkan melebihi laju pertumbuhan penduduk secara nasional telah mengakibatkan pada pembentukan kota-kota metropolitan melalui bekerjanya tiga variabel urbanisasi, yaitu pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan, dan reklasiikasi wilayah-wilayah sekitar menjadi daerah perkotaan. Untuk itu, sebagai agenda yang diperlukan untuk menjawab kebutuhan pembangunan perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan adalah dengan menjawab menjawab tantangan yang ditelah disebutkan pada sub-bab di atas, dan mengharmonisasikannya dengan implementasi rencana pembangunan 98 perkotaan seperti yang disebutkan di bawah ini. Dokumen draft RPJMN 2015-2019 Bidang Pembangunan Perdesaan dan Perkotaan (Bappenas, 2014) dicantumkan bahwa arah kebijakan dalam kaitan antara Kota-Desa adalah mewujudkan pusat pertumbuhan baru, dengan : 1. Mewujudkan industri pengolahan hasil pertanian secara luas yang berbasis koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah 2. Meningkatkan akses terhadap modal usaha, pemasaran, teknologi, dan informasi 3. Menerapkan teknologi dan inovasi di tingkat lokal untuk meningkatkan nilai tambah yang tereksklusi dari pembangunan perkotaan, terutama kelompok pemuda, anak-anak, kaum difabel, lanjut usia. 4. Meningkatkan kelembagaan dan tata kelola ekonomi daerah 5. Promosi PUG dalam integrasi pembangunan perkotaan terus dilakukan melalui baik melalui pembangunan antar bidang maupun antar wilayah. 5. Mengembangkan kerjasama antar daerah dan kerjasama pemerintah-swasta Proses pembangunan perkotaan sejauh ini masih belum memperlihatkan adanya keberpihakan terhadap aksesibilitas penghuni perkotaan dalam partisipasi dan memperoleh hasil pembangunan perkotaan. Untuk dapat menghadapi berbagai tantangan yang telah dikemukakan di atas, maka pengelolaan perkotaan hendaknya dilakukan dengan merumuskan strategi kebijakan yang baru sesuai dengan perkembangan jaman. Kelompok penduduk yang memerlukan perhatian khusus yaitu remaja, anak-anak dan usia lanjut sejauh ini masih dipandang sebagai kelompok yang tereksklusi dari pembangunan perkotaan. Demikian juga dengan program-program yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender (PUG). Dalam rangka menuju pembangunan perkotaan yang inklusif, maka beberapa langkah yang dapat disarankan untuk ditempuh dalam pengelolaan perkotaan adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan manajemen data kependudukan di wilayah perkotaan 2. Mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan dengan promosi mobilitas non permanen. 3. Perbaikan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. 4. Tidak ada lagi penghuni perkotaan Dalam dokumen rancangan RPJMN 20152019 bidang pembangunan perkotaan dan perdesaan oleh Bappenas (2014) disebutkan beberapa strategi dalam pembangunan perkotaan di masa depan, yaitu: 1. Mewujudkan Nasional (SPN) Sistem Perkotaan a. KSN Di luar Pulau Jawa: mendorong kegiatan sentra produksi pengolahan dan jasa untuk melayani Kawasan Timur Indonesia serta memantapkan fungsi keterkaitan dengan pusat pertumbuhan internasional; b. KSN Di Pulau Jawa: spesialisasi fungsi jasa pendidikan, teknologi informasi, industri & pariwisata perkotaan (urban tourism); c. Kota Sedang: Meningkatkan kualitas jaringan dan pelayanan transportasi yang terintegrasi antar wilayah, antar simpul transportasi dan angkutan massal sebagai penghubung antar PKN dan PKW; 2. Pemenuhan (SPP) Pelayanan Perkotaan a. Percepatan pemenuhan pelayanan sarana prasarana permukiman (perumahan, air bersih, pengelolaan sampah, pengolahan limbah, drainase, pedestrian, dan RTH) yang memenuhi kualitas kota yang layak huni; b. Peningkatan kualitas dan kuantitas 99 pelayanan kesehatan dan pendidikan yang mudah diakses & terjangkau masyarakat; c. Penyediaan sarana pemerintahan dan sarana prasarana ekonomi, khususnya di sektor perdagangan dan jasa yang aman dan nyaman serta mudah diakses bagi seluruh kalangan. termasuk kelompok lansia, difabel, wanita, dan anak; d. Pengembangan sarana prasarana pengolahan hasil pertanian dan kelautan, serta transhipment point; 3. Membangun Kota Hijau yang berketahanan iklim dan bencana a. Penataan, pengelolaan, & pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan yang eisien, berkeadilan & ramah lingkungan; b. Peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur yang memenuhi kualitas kota yang layak huni; c. Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam membangun kota tangguh (urban resilience); d. Penyediaan RTH perkotaan serta green pengembangan konsep infrastructure dan konsep green building; 4. Membangun Kota Cerdas dan berdaya saing a. Pengembangan waga kota yang inovatif, kreatif, produktif, dan mampu memanfaatkan potensi keragaman sosial budaya lokal; b. Penggunaan ICT dalam penyediaan layanan publik melalui e-government, e-commerce, dan e-infrastructures; 5. Meningkatkan kapasitas tata kelola 100 pembangunan perkotaan a. Pembentukan Komite Percepatan Pembangunan Perkotaan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota; b. Penyiapan peraturan perundangan khusus tentang perencanaan dan pembangunan perkotaan berkelanjutan; c. Peningkatkan kualitas aparatur pemerintah dalam perencanaan, pembangunan dan pengelolaan kota berkelanjutan; d. Penyiapan instrumen untuk melaksanakan monitoring & evaluasi pengelolaan dan pembangunan kota berkelanjutan; e. Pelibatan secara aktif peran praktisi, pakar dan organisasi profesi yang terkait dengan perkotaan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan dan pembangunan kota; f. Peningkatan kapasitas kerjasama antar kota dan antar daerah didalam negeri serta antar negara terkait pengelolaan perkotaan, termasuk dalam hal pengembangan ekonomi lokal dan daerah; g. Pengembangan lembaga penyediaan bantuan teknis dan pembiayaan infrastruktur perkotaan; h. Penyediaan peta dengan skala 1:25.000 dan 1:5000 untuk proses perencanaan dan pembangunan kota; i. Penyediaan dan pemutakhirkan data dan informasi perkotaan, terutama dalam aspek sosial budaya, ekonomi, lingkungan, tata kelola, pelayanan perkotaan dan sistem perkotaan. 101 Glossary ADA Age Demands Action. Bodetabek Bogor Depok Tangerang Bekasi. Aglomerasi Gabungan Kumpulan dua atau lebih pusat kegiatan; tempat pengelompokan berbagai macam kegiatan dl satu lokasi atau kawasan tertentu, dapat berupa kawasan industri, permukiman, perdagangan, dan kegiatan lainnya (yang dapat saja tumbuh melewati batas administrasi kawasan masing-masing, sehingga membentuk wilayah baru yang tidak terencana secara sempurna). BSD Bumi Serpong Damai. AKPM Akses, Kontrol, memperoleh Manfaat. Partisipasi dan Amuba Arus Mudik Balik. ARG Anggaran Responsif Gender, adalah anggaran yang mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan mengontrol sumber-sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam menikmati hasil pembangunan. ASLUT Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar. Bappenas Badan Pembangunan Perencanaan Pembangunan Nasional. dan BPS Badan Pusat Statistik. BIAF Baros International Animation Festival. BITC Baros Information Technology and Creative Center. Keluarga BKSPMM Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Maminasata. BNN Badan Narkotika Nasional. 102 iv CCA Cimahi Creative Association. CEDAW Convention On The Elimination Of All Form Of Discrimination Against Women. CSR Corporate Social Responsibility. Demografi Ilmu yang memperlajari penduduk (suatu wilayah) terutama mengenai jumlah, struktur (komposisi penduduk) dan perkembanganya (perubahannya). DKI Daerah Khusus Ibukota. APS Angka Partisipasi Sekolah. BKKBN Badan Koordinasi Berencana Nasional. BT Bujur Timur. DIY Daerah Istimewa Yogyakarta. DPD Dewan Perwakilan Daerah. Dukcapil Dinas Pencatatan Sipil. Kependudukan dan E-KTP Elektronik Kartu Tanda Penduduk. Fenomena Hal-hal yg dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah, seperti fenomena alam. GBS Gender Budget Statement, adalah dokumen yang menginformasikan suatu output kegiatan yang telah responsif gender terhadap isu gender yang ada, dan/atau suatu biaya telah dialokasikan pada output kegiatan untuk menangani permasalahan kesenjangan gender. Gender Pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil kontruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. GOR Gelanggang Olah Raga. Ha Hektar. HIV/AIDS Human Immunodeiciency Virus/ Acquired Immune Deiciency Syndrome. ICT Information Technology. Communication dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi. KB Keluarga Berencana. Kemenparekraf Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. KIMA Kawasan Industri Makassar. Infrastruktur Bangunan-bangunan yang diperlukan untuk memberikan pelayanan atau jasanya bagi kebutuhan dasar penduduk; terdiri atas prasarana transportasi (jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dsb); prasarana kesehatan (jaringan pipa air bersih, jaringan drainase, jaringan pengumpulan dan pembuangan sampah); dan prasarana energy dan komunikasi (jaringan kawar transmisi dan membagi, jaringan kawat telepon, dsb). KIP Kampung Improvement Project. IPG Indeks Pembangunan Gender. KSM Kelompok Swadaya Masyarakat. IPM Indeks Pemberdayaan Manusia. KSN Kawasan Strategis Nasional. JDV Jogja Digital Valley. JSLU Jaminan Sosial Lanjut Usia. KSPPN Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional. KA Kereta Api. KTP Kartu Tanda Penduduk. Kawasan Industri Kawasan khusus untuk kegiatan industri pengolahan atau manufaktur; kawasan ini dilengkapi dengan prasarana, sarana/fasilitas penunjang yg disediakan oleh Perusahaan Kawasan Industri. Lansia Seorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Kawasan Perdesaan Kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Mabello Makassar Benahi Lorong. Kawasan Perkotaan Kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan KLA Kota Layak Anak. Konurbasi Suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota yang saling berdekatan namun tidak memiliki keterpaduan satu satu sama lain. KPR Kredit Pembangunan Rumah. KRA Kota Ramah Anak. KRL Kereta Rel Listrik. LKS Lembaga Kesejahteraan Sosial. LPP Laju Pertumbuhan Penduduk. LS Lintang Selatan. Maminasata Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar. MDG’s Millenium Development Goals. Metropolitan Suatu wilayah perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang salinh memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan 103 v jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa. (Pasal 1 UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang). MICE Meeting,Incentive,Convention,Exhibiti on. PIKKRR Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja. PKBI Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia. Migrasi Perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain, baik melewati batas politis negara maupun administrasi, dengan tujuan untuk menetap. Migrasi sering pula diartikan sebagai perpindahan relatif permanaen dari suatu tempat ke tempat lain. PKW Pusat Kegiatan Wilayah. Migrasi Musiman Perpindahan penduduk dengan niat tinggal antara 3-6 bulan. PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Migrasi Sirkuler Perpindahan penduduk dengan niat tinggal kurang dari 3 bulan. PNS Pegawai Negeri Sipil. Mobilitas Non Permanen Perpindahan penduduk dengan tidak menetap di daerah tujuan dan biasanya dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan. Mobilitas Ulang Alik Perpindahan penduduk dengan niat tinggal kurang dari satu hari dan sering disebut dengan penglaju. MTR Makassar Ta Ratansa. Mudik Berlayar, pergi ke udik atau kampung halaman. P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan. 104 vi tempat dalam batas wilayah negara pada waktu tertentu. PKBM Pusat Krisis Berbasis Masyarakat. PKL Pedagang Kaki Lima. PKN Pusat Kegiatan Nasional. PPMK Program Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan. PSP3 Pemuda Sarjana Pembangunan di Perdesaan Penggerak PUG Pengarusutamaan Gender, adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat. Posdaya Pos Pemberdayaan Keluarga. P2TP2A Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Posbindu Pos Pembinaan Terpadu. PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa. PDB Produk Domestik Bruto. PSP3 Pemuda Sarjana Pembangunan di Perdesaan. Perda Peraturan Daerah. PT Perseroan Terbatas. Pemuda Penduduk usia 15 - 24 tahun . RAD Rencana Aksi Daerah. Penduduk Orang dalam matranya sebagai diri pribadi, anggota keluarga,anggota masyarakat, warga negara dan himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu RAN Rencana Aksi Nasional. Posyandu Pos Pelayanan Terpadu. Penggerak RAN-LU Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia. RDTR Rencana Detil Tata Ruang, adalah penjabaran dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam rencana distribusi pemanfaatan ruang dan bangunan serta bukan bangunan pada kawasan kota. STM Sekolah Teknik Mesin. RI Republik Indonesia. TI Teknologi Informasi. RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja. RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 5(lima) tahun. UEP Usaha Ekonomi Produktif. RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun. (Perpres No. 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional). UHH Usia Harapan Hidup. RTH Ruang Terbuka Hijau. RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah, adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang. RT Rukun Tetangga. RW Rukun Warga. SARA Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. SAKERNAS Survey Angkatan Kerja Nasional. SD Sekolah Dasar. SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah. SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. SMA Sekolah Menengah Atas. SUPAS Survey Penduduk Antar Sensus. SUSENAS Survey Sosial Ekonomi Nasional. TPT Tingkat Pengangguran Terbuka. UI Universitas Indonesia. UKM Usaha Kecil Menengah. UN United Nations. UNICEF United Nations Children’s Emergency Fund. International UNPF United Nations Population Fund. UPT Unit Pelaksana Teknis. UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah. UU Undang-Undang. Urbanisasi Perubahan secara keseluruhan atau transformasi tatanan masyarakat yg semula dominan perdesaan menjadi dominan perkotaan; arti terbatas juga disebut pertambahan penduduk suatu kota sbg akibat migrasi penduduk dr daerah perdesaan sekitarnya atau krn perpindahan penduduk dr kota lain. (Kamus Tata Ruang, Kemeterian Pekerjaan Umum). WHO World Health Organization. YEL Yayasan Emong Lansia. SMK Sekolah Menengah Kejuruan. SMP Sekolah Menengah Pertama. SOPD Struktur Organisasi Perangkat Daerah. SP Sensus Penduduk. SPN Sistem Perkotaan Nasional. SPP Sistem Pelayanan Perkotaan. 105 vii Daftra Pustaka Adioetomo, Sri Moertiningsih S. 2005. Bonus Demograi: Menjelaskan Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ekonomi Kependudukan pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 30 April. Alisjahbana. Sumbangan Ekonomi Sektor Informal. (http://digilib.unipasby. ac.id/download.php?id=164, Diakses pada tanggal 26 Agustus 2014, Pukul 12.12 am) Anonim. 2014. Proil Perempuan Indonesia 2013. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik. Anonim. 2014. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik. Anonim. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Bappenas Anonim. Rencana Pembangunan JangkaMenengahNasional 2010-2014. Bappenas Anonim. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Bappenas Arriaga, Eduardo. 1975. The Measurment of Urbanization and Projection of Urban Population. International Union for the Scientiic Study of Population. Badan Pusat Statistik. 1972. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1971. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1982. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1980. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1992. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1990. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1999. Penyempurnaan Konsep Perkotaan dan Perdesaan. Mimeograph. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2002. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2000. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta. Bahri, Syamsul (2012). Pembangunan Perkotaan dan Pedagang Kaki Lima (PKL) Suatu Kajian Intervensi 106 viii Bappenas. 2010. Rencana Pembangunan JangkaMenengahNasional 20102014. Jakarta. Bappenas. 2014. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Bidang Pembangunan PerkotaandanPerdesaan. Unpublished draft. Jakarta Distribusi Penduduk menurut Wilayah Perkotaan dan Perdesaan SP 2010. http://www.sp2010.bps.go.id. 1 Agustus 2014. Hilda. 2012 Surabaya Kota Ramah Lansia. Gapura Majalah Pemerintah Kota Surabaya. ISSN 1978-3663. Vol XLIV. No.66 Oktober 2012. International Labour Organization. 2004. Laporan Mengenai Tenaga Kerja Muda di Indonesia: Data Terbaru. Jakarta. James N. Gribble dan Jason Bremner. 2012. Achieving A Demographic Dividend. Population Bulletin, PRB (Population Reference Bureau ). Unicef. 2012. ProilAnak Indonesia Tahun 2013. ProyeksiPenduduk Indonesia Tahun 2005-2025. 2008. Jakarta. Bappenas. Nugroho, Sidiq. 2012. PenyusunanEkonomiKreatif Kota Surakarta. Surakarta. Bappeda. Rolis, Ilyas. 2013. Sektor Infromal Perkotaan dan Ikhtiar Pemberdayaannya. Jurnasl Sosiologi Islam Vol 3 No. 2 Oktober 2013. ISSN : 2089-0192. Saefullah, Djadja. 1996. “Mobilitas Internal Nonpermanen”. Dalam Aris Ananta dan Chotib. Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demograi FEUI dan Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. Setiawan. Nugraha. 2008. Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Analisis Urbanisasi. Mimeograph. Shryock, Henry s. and Jacob S. Siegel. 1976. The Methods and Materials of Demography. New York: Academic Press. SiaranPers : Rencana Pengembangan EkonomiKreatif 2015-2019. 2014. kemenparef.go.id Simanjuntak. 2012. StatistikaKepemudaan 2010, Jakarta. BadanPusatStatistika. 107 ix Subiyakto, Rudy. 2012. “Membangun Kota LayakAnak: Studi Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah”. Sosio-Religia. Vol. 10. No. 1. Februari. Survey Penduduk Tahun 2010. Badan Pusat Statistika. Jakarta. Tjiptoherijanto, Prijono. 1998. Mobilitas Sebagai Tantangan Kependudukan Masa Depan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Depok, 21 Oktober. Wibowo, A. Kerentanan Lingkungan Laut Tiap Provinsi Di Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm. 145-162, Juni 2012. Bogor, FPIK-IPB. 108 x 109 xi 109 xi