METAFISIKA MENURUT PARA FILOSOF
BARAT DARI DESCARTES HINGGA DERRIDA
Makalah:
Disusun untuk melengkapi tugas matakuliah
Metafisika
\
Oleh
Nurhalimah
:
: E97216025
Dosen Pengampu;
Suhermanto Ja’far, M. Fil.I
PROGRAM STUDI ILMU TASAWUF
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan kepada
kita. Tuhan yang Maha Pengasih dan Tak Pilih Kasih, Maha Penyayang yang tak
pandang sayang. Yang telah memberikan akal dan hati sebagai salah satu
instrumen untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas rahmat-Nya, penulis
mampu menyelesaikan tugas makalah ini, guna memenuhi tugas mata kuliah
Tasawuf Sunni. Dan tak lupa shalawat serta salam tetap kita curah, limpahkan
kepada sang revolusioner dunia, pemberi syafa’at kelak di hari kiamat The Leader
of World Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelepan
menuju terang benderang dengan adanya agama Islam.
Penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak. Terutama dosen
pembimbing kami Suhermanto Ja’far, M. Fil.I yang senantiasa membimbing
kami dalam menyelesaikan makalah ini, dan teman-temanku yang selalu
memberikan motivasi. Makalah yang berjudul Metafisika menurut pandangan
para filosof barat dari Rene Descartes hingga Derrida ini, masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi susunan bahasa, isi, yang tak lain penulis masih belajar.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun
untuk kemajuan penulis kelak di masa depan terutama dari Dosen Pembimbing.
Surabaya, 31 Mei 2017
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
C. Tujuan ............................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Descartes ........................................................................................................ 6
B. Spinoza ........................................................................................................... 7
C. Leibniz ........................................................................................................... 8
D. David Hume ................................................................................................... 9
E. Immanuel Kant ............................................................................................... 11
F. Hegel .............................................................................................................. 12
G. Marx ............................................................................................................... 13
H. Royce ............................................................................................................. 14
I. Husserl ........................................................................................................... 15
J. Scheler............................................................................................................ 16
K. Heidegger ....................................................................................................... 17
L. Jaspers ............................................................................................................ 18
M. Sartre .............................................................................................................. 19
N. Whitehead ...................................................................................................... 20
O. Derrida ........................................................................................................... 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 23
B. Saran .............................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sepanjang sejarahnya manusia tidak akan pernah terlepas dengan
sesuatu yang transenden atau sesuatu yang berada di luar ruang dan waktu.
Apalagi jika kita mengingat bahwa penglihatan indera kita yang terbatas,
sehingga tidak mampu melihat sesuatu yang tidak mampu dilihat. Selain itu,
manusia seringkali mempertanyakan siapakah manusia, apa tujuan manusia
diciptakan? Terkadang manusia juga mempertanyakan tentang tubuh dan jiwa,
dan pertanyaan inilah melahirkan dan memberikan semangat kepada manusia
untuk mencari tahu ada apa sebenarnya.
Sebenarnya istilah metafisika berasal dari kata “meta” dan fisika yang
berarti berada sesudah fisika. Hal ini, terjadi ketika Andronikus dari Rodox
menyusun karya Aristoteles yang tersisa sejumlah 14 karya dan dinamakan
metafisika. Jadi istilah ini, bisa dikatkan hanyalah kebetulan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa istilah metafisika berasal dari bahasa
latin yakni metha dan fisika yang berarti di luar fisika. Tentu yang terbersit
dalam istilah ini, berarti kajian yang membahas tentang kenyataan. Tepatnya
sebagai aspek penguji kenyataan yang ada seperti halnya ruang dan waktu, jiwa,
dan materi, ada (being), eksistensi, perubahan, substansi, dan sifat, aktual dan
potensia, dan sebagainya. Metafisika pada dasarnya mengkaji tentang perbedaan
antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality). Karena belum tentu
apapun yang nampak terlihat oleh kita dapat dipastikan adanya. Oleh karena itu,
untuk membuktikan hal ini, maka metafisika dituntut untuk mengungkap ada apa
sebenarnya, di balik sesuatu yang ada ini.1
Manusia ketika dihadapkan dengan ssuatu fenomena-fenomena yang
berada di luar pemikiran mereka. Manusia merasa tergugah untuk segera
1
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet 2, 2012), 58.
4
menyelidiki dan berusaha memecahkan masalah yang tidak bisa diselesaikan
dengan akal rasio kita. Jadi tidaklah mengherankan jika para ilmuan, saintis, dan
para filosof berlomba-lomba memecahkan masalah ini.
Dalam perkembangannya metafisika mengalami perdebatan sejarah yang
sangat panjang dan bisa dikatakan tidak dapat diukur kepanjangannya. Kajian
mengenai metafisika pada umumnya berporos kepada pertanyaan mendasar
mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang dikaji.
Terminologi ini terlihat tidak jenuh-jenuhnya menjadi bahan diskusi yang
sangat riunyam dibahas oleh para saintis dan filosof. Dari dahulu hingga kini,
kerap kali menjadi pembahasan yang rumit, begitu pula di masa modern juga
mengkaji masalah metafisika yakni mulai Rene Descartes hingga saat ini,
bahkan para ilmuan barat juga berlomba-lomba dalam mengkaji metafisika.
Akan tetapi, mengenai pemaknaan metafisika bervariasi dan setiap masa dan
para filsuf yang mengkaji memiliki pandangan yang berbeda.2
Perlu kita ketahui pula bahwa kajian metafisika memiliki peranan yang
sangat signfikan dalam kehidupan manusia, bahkan dikatakan tidak bisa
dihindari. Sebagian berpandangan bahwa metafasika merupakan landasan dalam
pengetahuan. Selain itu dengan metafisika dapat memecahkan masalah-masalah
dalam kehidupan ini, misalnya pertanyaan mengenai Tuhan.3
Dalam makalah singkat ini, penulis akan memaparkan anggapan para
filosof Modern terhadap metafisika, dari Rene Descartes hingga Derrida. Tentu
dalam pemikirannya mereka semua memiliki perbedaan dan sekaligus
persamaan. Dalam makalah ini terdiri dari tiga bab, bab pertama menjelaskan
pendahuluan, kedua mengenai pembahasan, dan yang ketiga penutup, yang
berisi kesimpulan dari keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana tanggapan para tokoh terhadap metafisika?
C. Tujuan
Untuk memahami tanggapan para filosof terhadap kajian metafisika.
2
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika di unduh pada tanggal 28-05-2017, pukul 11.14
Ibid.., 61.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rene Descartes
Descartes merupakan seorang pemikir rasionalisme. Tujuan fundamental
Descartes cukup jelas yakni mencapai kebenaran filosofis dengan menggunakan
akal budi. Descartes mengusung teorinya tentang cogito ergo sum yakni “aku
berpikir maka aku ada” dalam artian di sini bahwa eksistensi berpikir lebih
penting dari apapun. Realitas manusia tergantung pada pemikirannya.4
Sumbangan terbesar Descartes bagi metafisika modern adalah mengenai
“self” (ego) yakni sebagai titik tolak kefilsafatan yang besar. Mengapa Descartes
mengusung istilah self yang menjadi ide utama dalam pemiikiran Descartes,
karena menurutnya kebenaran dan kepastian itu, haruslah bersifat subjektif dan
personal. Inilah yang membedakan metafisika modern dengan sebelumnya. Hal
ini terlihat Descartes sebagai tokoh modern menjadi pelopor pembeda, dengan
metafisika yang dicanangkan sebelumnya.5
Menurut Descartes kajian mengenai metafisika merupakan pondasi dari
filsafat dan sains lainnya. Karena hanya melalui metafisikalah manusia mampu
mencerna pengetahuan. Descartes juga mengatakan bahwa kajian metafisika
haruslah matematis6 dalam artian menunjukkan suatu kepastian. Metafisika harus
di mulai dari suatu kebenaran yang tidak hanya jelas, tetapi dalam arti tertentu
menjadi jelas dengan sendirinya. Oleh karena itu proposisi metafisika haruslah
menunjukkan kepastian yang matematis. Dalam kajian Descartes memiliki dua
argumen
mengenai
“matematis”.
Pertama,
berkaitan
dengan
kepastian
demonstrasinya, dan kedua, alasan evidensi. Descartes beranggapan bahwa objek
matemaies merupakan suatu hal yang jelas dan tidak perlu diragukan. Dalam
4
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet I, 1998), 26.
Ibid.., 26.
6
Tidak mengherankan jika Descartes beranggapan bahwa metafisika haruslah bersifat
matemates dan menunjukka suatu kepastian, mengingat ia sangat menyukai matematika.
5
6
kajiannya tentang metafisika Descartes terlihat meletakkan metafisika di bawah
pengaruh epistemologi.7
Indikasi pemikiran Descartes mengenai Cogito ergo sum “Aku berpikir,
maka Aku ada” dalam perkataan Descartes ini, ia terlihat lebih mementingkan
atau mengedepankan rasio. Dalam hal ini, Descartes terlihat meragukan terhadap
segala sesuatu. Manakala aku meragukan bahwa aku sedang melakukan kerja
berpikir dan kerja berpikir ini mesti ada pelaku yang memiliki pemikiran, aku
mesti ada karena aku berpikir. Dari sini terlihat Descartes menetapkan wujud jiwa
dan bukan badan, karena ia berbicara tentang zat yang berpikir dan bukan badan
yang diindera.8
B. Spinoza
Seperti yang dilakukan Descartes, Spinoza ingin mencari sesuatu yang
pasti dan beranggapan bahwa setiap langkah dari pencarian kepastian, merupakan
satu-satunya jaminan bagi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, Spinoza tidaklah
mencetuskan teori seperti halnya Descartes.9
Pemikiran Spinoza tentang Ketuhanan berangkat dari pemikiran
metafisika. Akan tetapi jika dibandingkan dengan pemikiran Descartes, Spinoza
sepertinya berbeda. Spinoza menyakini bahwa tanpa jaminan dari eksistensi
Tuhan, tidak terdapat dasar bagi pengetahuan rasional tentang alam; pandangan
ini terlihat hampir sama dengan Descartes. Perbedaannya, jika Descartes
memandang kebaikan Tuhan akan menjamin, bahwa pemikiran kita tidak akan
tertipu apabila kita tidak menipu diri kita sendiri. Sedangkan bagi Spinoza sendiri,
Tuhan atau substansi10 tidaklah terbatas, dapat dipahami dengan berpikir secara
hati-hati, sebab ia adalah alam rasional, sifat-sifatnya berkembang dalam
pemikiran. Dalam anggapan Spinoza mengenai Tuhan tidak dimulai dari pikiran,
7
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 27-28.
Fu’ad Farid Is a’il da Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat Barat dan Islam,
(Jogyakarta: IRCSoD, Cet 2, 2012), 73.
9
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 31.
10
Substansi secara etimologi berasal dari kata latin substare, dalam bahasa Yunani Hypostasis,
yang berarti berdiri di bawah . Dala filsafat berarti ke yataa ya g e opa g segala gejala,
tidak berakar lagi dalam suatu lapisan kenyataan yang lebih mendalam.
8
7
akan tetapi langsung pada esensinya sendiri. Ia beranggapan bahwa ia dapat
mengetahui esensi dan eksistensi Tuhan itu.11
Spinoza juga memaparkan mengenai substansi, menurutnya manusia
mampu mengenal substansi yakni melalui sifat dasar atau atribut-atributnya atau
modus-modusnya. Atribut-atribut ini mengekspresikan Tuhan secara tidak
terbatas dengan cara yang sempurna sehingga mampu dikenal oleh akal budi
manusia. Mengenai substansi, Spinoza setuju dengan pendapat Descartes, yakni
substansi yang dapat dikenal manusia, hanyalah atribut materi dan jiwa.12
Mengenai substansi Spinoza mempercayai bahwa hanya terdpat satu
substansi. Suatu yang ada dapat dikecilkan menjadi suatu realitas yang disebutnya
substansi. Terkadang dia menyebutnya Tuhan atau alam. Dengan demikian,
Spinoza tidak menyimpan pandangan dualistik mengenai realitas seperti halnya
Descartes.13
Spinoza dalam filsafatnya mengidentikkan Tuhan dengan alam itu sendiri.
Sehingga tidak ada bedanya Tuhan dengan alam. Tuhan bukanlah pencipta akan
tetapi Tuhan adalah alam itu sendiri. Di sini terlihat Tuhan dan alam tidak ada
bedanya dan tidak ada jarak yang riil antara Tuhan dan alam.14
C. Leibniz
Leibniz di sini, juga membahas tentang substansi, akan tetapi dia berbeda
pendapat dengan Spinoza. Jika Spinoza menganggap bahwa substansi itu
hanyalah Tuhan dan alam. Sedangkan Leibniz mengatakan tiga yakni Tuhan,
pemikiran, dan keluasan. Mengenai tentang Dunia, ia beranggapan bahwa dunia
ini sudah ada sebelumnya. Yang diciptakan Tuhan sebelumnya.15
Salah satu pemikiran yang dicanangkan oleh Leibniz yakni tentang
substansi. Menurutnya semua manusia memiliki substansi yang ia sebut sebagai
monad (monos= satu, monad= satu unit), jika dalam pandangan matematika unit
11
Ibid..,33.
Ibid.., 34.
13
Jostein Gaarder, Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat, terj Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan
Pustaka, Cet XII, 2014), 392.
14
Barangkali yang dimaksud Spinoza, Tuhan memanifestasikan kekuasaan-Nya dalam bentuk
alam. Dalam artian alam ini merupakan cermin Tuhan. Atau seperti dala sebuah hadis aku
lebih dekat dari pada urat adi leher u .
15
Fitri Ismawati, Pemikiran Leibniz, dalam makalah, 2012, 4.
12
8
yang terkecil disebut titik, sedangkan dalam fisika disebut atom.16 Akan tetapi,
dalam metafisika disebut monad.17 Yang dimaksud terkecil di sini, bukanlah
mengenai ukuran, melainkan
sebagai ketidak luasaan, jadi yang dimaksud
terkecil bukanlah benda.18
Menurut Leibniz antara monad yang satu dengan yang lain berbeda dan
mengenai Tuhan (Supermonad dan satu-satunya monad yang tidak diciptakan)
adalah pencipta semua monad. Tidak memiliki kualitas dan hanya Tuhan yang
memahami semua monad. Tuhan membuat monad berbeda agar mudah
dibedakan. Prinsip yang digunakan Leibniz merupakan prinsip kontroversi yakni
“prinsip identitas yang tidak dapat dibedakan”. Lantas di sini, tidak mengherankan
tentang pendapat Leibniz yang mengatakan bahwa antara monad yang satu
dengan yang lain berbeda, dalam artian tidak ada satupun monad yang memiliki
sifat yang sama. Tuhan pun membedakan antara monad yang satu dengan yang
lainnya. Solomon mengatakan pendapat Leibniz tentang monad sangatlah rumit
dan asing.19
Mengenai konsep Tuhan, Leibniz beranggapan, bahwa eksistensi Tuhan
dapat dibuktikan dengan jelas. Filsafat yang dibawa Leibniz merupakan filsafat
yang menggunakan logika dalam mengkaji metafisika.20Menurutnya hanya
Tuhanlah yang tak terbatas yang dapat hidup mandiri dan independent yang tidak
bergantung kepada apapun. Dengan kata lain, di mata Spinoza Tuhan bersifat nirbatas secara mutlak dan sebab bagi dirinya sendiri.21
D. David Hume
David Hume sebagai tokoh empirisme, bukan hanya mencanangkan
teorinya, akan tetapi ia juga sempat mengkritik filsafat Descartes tentang cogitoaku berpikir, maka aku ada-sebagai seluruh pondasi filsafat Descartes. Dengan
16
Atom merupakan zat kecil yang dapat dipisah-pisahkan, sumber guru smp.
Monad merupakan sebutan substansi terkecil dalam metafisika yang cukup diri dan terisolasi
diri dan tidak saling berinteraksi dengan substansi-substansi yang lain. Ia tidak berkeluasaan apaapa. Ia semacam dengan daya purba.
18
Fitri Ismawati, Pemikiran Leibniz, dalam makalah, 2012, 1-2
17
19
20
21
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 46.
Wa Ode Zainab ZT, Tuhan dalam perspektif, Leibniz, Spinoza, dan Barkeley, dalam makalah, 4.
9
tangkas Hume menjatuhkan pendapat Descartes ini. Descartes bukan hanya gagal
mendasarkan gagasannya atas diri sebagai benda berpikir, pada kesan indra, dia
sejauh ini tidak mampu membuktikan gagasannya. Seperti yang dikemukakakan
Hume, bahwa gagasan itu bersifat permanen. Namun ia juga menanbahkan,
“Tidak ada kesan yang konstan dan berubah..”, semua kesan itu berubah, berbeda,
dan sementara saja. Oleh karena itu, gagasan tak mungkin berasal dari salah satu
kesan tersebut, dan sesungguhnya tidak ada gagasan semacam ini.22
Sumbangan Hume dalam metafisika yakni mengenai tentang self. Dia
tidak membedakan mengenai self dan person. Yang dimaksud self dan person bagi
Hume merupakan personal identity. Hume mengkritik tentang “Saya berpikir
maka saya ada” ternyata tidaklah tepat. Hume menanyakan apakah eksistensi
“saya” dapat direalisasikan dalam bentuk pemikiran? Ketika ia meneliti
pemikirannya sendiri, ternyata Hume menemukan banyak unsur yang terpisah,
seperti halnya kesan, ide, dan pelbagai kegiatan yang diperlihatkan dalam segala
hubungan. Akan tetapi, Hume tidak menemukan kesan atau ide yang sesuai
dengan “saya” yang kita nyatakan eksistensinya. Lantas yang terbersit dalam
pemikiran Hume, bahwa saya berada bukan dalam kesan atau gagasan. Dengan
demikian terlihat begitu jelas, pandangan Hume tidak menyamakan self dengan
impresi atau kesan-kesan.23
Hume berkata “Manusia itu bukanlah apa-apa selain kumpulan persepsi
yang berbeda, yang saling bergantian dengan kecepatan yang tak terbayangkan,
dan berada di dalam perubahan dan pergerakan yang terus menerus.” Inilah teori
“kumpulan persepsi” tentang self yang terkenal dari pemikiran Hume. Hume
sendiri pernah berkata “Pikiran ini semacam teater, yang persepsinya secara
bergantian muncul, meluncur, dan tergabung dalam keragaman postur dan
keadaan yang tak terbatas.”24
22
Thelma Z. Lavine, David Hume Risalah Filsafat Empirisme, terj Andi Iswanto dan Deddy Andrian
Utama, (Yogyakarta: Jendela, Cet I, 2003), 66.
23
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 56.
24
Thelma Z. Lavine, David Hume Risalah Filsafat Empirisme, terj Andi Iswanto dan Deddy Andrian
Utama, 67.
10
Hume menegaskan bahwa self tidak dapat dipisahkan dengan persepsi.
Tidak ada self tanpa persepsi, self akan hilang apabila tidak ada perasaan apa pun.
Dia juga menolak anggapan bahwa jiwa atau pikiran adalah tempat untuk melihat
self identity. Ia berpendapat bahwa pikiran lebih beragam dan inkonsisten dari
pada penyerapan kita.25
E. Immanuel Kant (1724-1804 M)
Tokoh yang satu ini terlihat lumayan berpengaruh dalam dunia filsafat.
Kant tergolong filsuf eksistensialis Jerman, yang berpengaruh dan produktif
dalam menulis karangannya. Dalam salah satu karyanya yang berjudul Kritik der
Reinen Vernunft, ia membatasi pengetahuan manusia, atau apa yang bisa diketahui
manusia.26 Terkadang Kant mempertanyakan, apakah metafisika itu mungkin?
Untuk mencoba menjawab hal ini, Kant menggunakan kritik sistematis tentang
pemikiran dann akal manusia. Kant lebih menekankan terhadap epistimologi
dibanding dengan metafisika.27
Perlu kita ketahui bahwa kemunculan filsafat Kant dipengaruhi oleh
pemikiran para rasionalisme dan empirisme. Akan tetapi, dalam pemikiran Kant,
tidaklah seperti keduanya. Karena menurut Kant keduanya ini memiliki
kesalahan. Jika rasionalisme lebih mementingkan rasio sehingga tidak
memperhatikan pengalaman. Sedangkan empirisme, lebih mementingkan
pengalaman, akan tetapi tidak memiliki konsep untuk mnenggambarkan
pengalaman itu sendiri. Oleh karenanya, Kant ingin mengatasi dua permasalahan
tersebut. Dari satu sisi ia mempertahankan ke objektivitas, universalitas, dan
keniscayaan pengertian; dari lain pihak ia menerima bahwa pengertian bertitik
tolak dari fenomena, dan tidak dapat melebihi batas-batasnya. Pengetahuan
menurut Kant dapat diperoleh dengan cara memadukan antara konsep dengan
pengalaman. Penulis seanggapan dengan Kant, karena ketika manusia hanya
menekankan kepada salah satunya, tentu akan terjadi ketimpangan. Kant
menyebut perpaduan konsep dan pengalaman dengan sebutan “transendental”,
25
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 56.
Ali Maksum, Pengantar Filsafat.., 142.
27
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat.., 59.
26
11
dalam artian tidak dapat dikatan sebagai suatu proses akan tetapi dianalogikan
sebagai akibat.28
Sedangkan dalam kajian metafisika, Kant berpendapat, bahwa metafisika
haruslah menjadi ilmu atau teori tentang prinsip matematika dan pengetahuan
alam. Ia menghendaki, agar supaya metafisika menjadi “metafisika ilmiah”,
artinya bahwa proposisi-proposisi metafisika haruslah memenuhi syarat ilmiah,
sehingga dapat diverifikasi tetapi tetap adikuat.29
Dalam hal pembuktian adanya Tuhan, Kant menolak pendapat sebelumsebelumnya mengenai argumen fisikoteologis, kosmologis, dan ontologis.
Kemudian dia juga menambahkan, bahwa pembuktian Tuhan berdasarkan
terhadap data-data empiris tidaklah sah secara teoritis. Pembuktian yang bersifat
seperti ini, hanyalah melihat dari segi kulitnya saja, dan tanpa melihat esensinya.
Lantas jalan manakah yang harus dilalui untuk pembuktian adanya Tuhan.
Menurut Kant kajian ini bukanlah pembahasan teoritis, melainkan masalah
keimanan yang hanya bisa dibuktikan melalui akal budi praktis murni.30
F. Hegel (1770-1831)
Filsafat Hegel dibangun dari suatu keyakinan dasar tentang “kesatuan”
unity. Universe sebagai sebagai simbol kesatuan yanng merupakan manifestasi
dari “Yang Mutlak”. Dalam hal ini, yang parsial bukanlah diartikan sebagai ilusi,
akan tetapi, yang parsial hadir sebagai tahap perkembangan menuju kepada
kesatuan, dalam artian yang parsial hanya mampu dipahami dalam rangka
kesatuan.31
28
Ibid.., 61.
Ibid.., 65. Ia beranggapan seperti ini, karena menurutnya sebelum ini metafisika hanyalah
berputar-putar dalam kajiannya. Dan tidak mampu membuming seperti halnya matematika dan
pengetahuan lainnya. Tokoh-tokoh sebelum Kant hanyalah melakukan kritik saja. Dan Kant di sini,
ingin mengakhiri hal itu, sehingga Kant berusaha menerapkan metode ilmu alam untuk mengkaji
metafisika.
30
Fitzarald Kennedy Sitorus, Filsafat Kritisisme Kant; dari Subjek yang Kosong hingga Tuhan
sebagai Postulat, dalam makalah Salihara 2016, 13-14. Persoalan terhadap adanya Tuhan,
menurut penulis, termasuk dalam kajian keimanan. Karena ketika kita mencoba memahami
Tuhan dengan penglihatan, kita hanya bisa melihat ciptaannya saja. Begitu dengan akal, akal kita
terbatas. Sedangkan kajian Tuhan hanya dapat diketahui oleh Tuhan sendiri.
31
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 72.
29
12
Mengenai kajian metafisika menurut Hegel merupakan suatu hal yang
mungkin. Teori yang dicanangkan oleh Hegel yakni teori tentang idealisme
absolut. Seperti yang kita ketahui, idealisme merupakan suatu nama, tepatnya
jenis teori metafisika yang mengakui bahwa realitas merupakan rasional, logis,
atau spiritual.32Menurut Hegel Yang mutlak bukanlah sebagai the thing-in it self
(ada dalam dirinya sendiri), bukan sesuatu kekuatan yang transenden, dan bukan
pula ego subjektif, yang-mutlak merupakan proses dunia di dalam dirinya sendiri
yang aktif, dan inilah yang dimaksud Hegel “ide Absolut.”33
Dalam pemikirannya Hegel menggunakan teori dialektika, dialektika
menginginkan bagaimana sekiranya suatu teori dapat membuat praxis. Menurut
Hegel teori seperti ini, haruslah berpangkal terhadp realitas. Ruh yang awalnya
berpisah dari dunia, kemudian menyatakan diri ke dalam raealitas dengan
mengakui non ada, yang demikian menjadi semakin kental.34
Beberapa literatur mengatakan bahwa dengan metafisikalah Hegel
mencoba membangun sistem pemikirannya, yang mencakup pelbagai hal
termasuk ilmu pengetahuan, budaya, agama, konsep kenegaraan, etika, sastra, dan
sebagainya. Selain itu, ia meletakkan ide atau ruh atau jiwa sebagai realitas utama,
dengan instrumen inilah ia mencoba membuka tirai kebenaran absolut, dengan
menembus batas-batas individual atau lebih tepatnya parsial. Kemandirian bendabenda yang terbatas bagi Hegel, hanyalah sebagai ilusi, tidak ada yang benarbenar nyata kecuali keseluruhan.35
G. Marx
Filsafat yang diemban Marx termasuk ke dalam filsafat materialisme, akan
tetapi pandangan Marx tentang materialisme tidaklah seperti toeoh materialisme
mekanis, yang menganggap manusia sebagai mesin. Sehingga manusia hanyalah
dinilai secara hukum fisika dan kimia. Menurut sebagian literatur, materialisme
sebelum Marx dianggap gagal dalam memahami dan menjelaskan perkembangan,
32
Thelma Z. Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre, terj Andi Iswanto dan Deddy
Andrian Utma, (Yogyakarta: Jendela, Cet I, 2002), 201.
33
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 72.
34
Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum, (Jakarta: Kencana, Cet III,
2003), 386.
35
Lisa Untari, Dialektika Hegel, dalam makalah, 4.
13
dan gagal menginterpretasi persoalan sosial. Sedangkan konsep materialisme yang
diusung Marx, justru lebih mengakui peranan subjek yang aktif, yakni manusia
dijadikan kunci untuk memahami realitas dan materi.36
Teori yang dibawa Marx yakni tentang teori dialektika materialisme atau
yang dikenal sebagai “teori ilmiah.” Teori ini bisa dikatakan sebagai pengetahuan
tentang hukum-hukum perkembangan yang memungkinkan untuk menganalisa
masa lalu, mengerti dengan benar apa yang terjadi sekarang dan meramalkan
masa depan. Prinsip dasar dialektika Marx yakni mengenai perubahan dalam hal
kuantitas dapat menelorkan perubahan dalam hal kualitas. Dalam hal ini, terlihat
bahwa perubahan suatu kejadian pada taraf kuantitatif. Dengan adanya perubahan
yang terjadi secara dialektis dari kuantitas menuju kualitas merupakan sesuatu
yang sangat penting, dalam rangka memahami proses perkembangan, karena
dengan hal ini, dapat menjelaskan munculnya kualitas baru, tanpanya
perkembangan tidak akan terjadi.37
Mengenai pendapat tentang alam sebagai simbol keilahian dan berbicara
secara teologis menurut Marx termasuk dalam kategori prailmiah. Selain
menentang hal itu, Marx juga sempat menentang posistivisme karena menurutnya
positivisme berakhir terhadap “skeptisisme ilmiah” dan gagal mempengaruhi
masyarakat. Jika positivisme tertarik menjelaskan hukum-hukum alam, sedangkan
materialisme yang diusung Marx meletakkan perhatian terhadap perubahan dan
reinterpretasi proses alam.38
H. Royce
Meskipun pemikiran Royce terlihat terpengaruh dari beberapa pemikir
besar seperti halnya Scopenhauer, William James. Akan tetapi, ia mengakui
bahwa filsafat Kant yang sangat dominan mempengaruhi dirinya. Akan tetapi,
tidak bisa digolongkan pemikiran Royce termasuk Kantian, walaupun ia
terpengaruh pemikiran Kant, justru Royce memberikan kritik dan pembenaran
terhadap filsafat Kant. Dalam hal ini, terlihat dalam salah satu karya Marx World
and The Individual Royce yang menganalisis tentang ide. Dalam pandangan Kant,
36
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 80.
Ibid.., 84.
38
Ibid.., 81.
37
14
ide-ide mengenai Tuhan, dunia, dan aku yang disebutnya sebagai “ide-ide
transendental”. Ide-ide ini merupakan ide regulatif sebagai prasyarat pengalaman
yang mungkin dan memungkinkan pengalaman. Secara spontanitas Royce
menolak anggapan yang dikemukakan Kant. Karena menurut Royce, ide bukanlah
suatu entitas kognitif murni, karena ide-ide ini memiliki sisi motorik hidup. Ide
menurutnya merupakan suatu permulaan timbulnya perbuatan. Ide memiliki sikap
representasi terhadap fakta-fakta, Royce menyebutnya sebagai “makna eksternal
ide.” Sedangkan ide yang mewujudkan disebut “makna ide internal”.39
Royce berpendapat bahwa alam ini merupakan bentuk perwujudan suatu
sistem absolut, ide-ide yang ada dalam dirinya sendiri merupakan pemenuhan
suatu maksud parsial; oleh karenanya dunia ini selalu bersifat intersubjektif.”
Apapun yang tersaji dihadapan kita, tetapi tidak dapat kita cermati sebagai faktafakta luar yang merupakan ekspresi dari “Yang Absolut”.40
Dalam karyanya The Religius Aspect of Philoshopy Royce memberikan
deskripsi mengenai tentang Yang Absolut. Yang dimaksud Royce tentang “Yang
Absolut” adalah Tuhan, Yang satu dan total. Yang Absolut seringkali
digambarkan dengan diri yang sadar. Yang absolut mengacu terhadap terma
“pikiran.” Yang absolut merupakan pemenuhan dari ide-ide yang parsial.
Sehingga jika penulis kaji, pemikiran Royce mengenai ide bersifat teologis
khusus. Konsep inilah yang Royce sebut sebagai konsep Being.41
I. Eddmund Husserl (1859-1938)
Mengenai teori filosofis Husserl tentang dunia yang tampak ini.
meurutnya dunia yang tampak oleh indera kita ini tidaklah memberikan suatu
39
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisiak Barat, 90. Misalnya kita memiliki ide tentang gunung
merapi. Secara alamiah kita n=berpikir tentang ide gunung berapi, maka ide ini engacu dan
ereprese tasika suatu realitas ekster al yak i gu u g aktual. I ilah ya g di a aka
ak a
ekster al ide . “eda gka makna internal ide, misalnya kita memiliki ide menggambar, ide ini
dapat dijelaska sebagai pe e uha
aksud parsia. I ilah ya g di aksud de ga
ak a
i ter al ide .
40
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 91. Yang dimaksud Royce di sini adalah
mengenai sesuatu yang kita hadapi merupakan bentuk eksperesi dari Yang Absolut. Dalam artian
alam dunia yang kita lihat ini, merupakan salah satu manifestasi Tuhan.
41
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 91.
15
kepastian. Oleh karena itu, kita perlu mencarinya dalam erlebnisse; pengalaman
yang sadar. Di sinilah kita akan bertemu dengan “aku.” Akan tetapi, aku empiris
tidaklah murni, karena telah terpengaruh dunia. Aku ini haruslah dikurung dan
saat inilah aku murni dapat mengatasi semua pengalaman.42
Metode yang digunakan Husserl dalam filsafat adalah fenomenologi.
Dengan teorinya ini, ia ingin membuktikan, apakah pengetahuan kita memiliki
objek. Atau untuk mendapatkan objek yang murni perlu adanya penyaringan .
Dari sinilah Husserl mulai menerapkan metodenya tentang fenomenologi.43
Husserl mengatakan bahwa sesuatu yang muncul dalam kesadaran itu
disebut dengan fenomen. Fenomen menurutnya dapat dipandang dari dua sudut,
Pertama, fenomen selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas di
luar pikiran. Menurut Husserl fenomen seperti ini tidaklah perlu dipikirkan.
Kedua, fenomen dapat dipandang dalam kesadaran. Fenomen dalam jenis ini,
tidaklah dipandang sebagai penampakan barang-barang, melainkann gejala atau
penampakan di depan kesadaran. Jadi di sini terlihat bahwa fenomenologi,
tidaklah bersifat empiris atau pun deduktif, melainkan sebagai petunjuk terhadp
apa yang diberikan dan menerangkannya.44
J. Scheler (1874-1928 M)
Ia merupakan seorag murid Husserl45, namun ia juga menerima
fenomenologi, akan tetapi ia terlihat lebih bersemangat. Fenomenologi yang
dicanangkan Scheler tidaklah seperti yang dipaparkan oleh Husserl.46
Dalam mengkaji filsafat Scheler juga menggunakan pendekatan
fenomenologi. Dalam hal ini, Scheler secara garis besar memberikan tiga hal.
42
Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, Cet VII, 2014), 193. Barangkali yang dimaksud Husserl, seperti halnya dalam Islam,
tazkiyah an—nafs, aku yang ada di dunia ini terpengaruh sehingga kotor, untuk kembali ke
fitrahnya, maka perlu penyucian diri.
43
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 100.
44
Ibid.., 100.
45
Namun di karya Joko Siswanto dipaparkan bahwa Scheler tidak pernah menjadi murid Husserl
dalam arti sebenarnya. Entah bagaimana maksudnya, di lain sisi Joko Siswanto menyebutkan
Scheler bertemu degan Husserl sewaktu di Jena.
46
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj Saut Pasaribu, (Jogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, Cet I, 2002), 539.
16
Pertama, analisis tentang sifat-sifat hakiki yang ilahi. Kedua, studi tentang model
penampakan diri yang-ilahi. Ketiga, studi tentang aktus-aktus religius yang
menerima penampakan yang ilahi. Aktus-aktus inilah yang menjadi kajian utama
dalam pemikiran fenomenologi religius Sheler. Yang ia maksud tentang aktus
religius misalnya seperti berdo’a, bersyukur, beribadat, bertobat, permohonan
religius, dan sebagainya. Scheler juga mengemukakan ciri-ciri yang dimiliki oleh
aktus-aktus ini, 1) Aktus-aktus ini memiliki intensi yang transenden terhadap
dunia, 2) Yang ilahi dapat memenuhi intensi itu, 3) Aktus-aktus religius hanya
dapat dipenuhi dengan menerima suatu entitas ilahi yang menyatakan diri dan
menunjukkan dirinya kepada manusia.47
K. Heidegger (1889-1976)
Nama lengkapnya Martin Heidegger, lahir di Baden, Jerman. Ia belajar di
Konstaz, kemudian masuk universitas Freiburg, jurusan teologi. Namun tidak
lama kemudian ia beralih menekuni bidang filsafat. Pada tahun 1915 ia mulai
mengajar di bangku kuliah sesudah mendalami fenomenologi Husserl. Mengenai
filsafatnya Heidegger
dianggap sebagai prestasi monumental dan termasuk
filsafat yang berpengaruh hingga abad ini. Salah satu karyanya Being and Time
(Sein und Zeit), yang diterbitkan pada tahun 1928. Dalam karyanya inilah
Heidegger terlihat sebagai seorang fenomenolog.48
Dalam karyanya Sein und Zeit ia tidak menyebutkan manusia, akan tetapi
menggunakan sebutan “subjek, aku, persona, dan kesadaran.” Sedangkan nama
manusia disebut dengan desain. Yakni berasal dari kata sein= ada, dan kata da =
di situ. Manusia tidak ada, begitu saja tetapi secara erat bertautan dengan dengan
adanya sendiri.49
Menurut Heidegger untuk menjelaskan tentang ada itu perlu Being and
time. Struktur mengenai ada ini dibahas dalam adanya manusia yakni secara
fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger, tidak pernah
47
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 113.
Ali Maksum, Pengantar Filsafat.., 217.
49
Ibid.., 218.
48
17
terlepas dengan “waktu.” Karena menurutnya desain itu merupakan waktu itu
sendiri. Bagi Heidegger, waktu itu sama riilnya.50
Heidegger berpendapat mengenai manusia, menurutnya manusia itu
terbuka untuk dunianya dan sesamanya. Manusia menurutnya adalah “ada di
dunia.” Melalui keterlibatan dan partisipasi di dalamnya, maka dunia membentuk
adanya kita. Eksistensi manusia ditandai oleh tiga bentuk tanda besar yakni
faktualitas (keterlibatan kita dalam dunia), eksistensialitas, dan kejatuhan.
Kemampuan-kemampuan manusia yang berada di luar dirinya, karena
manusia memiliki kemampuan seperti halnya kepekaan, pengertian, pemahaman,
perkataan ataupun pembicaraaan. Yang dimaksud mengerti dan memahami adalah
manusia menyadari terhadap benda-benda di sekitarnya untuk berbuat sesuatu dan
bermanfaat pada dunia. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia yang utuh maka
manusia perlu memenuhi potensinya, meski manusia sendiri tidak mampu
merealisasikan semuanya, akan tetapi manusia berusaha sekuat tenaga untuk
mempertanggung jawabkan atas potensi yang belum teraktualisasikan.51
L. Jaspers
Karl Jaspers merupakan seorang eksistensialisme yang memiliki nalar
pemikiran yang berbeda dengan tokoh eksistensialisme pada umumnya. Ia
memulai karyanya sebagai psikiater. Jaspers berpendapat bahwa filsafat eksistensi
merupakan metafisika. Masalah utamanya yakni tentang yang-Ada. Akan tetapi,
filsafat yang pertama tidak pernah mempermasalahkan tentang hal ini “apakah
yang-Ada itu?, “Siapakah saya?. Seharusnya, manusia sedari awal sudah
menyadari, bahwa ia berada dalam situasi yang tidak pasti, oleh karena itu
manusia harus terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan. Sehingga manusia
yang menyadari akan hal ini, akan terus berusaha mencari tahu tentang yang-ada
sampai ia mendapat kepastian akan dirinya sendiri.52
50
51
Ali Maksum, Pengantar Filsafat..,219.
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 128. Ada pula yang mengatkan bahwa Sartre ini
merupakan seorang Atheis yang tidak percaya kepada Tuhan.
52
18
Terdapat tiga konsep tentang yang-Ada yakni ada-objek, ada-subjek, dan
ada dalam dirinya sendiri atau ada an sich. Ada-objek merupakan sesuatu hal
yang ada didepan saya. Dalam artian semua yang aku pikirkan, kukenal, termasuk
dalam diri yang saya objekkan. Ada-objek hanyalah fenomen dan bukanlah yangada itu sendiri. Di lain pihak kita berada dalam pengada-pengada yang lain,
karena ketika berusaha memikirkan pengada, maka kita akan memulai dari pusat
yakni dari mana gejala objektivitas dilakukan. Pusat ini menurut Jaspers tidaklah
dapat dikenal. Pusat inilah yang menjadi subjek dan tidak dapa dikenal
sebagaimana objek, yang-ada demikian ini disebut ada-subjek. Kemudian konsep
ini oleh Jaspers dinamakan sebagai eksistensi. Ada-subjek mampu mengatakan
akulah, sedangkan ada subjek tidak dapat megatakan hal ini.53
Selain keduanya juga terdapat ada dalam dirinya sendiri. Ada di sini
tidaklah bersifat terbuka, karena hal ini bukanlah gejala. Ketika kita berusaha
mengenalnya tentu ada ini akan menjadi gejala. Padahal ada di sini bukanlah
gejala. Dari konsep formal ini, bukanlah wujud, akan tetapi hanya pola-pola dari
yang-ada. Menurut Jaspers antara ketiganya tidak dapat dipisah-pisah, karena
ketiganya merupakan kutub-kutub yang-ada.54
M. Sartre (1905-1980)
Sartre dikenal sebagai tokoh eksistensialisme Perancis yang paling
representatif. Nama lengkapnya Jeal Paul Satre, lahir di Perancis pada tanggal 21
juni 1905. Tema sentral dalam pemikiran Satre adalah tentang situasi manusia
tanpa Tuhan. Fokus kajiannya terteletak kepada permasalahan-permasalahn yang
dialami manusia yang paling eksistensial. Bisa dikatakan semua pemikiran filsafat
Sartre berbicara tentang keberadaan manusia. Menurutnya hanyalah manusia yang
bersungguh-sungguh bereksistensi.55
Sartre mengemukakan teorinya tentang “eksistensi mendahului esensi”,
dalam hal ini pendapat Sartre terlihat janggal, biasanya sesuatu harus ada
esensinya sebelum keberadaannya. Lantas apa yang membuat Sartre berpikiran
53
Ibid..,128.
Ibid.., 129.
55
Ibid.., 139.
54
19
lain? Filsafat yang diemban Sartre merupakan filsafat eksistensialisme yakni
membicarakan tentang keberadaan manusia. Dalam artian wujud manusia
merupakan titik sentral kajian dalam filsafat Sartre. Karena menurutnya hanya
manusia yang mampu bereksistensi. Meskipun hewan dan tumbuhan memiliki
eksistensi akan tetapi, hewan dan tumbuhan tidak memiliki kesadaran.56
Sartre tidak percaya bahwa manusia diciptakan oleh image Tuhan atau
sesuatu yang bersifat ilahiah. Konsekuensi dalam pemikirannya, pertama, tidak
ada hakikat manusia yang human beings. Masing-masing individu menurutnya
memiliki hakikat sendiri-sendiri dan tidak memiliki hakikat universal. Kedua,
manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Ia juga pernah mengatakan bahwa
manusia adalah pencipta dirinya sendiri, manusia terus mencipta atas dasar dasar
kemauan dan kebebasannya sendiri.57
N. Whitehead
Alfred North Whitehead dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1861 di
Ransgate, Kent, Inggris dan meninggal di Cambridge, Massachusetts, Amerika
Serikat, pada tanggal 30 Desember
1947. Di tahun 1880 ia masuk Trinity
College, di Cambridge, Inggris. Di sinilah ia menekuni matematika, dan menjadi
bidang yang digeluti pertama kali. Di tahun 1910 bersama keluarganya pindah ke
London dan mengajar matematika di Universitas College. Di waktu usianya telah
menginjak 63, ia ditawari mengajar filsafat di Universitas Harvard, Amerika
Serikat. Sejak inilah ia menekuni filsafat.58
Whitehead memahami filsafatnya sebagai metafisika. Baginya, tugas
metafisika adalah “to frame a coherent, logical, necessary system of general
ideals in terms of which every element of our experience can be interperted.
(menyusun sebuah sistem yang koheren, logis dan perlu dari sejumlah gagasangagasan umum, yang dapat dipakai sebagai kerangka untuk menjelaskan semua
unsur pengalaman kita). Menurutnya sifat yang logis dan koheren mampu
56
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, 224.
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 140. Hal ini terihat dalam pandangan Sartre
bahwa manusia bebas melakukan apapun. Bahkan terlihat peranan Tuhan tidak terlalu dominan.
58
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 147.
57
20
membentuk sisi rasional dari metafisika. Sistem-sistenya tidak boleh kontradiktif
di dalam dirinya sendiri.59
Filsafat Whitehead dikenal sebagai filsafat proses, dalam pengertian yang
sederhana proses berarti terus menerus menjadi (a contiunity of becoming). Akan
tetapi, dalam pengertian Whitehead pengertian proses terkandung makna adanya
perubahan berdasarkan mengalirnya waktu (temporal change) dan kegiatan yang
saling berkaitan (interconected activities). Proses di sini saling berkaitan antara
unnsur-unsur yang membentuknya, dan kesesluruhan wujud bukan hanya sekedar
penjumlahan unsur bagiannya.60
Tuhan dipandang Whitehead sebagai actual entity. Yakni Tuhan berbeda
dengan satuan-satuan aktual yang lain, karena Tuhan memiliki dua sifat, yakni
sifat primordial dan sifat konsekuen. Dipandang dari segi primordial, Tuhan
merupakan pencipta yang tidak terbatas. Sebagai pencipta Tuhan tidak ada di
depan, dibelakang, melainkan di tengah bersama dengan segala ciptaannya.
Sedangkan jika dipandang dari segi konsekuen, Tuhan adalah awal dan tujuan,
“yang awal” dan “yang terakhir”.61
O. Derrida
Jacques Derrida lahir di El-Biar, dekat Aljazair, 15 Juli 1930. Pada tahun
1949 ia pindah ke Perancis dan menetap di sana sampai akhir hayatnya, yakni 9
oktober 2004 M. Ia meninggal dunia karena mengidap penyakit kankeer. Semasa
hidupnya ia pernah pergi ke Perancis dalam rangka kuliah hingga akhirnya
mengajar Ecole Normale Superieure di Paris. Ia dikenal sebagai fisuf Perancis dan
dia dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme, yakni sebuah ajaran yang
menyatakan bahwa semua dikonstruksi oleh manusia, termasuk bahasa. Semua
kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang
sama dan bukan di luar bahasa tersebut.62
59
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead,
(Maumere: Ledalero, Cet 1, 2002), 108.
60
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 152.
61
Ibid.., 154.
62
Ali Maksum, Sejarah Pengantar Filsafat, 280.
21
Filsafat Derrida dikenal sebagai filsafat dekonstruksi (pembongkaran).
Filsafat Derrida ini dinilai sebagai menselancarkan serangan terhadap filsafat
kehadiran, termasuk di dalamnya Hermeneutika yang disebutnya sebagai serangan
terhadap metafisika mengenai makna kebenaran. Inspirasi filsafat Derrida
terilhami oleh filsafat Heidegger mengenai Being and Time, Heidegger telah
melakukan penghancuran terhadap filsafat metafisika kehadiran yang dianut
Hegel, Husserl, dan tradisi metafisis keseluruhan. Heidegger berpendapat bahwa
sejarah tradisi mengenai metafisika yakni “lupa akan yang ada”, dalam artian
yang-ada dipandang dan diperlakukan sebagai ada-khusus yakni benda, objek.
Dalam menanggapi hal ini, Derrida tak kalah saing, ia tidak sependapat dengan
Heidegger, karena menghancurkan metafisika berarti harus membangun sistem
metafisika baru. Lantas jika Derrida lebih suka menggunakan terminologi
Dekonstruksi (pembongkaran) dari pada destruction (penghancuran).63
Dalam tradisi metafisis umumnya, yang-ada selalu dipahami sebagai
kehadiran, yakni hadir untuk sesuatu (presence for something). Biasanya
pemikiran tentang yang-ada lebih condong kearah yang-ada,yang hadir bagi
dirinya sendiri, dalam artian terlepas. Pandangan metafisis ini ditolak Derrida,
meunrut Derrida kehadiran selalu bersifat Here and now. Kehadiran bukanlah
suatu instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan. Akan tetapi,
sebaliknya ia ditampilkan dalam tuturan dan tulisan, dalam tanda yang kita
pakai.64
63
64
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 163.
Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat, 165.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian mengenai metafisika yakni tergolong dalam pertanyaanpertanyaan yang bisa dikatakan menggeliurkan. Bahkan bisa dikatakan
membingungkan. Seperti menanyakan tentang yang-ada, siapakah manusia, ada
apa di balik semua ini. Descartes dalam pandangannya mengenai cogito ergo sum,
aku berpiki maka aku ada, ia terlihat lebih menekankan kepada wujud jiwa dari
pada bentuk jiwa. Sedangkan dari pemikiran para filosof yang lainnya tidaklah
sama. Mengingat pemikiran manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda tentu
tidak mengherankan jika dari pemikiran para filosof ini berbeda pendapat. Akan
tetapi, jika penulis rasakan pemikiran dan pandagan para filosof ini saling
berkelindan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya.
Tentu pandangan para filosof yang tersebut dalam makalah ini, tentunya
memiliki pandangan atau memandang metafisika mereka dalam cara pandanagn
pemikiran filosofis mereka. Ada pula yang meniliki dari substansi, monade, dan
masih banyak lagi. Dari perbedaan pendapat mereka ini, terbukti bahwa kajian
metafisika sangatlah subtil untuk dikaji. Mengingat kajian metafisika meliputi
sesuatu yang tidak bisa dinalar oleh akal kita yang sifatnya terbatas ini. Sehingga
sebegitu menariknya untuk dikaji lebih signifikan.
B. Saran
1. Agar pembaca mempelajari metafisika secara komprehensif.
2. Agar pembaca membaca kekuasaan Allah, dengan kemampuan manusia yang
terbatas.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2012. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: RajaGrafindo Persada
C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Robert. 2002. Sejarah Filsafat. terj Saut
Pasaribu. Jogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Fu’ad. 2012. Cara Mudah Belajar
Filsafat Barat dan Islam. Jogyakarta: IRCSoD
Gaarder, Jostein. 2014. Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat, terj Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan Pustaka
Ismawati, Fitri. 2012. Pemikiran Leibniz. dalam makalah. t.t. tp.
Kennedy Sitorus, Fitzarald. 2016. Filsafat Kritisisme Kant; dari Subjek yang
Kosong hingga Tuhan sebagai Postulat. dalam makalah Salihara
Maksum,
Ali.
2014.
Pengantar
Filsafat
dari
Masa
Klasik
hingga
Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Ode Zainab ZT, Wa. t.t. Tuhan dalam perspektif, Leibniz, Spinoza, dan Barkeley.
dalam makalah. t.k. t.p
Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, Bambang. 2003. Filsafat untuk Umum.
Jakarta: Kencana
Siswanto, Joko. 1998. Sistem-sistem Metafisika Barat.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Untari, Lisa. t.t. Dialektika Hegel. dalam makalah. t.t. t.p
Z. Lavine, Thelma. 2002. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre, terj Andi
Iswanto dan Deddy Andrian Utama. Yogyakarta: Jendela
2003. David Hume Risalah Filsafat Empirisme, terj Andi Iswanto dan
Deddy Andrian Utama Yogyakarta: Jendela
24
25