Uraian Kasus Pasca reformasi pada 1998, Indonesia menuju negara yang lebih demokratis. Merupakan tonggak sejarah akan jaminan Hak Asasi Manusia yang kemudian diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia...
moreUraian Kasus Pasca reformasi pada 1998, Indonesia menuju negara yang lebih demokratis. Merupakan tonggak sejarah akan jaminan Hak Asasi Manusia yang kemudian diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Empat kali amandemen UUD. Salah satu hak yang dijamin tersebut adalah terkait hak politik seseorang untuk dipilih maupun memilih, yakni hak yang menjadi legitimite bagi seseorang untuk menduduki kursi jabatan dalam pemerintahan. Alih-alih berharap lepas dari kekangan sentralitas dan otoritarianisme masa Orde Baru, ternyata muncul persoalan baru dalam upaya demokratisasi pemerintahan yakni berupa politik dinasti. Meskipun dalam historisnya telah mengakar sejak lama seiring hadirnya demokrasi modern. Bahkan Negara Amerika sekalipun yang dirasa sebagai negara paling demokratis tidak luput dari praktik dinasti politik. Di negara lain seperti Filipina hampir 80 provinsi terindikasi politik tersebut, di mana 74 persen wakil rakyatnya terpilih karena adanya politik dinasti. Di Indonesia sendiri, politik dinasti seakan menjadi fenomena yang familiar. Pesta demokrasi yang diadakan 5 tahun sekali baik tingkat nasional dan lokal seakan sulit dipisahkan dengan praktik tersebut. Sebut saja dinasti politik yang dibangun oleh Ratu Atut Chosiah ketika menjabat Gubernur Banten Periode 2007-2012. Dalam periode yang hampir bersamaan suaminya menjabat sebagai anggota DPR, anak sebagai anggota DPD, menantu duduk di kursi DPRD Kota Serang, dan 6 anggota keluarga lainnya, seakan membentuk lingkaran kekuasaan keluarga. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah membatasi politik dinasti sebagaimana termuat dalam Pasal 7 huruf r, bahwa syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Adapun yang dimaksud dengan frasa di atas dijabarkan dalam penjelasan sebagai berikut Yang dimaksud dengan " tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana " adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat luruske atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Namun, sebagai negara yang mengakui jaminan akan Hak Asasi Manusia bisa dikatakan sebagai konsekunsi logis bahwa pemerintahan hari ini sangat erat dengan politik kekerabatan meskipun telah ada larangannya. Ini pula yang mendasari Adnan Purichta Ichsan anggota DPRD Sulawesi Selatan yang juga merupakan anak dari Bupati Gowa Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpoyang untuk mengajukan uji materil UU No. 8 Tahun 2015, salah satunya berkaitan dengan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya yang dinilai mengekang hak setiap warga negara untuk duduk di kursi pemerintahan yang merupakan jaminan atas persamaan di dalam pemerintahan dan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD, pada 20 Februari 2015 lalu.