Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MEMBURU KELOMPOK TERORIS, MENCARI MANUSIA KHAWARIJ: SEBUAH CATATAN PENGAMATAN ATAS CIRI-CIRI TERORIS DI TENGAH UMAT ISLAM INDONESIA Oleh Rimbun Natamarga Teroris banyak macamnya. Namun, sebutan teroris yang banyak disinggung-singgung masyarakat kita sejak tahun 2000 lalu, sebenarnya, adalah sebuah kata ganti untuk istilah Khawarij. Dan itu masih dipakai terus sampai hari ini. Apa dan Siapa Khawarij Dalam sejarah Islam, Khawarij tercatat sebagai kelompok pertama yang menyempal dari barisan kaum muslimin waktu itu. Pembelotan mereka memulai rangkaian perpecahan terus-menerus yang terjadi pada kaum muslimin. Meski mereka bukan penyebab utama, keburukan dan kejahatan mereka mendatangkan banyak petaka bagi umat Islam. Kata Khawarij adalah bentuk plural kata khariji. Dalam morfologi bahasa Arab, khariji tergolong sebagai isim subjek atau fa’il. Karena isim subjek, kata ini memiliki asal kata, yaitu kharaja-yakhruju yang berarti keluar, sebuah kata verba tak-butuh objek. Dari situ, Khawarij dapat dipastikan bermakna orang-orang yang keluar. Dalam prakteknya, istilah Khawarij dipakai untuk menyebut siapa saja yang melepaskan ketaatan dari penguasa sah kaum muslimin, meskipun sekedar menyebarkan aib-aib pemimpin itu, baik lewat ucapan, tulisan atau demonstrasi di depan publik. Biasanya, puncak dari tindakan-tindakan seperti itu adalah menggunakan senjata untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin. “Setiap pemberontak terhadap penguasa sah,” jelas Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wa An-Nihal, “yang kaum muslimin sepakat atasnya disebut sebagai Khawarij. Sama saja, dia memberontak kepada khulafa’ ar-rasyidin pada masa para sahabat (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau kepada penguasa setelah masa mereka (masa tabi’in) atau juga kepada penguasa-penguasa di setiap masa.” Akan tetapi, pengertian Khawarij tidak hanya sampai di situ. Sebutan Khawarij, biasanya, identik dengan orang-orang yang gampang mengafirkan para pelaku dosa-dosa besar selain syirik. Bahkan, para pemimpin sah dan juga ulama kaum muslimin turut dikafirkan hanya karena melakukan sesuatu yang itu dinilai sebagai dosa besar oleh orang-orang Khawarij. Dengan pengertian itu, akan masuk pula sebagai Khawarij setiap orang yang mengikuti prinsip-prinsip dan cara-cara mereka atau hanya sekedar membenarkan pemahaman mereka serta orang-orang yang menghalalkan jiwa-jiwa kaum muslimin sendiri, meski atas nama jihad fi sabilillah dan amar ma’ruf nahi munkar. Sepanjang sejarah, orang-orang Khawarij dikenal lewat beberapa sebutan, seperti Muhakkimah, Haruriyah, Mukaffirah, Al-Wa’idiyah, Sabaiyyah, Syurrat, ahlu Nahrawan, Al-Mariqah, dan An-Nashibah. Akan tetapi, sebutan-sebutan itu bukan nama-nama kelompok Khawarij. Karena alasan-alasan tersendiri, Khawarij terpecah menjadi kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok itu dinamakan sesuai dengan nama masing-masing pemimpin kelompok. Di antara kelompok-kelompok pecahan Khawarij yang muncul di awal-awal peradaban Islam adalah Al-Azariqah, An-Najadat Al-‘Adziriyah, Al-Baihasiyah, Al-‘Ajaridah, Ats-Tsa’alibah, Al-Ibadhiyah, Ash-Shufriyah Az-Ziyadiyah. Tentang kelompok Khawarij itu, dapat dikatakan, semakin belalu masa, semakin berpecah mereka. Demikian pula, semakin berpecah, akan semakin beragam nama-nama yang mereka miliki. Kita bisa saksikan itu sekarang. Ciri-Ciri Manusia Khawarij di Sekitar Kita Memperhatikan keadaan kaum muslimin di dunia pada hari ini, kita akan mendapati banyak kelompok-kelompok Islam yang memiliki ciri-ciri Khawarij. Sebagian di antara mereka memiliki beberapa ciri, sebagian yang lain memiliki semua ciri itu. Terlepas dari mereka mengakui diri sebagai Khawarij atau tidak dan merasa terpengaruh Khawarij atau tidak, yang jelas, bentuk-bentuk pemahaman Khawarij telah menjangkau ke berbagai kelompok-kelompok dalam kaum muslimin, termasuk ke tengah-tengah mereka yang mengaku sebagai Salafi. Di Indonesia kita, orang-orang Khawarij dapat hidup dan bebas menyebarkan pemikiran mereka. Dakwah mereka disebarkan ke masyarakat lewat rupa buku agama, novel Islami, buletin Jum’at, tabloid dan majalah bulanan, artikel-artikel di suratkabar, rekaman ceramah, film dokumenter, pamflet dan poster solidaritas perjuangan. Untuk mengenali mereka, setidaknya, ada beberapa ciri yang dapat kita ketahui. Pertama, orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orang-orang yang gampang mengafir-ngafirkan siapa saja dari pelaku maksiat. Meski ciri ini adalah ciri umum orang-orang Khawarij di mana pun, tetapi di kalangan kelompok-kelompok Islam yang ada di tengah masyarakat kita tindakan mengafir-ngafirkan seperti ini hanya dimiliki oleh segelintir kelompok. Dari segelintir kelompok itu, orang-orang Khawarij paling ekstrim tidak akan shalat berjamaah di belakang imam-imam masjid kaum muslimin yang telah mereka kafirkan karena berbuat maksiat. Karena itu, shalat berjamaah di belakangnya menjadi tidak sah. Ketimbang mengamati satu demi satu imam-imam masjid untuk shalat berjamaah, orang-orang Khawarij lebih memilih shalat berjamaah di rumah dengan sesama mereka atau shalat sendiri di masjid kaum muslimin. Kalau pun mereka harus shalat berjamaah bersama kaum muslimin yang lain, itu dilakukan agar masyarakat tidak curiga dan—biasanya—shalat itu akan diulang lagi tanpa sepengetahuan orang lain. Masuk juga ke dalam ciri pertama ini adalah orang-orang yang menganggap bahwa masyarakat Islam dan dunia sekarang ini kembali ke masa jahiliyah seperti sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasulullah dulu. Siapa saja yang menganggap masyarakat sekarang adalah masyarakat jahiliyah, maka ia termasuk ke dalam kelompok Khawarij. Di tengah masyarakat kita, siapa pun yang jeli pasti akan dapat mudah menemukan buku-buku, artikel-artikel, tulisan-tulisan, rekaman-rekaman ceramah dan film-film dokumenter yang mewacanakan kejahiliyahan masyarakat sekarang. Tidak patut untuk dilupakan, karena masuk ke dalam ciri ini, adalah anggapan bahwa di dunia sekarang ini tidak terdapat sama sekali negara-negara muslim atau negara-negara Islam. Mereka yang memiliki anggapan seperti ini akan memvonis dunia sekarang sebagai darul kuffar (wilayah orang-orang kafir atau zona kafir) atau darul harbi (kawasan perang). Terkhusus Indonesia, mereka akan mengatakan, Indonesia adalah negara kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah karena menggunakan sistem hukum sekuler dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Itu menjadi anggapan mereka, meski mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dengan presiden dan wakil presiden negara yang juga muslim dan mengerjakan shalat. Meski demikian, tidak usah heran pula, jika ternyata ada kelompok-kelompok Khawarij yang menganggap dunia tidak semuanya darul harbi. Alasan mereka, daerah-daerah yang ditempati kelompok-kelompok mereka—meski hanya sekecil Tanah Abang di Jakarta—tetap bisa disebut sebagai darul iman (zona keimanan). Kepada anggota-anggota baru, biasanya, mereka diminta hijrah ke sana. Siapa saja dari rakyat Indonesia yang beranggapan seperti itu atau ditemukan memiliki anggapan seperti itu, dapat dikatakan sebagai Khawarij sekarang ini atau telah terpengaruh pemahaman Khawarij. Bagaimana pun, anggapan seperti yang dimaksud dapat hinggap pada banyak orang, baik mereka itu aktivis partai Islam atau mereka hanya sekedar rakyat biasa yang taat bayar pajak. Kedua, selain gampang mengafir-ngafirkan, Khawarij di tengah masyarakat kita adalah orang-orang yang amat gampang menuduh pemerintah kita dan aparatnya sebagai orang-orang zhalim, kafir, dan antek-antek Salibis-Yahudi. Mereka menjelek-jelekkan pemerintah kita dalam majelis-majelis pengajian mereka, pembicaraan-pembicaraan internal antar mereka, atau sekedar obrolan-obrolan ringan di waktu-waktu senggang mereka. Mereka juga menyerukan sikap penentangan terhadap pemerintah beserta kebijakan-kebijakannya di tengah masyarakat kita. Orang-orang Khawarij mendakwahkan bahwa kesempurnaan Islam dapat tercapai dengan menggantikan sistem pemerintahan kita dengan sistem pemerintahan Islam (baca: penegakan syariat Islam lewat jalur kekuasaan). Khusus masalah ini, mereka termasuk orang yang gelap mata dalam berpendapat. Mereka menutup faktor-faktor lain di luar faktor ini sebagai solusi umat. Di tengah maraknya usaha untuk menjatuhkan citra pemerintah oleh pihak oposan sekarang ini, orang-orang Khawarij ikut menyebarkan semangat menjelek-jelekkan pemerintah itu dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar atas nama umat Islam. Bahkan dapat dikatakan, kebencian mereka terhadap pemerintah kita jauh melebihi kebencian seorang politikus yang berdiri dalam barisan oposisi pemerintah. Dalam istilah mereka, pemerintah beserta jajaran aparatnya adalah thaghut-thagut yang mesti diperangi bersama. Karena mereka menghafal Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, tindakan mereka itu selalu dilandasi ayat-ayat atau hadits-hadits tentang jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, janji-janji surga bagi yang mati syahid (dalam pandangan mereka). Dengan sorot mata yang tajam dan uraian yang berapi-api, mereka sangat fasih membawakan dalil-dalil ancaman bagi siapa pun yang taat terhadap para thaghut (baca: pemerintah kita). Bukan rahasia umum lagi, kiranya, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai orang-orang memiliki retorika bicara yang baik dan mudah meyakinkan orang lain. Dalam retorika Khawarij di Indonesia, kata “Iman” lalu “Hijrah” dan “Jihad” (iman, hijrah, jihad) menjadi semacam keyword untuk mengenali orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita. “Hidup mulia atau mati syahid” termasuk slogan yang membakar anggota-anggota muda mereka. “70 bidadari di surga” adalah imbalan yang terus diulang-ulang untuk mendorong mereka melakukan sebuah aksi berani dalam apa yang mereka sebut sebagai jihad. Dakwah mereka, biasanya, mengedepankan kata “jihad” dan “mati syahid” ketimbang kata “tauhid dan sunnah” atau “akhlak karimah”. Kelompok mana pun atau siapa saja yang menjadikan keyword-keyword itu sebagai slogan-slogan dalam dakwah masing-masing dapat diidentifikasi sebagai Khawarij atau, setidaknya, orang-orang yang terpengaruh pemahaman Khawarij. Tentang ajakan untuk bertauhid, orang-orang Khawarij juga, ternyata, mengajarkan tauhid dalam dakwah-dakwah mereka. Bedanya, jika orang-orang di luar mereka mengajarkan tauhid hanya pada tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa ash shifat dalam berbagai majelis pengajian, maka orang-orang Khawarij justru mengajarkan dan memfokuskan diri pada tauhid mulkiyah dalam pengajian-pengajian mereka. Tauhid mulkiyah ini termasuk konsep baru dalam ajaran tentang tauhid yang diperkenalkan orang-orang Khawarij, terutama di Indonesia. Ketiga, di antara ciri-ciri mereka di tengah masyarakat kita, orang-orang Khawarij termasuk orang-orang yang mengadakan proses baiat dalam keanggotaan mereka. Siapa pun yang direkrut mereka, ia akan menjalani proses pembaiatan dulu. Khawarij termasuk kelompok yang mengadakan pembaiatan seperti itu. Bedanya, baiat terhadap amir atau pemimpin kelompok lebih wajib dilakukan ketimbang baiat kepada penguasa dan pemerintah di Indonesia. Sebagaimana yang telah disinggung dalam uraian tentang ciri-ciri Hizbi, kita dapat menemukan proses pembaiatan dalam hampir semua kelompok-kelompok Hizbi. Di Indonesia, pembaiatan sendiri adalah tradisi yang terus dihidupkan dalam sejumlah kelompok Islam. Hal itu dapat berarti bahwa mereka lebih menaati pemimpin-pemimpin kelompok atau jamaah mereka ketimbang menaati penguasa atau pemerintah tempat mereka hidup bernegara dan bermasyarakat. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, seperti pada kelompok-kelompok Khawarij, ketaatan mereka hanya pada pemimpin atau amir mereka, bukan pada pemerintah Indonesia dan segenap jajarannya. Terlebih lagi, jika mereka telah menganggap pemerintah kita telah kafir; mereka akan bertekad mempertahankan baiat terhadap pemimpin kelompok mereka yang dalam anggapan mereka satu-satunya pemimpin muslim. Karena itu, sudah tidak mengherankan lagi, jika orang-orang Khawarij dikenal sebagai warga negara Indonesia yang paling payah. Mereka tidak lapor ke RT atau RW setempat, ketika berkunjung lebih dari 1 x 24 jam atau pindah ke sebuah alamat baru. Mereka enggan mengurusi identitas kewarganegaraan, seperti KTP, KK, Surat Keterangan Pindah atau sekedar Akte Kelahiran. Mereka cenderung untuk mangkir dari kewajiban membayar iuran-iuran bersama di lingkungan masing-masing, seperti iuran RT, iuran sampah, iuran ronda, iuran air ledeng, bahkan terkadang iuran listrik. Lebih dari itu, mereka tidak memiliki rasa hormat terhadap aparat-aparat pemerintah di tingkat bawah, mulai dari tingkat RT, RW, kecamatan, sampai tingkat propinsi. Mereka mengistilahkan pemerintah beserta jajarannya itu sebagai thaghut-thaghut yang tidak layak untuk dihormati apalagi ditaati. Meski demikian, orang-orang Khawarij di tengah masyarakat kita bukan orang-orang tanpa identitas. Mereka bukan pribadi-pribadi anonim yang ketika kita minta identitas diri mereka akan mengatakan tidak punya. Justru sebaliknya, sering kali—kalau mau jeli—kita dapatkan beberapa di antara mereka memiliki identitas ganda. Pimpinan kelompok Khawarij meminta kepada para anggotanya, terutama yang memiliki peran dan kedudukan penting, untuk memiliki identitas ganda dalam rangka mengelabui masyarakat dan terkhusus aparat. Seorang Khawarij yang telah dianggap sebagai mujahid dan senior bagi anggota-anggota lain kebanyakan memiliki KTP lebih dari satu dengan identitas berbeda. Terkadang beberapa di antara mereka memiliki paspor lebih dari satu dengan identitas yang berbeda pula. Dalam keadaan seperti itu, terkait dengan ciri mereka yang keempat, jangan bayangkan mereka sebagai laki-laki berjenggot dan berjubah gaya Timur Tengah. Sebaliknya, mereka akan berpenampilan seperti orang-orang kebanyakan, seperti berpenampilan klimis, mengenakan jeans dan kemeja chic. Tidak jarang, rupa mereka tidak berbeda dari mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana. Bagi mereka yang berada di kota-kota kecil dan desa-desa di Jawa, penampilan mereka jauh dari penampilan seorang anggota Jamaah Tabligh, apalagi kelompok Salafi. Mereka dapat merupa tukang las, penjaja bakso, pedagang beras dan segala keumuman yang tampil di masyarakat. Orang-orang Khawarij baru akan menampakkan identitas keislaman mereka hanya ketika berada dalam tahanan. Mereka akan baru akan seperti itu, ketika kemungkinan untuk menyelamatkan diri dari kejaran aparat dirasa tidak mungkin lagi. Wajar, jika anggota-anggota mereka yang tertangkap pasti terlihat berpenampilan syaikh-syaikh Timur Tengah dalam liputan di penjara. Mengenakan jubah besar warna putih atau abu-abu dan kadang hitam, mereka akan membebat kepala-kepala mereka dengan sorban putih atau hanya mengenakan peci-peci putih seperti seorang ustadz pesantren. Jenggot-jenggot mereka dibiarkan tumbuh di penjara. Celana-celana panjang mereka akan tergantung di atas matakaki-matakaki mereka. Dalam sorotan kamera stasiun televisi, mereka akan mengacungkan kepal tangan sambil teriak, “Allahu Akbar!”. Itu semua menunjukkan kegandaan identitas mereka di tengah-tengah masyarakat. Siapa saja yang tidak mau jeli, selalu akan bersikap tidak-habis-pikir ketika salah seorang di dekatnya ditangkap aparat karena terlibat perencanaan aksi bom bunuh diri di ibukota. Tidak sedikit pula orangtua-orangtua anggota kelompok Khawarij yang tidak menyangka ketika anak-anak berwajah-lugu-dan-alim mereka diciduk aparat suatu hari. Keempat, orang-orang Khawarij dengan segala ciri yang telah disebutkan itu menerapkan sistem kerahasiaan dalam kelompok mereka atau tanzhim as-sirriyah. Dalam prakteknya, sistem itu bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh lingkaran mereka. Terkadang, anggota-anggota baru tidak mengetahui rahasia-rahasia kelompok yang bersifat pelik. Bahkan, dalam beberapa kasus, pimpinan kelompok dirahasiakan dari anggota-anggota baru. Karena mereka menerapkan model rekrutmen seperti itu, beberapa pimpinan kelompok Khawarij memberlakukan bentuk sel-sel kecil yang efektif dan aman dijalankan ketika pihak aparat dan masyarakat luas mulai menyadari keberadaan mereka. Untuk sebuah aksi atau hanya sekedar indoktrinasi berkala kepada anggota-anggota baru, sel-sel kecil ini amat berhasil menjaga kerahasiaan kelompok-kelompok mereka. Sistem kerahasiaan mereka juga berarti ada struktur tersendiri dalam kelompok. Dimaksud struktur di sini, artinya, mereka memiliki jalur-jalur komando instruksi. Pemuncak mereka adalah imam atau amir jamaah. Di bawahnya, ada beberapa jabatan yang akan membantunya menjalankan kelompok. Setiap orang yang duduk dalam jabatan itu memiliki wewenang kepada anggota-anggota di bawah masing-masing. Dalam bentuk paling ekstrim, struktur mereka itu ada yang menyerupai struktur jabatan kenegaraan. Dalam kata-kata lain, seperti negara dalam negara. Mereka menunjuk seorang imam, sejumlah gubernur, beberapa belas bupati, dan puluhan camat. Masing-masing membawahkan jabatan-jabatan lain, termasuk jabatan-jabatan komandan wilayah yang memegang kesatuan bersenjata mereka. Mereka menyebarkan struktur ini ke wilayah yang lebih luas dari sekedar propinsi. Indonesia, dengan struktur yang mereka susun, akan terbagi-bagi menjadi satuan-satuan wilayah kecil. Dalam kelompok-kelompok Khawarij tertentu, struktur rahasia yang mereka bentuk itu terhubung langsung dengan struktur besar kelompok Khawarij di Asia Tenggara atau bahkan di Timur Tengah. Dalam rantai struktur ini, garis komando tidak mesti ada antara struktur besar di luar dan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan penting, apalagi darurat, dapat diambil oleh imam atau amir setempat. Dengan bentuk struktur seperti itu, mereka berusaha mengelabui pemerintah dan aparat. Terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, lewat struktur serupa, mereka juga mempersenjatai diri. Dalam kasus-kasus tertentu, mereka berusaha menyusup ke dalam lingkaran pemerintah dan aparat lewat proses rekrutmen. Jika semula merekrut orang-orang yang berusia 20-an tahun, setelah keberhasilan aparat menembus jaringan terorisme belakangan ini, orang-orang Khawarij melakukan perekrutan dan pengkaderan pada anak-anak remaja usia sekolah untuk aksi-aksi jangka panjang. Dapat kita bayangkan, mereka mengincar anak laki-laki berusia 13-17 tahun itu untuk disusupkan ke barisan aparat lewat seleksi-seleksi calon polisi atau tentara. Dengan tanzhim as-sirriyah juga, mereka meneruskan hidup. Terkait dengan urusan perkawinan, seorang anggota kelompok Khawarij akan mencari pasangan hidup dari kelompok mereka juga. Rahasia-rahasia yang banyak mereka pegang menuntut mereka untuk mencari pasangan hidup seperti itu agar siap memahami, menerima, dan menanggung semuanya. Sebagai istri, seorang wanita dari kelompok Khawarij menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk ditinggal pergi suaminya karena ditangkap aparat atau ditinggal mati ketika sedang menjalankan aksi. Terkait dengan nafkah keluarga, anggota-anggota aktif kelompok Khawarij memiliki rekening-rekening pribadi tempat tunjangan keluarga diterima. Dengan tunjangan itu, mereka tidak mesti pusing ketika tuntutan untuk menafkahi keluarga mengemuka. Rekening-rekening itu akan beralih fungsi sebagai tempat santunan sosial buat janda-janda dan anak-anak mereka, ketika mereka tewas dalam aksi. Buntut Kata Anda, saya, kita semua, dalam pandangan kelompok Khawarij, adalah orang-orang yang tidak beriman. Dan karena itu kafir, sebab kita hidup di negara kafir (Indonesia di mata Khawarij bukan negara Islam). Kemudian, kita juga kafir, karena tidak bergabung dengan mereka untuk mengobarkan jihad global melawan Israel dan Amerika Serikat (ingat, Khawarij menginginkan semua orang Islam bergabung dengan kelompok mereka). Meski kita shalat dan puasa? Ya, meski kita shalat dan puasa, meski kita mengasihi anak yatim lalu juga janda-janda miskin dan orang-orang jompo, meski kita baik ke tetangga kita, meski kita terus beribadah di kala sepi. Apakah mereka ada di sekitar kita? Sangat mungkin, tentu saja.[]