Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Semester Gasal 2010/2011 Program Magister Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Review Film “State of Play” Ketika Keamanan berada di Tangan Pasar Oleh Anggalia Putri Permatasari (1006743424) Film State of Play (2009) yang antara lain dibintangi oleh Ben Affleck (Congressman Stephen Collins) dan Russell Crowe (Cal McAffrey) ini bercerita tentang peristiwa pembunuhan seorang anggota komite investigasi Kongres, Sonia Baker, yang diduga didalangi oleh sebuah perusahaan keamanan privat beranggotakan 100% mantan personel militer bernama PointCorp. Sebelumnya, PointCorp telah mendapatkan kontrak military outsourcing di Afghanistan dan Irak dan diduga berusaha memonopoli privatisasi homeland security di AS yang kemudian menimbulkan perdebatan di Kongres. Congressman Collins adalah anggota Kongres dari Partai Republik yang menentang PointCorp dan berusaha mengadakan investigasi terhadap perusahaan tersebut, yang kemudian mendapati dirinya terjebak dalam sebuah situasi sulit yang melibatkan skandal perselingkuhan dengan asistennya yang kemudian mati terbunuh. Isu keamanan yang muncul dalam film ini adalah isu privatisasi keamanan yang ditandai dengan tumbuh pesatnya perusahaan-perusahaan keamanan privat yang sering disebut dengan berbagai macam istilah, misalnya private security companies (PSCs), private military companies/firms (PMCs/PMFs), private security and military companies (PSMCs) atau security contractor. Istilah yang paling sering digunakan dalam literatur adalah PSCs karena dinilai lebih inklusif (Berndtsson 2009: 47). PSCs sering disamakan dengan tentara bayaran (mercenary)1 yang praktiknya telah dilarang dalam hukum internasional pascaPerang Dunia II.2 Namun, sebagaimana diilustrasikan dalam salah satu adegan film ini (perdebatan antara Congressman Collins dan CEO PointCorp dalam hearing Kongres), PSCs selalu menolak dikatakan sebagai mercenary (ibid.: 42). Dalam hukum internasional pun3, PSCs tidak dapat dikategorikan ke dalam kategori mercenary meskipun praktik mereka 1 Didefinisikan sebagai “tentara yang menjual jasa militernya di luar komunitas politiknya sendiri,” (Berndtsson 2010: 43) 2 Secara konseptual, PSCs berkaitan dengan tentara bayaran dalam artian mereka adalah aktor non-negara yang terspesialisasi dalam menyediakan perlindungan, termasuk perlindungan bersenjata, di zona-zona konflik dan terkadang bahkan terlibat secara aktif dalam pertempuran, (Berndtsson 2010: 8) 3 Artikel 47 Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1 Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Semester Gasal 2010/2011 Program Magister Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI hampir sama4 (ibid.). Sulitnya menarik batas antara mercenary dan PSCs ini menjadi salah satu alasan sulitnya mendefnisikan fenomena tersebut. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa PSCs adalah manifestasi modern (dalam bentuk korporat) dari praktik mercenary, meskipun secara legal tidak sama dengan hal tersebut. Peran PSCs dewasa ini semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan ini menyediakan berbagai macam jasa keamanan, mulai dari dukungan personel dalam konflik bersenjata, bantuan peacekeeping PBB, dukungan logistik, bantuan teknis, hingga analisis intelijen (Liaropoulos 2010). PSCs juga berperan dalam kontraterorisme, pengamanan domestik (homeland security), bahkan dalam perlawanan terhadap transnational organized crimes, misalnya perdagangan obat bius (http://www.privatemilitary.org/). Pertumbuhan PSCs ini didorong oleh beberapa faktor, di antaranya berakhirnya Perang Dingin dan demobilisasi militer di berbagai negara (yang mengakibatkan terdapatnya banyak personel militer, polisi, atau intelijen yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain), transformasi militer yang mempertegas garis pemisah antara tentara dan penduduk sipil, serta kecenderungan privatisasi dan outsourcing dari fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri (Bryden 2006: 9; Singer 2005 dalam Liaropoulos 2010: 2). Globalisasi dan meningkatnya transnasionalisme pun turut memfasilitasi PSCs di mana mereka biasa beroperasi melintasi batas-batas negara melalui cabang-cabang perusahaannya di luar negeri (Bryden 2006: 8). PSCs adalah produk dari berlangsungnya privatisasi keamanan di berbagai negara sehingga pertama-tama kita harus memahami konteks privatisasi ini. Privatisasi dapat didefinisikan sebagai “sebuah proses aktif yang dengannya suatu jasa atau aktivitas yang sebelumnya berada dalam tanggung jawab publik dialihkan kepada sektor privat” (Berndtsson 2009: 56). Privatisasi juga dapat dipahami sebagai diterapkannya berbagai mekanisme sektor privat dalam sektor publik, misalnya penerapan norma kompetisi dan maksimalisasi profit (ibid.). Dalam hal ini, privatisasi keamanan diindikasikan oleh semakin seringnya pemerintah mengandalkan perusahaan-perusahaan privat untuk menyediakan keamanan yang sebelumnya dipandang sebagai fungsi dan tanggung jawab negara. (ibid.). Privatisasi keamanan itu sendiri menurut Alan Bryden (2006) dapat berlangsung secara topdown, misalnya dalam bentuk military outsourcing dan pengalihan tugas-tugas pengamanan pada perusahaan-perusahaan swasta (PSCs) ataupun bottom-up (munculnya aktor-aktor non4 Misalnya dalam kasus keterlibatan dua PSCs, Sandline Internasional (Inggris) dan Executive Outcomes (Afrika Selatan) dalam perang di Angola dan Sierra Leone pada tahun 90-an (Berndtsson 2010: 43). 2 Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Semester Gasal 2010/2011 Program Magister Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI negara bersenjata, misalnya kelompok pemberontak, milisia, dan warlords). (Bryden 2006: 3). Privatisasi keamanan yang ditunjukan dalam film ini adalah jenis yang pertama, yang termanifestasikan dalam praktik military outsourcing Departemen Pertahanan AS di Irak5 dan Afghanistan dengan PointCorp sebagai kontraktor yang kemudian menimbulkan perdebatan di Capitol Hill (salah satunya adalah karena adanya indikasi pembunuhan rakyat sipil yang disengaja oleh PointCorp atau “atrocities” menurut Congressman Collins). Keuntungan yang diraih PointCorp untuk external operation ini ditengarai mencapai US$ 3-4 miliar per tahun. Keuntungan yang ditargetkan PointCorp dari kiprahnya dalam privatisasi homeland security bahkan lebih besar lagi, yaitu US$ 30-40 miliar per tahun. Baik privatisasi top-down maupun bottom-up, menurut Bryden, sama-sama menantang kewenangan negara dalam bidang keamanan (ibid.). Fenomena bermunculannya PSCs mencerminkan tergerusnya monopoli negara dalam hal penguasaan kekuatan militer (force) yang sah (Bryden 2006: 3). Menurut Bobbit, fenomena privatisasi keamanan ini mencerminkan proses transisi dari tatanan konstitusional negara dalam bentuk nation-state (negara melayani bangsanya) menuju sebuah tatanan konstitusional lain dalam bentuk market-state (negara melayani pasarnya) (Bobbit 2009: 86). Negara dalam bentuk ini akan meng-outsource berbagai fungsinya dan lebih menekankan insentif pasar daripada hukum dan regulasi. Ia juga akan lebih merespon permintaan konsumen daripada preferensi pemilih (ibid.: 87). Meskipun pemanfaatan PSCs dapat mendatangkan beberapa keuntungan, misalnya memudahkan mobilisasi dan demobilisasi tentara, memudahkan didapatkannya keterampilan khusus, dan mengurangi ongkos politik untuk menggunakan kekuatan bersenjata (Avant 2006), hal tersebut juga memunculkan permasalahan-permasalahan praktis, isu-isu legal, dan permasalahan etika, misalnya tingginya biaya outsourcing, kurangnya keterandalan (reliability) personel PSCs di lapangan, status hukum kontraktor yang tidak jelas, baik dalam hukum nasional maupun internasional, sulitnya integrasi personel PSCs dalam operasi, demoralisasi personel dan profesionalitas militer resmi, serta masalah-masalah kontrol 5 Keterlibatan PSCs di Irak sangat tinggi. Berbagai PSCs yang mendapatkan kontrak di sana antara lain Halliburton, Kroll, DynCorp, Triple Canopy, Custer Battles (AS), ArmorGroup, Control Risks Group, Olive Security, Global Risk Strategies, Aegis (Inggris), belum lagi PSCs dari Perancis, Afrika Selatan, dan Irak sendiri. Menurut Avant (2006), estimasi rasio kontraktor privat dan militer resmi AS meningkat pesat dari 1: 58 dalam Perang Teluk I menjadi 1: 6 dalam Perang Irak 2003. 3 Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Semester Gasal 2010/2011 Program Magister Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI demokratik seperti tidak adanya transparansi dan akuntabilitas, meningkatnya commercial leverage dalam pembuatan kebijakan publik, serta berkurangnya democratic restraint karena ongkos politik untuk berperang berkurang (ibid.). Masalah paling jelas terlihat dalam hal ketiadaan akuntabilitas, terutama yang berkaitan dengan kontrol demokratik yang efektif. Menurut Bryden, privatisasi keamanan menimbulkan masalah defisit ketatapemerintahan (governance deficit), termasuk masalah legitimasi karena prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang menjadi kunci bagi terwujudnya legitimasi bertentangan dengan prinsip-prinsip komersial yang melandasi outsourcing keamanan (Bryden 2006: 4). Selain itu, menurut Buzan, Waever, dan Wilde (1998), PSCs dapat mempengaruhi dinamika dan keputusan-keputusan yang diambil dalam ranah keamanan, bahkan dapat menjadi aktor dalam proses sekuritisasi. Hal ini dimungkinkan karena mereka dianggap memiliki “technical expertise” dalam sektor keamanan (Berndtsson 2009: 59-60). Jadi, PSCs tidak hanya semata-mata menyediakan ‘personel’ yang tenaganya dapat dipakai dan dibuang oleh pemerintah, melainkan dapat juga menjadi sumber pengaruh bahkan mungkin ‘pengendali’ sektor keamanan. Hal inilah yang dikhawatirkan berbagai tokoh dalam film ini, misalnya Cal McAffrey (jurnalis Washington Globe), Robert Bingham (veteran Perang Teluk I yang menjadi tokoh antagonis di film ini), salah satu mantan pegawai PointCorp yang menjadi informan McAffrey (tidak disebutkan namanya), dan Congressman Collins itu sendiri. Masalah legitimasi tercermin dalam kata-kata Congressman Collins berikut ini: “Putting war in the hands of mercenaries and those who consider it a business is a contradiction in terms in any language. Wars that this country fought and that defined it were fought despite what they cost, not because of it.” Penggunaan istilah ‘mercenary’ dan penekanan pada ‘bisnis’ dan ‘cost’ secara negatif mencerminkan keengganan moral untuk meletakkan keamanan publik di tangan pihak-pihak yang bekerja semata-mata untuk mengejar profit (Berndtsson 2009: 44). ‘Moral revulsion’ ini juga tercermin dalam pernyataan Robert Bingham berikut ini: “A good soldier fights for his country and his friends, but they want to make it all about the money. I’d rather be nothing!” PSCs yang dipandang hanya bekerja demi profit juga banyak merugikan para personelnya yang mempertaruhkan nyawa mereka di medan perang Afghanistan dan Irak sebagaimana tuduhan Congressman Collins pada CEO PointCorp berikut ini: “This country paid to train them and you are getting rich for killing them!” 4 Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Semester Gasal 2010/2011 Program Magister Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Selain masalah legitimasi dan moral, masalah akuntabilitas juga menjadi perhatian penting. Hal ini dikemukakan antara lain oleh mantan pegawai PointCorp yang menjadi informan Cal McAffrey. Ia khawatir akan perkembangan PointCorp karena “these soldiers are answerable to no one. They are loyal to nothing but a paycheck.” Ketika ditanya mengenai Modus Operandi perusahaan ini, ia menjawab, “MO? They just do whatever they want!” Dapat dikatakan bahwa PSCs tidak memiliki akuntabilitas sehingga alih-alih memberikan keamanan, mereka justru dapat membahayakan masyarakat. Mantan pegawai PointCorp ini juga mengkhawatirkan manuver perusahaan tersebut dalam privatisasi homeland security. Ia mencontohkan kiprah domestik perusahaan tersebut dalam penyediaan keamanan dalam negeri, misalnya dalam crowd control Badai Katrina (“It’sa private security contractor deputized to shoot at American citizens!”). Ia memprediksi bahwa jika dibiarkan begitu saja, PointCorp dapat mengambil alih tugas NSA di masa depan, misalnya dalam intelijen dan penanganan terorisme, dan bahkan memonopoli homeland security itu sendiri. Lebih jauh lagi, ia mengkhawatirkan bahwa PointCorp akan dapat membangun tentara reguler (standing army) yang berarti memusnahkan sama sekali monopoli negara atas kekuatan bersenjata dan justru membahayakan keamanan negara AS itu sendiri. Dari film dan tinjauan teoretis di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ketika penyediaan keamanan bagi publik dialihkan dari sektor publik/tangan negara kepada sektor privat atau pasar, berbagai masalah dan kekhawatiran muncul. Perdebatan publik-privat dalam sektor keamanan terbukti lebih sulit daripada sektor-sektor lain, misalnya ekonomi atau energi. Negara secara tradisional (sejak Westphalia) dipandang sebagai sosok legitimate yang berkewajiban melindungi warga negaranya dan menyediakan keamanan. Oleh karena itu, negara diberikan power yang sangat besar, bahkan monopoli atas kekerasan yang sah sebagaimana ucapan Max Weber, “monopoly of the use of legitimate violence.” Globalisasi dan berbagai aspeknya telah memperkuat pasar dan melemahkan peran negara dalam menyediakan keamanan untuk warga negaranya. Keamanan pun akhirnya menjadi salah satu sektor yang mengalami komodifikasi dan komersialisasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik karena sektor keamanan menyangkut integritas fisik dan eksistensi masyarakat itu sendiri dan ketika hal ini diserahkan kepada mekanisme pasar yang terutama didorong oleh pengejaran profit, ketiadaan akuntabilitas memungkinkan PSCs untuk berbalik menyerang kepentingan publik. Belum lagi isu ketidaksetaraan yang seringkali ditimbulkan oleh pasar 5 Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Semester Gasal 2010/2011 Program Magister Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI yang tidak terkontrol. Meskipun demikian, privatisasi keamanan dalam berbagai bentuk dan kedalaman tampak akan terus berlangsung di masa depan seiring dengan semakin kuatnya peran pasar dan melemahnya negara di era globalisasi. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan untuk kita, “Apakah mungkin kita dapat merasa aman jika keamanan telah sepenuhnya berada dalam genggaman ‘tangan-tangan tak terlihat’? *** Referensi Avant, Deborah D. 2006. “The Privatization of Security: Lessons from Iraq.” http://www.socsci.uci.edu/~davant/pub/20_avant_orbis.pdf. Diakses 10 November 2010. Berndtsson, Joakim. 2009. The Privatization of Security and State Control of Force: Changes, Challenges, and the Case of Iraq. Dissertation in Peace and Development Research, School of Global Studies, University of Gothenburg. Bobbit, Phillip. 2008. Terror and Consent: The Wars for the 21st Century. New York: Anchor Books. Bryden, Alan dan Marina Caparini (ed.). 2006. Private Actors and Security Governance. Berlin: Lit Verlag. Liaropoulos, Andrew. 2010. “Privatization of Security: Facing the Dilemmas.” http://rieas.gr/index.php?Itemid=41&id=608&option=com_content%20&task=view. Diakses 10 November 2010. http://www.privatemilitary.org/ 6