Kendati belum disadari secara luas, fakta sejarah menunjukkan bahwa budaya visual Tionghoa di Indonesia telah ada sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga masa kontomporer. Dengan demikian eksistensinya telah ada jauh sebelum... more
Kendati belum disadari secara luas, fakta sejarah menunjukkan bahwa budaya visual Tionghoa di Indonesia telah ada sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga masa kontomporer. Dengan demikian eksistensinya telah ada jauh sebelum pengaruh yang datang dari India, Timur Tengah, apalagi Barat. Dalam bentangan masa yang panjang itu, representasi budaya tersebut disertai beragam konsep dan situasi sosial di belakangnya.
Siapa yang tidak kenal dengan tahu Sumedang? Mayoritas masyarakat Indonesia pasti mengenal kuliner khas yang sudah menjadi ikon Kota Sumedang ini. Bagaimana tidak, tahu Sumedang ini memiliki cita rasa yang berbeda dengan tahu lainnya.... more
Siapa yang tidak kenal dengan tahu Sumedang?
Mayoritas masyarakat Indonesia pasti mengenal kuliner khas yang sudah menjadi ikon Kota Sumedang ini. Bagaimana tidak, tahu Sumedang ini memiliki cita rasa yang berbeda dengan tahu lainnya. Bagian luarnya yang renyah serta bagian dalamnya yang lembut dan gurih tentu memberikan sensasi dan cita rasa yang berbeda saat menyantapnya.
Buku ini menceritakan kisah yang dituturkan oleh anggota keluarga Bungkeng, sebuah kisah tentang perjalanan tahu Sumedang sejak 100 tahun silam serta bagaimana mereka menciptakan, menjaga, dan membaginya kepada masyarakat luas. Selain itu, buku ini juga mengulas hal-hal mengenai sejarah, pertukaran moral, konsistensi dan ketulusan, serta inovasi produk kuliner yang terbalut dalam konteks tahu Sumedang dan para pelaku usahanya di Kota Sumedang.
Dengan adanya kreativitas dari para pelaku usaha tahu Sumedang dan dukungan yang memadai dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, industri tahu Sumedang diharapkan tidak hanya bisa mempertahankan eksistensinya, tetapi juga bisa melebarkan usahanya ke skala nasional, bahkan internasional. Selain itu, dengan terbitnya buku ini, diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan pembaca terhadap perjalanan tahu Sumedang.
Pemerintah kolonial secara hukum mengkotak-kotakkan kelompok etnis di Hindia Belanda menjadi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Kebijakan divide et impera ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kemungkinan munculnya yang... more
Pemerintah kolonial secara hukum mengkotak-kotakkan kelompok etnis di Hindia Belanda menjadi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Kebijakan divide et impera ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kemungkinan munculnya yang berpotensi membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial. Tidak mengherankan bila kemunculan nasionalisme di Indonesia pada awal abad XX diwarnai dengan primordialisme yang amat kental di antara masing-masing kelompok etnis. Pada akhir tahun 1920-an muncul orang-orang dari golongan Tionghoa dan Arab yang dengan sadar “meloncati” pagar-pagar hukum kolonial dan sekat rasial, serta secara aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
At the end of nineteenth century the Chinese in colonial Java – most of whom were descendants of Sino-Javanese marriages and known as peranakan – prospered economically, but were held in contempt by the Dutch and the Javanese, encountered... more
At the end of nineteenth century the Chinese in colonial Java – most of whom were descendants of Sino-Javanese marriages and known as peranakan – prospered economically, but were held in contempt by the Dutch and the Javanese, encountered legal discrimination and faced challenges to educating their children at European schools. This marginal position drove them to reinvent their Chinese identity, at a time when most had lost the ability to speak and write Chinese. Concurrently, their position as second-class citizens also made them strive to become 'civilized subjects', on a par with the Europeans. This chapter highlights the role played by several figures among the 'enlightened Chinese' in completing the double task of inventing 'Chineseness' and attaining a 'civilized' status. Paradoxically, the reinvention of Chinese tradition among the peranakan was shaped not by Chinese language and script, but rather through a lingua franca they all mastered: Malay. Translations of Western and Chinese sources into Romanized Malay played a critical role in the peranakans' acquiring of a new Chinese identity and in their struggle for acceptance as a 'civilized,' 'modern' community.
This paper discusses about the historical setting of the Chinese community in Tondano Town, better known as “China-Tondano” and identifies the factors that make this community continue to exist and the extent of their role in economic and... more
This paper discusses about the historical setting of the Chinese community in Tondano Town, better known as “China-Tondano” and identifies the factors that make this community continue to exist and the extent of their role in economic and social life as a result of interaction with Tondano local people. The research method is the historical method which consists of heuristics, criticism, interpretation and historiography. The Tionghoa community that has arrived in Tondano since the late nineteenth century has successfully established a harmonious social interaction in the form of marriages with local people. Even, they are able to fuse with the local people. The social interaction in its development facilitate them in developing the economic activities that is the main purpose of their arrival to the Minahasa Land.
Keywords: Tionghoa Community, Tondano Town, China Tondano, social interaction.
Orang Tionghoa terutama di Indonesia bagaikan orang Yahudi di Eropa atau khususnya Jerman pada masa pemerintahan Nazi. Orang Tionghoa dicap sebagai orang kaya dan pelit yang berusaha menghisap kekayaan Indonesia untuk keuntungannya... more
Orang Tionghoa terutama di Indonesia bagaikan orang Yahudi di Eropa atau khususnya Jerman pada masa pemerintahan Nazi. Orang Tionghoa dicap sebagai orang kaya dan pelit yang berusaha menghisap kekayaan Indonesia untuk keuntungannya sendiri. Mereka dimusuhi dan tidak dianggap sebagai bagian dari Republik Indonesia. Mereka bagaikan memiliki dosa asal karena terlahir sebagai Tionghoa di Indonesia. Mereka dianggap rakus akan uang dan tidak mau berbaur dengan penduduk yang katanya " asli " yang mungkin hanya datang lebih dulu datang ke tanah yang bernama Indonesia. Mengapa mereka bisa terlihat lebih kaya? Sebab mereka bekerja keras dalam hidup. Mental kerja keras itu sudah didapat dari tanah leluhurnya yang terus rusuh mulai dari bencana, perang, dan serbuan bangsa " barbar " , sehingga mereka keluar dari tanahnya untuk hidup yang lebih layak. Hidup sebagai perantau jauh lebih berat, oleh karena itu orang-orang Tionghoa lebih ekstra dalam menghadapi segala hal. Dan ingat tidak semua orang Tionghoa di Indonesia kaya, banyak dari mereka juga miskin dan tertindas seperti di Tangerang dan Kalimantan Barat. Jangan lupa pula bahwa keberadaan orang Tionghoa di Nusantara sudah sangat lama bahkan mereka sudah ada di tanah ini sebelum Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara berdiri, walaupun tidak bisa dibilang lebih lama dari orang-orang yang mendirikan kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Kemudian karena gelombang kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara pada abad-abad 18 dan 19-lah mengapa mereka dicap sebagai pendatang.
Propaganda untuk menyebut orang-orang Yahudi dan Cina sebagai komunitas 'asing' dan berbahaya bagi penduduk Nusantara, berlangsung selama beberapa abad. Politik kolonialisme yang dimainkan penguasa Hindia Belanda, merupakan pemicunya.... more
Propaganda untuk menyebut orang-orang Yahudi dan Cina sebagai komunitas 'asing' dan berbahaya bagi penduduk Nusantara, berlangsung selama beberapa abad. Politik kolonialisme yang dimainkan penguasa Hindia Belanda, merupakan pemicunya. Bagaimana kisahnya?
Modernisasi awal abad XX telah membawa pengaruh dalam pembentukan mentalitas, cara pandang, perilaku, dan gaya hidup masyarakat, baik di wilayah pedalaman maupun masyarakat urban perkotaan. Masuknya budaya Barat, maraknya tempat-tempat... more
Modernisasi awal abad XX telah membawa pengaruh dalam pembentukan mentalitas, cara pandang, perilaku, dan gaya hidup masyarakat, baik di wilayah pedalaman maupun masyarakat urban perkotaan. Masuknya budaya Barat, maraknya tempat-tempat hiburan, dan tingginya tuntutan gaya hidup bagi kalangan masyarakat atas telah berdampak pada perilaku menyimpang di kalangan kaum Adam terhadap kaum Hawa. Mobilitas sosial vertikal wanita yang kerap terhambat karena faktor ekonomi dan sosial budaya menempatkan wanita di posisi inferior. Kehidupan wanita kerap dijadikan sebagai media ekploitasi baik secara fisik maupun mental tanpa mengenal perbedaan etnisitas demi menemani atau bahkan memuaskan nafsu laki-laki. Tercatat berbagai istilah tertentu untuk para wanita penghibur yang bermakna peyoratif atau merendahkan. Realitas tersebut kerap dijadikan sebuah karya sastra bertema masyarakat Hindia Belanda oleh sastrawan Barat era kolonial. Kisah tragis Fientje de Feniks merupakan satu diantara berbagai kerasnya realitas sosial Batavia. Tulisan ini mencoba merekonstruksi petite histoire tentang dinamika kehidupan wanita dari berbagai kalangan etnis dan strata sosial di wilayah rode lamp (lampu merah) Batavia terkait dengan kekerasan dan perlakuan yang diterima. Wanita selalu ditempatkan pada posisi yang dipinggirkan namun tetap dibutuhkan. Dokumen tertulis dan sumber-sumber alternatif -novel, foto, video, karikatur- dioptimalkan agar mampu menghasilkan pemahaman sejarah secara komprehensif dan holistik. Kata Kunci: Wanita, Eksploitasi, Batavia
Eksistensi etnis Muslim-Tiongkok di Bandung dapat ditelusuri melalui beberapa aspek, salah satunya adalah masjid-masjid yang berlanggam budaya Tiongkok. Implementasi budaya Tiongkok pada Masjid Lautze 2 Bandung dan Masjid Al-Imtizaj yang... more
Eksistensi etnis Muslim-Tiongkok di Bandung dapat ditelusuri melalui beberapa aspek, salah satunya adalah masjid-masjid yang berlanggam budaya Tiongkok. Implementasi budaya Tiongkok pada Masjid Lautze 2 Bandung dan Masjid Al-Imtizaj yang mengandung unsurunsur arsitektur klenteng membuat keberadaan jejak Muslim-Tionghoa di Bandung semakin jelas. Masjid Lautze 2 Bandung mengadaptasi unsur-unsur budaya Arab, Islam, dan Cina. Sama halnya dengan Masjid Al-Imtizaj. Akulturasi yang terjadi pada kedua bangunan suci tersebut menyiratkan terdapatnya toleransi budaya yang terjadi di dalam masyarakat Kota Bandung. Tulisan ini mengulas berbagai komponen pada gaya arsitektur kedua masjid tersebut yang mengandung budaya Tiongkok
This contribution deals with one of the less-known aspects of Indonesian historiography: the Chinese minority under Japanese occupation. Due to the administrative division during wartime Indonesia, the geographical subject is limited to... more
This contribution deals with one of the less-known aspects of Indonesian historiography: the Chinese minority under Japanese occupation. Due to the administrative division during wartime Indonesia, the geographical subject is limited to Java island. Three major questions are addressed by the author: (1) the Chinese adaptation process in the new political system (from Dutch to Japanese regime), (2) Japanese policies towards the Chinese minority during the occupation, (3) the impact of Japanese occupation on the Chinese, with special reference to their political stance towards the Indonesian revolution. In conclusion, the author describes the political situation of the Chinese in Indonesia fifty years after the occupation (in Soeharto's New Order), which retains certain patterns similar to the Japanese occupation days.
In this study, a novel continuous reactor has been developed to produce high quality methyl esters (biodiesel) from palm oil. A microporous TiO2/Al2O3 membrane was packed with potassium hydroxide catalyst supported on palm shell activated... more
Abstrak Komunitas Tionghoa Batavia merupakan sebuah entittas sosial yang terbesar di Nusantara dan Hindia Belana. Keberadaan mereka berdampak pada perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kehadiran mereka di Nusantara diperkirakan... more
Abstrak Komunitas Tionghoa Batavia merupakan sebuah entittas sosial yang terbesar di Nusantara dan Hindia Belana. Keberadaan mereka berdampak pada perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kehadiran mereka di Nusantara diperkirakan sebelum abad V sehingga menjadikan masyarakat etnis Tionghoa merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Komunitas Tionghoa di Batavia berpengaruh terhadap pelbagai kebijakan demi menghabat akses sosial vertikal dan sosial dengan barbagai restriksi. Meski demikian J.P. Coen dan Raffles sepakat bahwa etnis Tionghoa merupakan " jiwa dari perdagangan Nusantara dan Hindia Belanda " , keberadaan mereka dibutuhkan namun juga disingkirkan demi kepentingan politis elite kolonial.
This paper presents exhaust gas emissions characteristcs of a new direct injection (DI) compressed natural gas (CNG) engine using a low cost catalytic conveter (Catco). The pollutants exhaust gas emissions measured were CO, HC and NOx... more
Oey Tjeng Hien, kelak dikenal sebagai Abdul Karim Oey adalah contoh manusia yang berusaha menjalankan ketakwaannya secara nyata. Hidup dengan menghayati Al-Ma’un, Oey Tjeng Hien tidak hanya berjihad menghapus sekat antara kelompok muslim... more
Oey Tjeng Hien, kelak dikenal sebagai Abdul Karim Oey adalah contoh manusia yang berusaha menjalankan ketakwaannya secara nyata. Hidup dengan menghayati Al-Ma’un, Oey Tjeng Hien tidak hanya berjihad menghapus sekat antara kelompok muslim dan keturunan Tionghoa, tapi juga berdiri tegak menentang penjajah bersama tokoh Muhammadiyah, Mas Mansur, Soekarno dan Buya Hamka.
This is an analysis of Chinese ID cards during Japanese occupation in Java, based on my private collection. The article is the first attempt toward my bigger plan to write a book on Chinese ID cards in Indonesia, from the beginning of the... more
This is an analysis of Chinese ID cards during Japanese occupation in Java, based on my private collection. The article is the first attempt toward my bigger plan to write a book on Chinese ID cards in Indonesia, from the beginning of the twentieth century to ca. 1970s.
"Charlotte Setijadi-Dunn and Thomas Barker (2010) Imagining ‘Indonesia’: Ethnic Chinese film producers in pre-independence cinema, "Asian Cinema", Vol. 21, No. 2, Fall/Winter. In this paper, we aim to re-examine the roles of ethnic... more
"Charlotte Setijadi-Dunn and Thomas Barker (2010) Imagining ‘Indonesia’: Ethnic Chinese film producers in pre-independence cinema, "Asian Cinema", Vol. 21, No. 2, Fall/Winter.
In this paper, we aim to re-examine the roles of ethnic Chinese filmmakers in Indonesian cinematic history as a preliminary study in the reconsideration of the early years of the film industry. Here, we regard the simplification of ethnic Chinese history in the film industry as part of a broader attempt by nationalist and New Order ideologues to ‘appropriate’ the origins of cinema and ‘national culture’ in Indonesia. On the same note, we argue that the narrative tradition that privileges ‘indigenous’ filmmakers as the originators of asli (‘authentic’ or ‘true’) Indonesian culture on screen reflects the dominant yet narrow definition of nationalism as based on ethnic and cultural primordialism. We challenge this common historical construction and assert that in the first decades of Indonesian cinema, ethnic Chinese filmmakers played pivotal roles in forming the images of Indonesian culture and peoples on screen."
Chinese descendants in Indonesia, known as Tionghoa, have suffered from discrimination since the New Order regime, ranging from policy to identity status. The discrimination reached its peak in May 1998 as the riots blew up against... more
Chinese descendants in Indonesia, known as Tionghoa, have suffered from discrimination since the New Order regime, ranging from policy to identity status. The discrimination reached its peak in May 1998 as the riots blew up against Chinese descendants. The riots have been a footage of dark history that destroyed the identity of Chinese descendants in Indonesia leads and this leads to transformation in the social life of the Chinese descendants in Indonesia up to present, in particular in their identity. This research discusses the transformation of identity among Chinese descendants in Indonesia drawing on the case of Chinese descendants in Lasem. This research applies qualitative method with a case study approach. This research finds that the Chinese descendants in Lasem attempts to construct their new identity through culture hybridization and mimicry that is mingled with the identity of the local community. Through this process, they successfully create a new identity as Chinese-Javanese or wong Lasem that leads them to experience a survival and harmonious life with the local. Since the reforms, this new identity fosters the strong and harmonious interaction between the Javanese and Chinese in Lasem that slowly blurs the identity of the two ethnics.
Abstrak Modernisasi awal abad XX telah membawa pengaruh dalam pembentukan mentalitas, cara pandang, perilaku, dan identitas elite Tionghoa peranakan. Pendidikan merupakan jalur terbaik dalam transfer mentalitas Barat, baik di Hindia... more
Abstrak Modernisasi awal abad XX telah membawa pengaruh dalam pembentukan mentalitas, cara pandang, perilaku, dan identitas elite Tionghoa peranakan. Pendidikan merupakan jalur terbaik dalam transfer mentalitas Barat, baik di Hindia Belanda maupun di luar negeri. Pendidikan menjadi penghubung transfer pemikiran Barat dan memperluas jaringan sosial untuk berbagai kepentingan, antara lain: ekonomi, politik, budaya, dan bidang pendidikan. Pengaruh modernitas yang intens juga berpengaruh terhadap cara pandang dan pergaulan di lingkungan internal etnis Tionghoa. Hal tersebut tampak pada keengganan kelompok sosial etnis Tionghoa tertentu untuk menjalin hubungan sosial dengan masyarakat Tionghoa yang dirasa terlalu kolot dan merasa lebih nyaman dengan pergaulan komunitas Barat.Intensitas pergaulan dan kehidupan bermasyarakat tersebut telah melahirkan sebuah komunitas Tionghoa yang mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah identitas berdasarkan kemampuan berbahasa Belanda. Bahasa Belanda menjadi media infiltrasi Belanda-nisasi dari berbagai aspek yakni: bahasa, perilaku, selera fesyen, kuliner, cara pandang, dan mentalitas yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini akan membahas dinamika dan dampak penggunaan politik bahasa di kalangan elite generasi Tionghoa peranakan.
High quality palm oil biodiesel can be produced by combination of alkali transesterification and separation processes in a TiO2/Al 2O3 membrane reactor. Due to the small molecular size, methanol molecules are able to pass through the... more
Pelestarian bangunan merupakan salah satu aktivitas atau usaha untuk melindungi, merawat, dan menjaga serta mencegah terjadinya kerusakan pada bangunan lama dan bangunan cagar budaya. Kondisi Bangunan eksisting pada site banyak yang tidak... more
Pelestarian bangunan merupakan salah satu aktivitas atau usaha untuk melindungi, merawat, dan menjaga serta mencegah terjadinya kerusakan pada bangunan lama dan bangunan cagar budaya. Kondisi Bangunan eksisting pada site banyak yang tidak terawat dan terbengkalai, baik dari fungsi bangunan maupun bentuk dan struktur bangunan tersebut. Nantinya, Fungsi yang akan di terapkan pada usaha pelestarian ini adalah sebagai Pusat Informasi dan Kebudayaan Tionghoa yang hadir berdasarkan eksisting lingkungan pada site tersebut dimana terletak pada Kawasan pecinan Kota Padang dengan tujuan sebagai wadah agar kebudayaan serta ragam informasi dari etnik Tionghoa dapat diketahui oleh masyarakat Kota Padang maupun bagi wisatawan yang berkunjung. Penerapan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Adaptive Reuse dengan konsep Juxtaposition dan Insertion pada bangunan – bangunan lama dan bangunan cagar budaya sebagai bentuk kontekstual antara bangunan lama dan bangunan baru yang akan di rancang. Pengembangan desain dengan mengembalikan dan mempertahankan kondisi fasade, hal ini bertujuan untuk mengintegrasikan dan menghubungkan fungsi – fungsi bangunan yang ada pada Kawasan pelestarian tersebut.
Tionghoa di Indonesia seolah menjadi sasaran kebencian. Narasi kebencian sedemikian dahsyat menjadi gelombang yang mengepung kehidupan orang-orang Tionghoa. Bagaimana kita memaknainya?
In this investigation, anatase TiO 2 thin films were grown by radio frequency magnetron sputtering on glass substrates at a high sputtering pressure and room temperature. The anatase films were then annealed at 300-600 °C in air for a... more
In this investigation, anatase TiO 2 thin films were grown by radio frequency magnetron sputtering on glass substrates at a high sputtering pressure and room temperature. The anatase films were then annealed at 300-600 °C in air for a period of 1 hour. To examine the structure and morphology of the films, X-ray diffraction (XRD) and atomic force microscopy (AFM) methods were used respectively. From X-ray diffraction patterns of the TiO 2 films, it was found that the as-deposited film showed some differences compared with the annealed films and the intensities of the peaks of the crystalline phase increased with the increase of annealing temperature. From AFM images, the distinct variations in the morphology of the thin films were also observed. The optical constants were characterized using the transmission spectra of the films obtained by UV-VIS-IR spectrophotometer. Besides, optical thickness of the film deposited at room temperature was calculated and cross-checked by taking a cross-sectional image through SEM. The optical band gaps were evaluated through Tauc model. It was observed that TiO 2 films produced at room temperatures exhibited high visible transmittance and transmittance decreased slightly with the increase of annealing temperatures. The films were found to be crystalline having anatase phase. The refractive index of the films was found from 2.31-2.35 in the visible range. The extinction coefficient was nearly zero in the visible range and was found to increase with annealing temperature. The allowed indirect optical band gap of the films was estimated to be in the range from 3.39 to 3.42 eV which showed a small variation. The allowed direct band gap was found to increase from 3.67 to 3.72 eV. The porosity was also found to decrease at a higher annealing temperature making the film compact and dense.
The Khek tribe is one of the dominant Chinese or Tionghua tribes settling in Aceh. The language they use is one of the common ways of identifying themselves. The main aim of this study is to investigate the language use, efforts, and... more
The Khek tribe is one of the dominant Chinese or Tionghua tribes settling in Aceh. The language they use is one of the common ways of identifying themselves. The main aim of this study is to investigate the language use, efforts, and challenges of these speakers in maintaining their heritage language, in this case, Khek. The respondents were four Tionghua adults and two children residing in the Peunayong area, Banda Aceh. A qualitative approach was used, and interviews were conducted to collect the data. The questions asked were to explore the language use of the Tionghua towards their heritage language, their efforts to keep the language alive in their community, and the challenges they face in maintaining the language. The results indicate that the respondents still strongly maintain Khek in the home and among close friends. Khek is also regarded as an important part of their Tionghua identity, so a way of preserving the language is by still using it among family members in the home. Challenges faced in preserving their language are from the environment of a majority of Acehnese and Indonesian speakers, and the educational school system that prioritizes Indonesian and English in the curriculum, among others. Thus, the need for using Khek is restricted only in the home domain. The paper further describes the efforts made by the adults in preserving Khek to their generations. Nonetheless, the respondents agree that a more serious support from their own community and the local government is needed for the maintenance of their heritage language for generations to come.
In this study, a novel continuous reactor has been developed to produce high quality methyl esters (biodiesel) from palm oil. A microporous TiO2/Al2O3 membrane was packed with potassium hydroxide catalyst supported on palm shell activated... more