Kemitraan Agenda Habitat Indonesia
Habitat Agenda Partners Indonesia
URBAN
DEMOGRAFI
3
4
Daftar Isi
Daftar Isi
i
Kata Pengantar
iii
SUBTEMA : DEMOGRAFI PERKOTAAN
1
Habitat & Fokus Perhatiannya
1
1. Pengelolaan Urbanisasi yang Cepat
5
Pemanfaatan Jendela Kesempatan dalam Pembangunan Perkotaan 16
2. Pengelolaan Hubungan antara daerah Perkotaan dan Perdesaan 23
Mega Urban Region di Indonesia
Pengelolaan Metropolitan Maminasata
3. Identifikasi Kebutuhan Penduduk Muda Perkotaan
27
36
41
Implementasi KLA di Indonesia
47
Pemuda & Tumbuhnya Kota Kreatif di Indonesia
53
Indonesia Berkebun
61
4. Respon terhadap Kebutuhan Usia Lanjut
66
Kehidupan Lansia di Indonesia
78
Kehidupan Lansia di Kota Jakarta
81
5. Pengarusutamaan Gender dalam
Integrasi Pembangunan Perkotaan
84
Upaya Pemberdayaan Perempuan di Kota Makassar
89
Provinsi dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) Tertinggi
90
6. Tantangan Pengelolaan Perkotaan
96
7. Agenda ke Depan
98
Glossary
iv
Daftar Pustaka
viii
5i
6
ii
Kata Pengantar
Indonesia telah aktif dalam forum internasional bidang permukiman dan perumahan
sejak Konferensi Internasional Habitat yang pertama yang diadakan di Vancouver pada tahun
1976. Hingga 40 tahun kemudian, Indonesia masih aktif dan sedang dalam tahap persiapan
dalam rangka Konferensi Internasional Habitat ke 3 yang akan diadakan di tahun 2016.
Terlepas dari keikutsertaan Indonesia dalam konferensi Habitat, Indonesia melalui
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya Direktorat Jenderal
Cipta Karya, memiliki visi yaitu “Terwujudnya permukiman perkotaan dan perdesaan yang
layak huni, produktif dan berkelanjutan melalui penyediaan infrastruktur yang handal dalam
pengembangan permukiman, pengembangan sistem penyediaan air minum, pengembangan
penyehatan lingkungan permukiman dan penataan bangunan dan lingkungan”. Artinya
Indonesia telah lama berupaya mewujudkan habitat yang berkelanjutan dalam pembangunan
baik di perkotaan maupun perdesaan.
Laporan Nasional Habitat III merupakan hasil dari analisis perkembangan perkotaan
selama 40 tahun terakhir. Bagian penunjang sub tema urban demography ini merupakan
hasil analisis dari sisi demograi perkotaan. Aspek demograi terutama urbanisasi merupakan
salah satu aspek penting yang mempengaruhi aspek-aspek pendukung lainnya yang
mempengaruhi perkembangan perkotaan, antara lain land & urban planning, environment &
urbanization, governance & institution, urban economics, dan housing & basic services, yang
menjadi sub tema lain yang dikupas dalam buku laporan nasional Habitat III Indonesia.
Buku ini tidak hanya membahas penduduk produktif pada umumnya, akan tetapi semua
unsur mulai dari keterlibatan lansia, perempuan, hingga pemuda dan anak-anak yang
juga merupakan unsur penting dalam mengarahkan dan mempengaruhi perkembangan
perkotaan baik unsur isik dan non-isiknya.
Diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai konsisi urban
demography di Indonesia sekaligus memberikan masukan dan rekomendasi yang bermanfaat
untuk pengembangan permukiman dan perumahan yang berkelanjutan.
Jakarta, 24 November 2014
Ir. Mochammad Natsir, M.Sc
Direktur Pengembangan Air Minum
iii
7
Kumpulan tulisan ini disusun
dalam rangka menunjang National
Report yang akan digunakan
sebagai Bahan Konferensi Habitat III
(Oktober, 2014).
Disusun Oleh :
Rudy P.Tambunan
Chotib
Syarifah F.Syaukat
Yuli Nurraini
Diah Arlina
Fathia Hashilah
8
DEMOGRAFI
PERKOTAAN
Habitat &
Fokus Perhatiannya
Konferensi Habitat merupakan suatu
forum bagi negara-negara yang memiliki
kepedulian pada permasalahan perkotaan,
forum ini pertama kali diadakan pada tahun
1976 (Konferensi Habitat I, Vancouver),
dan kemudian tahun 1996 (Konferensi
Habitat II, Istambul). Sesuai dengan
agenda Istambul, pada tahun 2016 akan
diselenggarakan Konferensi Habitat III
dengan tema Sustainable Urbanization.
Dalam partisipasinya untuk kegiatan tersebut,
negara anggota perlu menyiapkan National
Report, yang berisikan isu-isu perkotaan
dan membahas Agenda Perkotaan Baru
(New Urban Agenda) yang akan menjadi
kesepakatan bersama.
1
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
telah
menetapkan bahwa peringatan Hari Habitat
Sedunia diselenggarakan pada minggu
pertama bulan Oktober setiap tahun.
Perhatian PBB pada habitat atau secara
lebih spesiik pada permukiman (human
settlement), khususnya untuk negaranegara sedang berkembang, secara formal
telah dideklarasikan pada Konferensi Habitat
Internasional I di Vancouver, Kanada, tahun
1976.
Konferensi ini menghasilkan Deklarasi
Vancouver tentang habitat yang antara
lain menekankan bahwa, permukiman
harus merupakan instrumen dan obyek
pembangunan, pemenuhan perumahan
dan kelengkapannya sebagai salah satu hak
mendasar manusia, khususnya masyarakat
miskin, serta pengendalian penggunaan dan
kepemilikan lahan. Sebagai implementasi
dari deklarasi tersebut, banyak negara
berkembang
melaksanakan
berbagai
program
pembangunan
perumahan,
khususnya untuk masyarakat kurang mampu
di perkotaan.
2
Sementara
di
Indonesia,
sejak
pertengahan 1970-an hingga kini telah
berlangsung berbagai program terkait
permukiman, diantaranya Site and Services
yang populer hingga pertengahan tahun
1980-an, perbaikan daerah kumuh, perbaikan
kampung/kampung improvement project
(KIP), pembangunan infrastruktur perkotaan,
konsolidasi lahan, pemilikan rumah, dan
KPR-BTN.
Dua puluh tahun kemudian, 1996,
Konferensi Habitat II di Istanbul, Turki,
mendeklarasikan bahwa lingkup habitat
semakin melebar, tidak hanya masalah
perumahan dan permukiman (shelter)
semata, tetapi juga perkotaan secara luas.
Perkotaan harus diarahkan menjadi pusatpusat peradaban, pendorong kemajuan
ekonomi, serta pengembangan budaya,
spiritual, dan ilmu pengetahuan.
Disadari pula bahwa pengembangan
perkotaan
harus
mempertimbangkan
pluralitas dan mendorong solidaritas
masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas
hidup di permukiman, perlu didorong
program-program pembangunan untuk
mengantisipasi
kepadatan
penduduk
berlebihan,
kekurangan
perumahan,
kemiskinan, lapangan kerja, serta buruknya
infrastruktur dasar dan pelayanan publik.
Demikian pula dengan eksklusi sosial,
kekerasan, serta keamanan, khususnya untuk
wanita dan anak-anak, penyandang cacat
(disabled), serta berbagai masalah sosial
lain. Aspek isik pembangunan perkotaan
juga harus mempertimbangkan kenyataan
bahwa kondisi lingkungan hidup semakin
memburuk serta rentan terhadap bencana,
baik alam maupun akibat ulah manusia.
Lebih dari sekadar menekankan habitat
dengan pembangunan di perkotaan,
Deklarasi Istanbul juga
menyoroti
hubungan perkotaan dengan perdesaan.
Perkembangan perkotaan sangat terkait
dengan apa yang terjadi di wilayah
perdesaan. Pengembangan wilayah secara
terintegrasi akan mengurangi laju mobilitas
penduduk dari perdesaan ke perkotaan.
Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya
keterkaitan (linkage) kota-kota besar dengan
kota-kota kecil dan menengah, apalagi
dengan wilayah perdesaan, cenderung
melemah, kecuali untuk sektor- sektor
ekonomi informal. Ini karena kota-kota
besar tersebut lebih banyak menjadi
”pelayan” ekonomi global. Hal ini akan
semakin mendorong disparitas kota-kota
besar dengan kota-kota kecil dan wilayah
perdesaan.
dan kabupaten, seperti Jabodetabekjur, jelas
tidak dapat dilakukan secara parsial oleh
kota dan kabupaten, tetapi harus terintegrasi
sebagai suatu kesatuan wilayah perkotaan.
Sementara itu berbagai aspek dalam
Deklarasi Vancouver (1976) dan Deklarasi
Istanbul (1996) mengenai habitat masih
relevan hingga kini. Namun, dengan
perkembangan
yang
terjadi
serta
kecenderungannya ke depan, seyogianya
agenda-agenda habitat, baik dari PBB,
pemerintah pusat, maupun pemerintah kota
di Indonesia perlu diperluas dan disesuaikan
dengan dinamika pembangunan perkotaan.
Saat ini, yang sangat diperlukan adalah
kehadiran sebuah kebijakan dan arah
pembangunan perkotaan secara nasional
yang diprogramkan dan dilaksanakan secara
konsisten.
Tantangan lain yang perlu mendapat
perhatian adalah dampak negatif perubahan
iklim pada kota-kota besar, khususnya yang
berlokasi di tepi pantai, karena memicu
banjir dan rob (tidal lood), pemanasan,
dan lainnya. Selain itu, dalam era otonomi
daerah dan desentralisasi, pembangunan
wilayah perkotaan yang bersifat lintas kota
3
Diantara hal yang menjadi focus bahasan
adalah kerentanan dalam bencana alam,
konlik sosial-politik dalam penggunaan
lahan
dan
sumberdaya
alam,
dan
penggunaan energi.
Pada prepatory committee Konferensi
Habitat III yang dilakukan pada 17-18
September 2014 di New York, Joan Cloas
menyatakan bahwa persiapan menuju
Konferensi
Habitat
III membutuhkan
beberapa kesepakatan dan perhatian bersama
dengan mempertimbangkan kondisi saat ini,
bahwa dunia secara cepat didominasi oleh
wilayah perkotaan, dengan jumlah penduduk
yang menetap di perkotaan mencapai 4
Miliar. Dengan tren pertumbuhan penduduk
saat ini, maka Pemerintah Kota harus cepat
menyediakan perumahan bagi 70% populasi
yang akan menetap di perkotaan pada tahun
2050. Penduduk dunia butuh kota dan
permukiman yang inclusive, safe, resilient
dan sustainable. Hal ini perlu direalisasikan
dengan skema kerjasama public private
partnership sehingga dapat tercapai
pengadaan permukiman yang terjangkau
dan layak.
Preparatory
Committee
dilakukan
untuk menentukan bahasan utama dalam
Konferensi III kelak, khususnya untuk
mencapai human settlement & sustainable
urban development. Bahasan ditentukan
berdasarkan trend dan permasalahan yang
terjadi di berbagai belahan dunia saat ini.
4
Selain itu, untuk menggugah kesadaran
masyarakat akan kondisi kota saat ini,
urban
campaign
untuk
dibutuhkan
meningkatkan partisipasi dari seluruh
stakeholder kota. Keterlibatan masyarakat
menjadi sangat penting, karena akan
terjadi demographic shift pada 20-30 tahun
ke depan. Dengan demikian penyiapan
dan pengelolaan komunitas perkotaan
merupakan tantangan kedepan.
Sementara itu, Ban Ki Moon menyebutkan
bahwa, agenda Habitat III akan diarahkan
pada capaian Housing Settlement dan
Sustainable Urban Development, dengan
fokus bahasan diperluas pada sektor health
dan resilience.
Tantangan ke depan bagi Negara-negara
dalam
mengimplementasikan
agenda
habitat, terutama dalam menyediakan
permukiman dan mencapai pembangunan
perkotaan yang berkelanjutan diantaranya
adalah penggunaan energi untuk konsumsi
kegiatan di perkotaan, keterkaitan desakota dengan peran masing-masing yang
harus didukung oleh insfrastruktur dan
pelayanan publik yang baik, bencana dan
dampak perubahan iklim, wabah penyakit,
adaptasi dan urban resilience, peningkatan
kapasitas
pengelola
kota,
impulsion
cooperation dengan seluruh stakeholder di
perkotaan, menderivasikan agenda Habitat
dalam agenda pembangunan nasional, dan
komitmen terhadap implementasi agenda
habitat.
1. Pengelolaan Urbanisasi yang Cepat
Bintarto
(1986)
menyampaikan
pandangan tentang urbanisasi, yakni proses
pemusatan penduduk di daerah perkotaan
dalam artian:
(a) meningkatnya jumlah
dan kepadatan penduduk kota, baik akibat
kenaikan fertilitas penghuni kota maupun
karena adanya tambahan penduduk dari desa
yang bermukim dan berkembang di kota,
(b) isik kota menjadi lebih padat dan makin
luas sebagai akibat pertambahan penduduk,
(c) berubahnya pola kehidupan desa atau
suasana desa menjadi suasana kehidupan
kota dan (d) bertambahnya jumlah kota
dalam suatu negara atau wilayah sebagai
akibat meningkatnya jumlah penduduk
kota, perkembangan ekonomi, budaya dan
teknologi.
Menurut Koestoer (1997)1, pandangan
di atas secara tidak langsung memberikan
batasan wilayah desakota, tetapi cenderung
1.
Koestoer, Raldi Hendro. (1997). Perspektif Lingkungan Desa-Kota: Teori dan
Kasus. Jakarta: UI-Press.
memberi pengertian dasar secara lepas
tentang desa dan kota. Desa disebutkan
merupakan
hasil
perpaduan
antara
kegiatan sekelompok
manusia dengan
lingkungannya. Perpaduan tersebut tertuang
dalam kenampakannya di permukaan bumi,
yang tidak lain berasal dari komponenkomponen isiograi, sosial, ekonomi, politik
dan budaya yang saling berinteraksi. Kecirian
isik ditandai oleh permukiman yang tidak
padat, sarana transportasi yang langka,
penggunaan tanah persawahan, khususnya
untuk wilayah perdesaan di negara-negara
berkembang di kawasan Asia. Kecirian lain
berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa,
yaitu penduduk dan tata kehidupannya.
Ikatan tali kekeluargaan di desa sangat erat
atau gemeinschaft dengan perilaku gotongroyong masyarakat menjadi dominan.
Lebih lanjut menurut Koestoer (1997),
untuk batasan di Indonesia umumnya,
kota secara alamiah merupakan desa yang
5
berkembang. Tidak mustahil Jakarta di sekitar
tahun 1960-1970- an sering dikenal sebagai
the big village. Ini mungkin karena kondisi
Jakarta saat itu menunjukkan lingkungan
yang kumuh secara mayoritas. Kekumuhan
Jakarta saat itu merupakan bentuk peralihan
kota yang menuju ke arah modernisasi, di
mana tingkat urbanisasi sangat tinggi, di lain
pihak, kesiapan pemerintah daerah saat itu
masih sangat terbatas dalam menghadapi
arus migrasi desa kota yang besar.
Secara
jelas
pengertian
desakota
termasuk di dalamnya tentang penjabaran
suatu region sebagai wilayah peralihan,
sebagai tempat bermukim masyarakat
wilayah pinggir kota dan dengan demikian
juga mencakup semua aspek interaksi,
perilaku sosial dan struktur isik secara
spasial. Di mana perkembangannya sangat
bergantung kepada spatial system yang
lebih tinggi, yaitu kota. Jadi, suatu wilayah
desakota masih termasuk dalam kawasan
sistem konurbasi suatu kota.
Wilayah desakota dalam tinjauan para
pakar membutuhkan penjelasan lebih
mendasar, khususnya dalam batasan isik
dan non isik keruangannya. Pakar di bidang
keruangan dari berbagai visi disiplin ilmu
telah berusaha untuk memberi batasan yang
mendasar tentang desakota. Pakar di bidang
soisologi-antropologi banyak menekankan
perhatiannya pada aspek keruangan
desakota dan mereka mengaitkan kehidupan
wilayah desakota dengan perilaku tertentu,
seperti transisi, anonimitas dan superisialitas.
Penjabarannya lebih memfokus pada
perbedaan karakteristik sosial dalam konteks
wilayah.
Riggs
(dalam
Nasution,
20092)
mengemukakan beberapa ciri masyarakat
2.
3.
6
daerah transisi yang meliputi: (a) terjadinya
tumpang tindih antara nilai-nilai tradisional
dan proses modernisasi. Pada satu sisi nilainilai modern
mempengaruhi
perilaku
kehidupan masyarakat perdesaan untuk
meninggalkan
nilai-nilai
tradisional,
namun pada sisi lain nilai-nilai tradisional
yang positif tetap dipertahankan, seperti
solidaritas dan partisipasi masyarakat;
(b)
masyarakat
menjadi
heterogen,
seperti: tingkat pendidikan,
pekerjaan,
dan kepercayaannya; (c)
terjadinya
pembangunan
perumahan baru di desa
pinggiran yang tidak
memerhatikan
kondisi masyarakat sekitar, mengakibatkan
bias terjadinya
pertentangan
antara
nilai-nilai yang dibangun
masyarakat
pendatang dengan masyarakat
asli,
dan kecemburuan sosial; (d) kawasan
desa pinggiran kota, kawasan di mana
semakin
tumbuh dan berkembangnya
kawasan-kawasan industri, perdagangan,
dan perumahan yang membawa dampak
positif, yakni memberikan kesempatan kerja
non pertanian bagi masyarakat di wilayah
tersebut dan sisi negatifnya terjadi konlik
antara masyarakat asli dan pendatang; (e)
masyarakat desa mengalami peralihan
dari mata pencaharian di bidang agraris
(pertanian) menuju mata pencaharian non
pertanian.
Ciri lain relasi sosial masyarakat perkotaan,
menurut Quinn (1967) dalam Chotib (2014)3
adalah tingkat segmentasi kelompok yang
sangat tinggi. Hal ini disebabkan setiap
individu di daerah perkotaan memiliki
tingkat heterogenitas yang cukup tinggi pula.
Kelompok-kelompok yang berbeda satu
sama lain menuntut anggotanya memiliki
lebih banyak peran yang berbeda dalam
setiap kelompok. Kebanyakan dari dari
penduduk kota berpotensi besar menjadi
Nasution, Zulkarnain. (2009). Solidaritas Sosial dan Partisipasi Masyarakat Desa Transisi: Suatu Tinjauan Sosiologis. Malang: UMM-Press.
Chotib. (2014). Dampak Mobilitas Ulang Alik terhadap Kohesi Sosial Para Pekerja di Komunitas Perumahan Kota Depok. Disertasi Program Studi Sosiologi Program
Pasca Sarjana FISIP UI. Depok.
seorang individualis (extreme individualist),
karena kebanyakan masyarakat perkotaan
menikmati lebih banyak
kemungkinan
untuk
berpartisipasi
dalam berbagai
hubungan kelompok, mereka akan memilih
dari berbagai kemungkinan kontak spsesiik
yang ada. Karenanya
penghuni kota
dapat memilih kelompok mana dia akan
berinteraksi dan berpartisipasi, sehingga
akan membangun kohesiitas kelompok
tersebut.
Secara phisiograi, Indonesia memiliki
beberapa karakter kota, diantaranya kota
pesisir, kota daratan dan kota pulau. Terdapat
281 kota/kabupaten yang terdapat di Pesisir,
dari total 444 kota/kabupaten yang ada di
Indonesia, atau sekitar 63,3%.4 Sementara
itu, beberapa kota mengalami urbanisasi
yang cukup tinggi, mulai dari tingkat
megalopolitan sampai pada kota kecil, baik
yang terdapat di pesisir, mainland maupun
Kota Pulau, diantaranya adalah Jabodetabek,
Makassar, Surabaya, Semarang, Medan,
Makassar, Batam, Solo, Cimahi, Cilegon,
Gorontalo, Payakumbuh, Pekalongan, Solok,
Sawahlunto, Sibolga, dsb.
Pemerintah telah melakukan berbagai
upaya
dalam
menangani
urbanisasi,
diantaranya dengan menangani mobilitas
penduduk dari perdesaan ke perkotaan
yang marak dan sekaligus proses urbanisasi
yang cepat di Indonesia, hal ini tercermin
dalam dokumen Buku I RPJMN (Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional) 2010-2014 (Bappenas, 2010)
yang menyatakan bahwa keadilan dalam
pembangunan, perlu ditunjukkan dengan
pembangunan yang merata di semua
bidang, baik pembangunan antara kotakota metropolitan, besar, menengah, dan
kecil yang diseimbangkan pertumbuhannya,
baik dengan mengacu pada sistem
4.
pembangunan perkotaan nasional maupun
pembangunan di berbagai bidang yang
terkait dengan peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Keadilan dalam pemerataan
pembangunan diperlukan untuk mencegah
terjadinya pertumbuhan isik kota yang
tidak terkendali serta untuk mengendalikan
arus migrasi langsung dari desa ke kotakotabesar dan metropolitan, dengan cara
menciptakan kesempatan kerja dan peluang
usaha di kota-kota menengah dan kecil,
terutama di luar Pulau Jawa. Oleh karena
itu, harus dilakukan peningkatan keterkaitan
kegiatan ekonomi sejak tahap awal.
Dalam
kaitan
itu,
percepatan
pembangunan
kota-kota
kecil
dan
menengah yang telah berjalan selama ini
harus terus ditingkatkan, terutama di luar
Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat
menjalankan perannya sebagai penggerak
pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya
dan melayani kebutuhan warga kotanya.
Pendekatan pembangunan yang perlu
dilakukan, antara lain, dengan memenuhi
kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai
dengan tipologi kota masing-masing.
Di sisi lain, pembangunan perdesaan
harus terus didorong melalui pengembangan
agroindustri padat pekerja, terutama bagi
kawasan yang berbasis pertanian dan
kelautan; peningkatan kapasitas sumber
daya manusia di perdesaan khususnya
dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam melalui penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi tepat
guna; pengembangan jaringan infrastruktur
penunjang kegiatan produksi di kawasan
perdesaan dan kota-kota kecil terdekat
dalam upaya menciptakan keterkaitan
isik, sosial, dan ekonomi yang saling
melengkapi dan saling menguntungkan;
peningkatan akses informasi dan pemasaran,
Wibowo, A. Kerentanan Lingkungan Laut Tiap Provinsi Di Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm.145-162, Juni 2012. Bogor, FPIKIPB.
7
lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan
teknologi; pengembangan social capital dan
humancapital yang belum tergali potensinya
sehingga kawasan perdesaan tidak sematamata mengandalkan sumber daya alam
saja; serta intervensi harga dan kebijakan
perdagangan yang berpihak ke produk
pertanian, terutama terhadap harga dan
upah.
Pada bagian lain dari Buku I RPJMN
2010-2014, dijelaskan bahwa dalam upaya
mendukung percepatan pembangunan
wilayah, kebijakan pembangunan wilayah
juga diarahkan untuk: (1) pengembangan
kawasan strategis dan cepat tumbuh,
(2) pengembangan daerah tertinggal,
kawasan perbatasan, dan rawan bencana,
(3) pengembangan kawasan perkotaan
dan perdesaan, dan (4) penataan dan
pengelolaan pertanahan. Untuk mencapai
tujuan yang diharapkan maka strategi yang
diterapkan pada butir 4 dan 5 dokumen
Buku I RPJMN 2010-2014 adalah sebagai
berikut: (4). Menyeimbangkan pertumbuhan
pembangunan kota-kota metropolitan,
besar, menengah, dan kecil dengan mengacu
pada sistem pembangunan perkotaan
nasional. yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya pertumbuhan isik kota yang tidak
terkendali (urban sprawl & conurbation),
seperti yang terjadi di wilayah pantura Pulau
Jawa, serta untuk mengendalikan arus
migrasi masuk langsung dari desa ke kota-
kota besar dan metropolitan, dengan cara
menciptakan kesempatan kerja, termasuk
peluang usaha, di kota-kota menengah
dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa; dan
(5). Mempercepat pembangunan kotakota kecil dan menengah terutama di luar
Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat
menjalankan perannya sebagai
‘motor
penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah
di sekitarnya maupun dalam melayani
kebutuhan warga kotanya.
Statistik Indonesia mencatat persentase
penduduk urban terus meningkat seperti
yang dapat dilihat pada tabel 1. Kondisi
tersebut melampaui perkiraan UN, yang
didasarkan pada
asumsi bahwa tahun
1980 penduduk urban Indonesia 22%,
akan mencapai 36% pada tahun 20005,
padahal statistik Indonesia tahun 2010 telah
mencatat penduduk urban mencapai 42,3%.
Tampaknya memang
terjadi akselarasi
peningkatan jumlah penduduk urban sejak
tahun 1980, diantaranya karena pada masa
itu struktur ekonomi Indonesia bergeser dari
negara pertanian menuju negara industri.
Dengan demikian Indonesia
di masa
datang tidak hanya menghadapi tantangan
bagaimana mengelola urbanisasi yang akan
terjadi, tetapi juga bagaimana mengatasi
akibat urbanisasi yang telah melonjak pada
tahun 80an.
Sebelum tahun 2000, Statistik Indonesia
menjelaskan
bahwa
suatu
wilayah
Tahun
Jumlah Penduduk
Indonesia
persentase
Penduduk Kota
Jumlah Penduduk
Kota
1971
119.208.229
14,8
17.642.817
1980
147.490.298
17,4
25.663.311
1990
179.378.946
30,9
55.428.094
2000
206.264.595
42,3
87.249.923
2010
237.641.326
49,8
118.345.380
Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Jumlah Penduduk Urban Indonesia
5.
8
UN (1985), Estimate and Projection of Urban, Rural and City Population 1950-2025: The 1982 Assessment, Department of International Economic and Social Afair,
New York.
administratif
setingkat
desa/kelurahan
mempunyai kepadatan penduduk lebih dari
5000 orang/km2, persentase rumah tangga
pertanian kurang dari 25%, dan mempunyai
sekurang-kurangnya 8 fasilitas perkotaan.
Namun, kriteria ini kemudian diubah, tidak
lagi dengan angka baku tetapi penentuan
ciri urban itu dilakukan dengan kisaran dan
sistem skor (score).6
Pola angka urbanisasi di Indonesia
memperlihatkan bahwa
DKI Jakarta
merupakan daerah yang memiliki angka
urbanisasi terbesar (100 persen), dan angka
terbesar kedua di Jawa adalah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 66,4
persen pada tahun 2010, setelah sebelumnya
57,64 persen pada tahun 2000. Kemudian
diikuti oleh Provinsi Jawa Barat, dengan
angka urbanisasi sebesar 65,7 persen pada
tahun 2010 dan sebelumnya 50,31 persen
pada tahun 2000.
6.
Hal ini menunjukkan pertambahan angka
urbanisasi di Jawa Barat lebih pesat daripada
di DI Yogyakarta. Sementara itu Provinsi
Jawa Timur juga memperlihatkan angka
urbanisasi yang cukup tinggi, yaitu 40,9
persen pada tahun 2000 dan meningkat
menjadi 47,6 persen pada tahun 2010. Hal
yang sama juga terjadi pada Provinsi Jawa
Tengah yang memiliki angka urbanisasi 40,19
persen pada tahun 2000 dan meningkat
menjadi 45,7 persen pada tahun 2010.
Beberapa provinsi di luar Jawa terlihat
cukup tinggi sejak tahun 2000 seperti
Sumatera Utara dengan angka urbanisasi
42,64 persen; kemudian meningkat menjadi
49,2 persen pada tahun 2010. Hal yang
sama juga terjadi di Bangka Belitung dan
Kepulauan Riau. Khusus provinsi Kepulauan
Riau, angka urbanisasi di provinsi ini jauh
melebihi angka urbanisasi nasional, yaitu
sebesar 82,8 persen. Sementara itu Provinsi
Riau sebagai provinsi induk Kepualuan Riau
sebelum pemekaran mengalami penurunan
Menurut sistem ini sebuah desa dapat dikategorikan sebagai perkotaan jika dapat memperoleh sekor paling sedikit 10, dari pensekoran atas : kepadatan
penduduk dengan sekor antara 1 s/d 8 untuk kepadatan berkisar kurang dari 500/km2 - 8500/km2 , sekor 1 s/d 8 untuk persentase rumah tangga pertanian
dari 70% sampai 5%; dan masing-masing sekor 1 untuk akses pada fasilitas urban berupa: sekolah taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA masing-masing berjarak
sekurang-krangnya dari 2,5 km dari desa, pertokoan dan atau pasar yang berjarak kurang dari 2 km dari desa, bioskop dan rumah sakit sekurang-kurangnya 5 km
dari desa, tersedia hotel/diskotik /bilyard/panti pijat/salon; jumlah rumah tangga pengguna telpon sekurang-kurangnya 8% dan 90% rumah tangga dilayani aliran
listrik.
9
angka urbanisasi dari 43,30 persen pada
tahun 2000 menjadi 39,2 persen pada
tahun 2010. Dari perbandingan antara kedua
provinsi yang disebutkan terakhir ini tampak
bahwa menurunnya angka urbanisasi di
Riau terjadi karena sebagian besar wilayah
perkotaan di provinsi ini merupakan wilayah
Kepulauan Riau yang kini telah menjadi
provinsi sendiri.
Sementara itu beberapa provinsi di
wilayah timur Indonesia juga terlihat telah
cukup tinggi seperti di Bali dari 49,74 persen
pada tahun 2000 menjadi 60,2 persen
pada tahun 2010. Demikian juga dengan
Kalimantan Timur, dari 57,75 persen pada
tahun 2000 menjadi 63,2 persen pada tahun
2010. Kedua provinsi telah memiliki angka
urbaniasi di atas nasional sejak tahun 2000.
Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan Sulawesi Utara tengah mengalami
perkembangan menuju wilayah perkotaan
yang lebih luas.
Secara umum pertumbuhan penduduk
di perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan penduduk nasional,
meski demikian alur tren peningkatan
pertumbuhan penduduk nasional dan
petumbuhan penduduk perkotaan memiliki
kesamaan pada pada periode tahun
1970-1980 dan 1980-1990, sedangkan
pada periode 1990-2000 pertumbuhan
penduduk perkotaan trennya lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan nasional, dan
tren tersebut kembali sama menurun pada
periode 2000-2010.
Sedangkan tren pertumbuhan penduduk
perkotaan pada tahun 2025 diperkirakan
68% penduduk akan menetap di wilayah
perkotaan, dan tahun 2045 diperkirakan 82%
pendidik Indonesia akan tinggal di Kawasan
Perkotaan (KSPPN, 2014).
Graik 1. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan, Nasional dan Perdesaan
Keterangan: Angka pertumbuhan dihitung dengan metode eksponensial Sumber : BPS (berbagai tahun)
10
Dengan demikian peningkatan penduduk
urban setelah tahun 2000, dipengaruhi oleh
perbedaan variabel penentuan wilayah
urban tersebut. Namun, angka statistik
belum dapat menggambarkan perubahan
sosial budaya sebagai akibat terjadinya
proses pemadatan dan perubahan sumber
penghidupan ke non pertanian. Dengan
demikian meskipun suatu desa mendapatkan
skor sebagai urban, tetapi kehidupan
sosialnya bisa jadi masih perdesaan.
Distribusi
spasial
penduduk
yang
menetap di perkotaan pada periode tahun
1971, 1980, 1990, 2000 dan 2010 dapat dilihat
pada peta di bawah ini, yang secara umum
menunjukan pertumbuhan yang tinggi di
bagian Barat Indonesia, meskipun pada 2000
sudah mulai menunjukan pertumbuhan
yang pesat ke beberapa wilayah bagian
Timur Indonesia.
Gambar 1. Persentase Penduduk yang Tinggal di Perkotaan Menurut Provinsi di Indonesia 2010
11
Berdasarkan gambaran yang telah
disampaikan di atas terkait urbanisasi.
Pemerintah Indonesia mengelola kondisi
urbanisasi tersebut dengan beberapa
pendekatan, yaitu
: (a) pengelolaan
kependudukan, (b) perbaikan dan perluasan
wilayah urban; (c) pengelolaan migrasi dan
mobilitas penduduk.
(a) Pengelolaan urbanisasi
dalam arti
pengelolaan kependudukan
12
daerah, terdapat arah dan tujuan
yang jelas dalam penurunan angka
kelahiran menjadi setengahnya pada
tahun 2000 (dipercepat menjadi
tahun 1990) dari keadaan tahun 1971.
Program KB Nasional dilaksanakan
dengan komitmen politik yang tinggi
dari pemerintah pusat, diantaranya
Presiden bertanggung jawab penuh dan
melibatkan diri dalam hampir semua
kegiatan penting berkaitan dengan
promosi dan peningkatan
jumlah
akseptor. Kebijakan yang dicanangkan
dari pemerintah pusat diterjemahkan ke
bawah dengan memanfaatkan struktur
pemerintahan sentralistik yang kuat dari
pusat sampai ke lini lapangan terbawah.
Pengelolaan kependudukan dilakukan
sebagai upaya mengelola pertumbuhan
alamiah penduduk perkotaan, yaitu
dengan menurunkan angka kelahiran dan
angka kematian, sekaligus peningkatan
kesehatan reproduksi. Upaya ini telah
dimulai sejak tahun 1957 yang pada
awalnya diprakarsai oleh ikatan dokter
Indonesia,
yang
dikenal
sebagai
Perhimpunan
Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI).
Sejak tahun 1969
prakarsa tersebut
diformalkan
menjadi program
pemerintah dan
kemudian dibentuk Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
yang diperluas tugasnya
dengan
mengaitkan
perencanaan
keluarga
dengan peningkatan
kesejahteraan
keluarga.
Tahun 1993 dibentuk
Kementerian Negara Kependudukan dan
Keluarga Berencana. Program ini telah
berhasil menurunkan laju pertumbuhan
penduduk dari 2,31% pada tahun 19701980, menjadi 1,98% pada 1980-1990
dan menjadi 1,49% pada tahun 19902000. Pada periode tahun 2000-2010
pertumbuhan itu tetap 1,49% .
Namun, pada era desentralisasi saat
ini, implementasi program tergantung
kepada komitmen kepala daerah, dengan
demikian ketersediaan alat dan obatobatan kontrasepsi sangat bergantung
pada kemampuan pengadaan dan
pengelolaan dari pemerintah daerah.
Meski demikian, pelajaran yang baik
dari masa lalu hendaknya diteruskan
dengan penyesuaian terhadap kondisi
masyarakat masa kini, dalam era
perubahan, reformasi birokrasi dan
meningkatnya kesadaran tentang hakhak azasi manusia pada era demokrasi
saat ini, terutama ketika bonus
demograi telah mulai dirasakan saat ini.
Pemerintah Daerah memiliki tantangan
untuk mampu memahami kondisi dan
potensi kependudukan wilayahnya dan
mengelolanya dengan beriorientasi
mencapai window opportunity.
Terjadinya stagnasi angka pertumbuhan
pada dua dasawarsa terakhir diakibatkan
oleh adanya nuansa demokratisasi
di kalangan masyarakat Indonesia
dan
desentralisasi
dalam
sistem
pemerintahan. Sebelum era otonomi
Bagaimanapun negara Indonesia telah
memastikan
upaya
pengendalian
kependudukan
ini berkelanjutan
dengan ditetapkannya UU No 10/1992
tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
UU ini kemudian
diganti dengan
UU No.52/2009 yang selain karena
perkembangan desentralisasi dalam
penyelanggaraan pemerintahan antara
lain juga ditambahkan amanat agar
mobilitas penduduk diarahkan dan
mengaitkannya dengan daya dukung
lingkungan.
Untuk itu pengelolaan
kependudukan ini telah diperkuat
dengan UU N0.24/2013
tentang
Administrasi
Kependudukan
dan
modernisai registrasi penduduk dengan
E-KTP diseluruh Indonesia.
(b) Pengelolaan urbanisasi
dalam arti
perbaikan dan pengembangan wilayah
urban.
Perbaikan wilayah urban adalah untuk
mengatasi akibat urbanisasi yang telah
terjadi, terutama yang menyebabkan
tumbuhnya
permukiman
kumuh.
Pengembangan wilayah urban dapat
berupa perluasan atau penambahan
wilayah
dan atau peningkatan daya
tampung
wilayah urban yang ada.
Apa yang telah dilakukan tentang hal
ini secara lebih detail dibahas dalam
Subtema : Perumahan dan Layanan
Dasar Perkotaan, dan Lingkungan
Perkotaan.
(c) Pengelolaan
urbanisasi dalam arti
pengendalian migrasi dan mobilitas.
Pengelolaan
urbanisasi
tidak
ditujukan untuk mencegah terjadinya
urbanisasi yang
memang telah
menjadi keniscayaan, tetapi untuk
mengupayakan
agar
urbanisasi
membuahkan hasil yang positif dan
konstruktif dan tidak berdampak
negatif dan destruktif.
Oleh karena
itu migrasi dan mobilitas penduduk tidak
dicegah, tetapi diupayakan lebih selektif
dan terarah seperti yang diamanatkan
UU
kependudukan.
Pada
sektor
formal, seleksi ini telah terjadi dengan
sendirinya oleh lapangan kerja, tetapi
pada sektor informal masih menjadi
beban bagi
wilayah urban yang dituju. Di Indonesia
belum ada instrumen yang efektif untuk
mengelola migrasi ini, walaupun telah
ada UU yang mengamanatkan upaya ini.
Program transmigrasi sejak reformasi
tidak lagi menonjol seperti pada tahun
80an.
Salah
satu
upaya
pengendalian
migrasi dari perdesaan ke perkotaan
adalah
dengan dilakukannya upaya
“Rekayasa Urbanisasi di Perdesaan”,
yang dicanangkan oleh Kementrian
Negara
Kependudukan/Kepala
BKKBN pada era 1990-an.
Secara
internasional, istilah rekayasa ini belum
lazim namun perlu diperkenalkan
kembali dalam literature demograi –
yang dapat diartikan sebagai “upayaupaya untuk mempercepat terjadinya
proses urbanisasi pada daerah- daerah
perdesaan”. Upaya ini diharapkan dapat
mendorong pertumbuhan kota-kota
kecil baru sebagai daerah penyangga
yang akan dapat “mengerem” arus
migrasi penduduk dari perdesaan ke
perkotaan.
Pertumbuhan kota-kota
kecil seperti ini akan meningkatkan
terjadinya pola-pola mobilitas ulangalik (commuting) antar kota. Namun
perlu didukung akses transportasi yang
link and match karena topograi wilayah
kepulauan tentu saja membutuhkan
ragam moda untuk meningkatkan arus
ulang-alik dan mengurangi mobilitas
(migrasi) permanen.
13
Graik 2. Proyeksi Persentase Penduduk Perkotaan-Perdesaan Tahun 2045
Pengelolaan
urbanisasi
perlu
memperhatikan
proyeksi
ke
depan.
Berdasarkan proyeksi Bappenas, BPS,
UNPF disebutkan bahwa, pada tahun
2025 komposisi struktur umur penduduk
Indonesia adalah : penduduk umur 0-14
tahun mencapai 23,3%, penduduk umur 1564 tahun mencapai 68,7%, dan penduduk
umur > 65 tahun mencapai 8,1%. Komposisi
ini menggambarkan kebutuhan penyediaan
permukiman dan sarana prasarana dasar
perkotaan, lapangan kerja,
dan sarana
transportasi.
Celah lain yang dapat dimasuki para
pencari kerja secara terbuka, tanpa keahlian
dan regulasi yang mengikat adalah sector
informal. Berbagai penelitian menyebutkan
bahwa sektor ini mampu menjadi katup
penolong bagi 70% tenaga kerja di
Negara Berkembang. Di Indonesia, sektor
informal umumnya bergerak dalam usaha
perdagangan seperti : pedagang asongan,
warung kopi, warung nasi, penjual bakso,
jasa pengangkutan seperti : tukang ojek dan
tukang becak, PKL dengan berbagai jenis
mata dagangnya.
Berbagai laporan penelitian terkait
memperlihatkan bahwa penduduk yang
masuk ke wilayah perkotaan merupakan
tenaga kerja muda berusia produktif.
Sementara itu, perkembangan pembangunan
suatu daerah tergantung kepada kualitas
sumberdaya manusia migran yang datang
ke daerah tersebut. Menurut Adioetomo
(2005), peningkatan jumlah penduduk
usia kerja yang amat pesat harusnya
dihadapi dengan penciptaan lapangan
kerja yang memadai. Jika pasar kerja tidak
siap menampung mereka, maka terjadilah
peningkatan pengangguran secara terus
menerus, terutama di daerah perkotaan.
Selain menyerap jumlah tenaga kerja
yang tinggi, sektor ini juga berperan sebagai
sektor penyangga (bufer) yang sangat
lentur, juga memiliki kaitan erat dengan
jalur distribusi barang dan jasa di tingkat
bawah, dan bahkan menjadi ujung tombak
pemasaran yang potensial.7
7.
8.
14
Berdasarkan hasil penelitian di 8 (delapan)
kota dunia ketiga, Sethuraman menemukan
bahwa, mereka yang terlibat dalam sektor
informal ini kebanyakan berada pada usia
kerja utama (prime age), berpendidikan
rendah.8 Sektor ini berkontribusi sebagai the
origin self-employment yang merangsang
Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed), 2005, Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Prenada Media.
Rolis, Ilyas. 2013. Sektor Infromal Perkotaan dan Ikhtiar Pemberdayaannya. Jurnasl Sosiologi Islam Vol 3 No. 2 Oktober 2013. ISSN : 2089-0192
tumbuhnya
kewirausahaan
mayarakat
lokal, menggerakan pertumbuhan ekonomi
perkotaan, menyediakan peluang kerja
bagi angkatan kerja, meyerap ruralurban yang tidak terserap sektor formal,
memiliki pendapatan rendah dibawah
upah minimum, modal usaha rendah,
menampung perpindahan tenaga kerja
dari sektor pertanian serta memiliki
kemungkinan untuk mobilitas vertikal
dan sebagai alternatif pertama untuk
mencari penghasilan secara mandiri. Selain
itu, sektor ini juga memiliki kontribusi
dalam memecahkan masalah sosial dan
memperkokoh
sendi-sendi
kehidupan
masyarakat yang penting bagi pertumbuhan
ekonomi suatu negara.9
Sementara itu, menurut data BPS, sektor
informal menyerap 70% angkatan kerja,
sementara sektor formal hanya 30%. Namun,
di Indonesia umumnya keberadaan sektor
informal identik dengan aneksasi terhadap
ruang publik, yang mengganggu ketertiban,
keindahan dan kebersihan kota.10
9. Alisjahbana. Sumbanagan Ekonomi Sektor Informal. (http://digilib.unipasby.ac.id/download.php?id=164, diakses pada tanggal 26 Agustus 2014 Pukul 12.12 am)
10. Bahri, Syamsul (2012). Pembangunan Perkotaan dan Pedagang Kaki Lima (PKL) Suatu Kajian Intervensi
15
Pemanfaatan Jendela Kesempatan
dalam Pembangunan Perkotaan
Indonesia akan menghadapi era dimana
rasio jumlah penduduk usia produktif (1564 tahun) melebihi jumlah penduduk usia
non produktif (0-14 dan 65 tahun ke atas).
Masa dimana penduduk usia produktif
jauh melebihi penduduk usia non produktif
ini akan berpengaruh terhadap rasio
ketergantungan - yang menggambarkan
beban “ekonomi” yang harus ditanggung
oleh penduduk usia produktif terhadap
penduduk usia non produktif mencapai
titik terrendah. Era ini dikenal sebagai
Bonus Demograi yang diperkirakan akan
berlangsung antara 2015-2040.
Menurut Adioetomo (2005),
bonus
demograi hanya akan terjadi satu kali saja
bagi semua penduduk suatu negara yaitu
yang disebut sebagai window of opportunity.
Kesempatan yang diberikan oleh bonus
demograi ini berupa tersedianya kondisi atau
ukuran yang sangat ideal pada perbandingan
jumlah penduduk yang produktif dengan
penduduk yang tidak produktif. Pada saat
itu rasio ketergantungan berada dibawah
50 %. Artinya perbandingan antara penduduk
produktif (usia kerja) dengan penduduk non
usia kerja sekitar 2 kalinya. Bonus demograi
biasanya hanya terjadi satu atau dua dekade
saja, karena dengan berjalannya waktu
penduduk lansia akan terus bertambah,
sehingga rasio ketergantungan akan
meningkat kembali.
Konsekuensi dari transisi demograi
tersebut - dimana jumlah penduduk produktif
Graik 3. Pola Rasio Ketergantungan Muda (0-14) dan Tua (65+) dan Jendela Kesempatan
Sumber: Adioetomo, 2005
16
meningkat lebih banyak dibandingkan
penduduk yang tidak produktif - memberikan
implikasi pada keuntungan ekonomi. Karena
ketika beban ketergantungan sangat rendah,
terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja
yang apabila semuanya terserap dalam
kesempatan kerja yang tersedia, maka akan
meningkatkan total output yang diperoleh.
Dengan semua penduduk usia kerja, maka
akan terjadi akumulasi yang lebih besar,
karena semua tenaga kerja yang bekerja
mampu memperbesar tabungan mereka.
Tabungan ini akan lebih bermakna jika
diinvestasikan untuk kegiatan yang produktif.
Selain itu tenaga kerja yang besar ini dapat
ditingkatkan kualitasnya melalui kebijakan
investasi yang khusus. Manfaat lain dari
pemanfaatan jendela kesempatan adalah
kesempatan perempuan untuk memiliki
peningkatan pendapatan11.
Indikator Bonus Demografi
1950
1961
1971
1980
1990
2000
2010
Jumlah Penduduk (juta)
79,54
97,02
119,21
147,49
179,38
206,30
237,64
Proporsi Penduduk 0-14 (%)
39.1
42.3
43.7
40.7
36.6
30.6
28.9
Proporsi Penduduk 15-64 (%)
56.9
55.0
53.1
55.6
59.5
64.5
66.1
Proporsi Penduduk 65+ (%)
4.0
2.7
2.5
3.2
3.8
4.6
5.0
Rasio Ketergantungan
(per 100)
75,8
81,8
86,8
79,1
67,8
54,7
51,31
Proyeksi Indikator Bonus
Demografi
2015
2020
2025
2030
2035
255,46
271,07
Jumlah Penduduk 0-14 (juta)
27,3
26,1
24,6
22,9
21,5
Jumlah Penduduk 15-64
(juta)
67,3
67,7
67,9
68,1
67,9
Proporsi Penduduk 65+ (%)
5,4
6,2
7,5
9,0
10,6
Rasio Ketergantungan
(per 100)
48,6
47,7
47,2
46,9
47,3
Jumlah Penduduk (juta)
284,83 296,40 305,65
Tabel 2. Indikator Bonus Demograi Indonesia, Tahun 1950-2035
Sumber: Diolah dari BPS berbagai Tahun; Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 (Bappenas, BPS, UNFPA, 2013).
11. Paparan Optimalisasi Pemanfaatan Bonus Demograi oleh Kepala BKKBN, Prof. dr. Jalal, PhD, SpGK, 13 Mei 2014
17
Data
demograi
Indonesia
memperlihatkan
adanya
pergeseran
proporsi penduduk usia non produktif, yaitu
menurunnya proporsi usia non produktif
muda (0-14) dan meningkatnya proporsi
penduduk usia non produktif tua (65 tahun ke
atas). Perubahan ini terus terjadi sepanjang
periode proyeksi.
Angka ketergantungan
yang semula dibebani oleh terutama
penduduk muda, mengalami penurunan
hingga tahun 2010 dan berlanjut ke tahuntahun proyeksi. Namun kelanjutan angka
ketergantungan tersebut lebih disebabkan
oleh peningkatan proporsi penduduk usia
tua.
Bonus Demograi Indonesia memberikan
peluang terbukanya Jendela Kesempatan
yang sangat singkat, rata-rata hanya dua
decade saja. Ini terjadi apabila rasio penduduk
non produktif dengan penduduk lansia
18
adalah yang terrendah (low dependency
ratio). Setelah selesainya era ini, maka
kemudian sumbangan proporsi penduduk
tua akan meningkat lagi, dan rasio antara
penduduk non produktif dengan penduduk
usia kerja kembali tinggi, bahkan lebih tinggi
dari sebelumnya. Oleh karenanya, respon
kebijakan dari pemerintah harus menyiapkan
pemanfaatan jendela kesempatan ini.
Menurut
Adioetomo,
pada
satu
kesempatan Focus Group Discussion di
Jakarta bulan Juli 2014, Indonesia pada saat
ini sesungguhnya telah menikmati hasil dari
bonus demograi tersebut. Seperti terlihat
pada tabel di atas, rasio ketergantungan
Indonesia telah mencapai 51 %, dimana
proporsi usia produktif telah mencapai 66 %,
sedangkan pada sisi lain proporsi usia muda
telah menurun menjadi 28 %. Proporsi
penduduk usia produktif yang maksimal
ini sudah seharusnya dimanfaatkan sebaik
mungkin apalagi jika kualitas sumberdaya
manusia mereka sangat memadai.
Perubahan struktur umur penduduk
akibat transisi demograi jangka panjang ini
berdampak pada peningkatan jumlah tenaga
kerja, yang apabila mendapatkan kesempatan
kerja yang produktif, akan meningkatkan
total output. Tersedianya human capital
yang jumlahnya lebih besar ini (daripada
tahun-tahun sebelumnya) harus diarahkan
melalui kebijakan peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia melalui investasi
pembangunan mutu modal manusia yang
menjadi prioritas utama.
Pemanfaatan Jendela Kesempatan dalam
pembangunan jangka menengah dan jangka
panjang ke depan antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Program Keluarga Berencana harus terus
berlanjut melalui perluasan jangkauan
dan peningkatan kualitas pelayanan.
2. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi
masyarakat, kesehatan reproduksi.
5. Dalam aspek ketenagakerjaan, upaya
penurunan angka pengangguran harus
tercapai paling tinggi 5 %.
6. Makin
meningkatnya pendidikan
penduduk perempuan, perlu diperluas
kesempatan kerja
yang
merata
khususnya
kepada
penduduk
perempuan,
sehingga
terjadi
peningkatan partisipasi angkatan kerja
di kalangan perempuan.
Program-program yang disebutkan di
atas merupakan hanya beberapa contoh
kebijakan di bidang kependudukan dalam
kaitannya dengan pemanfaatan Jendela
Kesempatan
yang sebentar lagi akan
dihadapi oleh Indonesia. Setiap wilayah
di Indonesia memiliki variasi waktu untuk
menghadapi era Bonus Demograi tersebut,
di samping memiliki kekhasan dan ciri sosial
masyarakat setempat. Karena itu berbagai
kebijakan kependudukan yang dirumuskan
hendaknya disesuaikan dengan ciri dan
keunikan
wilayah masing-masing guna
peningkatan daya saing penduduk di masa
depan.
3. Guna meningkatkan daya saing global,
investasi di sektor pendidikan perlu terus
ditingkatkan.
Pendidikan usia dini,
pendidikan dasar sembilan tahun
diperluas
jangkauan
pelayanannya
melalaui kebijakan wajib belajar dan
pendidikan gratis.
Akses jangkau
diperluas
hingga
daerah-daerah
terpencil dan akses yang merata kepada
penduduk perempuan.
Untuk itu, pengarahan dan pengontrolan
momen dividen demograi melalui kebijakan
dan program menjadi peluang emas dalam
proses pembangunan ekonomi Indonesia.
Namun,
akan
menjadi
kekhawatiran
dan bencana besar jika momen dividen
demograi ini tidak diarahkan dan dikontrol
dengan baik.
4. Masih rendahnya pendidikan penduduk
usia 15 tahun ke atas dapat diantisipasi
melalui
pendidikan
vokasi
dan
kecakapan hidup (life skill). Jika perlu
dicanangkannya program pendidikan
seumur hidup, meski melalui jalur
pendidikan luar sekolah sekalipun.
Hingga saat ini telah ada beberapa
negara yang berhasil memanfaatkan kondisi
fenomena dividen demograi ini, diantaranya
Korea Selatan dan Latin Amerika. Berdasarkan
beberapa negara yang dikategorikan berhasil
dalam memanfaatkan dividen demograi,
dapat dilihat adanya perhatian khusus pada
beberapa bidang.
19
Gambar 2. Kebijakan Global untuk Mencapai Keberhasilan Bonus Demograi (Dividen Demograi)12
Salah satu negara yang berhasil memanfaatkan dividen demograi (bonus demograi)
adalah Korea Selatan. Korea Selatan memiliki beberapa tahap yang dilakukan sebagai
bagian dari proses pencapaian dividen demograi;
1. Perubahan Struktur Populasi.
Perubahan strukstur populasi di Korea Selatan ini dilakukan dengan penerapan kebijakan
terkait populasi dalam bentuk perencanaan keluarga. Hal ini berhasil dilakukan melalui
penyuluhan ke setiap rumah di seluruh Korea Selatan. Keberhasilan ini dibuktikan
dengan menurunnya nilai TFR (Total Fertility Rate). Pada tahun 1950, nilai TFR di Korea
Selatan adalah 5.4 anak per perempuan, kemudian pada tahun 1975 bernilai 2.9
dan kemali menurun pada tahun 2005 dengan nilai TFR hanya berkisar 1.2. 3
2. Penerapan program kesehatan untuk meningkatkan angka harapan hidup.
Program kesehatan yang diterapkan di Korea Selatan adalah diberlakukannya asuransi
kesehatan yang disubsidi pemerintah dan bersifat gratis. Ini diterapkan sejak tahun 1960an, saat itu angka harapan hidup hanya mencapai 53 tahun. Setelah diberlakukannya
asuransi kesehatan bagi warga Korea Selatan, secara drastis angka harapan hidup
meningkat menjadi 83 tahun.3
3. Kebijakan di bidang pendidikan.
Pada awalnya, sekitar tahun 1960, sistem pendidikan di Korea Selatan berorientasi pada
pendidikan dasar wajib, namun kemudian disesuaikan menjadi “pendidikan yang
berorientasi pada produksi”. Pendidikan yang berorientasi pada produksi dimaksudkan
sebagai pendidikan yang menekankan pada pengetahuan dan keterampilan (vokasional)
yang dibutuhkan sebagai modal pembangunan ekonomi negara. Kebijakan ini
mampu meningkatkan jumlah angka peserta didik yang tadinya hanya 54% dari jumlah
anak usia sekolah (1960) menjadi 97% pada tahun 1990.3
12. Sumber: James N. Gribble dan Jason Bremner: Achieving A Demographic Dividend. Population Bulletin, PRB (Pupulation Reference Bureau Desember 2012
20
21
22
2. Pengelolaan
Hubungan
antara Daerah
Perkotaan dan
Perdesaan
Zelinsky pada tahun 1971 yang mencoba
melihat kaitan tahapan pembangunan
ekonomi dengan besaran dan tipe mobilitas
penduduk. Ia membuat lima tahap transisi
mobilitas: masyarakat tradisional pra modern
(premodern traditional society), masyarakat
transisi awal (early transitional society),
masyarakat transisi akhir (late transitional
society), masyarakat maju (advance socety),
dan masyarakat supermaju masa depan
(future superadvanced society).
Pada tahap pertama, mobilitas penduduk
sangat kecil karena berbagai keterbatasan
alat
transportasi
dan
pembatasanpembatasan sosial (misalnya peraturanperaturan suku). Tahap kedua, penduduk
mulai berpindah, baik dari daerah perdesaan
ke daerah perkotaan maupun dari daerah
yang relatif
’maju’
ke daerah-daerah
frontier/baru sebagai pionir (misalnya pionirpionir yang membuka wilayah-wilayah
pedalaman di benua Amerika sekitar abad
17-18). Tahap ketiga ditandai dengan mulai
terbatasnya – walau tetap dalam jumlah
besar – perpindahan dari perdesaan
ke
perkotaan, serta berkurangnya pembukaan
daerah-daerah
frontier
(karena mulai
habis). Tahap keempat ditandai dengan
mulai membesarnya mobilitas antarkota
dan ulang-alik (commuting). Tahap terakhir,
kelima, mobilitas isik penduduk mungkin
akan mulai berkurang akibat sistem
komunikasi dan pengiriman barang yang
sudah sangat baik.
23
Pemikiran ini kemudian disempurnakan
oleh Skeldon (1990) dengan menganalisis
pola mobilitas penduduk di negara-negara
berkembang yang kemudian dikembangkan
menjadi tujuh tahapan transisi mobilitas.
Transisi mobilitas yang dikembangkan oleh
Skeldon (1990) ini adalah (1) masyarakat
pratransisi (pre-transitional society), (2)
masyarakat transisi awal (early transitional
society), (3) masyarakat transisi menengah
(intermediate transitional society), (4)
masyarakat transisi akhir (late transitional
society), (5) masyarakat mulai maju, (6)
masyarakat maju lanjut, dan (7) masyarakat
super maju.
Jika dikaitkan dengan kondisi Indoenesia
saat ini, maka tidak dapat dipastikan sudah
berada pada tahap yang mana dalam
tahapan transisi mobilitas, baik menurut
Zelinsky (1971) maupun Skeldon (1990).
Namun beberapa ciri masyarakat Indonesia
mulai dari ciri pada tahap ke empat hingga
tahap ke tujuh tampaknya menunjukkan
kemiripan.
Tahap keenam maupun
ketujuh tampaknya mewarnai masyarakat
perkotaan di Indonesia, yaitu terjadinya
suburbanisasi penduduk yang menyebar
ke pinggiran kota-kota besar. Sedangkan
maraknya penggunaan ponsel dengan
teknologi SMS maupun internet merupakan
gejala yang umum di Indonesia yang
menunjukkan tahap ke tujuh.
Dalam kaitannya dengan kebijakan
pembangunan daerah dan pembangunan
perdesaan yang dilengkapi
dengan
program
penanggulangan
kemiskinan,
Menteri
Kependudukan/Kepala BKKBN
pada era Orde Baru telah mencanangkan
suatu kebijakan yang dikenal sebagai
Gerakan Pembangunan Keluarga Modern
dengan Suasana Kota di Desa (Bangga Suka
Desa). Program tersebut diarahkan untuk
mewujudkan kota-kota penyangga yang
mandiri sebagai bufer-zone
bagi perkotaan yang telah ada. Bahkan
diupayakan agar dapat meningkatkan
mobilitas barang dan jasa serta dana dan
tenaga kerja untuk dapat mengalir ke daerah
perdesaan di sekitar kota- kota besar dan
menengah, sehingga diharapkan akan dapat
secara cepat memberikan hasil terbentuknya
penduduk berciri perkotaan pada daerahdaerah perdesaan13.
Tentu
saja
hubungan
perdesaan
dan
perkotaan
bukan hanya masalah
demograis , bukan hanya soal bagaimana
mengendalikan migrasi penduduk pedesaan
ke perkotaan.
Kesenjangan sosial dan
ekonomi antara pedesaan dan perkotaan
adalah masalah simptomatik yang dapat
didata dan diamati. Telah menjadi suatu
keniscayaan bahwa
jumlah penduduk
urban meningkat
dan
penduduk
pedesaan (rural) menurun. Diproyeksikan
bahwa penduduk pedesaan hanya tinggal
sekitar 30%, tetapi nilai absolutnya masih
akan besar, masih akan lebih dari 100 juta
jiwa dan sebagai besar di luar Jawa masih
akan bertahan sebagai desa adat.
Selain
itu
angka
statistik
juga
menunjukkan bahwa
segala indikator
kesejahteraan
sosial seperti: jumlah
penduduk miskin,
PDB perkapita,
IPM,
Indeks Kesehatan, angka kematian balita
menunjukan bahwa kesejahteraan rakyat di
wilayah perkotaan lebih baik dari pedesaan.
Meskipun produk desa adat
ada yang
mempunyai nilai tinggi di mata masyarakat
urban, tetapi pertambahan nilai lebih banyak
dinikmati masyarakat urban yang menjadi
perantaranya. Pemerintah juga tidak kurang
menyalurkan subsidi ke perdesaan seperti:
subsidi benih , pupuk dan pestisida, bahan
bakar, maupun bantuan langsung tunai,
13. Aris Ananta dan Chotib. (1996). Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demograi FEUI dan Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
24
tetapi kesenjangan kesejahteraan penduduk
perkotaan dan perdesaan masih
lebar.
Mungkin karena subsidi besar lain berupa
bahan bakar minyak dan listrik lebih banyak
dinikmati oleh penduduk urban.
Dengan
demikian
pengelolaan
hubungan urban dan pedesaan
pada
dasarnya adalah mengelola ketimpangan
urban-rural. Hal ini dicoba diatasi
dengan
desentralisasi
dan penguatan
penyelenggaraan pemerintahan
desa.
Untuk itu
UU No 5 /1979 tentang Desa
diganti dengan UU No.6/2014 . Undangundang ini tidak lain adalah bagian dari
komitmen untuk melaksanakan reformasi
penyelenggaraan negara.
Intinya UU
ini menegaskan dan mengatur : Pertama
penghargaan terhadap pluralitas desa di
Indonesia. Dalam UU ini diakui keragaman
bentuk desa dan keberadaan desa
adat.
Kedua kejelasan kedudukan dan
kewenangan Desa sebagai bagian NKRI.
Desa tidak serta merta dideinisikan sebagai
bagian integral pemerintahan kabupaten,
tetapi diakui memiliki sistem pengelolaan
kekuasaan dan sumberdaya yang mandiri.
Ketiga menjamin adanya subsidi sebagai
tanggung jawab konstitusionil
negara
terhadap rakyat desa untuk dapat keluar dari
proses marginalisasi pedesaan.
Pemerintah
Kabupaten
adalah
satuan pemerintahan yang mempunyai
wewenang dan tanggung jawab penuh
untuk membina kapasitas pemerintahan
desa agar dapat mengimbangi invasi dan
penetrasi sektor urban. Dengan demikian
pemeritah Kabupaten-lah yang mendatang
harus lebih berperanan dalam pengelolaan
hubungan ekonomi urban rural dan kondisi
sosio kultural yang telah menyalurkan hasil
keberhasilan
para migran ke pedesaan
asalnya. Kesediaan para migran
untuk
25
mengeksploitasi diri agar dapat menabung
untuk ditransfer atau dibawa ke pedesaan
melalui acara antara lain “mudik” adalah
contoh kondisi sosio kultural yang mewarnai
hubungan perkotaan dan perdesaan.
Pertimbangan
mendasar
dalam
mendorongpembangunankearahketerkaitan
dan integrasi desa kota adalah prinsip
pembagian peran dalam pembangunan
wilayah perkotaan berkelanjutan.
Pada
satu sisi, kawasan perdesaan akan sukar
mengembangkan
kegiatan ekonominya
tanpa mempertimbangkan kota sebagai
pusat pengolahan produksi dan pemasaran
hasil pertanian ke pasar yang lebih luas,
maupun pelayanan bagi input kegiatan
sektor pertanian. Pada sisi lain pembangunan
perkotaan tidak dapat hanya dilakukan melalui
pemanfaatan sumberdaya manusia dan alam
di perdesaan, namun juga mengembangkan
industry, jasa dan perdagangan di wilayah
perkotaan. Pembangunan perdesaan yang
terintegrasi dengan perkotaan dengan
mempertimbangkan peningkatan kerjasama
dan peran antar wilayah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dan mencapai
lingkungan yang berkelanjutan merupakan
prasyarat bagi keberlangsungan keterkaitan
desa-kota.
26
Penelitian yang dilakukan oleh McGee
(1991) dalam Sugiana (2005) pada
wilayah metropolis Jabodetabek dan Asia
menggambarkan mega urban
sebagai
wilayah perkotaan yang mencakup berbagai
ukuran kota dan wilayah di belakangnya
dan membentuk kesatuan yang kompak.
Mega urban dapat merupakan satu
kota utama
dengan kota-kota kecil di
sekitarnya, tetapi dapat pula terdiri atas kota
metropolitan, beberapa kota besar, sedang
dan kecil. Kota-kota tersebut dihubungkan
oleh jaringan-jaringan transportasi yang
mendukung kegiatan di dalamnya.
Mega urban di wilayah Jabodetabek
dan Asia merupakan model sosio-ekonomi
ruang wilayah yang terdiri atas: (1) wilayah
peri-urban, merupakan wilayah di sekitar
kota-kota besar yang dapat dicapai dengan
komuter secara harian ke kota inti. Pada
wilayah ini terjadi penurunan kegiatan
ekonomi perdesaan, pertanian dan peralihan
pemanfaatan lahan pertanian ke perkotaan;
(2) wilayah desa-kota, dimana kegiatan
pertanian dan non pertanian bercampur
secara intensif.
Wilayah ini terbentang
sepanjang koridor antara kota-kota besar,
wilayah padat penduduk, dan peningkatan
keterkaitan transportasi dengan kota-kota
besar dan peningkatan infrastruktur; (3)
wilayah perdesaan di sekitar kota-kota
pada hirarki sekunder dan tersier dengan
kepadatan tinggi namun perkembangan
ekonomi lamban; dan wilayah frontier
dengan penduduk terpencar dan kepadatan
rendah; ditemukan berbagai upaya bentuk
kegiatan untuk pengembangan pertanian.
Mega Urban Region di Indonesia
Indonesia memiliki 1 (satu) wilayah
Mega Urban yaitu Jabodetabek, wilayah
ini merupakan kesatuan wilayah yang
mengalami proses urbanisasi yang cepat.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No.54
tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Jabodetabek, wilayah ini mencakup
beberapa gabungan wilayah administrasi,
yaitu 3 Provinsi, 12 Kabupaten/Kota.14
Hal di atas memang tidak dapat dielakkan,
mengingat saat ini Jakarta masih menjadi
pusat perputaran uang di Pulau Jawa,
bahkan nasional. Berdasarkan data dari
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan
II-2014 (BPS), 58,70% kegiatan ekonomi
Indonesia berada di Pulau Jawa, dan DKI
Jakarta adalah penyumbang terbesar dalam
perekonomian Indonesia, yaitu sebesar 16,76
% dari seluruh kegiatan ekonomi Indonesia.
Sementara itu, saat ini mega urban
region Jabodetabek dihuni oleh 28 juta jiwa
penduduk.
Posisi Jakarta sebagai ibukota, dan
beberapa pusat kegiatan lain (jasa,
perdagangan, budaya, pendidikan, pelabuhan
dan industri) menyebabkan derasnya aliran
migran ke Jakarta, baik migran permanen,
maupun migran tidak permanen (seperti
penglaju). Berdasarkan data dalam RPJMD
Kota Jakarta, diketahui bahwa migran
permanen ke Jakarta mencapai 9,6 juta jiwa,
sementara penglaju yang memasuki wilayah
Jakarta sehari-harinya berjumlah 1,5 juta
jiwa dari wilayah sekitar Jakarta (Bodetabek).
Aliran migran yang dijelaskan di atas
tidak terlepas dari peran ketersediaan
infrastruktur
transportasi.
Ketersedian
jaringan jalan di sekitar Ibukota memiliki
panjang dan luas masing- masing mencapai
6.932.292,84 m dan 48.311.359,97 m.2 15
Sementara keberadaan jaringan kereta api
listrik commuter di wilayah ini setiap harinya
mampu mengangkut 600 – 700 ribu jiwa16,
belum lagi aliran kendaraan penglaju melalui
pintu tol di sekitar Jakarta yang rerata
perharinya mencapai 1.974.954 kendaraan/
hari.17
14. MP3EI 2011 - 2025, 15. Jakarta dalam Angka 2012, 16. Website Resmi PT KAI Commuterline JABODETABEK (www.krl.co.id)
17. Website Resmi JASAMARGA Tahun 2013
27
Gambar 3. Perkembangan Wilayah Terbangun DKI Jakarta dan Sekitarnya 1900 - 2000
Salah satu kota yang berada di sekitar Jakarta adalah Kota Depok. Secara geograis Kota
Depok terletak di bagian Selatan dari Jakarta. Kota Depok awalnya dirancang sebagai
tempat bermukim yang memiliki luas 5882 ha.18 Namun, seiring dinamika penggunaan tanah
di wilayah ini, tercatat bahwa proporsi lahan terbangun meningkat pesat dalam 5 tahun
terakhir, dari sekitar 9.299 Ha atau 46.49 % pada tahun 2005 menjadi sebesar 10.461,99 Ha
atau sekitar 52.23 % pada tahun 2010, rata-rata pertumbuhan lahan terbangun mencapai 3,14
% per tahun. Sementara dominasi penggunaan lahan terbangun terbesar diperuntukkan bagi
lahan permukiman dengan luas sebesar 9540,64 ha atau sebesar 48,57%.
18. Pemkot Depok tahun 1998 dalam ‘Saraswati.Ratna. 2002. Perbedaan Perluasan Daerah Tutupan pada Wilayah Permukiman di Kotamadya
Depok. Depok: Makara Sains Vol. 6, No. 1, April 2002.
28
Gambar 3. Pembagian Administrasi Kota Depok Pasca Pemekaran Tahun 200819
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, Kota Depok dihuni oleh 1.736.565 jiwa,
dengan sex ratio penduduk laki-laki terhadap perempuan sebesar 102. Jumlah ini mengalami
peningkatan sebesar 316.085 jiwa dari tahun 2006 yang baru mencapai 1.420.480 jiwa.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dipengaruhi oleh tingginya arus migrasi yang masuk
ke Kota Depok, hal ini karena Depok dinilai sebagai wilayah yang strategis, dengan akses yang
baik menuju Jakarta dan sarana prasarana yang memadai sebagai lingkungan permukiman.
Sebut saja keberadaan KRL Bogor-Jakarta yang melintasi Kota Depok merupakan salah satu
tulang punggung akses transportasi Depok-Jakarta-Depok yang menjadi pilihan masyarakat.
Sejak pindahnya Kampus UI ke kota Depok pada tahun 1987,20 hingga saat ini (2014)
tercatat terdapat 5 perguruan tinggi yang terdapat di Kota Depok.21 Kemunculan berbagai
institusi pendidikan di Kota Depok memberikan dampak yang berbeda terhadap ‘wajah’
isik kota Depok. Kondisi ini sekaligus merupakan salah satu keunggulan Kota Depok,
yang secara otomatis memiliki network langsung dengan berbagai center of excellent untuk
mengarahkan pembangunan dan pengelolaan kotanya menjadi lebih baik.
19. RPJMD Kota Depok 2011-2016
20. Website Resmi Universitas Indoeniesia (old.ui.ac.id)
21. Depok dalam Angka 2013/2014
29
Graik 4. Jumlah Penduduk Kota Depok 2006 - 2010
Gambar 4. Salah satu Stasiun yang Dijadikan akses warga Depok Menuju Jakarta (Kiri)
& Kondisi Stasiun Sudirman Arah Depok di Waktu Sore (Kanan).
Sumber: Fathia Hashilah, 2014
Keberadaan Universitas Indonesia yang berada di lahan seluas 300 Ha, dengan
dominasi lanskap ruang terbuka hijau, memiliki 6 danau, stadion olah raga, in-door
gymnasium, out-door gymnasium, perpustakaan, jalur sepeda, hutan kota dan
berbagai laboratorium alam menjadikan alternative ruang relaksasi yang nyaman bagi
sebagian warga Kota Depok pada akhir pekan.
30
Namun, di tengah perkembangan kota
dan berbagai potensinya, Kota Depok
menghadapi berbagai tantangan dalam
pengelolaan kotanya, diantaranya semakin
menyusutnya proporsi lahan tidak/belum
terbangun. Proporsi lahan tidak terbangun
yang pada tahun 2005 masih mencapai
53,51 %, menjadi tinggal 47,64 % pada 2009.
Ini berarti laju konversi lahan tidak terbangun
menjadi lahan terbangun mencapai 3,14 %
per tahun.
Hal di atas diantaranya terjadi karena Laju
Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Kota Depok
yang tinggi, yang mencapai rata-rata 4,27%
dalam 10 tahun terakhir (laju pertumbuhan
tertinggi di kecamatan Limo sebesar 8,48%
dan terendah di kecamatan Sukmajaya
sebesar 3,27%), atau peringkat ke dua di
Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten
Bekasi. Angka ini jauh di atas rata- rata
nasional (1,49%) maupun Propinsi Jawa
Barat (1,89%).
Saat ini jumlah penduduk Kota Depok
mencapai 1,7 juta jiwa. Dengan LPP saat ini,
jumlah penduduk Kota Depok pada tahun
2016 diproyeksikan akan mencapai sekitar
1,968 juta jiwa. Sementara itu, komposisi
penduduk usia produktif merupakan yang
dominan (sekitar 69% pada tahun 2010),
dengan tingkat mobilitas harian (berdasarkan
asumsi penelitian) mencapai 87,7%, dengan
tujuan Jakarta dan sisanya menglaju ke
Bekasi, Tangerang dan Bogor. 22
Dengan
tingginya
pertumbuhan
penduduk, maka Kota Depok dihadapkan
pada tuntutan penyediaan sarana dan
prasarana yang dibutuhkan masyarakat.
Selain itu, gambaran dominasi usia produktif
merupakan tantangan bagi pemerintah kota
Gambar 5. (Kiri ke Kanan). Aktiitas Anak di Rotunda
Universitas Indonesia
(Sumber: Tim Urban Demograi, 2014)
untuk membuka lapangan kerja, sehingga
mobilitas penduduk dapat dikendalikan
dan sumber daya manusia lokal dapat
diberdayakan untuk pembangunan di Kota
Depok. Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar
Depok dapat tumbuh tidak sekedar sebagai
tempat tinggal, tapi juga berkembang
sesuai dengan potensi lokal menjadi
kutub pertumbuhan baru yang mampu
mendampingi keberadaan Jakarta.
22. Sitanala, Frans. 2005. “Pergerakkan Penduduk Kota Depok Menuju ke Tempat Bekerja Tahun 2001”. Depok: Makara, Sains, Vol. 9, No. 1, April 2005: 41-44
31
Gambar 6. Perumahan di Kota Depok (Sumber : Fathia Hashilah, 2012)
Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Parkir Motor di Sekitar Stasiun KA, Suasana Salah Satu Stasiun KA di Kota Depok,
Kondisi Lalu LIntas pada waktu puncak di Kota Depok (Sumber : Tim Urban Demograi, 2014)
Arah Kebijakan yang dirumuskan
dalam draft RPJMN 2015-2019 Bidang
Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan
adalah “Mewujudkan pusat pertumbuhan
baru”, dengan: (1)Mewujudkan industri
pengolahan hasil pertanian secara luas yang
berbasis koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah; (2) Meningkatkan akses terhadap
modal usaha, pemasaran, teknologi, dan
informasi; (3) Menerapkan teknologi dan
inovasi di tingkat lokal untuk meningkatkan
nilai tambah; (4) Meningkatkan kelembagaan
dan tata kelola ekonomi daerah; dan (5)
Mengembangkan kerjasama antar daerah
dan kerjasama pemerintah-swasta.
Selama ini pengelolaan hubungan
perdesaan perkotaan diterjemahkan dalam
arti membatasi migrasi dari perdesaan
ke perkotaan yang dilakukan dengan
menggunakan
instrumen
administrasi
32
kependudukan yang efeknya tidak diketahui.
Namun, makin terbatasnya lapangan kerja
di daerah perdesaan akibat menyempitnya
lahan pertanian menjadi pendorong utama
orang-orang desa pergi ke kota. Sejalan
dengan fakta tersebut, berdasarkan data BPS
(2013), setidaknya terjadi penurunan lahan
pertanian sebesar 1,75% pertahun, sejak
sepuluh tahun yang lalu.
Dengan kondisi di atas, faktanya
hubungan kota-desa saat ini diwarnai dengan
keterbatasan penyediaan perumahan di
perkotaan yang mengakibatkan harga
tanah dan perumahan tidak terjangkau oleh
kebanyakan penduduk. Hanya kelompok
penduduk berpendapatan tinggi yang dapat
membeli atau menyewa tempat tinggal di
perkotaan. Sedangkan kelompok bawah
lebih banyak menempati daerah-daerah
yang tidak layak huni (slum area). Sementara
kelompok menengah akan pindah daerah
pinggiran untuk memperoleh tanah dan
perumahan yang lebih
terjangkau,
dengan
resiko
biaya
transportasi dari tempat tinggal ke tempat
kerja menjadi meningkat. Kondisi ini pada
gilirannya meningkatkan pola mobilitas non
permanen di kalangan penduduk, baik dalam
bentuk migrasi musiman, sirkuler, dan ulang
alik (commuting).
Sebaliknya,
kehidupan
modern
kota yang diperlihatkan oleh berbagai
media
merupakan penarik orang-orang
dari desa untuk datang ke kota. Oleh
karena itu, mobilitas penduduk perdesaanperkotaan mempunyai peranan sebagai
“jembatan modernisasi perdesaan” yang
menghubungkan kehidupan desa yang
dianggap tradisional dengan kota yang
dinilai modern (Saefulah, 1996).
Secara demograis, jika ditinjau dari
lamanya tinggal di daerah tujuan, mobilitas
penduduk
dibedakan
atas
mobilitas
permanen dan non permanen. Mobilitas
permanen yang sering disebut sebagai
migrasi merupakan perpindahan penduduk
dengan tujuan untuk menetap dan lamanya
tinggal di daerah tujuan sedikitnya 6 bulan,
atau berniat tinggal di daerah tujuan selama
6 bulan atau lebih. Sedangkan mobilitas
non permanen merupakan perpindahan
penduduk yang terjadi secara berulangulang dalam waktu yang singkat, dengan
kata lain jika pelaku mobilitas tinggal di
daerah tujuan kurang dari 6 bulan (Shryock
& Siegel, 1875).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Saefullah (1996) memperlihatkan bahwa,
umumnya pelaku mobilitas non permanen
terdiri dari kelompok umur potensial
yang kebanyakan berumur antara 20
dan 40 tahun. Bahkan pada waktu mulai
melakukan
mobilitas atau pergi dari
daerahnya mereka berumur rata-rata di
bawah 30 tahun.
Kelompok umur ini
merupakan kelompok umur produktif yang
dapat memberikan implikasi atas hilangnya
tenaga potensial yang diperlukan dalam
kegiatan pembangunan di daerah asal.
Namun pada sisi lain, Hugo (1978)
dalam Saefullah (1996) menyatakan bahwa
kekhawatiran atas hilangnya tenaga potensial
tidak perlu berlebihan, mengingat hampir
semua pelaku mobilitas non permanen
terutama yang berjarak dekat antara daerah
asal dan daerah tujuan, kembali ke daerah
asalnya yang membutuhkan banyak
tenaga kerja pada waktu musim panen dan
mengerjakan sawah. Di luar musim tersebut
pekerjaan-pekerjaan lainnya lebih banyak
dilakukan kaum perempuan dan anggota
keluarga lainnya, sedangkan penduduk lakilaki pergi mencari pekerjaan tambahan di
luar daerah.
Fenomena menarik lainnya dalam
interaksi antara wilayah perdesaan dan
wilayah perkotaan adalah tradisi mudik23
yang berlangsung secara massif di berbagai
wilayah perkotaan di Indonesia. Meski data
tentang mudik di Indonesia tidak tersedia,
namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dalam setiap tahunnya menjelang lebaran
berinisiatif melakukan survei arus mudik
balik (amuba) sejak tahun 2012 hingga 2014
untuk melakukan estimasi jumlah pemudik
yang dari DKI Jakarta ke daerah asal migran,
serta jumlah pendatang baru pada saat arus
balik dari daerah asal ke DKI Jakarta pasca
lebaran.
23. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Mudik pun
sarat simbol kultural mengenai cerita sukses warga desa berjuang di kerasnya kehidupan kota-kota besar. Pada konteks ini, warga yang tidak mudik biasanya
diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti berhalangan (positif ) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif ). (Prof. Dr. der Soz. Drs. Gumilar Rusliwa
Somantri, 2001)
33
Tabel 3 memperlihatkan jumlah arus mudik dan arus balik dari dan ke DKI Jakarta pada
saat menjelang lebaran dan pasca lebaran. Aspek penting dari fenomena ini dan menjadi
perhatian utama dari Pemerintah DKI Jakarta adalah adanya sejumlah pendatang baru yang
menyertai para pemudik ketika mereka balik ke Jakarta. Dari tabel terlihat bahwa dalam tiga
tahun terakhir, jumlah pendatang baru yang masuk ke DKI Jakarta mengalami peningkatan
yang pada gilirannya akan memberi dampak atas kehidupan sosial-ekonomi dan aspekaspek lainnya bagi masyarakat Jakarta.
Tahun
Estimasi Jumlah Pemudik
Estimasi Jumlah Pendatang Baru
2012
3,49 juta jiwa
34.671 jiwa
2013
4,05 juta jiwa
52.166 jiwa
2014
3,61 juta jiwa
68.537 jiwa
Tabel 3. Estimasi Jumlah Pemudik dan Pendatang Baru Dari dan Ke DKI Jakarta
Sumber: Dinas Dukcapil DKI Jakarta (berbagai tahun)
Ada beberapa esensi yang dimiliki mudik
yaitu, pertama, aktivitas mudik (termasuk
arus balik) akan menciptakan perputaran
uang yang begitu besar dan cepat (velocity
of money). Puluhan triliun rupiah berpindah
tangan dari kota ke kota, dari kota ke desadesa dan perkampungan kecil. Tentu,
secara agregat, nilai uang di sini bukan
hanya berbentuk cash, namun juga bisa
berupa perkakas elektronik, pakaian, bahan
makanan, minuman, dan berbagai barang
kebutuhan lainnya. Dalam pendekatan
teori ekonomi, fenomena seperti ini disebut
sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi
kekayaan. Yaitu, terjadinya perpindahan
kekayaan dari satu daerah ke daerah lainnya
atau dari satu individu ke individu lain. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa tradisi mudik
memang akan menciptakan redistribusi
ekonomi dari kota besar, khususnya Jakarta
ke daerah-daerah yang pada gilirannya
bisa menstimulasi aktivitas produktif
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi
daerah. Dalam titik tertentu, kondisi ini juga
bisa meningkatkan kemandirian daerah dan
mengurangi ketergantungan daerah kepada
pusat.
Kedua, tradisi mudik juga berpengaruh
positif pada keberadaan infrastruktur.
Tak jarang, datangnya aktivitas mudik
mengharuskan pemerintah memperbaiki
Gambar 8. (Kiri, Kanan) Suasana Stasiun Solo Balapan di saat musim Mudik (Sumber : Dipta, 2014)
34
dan menambah kondisi infrastruktur yang
ada, mulai dari pembangunan jalan darat, rel
kereta api, jembatan, bandar udara, hingga
pelabuhan laut. Hal ini tentu positif untuk
sektor infrastruktur itu sendiri maupun sisi
ketepatan penyerapan anggaran. Ketiga,
aktivitas mudik Lebaran juga menjadi
salah satu faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi nasional, yakni melalui peningkatan
konsumsi. Ini terjadi karena begitu besarnya
volume pemudik yang mencapai puluhan
juta orang, sehingga nilai konsumsi agregat
yang dihasilkan pun akan sangat besar,
mencapai ratusan triliun rupiah.
Dengan demikian jelas bahwa mudik
merupakan sebuah trickle down efect bagi
desa. Keempat, aktivitas mudik menjelaskan
ada sense of place atau rasa keterikatan
individu terhadap ruang tempat tumbuh
dan berkembang, termasuk keterikatan
dengan budaya dan nilai yang dianut dalam
ruang tersebut, hal ini menjelaskan bahwa,
meskipun secara nyata individu bergerak ke
wilayah perkotaan, namun budaya dan nilai
yang dianut masih berpegang pada wilayah
asalnya.
Untuk
menunjang
mobilitas
non
permanen, maka sarana dan prasarana
transportasi atau akses desa-kota hendaknya
ditingkatkan baik dari sisi kuantitas maupun
kualitas. Pelayanan transportasi massal antar
moda yang memadai antara daerah asal
dan daerah tujuan migran merupakan syarat
utama bagi keberhasilan promosi mobilitas
permanen, sehingga masyarakat dapat
melakukan bepergian dengan cepat, murah,
aman dan nyaman.
35
Pengelolaan Metropolitan Maminasata
Di awal abad 20 (zaman kolonialisme),
sebagai kota bandar niaga internasional,
Makassar dikunjungi oleh banyak orang dari
berbagai wilayah dan kepentingan. Di awal
kemerdekaan, kembali terjadi migrasi besarbesaran menuju Makassar, karena alasan
keamanan. Saat itu umumnya penduduk
memilih bermigrasi ke kota besar seperti
makassar. Proses migrasi pada tahap ini
terjadi hingga awal tahun 1960.
Perkembangan Kota Makassar terus
berlanjut hingga tahap pembangunan
ekonomi berbasis stabilitas keamanan
dalam negeri. Dalam kurun waktu 10
tahun (1970-1980) perekonomian Kota
Makassar membaik, yang ditandai dengan
berkembangnya sektor perdagangan dan
jasa, seperti dibangunnya Kawasan Industri
Makassar (PT KIMA). Pesatnya pertumbuhan
ekonomi Makassar menjadikan daya tarik
yang sangat kuat bagi para penduduk
Sulawesi lainnya sehingga muncul arus
migrasi besar menuju Makassar.
Tidak bisa dipungkiri proses migrasi
ini berpengaruh pada pola permukiman
Kota Makassar. Dengan tipe migrasi
berantai (Migrasi diawali perintis kemudian
menarik kerabat lain untuk juga bermigrasi)
menjadikan pola permukiman di Makassar
bersifat mengelompok sesuai etnis tertentu.
Karena menetap sesuai dengan etnis
masing-masing, maka secara tidak langsung
juga tampak adanya keterampilan yang
beragam sesuai etnis masing-masing. Hal ini
mengakibatkan munculnya pengelompokan
pekerjaan mengacu pada etnis tertentu.
Beberapa contoh diantaranya adalah Etnis
Bugis Sidrap dan Bugis Makassar yang
masing-masing memiliki profesi sebagai
pandai emas, tukang kayu dan pedagang
36
ikan. Tidak dapat dielakkan, dengan
mengelompoknya permukiman berdasarkan
etnis tertentu menjadikan Kota Makassar
sangat rawan dengan unsur SARA.
Berdasarkan tujuan migrasinya, ada
dua lokasi yang berbeda. Lokasi yang
menjadi tujuan migrasi adalah menuju
pusat kota dan menuju pinggiran kota. Motif
migran yang menuju pusat dan pinggiran
kota juga memiliki perbedaan. Migran yang
memilih migrasi ke pinggiran kota umumnya
beralasan mencari lahan yang cukup untuk
mendirikan tempat tinggal ataupun membeli
rumah dari developer yang membutuhkan
lahan cukup luas untuk membangun
perumahan. Sedangkan migran yang
bermigrasi menuju pusat kota beralasan
mencari lokasi strategis yang dekat dengan
lokasi kerja atau mereka sudah terlebih
dahulu memiliki keterikatan dengan pusat
kota sebelumnya.
Dengan semakin banyaknya migran yang
menuju Makassar, tidak dipungkiri hal seperti
ketersediaan lahan menjadi isu yang kuat.
Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 51
Tahun
1971 ditetapkan perluasan batas Daerah
Kotamadya Makassar (reklasiikasi) yang
mengambil sebagian wilayah Kabupaten
Gowa, Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkajene Kepulauan.
Berdasarkan sensus penduduk tahun
2010, migrasi risen di Kota Makassar
mencapai 9,82%, jika dibandingkan dengan
migrasi risen Sulawesi Selatan (hanya 4,27%)
maka jauh lebih besar. Dalam 5 tahun terakhir
(2006-2010), terjadi pertumbuhan ekonomi
yang
terus
mengalami
peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi ini dilihat dari nilai
PDRB berdasarkan harga berlaku, yang pada
tahun 2006 bernilai Rp. 18.165.876,32 miliar
dan meningkat hingga Rp. 37.007.451,94
miliar pada tahun 2010.
Dalam hal ini tampaknya Pemerintah
belum sepenuhnya melakukan upayaupaya terkait hubungan yang harmonis
antara wilayah perdesan dan perkotaan,
baik dalam hal mobilitas non permanen,
upaya meredam alih fungsi lahan pertanian
akibat meningkatnya keterkaitan desakota, penyediaan sarana transportasi, dan
penyediaan kebutuhan dasar
di perkotaan. 24
Selain itu, untuk mendukung pengelolaan
metropolitan ini, Pemerintah menerbitkan
Peraturan Presiden No.55 tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Maminasata. Melalui kebijakan ini,
Pemerintah Kota Makassar melalui Badan
Kerjasama Pembangunan Metropolitan
Maminasata (BKSPMM) menetapkan 8
(delapan) titik pengembangan di luar
Makassar
yang
berfungsi
menjadi
bufer atau wilayah penyangga untuk
menampung pergerakan masyarakat yang
menuju Kota Makassar. Dengan kondisi
Hal di atas, merupakan
bagian
dari
alasan
pembentukan
Metropolitan
Maminasata.
Maminasata,
merupakan gabungan dari
wilayah Makassar, Maros,
Sungguminasa, dan Takalar.
Wilayah
Metropolitan
ini
merupakan
salah
satu
yang
direkomendasikan
bentuk
pengelolaannya
oleh Kementerian Pekerjaan
Umum, hal ini diantaranya
karena Kawasan Metropolitan
Mamminasata memiliki peran
yang sangat strategis secara
geograis
dan
fungsional
sebagai pusat pengembangan
di
Kawasan
Indonesia
Timur. Untuk mendukung
optimalisasi
pengelolaan
metropolitan ini dilakukan
pengembangan
kapasitas
aparatur Pemerintah Daerah,
baik melalui pendampingan
lembaga
international
maupun nasional.
24. Ramli, M. Gentriikasi Peri-Urban Ekspansi Perkotaan dan Politik Spasial Komunitas Lokal di Makassar. Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen
Sosiologi. Universitas Indonesia. Depok
37
rencana pengembangan fasilitas sebagai
berikut :
tersebut, maka tumbuh beragam wilayah
yang menjadi icon pertumbuhan baru,
diantaranya seperti Kawasan Nusa Dua,
Citraland, Tanjung Bunga, Pantai Gelesong.
Urbanisasi di Makassar terjadi diantaranya
karena dominasi pertumbuhan alamiah
penduduk yang saat ini mencapai 1,3 juta
jiwa, meskipun juga terjadi migrasi musiman
dari wilayah sekitarnya. Saat ini, secara
umum terdapat 4 etnis yang menetap di
Kota Makassar, yaitu : Bugis, Makassar, Toraja
dan Mandar.
Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar
yang sangat tinggi, bahkan menurut pidato
Presiden SBY baru-baru ini (Agustus, 2014)
melebihi pertumbuhan Kota Tiongkok, yaitu
mencapai 9,41% per tahun (BPS, 2012). Untuk
terus meningkatkan produktivitas kota, maka
Pemerintah Kota mengarahkan Rencana
Tata Ruang Kota Makassar pada peningkatan
infrastruktur kota, diantaranya melalui
beberapa program di bawah ini :
1. Pengendalian
banjir
dengan
memperbaiki sistem drainase,
2. Pengelolaan persampahan,
3. Penyediaan air bersih,
4. Pengembangan kawasan KIMA (Kawasan
Industri Makassar),
5. Pengembangan Pelabuhan Perikanan di
luar Kota Makassar (Takalar),
6. Penyediaan ruang terbuka hijau (RTH)
bagi masyarakat,
7. Pengembangan kearah Selatan untuk
pembangunan Makassar New Port
(Gowa), Kawasan Energi Center dan
Hiburan,
8. Pembangunan
Centre
Point
Of
Indonesia yang diarahkan menjadi
Landmark
baru Makassar, dengan
38
a. Pembangunan Wisma Negara,
b. Ruang terbuka bagi masyarakat, c.
Sarana ibadah,
d. Museum pahlawan nasional.
9.
Beberapa program untuk peningkatan
pelayanan public dan pemberdayaan
masyarakat diantaranya : Program
Depthcare, yaitu fasilitas kesehatan
yang dapat mengakses langsung
pasien di rumah; program MTR
(Makassar Ta Rantasa), yaitu program
partisipatif untuk mencapai kebersihan
lingkungan kota dengan membina dan
mendampingi pengelolaan lingkungan
pada 143 kelurahan; Mabelo (Makassar
benahi lorong), yaitu program untuk
membenahi 1417 lorong yang ada
di Makassar baik melalui penataan
isik maupun pembinaan sumberdaya
manusia yang ada di wilayah tersebut;
Smart City, yaitu beberapa program
berbasis teknologi untuk memudahkan
system administrasi kependudukan
perkotaan dengan menggandeng mitra
swasta baik dalam dan luar negeri.
Program-program di atas merupakan
bagian dari upaya Pemerintah Kota untuk
mencapai visinya untuk mewujudkan Kota
Dunia untuk Semua melalui Tata Lorong
Bangun Kota Dunia. Program di atas
merupakan bagian dari derivasi program
yang dijabarkan melalui 8 jalan masa depan
menuju masyarakat sejahtera, kota nyaman
dan pelayanan public kelas dunia.
Dengan program-program di atas,
diharapkan
mampu
meningkatkan
produktivitas
kota
dan
memberikan
multiplier efect bagi wilayah sekitarnya.
Selain itu, sebagai Hub dari wilayah Timur
Indonesia, kota Makassar dapat menjadi
cermin pengelolaan kota dan metropolitan
di Kawasan Timur Indonesia.
Di tengah implementasi program
pembangunan yang disebutkan di atas,
tantangan yang dihadapi Kota Makassar
dalam mencapai visinya adalah terkait
ketersediaan permukiman, penanganan
persampahan dan pencemaran lingkungan,
pengelolaan wilayah pesisir dan laut,
menekan pertumbuhan alami penduduk,
membangun
wilayah
sekitar,
dan
meningkatkan infrastruktur kota sebagai
pelayanan dasar menuju World Class City.
Sebagai Hub bagi wilayah Timur
Indonesia, kota Makassar memiliki sarana
prasarana pergerakan yang cukup baik,
terutama pergerakan berbasis air dan udara
yang diarahkan untuk pergerakan eksternal
ke luar Pulau, dan pengembangan jalan darat
untuk pergerakan internal Pulau, dan rencana
pengembangan akses Trans Maminasata
untuk mengelola pergerakan wilayah
sekitar Makassar agar tidak masuk ke dalam
inner city. Dengan potensi akses seperti
tersebut, dalam konstelasi Maminasata,
Makassar memiliki peran sebagai pusat jasa,
perdagangan, dan industri.
Selain itu, pengelolaan Metropolitan
Maminasata secara umum diarahkan
menuju peningkatan infrastruktur, sehingga
memudahkan pergerakan antar kota dan
mendorong pembagian peran antar kota.
Pertumbuhan ke luar wilayah Makassar juga
sangat didorong kuat agar fungsi dan peran
kota dapat terbagi ke wilayah sekitar, hal ini
diantaranya diwujudkan dengan rencana
pembangunan KIMA II di Maros.
Gambar 9. Aktivitas di Pelabuhan Makassar (Atas ke bawah)
(Sumber : Tim Urban Demograi, 2014)
39
40
3. Identifikasi
Kebutuhan
Penduduk Muda
Perkotaan
Dalam pengklasiikasian usia penduduk
muda di Indonesia terdapat overlap
penggolongan usia, jika mengacu pada
deinisi yang tertera pada UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
bahwa, anak-anak adalah individu yang
berusia dibawah 18 tahun. Namun, jika kita
mengacu pada kategori yang digunakan
dalam UN statistic, mereka yang berusia
15-24 tahun masuk dalam kategori usia
remaja. Sedangkan dalam UU No.40 Tahun
2009 tentang kepemudaan disebutkan
bahwa individu yang berusia 16-30 tahun
masuk ke dalam kategori usia muda. Dari
ketiga pengkategorian usia ini maka tampak
jelas bahwa ada overlapping dalam setiap
kategori.
Untuk memperjelas hal tersebut maka
dalam penulisan ini yang dimaksud dengan
penduduk usia muda adalah mereka yang
berusia 0-30 tahun. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah penggelompokkan usia
dimana usia 0-17 tahun dikategorikan
sebagai usia anak, dan usia 18-30 tahun
dikategorikan dalam usia pemuda.
41
Berdasarkan data proyeksi penduduk
yang
dilakukan
Bappenas
dengan
berpatokan pada data SUPAS tahun 2005,
jumlah penduduk muda yaitu yang berusia
antara 0-30 tahun berjumlah 125 juta
jiwa, hal ini berarti sebanyak 53% dari total
penduduk Indonesia yaitu sebanyak 234 juta
jiwa adalah pemuda. Penduduk muda usia
sekolah, yang berusia 5-19 tahun berjumlah
62.015,3 juta jiwa atau sebanyak 26,5%
dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.
Sedangkan untuk penduduk muda usia
sekolah yang berusia 20-30 tahun berjumlah
41 juta jiwa atau sekitar 17,8%.
Graik 5. Struktur Penduduk Indonesia Tahun 2010
Menurut Usia. Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia
2005-2025 Bappenas, 2008
Melihat dari struktur penduduk tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa Indonesia
mengalami struktur usia muda, dimana
jumlah penduduk usia muda jauh lebih
banyak dibandingkan penduduk usia
dewasa. Berdasarkan proyeksi pada tahun
2025, jumlah penduduk usia anak yaitu
0-14 tahun turun dari 28,5% pada tahun
2005 menjadi 23,3% pada tahun 2025.
Sedangkan untuk usia 15-64 tahun akan
meningkat hingga 68,7% pada tahun 2025.
Untuk penduduk usia 65 tahun ke atas juga
meningkat jumlahnya hingga 8,1% pada
tahun 2025.
Pertumbuhan penduduk khususnya yang
masuk dalam kategori pemuda mengalami
perubahan yang cukup signiikan jika dilihat
berdasarkan klasiikasi kota dan desa. Dimana
pada tahun 1970 hingga tahun 2000, jumlah
pemuda yang ada di perdesaan masih lebih
banyak dibandingkan dengan pemuda
yang tinggal di perkotaan. Namun, pada
tahun 2010 jumlah pemuda yang tinggal
di perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah pemuda di perdesaan. Untuk
keterangan lebih jelas dapat dilihat dari graik
6 di bawah ini.
42
Graik 6. Pertumbuhan Pemuda di Perkotaan dan Perdesaan. Sumber: Data BPS Berbagai Tahun (Diolah)
Dari graik tersebut terlihat bahwa pada
tahun 1970 jumlah pemuda yang tinggal
di perdesaan sebanyak 11.57% dari total
penduduk . Angka tersebut naik pada
tahun 1980 yaitu 12,29%, dan mengalami
penurunan pada periode selanjutnya yaitu
pada tahun 1990 sebesar 11,3%, tahun
2000 sebesar 9,03% dan pada tahun
2010 kembali meningkat yaitu 12,37%.
Peningkatan jumlah pemuda di perdesaan
pada tahun 2010 disebabkan karena efek
dari bonus demograi yang sedang dialami
oleh Indonesia, yaitu sebagiamana yang
telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
bahwa pada periode bonus demograi ini
jumlah penduduk usia produktif jauh lebih
besar dibandingkan dengan usia anakanak dan lansia. Meskipun kembali terjadi
peningkatan pemuda di perdesaan tetapi
masih lebih besar jumlah pemuda yang
tinggal di perkotaan.
pemuda yang tinggal di perkotaan. Trend
penduduk yang tinggal di perkotaan terus
mengalami peningkatan. Dimana pada
tahun 1970 jumlah pemuda yang tinggal
di perkotaan sebanyak 2.86% dari total
penduduk Indonesia. Pada tahun 1980
mengalami peningkatan yaitu 4.29%, begitu
juga pada tahun 1990 sebesar 6.04%, tahun
2000 sebesar 9.03% dan pada tahun 2010
sebesar 14,25%. Pada tahun 2010 jumlah
pemuda di perkotaan sudah jauh lebih
besar dibandingkan jumlah pemuda yang
tinggal di perdesaan. Peningkatan jumlah
pemuda yang tinggal di perkotaan dapat
disebabkan karena semakin besarnya arus
migrasi pemuda dari desa ke kota, juga dapat
disebabkan karena adanya reklasiikasi desa
menjadi kota sehingga wilayah yang masuk
ke dalam kategori kota semakin banyak,
disamping karena faktor pertumbuhan
penduduk alami.
Jika pemuda yang tinggal di perdesaan
cenderung mengalami trend penurunan,
tetapi hal sebaliknya terjadi pada jumlah
Dalam rangka menghadapi era bonus
demograi, yaitu masa ketika terjadi
penurunan fertilitas dan mortalitas yang
43
mengakibatkan munculnya perubahan
struktur
umur
penduduk. Penurunan
fertilitas
akan
menurunkan
proporsi
penduduk usia muda, sedangkan mortalitas
akan
meningkatkan
harapan
hidup
proporsi penduduk usia kerja. Secara
sistemik hal-hal tersebut akan menurunkan
rasio ketergantungan karena proporsi
penduduk muda dan terjadi peningkatan
proporsi penduduk usia kerja. Pada
dasarnya perubahan struktur umur dapat
menghasilkan beberapa manfaat, seperti
: meningkatnya pendapatan
perkapita
karena tingginya suplai tenaga kerja, dan
keterlibatan perempuan dalam peningkatan
pendapatan25. Kondisi ini juga disebut
sebagai dividen ekonomi, atau sebuah
keuntungan yang didapat dari suatu kondisi
demograi. Dalam menghadapi era ini
tentunya penyiapan kualitas dan daya saing
para pemuda merupakan tantangan lain
bagi para pengelola perkotaan. Penyediaan
sarana pendidikan, baik formal maupun
nonformal, dan pendidikan vokasi sangat
diperlukan dalam merespon kebutuhan para
pemuda di perkotaan.
Terbatasnya kesempatan kerja dan
besarnya pasokan pekerja muda tersebut
akan menyebabkan pengangguran serta
setengah pengangguran muda. Tandatanda belum terakomodasinya potensi
pemuda
juga tampak dari
munculnya
perilaku menyimpang di kalangan muda,
penyalahgunaan narkoba dan tingkat
kejahatan telah meningkat. Pada tahun 1998,
lebih dari 40 % pasien muda berusia di antara
20-24 tahun yang rawat inap mempunyai
masalah dengan narkoba. Kelompok usia
sekolah menengah atas menunjukkan
derajat penyalahgunaan obat yang signiikan
(lebih dari 30 %) sejak 1995. Adapun hasil
estimasi yang dilakukan oleh Universitas
Indonesia yang bekerja sama dengan BNN
(Badan Narkotika Nasional) menyebutkan
bahwa, penyalahgunaan narkoba pada
tahun 2011 terjadi pada kelompok usia 1059 tahun, yaitu pada 3,8 juta penduduk, atau
2,2% dari total penduduk Indonesia.
Melihat data tersebut maka dapat
diindikasikan sebagai suatu peringatan
25. Paparan Optimalisasi Pemanfaatan Bonus Demograi oleh Kepala BKKBN, Prof. dr. Jalal, PhD, SpGK, 13 Mei 2014
44
bahwa, hal tersebut merupakan dampak
pengangguran dan kurang terakomodasinya
ruang gerak pemuda dalam pembangunan
perkotaan. Jika orang muda yang tidak
bekerja, tidak dapat mengaktualisasikan diri,
dan tidak dapat mendapatkan dukungan dari
keluarga, teman, dan masyarakat, mereka
bisa jatuh ke perilaku yang menyimpang.
Terkait kualitas sumber daya pemuda di
Indonesia, Pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008
tentang Wajib Belajar, Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan anak No.14 Tahun 2010
Tentang Kota Layak Anak, Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak No. 14 Tahun 2011
tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota
Layak Anak, dan UU No. 40 Tahun 2009
Tentang Kepemudaan.
Pada
kenyataannya
implementasi
kebijakan yang belum dilakukan sepenuhnya
masih
menyisakan
permasalahan.
Pendidikan adalah salah satu masalah besar
yang dihadapi oleh penduduk usia muda
di Indonesia. Meskipun pada tahun 2008
pemerintah telah mencanangkan Program
Wajib Belajar namun pada kenyataannya
masih banyak anak usia 7-15 tahun yang
putus sekolah.
Berdasarkan laporan dari UNICEF
Indonesia tahun 2012, masih ada sekitar
2,3 juta anak usia 7- 15 tahun yang tidak
bersekolah. Sementara di Propinsi Jawa
Tengah, Jawa Timur,dan Jawa Barat masih
ada sekitar 42% anak putus sekolah. Dalam
proil anak Indonesia Tahun 2013 disebutkan
juga bahwa, angka putus sekolah pada
jenjang pendidikan SD adalah sebesar 1,5 %
pada tahun 2012, pada jenjang pendidikan
SMP angka putus sekolah mencapai 0,86
% dan pada jenjang pendidikan sekolah
menengah angka putus sekolah mencapai
0,36 %. Hampir separuh (44,01 %) anak
berumur 7-17 tahun yang putus sekolah
disebabkan karena tidak adanya biaya, 9,64
% karena bekerja, 4,18 % karena sekolah
jauh, 3,95 % karena menikah atau mengurus
rumahtangga, dan sisanya karena alasan
lainnya. Selain itu, masih ada sekitar 0,67
% anak berusia 16-17 tahun yang tidak
mempunyai kemampuan baca tulis.
Hasil Susenas 2007 menunjukkan sekitar
1,7 % pemuda belum/tidak pernah sekolah,
6,9 % masih/sedang bersekolah, dan 91,3 %
sudah tidak bersekolah lagi. Sementara itu,
berdasarkan tingkat kelulusan pemuda: 7,2
% lulus perguruan tinggi, 31,8 % lulus SMA,
24,0 % lulus SMP, 29,2 % lulus SD, dan 7,8 %
tidak memiliki ijazah dan belum tamat SD.
Akan tetapi, terdapat peningkatan, meskipun
kecil, dalam hal partisipasi sekolah pemuda.
Hasil Susenas 2005 dan 2007 menunjukkan
bahwa angka partisipasi sekolah (APS)
pemuda usia 16–18 tahun atau setingkat
SLTA meningkat dari dari 53,9 % tahun
2005 menjadi 54,1 % pada tahun 2007.
45
Sementara itu, APS pemuda berumur 19–24
tahun (setingkat S1) meningkat dari 12,2 % di
tahun 2005 menjadi 12,6% tahun 2007. Angka
buta huruf pemuda menurun dari 2,6% pada
tahun 2007 menjadi 0,9% pada tahun 2008.
Pemuda perempuan lebih cenderung untuk
buta huruf daripada pemuda laki-laki (3,1%
versus 2,1% pada tahun 2007). Sementara itu,
pemuda perdesaan lebih cenderung untuk
buta huruf daripada pemuda perkotaan
(4,4% versus 2,9% pada tahun 2007 dan 1,6%
versus 0,2% pada tahun 2008).
Sejalan dengan hal tersebut, RPJMN
tahun 2010-2014 menyebutkan bahwa salah
satu permasalahan dalam pembangunan
pemuda adalah masih rendahnya kualitas
pemuda. Rendahnya kualitas pemuda,
antara lain, ditunjukkan oleh (1) rendahnya
partisipasi pemuda dalam pembangunan di
segala bidang; (2) terbatasnya kesempatan
46
pemuda untuk memperoleh pendidikan
dan keterampilan, yang berakibat pada
meningkatnya angka pengangguran terbuka
pemuda; (3) makin maraknya pornograi
dan pornoaksi di kalangan pemuda;
(4) menurunnya jiwa kewirausahaan,
kepeloporan, dan kepemimpinan pemuda;
dan (5) banyaknya generasi muda yang
terlibat dalam penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif (napza),
minuman keras, dan terjangkit penyakit
menular seksual HIV/AIDS.
Dengan
perkembangan
kawasan
perkotaan yang semakin pesat, maka
kondisi sosial masyarakat pun mengalami
perubahan. Ketidakmampuan kota untuk
memberikan kondisi yang kondusif bagi
tumbuh kembang anak pada akhirnya akan
menimbulkan permasalahan baru seperti
meningkatkan jumlah tawuran remaja,
pelecehan seksual dan kekerasan pada anak,
penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan
meningkatnya jumlah pekerja anak.
Untuk
mengatasi
permasalahan
ini
pemerintah
melalui
Peraturan
menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan anak No14 Tahun 2010
mencanangkan program Kota Layak Anak di
Indonesia. Pengembangan Kabupaten/Kota
Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai
salah satu prioritas pembangunan nasional
yang tertuang dalam Peraturan Presiden
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2010-2014. Selain itu, Presiden Republik
Indonesia menginstrusikan ”Pengembangan
Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak”
sebagai salah satu prioritas program bidang
perlindungan anak sebagaimana yang
tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan
Prioritas Pembangunan Nasional 2010.
hak anak melalui pengembangan KLA; dan
(8) dikembangkannya model-model KLA
di beberapa RT, RW, desa/kelurahan dan
kecamatan.
Implementasi KLA
di Indonesia
Salah
satu
kota
yang
mengimplementasikan
program
Kota
Layak Anak (KLA) adalah Kota Depok. Bukti
implementasi Kota Layak Anak di Kota
Depok adalah dengan dikeluarkannya Perda
No.15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran
Menindaklanjuti hal tersebut dikeluarkan
pula Peraturan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak No.14
Tahun 2011 Tentang Panduan Evaluasi
Kota Layak Anak (KLA). Adapun hasil dari
evaluasi yang dilakukan adalah sebagai
berikut (1) diterbitkannya berbagai peraturan
dan kebijakan daerah tentang KLA; (2)
terbentuknya Gugus Tugas KLA di provinsi
dan kabupaten/kota; (3) tersusunnya Proil
Anak yang berisi seluruh data anak di
masing-masing daerah; (4) meningkatnya
alokasi dana APBD provinsi dan kabupaten/
kota untuk pemenuhan hak anak; (5)
tersusunnya Rencana Aksi Daerah (RAD)
KLA di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;
(6) meningkatnya koordinasi pelaksanaan
KLA melalui penerapan 5 klaster hak anak
oleh seluruh pemangku kepentingan
daerah; (7) meningkatnya dukungan dunia
usaha dan masyarakat dalam pemenuhan
47
Kota Layak Anak. Kebijakan yang dilakukan
Kota Depok dalam mendukung pelaksanaan
program ini adalah sebagai berikut (1) peduli
pendidikan anak tidak mampu, (2) peduli
anak jalanan, (3) peduli kesehatan anak, (4)
peduli keamanan anak.
Saat ini meskipun implementasi program
kota layak anak di kota Depok belum
berjalan sepenuhnya, namun ada fenomena
unik terkait pengembangan potensi dan
kreatiitas anak dan remaja di Kota Depok.
Fenomena unik yang terjadi muncul
karena adanya Universitas Indonesia yang
dijadikan ruang dan wadah oleh masyarakat
Depok untuk menyalurkan, hobi, potensi
dan kreatiitas. Sejalan dengan kegiatan
Universitas Indonesia sebagai kampus,
maka berbagai kegiatan yang ada tentunya
memberikan ruang keterlibatan untuk anak.
48
Namun sayangnya hal tersebut berada di
luar campur tangan Pemerintah Daerah.
Sementara
itu, sarana yang dibangun
Pemerintah untuk anak, seperti GOR
(Gelanggang Olah Raga), Kawasan Snada
Tapos, dsb namun belum menjadi pilihan
bagi sebagian besar anak di Kota Depok.
Sinergi Pemerintah Kota dan Universitas
dalam hal ini perlu diwujudkan untuk
membentuk sarana dan program yang dapat
menangkap dan mengembangkan potensi
anak yang ada di Kota Depok.
Kota
lain
yang
sudah
mengimplementasikan program kota layak
anak adalah kota Surabaya. Kota Surabaya
merupakan salah satu kota yang dalam dua
tahun berturut-turut meraih penghargaan
sebagai kota layak anak, yaitu kategori
madya pada tahun 2011 dan nindya pada
tahun 2012. Penghargaan ini sendiri
memiliki 5 (lima) kategori penghargaan yaitu
Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA
yang fungsinya seperti level maupun kelas
sehingga setiap kota/kabupaten peserta KLA
harus terus meningkatkan level penghargaan
setiap tahunnya dan indikator penilaian pun
juga akan menjadi semakin kompleks.
Penilaian dalam penghargaan itu
harus memenuhi enam kluster antara
lain pengembangan komitmen kebijakan,
program,
penganggaran,
penyediaan
infrastruktur anak, pemenuhan hak sipil dan
kebebasan anak, serta pemenuhan hak anak
untuk mendapatkan lingkungan keluarga
dan pengasuhan alternatif. Adapun kebijakan
yang telah dilakukan kota Surabaya dalam
mendukung pertumbuhan kota layak anak
diantaranya :
a. Pembentukan payung hukum terkait
kota layak anak
b. Pemenuhan hak sipil dan kebebasan
terhadap anak dengan pemberian akte
kelahiran gratis
c. Diselenggarakannya pelatihan terhadap
hak anak untuk kader masyarakat dan
keluarga.
d. Penyediaan fasilitas panti asuhan dan
lembaga social
e. Penyediaan pengobatan gratis
f.
Pencanangan wajib belajar 12 tahun
g. Penyediaan fasilitas taman bacaan
h. Dibentuknya Pusat Krisis Berbasis
Masyarakat (PKBM) di tiap kecamatan,
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPT-P2A), serta
Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan
Reproduksi Remaja (PIKKRR).
i.
Dibuatnya kampung layak
daerah Kejambon, Surabaya
anak
di
Selain
mengimplementasikan
Kota
Layak Anak, anak juga membutuhkan pola
pengembangan yang jelas dan terarah.
Salah satu aksesibilitas pengembangan
potensi anak adalah dengan menggalakkan
kembali kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.
Dengan aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler,
maka anak dapat mengembangkan bakat
dan minat mereka sejak duduk di bangku
sekolah. Selain itu kegiatan ekstrakulikuler
juga mampu melatih jiwa kepedulian
terhadap sesama melalui kegiatan sosial
yang dilakukan misalnya pramuka.
Dan hal lain yang tidak kalah penting
adalah penyediaan ruang terbuka hijau
sebagai sarana dan wahana pengembangan
kreatiitas anak. Menurut standar pelayanan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) seharusnya
adalah 9m2/kapita. Di Indonesia, RTH
belum mencapai standar pelayanan yang
seharusnya, bahkan untuk wilayah Jakarta
ratio RTH adalah 0,22 m2/kapita. Artinya,
setiap orang yang tinggal di Jakarta hanya
memiliki RTH sebesar 0,22m2.
Sementara itu, pada kelompok usia
yang lebih tinggi, permasalahan yang kerap
dialami oleh pemuda adalah rendahnya
angka penyerapan tenaga kerja usia muda
di Indonesia. Dari sisi ketenagakerjaan,
pemuda lebih cenderung menganggur
daripada angkatan kerja usia lebih dari 30
tahun. Meskipun Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) pemuda turun, dari 17,7%
pada tahun 2006 menjadi 14,4% pada
tahun 2008 (Sakernas, 2008), angka ini
masih terbilang tinggi. Pemuda perempuan
lebih cenderung untuk menganggur
daipada pemuda laki-laki. Selain itu, pemuda
perkotaan lebih cenderung menganggur
daripada pemuda perdesaan. Hasil SP 2010
bahkan menujukkan tingkat pengangguran
kelompok pemuda lebih tinggi daripada
kelompok lainnya, yakni sebesar 19,59%.
49
Hal ini menunjukkan kurangnya akses terhadap kesempatan kerja bagi pemuda, yang jika
tidak ditanggulangi dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, seperti meningkatnya
prostitusi, penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika serta maraknya premanisme.
Seperti halnya penduduk bekerja Indonesia umumnya, seperti terlihat pada Tabel 1.1.
sebagian besar (50.6%) pemuda Indonesia bekerja di sektor informal (berusaha sendiri,
berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, pekerja bebas atau pekerja keluarga/tidak
dibayar). Sedangkan pemuda bekerja perkotaan lebih dari dua kali cenderung untuk bekerja
di sektor formal (berusaha dengan buruh tetap/dibayar atau buruh/karyawan) dibandingkan
pemuda bekerja perdesaan (70% versus 28%). Hal ini menunjukkan bahwa pemuda bekerja
perkotaan lebih aman (employment security) dalam hal bekerja daripada pemuda bekerja
perdesaan.
Status pekerjaan
Perkotaan
Perdesaan
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
2.401.338
14,75
2.816.8601
7,64
5.218.198
16,18
Berusaha dibantu buruh
tidak tetap/tidak dibayar
264.451
1,62
1.556.247
9,75
1.820.698
5,65
Berusaha dibantu buruh
tetap/dibayar
463.726
2,85
370.263
2,32
833.989
2,59
10.938.028
67,17
4.169.897
26,12
15.107.925
46,84
1.478.967
9,08
2.139.368
13,40
3.618.335
11,22
738.081
4,53
4.914.040
30,78
5.652.121
17,53
Berusaha sendiri
Buruh/karyawan
Pekerja bebas
Pekerja keluarga/tidak
dibayar
Jumlah
16.284.591 100,00 15.966.675 100,00 32.251.266 100,00
Tabel 4. Pemuda yang Bekerja menurut Status Pekerjaan dan Tempat Tinggal: Indonesia 2010
Sumber: Statistik Pemuda 2010 dalam Simanjuntak (2012).
Dari data diatas kita dapat lihat bahwa,
jumlah pemuda yang bekerja paling
banyak berstatus sebagai buruh atau
karyawan yaitu 46,84%, posisi kedua
berstatus sebagai pekerja keluarga/pekerja
tidak dibayar sebanyak 17,53% dan posisi
ketiga yaitu berstatus sebagai pekerja yang
berusaha sendiri sebanyak 16,18%. Kondisi
menggambarkan bahwa ternyata jumlah
pemuda yang berstatus bekerja sendiri
cukup besar yaitu sebanyak 5.218.198 jiwa,
hal ini tentu saja menjadi sebuah modal
besar untuk meningkatkan kesadaran akan
peluang entrepreneurship bagi penduduk
usia muda.
50
Salah satu upaya untuk meningkatkan
hal tersebut adalah dengan mencanangkan
pertumbuhan kota kreatif di Indonesia. Kota
kreatif diharapkan selain mampu menyerap
lebih banyak tenaga kerja usia muda juga
mampu
meningkatkan
pembangunan
di
masing-masing
daerah,
sehingga
dapat mengurangi ekses urbanisasi dan
meningkatkan pemerataan pembangunan
antar daerah.
Charles Landry, melalui bukunya The
Creative City : A Toolit for Urban Innovators
menjelaskan bahwa kota kreatif adalah
kota yang menciptakan lingkungan yang
Bisnis Kreatif Anak muda bandung yang mendunia
mendukung orang untuk memikirkan,
merencanakan, dan bertindak dengan
imajinasi dalam memanfaatkan kesempatan
dan masalah kota, mengubah kesempatan
menjadi pemecahan. Untuk mendukung
terwujudnya
kota
kreatif,
Landry
menyebutkan pentingnya ketersediaan
infrastruktur serta tenaga kerja yang dinamis,
leksibel dan memiliki kemampuan yang
tinggi.
Berdasarkan
siaran
pers
Rencana
Pengembangan Ekonomi Kreatif Tahun
2015-2019 dari Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, ekonomi kreatif
berkontribusi secara signiikan terhadap
perekonomian nasional, yaitu sebesar 7%
terhadap PDB Nasional, menyerap 11,8
juta tenaga kerja atau sebesar 10,72% dari
total tenaga kerja nasional, menciptakan
5,4 juta usaha atau sekitar 9,68% dari total
jumlah usaha nasional, serta berkontribusi
terhadap devisa negara sebesar 119 Triliun
atau sebesar 5,72% dari total ekspor nasional.
Pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi
kreatif mencapai 5,76% atau lebih tinggi dari
pertumbuhan ekonomi nasional 5,74%.
Tujuh isu strategis dalam pengembangan
ekonomi kreatif,meliputi: (1) Ketersediaan
sumber daya kreatif (orang kreatif-OK) yang
profesional dan kompetitif; (2) Ketersediaan
sumber daya alam yang berkualitas,
beragam, dan kompetitif; dan sumber daya
budaya yang dapat diakses secara mudah;
(3) Industri kreatif yang berdaya saing,
tumbuh, dan beragam; (4) Ketersediaan
pembiayaan yang sesuai, mudah diakses
dan kompetitif; (5) Perluasan pasar bagi
karya kreatif; (6) Ketersediaan infrastruktur
51
dan teknologi yang sesuai dan kompetitif;
dan (7) Kelembagaan yang mendukung
pengembangan ekonomi kreatif.
Di
Indonesia,
peran
industri
kreatif
dalam
ekonomi
Indonesia
cukup signiikan dengan besar kontribusi
terhadap PDB rata-rata tahun 20022006 adalah sebesar 6,3% atau setara
dengan 104,6 Triliun rupiah (nilai konstan)
dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal).
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu
mengatakan bahwa sumbangan ekonomi
kreatif sekitar 4,75% pada PDB 2006 (sekitar
Rp 170 triliun rupiah) dan 7% dari total
ekspor pada 2006. Pertumbuhan ekonomi
kreatif mencapai 7,3% pada 2006, atau lebih
tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional
sebesar 5,6%. Sektor ekonomi itu juga
mampu menyerap sekitar 3,7 juta tenaga
kerja setara 4,7% total penyerapan tenaga
kerja baru.
Menurut Kementerian Perdagangan
(2009), Ekonomi kreatif merupakan era
ekonomi baru yang mengintensifkan
informasi
dan
kreativitas
dengan
mengandalkan ide dan stock of knowledge
dari sumberdaya manusia sebagai factor
produksi utama dalam kegiatan ekonomi;
sedangkan industri kreatif adalah industri
yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan
pekerjaan
dengan menghasilkan dan
memberdayakan daya kreasi dan daya
cipta individu tersebut. Untuk mendukung
perkembangan industri kreatif, maka
umumnya Kota Kreatif mampu memberikan
ruang dan instrument untuk berkarya,
seperti : area public untuk pengembangan
industri kreatif, infrastruktur yang menunjang,
penyelenggaraan even kreatif, lembaga
pendidikan formal yang menunjang, dan
dokumen rencana pengembangan industri
kreatif.
52
Sebagai
upaya
menindaklanjuti
pengembangan ekonomi kreatif yang
diimplementasikan menjadi industri kreatif
dan didukung oleh pengelola kota melalui
wadah kota kreatif, Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif telah melakukan
beberapa rencana inisiasi diantaranya :
1. Rencana
Induk
Pengembangan
Ekonomi Kreatif Nasional 2009-2025,
yang merupakan revisi dari dokumen
Rencana Induk Pengembangan Ekonomi
Kreatif Indonesia 2009- 2025 yang telah
disusun pada tahun 2009;
2. Rencana
Pengembangan
Ekonomi
Kreatif Nasional 2015-2019, yang
merupakan rencana pengembangan
jangka menengah ekonomi kreatif
nasional;
3. Rencana
Pengembangan Subsektor
Ekonomi
Kreatif
Nasional
20152019,
yang merupakan
rencana
pengembangan
jangka
menengah
ekonomi kreatif prioritas subsektor.
Pemuda & Tumbuhnya
Kota Kreatif di Indonesia
Pemuda adalah generasi penerus dan
perubah pada sebuah bangsa, sebagaimana
yang dikatakan oleh bapak proklamator
Indonesia, Soekarno “beri aku 10 pemuda,
niscaya akan kuguncang dunia”. Sebaris
kalimat ini mengisyaratkan sebuah arti
penting mengenai peranan pemuda
dalam pembangunan bangsa. Usia muda
diibaratkan sebagai periode emas dalam
tumbuh kembang manusia, dimana pada
periode ini manusia memiliki potensi
yang luar biasa untuk dikembangkan dan
dilatih jika dibandingkan dengan usia anakanak dan lansia. Begitu pula di Indonesia,
pemuda memiliki peranan yang besar dalam
menggerakan pembangunan bangsa, salah
satunya dalam bidang ekonomi. Dalam
bidang ekonomi,pemuda memiliki peranan
yang besar dalam menggerakan sektor
usaha khususnya dalam industry kreatif.
Berikut ini ada beberapa contoh kota yang
mulai bergeliat untuk menggembangkan
industry kreatif, diantaranya :
1. Kota Surakarta
(Kota Kreatif Berbasis Desain)
Kota Surakarta atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Kota Solo adalah salah
satu kota yang telah dicanangkan oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif sebagai kota kreatif di Indonesia
dengan kategori kota desain. Potensi
yang dimiliki oleh Kota Solo dari sektor
industry kreatifnya adalah furniture ukir,
53
2. Kota Cimahi
(Kota Kreatif Berbasis Animasi)
Kota lain yang memiliki keunggulan
dalam pembanguanan kota kreatif adalah
kota Cimahi. Pesatnya pertumbuhan industri
animasi di Cimahi mengantarkan
kota
Cimahi sebagai salah satu kota kreatif yang
berbasis animasi di Indonesia. Di tahun
2005, kota itu menginisiasikan diri sebagai
kota cyber. Lantas riset terus dilakukan oleh
pemerintah kota hingga mendapatkan hasil
Cimahi sebagai kota yang aktif berkreasi di
bidang digital pada 2009.
Untuk mendukung upaya tersebut maka
pada tahun 2009 dibentuklah perkumpulah
komunitas animasi yaitu yang dikenal
dengan Cimahi Creative Association (CCA).
Keseriusan Pemerintah Kota
Cimahi
mendukung program itu ditandai dengan
ukiran kaca, kulit, keris dan batik tulis.
Tingginya perkembangan industri kreatif di
Solo mampu menyerap tenaga kerja dengan
rata-rata 5,4 juta pertahun, dimana hal ini
diikuti dengan peningkatan pertumbuhan
industry kreatif sekitar 7% setiap tahunnya.
Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan
Solo sebagai Kota MICE (meeting,incenti
ve,convention,exhibition) akan bersinergi
dengan pembangunan ekonomi kreatif.
Program MICE seharusnya diikuti dengan
pertumbuhan industri kreatif sehingga
multiplier efect dan spillover efect dari MICE
dapat ditangkap dengan produk barang/
jasa industri kreatif sehingga secara nyata
perekonomian dapat bertumbuh dan pada
akhirnya pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat Solo meningkat.
26. Penyusunan Ekonomi Kreatif Kota Surakarta, 2013
54
Contoh karya Film animasi “Keluarga Somat” produksi studio dreamToon yg
berlokasi di cimahi.
dibangunnya
gedung
yang
menjadi
markas CCA dengan nama Gedung Baros
Information Technology and Creative
Center (BITC). Saat ini produksi animasi
dari Kota Cimahi sudah mulai dilirik oleh
industri hiburan dalam negaeri maupun luar
negeri salah satu rumah produksi animasi
di Cimahi adalah Dreamtoon. Selain itu
untuk mendukung pertumbuhan animasi
di kota Cimahi diadakanlah pameran Baros
International Animasi Festival (BIAF), kegiatan
ini bertujuan untuk mempromosikan kota
Cimahi sebagai kota kreatif animasi di
Indonesia dan juga dunia internasional. Pada
pameran BIAF yang diselengarakan pada
tahun 2013 Pemerintah Kota Cimahi bekerja
sama dengan Cimahi Creative Association
(CCA) menyelenggarakan Pameran Animasi
Internasional dengan mengundang semua
elemen yang bergerak di bidang animasi
termasuk mengundang para pelaku studio
animasi di Indonesia, production house,
investor baik dari dalam maupun luar
negeri, pemangku kebijakan, dan juga
masyarakat yang mempunyai minat besar
terhadap animasi. Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf),
menjadikan Cimahi masuk kedalam bagian
rencana nasional dalam mengembangkan
industri
kreatif
berbasis
animasi.
Rencananya pada 6-9 November 2014 akan
diselenggarakan untuk kedua kalinya. Kali ini
Belanda, Filipina, Singapura, Iran, Korea, dan
Jepang akan ikut serta.
jaringan iber optik yang menghubungkan
Struktur Organisasi Perangkat Daerah (SOPD),
seperi kabupaten, kelurahan, dan pusat
pelayanan kesehatan. Masing-masing SOPD
itu terhubung oleh satu data center yang
menyimpan data seluruh aktivitas SOPD.
Kota Cimahi juga sedang mengembangkan
44 buah aplikasi internet untuk menunjang
e-government. Terobosan lainnya yang
dilakukan adalah terkait digitalisasi kota
Cimahi antara lain pengadaan Citizen Cyber
Card, yang memudahkan warga kota Cimahi
untuk mengurus persoalan kependudukan
dan pelayanan kesehatan.
3. Kota Yogyakarta
(Kota Berbasis Kerajinan)
Kota kreatif lainnya yang memberikan
kontribusi nyata terhadap penyerapan
tenaga kerja usia muda ke dalam industri
kreatif adalah kota Yogyakarta. Berdasarkan
data dari Jogja Digital Valley (JDV) tahun
2014 terungkap bahwa, 90,75% penggerak
industri kreatif digital di Jojga adalah
pemuda (usia sampai 35 tahun) dengan
latar belakang pendidikan mayoritas adalah
Strata-1 (60,30%). Gambaran ini menjadikan
pengelola
kota
terstimulus
untuk
menangkap peluang dengan menyiapkan
dan meningkatkan sarana dan prasarana
kotanya menuju kota kreatif.
Dukungan pemerintah Kota Cimahi
terhadap pengembangan animasi selain
pembangunan gedung Baros Information
Technology and Creative (BITC), pemerintah
juga memberikan bantuan untuk pelatihan.
Selain itu pemerintah Kota Cimahi telah
mengalokasikan 2% dari total belanja daerah
kami untuk sektor teknologi, informasi, dan
komunikasi. Untuk mendukung terbentuknya
kota cyber maka Cimahi telah menerapkan
55
Kota Yogyakarta sejak lama telah erat
disebut sebagai salah satu kota Budaya
di Indonesia. Menariknya, industri kreatif
berkembang secara cepat di Yogyakarta. Ini
dikarenakan mudahnya akses, banyak tenaga
kerja muda terdidik dengan spesialisasi
industri kreatif, banyak lembaga- lembaga
pendidikan terkait dengan industri kreatif,
dan banyaknya komunitas di berbagai
bidang kreatif. Yogyakarta memiliki banyak
seniman ternama baik di tingkat nasional
maupun di luar negeri. Potensi industri kota
kreatif di Yogyakarta diantaranya : Fashion,
kerajian, ilm dan animasi, kuliner, pariwisata.
Kalangan muda utamanya para mahasiswa,
banyak yang tertarik dan antusias dengan
industri kreatif. Oleh karenanya, pemerintah
daerah sangat mendukung dan menfasilitasi
mereka untuk berkembang. Tentunya ini
akan menjadikan Yogyakarta sebagai kota
persemaian untuk para wiraswasta muda.
Adapun
kebijakan
yang
telah
dilakukan pemerintah untuk mendorong
pertumbuhan kota kreatif :
a. Melakukan pemetaan terkait ekonomi
kreatif
b. Penyediaan ruang kreatif berupa taman
Budaya Yogyakarta, Malioboro dan Pusat
Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri
c. Menyelenggarakan
event
tahunan
seperti Festival Film Pelajar Yogyakarta,
JOgja Asian Film Festival, the Jogja
International Performing Arts Festival,
The Parade Clothing Exhibition.
Sebagaimana yang dilansir dalam laman
Jogja Invest, berikut beberapa peluang untuk
industri kreatif yang ada di Kota Yogyakarta27
:
a. Fesyen. Yogyakarta mempunyai lebih
dari 400 macam corak batik, dan batik
adalah komoditas ekspor (dalam nilai)
utama dari Yogyakarta.
b. Kerajinan. Kerajinan yang terkenal dari
Yogyakarta seperti a.l. kerajinan kayu
dari Desa Kerebet; kerajinan keramik dari
Desa Kasongan; kerajinan kulit dari Desa
Manding; dan kerajinan perak dari Desa
Kotagede.
c. Perangkat Lunak. Hal ini meliputi
industri animasi dan games.
d. Film. Yogyakarta dikenal baik sebagai
lokasi untuk pengambilan gambar
ilm baik untuk ilm nasional ataupun
internasional.
Hal
ini
disamping
karena lokasinya yang unik dan indah,
juga karena banyak sineas andal dari
Yogyakarta.
e. Kuliner. Bisnis kuliner di Yogyakarta
tumbuh pesat baik kuliner khas
Yogyakarta seperti Gudeg, juga kuliner
yang berasal dari berbagai daerah lain
baik dari dalam maupun luar negeri.
Selain kuliner tradisional di Yogyakarta
berkembang pula kuliner-kuliner hasil
inovasi kreatif seperti makanan unik
dari ketela yang diolah sedemikian rupa
menjadi makanan yang bernuansa
modern, seperti brownies tela, coklat
tela, es krim tela, dan lain-lain.
f.
27. http://www.jogjainvest.jogjaprov.go.id/id/mengapa-yogyakarta/keunggulan-kami
56
Film dan Animasi, Industri yang
meroket. Yogyakarta memiliki sejumlah
animator kelas dunia yang berjumlah
sekitar 100 orang. Selain itu Yogyakarta
juga memiliki tidak kurang dari
20 studio animasi. Kualitas produk ilm
dan animasi yang diproduksi telah
diakui oleh komunitas internasional.
Bahkan terdapat direktur ilm Hollywood
yang mempercayakan produksi ilm
animasinya di Yogyakarta. Yogyakarta
juga merupakan satu-satunya kota
di Indonesia yang dipercaya oleh
GAMELOFT, sebuah perusahaan animasi
internasional sebagai tempat untuk
mendirikan salah satu dari 12 cabang
internasionalnya.
g. Perdagangan dan UKM. Varian andalan
produk ekspor DIY meliputi produk
olahan kulit, tekstil dan kayu. Pakaian
jadi tekstil dan mebel kayu merupakan
produk yang mempunyai nilai ekspor
tertinggi. Namun demikian secara
umum
ekspor
ke mancanegara
didominasi oleh produk-produk yang
dihasilkan dengan nilai seni dan
kreatiitas tinggi yang padat karya (labor
Program
pembangunan
intensive).
dalam
mengembangkan
koperasi
dan UKM di DIY, salah satunya adalah
memberdayakan usaha mikro dan kecil
dan menengah yang disinergikan dengan
kebijakan program dari pemerintah
pusat. Salah satu upaya pembinaan UKM
adalah melalui kelompok (sentra) karena
upaya ini lebih efektif dan eisien, di
samping itu dengan sentra akan banyak
melibatkan usaha mikro dan kecil. Pada
2010 tercatat sebanyak 1.926 koperasi
aktif dan 13.998 unit usaha UKM.
Adapun langkah strategis yang harus
dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah
kota untuk mendukung terlaksananya
pengembangan kota kreatif di Indonesia,
terutama terkait pembinaan pemuda untuk
terlibat aktif menghidupkan industri kreatif di
perkotaan, yaitu :
1. Membuat skema potensi kota yang
terstruktur untuk menggembangkan kota
kreatif di Indonesia. Pengimplementasian
kota kreatif tidak serta merta dapat
dilakukan, tetapi memerlukan justiikasi
terlebih dahulu terhadap karakteristik
wilayah atau kawasan perkotaan yang
akan direncanakan.
2. Ikut
sertanya
pemerintah
dalam
penyediaan pendidikan non-formal
seperti kursus bahasa asing, kursus
kesenian, dan
kursus keterampilan
lainnya. Hal ini perlu dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dan
kemampuan sumber daya manusia
terutama penduduk usia muda. Selama
ini pendidikan non formal masih dinilai
sebagai pendidikan tambahan bagi
masyarakat dan dikarenakan biaya yang
dibutuhkan untuk mendapatkan sekolah
non formal cukup tinggi maka hanya
masyarakat yang berpendapatan tinggi
dan tinggal di kawasan perkotaan saja
yang mampu mengakses pendidikan
non formal tersebut.
3. Peningkatan pemberdayaan sekolah
berbasis kejuruan seperti SMK, STM
maupun vokasi. Sekolah berbasis
kejuruan tersebut diharapkan mampu
mencetak lulusan yang memiliki
kemampuan dan keterampilan yang
baik sehingga lebih siap untuk masuk ke
pasar kerja.
Hal di atas perlu diupayakan, agar jangan
sampai belum terakomodasinya potensi
pemuda dalam pembangunan perkotaan
memunculkan perilaku menyimpang di
kalangan muda, seperti : penyalahgunaan
narkoba dan meningkatnya tingkat kejahatan.
Pada tahun 1998, lebih dari 40 % pasien muda
berusia di antara 20-24 tahun yang rawat
inap mempunyai masalah dengan narkoba.
57
Kelompok usia sekolah menengah atas menunjukkan derajat penyalahgunaan obat yang
signiikan (lebih dari 30 %) sejak 1995. Adapun hasil estimasi yang dilakukan oleh Universitas
Indonesia yang bekerja sama dengan BNN (Badan Narkotika Nasional) menyebutkan bahwa
penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2011 untuk usia 10 tahun sampai dengan
59 tahun sebanyak 2,2% dari total penduduk yaitu berjumlah 3,8 juta. Sedangkan data residen
UPT terapi dan rehabilitasi dapat dilihat pada graik di bawah ini.
Graik 7. Data Residen UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN Tahun 2011.
Sumber : UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN,Maret 2012
Masalah
lainnya
yang
menjadi
menjadi fokus perhatian adalah semakin
meningkatnya angka penderita HIV Aids di
Indonesia. Sebagaimana yang dilansir oleh
Direktorat Jenderal PP dan PL kementerian
Kesehatan pada tahun 2012, dimana jumlah
penderita Aids untuk laki-laki sebanyak
20.333 jiwa sedangkan untuk perempuan
sebanyak 8122 jiwa28. Melihat data
tersebut maka dapat diindikasikan sebagai
suatu peringatan bahwa hal ini merupakan
dampak pengangguran di kalangan kaum
muda. Jika orang muda yang tidak bekerja
tidak dapat mendapatkan dukungan dari
keluarga, teman, dan masyarakat, mereka
bisa jatuh ke perilaku yang menyimpang.
Pentingnya menyiapkan pemuda sebagai
kader bangsa sudah disadari oleh para
pemimpin bangsa, karena itu kementerian
yang mengurus kepemudaan telah ada
sejak tahun 1946 dan bahkan kehadiran
organisasi pemuda telah hadir sejak zaman
kolonial sejak awal abad ke 20 . Kini , dalam
kehidupan yang lebih demokratis muncul
berbagai komunitas /gerakan yang dilakukan
oleh anak-anak muda di Indonesia dalam
berbagai bidang. Ada perkumpulan hobi
seperti fotograi, seni tari , olahraga, tetapi
juga komunitas berbasis sosial, lingkungan,
gerakan dalam bidang kewirausahaan dan
masih banyak lagi.
28. Butar Butar, Darwis. 2012.Kondisi Narkoba di Indonesia Pada Akhir Tahun 2011. BNN.
58
Beberapa dari komunitas pemuda ini
mampu memberikan kontribusi secara
nyata terhadap masyarakat seperti misalnya:
Komunitas 1001 buku yang mengelola
perpustakaan untuk anak- anak, komunitas
Indonesia
Mengajar
yang
mengisi
kekurangan guru SD; Akademi Berbagi
gerakan sosial nirlaba yang bertujuan
untuk berbagi pengetahuan, wawasan
dan pengalaman yang bisa diaplikasikan
langsung sehingga para peserta bisa
meningkatkan kompetensi di bidang yang
telah dipilihnya; Card to Post merupakan
gerakan yang mengajak masyarakat terutama
kaum muda untuk menjadi kreatif dengan
membuat kartu pos untuk menyampaikan
sebuah pesan; Diet Kantong Plastik, gerakan
ini mengkampanyekan secara nasional
ajakan kepada
masyarakat untuk lebih
bijak dalam menggunakan kantong plastik;
Indonesia bercerita adalah suatu gerakan
yang muncul dari insiatif mempromosikan
dan memberikan upaya mendidik melalui
cerita; Indonesia berkebun komunitas yang
bergerak melalui media jejaring sosial yang
bertujuan untuk menyebarkan semangat
positif untuk lebih peduli kepada lingkungan
dan perkotaan dengan program urban
farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di
kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi
lahan pertanian/perkebunan produktif hijau
yang dilakukan oleh peran masyarakat
dan komunitas sekitar serta memberikan
manfaat bagi mereka. Pencerah Nusantara
adalah gerakan untuk melakukan perubahan
pola pikir dalam masyarakat. Indonesian
Future Leaders adalah lembaga swadaya
masyarakat yang digagas oleh kaum muda
dengan tujuan sebagai wadah untuk
menampung gagasan dan pemikiran, serta
dapat memberikan kontribusi langsung
bagi masyarakat. Sahabat Pulau adalah
organisasi nirlaba yang digerakkan oleh
pemuda untuk menginisiasi aksi proyek
berkelanjutan untuk membantu kelanjutan
pendidikan anak-anak Indonesia terutama
yang berada di berbagai pulau terpencil
di Indonesia. Save Street Child adalah
komunitas skala nasional yang berupaya
menjadi wadah penggerak yang peduli
terhadap anak-anak jalanan. Transformasi
Hijau adalah komunitas relawan yang
bergerak pada isu pendidikan lingkungan
dengan mendorong para generasi muda
untuk melestarikan lingkungan. Dan masih
banyak lagi gerakan
kaum muda yang
kreatif konstruktif yang terus tumbuh tanpa
hambatan eksternal yang berarti.
Gambar 10. Indonesia Mengajar di Halmahera Selatan (Sumber : Riangga Sudjatmiko, 2014)
59
Adalah
menjadi
tanggung
jawab
bersama untuk menjaga dan menjamin
keberlanjutan perkembangan inisiatif kaum
muda tersebut. Kehidupan demokrasi yang
menjadi lebih berkembang di Indonesia juga
telah memunculkan kepala daerah muda,
yang mendorong dan mengakomodasikan
prakarsa kaum muda tersebut.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas,
ada tantangan lain yang akan dihadapi
terkait dengan pemenuhan kebutuhan
penduduk usia muda Indonesia ke depannya
diantaranya adalah :
1. Peningkatan efektiftiitas pelaksanaan
program wajib belajar 12 tahun yang
telah dicanangkan sejak tahun 2013,
60
dengan program ini diharapkan akan
mampu menekan jumlah anak putus
sekolah dan meningkatkan jumlah
partisipasi sekolah sampai tingkat
pendidikan menengah atas.
2. Penyediaan fasilitas sarana prasarana
pendidikan yang berbasis teknologi.
Dengan perubahan gaya hidup saat
ini dengan teknologi yang menjadi
bagian tidak terpisahkan lagi, karena
itu untuk menciptakan generasi muda
yang memiliki daya saing, maka penting
bagi pemerintah untuk menyediakan
pendidikan berbasis teknologi.
‘Pemuda Perkotaan & Kekuatan Menggerakan Masa untuk Lingkungan Hidup’
Indonesia Berkebun adalah komunitas
yang bergerak melalui media jejaring
sosial (baik itu twitter, facebook, dll) yang
bertujuan untuk menyebarkan semangat
positif untuk lebih peduli kepada lingkungan
dan perkotaan dengan program urban
farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di
kawasan perkotaan yang diubah menjadi
lahan
pertanian/perkebunan
produktif
yang dilakukan oleh peran masyarakat
sekitar. Dengan semangat ini sekarang
Indonesia Berkebun sudah berkembang dan
menularkan semangat di lebih dari 32 kota
dan 9 kampus di Indonesia (kota-kota dan
kampus-kampus yang bergabung di dalam
jejaring Indonesia Berkebun) dengan visi
dan tujuan yang sama.
Awal mula terbentuknya komunitas
Indonesia berkebun adalah pada tahun
2010, yang digagas oleh Ridwan Kamil
melalui peran yang intensif dari sosial
media. Awalnya kegiatan pada komunitas
Indonesia Berkebun dimulai dengan Jakarta
Berkebun, tepatnya di daerah Kemayoran,
tepatnya lokasi properti Spring Hill. Saat itu
Ridwan Kamil sedang melakukan kerja sama
dengan pengembang properti tersebut, dan
bermaksud memanfaatkan lahan kosong
yang ada di sekitar lokasi properti yang juga
dimiliki oleh pengembang untuk dijadikan
areal berkebun. Luas lahan yang akan
dimanfaatkan berkebun saat itu sekitar 10.500
m2. Kegiatan di lahan ini dilakukan dengan
mengundang masyarakat sekitar untuk turut
berkebun, dan juga masyarakat kota Jakarta.
Rencana ini kemudian disuarakan melalui
media sosial (twitter, facebook, dll), sehingga
kelompok masyarakat yang dibayangkan
terlibat adalah penduduk sekitar dan
para pengguna media sosial. Kegiatan
mengundang masyarakat ini dilakukan pada
masa panen pertama, tepatnya 20 Februari
2011, yang sekaligus ditetapkan sebagai awal
berdirinya komunitas indonesia berkebun.
Kegiatan berkebun di Spring Hill berakhir
pada tahun 2012, hal ini dikarenakan pada
tahun 2012 lahan kosong akan mulai
dibangun hotel. Kesepakatan penggunaan
lahan dilakukan secara informal oleh pihak
pengembang dan pengelola komunitas.
61
62
Sebagai review singkat dari kegiatan
perdana ini, media sosial memiliki daya
sebarluas informasi yang tinggi, hal ini
ditandai dengan capaian 80.000 pengikut
jejaring komunitas ini sejak
kegiatan
perdana. Potensi ini ditambah dengan
akses informasi di perkotaan yang semakin
tinggi, dan respon cepat para pengguna
media sosial untuk turut berkabar tentang
kegiatan ini, yang otomatis memberi brand
kuat dan positif pada komunitas ini, sebagai
komunitas pemuda perkotaan yang memiliki
kepedulian terhadap lingkungan hidup dan
masyarakat sekitar.
Konsep yang dicanangkan Indonesia
Berkebun dalam kegiatannya adalah 3E,
yaitu Ekologi, Edukasi, dan Ekonomi.
Dengan asumsi bahwa, dengan menanam
maka akan melindungi lahan agar tidak
rusak, memberikan pengetahuan kepada
masyarakat, sekaligus meningkatkan ekonomi
masyarakat (setidaknya mengurangi belanja
untuk kebutuhan sayuran), dan lebih lanjut
diharapkan dapat meningkatkan ketahanan
pangan masyarakat.
Di Jakarta, kegiatan komunitas ini banyak
bekerjasama dengan para pengembang,
seperti Bumi Pesanggrahan Mas, Casa Goya,
dsb. Saat ini, di tengah kebijakan terkait green
building dan green city, maka komunitas
ini mendapatkan banyak tawaran dari para
pengembang untuk mengelola
lahan
kosong yang dimiliki pengembang. Pada
dasarnya, hal ini memberikan manfaat
antara komunitas berkebun maupun
pengembang sendiri, karena masyarakat
dapat menggarap kebun dan menikmati
hasilnya dan pengembang mendapat
image memperhatikan lingkungan sekaligus
mendekatkan
pengembangan
dengan
masyarakat sekitar. Namun, para penggiat
tetap merasa perlu mempertimbangkan
kesungguhan pengembang dalam berbagai
tawaran yang menghampiri komunitas ini.
Keterlibatan pemuda dalam kegiatan
ini awalnya dapat dikatakan sekedar
turut berpartisipasi dan
menunjukan
keberadaannya dalam komunitas yang
digagas
via
media
sosial.
Namun,
seiring
perkembangannya,
komunitas
ini berfungsi sebagai wadah berkumpul,
bersosialisasi, mengembangkan diri dan
menambah pengetahuan bercocok tanam
bagi masyarakat berbagai usia, meskipun
komunitas ini di dominasi oleh kawula muda
dengan kisaran usia 18-35 tahun.
Melalui sebuah kegiatan ‘penilaian
komunitas yang berguna di masyarakat’,
Indonesia berkebun pernah menjadi inalis,
dan dipertemukan dengan komunitas
Akademi Berkebun. Akademi berkebun
ini merupakan wadah edukasi berkebun,
yang kemudian bersinergi dengan kegiatan
Indonesia Berkebun dengan maksud
mengoptimalisasikan kegiatan berkebun
dengan meningkatkan pengetahuan tentang
tata cara berkebun. Akademi Berkebun
dilakukan 2 kali dalam 1 bulan untuk anggota
komunitas Indonesia Berkebun, dengan biaya
sekitar Rp. 30.000- Rp.60.000/orang untuk
konsumsi. Kegiatan Akademi Berkebun ini
berjalan dengan jejaring Indonesia Berkebun
di wilayah BSD, Provinsi Banten.
Selain dengan komunitas yang sejalan.
Indonesia Berkebun juga pernah bekerjasama
dengan
berbagai
unsur
Pemerintah,
diantaranya Kementerian Pekerjaan Umum,
yaitu dalam Program Hidden Park yang
dilakukan di 3 taman di Kota Jakarta, yaitu
Taman Langsat, Taman Tebet, dan Taman
Tanjung. Program ini dilakukan untuk
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
dengan keberadaan taman publik yang ada
disekitar mereka, melalui berbagai kegiatan
yang membuat taman lebih hidup dan ramai
dikunjungi, diantaranya dengan kegiatan
seperti Sunday Food Market, Pertunjukan
Musik, dsb.
63
Selain itu, kerjasama dengan Pemerintah
Daerah juga terjalin pada beberapa kota,
diantaranya dukungan penyediaan lahan
kosong untuk kegiatan berkebun di Kota
Solo, pengembangan kegiatan berkebun
yang dilanjutkan menjadi Program Kota
Hijau di Kota Batam, dan dukungan
langsung Pemerintah Kota terhadap kegiatan
komunitas ini di Kota Surabaya. Secara
reguler, setiap tahun Indonesia Berkebun
melakukan pertemuan atau Konferensi
Nasional dengan mengundang jejaringnya
di seluruh indonesia. Kegiatan ini dimulai
pada tahun 2012 di Kota Solo, kemudian
pada tahun 2013 di Pulau Bali dan tahun
2014 rencananya akan dilakukan di Kota
Makassar. Umumnya konferensi dilakukan
untuk bertukar informasi dan perkembangan
yang telah dilakukan antar jejaring, dan
membahas rencana kedepan.
Saat ini, Indonesia berkebun telah
memiliki 41 jejaring komunitas yang tersebar
di seluruh Indonesia, terdiri dari 32 kota dan
9 Universitas. Sementara itu, tantangan yang
dihadapi oleh Komunitas ini ke depan adalah
:
a. Pengelolaan
atas
tawaran-tawaran
kerjasama berkebun dari berbagai
pihak. Dalam hal ini, co-inisiator yang
merupakan pengelola komunitas ini
mengalami kesulitan karena umumnya
kegiatan ini dilakukan disela kegiatan
utamanya atau di akhir pekan,
b. Keterikatan keanggotaan yang leksibel
menyebabkan anggota sering kali datang
dan pergi, sementara itu pembinaan
atau regenerasi masih kurang dilakukan,
c. Dengan kondisi komunitas Indonesia
Berkebun yang belum berbadan hukum
(Yayasan/Badan), sehingga secara umum
belum dapat mengumpulkan dana
untuk kesinambungan kegiatan, namun
masih berupa sumbangan sukarela dari
64
para penggiat. Namun, proses ke arah ini
perlu persiapan yang cukup, mengingat
komunitas ini berorientasi non-proit
dan berkembang dari forum dunia
maya yang secara umum memiliki
ragam pemerhati dengan berbagai
pemikirannya.
Sampai saat ini hal-hal di atas dapat
dikatakan sebagai program dari komunitas
ini, namun selebihnya merupakan inisiatif
spontan dari anggota komunitas yang
mengalir dalam proses perkembangan
komunitas ini. Selain itu, jejaring yang
tergabung dalam Indonesia Berkebun juga
seringkali mengikutsertakan komunitas ini
dalam penilaian atau award terkait kegiatan
pemuda dan lingkungan hidup, baik di
tingkat nasional maupun internasional.
Untuk merintis kegiatan berkebun melalui
jejaring ini, berikut beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
- mempunyai visi dan misi yang
sama jejaring Indonesia Berkebun
lainnya, http://indonesiaberkebun.org/
start-a-new-network,
-
Perintis yang akan menjadi penggiat
pada jejaring baru, minimal memiliki 5
sumberdaya manusia,
-
Sudah melihat dan memahami konsep
dan visi Indoneisa Berkebun,
-
Sudah mendapatkan lahan yang akan
dimanfaatkan
oleh
teman-teman
jejaring komunitas dan warganya di
daerah perkotaan (bukan area pedesaan)
atau kampusnya yang sudah siap untuk
diproduktifkan (sudah disiapkan untuk
ditanam). Luas lahan adalah bebas,
-
Sudah membuat akun media sosial
untuk sosialisasi dan komunikasi jejaring
komunitas dan warga kota/kampusnya.
Ketentuan logo di atur oleh Indonesia
Berkebun,
-
-
Memiliki
draft
rencana
untuk
melaksanakan kegiatan #TanamPerdana
dan
diikuti #PanenPerdana dengan
mengajak seluruh warga kota/kampus
(tidak hanya penggiat jejaring komunitas
saja), sebaiknya juga mengajak pihakpihak yang berkepentingan seperti
pemerintah/pihak kampus setempat,
pihak
swasta/donatur
dan
juga
mengundang media lokal setempat,
Bukti-bukti kegiatan #TanamPerdana
dan #PanenPerdana dengan seluruh
warga disosialisasikan melalu media
sosial (Twitter) dan dimention ke
akun twitter @IDberkebun beserta fotofoto,
-
Kesungguhan dan komitmen dari
seluruh penggiat di kota/kampus
masing-masing untuk membuat dan
melakukan kegiatan komunitas di
kotanya secara berkelanjutan (lestari),
tidak hanya membuat satu atau dua
kegiatan kemudian tidak berlanjut.
Jika telah memahami dan siap untuk
melaksanakan kegiatan #TanamPerdana,
perwakilan atau contact person dari jejaring
komunitas bisa menghubungi Indonesia
Berkebun kembali untuk komunikasi
yang lebih intensif melalui Public Relation
Indonesia Berkebun.
Gambar 11 & 12. Berbagai kegiatan Indonesia Berkebun di Jakarta (Kiri ke Kanan).
(Sumber : Sigit Kusumawijaya | @SIG_architect, arsitek dan inisiator Indonesia Berkebun, 2011)
65
4. Respon terhadap Kebutuhan
Usia Lanjut
Struktur
penduduk
usia
lanjut
merupakan salah satu indikator keberhasilan
pencapaian pembangunan manusia. Hal
ini karena kehidupan penduduk usia lanjut
mencerminkan perbaikan kualitas kesehatan
dan kondisi sosial masyarakat. Setiap negara
memiliki budaya yang berbeda dalam
memperlakukan individu lanjut usia.
Di Indonesia lansia sangat dihormati,
hal ini dikarenakan budaya indonesia yang
masih ketimuran. Dalam budaya Jawa
sendiri peran lansia dinyatakan dalam 3 ur :
a. Tutur : Pengetahuan.
Orang lansia digambarkan sebagai
orang yang penuh dengan pengetahuan
dan tahu segala macam asam garam
kehidupan
b. Wuwur : Uang.
Mereka yang sudah lansia tidak lagi
memperhitungkan masalah uang.Uang
bagi mereka hanya sebagai sarana bukan
tuuan yang harus dicari. Aktualisasi
diri sebagai lansia ang arif bijaksana itu
menjadi harapan mereka.
c. Sembur : Moral.
Dengan banyak kejadian yang telah
dialami mereka, banyak cerita moral
yang bisa dipetik serta dibagikan kepada
kaum muda. Mereka adalah gudang
pengalaman moral.
Selain itu norma dan nilai sosial di
Indonesia memiliki nilai tradisional kuat
yang masih menempatkan lansia pada
kependudukan yang lebih tinggi, sebagai
sumber nasehat dan restu, sangat dihormati
dalam upacara maupun dalam kehidupan
sehari-hari.29 Dengan demikian gambaran
lansia adalah golongan masyarakat yang
sangat dipandang tinggi di masyarakat,
namun tidak produktif secara ekonomi.
29 . Anonim, 2011. Nasib Lansia di Indonesia. Diunduh http://sosbud.kompasiana.com/2011/11/30/nasib-lansia-di-indonesia-414783.html
66
Di Indonesia masih memegang budaya
untuk mengurus lansia bersama keluarga. Hal
ini jelas memberikan dampak positif kepada
perkembangan lansia, karena keluarga dapat
memberikan efek positif dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi lansia. Hal ini terbukti
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Meirina (2011), yang menyebutkan bahwa
perhatian lansia terhadap nutrisi yang
mereka konsumsi masih kurang, karakter
lansia dengan gaya hidup yang kurang
baik disebabkan dari lingkungan lansia yang
kurang baik. Oleh karena itu, dukungan
emosional keluarga sangat berkontribusi
terhadap
pemenuhan
nutrisi
lansia,
dukungan emosional dibutuhkan oleh
lansia disebabkan karena lansia mengalami
kemunduran isik dan psikologis. Selain
itu, keluarga dapat memberikan dukungan
penghargaan kepada lansia, sehingga
lansia merasa diperhatikan baik nutrisi atau
posisinya sebagai anggota keluarga. Dengan
kebutuhan nutrisi yang baik maka akan
berdampak pada kondisi isik lansia yang
lebih baik dan dapat lebih produktif.21
Peran keluarga tidak hanya untuk
memberikan nutrisi yang baik pada lansia,
tetapi juga dapat mendukung lansia untuk
mencapai successful aging. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Unversitas Indonesia, yang menyebutkan
karakteristik khusus lansia yang terdapat pada
lansia yang mencapai successful aging yaitu
adanya rasa terpenuhi (sense of fulilment)
artinya kehidupan seseorang tidak harus
berhasil dalam segala hal, yang terpenting
adalah bagaimana bisa menyesuaikan diri
dengan menerima dan merasa puas akan
keadaan dirinya baik kelebihan maupun
kekurangannya. Hal ini juga didukungan
karena kondisi lingkungan, lingkungan
meliputi lingkungan keluarga dan sosial.
Keluarga yang penuh kasih, hubungan yang
baik antara anak dan orang tua, dan pola
asuh yang demokratis, membuat individu
merasa diterima dan dicintai. Selain itu
penanaman nilai dan moral sejak dini seperti
kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, serta
pola hidup sehat dan semangat beraktiitas
akan memberikan perkembangan lansia
mencapai successful aging.30
Sementara jika dilihat lansia yang tinggal
tidak bersama dengan keluarga atau di
panti werdha ternyata berdampak pada
kondisi isik dan kesehatan, serta cenderung
meningkatkan depresi. Berdasarkan hasil
penelitian, lansia yang tinggal di panti
werdha merupakan pilihan terakhir karena
mereka kesepian di rumah, orang terdekat
seperti anak atau pasangan sibuk bekerja
di luar rumah. Selain itu, karena tidak ada
pekerjaan atau aktivitas yang bisa dilakukan
Gambar 13. Aktivitas Lansia
Sumber: (atas) http://dimaslambe.wordpress.com/;
(bawah) http://www.komnaslansia.or.id/
30. Meirina. 2011. Hubungan Dukungan Keluarga, Karakteristik Keluarga dan Lansia dengan Pemenuhan Nutrisi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskemas Bogor Selatan. Tesis Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia. Depok
67
untuk tetap menjaga mereka agar tetap
aktif.31 Dalam penelitian lain disebutkan pula,
bahwa masa lansia bukan berarti masa tidak
produktif, masih ada kebutuhan yang tinggi
untuk mereka mengaktualisasi diri. Namun,
di dalam panti werdha para lansia memiliki
mobilitas
yang rendah dan rendahnya
dorongan untuk mengaktualisasikan diri,
meskipun di li ngkungan tersebut lansia
merasa aman.32
Namun, jika dilihat dari perkembangan
jaman yang menuntut kebutuhan hidup
yang tinggi, norma dan nilai-nilai yang
dianut masyarakat tentang cara pandang
terhadap lansia mulai luntur dan bergeser
dengan upaya memberdayakan lansia
sesuai dengan potensi dan kemampuannya,
diantaranya melalui kebijakan Pemerintah
terkait perubahan usia pensiun pegawai
negeri sipil (PNS) di Indonesia, pada jabatan
administratif dari 56 tahun menjadi 58 tahun,
dan pada jabatan fungsional usia dari 60
tahun dan 65 tahun.
Pada faktanya, saat ini kondisi lansia di
perkotaan lebih berpendidikan, sehat, dan
terpapar informasi. Banyak yang masih
bekerja,
menggunakan
gadget
yang
dapat memperluas hubungan dengan dunia
luar, dengan anak dan kerabat yang tinggal
di tempat lain. Dengan adanya Teknologi
Informasi (TI) memungkinkan warga lansia
mencari informasi berbagai hidup sehat
meski
kendala
penyakit
degenerasi,
mencari tempat pelayanan kesehatan
yang
diperlukan.
Dengan
demikian,
pemerintah harus dapat memfasilitasi warga
lansia yang masih ingin berkegiatan, dan
memberdayakan keluarga serta masyarakat
peduli. Selain itu, pada usia pra-lansia
sebaiknya setiap individu dipersiapkan untuk
menghadapi masa lansia dengan tetap sehat,
produktif dan potensial. Jika tercapai hal
ini, maka Indonesia akan mencapai bonus
demograi kedua yang dikontribusikan oleh
lansia.33
31. Chotimah, Husnul. 2000. Analisis Perkembangan Lansia yang Mencapai Successful Aging Menurut Teori Psikososial Erikson. Skripsi Fakultas Psikologis Universitas Indonesia. Depok
32. Indriani,Novie. 2012. Perbedaan Kepuasaan Hidup Lansia Dini yang Tinggal Bersama Anak, Mandiri, dan di Panti Werdha. Skripsi Fakultas Psikologis Universitas Indonesia. Depok
33. Moertiningsih, Sri. 2014. Rekayasa Demograi Masa Depan. Koran Kompas 29 September 2014. Jakarta
68
Aktiitas lansia di perkotaan
69
Pada dasarnya terkait kesejahteraan
lansia,
Indonesia
memiliki
beberapa
peraturan perundangan terkait lansia
diantaranya Undang-Undang No. 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia,
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2004
tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Keputusan
Presiden No. 52 Tahun 2004 tentang Komisi
Nasional Lanjut Usia, dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 60 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan Komisi Daerah
Lanjut Usia dan Pemberdayaan Masyarakat
dalam Penanganan Lanjut Usia di Daerah.
Menurut data statistik BPS, pada tahun
1970 populasi penduduk lansia berjumlah 53
juta jiwa (4,48% dari total penduduk), pada
tahun 1990 meningkat menjadi 12,7 juta
jiwa (6,29%), tahun 2010 berjumlah 23 juta
jiwa (10%), tren tersebut umumnya diikuti
dengan fenomena tingginya angka harapan
hidup lansia perempuan dibandingkan lakilaki. Sedangkan jika dilihat dari
wilayah
tempat tinggal, persentase penduduk
lansia lebih banyak berada di wilayah
perdesaan dibandingkan perkotaan, yakni
masing-masing 9,32% dan 7,27% (Susenas,
2012).
Sementara itu, berdasarkan Hasil Sensus
Penduduk dari periode 1970-2010, Penduduk
lansia perkotaan pada tahun 1970 sekitar 3%
dan di pedesaan 4,64%, angka ini memiliki
kecenderungan terus meningkat setiap 10
tahun. (lihat graik di bawah ini).
Graik 8. Persentase Komposisi Lansia di Wilayah Perkotaan dan Perdesaan.
Sumber : Sensus Penduduk 1970, 1980, 1990, 2000, dan 2010
70
Namun, secara umum BPS (2012)
menyebutkan bahwa 59,12 % lansia di
Indonesia tergolong miskin, dan merupakan
27% dari total penduduk miskin, dengan
rata-rata pendidikan lansia Sekolah Dasar,
dan tanpa pekerjaan tetap.
Sementara itu, terdapat 11 provinsi
yang penduduk lansianya sudah lebih
dari 7%, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta
(14,04%), Jawa Tengah (11,16%), Jawa Timur
(11,14%), Bali (11,02%), Sulawesi Selatan
(9,05%), Sumatera Barat, Sulawesi Utara,
Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Sedangkan 5 (lima) provinsi
dengan persentase lansia terendah adalah:
Papua (2,15 persen); Papua Barat (2,92
persen), Kepulauan Riau (3,78 persen),
Kalimantan Timur (4,53 persen), dan Riau
(4,86 persen).
Penduduk lansia yang termasuk dalam
angkatan kerja merupakan lansia potensial.
Lansia potensial banyak ditemukan di
negara berkembang dan negara yang
belum memiliki tunjangan sosial untuk
hari tua, karena mereka harus bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas) tahun 2011, hampir
separuh (45,41%) lansia di Indonesia
memiliki kegiatan utama bekerja (lansia
potensial) dan sebesar 28,69% mengurus
rumah tangga, kemudian 1,67% termasuk
menganggur/mencari kerja, dan kegiatan
lainnya sekitar 24,24%. Kondisi ini diikuti
dengan fakta bahwa, Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) pada lansia lakilaki lebih tinggi (72,26%) dibandingkan
perempuan yang hanya mencapai 37,83%.
Masih berdasarkan data Sakernas (2011),
sektor pertanian masih menjadi tumpuan
sebagian besar pekerja lansia (60,92%),
kemudian sektor jasa (28,80%), dan sektor
industri (10,28%). Sedangkan bila ditinjau
menurut tipe daerah, persentase lansia
yang bekerja di daerah perkotaan (51,46%)
lebih tinggi dibandingkan lansia perdesaan
(38,99%).
Kondisi ini kemungkinan
disebabkan oleh jenis pekerjaan di perdesaan
bersifat informal yang umumnya dapat
dipenuhi oleh penduduk lansia.
Saat ini, di Indonesia derajat kesehatan
penduduk Lansia masih tergolong rendah,
hal ini ditunjukan dengan prosentase
penduduk yang mempunyai keluhan
kesehatan cenderung naik, tahun 2003
mencapai 48,95%, dan meningkat pada
tahun 2007 menjadi 54,25%. Angka kesakitan
juga cenderung naik dari 28, 48 % pada tahun
2003 menjadi 31,11% ditahun 2005. Kondisi
tersebut diikuti dengan angka keterlantaran
penduduk Lansia masih cukup tinggi, pada
tahun 2006 terdata ada sekitar 2,7 juta
lansia terlantar (15% dari total penduduk
Lansia) yang memerlukan perhatian dan
jaminan sosial (Komnas Lansia, 2007).
Berdasarkan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 Pasal 138 menyebutkan bahwa
upaya pemeliharaan kesehatan bagi lansia
harus ditujukan untuk menjaga agar tetap
hidup sehat dan produkti. Maka, pemerintah
wajib menjamin ketersediaan pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi kelompok lansia
untuk bisa tetap hidup mandiri, produktif
secara sosial dan ekonomi. Namun, hal yang
masih sulit diwujudkan adalah pemerataan
pelayanan seluruh kota, baik kota besar,
sedang, maupun kecil. Di Indonesia
pelayanan kesehatan dan sosial bagi lanjut
usia dilakukan oleh Kementerian Kesehatan
dan Kementerian Sosial. Masing-masing
kementerian tersebut memiliki berbagai
program pendukung bagai kesejahteraan
lanjut usia di Indonesia. Kementerian
Kesehatan memiliki berbagai program
pelayanan kesehatan lansia seperti :
71
a. Pengembangan PUSKESMAS ‘Santun
Lansia’. Pelakuan khusus untuk lansia
juga mencakup
kemudahan dalam
akses dan biaya. Bahkan nantinya
akan ada poliklinik, loket terpisah, dan
tempat duduk khusus lansia.
b. Pengembangan Poliklinik Geriatri di
Rumah Sakit.
c. Peningkatan
penyuluhan
dan
penyebarluasan informasi yang tepat
dan berguna bagi kesehatan dan
kesejahteraan lansia.
d. Pemberdayaan
masyarakat
melalui
kelompok usia lanjut. Pemberdayaan
melalui POSYANDU/POSBINDU lansia,
e. Peningkatan
mutu
perawatan
kesehatan bagi lansia dalam keluarga
(home care). Mengingat Indonesia
termasuk kedalam kebudayaan timur,
keluarga masih merupakan
faktor
penting dalam perawatan penduduk
lanjut usia. Dengan demikian, perlu
dikembangkan terus kualitas perawatan
penduduk lanjut usia dalam keluarga.
f.
Peningkatan
peran
masyarakat dalam upaya ke s e h a ta n
lanjut usia. Didalam
PUSKESMAS
‘Santun Lansia’ ada kegiatan lansia baik
di dalam gedung dan di luar gedung.
Kegiatan diluar gedung, berupa pelayanan
kunjungan rumah atau membentuk
komunitas lanjut usia dengan berbagai
kegiatan bersama masyarakat.34
Sementara itu, Kementerian Sosial dalam
pelayanannya
masih
memprioritaskan
pada lajut usia miskin, hal ini dikarenakan
keterbatasan dana yang tersedia. Berdasarkan
data Kementerian Sosial terdapat 2.851.606
jiawa warga lanjut usia yang terlantar, dan
jumlah tersebut yang saat ini menjad fokus
Kementerian Sosial. Dalam pelayanannya,
Kementerian Sosial memiliki beberapa
Gambar 14. Kegiatan Posyandu Lansia
Sumber : http://lawanggeriatri.blogspot.com/ dan
http://banjarangkan1.diskesklungkung.net/
prinsip dasar yaitu (a) masyarakat lanjut
usia harus dihormati dan dibahagiakan, (b)
keluarga merupakan wahana pelayanan
yang terbaik bagi lanjut usia, (c) perhatian
keluarga dan masyarakat merupakan faktor
terpenting, dan (d) pelayanan dalam panti
merupaan upaya terakhir apabila upaya
lain tidak mungkin lagi. Berdasarkan prinsip
tersebut berikut program yang dilakukan
Kementerian Sosial yaitu :
a. Perawatan di rumah (home care),
program perawatan lanjut usia yang
dilakukan dalam keluarga dan diberi
pendampingan. Program ini sudah
berlangsung di seluruh Indonesia dan
target setiap setahun hanya 1.000 orang
lanjut usia.
b. Pelayanan perawatan harian (day care
service). Program ini sudah adai di 33
34. Gufron, Ali. 2012. Strategi & Kebijakan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Lokakarya Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan
& Langkah Lanjut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
72
provinsi, target yang dilayani setiap
tahun hanya 920 lansia. Program ini
bekerjasama dengan Dinas Sosial di
setiap daerah.
c. Program Asistensi Sosial Lanjut Usia
Terlantar (ASLUT), yang dulu biasa
disebut program Jaminan Sosial Lanjut
Usia (JSLU). Program ini ditujukan kepada
lanjut usia yang sudah tidak potensial
dengan skala prioritas pada lansia sudah
bed ridden atau bedrest.
d. Program Pelayanan Sosial dalam Situasi
Darurat. Program ini ditujukan kepada
lanjut usia dalam situasi darurat, dalam
situasi bencana, korban kekerasan atau
eksploitasi.
e. Program Pemantapan Pra-Lanjut Usia.
Program ini menekankan pada pemberian
keterampilan dan modal usaha untuk
mereka yang akan memasuki lanjut usia.
f.
Program Usaha Ekonomi Produktif
(UEP). Program ini memberikan bantuan
modal usaha kecil kepada 3.300 orang
lanjut usia setiap tahun di 33 provinsi.
g. Bantuan Sosial terhadap Lembaga
Kesejahteraan Sosial (LKS) atau Panti
Sosial. Bantuan diberikan kepada 12.500
lanjut usia di panti yang tersebar di 22
provinsi.
2009-2014 yaitu (a) membentuk dan
memperkuat Kelembagaan Lanjut Usia; (b)
memperkuat koordinasi antar instansi dan
instansi terkait; (c) memperkuat penanganan
terhadap lanjut usia miskin, terlantar, cacat
dan mengalami tindakan kekerasan; (d)
memelihara dan memperkuat dukungan
keluarga
dan
masyarakat
terhadap
kehidupan lanjut usia; (e) memantapkan
upaya pelayanan kesejahteraan bagi lanjut
usia; (f) meningkatkan kualitas hidup lanjut
usia, baik dari aspek ekonomi, mental
keagamaan,
aktualisasi
dan kualitas
diri lanjut usia; (g) meningkatkan upaya
penyediaan sarana dan fasilitas khusus bagi
lanjut usia; (h) meningkatkan upaya mutu
pendidikan kemandirian bagi lanjut usia;
dan (i) meningkatkan jaringan kerjasama
internasional.
Dengan
keberadaan
peraturanperaturan tersebut, ternyata belum banyak
dirasakan manfaatnya bagi penanganan
dan kesejahteraan lanjut usia. Sementara
itu, Tahun 2002, WHO telah mengeluarkan
‘Pedoman Kota Ramah Lanjut Usia’ (Old-age
Friendly Cities Guideline). Pedoman WHO
mencakup delapan dimensi yaitu :
h. Program Bedah Rumah Lansia. Pada
tahun 2012, program bedah rumah
lansia diberikan kepada 150 rumah
lansia.35
Sebagaimana kondisi dan permasalahan
yang dihadapi oleh lansia, maka sebagai salah
satu upaya pemerintah untuk mengatasinya
adalah dengan menindaklanjuti pelaksanaan
Undang- Undang No. 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yaitu
dengan menyusun Rencana Aksi Nasional
Lanjut Usia (RAN-LU) tahun 2009-2014.
Beberapa tujuan dalam RAN-LU tahun
Gambar 15. Pedoman Kota Ramah Lanjut Usia WHO
35. Jhoni, Mulyo. 2012. Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Lokakarya
Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan &
Langkah Lanjut. Kementerian Sosial Republik Indonesia. Jakarta
73
Delapan dimensi tersebut
sangat
komprehensif memperhatikan semua aspek
lingkungan yang mendukung kehidupan.
Sehingga, jika suatu kota telah memenuhi
indikator-indikator tersebut, bukan hanya
menjadi satu tempat ramah lanjut usia saja,
tetapi menjadi ramah untuk semua kelompok
umur (termasuk anak-anak, kaum difabel,
dan perempuan). Dengan demikian, kota dan
berbagai komunitas di seluruh dunia saat ini
sedang berusaha untuk mewujudkan kota
ramah lansia. komunitas yang ramah lansia
dapat dibedakan berdasarkan dua hal yaitu ;
Kanada, Prancis, Irlandia, Portugal, Federsia
Rusia, Slovenia, Spanyol, dan Amerika
Serikat. Program tersebut dimaksud untuk
mempromosikan pendekatan kota ramah
lansia dan memberikan perspektif lokal pada
tiap anggota, serta berbagi pengetahuan dan
pengalaman.36
a. AKSES FISIK : yaitu tersedia ruang publik
yang aman, dapat diakses siapa saja, baik
yang normal maupun yang memiliki
keterbatasan isik secara mandiri.
Ruang publik yang damah lansia bisa
mendorong terwujudnya hidup yang
sehat dan sejahtera.
b. TERBUKA : tersedia tempat yang
aman bagi orang untuk bertemu dan
berinteraksi, memperhatikan aspirasi
lansia dalam urusa-urusan lokal dan
pemerintah, para lansia tahu bahwa
mereka diaspersiasi dan dicintai,
konstribusi lansia dianggap penting dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Secara umum, jika suatu kota mampu
memenuhi setidaknya 25% dari indikator
dimensi di atas, maka kota tersebut layak
dikatakan sebagai Kota Ramah Lansia.
Sebagai bentuk keseriusan WHO untuk
menciptakan kota ramah lansia di seluruh
dunia. WHO telah membuat jaringan global
untuk kota dan komunitas ramah lansia yang
dibentuk pada tahun 2010, memiliki 105
anggota yang tesebar di 19 negara di
dunia, mulai dari New York di AS sampai
Kolkata (bergabung Oktober 2012), termasuk
berbagai desa dan beberapa daerah terpencil
di pedalaman Kanada atau Australia. Jaringan
tersebut telah memiliki sembilan program di
Gambar 14. Kegiatan Posyandu Lansia
Sumber : http://lawanggeriatri.blogspot.com/ dan http://banjarangkan1.diskesklungkung.net/
Untuk mewujudkan kota ramah lansia,
Indonesia telah melakukan kajian terkait
kota ramah lansia antara
SurveyMETER
dan Center for Ageing Studies Universitas
Indonesia (UI), dilaksanakan di 14 kota
besar dan kota kecil di Indonesia yaitu
Medan, Payakumbuh, Mataram, Denpasar,
Jakarta Pusat, Depok, Yogyakarta, Solo,
Surabaya, Malang, Makassar, Balikpapan,
Semarang, dan Bandung. Dalam kajian ini,
dilakukan wawancara individu, SKPD, dan
pengamatan langsung dilapangan. Secara
umum, hasil kajian memperlihatkan 14 kota
tersebut mencapai nilai 42,9% (dari nilai total
100) dalam memenuhi kriteria kota ramah
lanjut usia WHO. Dimensi kota ramah
lanjut usia yang terdepan pada 14 kota
adalah partisipasi sosial (55,6%). Dimensi
yang masih kurang adalah partisipasi sipil
dan pekerjaan (16,9%).
36. Warth, Liza. 2012. Menciptakan Kota Ramah Lansia. Ageing and Life Course WHO Jenewa Swiss
74
Gambar 17. Gambar Taman Khusus Lansia. Sumber: http://pujidarmawan.wordpress.com/
Berdasarkan kajian tersebut, strategi
menuju kota ramah lanjut usia 2030 dapat
diawali dengan membenahi indikator yang
pencapaiannya renah, tidak memerlukan
banyak dana, dan melibatkan semua
pemangku kepentingan. Misalnya, peraturan
lalu lintas ditaati dengan pengendara
memprioritaskan
pejalan
kaki.
Perlu
komitmen dari pemerintah kota dan
pemangku kepentingan lainnya untuk dapat
menggapai kota ramah lanjut usia pada
tahun 2030.37
Dalam kaitannya dengan komposisi
usia lansia di perkotaan, Organisasi
Kesehatan
Dunia (WHO) mengenalkan
fenomena “Revolusi Demograis” atau
pergeseran demograi. Artinya adalah
penduduk lansia dunia (usia 60 tahun ke
atas) tumbuh sangat cepat, bahkan lebih
cepat dibandingkan kelompok usia lain. Pada
tahun 2000, jumlah lansia dunia sekitar 600
juta jiwa dan diperkirakan menjadi 1,2 miliar
jiwa pada tahun 2025, meningkat menjadi 2
miliar jiwa pada tahun 2050. Pada saat itu,
akan terdapat lebih banyak lansia dibanding
anak-anak usia 1- 14 tahun.
Di negara-negara berkembang, pada
tahun 2002 ada sekitar 61% (400 juta
jiwa) penduduk lansia. Pada tahun 2025,
diperkirakan akan menjadi 70% (840 juta
jiwa), dan tahun 2050 akan mencapai 80%
(1,6 miliar jiwa). Separuh jumlah penduduk
lansia hidup di Asia dan proporsinya
cenderung terus meningkat. Dan Indonesia
berada pada posisi keempat di Asia setelah
Cina, India, dan Jepang.38
Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2020
struktur penduduk lansia akan meningkat
menjadi 28,8 juta jiwa (11,34%), kondisi ini
akan membawa Indonesia tergolong pada
negara berstruktur penduduk tua (populasi
lansia di atas 7%).
37. Surastini, Ni Wayah. 2012. Indikator-Indikator Merancang Kebijakan Kota Ramah Lansia. SuveyMETER. Yogyakarta.
38. Hartono, Toni. 2012. Upaya Pemerintah Menghadapi Tantanag Revolusi Demograis. Komisi Nasional Lanjut Usia. Jakarta.
75
Penuaan penduduk merupakan suatu
kecenderungan perkembangan pada abad
ke 21, yang dapat
berimplikasi
pada
seluruh aspek kehidupan baik sosial,
ekonomi,
kesehatan, bahkan politik.
Usia harapan hidup (UHH) di 33 negara
yaitu 80 tahun, sementara di Indonesia
menurut Kementerian Kesehatan UHH
penduduk Indonesia rerata 71 tahun. Model
Pertumbuhan Penduduk di Indonesia dapat
dilihat dari jika trend penduduk di masa
depan mengikuti tren penduduk saat ini dan
di waktu yang lalu, maka diperkirakan bahwa
secara kuantitas akan terjadi peningkatan
jumlah penduduk lanjut usia dimasa depan.
Pertumbuhan penduduk lansia tertinggi
diperkirakan akan dialami pada periode sekitar
2015-2020. Peningkatan jumlah penduduk
lansia
mengindikasikan
kelangsungan
hidup penduduk yang diperkirakan semakin
panjang. Dilihat dari rasio jenis kelamin yang
merupakan perbandingan antara penduduk
lansia laki-laki dan perempuan. Dimana
penduduk lansia perempuan di wilayah
Jawa dan Bali maupun di luar wilayah Jawa
dan Bali, jumlahnya sedikit di atas jumlah
penduduk lansia laki-laki. Disebutkan pula
peningkatan penduduk lansia di masa depan
baik di wilayah jawa dan Bali maupun di
luar Jawa dan Bali berpengaruh pada
jumlah migran penduduk lansia.39
Jika melihat proil lansia di Indonesia,
pemerintah sudah memiliki komitmen
untuk menjaga kesejahteraan lansia melalui
berbagai macam regulasi pendukung.
Namun, implikasi dari berbagai regulasi
tersebut masih terbatas, sosialisasi di
kalangan pemerintah dan unsur masyarakat
juga belum optimal. Koordinasi lintas
sektor dengan RAN lansia juga belum
optimal.
Dalam rangka menghadapi tantangan
Revolusi Demograi maka perlu adanya
pendekatan baru agar seluruh unsur dan
lapisa masyarakat mempunya perspektif
dalam hubungan sosial antar generasi. Selain
itu, juga perlu adanya dukungan pemerintah
dan pengarustamaan isu lansia dalam
program-program pembangunan, serta
sistem data yang akurat dan tidak berubahubah sehingga dapat untuk memastikan
keterpaduan isu penuaan penduduk lebih
efektif dalam proses pembangunan.
Selain
WHO,
dalam
konstelasi
global terdapat beberapa forum yang
memperhatikan dan melakukan berbagai
penelitian terkait kelayakan hidup Lansia,
sebut saja HelpAge International dan Global
AgeWatch Index.
Berdasarkan Global AgeWatch Index,
Indonesia berada pada urutan ke-71 jauh
dibawah Thailand (ke-36), Filipina (ke-44),
dan Vietnam (ke-45) dalam hal kelayakan
dan harapan hidup Lansia. Indeks global
tersebut disusun oleh HelpAge International
(London) yang berailiasi di 65 negara,
dengan tujuan membantu warga lanjut
usia untuk melawan diskriminasi, mengatasi
kemiskinan, serta menjalani hidup yang
aktif dan terjamin. Indeks tesebut diukur
dengan menggunakan 13 indikator yang
dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu
jaminan pendapatan, layanan kesehatan,
layanan pendidikan, dan pekerjaan serta
lingkungan yang mendukung. Sementara,
harapan hidup, cakupan pensiun, akses ke
transportasi umum, dan angka kemiskinan
untuk usia diatas 60 tahun juga termasuk
dalam 13 indikator yang diukur.
Masih merujuk pada sumber yang
sama, persentase penduduk lansia di
Indonesia tahun 2014 sebesar
8,3% dari
jumlah populasi, meningkat pada tahun
2030 menjadi 14,1%, dan 21,1% pada tahun
2050. Berdasarkan penilaian dari forum ini,
39. Prihastuti, Dewi. 2000. Model Pertumbuhan Penduduk Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia Dengan Pendekatan Multiregional. Tesis Magister Kependudukan dan
Ketenagakerjaan Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia. Depok
76
Indonesia menempati nilai tertinggi dalam
bidang lingkungan untuk lansia, atau berada
di urutan kedelapan jauh di atas rata-rata
untuk semua indikator, dan salah satu yang
tertinggi dalam hal keterhubungan sosial.
Namun, Indonesia mendapatkan angka
yang rendah dalam hal pelayanan kesehatan,
berada dibawah rata-rata kawasan untuk
indikator harapan hidup, dan paling rendah
dalam bidang jaminan kesehatan.
Sumber tersebut juga menjelaskan
bahwa, harapan hidup warga Indonesia
setelah melewati 60 tahun adalah 18 tahun,
dengan harapan hidup sehat hanya selama
14,3 tahun. Sedangkan terkait pensiun,
hanya 8 persen warga berusia di atas 65
tahun yang tercakup pensiun. Sementara
itu, jika dibandingkan dengan Norwegia
yang menempati peringkat pertama dalam
daftar tersebut. setelah berusia 60 tahun,
orang Norwegia mempunyai harapan hidup
24 tahun, dengan 17,4 tahun dalam keadaan
sehat, dan seratus persen warga di atas 65
tahun tercakup dalam program pensiun.
Sementara itu, menurut HelpAge
International, saat ini terdapat 868 juta
warga dunia yang berusia diatas 60 tahun
atau hampir 12% dari populasi global.
Menjelang tahun 2050, jumlahnya akan
melonjak menjadi 2,02 miliar atau 21%
dari jumlah penduduk dunia. Di puluhan
negara termasuk sebagian besar negara
Eropa Timur jumlah warga lansia akan
melebihi 30 persen populasi dunia.
berdasarkan data yang sama, negara Swedia,
Swiss, Kanada dan Jerman merupakan
negara-negara yang menempati posisi lima
besar. Amerika Serikat berada pada urutan
ke-8, Jepang urutan ke-9, Tiongkok diurutan
48, Rusia ke-65 dan India ke- 69 yang masuk
dalam negara nyaman untuk lansia.
Merujuk
sumber
yang
sama,
pertumbuhan ekonomi bukan jaminan
untuk memperbaiki kehidupan kaum lanjut
usia. Kebijakan jaminan pendapatan di
Meksiko dalam beberapa tahun terakhir
dapat melonjakkan posisi negara tersebut ke
urutan ke-30 walau negara itu tidak sekaya
Turky yang hanya berada pada posisi ke-77.
Menurut lembaga tersebut hanya setengah
dari penduduk dunia yang bisa berharap
mendapatkan pensiun di usia tuanya.
Lembaga
HelpAge
International
menggalangkan aksi yang diberinama
Age Demands Action (ADA). ADA mulai
diluncurkan pada Hari Internasional Lanjut
Usia pada tahun 2007 dengan 27 negara yang
berkampanye untuk mendukung hak-hak
lanjut usia. Pada tahun 2014 sudah terdapat
62 negara yang ikut aktif berkampanye.
Tujuan dari ADA adalah agar pemerintah
dapat mendukung warga lanjut usia dan
bagian yang berharga dari masyarakat.
Di Indonesia kegiatan ADA sudah mulai
dicanangkan, Yayasan Emong Lansia (YEL)
merupakan organisasi yang berailiasi
dengan ADA di Indonesia. Pada Tanggal 1
Januari 2014 Yayasan Emong Lansia (YEL)
mengadakan pawai di Jakarta dengan
kelompok Alzheimer Indonesia. Tujuannya
untuk
meminta
pemerintah
untuk
menanggapi kebutuhan masyarakat lanjut
usia di Indonesia. Dari kegiatan tersebut
Pemerintah mulai memberika tanggapan
dan perhatian terhadap masalah ini. Pada
kesempatan ini, sesuai dengan beberapa
programnya, Pemerintah Jakarta berjanji
untuk
mengimplementasikan
program
untuk membuat Kota Jakarta ramah lansia,
dimulai dari aksesibilitas, dan taman yang
dapat digunakan oleh warga lansia untuk
beraktivitas dan bersosialisasi.40
40. http://www.helpage.org/blogs/jemma-stovell-22620/age-demands-action-on-1-october-global-roundup-774/
77
Gambar 18. Kampanye ADA di Jakarta
Kehidupan Lansia
di Indonesia
Kota Payakumbuh terletak pada jalur
tengah lintas Barat dan Timur yang
menghubungkan Provinsi Sumatera Barat
dengan wilayah Sumatera Bagian Tengah.
Letak kota Payakumbuh sangat stretegis
karena berada pada titik penghubung Kota
Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera
Barat dan Kota Bukittinggi sebagai pusat
pertumbuhan wilayah. Secara geograis Kota
Payakumbuh terletak pada posisi 00 – 10°
sampai dengan 00 – 17’ LS dan 100° – 35’
sampai dengan 100° – 48’ BT. Jika melihat
visi Kota Payakumbuh yaitu “Terwujudnya
Payakumbuh menjadi kota maju, sejahtera,
dan relegius, pro rakyat, berbasis ilmu
pengetahuan dan pendidikan
yang
berlandaskan pada adat basandi syarak,
41. Policy Brief Kota Ramah Lansia Kota Payakumbuh, SurveyMeter.
78
syarak basandi kitabullah.” Dan melihat
salah satu misi yang berhubungan untuk
masyarakat lansia yaitu mengoptimaliskan
pembangunan
infrastruktur
publik
dan fasilitas umum sesuai RTRW Kota
Payakumbuh. Hal ini terlihat dari hasil kajian
yang telah dilakukan oleh surveyMETER
bahwa dimensi gedung dan ruang hijau,
transportasi, perumahan sebagai indikator
dimensi ramah lansia cukup baik walau
masih perlu ditingkatkan.
Berdasarkan data BPS Kota Payakumbuh
Tahun 2012, jumlah lansia Kota Payakumbuh
sebanyak 8.431 jiwa. Berdasarkan data yang
sama lansia dengan usai diatas 65 tahun
lebih banyak banyak dibandingkan dengan
lansia dengan usia 60-64 tahhun. Dan
lansia dengan jenis kelamin perempuan
lebih banyak dibandingkan dengan lakilaki. Dengan demikian, pemerintah Kota
Payakumbuh sudah mulai mengakomodir
untuk
meningkatan
kesejahteraan
lansia. Salah satu, kegiatan yang sedang
dicanangkan adalah Payakumbuh sebagai
kota ramah lansia.
Berdasarkan survey yang dilakukan
oleh SurveyMETER dan Center for
Ageing Studies Universitas Indonesia (UI)
kota ramah lansia di Payakumbuh yaitu
bahwa dimensi gedung dan ruang hijau,
transportasi, perumahan sebagai indikator
dimensi ramah lansia cukup baik walau
masih perlu ditingkatkan. Menurut survey
yang sama, juga disebutkan bahwa dimensi
penghormatan dan inklusi, komunikasi
dan informasi, dan dukungan masyarakat
& pelayanan kesehatan persentasenya
lebih dari 50%.41 Walaupun demikian, Kota
Payakumbuh belum dinobatkan sebagai
Kota Ramah Lansia, tetapi setiap kegiatan
yang dilakukan dalam sepuluh tahun terakir,
sudah menjadi acuan bagi kota/kabupaten di
Indonesia. Hal ini didukung karena budaya
Payakumbuh yang menghargai orang
tua. Menurut ketua umum Komda Lansia
Payakumbuh, kota ini sering mendapatkan
kunungan bagi lansia dari berbagai kota/
kabupaten di Indonesia. Karena pembinaan
dan pembedayaan lansia yang intensitasnya
terbilang tinggi, muali dari kegiatan
Posbindu (Pusat Pembinaan Terpadu) lansia
di kelurahan, kecamatan dan kota. Usia
harapan hidup di Payakumbuh juga semakin
tinggi yaitu 78 tahun. Hal ini didukung
dari program lansia yang diperiksa rutin
kesehatannya disetiap Posbindu kelurahan
dengan didampingi dokter dan tenaga
kesehatan yang sudah ditunjuk. Selain itu,
juga ada aktiitas olahraga dan kegiatan
keagamaan melalui kelompok pengajian.42
Gambar 20. Kegiatan Pemerintah Kota Payakumbuh untuk Lansia
Dalam lingkup Provinsi Jawa Timur,
Kota Surabaya merupakan kota terbesar
ketiga dengan jumlah penduduk lansia yang
berusia 60 tahun ke atas setelah Malang,
dan Jember. Berdasarkan Data BPS (2007)
jumlah penduduk lansia di Jawa Timur
sebesar 11,14%. Sementara itu, berdasarkan
data Dinas Penduduk dan Catatan Sipil Kota
Surabaya (2010), jumlah penduduk lansia
tahun 1990 sebesar 5,1%, tahun 2000 (7,7%),
tahun 2010 (11,04%). Pada Tahun 2011 (Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil), terdapat
3 kecamatan di Surabaya memiliki jumlah
penduduk lansia terbanyak yaitu Kecamatan
Tambaksari (34.462 jiwa), Kecamatan
Sawahan (34.448 jiwa) dan Kecamatan
Tambaksari (9.157 jiwa). Menurut BPS, 2012
rasio
ketergantungan
penduduk
tua
Kota Surabaya sebesar 9,74, persentase
pendudukan lasia 6,81%, tingkat pendidikan
lansia tidak sekolah (15,39%), tidak tamat
SD (15,41%), SD (23,38%), SMP (16,52%),
SMA (22,19%) dan Perguruan Tinggi
(7,11%). Sementara, untuk proporsi keluhan
kesehatan sebsar 45,49 dengan angka
kesakitan 24,36. Dan dibidang ekonomi,
TPAK lansia laki-laki 49,92 perempuan
26,84, dengan bekerja di sektor pertanian
1,02%, industsi 9,19% dan jasa 89,79%.43
Dengan kondisi modernisasi di Kota
Surabaya,
berdampak
pada
tingkat
penelantara lansia. Hal ini didukung dengan
42. http://payakumbuhkota.go.id/2013/02/18/tm-survei-meter-yogyakarta-kaji-lansia-payakumbuh/
43. Anonim. 2012. Proil Penduduk Lanjut Usia Jawa Timur 2012. Badan Pusat Statistik. Surabaya.
79
banyak dibangunnya Panti Werdha di
setiap Kelurahan. Keberadaan Panti Werdha
memberikan manfaat menampung lansia
yang terlantar, namun disisi lain mereka akan
kehilangan kehangatan sebuah keluarga.
Kota Surabaya, juga telah melakukan gerakan
peduli lansia dengan cara memberikan
beberapa fasilitas seperti taman lansia, kamar
mandi dan pedestrian khusus lansia. Upaya
lain yang dilakukan Kota Surabaya dalam
mendukung ramah lansia juga mendirikan
UPTD Griya Wreda yang berada di bawah
Dinas Sosial. Selain itu, Pemerintah Kota
Surabaya juga berupaya pada penyediaan
fasilitas publik seperti taman. Pada dasarnya
taman bagi lansia sangat diperlukan dalam
sebuah perkotaan,
karena
masyarakat
kalangan lansia sangat membutuhkan
ruang untuk dapat meningkatkan kualitas
hidup, kesehatan, bahkan meningkatkan
tingkat produktiitas lansia.
Gerakan Ramah Lansia di Kota Surabaya
diantaranya dilakukan melalui ;
(a) harapan hidup lansia cukup tinggi
yaitu usia pria 71 tahun, dan wanita 73
tahun; (b) pengadaan pembinaan dan
pelatihan, serta membuat Karang Wreda
di tiap kelurahan;
(c) didirikannya taman lansia, serta fasilitasfasilitas yang disediakan khusus untuk
lansia; (d) infrastruktur dibuatnya kamar
mandi dan pedestrian khusus lansia;
(e) rencana dibuatnya bus kota lansia
dengan tangga landai; (f) pembentukan
Komisi Daerah Lanjut Usia;
Gambar 16. Kegiatan Lansia di Kota Surabaya. Sumber: Hilda, 2012
(g) kerjasama penyelenggaraan program
antar instansi pemerintahan, seperti
Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum,
Dinas Kebersihan dan Pertamanan,
Dinas Kesehatan, dan dinas terkait.44
Selain itu di Kota Surabaya juga sedang
dikembangkan
pendekatan
berbasis
masyarakat melalui Pos Pemberdayaan
Keluarga (Posdaya) agar para lansia dapat
mempersiapkan
diri menghadapi masa
tuanya yang diperkirakan akan lama.
Mereka yang mampu akan diberdayakan
agar bisa meneruskan, atau bekerja
sesuai dengan kesempatan yang ada.
44. Hilda. 2012 Surabaya Kota Ramah Lansia. Gapura Majalah Pemerintah Kota Surabaya. ISSN 1978-3663. Vol XLIV. No.66 Oktober 2012.
80
Sedangkan yang memerlukan bantuan
karena kesehatannya dapat memperoleh
dukungan dari masyarakat sekitar atau
dari pemerintah. Lainnya yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi kebutuhan
lansia, dicanangkannya Bina Keluarga
Lansia oleh BKKBN, yaitu meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga
lansia dan keluarga yang memiliki lansia.
Selain itu melalui Bina Keluarga Lansia
diharapkan keluarga dapat berperan aktif
dalam memberikan kepedulian terhadap
kebutuhan lansia. Adapun program pokok
yang dilakukan oleh Bina Keluarga Lansia
adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan usaha ekonomi produktif
keluarga lansia dalam memanfaatkan
waktu luang dan memberdayakan
kemampuan anggota keluarga dan
lansia
2. Membudidayakan
tingkah
laku
anggota keluarga dalam memberikan
pelayanan,
penghormatan
dan
penghargaan kepada anggota keluarga
lansia
3. Pemberdayaan peran serta lansia
sesuai dengan kekayaan pengalaman,
keahlian dan kearifannya
dalam
pembangunan
keluarga
sejahtera
demi meningkatkan mutu kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Kehidupan Lansia
di Kota Jakarta
Basuki
Tjahja
Purnama
sebagai
plt. Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada
pertengahan tahun 2014 mendukung
terwujudnya ibukota Jakarta sebagai
Kota Ramah Lansia. Pemerintah akan
mempersiapkan infrastruktur yang dapat
menunjang kegiatan sehari-hari warga
Jakarta yang lanjut usia. Selain itu,
pemerintah DKI Jakarta juga mulai
mempersiapkan gedung-gedung dengan
membuat jalur landai untuk memudahkan
mobilitas para lansia yang menggunakan
kursi roda. Basuki juga mengatakan
seharusnya fasilitas-fasilitas umum harus
didesain untuk lebih ramah terhadap lansia,
misalnya transjakarta yang dilengkapi
dengan lower deck untuk memudahkan
lansia naik fasilitas transportasi andalan
warga DKI Jakarta tersebut.
Di DKI Jakarta terdapat Senior Club
Indonesia, sebuah klub untuk lansia
bersosialisasi yang berdiri pada tahun
2007 di Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara.
Berbeda dengan panti jompo, Senior Club
masih memberikan kesempatan kepada
anak-anak atau cucu mereka untuk tetap
menjaga dan memperhatikan orang tua
mereka. Dengan adanya Senior Club ini
mereka dapat berkumpul bersama-sama
dengan teman usianya. 45
45. http://www.seniorclubindonesia.com/
81
Bentuk kepedulian Pemerintah Jakarta
terlihat dari keseriusan untuk membenahi
kebutuhan lansia dengan memberikan
pelayanan kepada lansia Jakarta di tingkat
terendah yaitu RT dan RW. Pada peringatan
Hari Lansia, Basuki Tjahja Purnama
memberikan kursi roda, kaki palsu dan
tongkat bagi para lansia dari sumbangan CSR.
Dan memberikan bantuan alat kemandirian
lansia sebesar Rp. 8,45 milyar untuk 4.250
lansia dan bantuan sebesar Rp. 1,1 milyar
kepada 900 orang lansia potensial.46
Selain itu, Taman Langsat dicanangkan
sebagai taman lansia pada masa pemerintah
Fauzi Bowo. Taman seluas 3,5 ha akan
ditunjang fasilitas berolahraga untuk lansia,
seperti jogging track sepanjang sekitar
750 meter, serta jalan batu untuk releksi.
Menurut Kepala Suku Dinas Pertamanan dan
Pemakaman Jakarta Selatan, Taman Langsat
akan ditambahkan fasilitas seperti besi
untuk berpegangan, memperbanyak tempat
duduk, tempat sampah dan saung.47
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan
membangun taman lansia dan anak-anak
di lahan Taman Putra Putri yang terletak
Gambar 22. Senior Club Indonesia dan Kegiatannya
46. Rozak, Abdul. 2014. Jakarta Mulai Berbenah Ramah Lansia. Gatra News. Diakses melalui http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/55028- ahok-jakarta-mulaiberbenah-ramah-lansia.html pada pukul 11.47 (9 Oktober 2014)
47. http://news.detik.com/read/2010/06/04/095306/1369578/10/taman-lansia-dibangun-di-jalan-langsat-jaksel
82
di Jalan Pluit Putra Raya dan Jalan Pluit Putri Raya, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Taman lansia dan anak-anak ini merupakan salah satu taman tematik yang akan dibangun
Pemerintah Jakarta. 48 Taman lansia lain yang ada di DKI Jakarta dan telah diresmikan oleh
Gubernur DKI Jowo Widodo pada perayaan ulang tahun DKI Jakarta ke-486 adalah Taman
Lansia yang terletak di Cakung dan berjarak sekitar 200 meter dari Kawasan PIK (Pusat Industri
Kecil).49
Gambar 23. Taman Lansia di DKI Jakarta
48. http://news.liputan6.com/read/2106245/pemprov-dki-segera-bangun-taman-lansia-dan-anak-anak
49. http://news.detik.com/read/2013/06/02/101132/2262419/10/jokowi-resmikan-taman-khusus-lansia-di-cakung
83
5. Pengarusutamaan Gender dalam Integrasi
Pembangunan Perkotaan
Secara kodrati
ada
perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Dengan
alasan kodrat kemudian terjadi diskriminasi,
subordinasi, marginalisasi, domestikasi dan
pemberian label yang membuat perempuan
tidak boleh melakukan pekerjaan atau
menduduki posisi tertentu, tidak boleh
menjadi pemimpin dan sebagainya.
Masyarakat pada negara yang menganut
system patriarki, seperti Indonesia umumnya
memiliki persepsi yang khas mengenai
pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan, yang cenderung bias kearah
membatasi peran perempuan wanita pada
urusan rumah tangga, memiliki ruang
yang terbatas dalam hak milik, hak waris,
terlibat dalam politik, mengejar pendidikan,
mendapat pengawasan ketat dalam berbagai
kegiatan, dan sebagainya.
Perempuan pada system patriarki
memiliki lingkup kehidupan domestik,
seperti urusan masak memasak, mencuci,
dan mengurus anak. Hal ini karena pemikiran
yang berkembang bahwa, keluarga yang
ideal adalah suami bekerja di luar rumah
sebagai pencari nafkah, dan istri mengerjakan
pekerjaan rumah dan menjalankan fungsi
pengasuhan anak dan mengelola rumah
tangga.
Hubungan laki-laki dan perempuan
dalam sistem patriarki tidak digambarkan
sebagai hubungan dengan entitas masingmasing. Akan tetapi, salah satu entitas
(perempuan) digambarkan identitasnya
dalam hubungannya dengan laki-laki.50
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
patriarki adalah tata kekeluargaan yang
50. Perempuan dalam Kuasa Patriarki, Oleh Muhammad Adji, M.Hum dkk, UNPAD. 2009
84
sangat mementingkan garis keturunan
bapak. Sedangkan secara etimologi, patriarki
berkaitan dengan sistem sosial dimana
ayah menguasai seluruh harta dari anggota
keluarganya, serta sumber-sumber ekonomi
dan muncul sebagai bentuk kepercayaan
atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi
kedudukannya dibanding perempuan.51
Pada prakteknya, dampak dari system ini
adalah, rasa memiliki kedudukan yang
lebih tinggi bagi seseorang laki-laki
dan
munculnya ego yang berakibat banyaknya
kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP).
Namun, seiring perkembangan jaman,
perempuan Indonesia kini sudah merambah
ruang gerak yang awalnya hanya dapat
dimasuki oleh laki- laki. Hal ini disebabkan
adanya tuntutan peran ganda perempuan,
yaitu sebagai peran domestic dan peran
transisi, yaitu posisi perempuan sebagai
tenaga kerja yang ikut turut aktif untuk
mencari nafkah sesuai dengan pendidikan
dan keterampilan yang dimiliki.
Upaya untuk merambah ruang gerak
perempuan
dan
merubah
persepsi
yang demikian itulah yang dimaksud
dengan pengintegrasian gender. Hal ini
telah dilakukan sejak zaman kolonial
sampai kemerdekaan oleh para aktivis.
Kemudian secara formal upaya tersebut
menjadi kebijakan pemerintah
dengan
meratiikasi kesepakatan global PBB pada
Convention On The Elimination Of All
Form Of Discrimination Against Women
(CEDAW), yang menetapkan kewajiban
untuk
menghapus
diskriminasi
dan
pemajuan kesetaraan dan keadilan gender
baik yang bersifat sementara maupun
berkesinambungan.
Sementara itu, dalam tataran nasional,
Pemerintah
Indonesia
berupaya
mengakomodasi kesepakatan internasional
di atas melalui penerbitan Instruksi Presiden
No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender. Dalam Pembangunan Nasional,
kebijakan ini mengamanatkan untuk
memperhatikan secara sungguh-sungguh
Pedoman Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalam Pembangunan Nasional, yang harus
dilakukan oleh berbagai tingkat lembaga
pemerintahan atau pimpinan daerah dengan
pengarahan melalui Menteri Pemberdayaan
Perempuan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) periode 2005-2025,
menetapkan arah pembangunan mencapai
pemberdayaan perempuan dan anak
untuk mewujudkan bangsa yang berdaya
saing, diantaranya melalui peningkatan
kualitas hidup perempuan, kesejahteraan
perlindungan anak, penurunan kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi serta penguatan
kelembagan dan jaringan PUG. Sementara
itu, berdasarkan implementasi kebijakan
dan rencana terkait pengarusutamaan
gender (PUG) dalam pembangunan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional/
RPJMN (2004-2009) menguraikan beberapa
permasalahan terkait gender, diantaranya
adalah kesenjangan pembangunan antara
perempuan dan laki-laki; banyaknya hukum
dan peraturan perundangan-undangan
yang bias gender, diskriminatif terhadap
perempuan; lemahnya kelembagaan dan
jaringan pengarusutamaan gender dan
anak, termasuk ketersediaan data rendahnya
partisipasi masyarakat.
Permasalahan di atas diupayakan
untuk diselesaikan melalui penetapan
arah kebijakan dalam RPJMN (2004-2009),
sebagai berikut :
a) Meningkatkan keterlibatan perempuan
dalam proses politik dan jabatan publik
b) Meningkatkan
taraf
pendidikan
dan
51. Budaya Hukum Patriarki versus Feminis: Dalam Penegakan Hukum Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
85
layanan
kesehatan
serta
pembangunan
lainnya,
mempertinggi kualitas hidup
bidang
untuk
c) Meningkatkan kampanye anti kekerasan
terhadap perempuan
d) Memperkuat kelembagaan, koordinasi,
dan
jaringan
pengarusutamaan
gender dan anak dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
dari berbagai kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan di segala bidang.
Sementara
itu,
penetapan
arah
kebijakan dalam RPJMN (2010-2014)
dalam
butir
(a) menjelaskan untuk
mewujudkan keadilan dan kesetaraaan
gender dan partisipasi perempuan dalam
pembangunan harus dilanjutkan.
Gender dideinisikan sebagai perbedaan
sifat, peranan, fungsi dan status antara lakilaki dan perempuan bukan berdasarkan
pada
perbedaan
biologis,
tetapi
berdasarkan relasi sosial budaya yang
dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang
lebih luas. Sementara itu, berdasarkan
Inpres No.9 tahun 2000, Pengarusutamaan
Gender (PUG) dijelaskan sebagai strategi
yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi atas kebijakan
dan program pembangunan nasional.
Pelaksanaan PUG diinstruksikan kepada
seluruh kementerian maupun lembaga
pemerintah dan non pemerintah di
pemerintah nasional, provinsi, maupun
kabupaten/ kota. Strategi ini dilaksanakan
melalui sebuah proses yang memasukkan
analisa gender ke dalam program kerja,
pengintegrasian
pengalaman,
aspirasi,
kebutuhan dan kepentingan perempuan
86
dan laki-laki kedalam proses pembangunan.
Secara umum, tujuan PUG untuk memastikan
perempuan dan laki-laki diperlakukan
adil dan setara dalam memperoleh Akses,
Kontrol, Partisipasi dan memperoleh Manfaat
(AKPM) yang sama atas pembangunan.
Selain itu, untuk mendukung hal di atas
Pemerintah secara progresif menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 119/
PMK.02/2009,
yang
mengamanatkan
Anggaran Responsif Gender. Penganggaran
yang responsif gender bukanlah tujuan,
melainkan sebuah kerangka kerja atau
alat analisis kebijakan anggaran untuk
mewujudkan kesetaraan gender melalui
proses-proses penentuan alokasi yang
proporsional atau berkeadilan.
Salah satu implementasi program
pembangunan yang berhasil menyerap
jumlah
partisipasi
perempuan
yang
cukup tinggi adalah program Peningkatan
Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas
(PPMK). Berdasarkan data dari Kementerian
Pekerjaan Umum (2014), keterlibatan
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
yang digerakan oleh perempuan dalam
PPMK adalah 61%, dengan jenis usaha KSM
didominasi oleh jenis usaha olahan (42%).
PPMK merupakan
salah
satu
program dari PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) yang diadopsi
dari Program terdahulu yaitu P2KP (Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan),
dengan salah satu strateginya mendukung
upaya peningkatan IPM dan pencapaian
sasaran MDG’s, dimana salah satu sasaran
MDG’s ke-3 adalah mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan.
Secara khusus, ada beberapa program
PPMK yang dilakukan berbasis gender,
diantaranya adalah program Selaras di
Aceh. Wilayah ini dipilih karena tingkat
partisipasi perempuan dalam PNPM Mandiri
Perkotaan di tahun 2012 mencapai 42,2% (di
atas indikator partisipasi perempuan yang
diharapkan, yaitu 40%). Program Selaras
bertujuan
memberikan
BLM (Bantuan
Lansung Masyarakat) sebanyak 2 kali
untuk secara langsung mendorong peran
perempuan di 426 Gampong (Kelurahan)
dan di 12 Kabupaten/Kota di Aceh,
sehingga diharapkan perempuan dapat
berkembang kemampuannya, mengambil
posisi yang biasanya diisi oleh laki-laki dan
berperan mengambil keputusan.
Namun dalam prakteknya, implementasi
kebijakan dan program PUG di Indonesia
belum berjalan optimal dan memerlukan
dukungan untuk penanganan permasalahan
gender, yaitu berupa :
- Peningkatan Pemahaman Masyarakat
untuk Pemberdayaan Perempuan,
-
-
Edukasi untuk Pelibatan Perempuan
dalam Berbagai bidang Pembangunan
di Perkotaan,
Membuka
Peluang
Sosial
Pemberdayaan
Perempuan
diamanatkan di dalam Inpres.
untuk
yang
Berdasarkan data dari BPS (2012)
diketahui bahwa komposisi perempuan di
wilayah perkotaan mencapai 49,66%. Data
ini diikuti dengan komposisi perempuan usia
produktif (15-64 tahun) di wilayah perkotaan
yang mencapai 67,49%. Jakarta merupakan
provinsi dengan persentase penduduk
perempuan usia produktif yang tertinggi,
sedangkan
Nusa
Tenggara
Timur
merupakan yang terrendah.
Masih menurut sumber yang sama, secara
nasional sebaran penduduk perempuan lebih
rendah dibandingkan dnegan penduduk
laki-laki, yaitu 49,65% berbanding 50,35%.
Sementara menurut wilayah tempat tinggal,
penduduk perempuan di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan dengan perdesaan,
yaitu 49,66% berbanding 50,34%, dan
sebaliknya yang terjadi pada kondisi
penduduk laki-laki.
Kualitas
sumberdaya
perempuan
diantaranya dapat direleksikan melalui
tingkat pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
keluarga dan aktivitas/pekerjaan yang
dilakukan. Berdasarkan data BPS (2012) pada
sector pendidikan, persentase perempuan
(usia 15 tahun ke atas) di wilayah perkotaan
yang sudah lulus dalam jenjang pendidikan
(SD, SMP, SMA & Perguruan Tinggi) mencapai
84,24%, atau lebih rendah dibandingkan
laki-laki yang mencapai 89,94%. Kondisi ini
masih terbilang lebih baik dibandingkan
dengan persentase perempuan yang
telah menempuh pendidikan di wilayah
perdesaan.
Sementara
di
bidang
kesehatan,
persentase penduduk perempuan di
wilayah perkotaan yang mengalami keluhan
kesehatan mencapai 46,22%, nilai ini lebih
tinggi dibandingkan dengan laki- laki yang
mencapai 43,86%. Umumnya atas keluhan
tersebut perempuan mengobatinya dengan
pergi ke Puskesmas Pembantu, Tenaga Medis,
dan Praktek Dokter/Poliklinik. Berdasarkan
data BPS (2012) kecendrungan yang
terjadi di wilayah perkotaan adalah
sama,
meskipun kuantitasnya perkotaan
lebih tinggi dibanding perdesaan, karena
umumnya di perdesaan mengobati keluhan
kesehatannya sendiri. Untuk itu, ketersediaan
fasilitas kesehatan sangat penting untuk
perempuan, baik di wilayah perkotaan
maupun perdesaan.
Dalam upaya mencapai kesejahteraan
keluarga melalui pengendalian penduduk,
Pemerintah menjalankan program Keluarga
87
Berencana (KB). Berdasarkan data BPS (2012)
diketahui bahwa, persentase perempuan
(usia
15-49
tahun)
yang
sedang
menggunakan kontrasepsi/KB di wilayah
perkotaan saat ini mencapai 61,47%, angka
ini jauh lebih tinggi dibandingkan partisipasi
laki-laki dalam program KB (vasektomi dan
kondom) hanya mencapai 1,68%. Sementara
di
perdesaan,
partisipasi
perempuan
dalam program KB lebih tinggi (63,33%)
dibandingkan di perkotaan, sedangkan
partisipasi laki-laki lebih rendah (0,75%)
dibandingkan di perkotaan. Umumnya hal
ini dipengaruhi oleh perbedaan tingkat
pendidikan, budaya dan nilai hidup yang
dianut oleh masyarakat, baik di perkotaan
maupun di perdesaan.
Aktivitas perempuan (usia 15 tahun ke
atas) di wilayah perkotaan yang tertinggi
adalah bekerja (44,74%), dan mengurus
rumah tangga (38,52%). Masih berdasarkan
sumber yang sama (BPS, 2012), lapangan
pekerjaan utama bagi perempuan di wilayah
perkotaan adalah pada sector perdagangan
(38,38%) dan sektor jasa kemasyarakatan,
sosial dan perorangan (27,57%). Sedangkan
tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
perempuan (47,91%) masih lebih rendah
dibandingkan laki-laki (79,57%), hal ini
merupakan buntut dari implikasi prioritas
lapangan kerja terhadap pekerja laki-laki.
Kesenjangan juga terjadi pada upah yang
diterima pekerja laki-laki yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan dengan ratio 0,8
meskipun tren rasio ini terus merangkak naik.
Sejalan dengan kondisi di atas,
keterlibatan perempuan dalam politik dan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat ini
rata-rata hanya mencapai 20%, kecuali pada
DPD yang mencapai lebih dari 20% (BPS,
2012).
88
Dalam
kehidupan
di
perkotaan,
keberadaan perempuan dan pengembangan
sektor informal merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Karena umumnya, perempuan
yang setiap harinya mengurus rumah
tangga dapat dengan mudah berada pada
sektor informal. Sektor informal merupakan
kegiatan yang diantaranya bercirikan :
mudah dimasuki siapa saja, menggunakan
sumberdaya setempat, umumnya usaha
milik keluarga, beroperasi kecil-kecilan,
padat karya, tidak menuntut keterampilan
dan pendidikan formal, dan pasar yang tidak
diatur pemerintah namun sangat kompetitif.
Saat ini (BPS, 2012), keterlibatan perempuan
di perkotaan dalam pengembangan sector
informal mencapai 37,56%, sementara lelaki
mencapai 33,68%. Hal ini cukup jauh berbeda
dengan pengembangan sector informal di
perdesaan, dengan keterlibatan perempuan
mencapai 75,11%, dan laki-laki mencapai
67,29%.
Selama ini kita telah mengenal IPM
(Indeks Pembangunan Manusia) sebagai
salah indikasi capaian
pembangunan
manusia.
Sedangkan
secara
spesiik,
capaian keberhasilan pembangunan yang
sudah mengakomodasi persoalan gender
dapat diukur melalui Indeks Pembangunan
Gender (IPG). Ketimpangan antara capaian
IPM dan IPG akan menggambarkan gap
kemampuan
dasar
dan
keterlibatan
antara laki-laki dan perempuan di dalam
pembangunan (semakin tinggi IPG terhadap
IPM, maka semakin rendah gap kemampuan
dasar antara laki-laki dan perempuan, dan
sebaliknya). Secara umum, angka IPG di
Indonesia terus meningkat sejak 2004 (63.94)
sampai 2012 (68.52), namun jika direrata gap
antara indeks tersebut relative tetap dalam
kurun waktu tersebut. Provinsi DKI Jakarta,
Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta merupakan
3 (tiga) besar yang terbaik dalam capaian IPM
dan IPG sepanjang tahun2006-2012 (BPS,
2012).
Gambar 24. Lorong-lorong di Kota Makassar (Sumber : Tim Urban Demograi, 2014)
Gambar 25. Perempuan Pekerja Sektor Formal dan Informal di Kota Makassar. Sumber: Tim Urban Geograi, 2014
Upaya Pemberdayaan
Perempuan di Kota Makassar
Adapun salah satu kota yang memiliki
IPG yang tinggi adalah Kota Makassar 73,81
(BPS, 2012), sebagai kota yang tumbuh
melalui kegiatan jasa, perdagangan, industri
pengolahan, dan merupakan hub di
Kawasan Timur Indonesia, maka wilayah ini
menarik para migran untuk mengadu nasib
di kota tersebut. Beberapa sektor usaha yang
berkembang pesat di Kota Makassar pada
sektor perdagangan seperti pembangunan
Mall, sektor jasa dan industri pengolahan.
Perkembangan sektor-sektor ini ternyata
menimbulkan isu gender, yaitu sebagian
besar tenaga kerja yang terlibat adalah
perempuan, hal ini karena sektor yang
sedang berkembang ini dianggap lebih
ramah dan lebih membutuhkan tenaga
kerja perempuan. Selain itu, preferensi
pengusaha terhadap pekerja perempuan
adalah karena adanya anggapan bahwa
para pekerja perempuan
dirasa
lebih
menerima, tidak memiliki banyak tuntutan
89
dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki.
Selain itu, tingginya perubahan fungsi lahan
dari kegiatan pertanian ke non-pertanian
juga mendorong tingginya angka pekerja
perempuan di perkotaan.
Provinsi dengan Indeks
Pembangunan Gender (IPG)
Tertinggi
Salah satu program pemberdayaan
perempuan
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah Kota Makassar adalah upaya
meningkatkan
partisipasi
perempuan
dengan mencanangkan gerakan “Mabello”
(Makassar Benahi Lorong) atau Program
Tata Total Lorong, yang sedang dimulai
pelaksanaannya tahun ini. Diantara tujuan
dari gerakan ini adalah mengajak perempuan
usia produktif, khususnya ibu-ibu rumah
tangga yang biasanya duduk-duduk di
sepanjang lorong permukiman untuk turut
aktif membantu perekonomian keluarganya,
melalui kegiatan ekonomi/usaha informal,
maupun industri pengolahan rumahan atau
home industry. Program ini dilakukan sejalan
dengan Program Hidup Hijau dengan Kebun
Kota, yang mendorong perempuan untuk
membuat kebun hijau produktif secara
vertikal pada lorong-lorong kota.
Berdasarkan Undang- undang No. 29
Tahun 2007 (Pasal 3, 4 dan 5) Provinsi DKI
Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
sekaligus sebagai daerah otonom pada
tingkat provinsi.
Dengan demikian, selain berperan
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Provinsi DKI Jakarta memiliki
kekhususan
tugas,
hak,
kewajiban,
dan tanggung jawab tertentu dalam
penyelenggaraan pemerintahan
dan
sebagai tempat
kedudukan perwakilan
negara asing,
serta pusat/perwakilan
lembaga internasional.
Di tengah tingginya jumlah pekerja
perempuan di Kota Makassar dan berbagai
program pemberdayaan perempuan yang
dilakukan oleh Pemerintah. Berikut ini
beberapa tantangan dalam implementasi
PUG di Kota Makassar, diantaranya yaitu :
1. Konsistensi Pemerintah
dalam
penetapan kebijakan atau p r o g r a m
yang mengarusutamakan gender,
2. Kurangnya
pemahaman
bersama
mengenai urgensi kebutuhan dan
permasalahan terkait gender,
3. Sumberdaya manusia perempuan yang
masih rendah,
Gambar 26. Peta Provinsi DKI Jakarta
(Sumber: Website Resmi Pemprov DKI Jakarta)
90
Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta
berjumlah 8.961.680
jiwa,
sedangkan
pada
tahun 2011 jumlah penduduk
bertambah
menjadi
10.187.595
jiwa.
Dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut,
penduduk
laki-laki
adalah
sebanyak
5.252.767 jiwa dan perempuan sebanyak
4.934.828 jiwa, dengan seks rasio 103.
Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
pada periode 2000 - 2010 sebesar 1,42 %
per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan
penduduk pada periode tahun 1990 – 2000
hanya sebesar 0,78 % pertahun.
Struktur penduduk di Jakarta dapat dilihat
pada gambar piramida penduduk berikut52.
Pada tahun 2010, jumlah komuter dari
Bodetabek menuju Jakarta mencapai 1,5
juta komuter per hari. Pada siang hari,
jumlah penduduk Jakarta mencapai 12,1 juta
jiwa (9,6 juta penduduk DKI Jakarta dan 2,5
juta warga komuter). Secara keseluruhan
jumlah penduduk di sekitar Jakarta,
kawasan Bodetabek, menurut Sensus
Penduduk tahun 2010 sebanyak 18.354.756
Jiwa.
Graik 10. Piramida Penduduk Provinsi DKI Jakarta Sensus Penduduk 2010 (Sumber: Sensus Penduduk 2010)
Graik 11. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kota/Kabupaten Administrasi Periode 2007 – 2011 (Sumber: RJPMD DKI Jakarta 2013 – 2017)
52. Sensus Penduduk 2010
91
Angka di atas menjelaskan posisi Jakarta
dalam menyerap tenaga kerja, baik pada
sektor Perdagangan,Jasa dan Industri
Pengolahan. Pada tahun 2010 tenaga
kerja Jakarta mayoritas bekerja di Sektor
Perdagangan, Restoran dan Hotel sebanyak
36,97 %, diikuti oleh Sektor Jasa sebanyak
25,73 %, dan Sektor Industri Pengolahan
16,10 %.
Provinsi DKI Jakarta merupakan salah
satu provinsi dengan Indeks Pembangunan
Gender (IPG) yang tertinggi secara nasional,
yaitu 74,66. Sementara itu Kota Jakarta Pusat
merupakan kota di Provinsi DKI Jakarta
dengan IPG yang tertinggi, yaitu mencapai
75,59 (BPS, 2012).
Hal ini sepertinya sebagai bagian
dari
capaian
implementasi
strategi
pengarusutamaan gender (PUG) yang telah
direncanakan oleh Provinsi DKI Jakarta.
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) menyebutkan
komposisi jumlah penduduk perempuan
yang tinggi, dan hal ini menjadi perhatian
pemerintah
untuk
memenuhi
dan
memberikan layanan maksimal dalam
kebutuhan hidup penduduk perempuan di
kota Jakarta.Dalam mengimplementasikan
PUG, Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan
Peraturan Gubernur No. 176 Tahun 2010
tentang Kelompok Kerja Pengarusutamaan
Gender. Pokja PUG ini terdiri dari berbagai
instansi pemerintahan yang bekerjasama
untuk mendorong perecapatan terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Selain
itu, DKI Jakarta juga memiliki Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (P2TP2A).
Pusat
pelayanan
ini
memberikan
beberapa pelayanan, seperti : informasi,
53. Keadaan Ketenagakerjaan di DKI Jakarta Februari 2013 ( BPS, 2013)
92
medis, bantuan hukum, konsultasi psikologis,
rumah aman, dan pendidikan. Dengan
bentuk program layanan berupa :
1. Pelayanan Hotline Service 24 Jam Bagi
Para Korban Kekerasan,
2. Pendampingan Litigasi dan Non Litigasi,
3. Program Penanganan Tahap Awal Bagi
Korban Kekerasan,
4. Program Penanganan Tahap Lanjutan,
5. Program Pelatihan dan Pendidikan
Relawan P2TP2A tentang Penanganan
Korban Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Anak,
6. Program Penyuluhan Kepada Masyarakat
mengenai P2TP2A,
7. Kajian Ilmiah.
Sebagai gambaran perempuan di Provinsi
DKI Jakarta, secara statistik komposisi
perempuan mencapai 4.934.828 jiwa, atau
48% dari total penduduk di Provinsi DKI
Jakarta. Sementara itu, berdasarkan data
BPS (2012) diketahui bahwa struktur usia
perempuan di DKI Jakarta didominasi pada
kelompok umur 15-64 tahun yaitu 72,63%.
Sedangkan berdasarkan jenis kegiatannya,
terdapat 2 (dua) jenis kegiatan yang dominan
dipilih oleh perempuan di Provinsi DKI
Jakarta yaitu bekerja (53,37%) dan mengurus
rumah tangga (29,58%).
Perempuan di Provinsi DKI Jakarta
bekerja dalam beberapa bidang pekerjaan.
Dari keseluruhan jumlah angkatan kerja
perempuan, yang bekerja di sektor primer
ada sebanyak 0.16%, sektor sekunder
14% dan sektor tersier sebesar 74%53.
Sementara itu, berdasarkan data Keadaan
Ketenagakerjaan di DKI Jakarta pada Februari
2013 (BPS) diketahui selain sektor-sektor
yang disebutkan tadi, kontribusi perempuan
dalam pengembangan sektor informal juga
diperhitungkan, hal ini dibuktikan dengan angka keterlibatan perempuan dalam sektor
informal yang mencapai 25 % dari keseluruhan angkatan kerja.
Sementara itu, selain pada sektor ekonomi yang disampaikan di atas, Provinsi DKI Jakarta
memiliki indeks kesehatan reproduksi perempuan yang baik yaitu 0,264. Demikian juga
pencapaian pendidikan (0,704), partisipasi ekonomi (0,436), dan keterwakilan perempuan
pada jabatan publik (0,241). Namun, di tengah gambaran tersebut, aspek kekerasan terhadap
perempuan di DKI Jakarta mencapai 0,019.
Gambar 27. (Kiri ke Kanan) Perempuan Pekerja Sektor Informal di Provinsi DKI Jakarta
(Sumber: Fathia Hashilah, 2014)
Gambar 28. (Kiri ke Kanan) Perempuan Pekerja Sektor Formal di Provinsi DKI Jakarta
(Sumber: Tim Urban Demograi, 2014)
93
Gambar 29. Commuter Line (Gerbong Khusus Wanita) (Sumber: Fathia Hashilah, 2014)
94
6. Tantangan Pengelolaan Perkotaan
Untuk
mencapai
pembangunan
perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan,
dan berdasarkan pembelajaran yang telah
dipaparkan langsung pada subbab-subbab di
atas, maka beberapa hal menjadi tantangan
dalam
pengembangan
pembangunan
perkotaan ke depan, yaitu diantaranya
sebagai berikut.
Tantangan
dalam
menangani
permasalahan urbanisasi yang cepat dan
keterkaitan desa-kota diantaranya adalah,
- Menegaskan
kementerian/lembaga
yang
menangani
administrasi
kependudukan (terutama peristiwa vital
demograi, yakni kelahiran, perkawinan,
perpindahan dan kematian) untuk
mendukung penerapan sistem informasi
kependudukan perkotaan nasional;
-
Revitalisasi konsep kerjasama antar
kota untuk tujuan pengendalian faktor
penarik dan faktor pendorong migrasi
desa-kota;
-
Mengembangkan industry prospektif di
wilayah sekitar perkotaan,
-
Keterpaduan
jaringan
transportasi
perkotaan multimoda, hal ini sangat
dibutuhkan mengingat isiograi wilayah
perkotaan Indonesia yang sebagian
besar berada pada wilayah pesisir,
-
Kelembagaan yang representatif dan
kredibel dalam menangani potensi
dan permasalahan perkotaan,
-
Menyediakan sarana prasarana kota
sesuai dengan komposisi dan struktur
social masyarakat, hal ini diperlukan
terutama dalam menghadapi Era
Bonus Demograi dan konsekuensinya
kelak, karena ketika era ini selesai dilewati
maka akan ada komposisi dominan
dari kelompok usia tertentu yang
perlu diakomodasi kebutuhannya agar
tetap dapat produktif dan mendorong
pembangunan perkotaan,
Tantangan
dalam
menangani
permasalahan anak dan pemuda dalam
pembangunan
perkotaan
diantaranya
adalah,
-
Mengintegrasikan
nomenklatur
prasarana dan sarana sosial anak dan
pemuda ke dalam RPJMD Kota dan
rencana detail tata ruang kota dan
peraturan zoning demi terjaminnya
penyediaan sarana dimaksud;
-
Penyediaan dan peningkatan sarana
pendidikan dan kesehatan merupakan
bagian investasi Negara yang sangat
penting untuk mencetak generasi
yang kuat, melindungi perempuan dari
berbagai penyakit, dan memperpanjang
usia harapan hidup masyarakat,
-
Mendorong
peningkatan
kuantitas
implementasi
KLA,
dan
terus
meningkatkan kualitas implementasi
pada KLA yang telah ada saat ini, hal
ini mengingat kelak anak yang akan
menjawab dan meneruskan langkah
saat ini dalam pembangunan perkotaan,
-
Membuka
akses
yang
lebih
besar
untuk
partisipasi
pemuda
dalam pembangunan, baik melalui
peningkatan
organisasi
social
kepemudaan, pembinaan organisasi,
maupun akses langsung terhadap
kegiatan pembangunan,
95
-
Peningkatan efektiftiitas pelaksanaan
program wajib belajar 12 tahun
yang
telah dicanangkan sejak tahun
2013, dengan program ini diharapkan
akan mampu menekan jumlah anak
putus sekolah dan meningkatkan jumlah
partisipasi sekolah sampai tingkat
pendidikan menengah atas,
-
Penyediaan fasilitas sarana prasarana
pendidikan yang berbasis teknologi.
Dengan perubahan gaya hidup saat
ini dimana teknologi menjadi bagian
yang tidak terpisahkan lagi karena itu,
untuk menciptakan generasi muda
yang memiliki daya saing maka penting
bagi pemerintah untuk menyediakan
pendidikan berbasis teknologi,
-
96
Era Bonus Demograi yang telah
dimulai
saat
ini
membutuhkan
penyiapan kualitas dan daya saing para
pemuda di perkotaan, selain itu juga
berinvestasi social melalui perempuan
untuk
mencetak
generasi-generasi
pemuda yang pada gilirannya mampu
menjawab tantangan masa setelah
Bonus Demograi selesai. Mengingat hal
ini merupakan crosscutting issue, maka
dibutuhkan road map untuk menjelaskan
peran dan keterlibatan multisektoral
untuk menjawab dan mengantisipasi
dampak dari fenomena ini ke depan,
-
Melanjutkan
dan
mengaktifkan
berbagai program yang saat ini telah
giat dilakukan sebagai bentuk upaya
non-struktural dalam mengendalikan
dampak
pembangunan
perkotaan
kelak, seperti kegiatan Karang Taruna,
Indonesia Mengajar, Pemuda Sarjana
Penggerak Pembangunan di Perdesaan
(PSP3), Komunitas Sahabat Anak, dsb,
-
Kebutuhan
untuk
menjembatani
kesenjangan
antara
wirausahawan
muda
dan
kebutuhan
dasar
pengembangannya,
seperti:
(i)
memperbaiki keterampilan teknis dan
manajemen wirausaha untuk angkatan
kerja
muda;
(ii)
meningkatkan
kemampuan untuk menjadi mandiri
dan bertahan dalam menciptakan dan
mengembangkan kegiatan ekonomi
yang produktif; serta (iii) menciptakan
usaha produktif yang kecil untuk orang
muda berpendidikan yang menawarkan
kesempatan kerja bagi orang lain.
-
Langkah strategis yang harus dilakukan
untuk mendukung terlaksananya kota
kreatif adalah sebagai berikut :
1. Membuat skema potensi kota yang
terstruktur untuk menggembangkan
kota
kreatif
di
Indonesia.
Pengimplementasian kota kreatif
tidak serta merta dapat dilakukan,
tetapi memerlukan justiikasi terlebih
dahulu terhadap karakteristik wilayah
atau kawasan perkotaan yang akan
direncanakan.
2. Ikut sertanya pemerintah dalam
penyediaan pendidikan non-formal
seperti kursus bahasa asing, kursus
kesenian, dan kursus keterampilan
lainnya. Hal ini perlu dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dan
kemampuan sumber daya manusia
terutama penduduk usia muda.
Selama ini pendidikan non formal
masih dinilai sebagai pendidikan
tambahan bagi masyarakat dan
dikarenakan biaya yang dibutuhkan
untuk mendapatkan sekolah non
formal cukup tinggi maka hanya
masyarakat yang berpendapatan
tinggi dan tinggal di kawasan
perkotaan
saja
yang
mampu
mengakses pendidikan non formal
tersebut.
3. Peningkatan pemberdayaan sekolah
berbasis kejuruan seperti SMK, STM
maupun vokasi. Sekolah berbasis
kejuruan tersebut diharapkan mampu
mencetak lulusan yang memiliki
kemampuan dan keterampilan yang
baik sehingga lebih siap untuk masuk
ke pasar kerja.
Tantangan yang d i h a d a p i d a l a m
merespon
kebutuhan
penduduk
lanjut usia
dalam
pembangunan
perkotaan adalah:
-
Mengintegrasikan
nomenklatur
prasarana dan sarana sosial lansia ke
dalam RPJMD Kota dan rencana detail
tata ruang kota & peraturan zonasi
demi terjaminnya penyediaan sarana
dimaksud;
-
Menyediakan fasilitas kota yang ramah
lansia sehingga lansia dapat tetap hidup
sehat, produktif dan mandiri,
-
Memingkatn kapasitas sumberdaya
manusia Lansia, melalui penyediaan
lapangan kerja yang sesuai dengan
proil, potensi dan karakter lansia,
-
Koordinasi
antar
sektor
untuk
mengimplementasikan
perundangan
yang
mengatur kesejahteraan lansia
melalui
peningkatan
perlindungan,
pelayanan kesehatan dan aksesibilitas
lansia terhadap hasil pembangunan.
-
Investasi pada pembangunan kapasitas
sumber
daya
manusia
bidang
kelanjutusiaan
di semua tingkatan
terutama tingkat desa, serta kabupaten/
kota,
-
Investasi
dalam
infrastruktur
kelanjutusiaan sesuai pedoman Kota
Ramah Usia/lanjut usia Global untuk
menuju suatu masyarakat segala usia
yakni manusia yang sesuai kodratnya,
pada dasarnya, diberikan hak seperti
layaknya semua anggota masyarakat
untuk mempunyai peluang sama dalam
kehidupan kemasyarakatan termasuk
dalam hal ini penduduk lanjut usia.
Tantangan
yang
dihadapi
dalam
pengarusutamaan
gender
dalam
pembangunan
perkotaan diantaranya
adalah sebagai berikut :
- Konsisten pemerintah di berbagai
tingkat untuk mengimplementasikan
pengarusutamaan
gender
dalam
program
pembangunan,
sehingga
ketimpangan kesempatan terhadap
perempuan di bidang pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja, upah, politik,
dsb dapat diminimalisir dan terukur
peningkatannya melalui IPG,
- Koordinasi
lintas
sektoral
untuk
memaduserasikan
program
dan
capaian
dalam mengarusutamakan
gender,
-
Kesadaran
semua
pihak
bahwa,
perempuan adalah mesin utama
pembentuk generasi muda yang perlu
dibekali pengembangan kapasitas yang
baik secara akademik, moril dan spiritual.
Sehingga negara perlu berinvestasi
melalui kesehatan dan kecerdasan
perempuan untuk mencapai generasi
penerus yang potensial,
-
Ketersediaan data dasar sampai pada
tingkat local untuk menggambarkan
keragaman proil (potensi, kekuatan,
kelemahan dan tantangan perempuan
di setiap wilayah).
97
7. Agenda ke Depan
Laju pertumbuhan penduduk perkotaan
di Indonesia yang pesat bahkan melebihi
laju pertumbuhan penduduk secara nasional
telah mengakibatkan pada pembentukan
kota-kota metropolitan melalui bekerjanya
tiga variabel urbanisasi, yaitu pertumbuhan
alamiah penduduk perkotaan, migrasi
penduduk dari perdesaan ke perkotaan, dan
reklasiikasi wilayah-wilayah sekitar menjadi
daerah perkotaan.
Untuk itu, sebagai
agenda yang diperlukan untuk menjawab
kebutuhan pembangunan perkotaan yang
inklusif dan berkelanjutan adalah dengan
menjawab menjawab tantangan yang
ditelah disebutkan pada sub-bab di atas,
dan
mengharmonisasikannya
dengan
implementasi
rencana
pembangunan
98
perkotaan seperti yang disebutkan di bawah
ini.
Dokumen draft RPJMN 2015-2019 Bidang
Pembangunan Perdesaan dan Perkotaan
(Bappenas, 2014) dicantumkan bahwa arah
kebijakan dalam kaitan antara Kota-Desa
adalah mewujudkan pusat pertumbuhan
baru, dengan :
1. Mewujudkan industri pengolahan hasil
pertanian secara luas yang berbasis
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah
2. Meningkatkan akses terhadap modal
usaha, pemasaran, teknologi, dan
informasi
3. Menerapkan teknologi dan inovasi di
tingkat lokal untuk meningkatkan nilai
tambah
yang tereksklusi dari pembangunan
perkotaan, terutama kelompok pemuda,
anak-anak, kaum difabel, lanjut usia.
4. Meningkatkan kelembagaan dan tata
kelola ekonomi daerah
5. Promosi
PUG
dalam
integrasi
pembangunan perkotaan terus dilakukan
melalui baik melalui pembangunan
antar bidang maupun antar wilayah.
5. Mengembangkan kerjasama antar daerah
dan kerjasama pemerintah-swasta
Proses
pembangunan
perkotaan
sejauh ini masih belum memperlihatkan
adanya keberpihakan terhadap aksesibilitas
penghuni perkotaan dalam partisipasi dan
memperoleh hasil pembangunan perkotaan.
Untuk dapat menghadapi berbagai tantangan
yang telah dikemukakan di atas, maka
pengelolaan perkotaan hendaknya dilakukan
dengan merumuskan strategi kebijakan yang
baru sesuai dengan perkembangan jaman.
Kelompok penduduk yang memerlukan
perhatian khusus yaitu remaja, anak-anak
dan usia lanjut sejauh ini masih dipandang
sebagai kelompok yang tereksklusi dari
pembangunan perkotaan. Demikian juga
dengan program-program yang berkaitan
dengan pengarusutamaan gender (PUG).
Dalam rangka menuju pembangunan
perkotaan yang inklusif, maka beberapa
langkah yang dapat disarankan untuk
ditempuh dalam pengelolaan perkotaan
adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan
manajemen
data
kependudukan di wilayah perkotaan
2. Mengurangi kesenjangan pembangunan
antara
wilayah
perkotaan
dan
perdesaan dengan promosi mobilitas
non permanen.
3. Perbaikan
sarana
dan
prasarana
transportasi dan komunikasi antara
wilayah perkotaan dan perdesaan.
4. Tidak ada lagi penghuni perkotaan
Dalam dokumen rancangan RPJMN 20152019 bidang pembangunan perkotaan dan
perdesaan oleh Bappenas (2014) disebutkan
beberapa strategi dalam pembangunan
perkotaan di masa depan, yaitu:
1. Mewujudkan
Nasional (SPN)
Sistem
Perkotaan
a. KSN Di luar Pulau Jawa: mendorong
kegiatan sentra produksi pengolahan
dan jasa untuk melayani Kawasan
Timur Indonesia serta memantapkan
fungsi keterkaitan dengan pusat
pertumbuhan internasional;
b. KSN Di Pulau Jawa: spesialisasi fungsi
jasa pendidikan, teknologi informasi,
industri & pariwisata perkotaan
(urban tourism);
c. Kota
Sedang:
Meningkatkan
kualitas jaringan dan pelayanan
transportasi yang terintegrasi antar
wilayah, antar simpul transportasi
dan angkutan massal sebagai
penghubung antar PKN dan PKW;
2. Pemenuhan
(SPP)
Pelayanan
Perkotaan
a. Percepatan pemenuhan pelayanan
sarana
prasarana
permukiman
(perumahan, air bersih, pengelolaan
sampah,
pengolahan
limbah,
drainase, pedestrian, dan RTH) yang
memenuhi kualitas kota yang layak
huni;
b. Peningkatan kualitas dan kuantitas
99
pelayanan kesehatan dan pendidikan
yang mudah diakses & terjangkau
masyarakat;
c. Penyediaan sarana pemerintahan
dan sarana prasarana ekonomi,
khususnya di sektor perdagangan
dan jasa yang aman dan nyaman
serta mudah diakses bagi seluruh
kalangan. termasuk kelompok lansia,
difabel, wanita, dan anak;
d. Pengembangan sarana prasarana
pengolahan hasil pertanian dan
kelautan, serta transhipment point;
3. Membangun
Kota
Hijau
yang
berketahanan iklim dan bencana
a. Penataan,
pengelolaan,
&
pengendalian pemanfaatan ruang
perkotaan yang eisien, berkeadilan &
ramah lingkungan;
b. Peningkatan kuantitas dan kualitas
infrastruktur
yang
memenuhi
kualitas kota yang layak huni;
c. Peningkatan kapasitas masyarakat
dan
kelembagaan
dalam
membangun kota tangguh (urban
resilience);
d. Penyediaan RTH perkotaan serta
green
pengembangan
konsep
infrastructure dan konsep green
building;
4. Membangun Kota Cerdas dan berdaya
saing
a. Pengembangan waga kota yang
inovatif, kreatif, produktif, dan mampu
memanfaatkan potensi keragaman
sosial budaya lokal;
b. Penggunaan ICT dalam penyediaan
layanan publik melalui e-government,
e-commerce, dan e-infrastructures;
5. Meningkatkan kapasitas tata kelola
100
pembangunan perkotaan
a. Pembentukan Komite Percepatan
Pembangunan Perkotaan di tingkat
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota;
b. Penyiapan peraturan perundangan
khusus
tentang
perencanaan
dan
pembangunan
perkotaan
berkelanjutan;
c. Peningkatkan
kualitas
aparatur
pemerintah dalam perencanaan,
pembangunan dan pengelolaan kota
berkelanjutan;
d. Penyiapan
instrumen
untuk
melaksanakan monitoring & evaluasi
pengelolaan dan pembangunan kota
berkelanjutan;
e. Pelibatan secara aktif peran praktisi,
pakar
dan
organisasi
profesi
yang terkait dengan perkotaan
meningkatkan kapasitas pemerintah
daerah
dalam
perencanaan,
monitoring dan evaluasi pengelolaan
dan pembangunan kota;
f.
Peningkatan kapasitas kerjasama
antar kota dan antar daerah didalam
negeri serta antar negara terkait
pengelolaan perkotaan, termasuk
dalam hal pengembangan ekonomi
lokal dan daerah;
g. Pengembangan lembaga penyediaan
bantuan teknis dan pembiayaan
infrastruktur perkotaan;
h. Penyediaan peta dengan skala
1:25.000 dan 1:5000 untuk proses
perencanaan dan pembangunan
kota;
i.
Penyediaan dan pemutakhirkan data
dan informasi perkotaan, terutama
dalam aspek sosial budaya, ekonomi,
lingkungan, tata kelola, pelayanan
perkotaan dan sistem perkotaan.
101
Glossary
ADA Age Demands Action.
Bodetabek Bogor Depok Tangerang Bekasi.
Aglomerasi Gabungan Kumpulan dua atau
lebih pusat kegiatan; tempat pengelompokan
berbagai macam kegiatan dl satu lokasi atau
kawasan tertentu, dapat berupa kawasan
industri, permukiman, perdagangan, dan
kegiatan lainnya (yang dapat saja tumbuh
melewati batas administrasi kawasan
masing-masing,
sehingga
membentuk
wilayah baru yang tidak terencana secara
sempurna).
BSD Bumi Serpong Damai.
AKPM Akses, Kontrol,
memperoleh Manfaat.
Partisipasi
dan
Amuba Arus Mudik Balik.
ARG Anggaran Responsif Gender, adalah
anggaran yang mengakomodasi keadilan
bagi perempuan dan laki-laki dalam
memperoleh akses, manfaat, berpartisipasi
dalam mengambil keputusan dan mengontrol
sumber-sumber daya serta kesetaraan
terhadap kesempatan dan peluang dalam
menikmati hasil pembangunan.
ASLUT Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar.
Bappenas Badan Pembangunan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
dan
BPS Badan Pusat Statistik.
BIAF Baros International Animation Festival.
BITC Baros Information Technology and
Creative Center.
Keluarga
BKSPMM Badan Kerjasama Pembangunan
Metropolitan Maminasata.
BNN Badan Narkotika Nasional.
102
iv
CCA Cimahi Creative Association.
CEDAW Convention On The Elimination Of
All Form Of Discrimination Against Women.
CSR Corporate Social Responsibility.
Demografi
Ilmu
yang
memperlajari
penduduk
(suatu
wilayah)
terutama
mengenai jumlah, struktur (komposisi
penduduk)
dan
perkembanganya
(perubahannya).
DKI Daerah Khusus Ibukota.
APS Angka Partisipasi Sekolah.
BKKBN
Badan
Koordinasi
Berencana Nasional.
BT Bujur Timur.
DIY Daerah Istimewa Yogyakarta.
DPD Dewan Perwakilan Daerah.
Dukcapil
Dinas
Pencatatan Sipil.
Kependudukan
dan
E-KTP Elektronik Kartu Tanda Penduduk.
Fenomena Hal-hal yg dapat disaksikan
dengan pancaindra dan dapat diterangkan
serta dinilai secara ilmiah, seperti fenomena
alam.
GBS Gender Budget Statement, adalah
dokumen yang menginformasikan suatu
output kegiatan yang telah responsif gender
terhadap isu gender yang ada, dan/atau
suatu biaya telah dialokasikan pada output
kegiatan untuk menangani permasalahan
kesenjangan gender.
Gender Pandangan masyarakat tentang
perbedaan peran, fungsi dan tanggung
jawab antara perempuan dan laki-laki yang
merupakan hasil kontruksi sosial budaya dan
dapat berubah sesuai dengan perkembangan
jaman.
GOR Gelanggang Olah Raga.
Ha Hektar.
HIV/AIDS Human Immunodeiciency Virus/
Acquired Immune Deiciency Syndrome.
ICT
Information
Technology.
Communication
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.
KB Keluarga Berencana.
Kemenparekraf Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif.
KIMA Kawasan Industri Makassar.
Infrastruktur Bangunan-bangunan yang
diperlukan untuk memberikan pelayanan
atau jasanya bagi kebutuhan dasar
penduduk; terdiri atas prasarana transportasi
(jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dsb);
prasarana kesehatan (jaringan pipa air bersih,
jaringan drainase, jaringan pengumpulan
dan pembuangan sampah); dan prasarana
energy dan komunikasi (jaringan kawar
transmisi dan membagi, jaringan kawat
telepon, dsb).
KIP Kampung Improvement Project.
IPG Indeks Pembangunan Gender.
KSM Kelompok Swadaya Masyarakat.
IPM Indeks Pemberdayaan Manusia.
KSN Kawasan Strategis Nasional.
JDV Jogja Digital Valley.
JSLU Jaminan Sosial Lanjut Usia.
KSPPN Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Perkotaan Nasional.
KA Kereta Api.
KTP Kartu Tanda Penduduk.
Kawasan
Industri
Kawasan
khusus
untuk kegiatan industri pengolahan atau
manufaktur; kawasan ini dilengkapi dengan
prasarana, sarana/fasilitas penunjang yg
disediakan oleh Perusahaan Kawasan
Industri.
Lansia Seorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas.
Kawasan
Perdesaan
Kawasan
yang
mempunyai kegiatan utama pertanian
termasuk pengelolaan sumber daya alam,
dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman pedesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi.
Mabello Makassar Benahi Lorong.
Kawasan
Perkotaan
Kawasan
yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan
KLA Kota Layak Anak.
Konurbasi
Suatu
kawasan
tempat
bergabungnya
beberapa
kota
yang
saling berdekatan namun tidak memiliki
keterpaduan satu satu sama lain.
KPR Kredit Pembangunan Rumah.
KRA Kota Ramah Anak.
KRL Kereta Rel Listrik.
LKS Lembaga Kesejahteraan Sosial.
LPP Laju Pertumbuhan Penduduk.
LS Lintang Selatan.
Maminasata
Makassar,
Maros,
Sungguminasa, dan Takalar. MDG’s Millenium
Development Goals.
Metropolitan Suatu wilayah perkotaan yang
terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang
berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti
dengan kawasan perkotaan di sekitarnya
yang salinh memiliki keterkaitan fungsional
yang dihubungkan dengan sistem jaringan
prasarana wilayah yang terintegrasi dengan
103
v
jumlah penduduk secara keseluruhan
sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa. (Pasal
1 UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang).
MICE Meeting,Incentive,Convention,Exhibiti
on.
PIKKRR Pusat Informasi dan Konseling
Kesehatan Reproduksi Remaja.
PKBI Perhimpunan Keluarga Berencana
Indonesia.
Migrasi Perpindahan penduduk dari suatu
tempat ke tempat lain, baik melewati batas
politis negara maupun administrasi, dengan
tujuan untuk menetap. Migrasi sering
pula diartikan sebagai perpindahan relatif
permanaen dari suatu tempat ke tempat lain.
PKW Pusat Kegiatan Wilayah.
Migrasi Musiman Perpindahan penduduk
dengan niat tinggal antara 3-6 bulan.
PNPM Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat.
Migrasi Sirkuler Perpindahan penduduk
dengan niat tinggal kurang dari 3 bulan.
PNS Pegawai Negeri Sipil.
Mobilitas Non Permanen Perpindahan
penduduk dengan tidak menetap di daerah
tujuan dan biasanya dalam jangka waktu
kurang dari 6 bulan.
Mobilitas Ulang Alik Perpindahan penduduk
dengan niat tinggal kurang dari satu hari dan
sering disebut dengan penglaju.
MTR Makassar Ta Ratansa.
Mudik Berlayar, pergi ke udik atau kampung
halaman.
P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan.
104
vi
tempat dalam batas wilayah negara pada
waktu tertentu.
PKBM Pusat Krisis Berbasis Masyarakat.
PKL Pedagang Kaki Lima.
PKN Pusat Kegiatan Nasional.
PPMK Program Pemberdayaan Masyarakat
Perkotaan.
PSP3
Pemuda
Sarjana
Pembangunan di Perdesaan
Penggerak
PUG
Pengarusutamaan
Gender,
adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu
dimensi
integral
dari
perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional.
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat.
Posdaya Pos Pemberdayaan Keluarga.
P2TP2A
Pusat
Pelayanan
Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Posbindu Pos Pembinaan Terpadu.
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa.
PDB Produk Domestik Bruto.
PSP3
Pemuda
Sarjana
Pembangunan di Perdesaan.
Perda Peraturan Daerah.
PT Perseroan Terbatas.
Pemuda Penduduk usia 15 - 24 tahun .
RAD Rencana Aksi Daerah.
Penduduk Orang dalam matranya sebagai
diri pribadi, anggota keluarga,anggota
masyarakat, warga negara dan himpunan
kuantitas yang bertempat tinggal di suatu
RAN Rencana Aksi Nasional.
Posyandu Pos Pelayanan Terpadu.
Penggerak
RAN-LU Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia.
RDTR Rencana Detil Tata Ruang, adalah
penjabaran dari Rencana Umum Tata Ruang
Wilayah Kota ke dalam rencana distribusi
pemanfaatan ruang dan bangunan serta
bukan bangunan pada kawasan kota.
STM Sekolah Teknik Mesin.
RI Republik Indonesia.
TI Teknologi Informasi.
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah.
TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja.
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional, adalah dokumen
perencanaan
pembangunan
nasional
periode 5(lima) tahun.
UEP Usaha Ekonomi Produktif.
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka
Panjang
Nasional,
adalah
dokumen
perencanaan
pembangunan
nasional
periode 20 (dua puluh) tahun. (Perpres No. 40
Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional).
UHH Usia Harapan Hidup.
RTH Ruang Terbuka Hijau.
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah, adalah
arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan
ruang.
RT Rukun Tetangga.
RW Rukun Warga.
SARA Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan.
SAKERNAS Survey Angkatan Kerja Nasional.
SD Sekolah Dasar.
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah.
SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
SMA Sekolah Menengah Atas.
SUPAS Survey Penduduk Antar Sensus.
SUSENAS Survey Sosial Ekonomi Nasional.
TPT Tingkat Pengangguran Terbuka.
UI Universitas Indonesia.
UKM Usaha Kecil Menengah.
UN United Nations.
UNICEF United Nations
Children’s Emergency Fund.
International
UNPF United Nations Population Fund.
UPT Unit Pelaksana Teknis.
UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah.
UU Undang-Undang.
Urbanisasi Perubahan secara keseluruhan
atau transformasi tatanan masyarakat
yg semula dominan perdesaan menjadi
dominan perkotaan; arti terbatas juga
disebut pertambahan penduduk suatu kota
sbg akibat migrasi penduduk dr daerah
perdesaan sekitarnya atau krn perpindahan
penduduk dr kota lain. (Kamus Tata Ruang,
Kemeterian Pekerjaan Umum). WHO World
Health Organization. YEL Yayasan Emong
Lansia.
SMK Sekolah Menengah Kejuruan.
SMP Sekolah Menengah Pertama.
SOPD Struktur Organisasi Perangkat Daerah.
SP Sensus Penduduk.
SPN Sistem Perkotaan Nasional.
SPP Sistem Pelayanan Perkotaan.
105
vii
Daftra Pustaka
Adioetomo, Sri Moertiningsih S. 2005. Bonus Demograi: Menjelaskan
Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan
Ekonomi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ekonomi
Kependudukan pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 30
April.
Alisjahbana. Sumbangan Ekonomi Sektor Informal. (http://digilib.unipasby.
ac.id/download.php?id=164, Diakses pada tanggal 26 Agustus 2014,
Pukul 12.12 am)
Anonim. 2014. Proil Perempuan Indonesia 2013. Kerjasama Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat
Statistik.
Anonim. 2014. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Kerjasama
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan
Badan Pusat Statistik.
Anonim. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.
Bappenas Anonim. Rencana Pembangunan JangkaMenengahNasional
2010-2014. Bappenas Anonim. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025. Bappenas
Arriaga, Eduardo. 1975. The Measurment of Urbanization and Projection
of Urban Population. International Union for the Scientiic Study of
Population.
Badan Pusat Statistik. 1972. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk
1971. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1982. Penduduk Indonesia: Hasil
Sensus Penduduk 1980. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1992. Penduduk
Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1990. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 1999. Penyempurnaan Konsep Perkotaan dan
Perdesaan. Mimeograph. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2002. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk
2000. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Indonesia: Hasil
Sensus Penduduk 2010. Jakarta.
Bahri, Syamsul (2012). Pembangunan Perkotaan dan Pedagang Kaki Lima
(PKL) Suatu Kajian Intervensi
106
viii
Bappenas. 2010. Rencana Pembangunan JangkaMenengahNasional 20102014. Jakarta.
Bappenas. 2014. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019 Bidang Pembangunan PerkotaandanPerdesaan.
Unpublished draft. Jakarta
Distribusi Penduduk menurut Wilayah Perkotaan dan Perdesaan SP 2010.
http://www.sp2010.bps.go.id. 1 Agustus 2014.
Hilda. 2012 Surabaya Kota Ramah Lansia. Gapura Majalah Pemerintah Kota
Surabaya. ISSN 1978-3663. Vol XLIV. No.66 Oktober 2012.
International Labour Organization. 2004. Laporan Mengenai Tenaga Kerja
Muda di Indonesia: Data Terbaru. Jakarta.
James N. Gribble dan Jason Bremner. 2012. Achieving A Demographic
Dividend. Population Bulletin, PRB (Population Reference Bureau ).
Unicef. 2012.
ProilAnak Indonesia Tahun 2013.
ProyeksiPenduduk Indonesia Tahun 2005-2025. 2008. Jakarta. Bappenas.
Nugroho, Sidiq. 2012. PenyusunanEkonomiKreatif Kota Surakarta. Surakarta.
Bappeda.
Rolis, Ilyas. 2013. Sektor Infromal Perkotaan dan Ikhtiar Pemberdayaannya.
Jurnasl Sosiologi Islam Vol 3 No. 2 Oktober 2013. ISSN : 2089-0192.
Saefullah, Djadja. 1996. “Mobilitas Internal Nonpermanen”. Dalam Aris Ananta
dan Chotib.
Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demograi FEUI dan
Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Setiawan. Nugraha. 2008. Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia dan
Implikasinya terhadap Analisis Urbanisasi. Mimeograph.
Shryock, Henry s. and Jacob S. Siegel. 1976. The Methods and Materials of
Demography. New York: Academic Press.
SiaranPers : Rencana Pengembangan EkonomiKreatif 2015-2019. 2014.
kemenparef.go.id
Simanjuntak. 2012. StatistikaKepemudaan 2010, Jakarta. BadanPusatStatistika.
107
ix
Subiyakto, Rudy. 2012. “Membangun Kota LayakAnak: Studi Kebijakan Publik
di Era Otonomi Daerah”. Sosio-Religia. Vol. 10. No. 1. Februari.
Survey Penduduk Tahun 2010. Badan Pusat Statistika. Jakarta.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1998. Mobilitas Sebagai Tantangan Kependudukan
Masa Depan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi
pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Depok, 21 Oktober.
Wibowo, A. Kerentanan Lingkungan Laut Tiap Provinsi Di Indonesia. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm. 145-162, Juni 2012.
Bogor, FPIK-IPB.
108
x
109
xi
109
xi