Jurnal Pengajaran dan Kajian Islam
Volume 1, Nomor 1, Januari 2021 hal. 1-11
Tarik Menarik Islamophobia di Amerika
Muhammad Rafi’i, Zulfajri, A. Yuli Tauvani
STAI Ahsanta Jambi, Indonesia
Email corresponding author: arrfii1995@gmail.com
Abstrak: Artikel ini berusaha menjelaskan dinamika Islamphobia di Amerika yang telah
mengalami hubungan yang dinamis. Persoalan umat Islam dan Islam telah mendapat respon
variatif pada waktu yang sama. Artikel ini bertujuan untuk merekam perjalanan citra Islam
di Amerika yang mengalami pasang surut proaktif dan kontra produktif di antara keduanya.
Dengan memanfaatkan berbagai sumber literatur untuk melacak hubungan antara Islam dan
warga Amerika. Penulisan artikel ini berusaha mendeskripsikan hubungan dan dialog antara
Islam, umat Islam dan rakyat Amerika. Umat Islam dan warga Amerika telah mengalami
pertemuan yang positif di satu sisi dan melakukan negosiasi di saat tertentu. Hal ini terlihat
pasca peristiwa 11 September 2001, citra Islam mendapat pandangan yang sinis, akan tetapi
berbekal kejadian itu Islam mendapat perhatian baru dari warga Amerika. Artikel ini
menyimpulkan bahwa Islamophobia adalah sebuah tren yang dikonsumsi dari berbagai
sumber yang tidak objektif, bahkan simpati dan minat masyarakat Amerika untuk
mengetahui Islam dari dalam (orang Islam itu sendiri) mengalami peningkatan sehingga
hubugan yang damai pun dipertahakan, hal ini pula didukung dengan berbagai sikap
rekonsiliatif jika terdapat clash antara Islam, Muslim dan rakyat Amerika.
Kata Kunci: Amerika, islamophobia, muslim
Pendahuluan
Islam adalah salah satu agama misionaris sebagaimana agama-agama besar di dunia, seperti
Yahudi dan Nasrani. Sebagai agama tentu banyak mengalami rintangan dalam
menyampaikan maupun melaksanakan ajaran agama tersebut sebagai bentuk pengujian dan
pengalaman yang bisa dijadikan sebagai edukasi dan modal dalam menghadapi masa
mendatang. Kekuatan agama Yahudi dan Nasrani begitu juga dengan Islam, adalah pada teks
suci sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada utusannya yang disampaikan kepada
umatnya sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Di samping kekuatan
tersebut, yang tidak kalah pentingnya dan yang harus ditegaskan bahwa Yahudi, Nasrani dan
Islam adalah agama Samawi yang bersumber dari Tuhan yang sama.
Salah satu hal yang menjadi concern para pengkaji agama-agama besar tersebut (selain
aspek kesejarahan, keagaman, dan perkembangan) adalah aspek dialog-interaktif antara
ketiga agama besar tersebut. Mengapa demikian? Tidak bisa dipungkiri ketiga agama
tersebut sangat berperan dan berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan manusia di
seluruh penjuru dunia. Upaya dialog proaktif yang dilakukan oleh pemeluk agama maupun
~1~
agamawan merupakan cita-cita seluruh agama, meskipun tidak semua eleman dalam agama
tersebut menyetujuinya atau melakukannya. Hal itu hanya dikarenakan pada pandangan
yang berbeda melihat yang satu dan yang lainnya. Misalnya perbedaan setiap organisasi
merespon terhadap seluruh realitas yang terjadi di dunia Islam atau mayoritas Islam maupun
di negara-negara minoritas Islam.
Seiring berkembangnya Islam ke seluruh penjuru dunia termasuk juga Barat,
perkembangan tersebut menuntut dan meminta muslim agar bisa berinteraksi dan
membangun hubungan yang harmonis terhadap warga negara sekitar, tanpa harus
memandang latar belakang agama, ras, kewarganegaraan, maupun budaya. Karena,
perbedaan yang ada di sekitar muslim merupakan suatu yang tidak bisa dihindarkan oleh
setiap pemeluk agama, termasuk juga Muslim. Di Barat begitu juga di Amerika, bukanlah
negara yang memiliki keseragaman identitas, seperti agama, ras, suku, maupun budaya,
terkecuali kewarganegaraan. Amerika, sebagai negara yang kosmopolit-heterogen, menjadi
salah satu negara yang menjadi pertemuan pelbagai macam budaya, agama, ras dan lain
sebagainya. Kemajuan Amerika dalam aspek pendidikan menjadi daya tarik -tanpa
menafikan aspek yang lain- bagi seluruh manusia yang ingin menempuh pendidikan.
Sehingga Amerika menjadi salah satu perjumpaan agama-agama besar di dunia.
Agama Islam khususnya di Amerika banyak menjadi sorotan dan bahkan mencuri
perhatian para tokoh seluruh dunia, yang disebabkan oleh pasang surutnya hubungan Islam
dan Amerika atau Muslim Amerika dan non-Muslim Amerika. Seperti, Tariq Ramadan,
Karen Armstrong, Dalia Mogahed, Alwi Shihab, dan John L. Esposito. Tulisan singkat ini
berusaha menyoroti aspek-aspek yang bersentuhan secara langsung antara Muslim atau
Islam dan Amerika. Hal ini dilakukan sebagai upaya penelusuran pola keagamaan dan relasi
yang terus mengalami perubahan.
Analisis Pemecahan Masalah
Berbagai persoalan yang dibahas pada pendahuluan dapat diselesaikan dengan berbagai
sumber otoritatif dan objektif dengan pembahasan artikel ini. Persoalan Islamophobia telah
merambat ke berbagai belahan dunia, sehingga pihak-pihak individu yang menganggap
Islam sebagai ancaman telah mendapatkan legitimasinya untuk membenci Islam. Namun,
stigma tersebut tidak mungkin dipertahankan atau diabaikan begitu saja, sehingga tidak ada
tindakan dari pihak-pihak yang ingin menyuarakan kebenaran Islam dan upaya membantah
berbagai citra negatif Islam di Amerika. Oleh karena itu menjawab persoalan ini menjadi
penting dilakukan untuk mengembalikan citra agama samawi yang selama ini dikenal
mempunyai slogan dan tagline Islam rahmaran lil ‘alamin.
Metode
Metode penelitian pada artikel ini adalah kualitatif-deskriptif. Kajian ini akan
menggambarkan secara umum dinamika Islamophobia di Amerika dengan memanfaatkan
berbagai sumber. Oleh karena itu data-data diperoleh dari sumber pustaka atau kajian
pustaka yang relevan dengan pembahasan. Pembacaan yang diperoleh dari berbagai literatur
dianalisis dan disimpulkan sebagaimana kebutuhan permasalahan pada kajian ini.
~2~
Hasil dan Pembahasan
Islam di Amerika
Pembahasan mengenai Islam dan agama lainnya, tentu bisa dimulai dengan pertanyaan yang
sangat mendasar dalam hal akidah umat Islam itu sendiri. Apakah umat Islam meyakini Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar? Islam, begitu pula Kristen, adalah agama dunia
(word religion) yang mempunya misi universal, mengajak dan menyeru seluruh umat manusia
untuk menyembah Allah yang Maha Esa (Esposito, 2005). Jika ditilik dalam sejarah, Muslim
percaya bahwa Allah SWT mengirimkan wahyunya yang terakhir kepada Nabi Muhammad
untuk disampaikan kepada umatnya dan komunitas Muslim serta mereka diwajibkan untuk
menyebarkan keimanan tersebut:
"Kami telah mengirimkan kamu untuk menyampaikan kabar kebira dan memberi peringatan
pada semua manusia"(Al-Qur'an: 34: 28).
Pertanyaan tersebut menjadi pedoman mendasar bagi umat Islam dalam menjalankan
ajaran dan kewajiban agama Islam. yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan atau akidah
Islam itu sendiri, karena dari kepercayaan tersebut akan menghasilkan dialogis dan praksis
dalam kehidupan muslim, sehingga mampu menjadi benteng yang mendasar sebagai
penanaman nilai-nilai akidah Islam.
Islam dan Muslim dewasa ini tidak bisa dipisahkan dari pemandangan Barat dan
Amerika. Esposito menyebutkan, karena perbincangan mengenai Islam dan Barat harus
lengkap, yang berarti mengakui bahwa adanya Islam di Barat dan Amerika (Esposito J. L.,
2010). Pernyatan Esposito tersebut tentu sesuai dengan realitas akhir-akhir ini. Muslim bukan
lagi hanya berada di Timur Tengah atau Jazirah Arab, tapi sudah menjadi bagian yang saling
berjalin dengan Barat dan Amerika yang sama menikmati dan mengkonsumsi apa yang di
ruang publik, bahkan anggapan yang sangat penting menjalankan agama dan beragama. Hal
yang terakhir tersebut bisa ditemukan dari survei Gallup Poll terhadap negara yang memiliki
penduduk muslim cukup banyaak. Dari survei tersebut yang dilakukan pada negara Mesir,
Indonesia, Turki dan di Amerika Serikat, menemukan bahwa agama merupakan bagian yang
sangat penting dalam kehidupan manusia sehari-hari (Mogahed, 2008).
Pasang surut hubungan Islam dan Barat-Amerika adalah sebuah fenomena sejarah yang
demikian mengesankan dan menjadi pelajaran berharga. Tragedi 11 September yang
mencolok dan menyebar di seluruh dunia, hal itu memiliki preskripsi bahwa insiden yang
sangat bersejarah bagi bangsa Amerika dan Islam Amerika menyebabkan citra Islam kian
memburuk, namun tetap saja ada sisi positifnya sebagaimana yang terlihat di media-media
pasca tragedi tersebut.
Kecurigaan pada umat Islam pada akhirnya berubah menjadi sentimen Islamophobia
di Eropa. Masyarakat Eropa banyak yang terbawa untuk mempercayai bahwa Islam adalah
sebuah agama serta budaya yang erat kaitannya dengan teror dan bentuk-bentuk kekerasan
lainnya (Arif, 2004). Tragedi September tersebut, menurut para ahli memiliki motivasi aksi
teror itu yang paling dominan adalah aksi membalas dendam atau reaktif pada fenomena atas
ketidakadilan yang sedang dirasakan oleh golongan tertentu (Shihab, 2004). Menurutnya
tragedi tersebut memilik dua faktor besar, yaiktu eksternal dan internal. Faktor eksternal
yaitu, bahwa adanya ketidakstabilan dan ketidakadilan seikap Barat terhadap dunia Islam.
sedangkan faktor internal adalah adanya dan mengakarnya tafsir-tafsir kaku yang
~3~
tekstualistik terhadap sumber-sumber ajaran Islam, sehingga berimplikasi pada pemahaman
bahwa yang menganut agama lain mengancam eksistensi mereka (Shihab, 2004).
Akibat lain yang timbul akibat petaka terorisme khususnya pasca tragedi 11 September
2001 adalah muncul dan maraknya Islamophobia (ketakutan atas Islam) di Barat. Sebagian
masyarakat Barat menjadi takut, khawatir hingga antipati terhadap Islam dan umatnya.
Tidak hanya lewat lisan dan tulisan, Islamophobia juga mengarah ke relasi disosiatif bersifat
destruktif fisik dan nonfisik seperti ”teror” mental dan fisik terutama kepada kaum muslimin
yang menjadi minoritas di Barat khususnya di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda
dan Australia. Tentu saja kondisi ini sangat tidak konstruktif bagi dunia internasional. Tidak
hanya bagi Islam dan umatnya, namun juga bagi terciptanya peradaban global yang damai
(Wijaya, 2010).
Selain itu akibat dari peristiwa 9/11 menjadi titik tolak penduduk Amerika untuk
mengenal Islam dan penganutnya, banyak yang bertanya-tanya mengenai apa yang diajarkan
oleh Islam tersebut kepada penganutnya. Oleh karena itu banyak media yang mencoba
menjawab kebingungan mereka itu, namun media-media utama yang ada belum mampu
mengatasi berbagai kesalahpahaman asumsi mengenai Islam dan Muslim kepada
publik.Sehingga kepahaman mereka terhadap Islam tetap dari sisi negatif terutama sebagai
akibat dari penyerangan 9/11 yang oleh pemerintah AS disinyalir berasal dari umat Islam
(Nizmi, 2014).
Tidak ada pembenaran yang logis, yang ada hanyalah prasangka yang terlahir akibat
persepsi buruk yang terus menerus ditanamkan kepada diri seseorang bahwa Islam adalah
agama yang penuh dengan kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran dan membatasi
pemeluknya dengan aturan ketat sehingga tidak adanya kebebasan di dalamnya yang
berujung persepsi bahwa Islam adalah kuno, ekstrem, agama yang membawa kehancuran,
dan sebagainya. Namun, adalah sebuah keniscayaan sebagaimana dicatat oleh Esposito Islam
di Amerika mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, lebih dari satu juta orang Amerika
yang menjadi Muallaf. Sedangkan perkiraan jumlah Muslim Amerika berbeda-beda (antara 412 juta) (Esposito J. L., 2010).
Masa Depan Islam di Amerika
Banyak tugas-tugas besar yang mesti diperbaharui dan diperbaiki dalam menghadapi masa
depan dan mewujudkan cita-cita Islam, khususnya di Amerika. Identifikasi terhadap masalah
yang dihadapi Muslim merupakan hal yang mendasar agar bisa melanjutkan ke langkah
berikutnya. Dari manakah kita mesti memulai? Atau apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan yang menurut sebagaian orang terlalu apologis, namun mengandung kebenaran.
Pertanyaan ini diajukan agar arah pergerakan dan perjuangan tidak abal-abalan. Sebab, arus
utama Islam yang ada di Amerika belum bisa dinilai secara aktual dan akurat. Di samping
itu, pertanyaan tersebut juga universal, relevan, dan mendasar. Oleh karena itu pertanyaan
tersebut layak untuk dijawab.
Alasan sederhana tersebut bukanlah (asumsi) perkiraan yang tanpa dasar, sebagaimana
ditulis oleh Stephen Sulaiman Schwarts:
"Sebelum terjadi serangan 11 September ke New York dan Washington, perwakilan umat
Islam Amerika Serikat pernah mengunjungi Mufti Uzbekistan, Abdurrashid Qari Bahromow.
Ketika yang terakhir ini bertanya, apakah Wahhabi telah tiba di Amerika Serikat, perwakilan
Muslim Amerika menjawab, "Di Amerika Serikat kami punya semua bentuk Islam, termasuk
~4~
Wahhabi, Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan para Sufi. Alhamdulillah, kami bisa bersama dan
menikmati suasana yang nyaman" (Schwartz, 2007).
Keragaman Muslim atau Islam yang ada di Amerika memungkinkan setiap kelompok
akan berjalan dan berjuang sendiri-sendiri tanpa harus melibatkan kelompok yang lain, dan
itu tidak boleh terjadi. Sebab, hal itu akan memberikan peluang besar bagi kalangan
ekstremis-radikalis melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Islam dan umat Islam di
Amerika. Sebagaimana dengan keras dan tajam diingatkan oleh Bahromow, dikutip sedikit
panjang di bawah ini :
"Anda salah, karena anda sama saja berkata bahwa sekelompok orang tengah duduk di
sebuah ruangan, dan seseorang meletakkan senjata di meja di tengah-tengah mereka. Anda
bilang dengan meyakinkan bahwa senjata itu tidak akan pernah digunakan. Padahal menurut
saya, ketika sebuah senjata telah diletakkan di atas meja, senjata itu pasti kan digunakan.
Senjata itu adalah Islam ekstrem (apakah anda menyebutnya Wahabi, Salafi, atau ideologi
yang disebut ikhwanul Muslimin. Anda telah sengaja meletakkan senjata itu di atas meja
Amerika, dan mungkin saja akan digunakan untuk melawan Amerika. Saya tidak sepakat
bahwa hubungan antar kaum Muslimin di Amerika luar biasa bagus. Justru sebaliknya,
sangat berbahaya bagi Amerika dan umat Islam di sana” (Schwartz, 2007).
Sebagai seorang Mufti sangat menghawatirkan Islam yang popular atau mainstrem
berada di tangan kalangan ekstremis. Memang strategi mereka sangatlah profesional dan
sistematis-intensif dalam merekrut anggotanya, mereka bersikap eksklusif dan tidak begitu
tertarik untuk melakukan diskusi maupun dialog dengan orang yang berbeda agama, atau
bahkan berbeda madzhab dan pemahaman.
Secara garis besar wajah Islam yang dibidik dari perspeektif sosio-kultural, yaitu
moderatisme dan fundamentalisme. Dua wajah yang berseberangan tersebut mengklaim
sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang sebenarnya. Wajah yang pertama secara sederhana
bisa dipahami sebagai wajah Islam yang ramah, bersahabat, toleran, dan inklusif yang
mampu hidup berdampingan ditengah keragaman, baik itu agama, budaya, ras, maupun
profesi. Sedangkan wajah kedua, wajah Islam yang garang, mudah marah, intoleran, dan
eksklusif yang sangat menonjolkan pemahaman yang tunggal dan tidak bisa diganggu gugat.
Dari dua wajah di atas, yang mempu untuk menjawab pertanyaan tersebut menurut
penulis adalah wajah yang pertama, yaitu moderatisme. Meskipun pertanyaan tersebut akan
selalu terlintas di benak masyarakat luas (secara umum) dan orang-orang yang tercerahkan
(secara khusus) (Syari'ati, 1989). Dari pertanyaan tersebut, maka akan muncul beberapa
alasan yang bisa dipertimbangkan untuk menjawabnya. Pertama, Islam sebaimana yang kita
akui dan yakini sebagai agama yang memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana ia
hidup di dunia dan bagaimana manusia menghadapi kehidupan dunia untuk akhirat. Kedua,
Islam adalah satu-satunya agama yang tidak membedakan umatnya, baik itu berdasarkan
ras, warna kulit, pekerjaan dan lain sebagainya. Ketiga, Islam mampu memberi kehormatan,
harga diri, semangat kerja, dan menanamkan rasa persaudaraan sesama Muslim di manapun
(ukhuwah Islamiyyah) (Barboza, 1996). Tentu tanpa harus meniadakan yang lain, hakikatnya
dari dua wajah tersebut bisa saling mengisi, melengkapi dan memperkuat diri.
Namun, yang tidak kalah pentingnya untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu
diketahui siapa sebenarnya umat Islam yang ada di Amerika tersebut. Steven Barboza
menyebutkan:
"Jika diamati siapa umat Islam Amerika, maka akan segera diketahui bahwa mereka dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok: Pertama, penduduk asli (indigenous) yang lahir dan
dibesarkan di Amerika Serikat. Biasanya kaum indigenous ini seringkali berkonotasi
~5~
penduduk asli As (bukan dalam arti orang Indian), yaitu orang AS yang bernenek moyang
Eropa-Amerika atau Kaukasia: orang-orang bule yang berpindah agama atau memeluk Islam.
akan tetapi, orang-orang Afro-Amerika pun sering juga dikategorikan sebagai indegenous.
Kedua, orang-orang Muslim imigran yang berasal dari sekitar enam puluh negara yang telah
membentuk lebih dari seratus sub-kelompok. Ketiga, orang-orang menetap sementara di AS,
baik sebagai diplomat, mahasiswa, pengusaha, atau yang mempunya urusan-urusan lainnya
yang bisa disebut sojournes” (Barboza, 1996).
Dengan beragamnya orang-orang Islam di Amerika, tentu akan menjadi kompleks pula
solusi yang harus diberikan, meskipun banyaknya varian yang bisa mendukung untuk
mencapai masa depan Islam (khususnya di Amerika). Misalnya seorang wanita muallaf
Amerika mengatakan "terdapat sekitar 5-8 juta Muslim yang tinggal di Amerika Serikat, yang
melaksanakan ibadah di lebih dari 1.200 masjid di Amerika. Banyak orang tidak menyadari
bahwa umat Islam telah menjadi bagian dari lanskap budaya Amerika selama dua ratus tahun
terakhir" (Dodge, 2006). Angka tersebut sangatlah besar, dan kesadaran bahwa Muslim
Amerika telah mengalami peleburan dengan budaya Amerika sangatlah prestasi dan
apresiasi yang sangat luar biasa.
Secara garis besar ada beberapa jawaban yang menjadi pokok pembahasan dalam
pertanyaan tersebut:
1. Membangun komunikasi yang baik dan harmonis
Yang dimaksud di sini adalah bagaimana hubungan yang baik antara orang-orang
terpelajar Muslim dan yang tidak terpelajar di Amerika bisa saling berkolaborasi.
Harapan itu ditujukan agar kaum intelektual dan tidak terpelajar bisa saling memahami
secara lebih baik dan memiliki pandangan yang relatif serupa.
2. Memberikan pencerahan pada Muslim Amerika
Memberika kesadaran pada masyarakat akan pentingnya keadaan manusia di masanya,
setting historisnya serta setting kemasyarakatannya. Memang upaya ini membutuhkan
proses yang panjang dan dilakukan secara terus menerus akan memperoleh hasil yang
maksimal, tapi tanpa ada usaha ini kita akan merasa kekeringan akan pentingnya
manusia dalam kehidupan sosio-kulturnya.
3. Melestarikan kekayaan peradaban Islam
Hal ini, sebagaimana dikatakan oleh John L. Esposito, bahwa banyak orang yang tidak
mengetahui dan menyadari baik Muslim ataupun Non Muslim bahwa perkembangan
imperium Islam dan koeeksistensi yahudi-Kristen-Islam menghasilkan peradaban Islam
yang kaya dan sintesa, dan pertukaran religius serta kultural. Sebagaimana juga diakui
olehnya bahwa Islam adalah agama yang sebentar lagu akan menjadi agama yang
terbesar kedua di Amerika, gagasan yang disebutkan di atas akan menjadi semakin
terinternalisasi (Esposito J. L., Unholy war: Teror atas Nama Islam, 2003).
Jawaban tersebut bisa saja mengalami perubahan yang signifikan di lingkungan Muslim
Amerika dengan keragaman budaya yang sangat memengaruhi masyarakat Muslim. Hanya
saja, keinginan dan kemampuan untuk menghadapi dan merespon perubahan itu tetap harus
dipikirkan secara matang, sebab perubahan itu tentu memiliki dampak positif dan negatifnya.
Keberadaan masjid-masjid dan Islamic Center-pun tidak hanya ditemukan di kota-kota
besar, tapi juga bisa ditemukan di kota-kota kecil dan desa. Misalnya lebih dari 1.100 masjid
dan Islamic Center berada di Amerika Serikat, Chicago mempunyai 500.000 umat Islam dan
50 rumah ibadah. Dan menariknya adalah banyak masjid-masjid memadukan dan
mencerminkan keanekaragamannya di Amerika, majid yang lain berupa kelompok etnis atau
ras tertentu. Oleh sebab itu, mungkin lebih banyak masjid yang dibangun dari pada yang
~6~
diperlukan di suatu daerah yang digunakan untuk mengakomodasi perbedaan tersebut
(Esposito J. L., Islam The Straight Path, 2010).
Sebagaimana dalam ilmu sosial, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama lain tanpa harus memandang agama, ras, etnis, budaya, dan lain
sebagainya. Implikasinya adalah interaksi sosial dan dialog-interaktif antar agama, lintas
agama, maupun dengan orang menjadi musuh kita adalah suatu tindakan yang sangat mulia.
Upaya rekonsiliasi dan kolaborasi tidak menuntut manusia (khususnya umat Islam) untuk
bersikap eksklusif, tapi malah sebaliknya yaitu inklusif. Sebab hanya dengan paradigma
berpikir seperti itulah masa depan Islam bisa diraih secara perlahan, pertahap, hingga Muslim
benar-benar merasa berharga ditengah-tengah komunitas non-Muslim, khususnya di
Amerika.
Salah satu yang sangat mengagumkan adalah pemahaman Muslim Amerika dalam
pemakaian jilbab yang sangat beragam, ini menunjukkan bahwa Muslim di Amerrika sangat
inklusif dengan pemahaman yang berbeda sehingga bisa menjadi kekuatan dalam
memahami agama Islam. Makna jilbab bagi pemakainya memiliki berbagai macam makna.
Pertama, jilbab bagian dimensi keagamaan. Kedua, jilbab dalam dimensi politik. Ketiga, jilbab
yang berdimensi sosial-budaya. Keempat, jilbab dalam dimensi batin/spiritualitas (M. Thoyibi
Makna Jilbab bagi Peremupan Muslim Amerika: Dinamika Perjumpaan Islam dan Budaya
Amerika, 2011). Pemahaman tersebut yang mampu memperkaya khazanah keagamaan Islam
(terkhusus Amerika) yang sangat dominan dan langsung bersentuhan dengan budayabudaya Amerika. Beragam ekspresi keislaman dalam pemakaian jilbab bagi kaum Muslim di
Amerika membentuk pola kehidupan yang inklusif (terhadap pemahaman yang berbeda).
Bahkan yang sangat mencengangkan Muslim adalah hasil analisis dari Robert L. Barry,
ia mengemukakan "perhatian dan sikap keterbukaan oleh Amerika kepada Islam. Barry
mencontohkan: satu, pertumbuhan cepat kelompok-kelompok antar agama yang memajukan
dialog, saling pengertian, dan kerja sama dalam menyelesaikan problem di lingkungan aneka
macam tradisi keagamaan termasuk Islam, dua, semkin tinggi sikap keterbukaan rakyat
Amerika terhadap bentuk-bentuk budaya dan seni dunia Islam, ketiga, pengakuan terhadap
Muslim Amerika sebagai bagian elemen masyarakat Amerika (Barry, 1994).
Ancaman Islam di Amerika
Secara umum, semua agama bisa saja menjadi ancaman bagi siapapun termasuk di daerah
kelahiran agama tersebut, dengan catatan agama-agama tersebut tidak mengancam
keberadaan masyarakat setempat, baik mengancam kepercayaan nenek moyang, ras, etnis,
budaya maupun sistem sosialnya. Dengan asumsi dasar tersebut barulah kita bisa
merumuskan perihal yang sangat fundamental dalam ruang lingkup dan ruang gerak bagi
kemajuan/masa depan maupun kemunduran/ancaman agama (Islam) tersebut.
Islam di Amerika merupakan suatu entitas yang mesti diperhatikan dalam pergerakan
maupun perkembangannya, sebab Islam di sana bukanlah sebagai tuan rumah melainkan
hanya sebagai tamu yang bisa memberikan warna dalam kehidupan masyarakat Amerika.
Oleh sebab itu tindakan semena-mena atas nama Islam haruslah dihindarkan, agar citra dan
nama baik agama Islam serta Muslim tidak ternodai hanya dikarenakan oleh tindakantindakan yang tidak disetujui oleh masyarakat umum.
Islam, begitu pun dengan agama lainnya, memiliki ajaran maupun hukum yang wajib
atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam ada hukum Islam,
yang memberikan cetak biru masyarakat yang baik, Islam yang ideal. Oleh sebab itu, syari'ah
~7~
atau jalan menuju tuhan merupakan kumpulan prinsip umum, nilai-nilai, dan sesuai dengan
arah yang diwahyukan oleh Tuhan untuk membentuk aturan-aturan maupun cara yang
detail sehingga sudah siap untuk diterapkan oleh hakim maupun umat Islam seluruh dunia
(Esposito J. L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, 1994).
Hukum Islam, sebagaimana dipahami sebagian kelompok, memiliki jangkauan sangat
lengkap, mulai dari peraturan yang mengatur perihal ibadah dan peraturan yang berkaitan
dengan norma-norma sosial masyarakat. Misalnya rukun Islam (Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa,
dan Haji) adalah perpaduan tanggung jawab individual, tanggung jawab sosial dan
kesadaran yang bersifat umum ataupun perorangan dalam masyarakat Islam yang lebih luas.
Pertanyaannya adalah, apakah hukum Islam tersebut bisa mewakili seluruh aspirasi
atau aliansi umat Islam di dunia? Meskipun ini menjadi persoalan yang tidak pernah final
atau selesai untuk dikaji oleh Muslim di seluruh dunia, namun tetap relevan untuk
dipertanyaan. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa hukum Islam memiliki peranan besar
dalam kehidupan umat Islam (Muslim). Sehingga ada peluang yang sangat besar bagi
Muslimin untuk memahami dan menerapkannya dengan metode-metode yang berbeda.
Aktor yang inheren dalam hukum Islam adalah ulama atau tokoh agama yang menjadi
kepercayaan umat Islam dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.
Implikasinya adalah tokoh-tokoh agama yang mampu menggunakan akalnya untuk
bekerja keras yang akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Misalnya di
era saat ini tidak bisa disangkalkan bahwa labelisasi kepada Islam seperti moderatisme,
Islamisme, fundamentalisme, maupun terorisme yang diberikan kepada Muslim tertentu
adalah hasil dari pemahamannya terhadap Al-Qur'an maupun Hadits sebagai sumber yang
paling otoritatif dalam hukum Islam. Sehingga mampu mendorong dan memotivasi bagi
pergerakan maupun perjuangan kaum Muslimin, meskipun terkadang di satu sisi polarisasi
itu terlihat ambivalen.
Dari beberapa pelabelan tersebut, kelompok fundamentalisme Islam, menurut Esposito,
kerap kali diduga sebagai ancaman terbesar baik bagi stabilitas regional Timur Tengah
maupun kepentingan Barat atau Amerika di negara Islam. Ia melanjutkan sebagian orang
Amerika mengira, setelah runtuhnya komunisme mereka mencari musuh baru untuk
melakukan pengujian kekuasaannya, yaitu Islamlah pilihan mereka sebagai musuh baru
tersebut (Esposito J. L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, 1994). Ketakutan atas ancaman
Islam tersebut akan memberi vitalitas yang tinggi bagi Islam yang memilik beragam corak
warna. Sebab isu-isu Islam bertentangan dengan Modernisme, demokrasi, HAM, dan
egalitarianisme sudah tidak mempan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Isuisu tersebut hanya banyak dapat tantangan dari sebagian kelompok Islam (seperti
fundamentalisme Islam) yang memiliki massa sedikit namun bersuara yang lantang dan
keras, sehingga menarik perhatian umat Islam secara umum.
Misalnya Esposito menyebutkan:
"Ketika Dan Quayle, wakil Presiden Amerika Serikat berbicara mengenai bahayanya
fundamentalisme Islam radikal, memasukkannya ke dalam kelompok yang sama dengan
Nazisme dan komunisme’ (Esposito J. L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, 1994).
Penilaian tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata, bukan berarti Quayle benarbenar benci terhadap Islam atau memusuhi Islam. Tapi bisa juga dianggap sebagai kritikkonstruktik terhadap Muslim, mengingat aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian
Muslim di tempat umum memang tidak bisa dielakkan. Kritik-konstruktif yang dimaksud
adalah Muslim mampu memperkaya diri atau pemahamannya tentang Islam tidak dari
kelompok atau golongan yang satu pemahaman, tapi juga mencari pemahaman dari
~8~
komunitas Muslim yang berbeda, hal ini memang bukanlah mudah, namun tidak salah bukan
untuk dicoba.?
Namun, yang mesti menjadi perhatian Muslim Amerika dan warga Amerika umumnya
adalah bagaimana Muslim dan masyarakat memahami dan merespon terhadap penyebutkan
Islam sebagai ancaman. Tentu warga yang cerdas dan dewasa tidak dengan mudah untuk
menerima atau mungkin menolak steretipe-stereotipe dan solusi-solusi yang asal main
tembak seenaknya saja. Apakah masyarakat ingin memilih jalan yang mudah atau sulit? Atau
mungkin konsepsi apa yang akan kita pahami? Jawaban tersebut akan memberikan konklusi
yang matang dan kokoh atau rapuh dan lemah. Itu bisa menjadi salah satu pendekatan yang
sederhana, namun sulit untuk diterapkan. Konsekuensinya adalah sebagaimana disebutkan
oleh Esposito, orang-orang Amerika yang tinggal dengan Muslim sedikit, mereka
mengatakan hanya tahu sedikit atau tidak tahu sama sekali tentang Islam. karena itulah tidak
mengherankan jika teroris berbuat kekerasan yang mengatasnamakan agama (Islam) di Paris
dan San Bernardino, mereka lebih tertariik kepad para demagog di Amerika, seperti Donald
Trump dan di Eropa dengan membawa isu-isu umat Muslim dan Islam ke perdebatan politik
(Karen Armstrong, 2018).
Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa ketakutan dan kehawatiran masyarakat
terhadap Islam bukanlah hal yang baru, misalnya masa awal Islam itu didakwahkan oleh nabi
Muhammad di Mekah. Ternyata banyak masyarakat pribumi yang merasa terancam dan
terganggu, baik itu secara ekonomi, politik maupun kepercayaan. Begitupun juga yang terjadi
di Amerika. Apakah bangsa Amerika merasa terancam dengan kehadiran Islam atau Muslim
atau hanya beberapa kelompok yang memiliki kepentingan berbeda dengan Islam secara
politik, agama, maupun sosial? Bagaimana para analisis dan media-media memberikan
informasi yang mengarahkan pemahaman kita kepada penilaian negatif tentang Islam,
sehingga hasil itu akan memperbodoh, mempersempit perspektif, dan memperluas problem
Islam vis a vis Amerika dewasa ini.
Jika informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat selalu memberitakan hal-hal yang
negatif, maka tidak menutup kemungkinan dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya bahwa
sebagian kelompok Islam memanfaatkan agama sebagai alat (dalam khutbah-khutbah atau
simbol-simbol Islam) melegitimasi atas tindakan-tindakan kalangan Islam fundamentalis
sehingga memberikan bahaya bagi negara maupun masyarakat. Esposito dengan sangat jelas
menuliskan terkait hal di atas, "Islam politik, seolah-olah ada rasa keterpanggilan pada seruan
agama atau ideologi tertentu, yang bisa memberikan efektifitas dan tentunya dapat
membahayakan. Ancaman tersebut menjalar terhadap rasa puas diri masyarakat barat (secara
spiritual, sosial, hingga politik". Menurutnya, Islam pada bentuk-bentuknya, bisa dilihat
sebagai tantangan sekaligus bantahan langsung terhadap tradisi yang kita anut selama ini
(materialisme, liberalisme, maupun individualisme), bahkan juga bantahan pada komitmen
kita dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi serta kebebasan berekspresi (Esposito J. L.,
Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, 1994). Misalnya gerakan-gerakan yang melakukan
pembongkaran atau perombakan pada suatu tatanan yang dianggap sudah mapan. Sehingga
gerakan tersebut seolah-olah melawan pemerintah atau pemahaman umum yang sudah
berkembang bagi suatu pemerintahan.
Jalan Baru Islam di Amerika
Bagaimana Islam/Muslim menjawab atas tudingan bahwa Islam merupakan ancaman
(bermakna negatif) atau tantangan (bermakna positif) dalam mewujudkan sebuah
~9~
perdamaian antar agama maupun antar budaya yang ada di Amerika? Yang menjadi pijakan
dasar Islam tentu melakukan rekonstruksi atau mungkin dekonstruksi terhadap citra Islam
di Amerika.
Tuntutan bagi setiap Muslim Amerika tentu tidak terelakkan, selain dakwah yang telah
dilakukan oleh Muslim Afro-Amerika. Sehingga memperkenalkan Islam bagi masyarakat
Amerika adalah suatu keharusan. Pendirian perpustakaan yang diberi nama "Muslim Public
Library" di California, adalah suatu upaya yang dilakukan masyarakat Muslim agar bisa
memberikan pengetahuan tentang Islam di sana. Perpustakaan tersebut bermaksud untuk
studi keagamaan, penyesuaian kebudayaan Amerika bagi keluarga Muslim, dan
mempekenalkan Islam kepada non-Muslim. Karena banyak sekali distorsi yang diberitakan
oleh media atau analis-analis yang berkepentingan. Dengan adanya distorsi tersebut sehingga
terjadi pembakaran Masjid di Yuba City, dan di New York. Distorsi atas gambar Islam itu
terjadi, menurut Nihad Awad, karena Muslim Amerika sampai hari ini tidak memiliki atau
belum kelihatan pengalaman di bidang politik, serta kurang akrab dengan budaya populer
(seperti dalam bidang industri media dan perfilman) (Mubarok, 2012).
Dominasi gambaran yang keliru tentang Islam telah merambat ke dunia akademik
(kampus, sekolah dll) yang menggunakan berbagai macam bentuk. Dari buku atau karya tulis
hingga kedunia perfilman yang mengandung steretipe, prejudis dan cendreng memusuhi
Islam (Shihab, 2004). Meskipun penganut Islam kian hari bertambah dan organisasi keislaman
semakin menyebar, tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa pandangan tentang Islam telah
berubah.
Selain di California, di Washington terdapat "Islamic Center", yang merupakan pusat
kegiatan Islam dalam berbagai persoalan Muslim Amerika. Misalnya, penentuan awal
Ramadhan, hari raya idul firi, serta jadwal shalat sehari-hari (Mubarok, 2012). Islamic Center
menjadi sarana pembentukan rumusan misi Islam yang akan diterapkan di Amerika sesuai
dengan sosio-kultur bangsa Amerika.
Tidak hanya itu, Muslim Amerika juga memiliki berbagai macam organisasi yang
menaungi persatuan Muslim di Amerika, yang bertujuan untuk memperkokoh persaudaran
(ukhuwah Islamiyyah) antar Muslim di sana. Seperti, ICNA (Islamic Circle of North Amerika),
yang beranggotakan dari etnis, dan ras yang beragam. Dan organisasi ini dianggap sebagai
organisasi grass root terdepan Muslim Amerika (Nizmi, 2014). Melalui lembaga-lembaga
yang telah dibentuk tersebut umat Islam bisa semakin intens dalam melakukan dakwahdakwah yang ramah, memperkenalkan Islam dengan komprehensif, mampu menciptkan
transformasi maupun inovasi dalam tubuh umat Islam yang ada di Amerika, sehingga
islamophobi yang ada di Amerika atau label anti-Amerika bisa semakin berkurang.
Kesimpulan
Islam sebagai agama yang relevan di manapun dan kapanpun, menjadi sangat terlihat citra
Islam yang positif dalam kehidupan Muslim atau kehidupan keberagamaan di Amerika. Naik
dan turunnya citra Islam yang positif adalah sebuah kewajaran apa lagi Islam yang dimaksud
di sini adalah Islam yang tidak lahir di daerah asalnya. Islam sebagaimana agama-agama
misionaris yang lain akan selalu memberikan arahan yang sesuai dengan anjuran agamanya
masing-masing, tidak mungkin anjuran itu menyebabkan pemeluknya menimpa bahaya atau
kerusakan.
Hal ini secara normatif diyakini bahwa Islam akan memberikan sumber inspiran dan
sumber etik-moral dalam kehidupan umatnya, sehingga mampu mewujudkna visi diutusnya
~ 10 ~
Nabi Muhammad, yaitu rahmatan lil 'alamin. Tepat untuk menyimpulkan bahwa, ada dua
alasan mengapa suatu perdamaian bisa terwujud dalam masyarakat. Pertama, karena adanya
elemen masyarakat yang masih memegang teguh ide dan spirit perdamaian untuk kemudian
mengkampanyekannya. Kedua, karena adanya prakarsa dari para aktor konflik untuk
melakukan rekonsiliasi.
Daftar Pustaka
Arif, M. Q. (2004). Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam dalam Isu
Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish.
Barboza, S. (1996). Jihad Gaya Amerika, terj. Sudirman Said. Bandung: Mizan.
Barry, R. L. (1994). Amerika Serikat, Islam dan Indonesia. Bestari, 70-77.
Dodge, C. H. (2006). Kebenaran Islam: Segala hal tentang Islam dari A-Z. Yogyakarta: PT.
Anindiya Mitra Internasional.
Esposito, J. L. (1994). Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Bandung: Mizan.
Esposito, J. L. (2003). Unholy war: Teror atas Nama Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Esposito, J. L. (2005). Islam Aktual. Depok: Inisiasi Press.
Esposito, J. L. (2010). Islam The Straight Path. Jakarta: Dian Rakyat.
Karen Armstrong, d. (2018). Islamfobia: Melacak Akar Ketakutan terhadap Islam di Dunia Barat.
Bandung: Mizan.
M. Thoyibi Makna Jilbab bagi Peremupan Muslim Amerika: Dinamika Perjumpaan Islam dan
Budaya Amerika. (2011). Ijtihad.
Mogahed, J. L. (2008). Saatnya Muslim Bicara: Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan,
HAM, dan Isu-isu Kontemporer lainnya. Bandung: Mizan.
Mubarok, A. A. (2012). Medologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nizmi, W. F. (2014). Upaya ICNA (Islamic Circle of North America) dalam Melawan
Islamophobia di Amerika Serikat. Jom FISIP, 1-15.
Schwartz, S. S. (2007). Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global.
Jakarta: Blantika.
Shihab, A. (2004). Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan Meluruskan Kesalahpahaman.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syari'ati, A. (1989). Membangun Masa Depan Islam. Bandung: Mizan.
Thoyibi, M. (2011). Makna Jilbab bagi Peremupan Muslim Amerika: Dinamika Perjumpaan
Islam dan Budaya Amerika. Ijtihad, 81-96.
Wijaya, S. H. (2010). Media dan Terorisme (Stereotype Pemberitaan Media Barat dalam
Propaganda Anti-Terorisme oleh Pemerintah Amerika Serikat di Indonesia Tahun
2002). THE MESSENGER, 27-41.
~ 11 ~