Karakter Nabi Ibrahim As Dalam Al Quran 72b14452 PDF
Karakter Nabi Ibrahim As Dalam Al Quran 72b14452 PDF
Karakter Nabi Ibrahim As Dalam Al Quran 72b14452 PDF
Zaimudin1
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: zaimudin@gmail.com
Abstract
This paper emphasizes the significance of character for human beings as a result of
the process of education and of social interaction with the its environments. These
environments may be physical or non-physical, including the environment of family,
neighbors and the environment of humans live. In addition, for Prophet Ibrâhîm
as of course obtaining directions from God is more of a significant contribution
in building the character of himself and his sons. This meaning is extracted from
various verses of the Qur'an in a munasabah with an educational approachs. The
characters of Prophet Ibrâhîm as in the Qur'an wich very useful for human beings
these are: attitudes of obedient and submissive to God's command as a prerequisite
for man to dedicate him self to his fellow human beings, his families, and to society
at large on the basis of his devotion to God. The attitudes demand to dare to uphold
truth and justice, to be brave in living and not afraid to fight for the right principles
of life become very important. Being honest is a capital for moral development of the
nation. Therefore, it is necessary to develop a attitude of caring towards themselves
and their environment. Patience attitud is always needed to improve the situation,
as well as polite speech and speech are important to build and understand the
root causes of these conditions. It is also necessary to build a curiousity attitude in
order to generate critical power and depth of knowledge, thoroughly and thoroughly
without forgetting the meaning of ikhlas for the sake of the pleasure of Allah. The
attitudes of praying and tawakkal always become important in achieving success in
world and hereafter.
Abstrak
Tulisan ini menegaskan akan perlunya karakter bagi manusia sebagai hasil dari
proses pendidikan dan pergaulan manusia dengan lingkungannya. Lingkungan
ini dapat saja berupa fisik maupun non-fisik, termasuk lingkungan keluarga,
ketetangggaan, dll., dan lingkungan sekitar dimana manusia itu hidup. Selain
itu pula, bagi Nabi Ibrâhîm as. tentu memperoleh petunjuk dari Allah lebih
merupakan kontribusi yang signifikan dalam membangun karakter dirinya
dan putra-putranya. Pemaknaan ini digali dari berbagai ayat Al-Qur’an secara
munasabah dengan pendekatan pendidikan. Beberapa karakter Nabi Ibrâhîm as.
dalam Al-Qur’an yang penting adalah sikap taat dan patuh kepada perintah Allah
1
Dosen Tetap PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
KARAKTER NABI IBRÂHÎM AS. DALAM AL-QUR’AN
(Ditinjau dalam Perspektif Pendidikan di Indonesia)
sebagai prasyarat bagi manusia untuk mengabdikan diri kepada sesama manusia,
keluarga, dan kepada masyarakat pada umumnya atas dasar pengabdiannya
kepada Allah. Sikap berani menegakkan kebenaran dan keadilan, berani pula
dalam menjalani hidup dengan memperjuangkan prinsip hidup yang benar
menjadi amat penting. Jujur bersikap adalah modal bagi pembangunan moral
bangsa. Maka peduli pada diri sendiri maupun pada lingkungannya menjadi
keharusan. Sabar selalu dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan, juga ucapan
dan tutur kata yang santun penting untuk memahami akar masalah. Curiousity
menjadi modal untuk melahirkan daya kritis dan kedalaman ilmu pengetahuan,
dengan cermat dan teliti tanpa melupakan makna ikhlas demi mengharapkan rid}
a Allah. Selalu berdoa dan tawakkal menjadi modal penting dalam meraih sukses
dunia dan akhirat.
PENDAHULUAN
P endidikan dewasa ini dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas, menguasai bidang ilmu pengetahuan sesuai dengan kebutuhan zaman,
dan bahkan memiliki akhlak karimah. Dengan cara demikian, pendidikan diharapkan
akan menghasilkan manusia yang mampu mengendalikan diri dari berbagai pengaruh
negatif yang mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang dewasa ini. Berbarengan dengan itu, Indonesia kini semakin jatuh ke
dalam krisis multidimensional, bukan hanya berdimensi material, melainkan juga telah
memasuki krisis moral agama. Hal ini dipicu oleh tidak adanya pengetahuan agama yang
kuat sebagai bagian dari pengembangan sistemik kehidupan yang kian terasa menipisnya
pemahaman agama dan semakin menebalnya makna-makna kehidupan mundane yang
membelit cakrawala pemikiran berbangsa dan bernegara.2
Banyak umat Islam yang tak hirau lagi dengan kebenaran ajaran Islam yang dipikirkan
secara mendalam. Terkadang mereka terjebak ke dalam pobhia Islam, terorisme Islam, dan
hal-hal lain yang tidak penting, bahkan banyak diantara mereka yang berkepribadian buruk.
Dalam kehidupan sosial, mereka bersikap ala materialis-liberalis, demikian pula dalam
segi kehidupan lainnya. Misalnya dalam bidang politik, budaya, seni, pengembangan ilmu
pengetahuan, dan teknologi lepas dari nilai-nilai moral yang telah digariskan oleh ajaran
agama Islam. Selain itu juga masih banyak kasus-kasus yang di luar norma-norma agama.3
Misalnya kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak dan hancur. Hal ini ditandai
dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba, peredaran foto, dan
video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Dikalangan politisi dan pejabat publik,
tak ayal lagi, jatuh ke dalam penyalah gunaan norkoba, korupsi, nepotisme, dan lain-lain.4
Tugas pendidikan Islam ialah membentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup
menghasilkan orang-orang yang bermoral, berjiwa bersih, berkemauan keras, bercita-cita
besar, serta berakhlak yang adiluhung, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya,
menghormati hak-hak manusia, mampu membedakan baik dan buruk, mampu
2
Tribunnews.com, 17 Oktober 2016
3
Kompas.com, 17 Oktober 2016.
4
Doni Koesoemua, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern, (Jakarta:
PT. Grassindo, 2013) h. 23 lihat pula pada Doni Koesoema, Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger:
Mengembangkan Visi Guru dalam PengembanganPendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Grassindo, 2013), h.
2-4.
mengendalikan diri dan menghindari perbuatan tercela, dan senantiasa mengingat Allah
Swt. dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
seyogyanya pendidikan harus berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya
dan juga berpandangan luas mengenai bagaimana orang dewasa mendidik bersikap dan
bertingkah laku kepada peserta didiknya.5
Dari sini, jelas bahwa pendidikan karakter sangat dibutuhkan agar generasi-generasi
Indonesia yang akan datang mempunyai kepribadian yang luhur. Dalam kaitannya dengan
pendidikan karakter ini, penulis diingatkan oleh pencetus pendidikan karakter yang
menekankan pentingnya dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan kepribadian. Ia
adalah seorang ahli pendidikan dari Jerman yang bernama FW. Foerster tahun 1869-1966.
Walaupun demikian, penggagas awal dari pendidikan karakter yang sebenarnya adalah
Rasulullah Muhammad saw. itu sendiri. Pembentukan karakter yang secara langsung
dicontohkan Nabi Muhammad saw. merupakan wujud esensial dari aplikasi karakter yang
diinginkan oleh setiap generasi. Secara asumtif, bahwa keteladanan yang ada pada diri Nabi
saw. ini menjadi acuan perilaku bagi para sahabat, tabi’in, dan umat Islam pada umumnya.
Namun, sampai abad ke 15 ini pada tahun 2018 sejak ajaran agama Islam diakui universal,
pendidikan karakter justru dipelopori oleh negara-negara yang penduduknya minoritas
muslim. Di sini, lagi-lagi diingatkan bahwa semestinya umat Islam menjadi generasi
Qur’ani, yakni generasi yang paham secara persis makna-makna yang tertuang di dalam
Al-Qur’an, siap sedia mengamalkannya, dan setia mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.6
Untuk dapat mewujudkan generasi Qur’ani sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus diusahakan secara teratur dan
berkelanjutan baik melalui pendidikan informal seperti keluarga, pendidikan formal,
atau melalui pendidikan non formal. Generasi Qur’ani tidak lahir dengan sendirinya, ia
mesti dimulai dari pembiasaan dan pendidikan dalam keluarga, terus berlanjut sampai
dewasa, sesuai dengan perkembangannya. Dalam kaitan ini, maka nilai-nilai akhlak yang
mulia hendaknya ditanamkan sejak dini melalui pendidikan agama dan diawali dalam
lingkungan keluarga melalui pembudayaan dan pembiasaan. Kebiasaan-kebiasaan yang
baik ini kemudian dikembangkan dan diaplikasikan dalam pergaulan hidup individu
dan kemasyarakatan. Disini diperlukan kepeloporan para pemuka agama serta lembaga-
lembaga keagamaan yang dapat mengambil peran terdepan dalam membina akhlak mulia
dikalangan umat. Antara makna karakter, moral, dan akhlak, ketiganya memiliki kesamaan
tujuan dalam keberhasilan dunia pendidikan, yakni menuntun sikap dan tingkah laku
manusia untuk menjadi semakin baik dan sempurna kepribadiannya.7
Di sini terjadi proses pendidikan dan pembelajaran. Proses pendidikan dan
pembelajaran mengandung serangkaian hubungan timbal balik pendidik dan peserta
didik dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan yang diperlukan. Keberhasilan peserta
didik sangat bergantung pada kemampuan pendidik dalam mengelola pembelajaran.
Kalau demikian, tugas pendidik tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih.
Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih
berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan keagamaan peserta didik sesuai
5
M. Athiyah Al-Abrasyi, 1990, h. 3
6
Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011, h. 8
7
Said Aqil Husain Al-Munawar, 2003, h. 27, 353.
Aristoteles, seorang filosof Yunani, memikirkan karakter yang baik sebagai kehidupan
yang baik dengan melakukan tindakan yang benar bagi diri seseorang dengan orang
lain.13 Hal ini terjadi, lantaran bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) yang baik
dalam kehidupan. Hasil yang diharapkan adalah peserta didik memiliki kesadaran dan
pemahaman yang tinggi, serta kepedulian, dan komitmen untuk menerapkan kebajikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, karakter merupakan sifat alami seseorang
dalam merespon situasi secara bermoral yang diwujudkan dalam tindakan melalui perilaku
baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, serta nilai-nilai mulia lainnya.14
Dari sinilah dapat dimaknai bahwa karakter adalah sekumpulan tata nilai yang mewujud
dalam suatu sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku seseorang.15
Michael Novak yang dikutip oleh Lickona meyakini bahwa karakter itu merupakan
kumpulan dari berbagai unsur yang saling berkelindan dari seluruh kebaikan yang
dipastikan berasal dari tradisi religius, cerita sastra, orang-orang bijaksana, dan kumpulan
orang berakal sehat dalam sejarah kemanusiaan. Dengan demikian, karaktrer ini lebih
merupakan hasil usaha manusia yang mewujud dalam sifat khas seorang individu yang
berbeda dengan manusia lainnya. Sumber-sumber dan landasan dari unsur karakter itu
dapat diperoleh dari tradisi keagamaan, cerita, petuah para orang-orang yang bijaksana;
termasuk juga dari alam sekitar dan hewan yang menghasilkan sifat, pola berpikir, pola
bertindak, dari diri seseorang terhadap alam lingkungan sekitar. Manusia dapat belajar dari
alam raya dan memberi inspirasi positif bagi sikap manusia. Manusia dapat belajar dari
komunitas semut hitam yang penuh semangat tinggi dan bersatu-padu serta terorganisir
secara sistemik dalam menuju tujuannya.16 Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan ini sendiri terdiri atas sejumlah nilai etika, moral, norma, dan akhlak,
seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.17
Dari sini sampailah kepada kesimpulan bahwa karakter secara konseptual dapat
dipahami sebagai kumpulan dari berbagai hal yang menjadi ciri khas pada diri seseorang,
baik tampak pada sikap, prilaku maupun tindakan yang dibentuk dari hasil interaksi
dengan lingkungannya. Maka karakter merupakan hasil dari belajar dan pendidikan yang
diperoleh peserta didik dalam berinteraksi dengan lingkungannya, berupa interaksi manusia
sesamanya, manusia dengan alam sekitar, dan segala unsur yang telah mempengaruhi hidup
dan perilaku manusia.
Pendidikan karakter merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh cita-cita untuk menghantarkan dan mewujudkan
13
Thomas Lickona, Educating for Character : Mendidik untuk membentuk Karakter: Bagaimana
Sekolah dapat Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab, (Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara: 2012) h. 81
14
HE. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, h. 3
15
Risa Rahayu, “Pendidikan Karakter: Pengertian, Implementasi dan Metodologi”, Lingua Franca,
Volume 1, (Januari 2011), h. 78
16
Thomas Lickona, Educating for Character: Mendidik untuk membentuk Karakter: Bagaimana
Sekolah dapat Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab, h. 8
17
Badan Penulisan dan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, Pengembangan Budaya
dan karakter Bangsa, (Jakarta: Kemendiknas, 2010), h. 3
acuan yang melekat pada diri seseorang. Empat unsur ini adalah etika, moral, norma, dan
akhlak yang mendasari sikap dan tindakan bagi setiap prilaku manusia. Etika mendasari
sikap dan tindakan manusia lantaran mendasari apa yang baik-buruk, hak dan kewajiban,
sebagaimana dikenal dalam adat kebiasaan dan watak kesusilaan; yaitu prinsip-prinsip
moral tradisi tertentu bagi kehidupan, kelompok atau individu manusia.24 Etika adalah
adat-istiadat atau kebiasaan yang baik, kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan
menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam
kehidupan manusia pada umumnya.25
Landasan hidup manusia berikutnya adalah moral. Moral merupakan pengetahuan
yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab, moral adalah aturan kesusilaan,
yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah laku mengikuti dasar-dasar,
prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.26 Hal ini merujuk kepada
beberapa kode etik yang diajukan oleh masyarakat atau kelompok lain, seperti agama,
atau diterima oleh seseorang untuk perilakunya sendiri, atau 2) secara normatif mengacu
pada kode etik tertentu dan pada kondisi tertentu, yang diajukan oleh orang-orang yang
rasional).27
Norma juga penting melandasi sikap dan tindakan manusia, sebagai pedoman untuk
mengatur pengalaman dan tingkah laku individu manusia dalam bermacam-macam situasi
sosial.28 Yakni cara-cara tingkahlaku yang patut dilakukan oleh anggota kelompok apabila
terjadi sesuatu yang bersangkutan dengan kelompok itu. Norma-norma di atas lambat laun
melembaga sehingga menjadi bagian tertentu dalam lembaga masyarakat, yang berawal
dari hanya dikenal, diakui, dihargai; dan kemudian baru ditaati dalam kehidupan sehari-
hari oleh setiap individu warga masyarakatnya.
Akhlak sebagai landasan tingkah laku manusia berikutnya adalah terkadang difahami
sinonim dengan kata etika, karena keduanya memiliki obyek kajian tentang baik-buruknya
perbuatan. Akhlak juga bisa dibedakan dari etika, sebab Akhlak memiliki makna lebih
mendalam dari arti etika karena akhlak menimbang baik buruknya berdasarkan ajaran
agama yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Akhlak ini meliputi: a) Akhlak sayyiah (tercela)
yaitu semua yang dilarang dalam Islam berupa keburukan atau kejahatan yang merugikan
manusia dan kehormatannya atau yang merusak makhluk secara umum, seperti bergunjing,
mengadu domba, dan menipu; b) Akhlak hasanah (baik) yaitu akhlak dimana kebaikan
dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas dengan kejahatan yang serupa; c) Akhlak
karimah (mulia) yaitu berperilaku sebagaimana diperintahkan Islam, yakni orang yang selalu
mampu memaafkan orang lain, walaupun orang yang dianiaya tersebut mampu membalas
perbuatan aniaya orang tersebut kepada dirinya; d) Akhlak ‘azhîma (agung) adalah sikap
berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada dirinya bahkan mendoakan orang
24
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2004), h. 221. Lihat juga Sukamto, dkk, Etika Profesi Berbagai Bidang, (Tangerang: Pustaka Mandiri,
2013) h. 1. Lihat John Deigh in Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of Philosophy (London:
The Cambridge Dictionary of Philosophy, 1995). h. 121
25
John Deigh in Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of Philosophy, h. 121
26
Ade Dwi Utami, dkk, Modul Pendidikan dan Pelatihan profesi Guru, h. 22.
27
Standford Eincylopedy of Philosophy, Social Norms, (Stanford University: Metaphysics Research
Lab, CSLI, 2011) h. 1
28
Seorjono Sukamto, Sosiologi: Suatu Pengantar, ( Jakarta: Raja Grafîndo Pratama, 2004) h. 199-
200
Raghu ibn Faligh ibn Abir ibn Syalih ibn Arfakhsyadz ibn Saam ibn Nuh as.36 Hal ini dapat
dirunut dari pendapat al-Samarkandi bahwa Âzar adalah nama pamannya, bukan nama
ayah kandungnya sendiri, sebab nama ayah kandung Ibrâhîm as adalah Târikh bin Nahûr.
Adapun pendapat al-Suddy dan al-Kalaby bahwa Âzar itu adalah nama ayah Ibrâhîm as.37
karena Âzar adalah nama lain dari Târikh sebagai ayah Ibrâhîm as. seperti nama Israel
untuk nama lain dari Nabi Ya’qûb as.38 Menurut as-Suyuthi, Âzar adalah Târikh ibn Nahûr
itu sendiri, bukan yang lain.39 Sementara menurut Mujâhid bahwa Âzar adalah nama
untuk patung yang besar pada zaman hidupnya Ibrâhîm as.40 Menurut riwayat dari Hâtim,
Âzar itu adalah nama ayah Ibrâhîm sekaligus nama patung. Adapun nama asli Âzar adalah
Yâzar dan nama istrinya adalah Mathla.41 Sementara menurut al-Hajjâj, bahwa Âzar itu
artinya adalah keliru, maka ucapan Ibrâhîm kepada ayahnya, seakan-akan ia mengatakan
wahai ayahku yang keliru dalam menyembah tuhan selain Allah.42 Âzar dari sudut tinjauan
bahasa adalah isim ajam yang berarti patung yang sinonim dengan shanam untuk isim
mu’rab-nya. Sedangkan menurut ad-Dhahhak bahwa Âzar adalah orang yang tua.43
Tentang perkiraan waktu kelahiran Nabi Ibrâhîm as. digambarkan secara prediktif oleh
Rusydi al-Badrawi dengan memperhatikan tahun-tahun yang disebutkan di dalam Taurat
tentang usia masing-masing keturunan Nuh as, bukanlah tahun-tahun sesungguhnya, hal itu
menunjukkan karena kajian-kajian tentang sejarah manusia di wilayah Irak menunjukkan
bahwa antara era pasca banjir topan di masa Nabi Nuh as., zaman batu, zaman besi, zaman
perbudakan, hingga zaman kekuasaan dinasti-dinasti para raja, terbentang jarak waktu
sekitar 1500-2000 tahun. Jika hasil kajian yang diuraikan terakhir ini menjadi pegangan,
maka Ibrâhîm as. lahir pada sekitar 1500 tahun setelah banjir topan di masa Nabi Nuh as.
tersebut.44
Ibrâhîm as. dilahirkan pada saat ayahnya berusia tujuh puluh lima tahun. Ibrâhîm
as. lahir dari seorang ibu yang bernama Umaelah ada juga yang menyebutnya Amilah.
Namun, riwayat lain ada mengatakan bahwa ibunda Nabi Ibrâhîm as. adalah Bunna binti
Karbina binti Kistsi dari keturusan bani Arfakhasyahdz ibn Syam ibn Nuh .45
36
Ibn Katsîr, Kisah Para Nabi, (terjemah), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004) h. 157. Ayah Ibrâhîm
ini ada yang menyebutnya Tasarih, ada yang menyebutnya Tarikh, namun dalam kitab Abu al-Fida
Ismâ’îl ibn Umar ibn Katsîr menyebutnya Tarakha. Lihat Abu al-Fida Ismâ’îl ibn Umar ibn Katsîr, al-
Bidâyah wa an-Nihâyah, (Bairut: Dâr al-Ihyâ’ al-Ilm wa at-Turats al-‘Araby, 1998), vol. 1, h. 160-161.
37
Abû Muhammad Makki bin Abî Thâlib bin Muhammad bin Hamûs bin Mukhtâr al-Qaysi al-
Qayrawâni, al-Hidâyat ilâ Bulûgh an-Nihâyat fî ‘Ilm Ma’ânî Al-Qur’an wa Tafsîr wa Ahkâmih wa Jumâl
min Funûni Ulûmih, (t.tp: Majmu’at Buhûts al-Kitâb wa as-Sunnah, 2008) vol. 3, h. 2073
38
Ahmad bin Ibrâhîm as-Samarkandi, Bahr al-Ulûm, lihat pula al-Qayrawâni, al-Hidâyat ilâ
Bulûgh an-Nihâyat, vol. 3, h. 2073
39
Abdurrahman ibn Bakr as-Suyûthi, ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (Mesir: Dar Hijr,
2003) vol. 5, h.135
40
al-Qayrawâni, al-Hidâyat ilâ Bulûgh an-Nihâyat, vol. 3, h. 2073
41
as-Suyûthi, ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, vol. 5, h.135
42
al-Qayrawâni, al-Hidâyât ilâ Bulûgh an-Nihâyât, vol. 3, h. 2074
43
Abû Hayyân al-Andalûsi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1428 H) vol. 4, h. 559
44
Iqbal Harahap (penyunting), Ibrahîm Bapak Semua Agama: Sebuah rekonstruksi Sejarah Kenabian
Ibrâhîm as Sebagaimana tertuang dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, h. 56. Lihat juga Ibn Katsîr, al-
Bidâyah wa an-Nihâyah, vol. 1, h. 160.
45
Jihad Muhammad Hajjaj, Umur dan Silsiah Para Nabi, (Jakarta : Qisthi Press, 2010) h. 57
51
Jihad Muhammad Hajjaj, Umur dan Silsiah para Nabi, h. 57
52
as-Suyûthi, ad-Dûrr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, vol. 5, h, 635
53
Ni’matullah Ibn Mahmûd an-Nakhjuwâni, al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyyah
al-Muwaddah li al-Kalîm Al-Qur’aniyyah wa al-Hikâm al-Furqâniyyah, (Mesir: Dar Riqab li an-Nashr,
1999) vol. 1, h. 536
54
Muhammad Tsanâullah al-Mazhhari, Tafsîr al-Mazhhari, (Pakistan: Maktabah ar-Rushdiyyah,
1412 H), vol. 6. h. 202
maka hendaklah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman"
(HR. Muslim).
Ketegasan jawaban Nabi Ibrâhîm as. secara lisan, bahkan sangat boleh jadi dilakukan
lebih tegas dengan kekuatan fisik. Selanjutnya Nabi Ibrâhîm as. memberikan ancaman
kepada kaumnya, jika mereka tidak berhenti menyembah berhala, ia akan melakukan sesuatu
terhadap berhala mereka. Ibrâhîm as. tidak mengatakan bahwa ia akan menghancurkan
berhala itu, ia hanya mengatakan akan membuat sebuah tindakan terhadap berhala mereka.
Seperti firman Allah Swt. berikut ini:
َ ك ْم َب ْع َد أَ ْن تُ َولُّوا ُم ْدبر
ُ َ َ ْ َ َّ َ َ َ َّ َ َ
ين ِِ امن ص أ ن يد ك
ِ وتاللِ ل
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya57 terhadap berhala-
berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya" (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 57).
Kata la akîdanna (tipu daya) pada ayat di atas memiliki dua makna yang tersirat, yaitu
menghantarkan bahaya melalui orang lain, dan bisa berarti menghancurkan/memerangi.
Sependapat dengan yang dikemukakan oleh al-Marwazi,58 Zuhailî memaknai: Demi Allah
pasti aku akan sungguh-sungguh merusak berhala-berhala atau menimpakan kesengsaraan
padanya, setelah kalian pergi ke tempat perayaanmu. Memang mereka punya tempat
berkumpul untuk perayaan ‘îd setiap tahunnya, kemudian mereka kembali dan setelah itu
mereka akan menemukan kembali berhala-berhala mereka.59
Apakah sumpah nabi Ibrâhîm itu disampaikan di hadapan kaumnya ataukah hanya
di dalam hatinya? M. Quraisy Shihab berpendapat bahwa sumpah Nabi Ibrâhîm as itu
hanya dikatakan di dalam hatinya sendiri: Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan
tipu daya terhadap berhala-berhala kamu sesudah kamu pergi meninggalkannya, semoga
dengan demikian, aku dapat lebih membuktikan kesesatan kalian”.60 Begitupula pendapat
Shadiq Khan “ucapan Ibrâhîm katakan di dalam hatinya sembunyi-sembunyi itu, yang pada
gilirannya kelak akan diketahui dan didengar oleh seseorang yang kemudian disebarkannya
kepada orang lain”.61
Tekad Ibrâhîm as untuk memperdaya berhala-berhala kaumnya dibuktikannya dengan
menghancurkan semua berhala kecuali berhala yang paling besar yang dibiarkan utuh.62
Penghancuran itu dilakukan oleh Nabi Ibrâhîm as tatkala kaumnya sedang berkumpul
di hari raya mereka. Patung terbesar yang masih utuh itu dijadikan oleh nabi Ibrâhîm as
sebagai saksi terhadap sesembahan yang mereka lakukan itu memang merupakan tindakan
ibadah yang sia-sia, tidak masuk akal, dan malah merugikan akidah mereka sendiri. Seperti
57
Ucapan-ucapan itu diucapkan Ibrâhîm as. dalam hatinya saja. Maksudnya: Nabi Ibrâhîm
as. akan menjalankan tipu dayanya untuk menghancurkan berhala-berhala mereka, sesudah mereka
meninggalkan tempat-tempat berhala itu
58
Ahmad al-Marwazi as-Sam’âni at-Tâmimi: Tafsîr Al-Qur’an, (Riyadh: Dâr al-Wathân, 1997),
vol. 3, h. 368
59
Wahbah Ibn al-Musthafâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhâj,
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998) vol. 17, h. 75
60
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2006) vol.8, h. 473
61
Abu Thayyib Muhammad Shâdiq Khân, Fath al-Bayân fî Maqâshid Al-Qur’an, (Bairut: al-
Maktabah al-‘As}riyyah, 1992), vol. 8, h. 340
62
Menurut Rusdi al-Badrawi, peristiwa terjadinya penghancuran patung oleh Ibrâhîm sebagaimana
yang terekam dalam surat ash-Shaffât [37]: 90-92.
63
QS. al-Anbiyâ’ [21]: 58
64
Shâdiq Khân, Fath al-Bayân fî Maqâshid Al-Qur’an, vol. 8 h. 340
65
Ada beberapa versi dikalangan para ulama tentang siapa sesungguhnya yang berinisiatif
menjatuhkan hukuman bakar kepada Ibrâhîm as. Menurut sebuah hadis riwayat Ibn Jarir dari Mujahid
adalah bahwa orang tersebut adalah orang Persia. Hadis tersebut tidak secara tegas menyebut namanya.
Inilah sebagian nama menurut ulama diduga memerintahkan pembakaran kepada Ibrâhîm as.: Hayun,
Hadir, dan Haizan. Menurut Ibn Katsîr, orang keempatnya adalah Syawaji (Shoulgi) , dan kelima
adalah raja Namrudz, sosok ini datang dari pendapat al-Tha’alaby di dalam kitab Arais al-Majalis, tetapi
menurut al-Badrawi pendapat ini agaknya bertentangan dengan catatan-catatan sejarah, dimana tidak
ada catatan sejarah yang menyebutkan adanya raja yang bernama Namrudz yang pernah memerintah Irak
Selatan (Babilonia). Al-Aqqad meyakini bahwa inisiatif pembakaran Ibrâhîm datang dari raja Syawaji,
raja Ur yang sangat sombong dan haus pengagungan dan inilah raja yang hidup semasa dengan Ibrâhîm
as . Syawaji memiliki dua tempat penyembahan besar, dimana setiap awal bulan baru dan setiap malam
bulan purnama dilakukan upacara untuk menyembah dirinya. Hal ini didasarkan pada temuan arkeologi
berupa prasasti yang didalamnya tertulis “ Akulah sang raja, Akulah pemenang sejak di perut ibuku,
Akulah Syawaji, si pemberani sejak kelahiranku, Akulah singa bermata tajam, Akulah penguasa empat
tiang dunia, Akulah Syawaji, raja pemelihara seluruh negeri dan raja yang sangat berkuasa. Syawaji yang
dianggap telah melampaui batas dengan cara membakarnya hidup-hidup. di dalam surat al-Anbiyâ ayat
68 Allah swt berfirman: “Mereka berkata: «Bakarlah Dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu
benar-benar hendak bertindak».
66
Proses pembakaran itu sendiri seperti yang dikisahkan oleh Ishak dimulai dengan mengumpulkan
kayu bakar selama satu bulan, sehingga setelah terkumpul, lalu disulutlah api dari berbagai sudutnya
sehingga berkobarlah api itu dengan dahsyat, sampai-sampai sekiranya melintas burung di atasnya, maka
terbakarlah ia karena dahsyatnya api yang digunakan untuk membakar Ibrâhîm as. Orang-orang yang
berniat membakar Ibrâhîm itu kehabisan akal tentang bagaimana memasukkan Ibrâhîm ke tengah-
tengah bara api yang luar biasa dahsyatnya, sehingga syetan membisikan agar digunakanlah manjanik,
atau ketapel besar yang berisi Ibrâhîm sehingga dilemparkan menggunakan benda itu sampai di tengah-
tengah bara api yang menyala dan Ibrâhîm pada saat itu berumur 16 tahun dan setelah dibakar selama 6
hari selamatlah Ibrâhîm dan keluar dari bara api itu, sedangkan bara api masih menyala-nyala. Lihat M.
Tsanâullâh al-Mazhhari, Tafsîr al-Mazhhari, juz 6, h. 206
api masih membara membakarnya.67 Sehingga terperangahlah orang yang hadir bahkan
raja Namrudz pun takjub dengan keajabian dan mukjizat itu yang tidak lain datang dari
Allah Yang Maha Kuasa. Setelah itu, raja Namrud memutuskan berkurban dengan empat
ribu ekor sapi, sayangnya ia tidak mau meninggalkan keyakinan sebelumnya, sehingga
dikatakan oleh Ibrâhîm as bahwa kurbannya itu tidak ada manfaatnya dan sia-sia belaka
karena tidak diikuti dengan iman kepada Allah satu-satunya yang patut disembah.68
Setelah peristiwa pembakaran tersebut dan ternyata Ibrâhîm as selamat dari peristiwa
bersejarah itu, Ibrâhîm as melakukan hijrah69 dari Ur tempat kelahirannya ke daerah Utara
yaitu daerah Haran. Dalam peristiwa ini al-Badrawi mengisahkan: Pada hijrah ini, Ibrâhîm
as membawa serta istrinya Sârah dan Hâjar, ayahnya Âzar atau Târikh, saudara kandungnya
Nahûr bersama istrinya Milkah, keponakannya yaitu Luth as putra Haran, dan sejumlah
orang yang telah beriman kepadanya. Selain di Haran yang menjadi tempat tujuan Ibrâhîm
as, ia juga melakukan safari hijrah di beberapa daerah seperti Asytuna, Asyur dan Niniwi,
Halab, Damaskus, dan Hibrun. Di tempat-tempat itulah Ibrâhîm as beserta rombongan
singgah sambil berdakwah mengajak penduduk itu untuk beriman kepada Allah swt.70
Motif hijrahnya Nabi Ibrâhîm as dari Babilonia ke Haran dan tempat lainnya
dikemukakan oleh Hamid Ahmad ath-Thahir karena diusir oleh Namrudz.71 Sementara
Habib Sa'ad, menduga karena faktor ekonomilah yang menjadi pendorong utama Ibrâhîm
as Hijrah dari Ur menuju Haran.72 Di sini jelas bahwa dua factor itu dapat dipahami
dan perlu disempurnakan bahwa perjalanan hijrah dari satu tempat ke tempat lainnya itu
adalah dalam rangka mengikuti perintah Allah, yakni berdakwah. Dakwah adalah dalam
rangka mendidik dan mengajak orang-orang yang kampungnya disinggahinya untuk
beriman kepada Allah swt.73
Perjalanan panjang Nabi Ibrâhîm as tersebut diakhiri dengan wafatnya beliau pada
usia 170 tahun, ada yang mengatakan wafatnya pada usia 190 tahun. Menurut Ibnu Abbas
bahwa Nabi Ibrâhîm as wafat dalam usia 200 tahun. Lalu dikemukakan oleh Ka’ab al-
67
Atas tindakan melampaui batasnya terhadap utusan Allah Swt., maka Allah membenamkan
Hanun ke dalam bumi dan ia terus meronta-ronta di dalam bumi itu sampai hari kiamat. Lihat M.
Tsanâullâh al-Mazhhari, Tafsîr al-Mazhhari, juz 6 h. 206
68
Muhammad Tsanâullah al-Mazhhari, Tafsîr al-Mazhhari, vol. 6, h. 208
69
Mengenai tujuan Hijrahnya Ibrâhîm dari Babilonia ini ada beberapa pendapat. Diantaranya
adalah menurut riwayat Ubay Ibn Ka’ab, bahwa kota yang dituju adalah Syiria berdasarkan QS. al-
Anbiyâ’ [21]: 71 yang artinya: “Dan kami seIamatkan Ibrâhîm dan Luth ke sebuah negeri yang Kami
telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. Yang dimaksud dengan negeri di sini ialah negeri Syam,
Termasuk di dalamnya Palestina. Tuhan memberkahi negeri itu. Artinya, kebanyakan Nabi berasal dan
tanahnyapun subur. Sementara menurut al-Awfi dari Ibn Abbas mengatakan bahwa kota yang dimaksud
adalah kota Makkah berdasarkan surat Ali Imran [3]: 96 yang artinya adalah: “Sesungguhnya rumah
yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah)
yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. Meskipun klaim Ahli kitab bahwa rumah
ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Allah membantahnya. Adapun
pendapat lain menurut riwayat dari Ka’ab al-Akhbârî dikatakan bahwa tujuan hijrah Ibrâhîm adalah kota
Haran (Harrhae). Lihat Ibn Katsîr dalam Qashâsh al-Anbiyâ’.
70
Iqbal Harahap (penyunting), Ibrâhîm Bapak Semua Agama, h. 81
71
Hamid Ahmad at-Thahir, Kisah Para Nabi, (Bandung: Irshad Baitus Salam, 2006), h. 107
72
Iqbal Harahap (penyunting), Ibrahim Bapak Semua Agama, h. 82. Lihat juga Habib Sa’ad, Kitab
Khalîlullâh fî al-Yahûdiyyah wa an-Nashrâniyyah wa al-Islâm, h. 243.
73
Iqbal Harahap (penyunting), Ibrâhîm Bapak Semua Agama, h. 81.
91
Ibn al-Farra’ al-Baghâwi,Tafsîr Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr Al-Qur’ân, (Bairut: Dâr Ihyâ’ at-
Turâts al-‘Arabiy, 2000), vol. 4. h. 37. Al-Fâkihi, Akhbâr Makkat fî Qadîm ad-Dahr wa Hadîts, (Bairut:
Dâr Hudhar, 1414 H), vol. 5, h. 75. Lihat Abdul Karîm bin Hawâzin Abdul Mâlik al-Qusyairi, Lathâif
al-Isyârât, (Dâr al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitâb, t.th), vol. 3. h. 327.
92
Muhammad al-‘Adzhîm az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, (Kairo, Matba’ah Isa
al-Bâbi al-Halabî wa Syirkât, t.th.) vol. 2. h 229.
93
Qur’an surat Ali Imrân [3]: 32, an-Nisâ’ [4]: 59, al-Anfâl [8]: 20, an-Nûr [24]: 54, dan
Muhammad [57]: 33.
94
Ayat-ayat yang menyebut akar kata qanata ada tiga belas kali penyebutan dalam dua belas ayat
berbeda, yaitu pada surat an-Nisâ’ [4]: 34, surat az-Zumar [39]: 9, surat at-Tahrîm [66]: 5 dan 12, surat
al-Ahzab [33]: 31 dan 35, surat al-Nahl [16]: 120, al-Baqarah [2]: 116 dan 238, Ali ‘Imrân [3]: 17, dan
surat ar-Rûm [30]: 26, dan surat al-Nahl [16]: 120.
95
Ibn al-Farra al-Baghâwi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr Al-Qur’an, vol. 3, h. 101.
96
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008) h. 114.
97
Abû al-Husein, al-Maqâyis fî al-Lughah, (Bairut: Dâr al-Fîkr, 1979), vol. 3, h. 247. Lihat juga
Martin H. Manser, Exford Leaners Pocket Dictionary, (Hongkong, Oxford University, 1991), h. 46.
98
Bertrand Russel, http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/bertrandrussel132851.html diunduh
pada 21 September 2014.
99
Peter Irons, Keberanian Mereka yang Berpendirian, (Bandung: Angkasa. 2003), h. 12.
100
Library.binus.ac.id/eColls/.../2013-1-00670-DS%20Bab2001.doc, diunduh pada tanggal 12
September 2014.
101
Femi Olivia, Kembangkan Kecerdasan Anak dengan Taktik Bio Smart, (Jakarta: Elexmedia
Kompassindo, 2009), h. 195.
102
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Ayat Surat-surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997 ) h. 116.
103
Wahbah al-Musthafâ az-Zuhaili, Tafsîr al-Wasîth li az-Zuhailî, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422
H) vol. 2. H. 1479. Lihat juga Abû al-Qâsim ibn Mahmud az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq
Ghawâmidh at-Tanzîl, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1407 H), vol. 3, h. 18.
104
az-Zuhaili, Tafsîr al-Wasîth li az-Zuhailî, h. 1479.
105
QS. Maryam [19]: 43. Abû Thayyîb Ahmad Siddiq Khan, Fath al-Bayân fî Maqâshid Al-Qur’an,
(Bairut: Maktabah al-‘Ashriyyah li ath-Thabâ’ah wa an-Nasyr, 1992) vol. 8, h. 163. Lihat juga QS.
Maryam [19]: 42-46.
dengan merangkai dan menyusun kata-kata yang lembut dan penuh kesantunan dalam
mengutarakannya.106
Ibrâhîm as. menasehati ayahnya bahwa perbuatan syirik ayahnya itu bersumber dari
setan yang telah menjadi penolong dan pelindung baginya (QS. an-Nahl [16]: 63).107
Maka ayahnya menjawab: «Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrâhîm? jika kamu
tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang
lama» (QS. Maryam [19]: 46). Tentu ini dimaksudkan sebagai ketidak senangan ayahnya
kepada ajakan Ibrâhîm as., malah ayahnya akan merajamnya atau boleh jadi dengan makna
membunuhnya, mengusirnya, atau mencacinya.108 Walaupun demikian, Ibrâhîm as. tetap
menunjukkan kepribadian dan karakter mulianya, yaitu tetap santun dan tetap akan
mendoakan agar ayahnya memperoleh ampunan dari Allah. Tetapi yang menjadi kunci
bahwa doa yang dijanjikan Ibrâhîm untuk ayahnya itu tidak terlaksana karena ayahnya
benar-benar kafir, dan tidak juga bertaubat hingga akhir hayatnya. 109
Peduli
Manusia tidak bisa hidup sendiri, tetapi ia mesti mengadakan hubungan dan kontak
dengan yang lain. Oleh karena itulah manusia membutuhkan sikap peduli pada diri dan
lingkungannya. Peduli adalah sikap mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan.
Peduli pada seseorang adalah to love someone, especially in a way that is based on friendship
rather than sex,110 peduli lebih merupakan effort made to do something correctly, safely, or
without causing damage, yakni usaha untuk melakukan sesuatu dengan benar, aman, tanpa
mendatangkan kerusakan.111 Misalnya, bentuk kepedulian kepada diri sendiri mewujud
terhadap kesehatan diri dan waspada pada apa yang dapat menyebabkan penyakit. Peduli
kepada orang lain adalah menjaga lingkungan yang aman mencerminkan tingkat kasih
sayang dan kewaspadaan untuk kesejahteraan pasien yang sama pentingnya dengan aspek
lain dari perawatan kesehatan yang kompeten. Cara untuk meningkatkan keselamatan
adalah untuk belajar tentang penyebab kesalahan dan menggunakan pengetahuan ini
untuk merancang sistem. 112
Ibrâhîm as. adalah sosok manusia yang layak untuk disandangkan kepadanya sebagai
seseorang yang memiliki sikap kepedulian ini. Hal ini didasarkan kepada banyak bukti
ayat-ayat Al-Qur’an sebagai referensi akan karakter peduli. Pertama yaitu bukti kepedulian
Ibrâhîm as. terhadap keluarga. Kedua kepedulian Ibrâhîm as. terhadap lingkungannya, dan
pada bagian ketiga kepedulianya terhadap masa depan kehidupan manusia.
Kepedulian Ibrâhîm as. kepada masa depan keluarganya, yakni anaknya agar memiliki
sumber daya manusia yang unggul. Kepedulian Ibrâhîm as. dalam konteks ini adalah
kepedulianya untuk mencarikan miliu yang tepat bagi masa depan kehidupan anaknya
106
Abû Thayyîb Ahmad Siddiq Khan, Fath al-Bayân fî Maqâshid Al-Qur’an, vol. 8, h. 163.
107
Abû Hafs Sirâjuddîn ‘Umar bin ‘Alî bin ‘Adil al-Hanbalî ad-Dimasyqî an-Nu’mâni, al-Lubâb fî
‘Ulûm Al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyât, 1998), vol. 13, h 74.
108
Abû al-Fidâ’ bin Ismî’îl bin Umar bin Katsîr, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm, (Bairut: Dâr Thayyibât
li an-Nasyr, 1999), vol. 5, h. 235.
109
Az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf vol. 3, h. 21.
110
Macmillan Dictionary, http://www.macmillandictionary.com/dictionary/ british/care-for, diakses
pada 10 Januari 2015.
111
Merriam Webster, www.merriam-webster.com/dictionary/care, diunduh pada 10 Januari 2015
112
Patricia W. Stone , et.al. “Patient Safety and Quality: An Evidence-Based Handbook for Nurses”,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2634/, diunduh pada 11 Januari 2015
Doa Nabi Ibrâhîm as. kepada Allah agar memberikan keamanan negeri yang
menjadi tempat tinggal keluarga dan masyarakat lain juga tinggal disana adalah bukti
nyata kepeduliaanya pada kemakmuran dan kesejahteraan warga sekitar termasuk adalah
keluarganya. Apa yang dimintakan Ibrâhîm as. kepada Allah tentang penganugerahan
kesejahteraan bagi negeri dengan menurunkan beberapa macam buah-buahan di kota
tersebut dikabulkan oleh Allah Swt., maka Allah mengutus Jibril as. agar memindahkan
suatu kampung dari Palestina yang memiliki banyak buah-buahan ke tempat itu, maka ia
(Jibril) mencabutnya dan membawanya serta berthawaf di sekeliling Ka’bah sebanyak 7
kali, lalu meletakkannya tiga kali , yaitu di Makkah pada wilayah Thâif. Karena peristiwa
itulah, maka tempat itu dinamakan Thâif, dan pada daerah itulah penghasilan buah-
buhan terbesar di kota Makkah, dan berdatanganlah ke tempat itu dari berbagai daerah
lain sehingga berkumpullah di tempat itu berbagai buah-buahan pada musim semi,
musim panas, musim dingin dalam satu waktu.121 Nabi Ibrâhîm as. juga peduli kapada
sikap keagamaan anak-anak dan masyarakat lingkungannya.122 Contoh wasiat Ibrâhîm as.
ditujukan kepada Ismâ’îl dan Hajar, Ishâq dan Sarah, dan enam putra-putra lainya yaitu
Ya’qûb dan saudara-saudaranya beserta ibu mereka, yaitu Qanthura agar sampai mati tetap
dalam keadaan Islam.123
Muhammad Râsyid Ridha memberikan komentar bahwa Ibrâhîm as. yang
menginginkan hadirnya seorang yang mengajar al-Kitab dan al-hikmah bagi generasinya
yang tidak saja menjadikan perbaikan masyarakat dan mensejahterakannya, melainkan
juga harus memadukan antara pendidikan dan pengajaran tentang nilai-nilai luhur dan
mengantarkan mereka mampu melakukan kebaikan dengan metode uswah hasanah.124
Sabar
Kata sabar secara bahasa difahami sebagai tahan menghadapi cobaan (tidak lekas
marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tabah menerima nasib; tenang;
tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu.125 Sabar itu menahan diri dari keluah kesah dan
menahan diri dari apa saja yang dibenci.126 Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar
dalam menghindari apa yang diharamkan oleh Allah, dan sabar terhadap taqdir dari
Allah.127
Nabi Ibrâhîm as. adalah sosok yang layak menjadi teladan dan contoh setelah Nabi
Muhammad saw. dalam hal sabar, sebagaimana tersebar dalam berbagai ayat Al-Qur’an.
Makanya Ibrâhîm as. termasuk orang yang bergelar ‘Ulul Azmi, bersama Nabi Muhammad
121
Ismâ’il Haqqi bin Musthâfâ al-Istanbûli al-Hanafî al-Khalwatî, Rûh al-Bayân, (Bairut: Dâr al-
Fikr, t.th.) vol.1, h. 227-228
122
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 81
123
Jamal ad-Dîn Abû al-Faraj ‘Abd ar-Rahmân al-Jauzy, Zâd al-Mashîr fî ‘Ilm at-Tafsîr, (Bairut:
Dâr Kutub al-Araby, 1422 H), vol. 1, h. 115.
124
Muhammad Rasyid bin Ali Ridhâ, Tafsîr al-Mannâr, (Cairo: al-Hai’at al-‘Âmmah li al-Kitâb,
1990), vol. 1 h. 389
125
Lihat juga pada Abû Manshur Muhammad ibn Ahmad al-Azharî, Tahdzîb al-Lughah, (t.tp: Dâr
at-Turâts al-‘Arabî, 2004), vol. 12, h. 121
126
Husein Ibn Abdillah al-Umari (et.al), Syams al-‘Ulûm wa Dawâ’ Kalâm al-‘Arab min al-Kulûm,
(Bairut: Dâr al-Fikr al-Muashir, 1999), vol. 6, h. 636. Lihat juga Muhammad ibn Muhammad al-
Husaini, Tâj al-‘Arûs, (Bairut; Dâr al-Hidayah, t.th.), vol. 12, h. 271.
127
Ozi al-Fansury, Rahasia Kekuatan Maha Dahsyat: Sabar, Syukur, dan Ikhlas, (Jogjakarta: Lafal
Indonesia, 2011) h.9-10
diinginkannya. Dari sinilah muncul kemantapan dan kepastian akan apa yang dicarinya.
Misalnya Qur’an surat al-Baqarah [2]: 260 yang menegaskan rasa ingin tahunya bagaimana
Allah menghidupkan orang mati, mematikan orang hidup, untuk meyakinkan hatinya
dan memastikan secara rasional apapun yang dipahaminya.137 Ini menggambarkan sikap
kritis Ibrâhîm terhadap apa yang diyakininya. Lebih dari itu, agar keyakinannya betul-
betul mantap dan melekat di hati.138 Bahkan demi menambah kemantapan iman melebihi
sebelumnya. Kemantapan hati Ibrâhîm as. itu adalah setelah adanya pembuktian Allah atas
permintaan Ibrâhîm as. tersebut. Tentu bagi Ibrâhîm tidak hanya menginginkan keyakinan
yang muncul dari hati, akan tetapi keyakinan yang tampak dilihat oleh mata jasmani.139
Di sini mudah dipahami bahwa sikap keingin-tahuan dari Nabi Ibrâhîm as. baik
mengenai pembuktian akan kekuasaan Allah ataupun cara pembuktian Allah Swt. Untuk
menghidupkan yang mati ataukah pembuktian kebenaran malaikat sebagai pembawa
kabar kepada Ibrâhîm dan bukan setan. Peristiwa ini menunjukkan sikap kritis Ibrâhîm
as. terhadap apa yang menjadi kebutuhan hatinya untuk memberikan ketenangan dan
kemantapan.140 Sikap kritis terhadap informasi apa saja yang datang kepadanya dan tidak
mudah percaya, karena boleh jadi informasi itu dusta atau tidak valid. Al-Qur’an surat
an-Nisâ’ [4]: 94 menegaskan perlunya sikap ingin tahu dan pembuktiannya dengan teliti
karena akan memberikan kegunaan dan manfaat yang signifikan dalam kehidupan.141
Di sini pentinglah klarifikasi, penjelasan, dan kepastian atas sebuah masalah, dan jangan
berbuat ceroboh tanpa adanya kejelasan.142
Proses berpikir kritis dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan
mengacu langsung kepada sasaran. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi,
mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa
faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed
thinking. Sikap kritis ditandai dengan: pertama, tidak begitu mudah untuk terus menerima
atau setuju terhadap sesuatu masalah. Kedua, mempertimbangkan terlebih dahulu baik
buruknya sesuatu hal. Ketiga, berfikir secara mendalam dan memberi pertimbangan
yang serius tentang suatu hal. Keempat, pemikiran kritis melibatkan tiga jenis aktivitas
mental yaitu analisis, pemahaman, dan penilaian. Kelima, argumentasi adalah aspek yang
diutamakan dalam pemikiran kritis; cara-cara memberi alasan untuk mendukung dan
menentang sesuatu pendapat. Keenam, bersifat reaktif, analisis, dan logis.143
Teliti dan Cermat
Ibrâhîm as. seorang yang digolongkan berkarakter teliti dan cermat dalam berkata dan
bersikap. Kata teliti dan cermat difahami sebagai sikap seksama, hati-hati, dan penuh
minat.144 Ibrâhîm as. adalah seorang yang teliti dan cermat didasarkan pada surat al-
Baqarah [2]:124. Ayat ini mengandung maksud bahwa Ibrâhîm diuji dengan berbagai
137
Jamaluddîn Abu al-Farâj al-Jauzi, Zâd al-Mashîr fî ‘Ilm at-Tafsîr, vol.1, h. 236
138
Abû Hasan Ali ibn Muhammad al-Mâwardî, Tafsîr al-Mâwardi, (Baerut: Dâr al-Kutub al-
ilmiyyah, t.th.) vol. 1. h. 333
139
Abû Hasan Ali ibn Muhammad al-Mâwardî, Tafsîr al-Mâwardî, vol. 1. h. 333
140
Fakhruddîn ar-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, vol. 7 h. 35.
141
Jamaluddîn Abu al-Farâj al-Jauzi, Zâd al-Mashîr fî ‘Ilm at-Tafsîr, vol. 1, h. 452.
142
Az-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf , vol. 1, h. 552. Lihat pula QS. al-Hujurat [49]: 6.
143
Arief Achmad, Memahami Berfikir Kritis, http://researchengines.education creativity.com/
1007arief3.html, diunduh pada tanggal 12 November 2014. Lihat pula Qur’an surat al-An’âm/6:76-78.
144
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 476.
145
Abd al-Qâdir ibn Mallâ al-Khuwais ‘Alî Ghâzi, Bayân al-Ma’ânî, (Damaskus, Mathba’ah at-
Turqi, 1965), vol. 5, h. 82.
146
Muhammad ibn Jarîr ath-Thabari, Jamî’ al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’an, vol 2, h. 7. Lihat juga Abu
al-Hasan ibn Muhammad Ali al-Wahidi, al-Wajîz fî Tafsîr al-Azîz. vol. 1, h. 130.
147
QS. al-Baqarah [2]: 260. Ahmad Musthâfâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol.1, h. 209
148
Muhammad Ali ash-Shabûni, Mukhtashar Tafsîr ibn Katsîr, (Bairut: Dâr Al-Qur’an al-Karîm,
1981) vol. 1, h. 236
149
Ibn Jarîr ath-Thabari, Jamî’ al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’an, vol. 19, h. 608
150
Abu Muhammad Abdillah ad-Dainurî, Gharîb Al-Qur’an li ibn Qutaibah, vol. 1, h. 285.
151
Abdul Azîz ibn Muhammad ibn ‘Ali Abdul Lathîf, at-Tauhîd li an-Nâsyiah wa al-Mubtadî’în
(Saudi Arabia: Wazârat asy-Syu’ûn ad-Dîniyyah wa al-Awqâf, 1422 H), vol.1, h. 71.
152
Abû al-Qâsim Muhammad ibn Ahmad al-Gharnâthî, at-Tashîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, h. 279.
apa adanya); tidak curang (misal dalam permainan, dengan mengikuti aturan yg berlaku):
mereka itulah orang-orang yang -- dan disegani; tulus; ikhlas. Jujur (sidq) adalah lawan dari
dusta (kidzb). Jujur (shidq) adalah hal yang sempurna pada tiap hal tanpa diselimuti rasa
ragu sedikitpun. 153 Ibrâhîm as. adalah sosok manusia yang jujur. “Sesungguhnya ia adalah
seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 41). Shiddiq adalah
puncak dari sifat jujur, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun dalam ketundukan pada
kebenaran.154 Sikap jujur ini tidak terlepas dari doa Ibrâhîm as. yang dimohonkan kepada
Allah sebagaimana dalam QS. asy-Syu’arâ’ [26]: 84, “Jadikanlah aku buah tutur yang baik
bagi orang-orang (yang datang) Kemudian.”155
Menurut al-Farrâ’ yang dimaksud lisâna sidqin pada ayat tersebut adalah ucapan yang
baik,156sebagai kemulyaan atau kehormatan,157 berupa kejujuran158 yang menjadi teladan
yang selalu memperoleh pujian.159 Salah satu bukti kejujuran Ibrâhîm adalah ketika
menjawab pertanyaan Allah Swt. atas permohonannya agar Allah Swt. menunjukkan
bagaimana menghidupkan yang mati, lalu Allah Swt. bertanya kepadanya: Tidakkah kau
percaya? Jawabannya sangat tepat adalah untuk memantapkan hati, sesungguhnya ia telah
menutupi kegundahan hatinya, ia memaksakan diri untuk menghilangkan rasa penasaran
dan rasa keingintahuannya. Benar ya Allah, Aku percaya pada-Mu. Ia menyatakan
dengan penuh kejujuran alasan permohonnya itu sebagaimana QS. al-Baqarah [2]: 260
mengabadikan itu.160
Pendo’a
Doa berarti permohonan dan permintaan, yakni memanjatkan permohonan dan
permintaan kepada Tuhan. Menurut al-Jazzar makna doa adalah permohonan hamba kepada
Tuhan yang Maha Mulia agar memberikan pelindungan dan pertolongan.161 Hakekat doa
adalah menampakkan diri dan menunjukkan bahwa ia membutuhkannya, dan menunjukan
ketidakadaan daya dan kekuatan.162 Doa adalah tanda kehambaan seseorang pada Allah
dan menampakkan kehinaan diri sebagai manusia. Hakekat doa adalah juga pujian pada
153
Abû ‘Abd ar-Rahmân al-Khalîl ibn Ahmad ibn Amru al-Farâhidi, Kitâb al-‘Ain, (Bairut: Dâr wa
Maktabah al-Hilal, t.th.), vol. 5, h. 56.
154
Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Musthafâ Abû Zahrah, Zahrât at-Tafâsir, (Bairut:
Dâr al-Fikr, t.th.), vol. 9, h. 4546.
155
Ahmad ibn Fâris ibn Zakariya al-Quzwainî ar-Râzi, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, (Bairut: Dâr
al-Fikr, 1979), vol.3, h. 339.
156
Abû Zakariya ibn Ziyad ibn Abdillah ibn Manzhûr ad-Daylamî al-Farrâ’, Ma’âni Al-Qur’ân,
(Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, t.th.), vol. 2, h. 281.
157
Abû Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Muslim ibn Qutaybah, Ta’wîl Musykil Al-Qur’ân, (Bairut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), vol. 1, h. 95.
158
Abû Ja’far an-Nuhâs, I’râb Al-Qur’an, (Bairut: Ma’tsûrât ‘Ali ibn Baidun, 1421 H), vol. 3, h. 14
159
Muhammad ibn Abdillah ibn Abû Bakar al-‘Isybili, Ahkâm Al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2003), vol. 3, h. 458.
160
Abû Abd ar-Rahmân ibn Shu’aib ibn Ali an-Nasâ’i, as-Sunan al-Kubrâ, (Bairut : Muassasah
ar-Risalah, 2001), vol. 7, h. 396. Hadist ini menurut sebagian ahli hadist digolongan ke dalam hadist
shahih hasan, dan oleh al-Albani digolongkan kedalam rangkaian hadist shahih.
161
Shalih ibn Abdillah ibn Hamid (ed), Nazharât an-Na’îm fî Akhlâk ar-Rasûl al-Karîm, vol. 5 h.
1039.
162
Abû Sulaimân Hamdi ibn Muhammad ibn Ibrâhîm al-Khaththabi, Sya’n ad-Du’â, (t.tp.: Dâr
ats-Tsaqâfat al-Islâmiyyah, 1992), vol.1, h. 4.
al-Baqarah [2]: 260).174 Keenam, doa Ibrâhîm as. agar Allah menjadikan kota Makkah kota
yang aman, dan anak keturunannya dijauhkan dari kesyirikan (QS. Ibrâhîm [14]: 35).
Ketujuh, doa Ibrâhîm as. agar anak keturunannya menjadi orang-orang yang menegakkan
shalat, dan doanya agar keluarganya dicintai oleh manusia di dunia (QS. Ibrâhîm [14]: 37).
Kedelapan, doa Ibrâhîm agar hati manusia memiliki kecintaan untuk mengunjungi Makkah
dan tersedia untuk mereka berbagai buah-buahan dalam rangka menolong mereka untuk
mendekatkan diri kepada Allah.175 Kesembilan, doa Ibrâhîm as. tanda penyerahan diri kepada
Allah, karena Allahlah yang mengetahui apa saja tentang dirinya, baik yang ditampakkan
maupun yang tersembunyi dalam hati (QS. Ibrâhîm [14]: 38). Yang dimaksud dengan
kata nukhfi dalam ayat di atas adalah apa-apa yang disembunyikan oleh Ibrâhîm yaitu
rasa sedihnya atas penempatan Ismail dan istrinya. Sedangkan kata nu’lin adalah bahwa
Ibrâhîm menampakkan tangis dan doanya,176 yakni untuk menunjuk pada semua hamba
Allah yang mengadukan diri kepada-Nya.177 Kesepuluh, doa Ibrâhîm tanda kesyukurannya
kepada Allah yang telah dikabulkan keinginannya memperoleh anak (QS. Ibrâhîm [14]:
39), yakni atas lahir putranya Ismail di usia ke 99 tahun, sedangkan Ishak lahir pada saat
Ibrâhîm berumur 102 tahun.178 Kesebelas, doa Ibrâhîm as. agar keturunannya dijadikan
orang-orang yang selalu menegakkan shalat (QS. Ibrâhîm [14]: 40). Kedua belas, doa
Ibrâhîm as agar Allah mengampuni dirinya, orangtuanya, dan orang-orang mukmin pada
hari kiamat kelak (QS. Ibrâhîm [14]: 41). Ketiga belas, doa Ibrâhîm as. untuk keselamatan
ayahnya dan agar ayahnya diampuni oleh Allah Swt. (QS. Maryam [19]: 47).179 Keempat
belas, doa Ibrâhîm agar dirinya tidak kecewa dalam mendoakan orangtuanya (QS. Maryam
[19]: 48). Kelima belas, doa Ibrâhîm agar ayahnya diberi pengampunan karena kesesatannya
(QS. asy-Syu’arâ’ [26]: 86) dan memperoleh keselamatan.180 Menurut sebagian pendapat
mengatakan bahwa doa itu diucapkan oleh Ibrâhîm setelah tidak bisa lagi mengajak
ayahnya untuk keluar dari kesesatan.181 Keenam belas, doa Ibrâhîm as. agar dirinya diberi
hikmah dan dimasukkan kedalam golongan orang-orang yang shâlih (QS. asy-Syua’arâ’
[26]: 83).182 Ketujuh belas, doa Ibrâhîm as. bahwa dirinya menyerahkan segala urusannya
kepada Allah Swt. dan bertaubat kepada-Nya (QS. al-Mumtahanah [60]: 4) Kedelapan
belas, doa Ibrâhîm as. agar dirinya dan keturunannya dihindarkan dari sasaran fitnah dan
doanya pula agar diampuni oleh Allah Swt. (QS. al-Mumtahanah [60]: 5) lantaran Ibrâhîm
memiliki sifat-sifat yang mulia yaitu dermawan, sabar, lembut, ikhlas, jujur, perangai baik
yang mesti diteladani183 dan tidak dipimpin oleh orang-orang kafir.184 Kesembilan belas,
174
Kamilah binti Muhammad al-Kawâri, Tafsîr Gharîb Al-Qur’an, vol. 2, h. 260.
175
As’ad Humaid, Aysar at-Tafâsîr, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), vol 3, h. 221.
176
Abû Thayyib Muhammad Shadiq Khan, Fath al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’an, (Bairut: al-Maktabah
al-‘Ashriyyah li al-Thabâ’ah wa an-Nasyr, 1992), vol. 7, h. 127.
177
Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Ali asy-Syaukâni, Fath al-Qadîr, (Bairut: Dâr al-Kalîm at-
Thayyib, 1414 H).
178
Muhammad Jamâluddîn ibn Muhammad al-Qâsimî, Mahâsin at-Ta’wîl, (Bairut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1418 H), vol. 7, h. 320.
179
Ibrâhîm ibn Ismâ’îl al-Aybari, al-Mausû’ah al-Qur’âniyyah, (Bairut: Muassasah Sijl Arab, t.th.),
vol. 10, h. 277.
180
Abu Muhammad ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Hâtim, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm ibn
Hâtim, (Riyadh: Maktabah Nazzar Musthafa al-Bâz, 1419 H), vol. 8, h. 2782.
181
Abd al-Karîm al-Hawâzin al-Qusyairî, Lathâif al-Isyârât, vol. 3, h. 15.
182
Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-Mawardi, an-Nakt wa al-‘Uyûn, vol.4, h. 176.
183
Abd al-Karîm al-Hawâzin al-Qusyairî, Lathâif al-Isyârât, vol. 3, h. 572.
184
al-Jashshash, Ahkâm Al-Qur’an, (Bairut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Araby, 1405 H), vol.5, h. 327.
telah memberi petunjuk kepadaku”. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka
Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?” 193
Bahkan Rasulullah saw diperintahkan agar mendeklarasikan bahwa ia diberi hidayah
oleh Allah dengan turunnya agama Islam, yaitu agama yang nilai-nilainya juga dikandung
oleh Millah yang dibawa oleh Ibrâhîm as. Allah swt memerintahkan kepada baginda
Muhammad Rasulullah saw ikhlâs dalam hidup ini hanya untuk Allah (QS. al-An’am [6]:
161-163). Argumentasi lain yang menunjukkan bahwa Ibrâhîm adalah teladan dalam hal
keikhlâsannya kepada Allah (QS. al-Nisâ [4]:125) bahwa orang yang paling baik dalam
keyakinannya dan keikhlâsannya kepada Allah adalah Ibrâhîm as, sehingga Allah pantas
menjadikannya sebagai kekasih di sisi-Nya (Khalîlullâh). Maka tidak ada orang yang lebih
baik dari pada orang yang ikhlas kepada Allah, dan orang itu adalah Ibrâhîm as.194 Sosok
orang ikhlâs adalah orang-orang yang menyerahkan dirinya dan apa yang dimilikinya
kepada Allah, tidak enggan ketika diminta atau diperintahkan oleh Allah swt agar mau
mengorbankan hartanya, jiwanya, bahkan anak-anaknya sekalipun (QS. al-Shaffat/37 ayat
102-110). 195 Sayyid Qutub menyebut karakter Ibrâhîm dalam konteks ini sebagai pribadi
yang ridha, penerima, tenang, dan kalem. itu terbukti pada ucapannya kepada putranya.196
Penutur yang Baik
Salah satu karakter unik yang menonjol dan patut menjadi teladan dari sosok khalîlullâh
Ibrâhîm as. adalah cara bertutur, berbicara, dan bercakap dengan pihak lain. Kecerdasan
dan kepandaian Ibrâhîm as. dalam merangkai dan mengatur susunan redaksi kalimat yang
akan dikemukakan ini menjadikan ucapannya tidak saja bernilai cerdas, tetapi juga tetap
santun sehingga tidak menimbulkan kemarahan pada pihak lain sebagai lawan bicara,
padahal ucapannya mengandung suatu bantahan dan pukulan telak serta mematahkan
argumentasi dari pihak lainnya.
Pertama, yang merupakan doa dari Ibrâhîm as. kepada Allah Swt., “Dan Jadikanlah
aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian" (QS. asy-Syu’arâ’ [26]:
84). Kandungan doa itu meliputi permohonan Ibrâhîm agar dirinya diberi: a) ilmu, ini
menurut pendapat Ibn ‘Abbâs, 197b) kecerdasan, c) penerimaan, 198d) kenabian, e) pujian,199f )
keteladanan,200 g) tutur kata yang indah yang diteladani oleh orang-orang sepeninggalku.201
Kedua, percakapan antara Ibrâhîm dan ayahnya yang menolak dakwahnya, bahkan ayahnya
mengancam akan merajamnya jika ia tetap tidak berhenti mendakwahinya (QS. Maryam
[19]: 46). Hal ini karena Nabi Ibrâhîm as. yakin bahwa ayahnya dalam kesesatan, sedangkan
dirinya dalam petunjuk Allah Swt., tetapi Ibrâhîm membalas ancaman ayahnya itu dengan
kata yang santun dan penuh penghormatan kepada ayahnya (QS. Maryam [19]: 47). Kata
193
Muhammad Nasib ar-Rifâ’i, Taysîr al-‘Alî al-Qâdir ‘ala Tafsîr Ibn Katsîr, (Mesir: Maktabah
Syâmilah: t.th.) vol. 1, h. 753. Lihat pula Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 7, h. 265.
194
Muhammad Amin ibn Muhammad al-Mukhtâr asy-Syingkiti, Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh Al-
Qur’an bi Al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), vol. 1, h. 312.
195
Abdul Karîm ibn Abdul Mâlik Hawâzin al-Qusyairî, Lathâif al-Isyârât, vol.1, h. 367
196
Sayyid Qutub, Ibrâhîm Husein asy-Syaribi, Fî Zhilâl Al-Qur’an, (Kairo: Dâr asy-Syurûq, 1412
H), vol. 5, h. 2995.
197
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm, vol. 2 h. 650.
198
Ala ad-Dîn ibn Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’âni at-Tanzîl, vol.3, h. 327
199
Muhammad Jamaluddin al-Qâsimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol.7, h. 462
200
Ahmad ibn Musthafâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol.19, h. 74
201
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azhîm, vol. 6. h. 147
202
Az-Zamakhshari, Al-Kasysyâf ’an Haqâiq Ghawâmidh at-Tanzîl, vol. 3, h. 21. Abu al-Qasim
Muhammad al-Gharnathi, at-Tashîl lî Ulûm at-Tanzîl, vol. 1, h. 481
203
Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, vol. 5, h. 235
204
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 249
205
Abû Muhammad Abd al-Karim Abd al-Hamid, Ihsân Sulûk al-Abd al-Mamlûk Ilâ Mâlik al-
Mulûk, (Riyadh, Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2001) vol.1, h. 210
206
Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ Ulûm ad-Dîn, (Bairut: Dâr al-
Ma’rifat, t.th.) vol. 4, h. 265
207
an-Nakhjuwâni, al-Fawâtih al-Ilâhiyyât, vol.1, h. 407
juga yang akan menjaganya, sehingga ia serahkan segala urusannya kepada Allah tentang
anaknya dan istrinya yang ia tempatkan di sana kemudian ditinggalkannya. Sikap tawakkal
Ibrâhîm tersebut bukanlah tanpa usaha dan kesungguh-sungguhan untuk menitipkan anak
dan istrinya di tempat itu, hal ini dibuktikan bahwa ia sungguh berdoa kepada Allah agar
kiranya tempat yang gersang itu menjadi tempat yang memiliki tanaman, doa agar hati
manusia cinta pada anak keturunannya dan cinta dengan tempat itu, dan doanya terwujud
dan terlaksana sesuai doa yang dipanjatkannya. 208
Di sini Ibrâhîm as. adalah sosok yang memiliki sikap tawakkal kepada Allah Swt.
sehingga Allah menolongnya dan melepaskan dari kesulitan209 yang ia hadapi adalah peristiwa
rangkaian dakwahnya. Sikap Ibrâhîm yang teguh dan gigih dan menegakkan syariat serta
memupus kemusyrikan, mengakibatkannya ia harus menerima hukuman bakar, tetapi
karena bulatnya tawakkal Ibrâhîm as. kepada Allah Swt., sehingga ia diselamatkan oleh
Allah setelah sekian lama dibakar210 hidup dalam api yang sangat dahsyat besarnya. Sikap
tawakkal Ibrâhîm as. ditunjukkan dengan menerima perintah Allah agar menyembelih
putra kesayangannya, lewat wahyu Allah dalam mimpi selama tiga hari berturut-turut.
Seandainya Ibrâhîm adalah orang yang tidak tawakkal kepada Allah atas perintah yang
diterima untuk mengorbankan anak kesayangannya, maka penyembelihan itu tidak
terlaksana, sehingga betapapun beratnya tugas dan amanat yang Allah berikan kepadanya
ia terima sambil berserah diri kepada Allah Swt. (QS. ash-Shaffât [37]: 103-107).
PENUTUP
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang berbagai hal yang menyangkut karakter,
maka dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan hasil dari proses pendidikan dan
pergaulan manusia dengan lingkungannya. Lingkungan ini dapat saja berupa fisik
maupun non-fisik, termasuk lingkungan keluarga, ketetanggaan, dll. Selain itu pula, bagi
Nabi Ibrâhîm as. tentu memperoleh petunjuk dari Allah lebih merupakan kontribusi
yang signifikan dalam membangun karakter dirinya dan putra-putranya.
Sebagai sosok teladan dengan sebelas karakter yang digali, sesungguhnya dapat
dijadikan modal penting bagi pengembangan potensi generasi yang ideal di masa depan
melalui pendidikan bermutu yang memperhatikan pendidikan sikap dan mental, tidak
semata pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan intelektual saja. Jika sebelas karakter
Ibrâhîm as. dapat diterapkan dalam dunia pendidikan maka akan melahirkan generasi
yang diharapkan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa yang sedang mengalami
dekadensi moral di berbagai lapisan masyarakat.
Dimulai dengan sikap taat dan patuh yakni takwa kepada Allah adalah prasyarat utama
pembinaan manusia, dalam mengabdikan diri untuk peningkatan diri dan lingkungan dan
pada cakupan yang lebih luas adalah bangsa dan negara. Selain itu, dituntut berani dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan, berani pula dalam menjalani hidup dan tidak takut
memperjuangkan prinsip hidup yang benar. Jujur dalam bersikap adalah modal penting
bagi pembangunan moral bangsa. Salah satu problem yang dialami bangsa ini adalah
mencuatnya sikap egois dan individualis, untuk itu perlu dikembangkan sikap peduli
baik pada diri sendiri maupun lingkungan. Karena sudah begitu berat kemerosotan moral
yang terjadi, maka dibutuhkan sikap sabar dalam memperbaiki keadaan yang ada sekarang
208
Muhammad Tsanâullah al-Mazhhari, at-Tafsîr al-Mazhhari, vol. 5, h. 276
209
QS. al-Anbiyâ’ [21]: 57, 58, 68-71.
210
Al-Maturidi, Ta’wilât Ahl as-Sunnah, vol.7, h. 358
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Munir, Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah,
Jogjakarta: Pedagogia, 2010
Abû al-Husein, al-Maqâyis fî al-Lughah, Bairut: Dâr al-Fîkr, 1979.
Abû Zahrah, Zahrat at-Tafâsîr, Bairut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1996.
Achmad, Arief, Memahami Berfikir Kritis, http://researchengines.education creativity.com/
1007arief3.html, diunduh pada tanggal 12 November 2014.
‘Alî Ghâzi, Abd al-Qâdir ibn Mallâ al-Khuwais, Bayân al-Ma’ânî, Damaskus, Mathba’ah at-
Turqi, 1965.
Ali, Miqdad Yelzin Muhammad, Ilm al-Akhlâq al-Islâmiyyah, Riyadh: Dâr ‘ilm al-Kutub li
ath-Thab‘ wa an-Nashr, 2003.
al-Ammazi, Abû Saud, Irsyâd al-‘Aql as-Salîm ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm, Bairut: Dâr al-
Turats al-Islamî, t.th.
Al-Andalûsi, Abû Hayyân, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, Bairut: Dâr al-Fikr, 1428 H.
al-Ashfahâni, Ar-Raghib, Tafsîr ar-Raghîb al-Ashfahâni, Riyadh: Dâr al-Wathan, 2001.
_____, al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur’an, Bairut: Dâr al-Qalam, 1412
Audi, John Deigh in Robert, (ed), The Cambridge Dictionary of Philosophy, London: The
Cambridge Dictionary of Philosophy, 1990
al-Aybari, Ibrâhîm ibn Ismâ’îl, al-Mausû’ah al-Qur’âniyyah, Bairut: Muassasah Sijl Arab, t.th.
al-Azharî, Abû Manshur Muhammad ibn Ahmad, Tahdzîb al-Lughah, t.tp: Dâr at-Turâts
al-‘Arabî, 2004
Azra, Azyumardi (et.al), Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Badan Penulisan dan Pengembangan Kementrian Agama Republik Indonesia, Pendidikan
Karakter di Madrasah Ibtidaiyyah Unggulan, Jakarta: Balitbang Kemenag, 2013
Badan Penulisan dan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, Pengembangan
Budaya dan karakter Bangsa, Jakarta: Kemendiknas, 2010
_____, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, t.tp.:Kemendiknas: 2011
al-Baghâwi, Abû Muhammad al-Husein, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr Al-Qur’an, Bairut: Dâr
al-Ihyâ’ at-Turts al-‘Arabî, 1420 H
al-Baihaqî, Abû Bakar, as-Sunan al-Kubrâ, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyât, 2003
al-Banjari, Rahmat Ramadhana, Mengarungi Samudra Ikhlas: Meraih Kekuatan Prinsip Hidup
Ikhlas Demi Kesempurnaan Hidup Anda, Jogjakarta, DivaPress, 2011
al-Basyari, al-Hasan ibn Yasar, Fadhâil Makkah wa as-Sukn Fihâ, Kuwait: Maktabah al-Falah,
t.th.
Berkowitz, Marvin W., dan Melinda C. Bier, What Works In Character Education: A Report for
Policy Makers and Opinion Leaders, Washington: Character Education Partnership,
2005
_____, The Science of Character Education, Damon: Hoover Press, 2012
al-Biqâ’i, Ibrâhîm Umar ibn Hasan ibn Ribath, Nazhm ad-Durâr fî Tanâsub al-Ayât wa as-
Suwâr, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmiy, t.th.
Dictionari, Macmillan, http://www.macmillandictionary.com/dictionary/ british/care-for,
diakses pada 10 Januari 2015.
Ad-Dimasyqî, Syamsuddîn ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Khimarwiyyah ibn Thalun,
Risâlah fî Tafsîrî Qaulihî Ta’âla: Inna Ibrâhîma Kâna Ummatan Qânita, Bairut; Dar
Ibn Hazm, 1997
Al-Fâkihi, Akhbâr Makkat fî Qadîm ad-Dahr wa Hadîts, Bairut: Dâr Hudhar, 1414 H.
al-Fansuri, Ozi, Rahasia Kekuatan Maha Dahsyat: Sabar, Syukur, dan Ikhlas, Jogjakarta: Lafal
Indonesia, 2011
al-Farâhidi, Abû ‘Abd ar-Rahmân al-Khalîl ibn Ahmad ibn Amru, Kitâb al-‘Ain, Bairut: Dâr
wa Maktabah al-Hilal, t.th.
al-Farrâ’, Abû Zakariya ibn Ziyad ibn Abdillah ibn Manzhûr ad-Daylamî, Ma’âni Al-Qur’ân,
Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, t.th.
al-Farûqi, Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Qâdhî ibn Hamid, Mausu’ah Kasysyâf Isthilâhât al-
Funûn wa al-‘Ulûm, Bairut: Maktab Lubnan Nashirun, 1996
al-Ghazâli, Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad, Ihyâ Ulûm ad-Dîn, Bairut: Dâr al-
Ma’rifat, t.th.
Hafiduddin, Didin, “The Story of Ibrahims Preching in Al-Quran”, Hunafa, Vol. 7,
(Desember 2010
Hajjaj, Jihad Muhammad, Umur dan Silsiah Para Nabi, Jakarta: Qisthi Press, 2010.
al-Hijâzi, Muhammad ibn Muhammad, at-Tafsîr al-Wadhîh, Bairut: Dâr al-Jîl al-Jadîd, 1413
al-Hamid, Abû Muhammad Abd al-Karim Abd, Ihsân Sulûk al-Abd al-Mamlûk Ilâ Mâlik al-
Mulûk, Riyadh, Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2001.
Hayes, Kate F., An Attitude of Curiosity, diunduh dari http://www.psychologytoday.com/ blog/
the-edge-peak-performance-psychology/201411/attitude-curiosity pada tanggal 7
Januari 2014
al-Hulyi, Abu al-‘Abbas as-Samîn, ad-Dur al-Masyûn fî Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, Damaskus,
Dar al-Qalam, t.th.
Humaid, As’ad, Aysâr at-Tafâsîr, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998.
al-Husaini, Muhammad ibn Muhammad, Tâj al-‘Arûs, Bairut; Dâr al-Hidayah, t.th
Lathîf, Abdul Azîz ibn Muhammad ibn ‘Ali Abdul, at-Tauhîd li an-Nâsyiah wa al-Mubtadî’în
Saudi Arabia: Wazârat asy-Syu’ûn ad-Dîniyyah wa al-Awqâf, 1422 H.
Lickona, Thomas, Educating for Character: Mendidik untuk membentuk Karakter: Bagaimana
Sekolah dapat Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat dan Tanggung Jawab,
(Jakarta: Penerbit Bumi Aksara: 2012.
Al-Mâwardî, Abû Hasan Ali ibn Muhammad, Tafsîr al-Mâwardi, (Baerut: Dâr al-Kutub al-
ilmiyyah, t.th.
Manser, Martin H., Exford Leaners Pocket Dictionary, Hongkong, Oxford University, 1991
_____, Oxford Leaner Dictionary, USA: Oxford University Press, 1991
al-Mazhhari, Muhammad Tsanâullah, Tafsîr al-Mazhhari, Pakistan: Maktabah ar-Rushdiyyah,
1412 H
Miskawaih, Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya‘kub, Tahdzîb al-Akhlâq wa Ta’thîr al-
Arâq, (Bairut: Maktabah ats-Tsaqâfah ad-Dîniyyah, t.th.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 1994.
Mulyasa, HE., Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 2011
an-Naisaburi, Abû Abdillah al-Hakim Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Muhammad at-
Thahamani, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahîhayn, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1990
an-Nakhjuwâni, Ni’matullah Ibn Mahmûd, al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-
Ghaybiyyah al-Muwaddah li al-Kalîm Al-Qur’aniyyah wa al-Hikâm al-Furqâniyyah,
Mesir: Dar Riqab li an-Nashr, 1999
an-Nawâwi, Abû Zakariya Muhyiddin ibn Syarf, al-Adzkâr li an-Nawâwî, t.tp.: al-Jafân wa
al-Jabi, 2004.
An-Nuhâs, Abû Ja’far, I’râb Al-Qur’an, Bairut: Ma’tsûrât ‘Ali ibn Baidun, 1421 H.
an-Nu’mâni, Abû Hafs Sirâjuddîn ‘Umar bin ‘Alî bin ‘Adil al-Hanbalî ad-Dimasyqî, al-Lubâb
fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyât, 1998
Olivia, Femi, Kembangkan Kecerdasan Anak dengan Taktik Bio Smart, Jakarta: Elexmedia
Kompassindo, 2009.
al-Qâsimî, Muhammad Jamâluddîn ibn Muhammad, Mahâsin at-Ta’wîl, Bairut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H.
Al-Qayrawâni, Abû Muhammad Makki bin Abî Thâlib bin Muhammad bin Hamûs bin
Mukhtâr al-Qaysi, al-Hidâyat ilâ Bulûgh an-Nihâyat fî ‘Ilm Ma’ânî Al-Qur’an wa
Tafsîr wa Ahkâmih wa Jumâl min Funûni Ulûmih, t.tp: Majmu’at Buhûts al-Kitâb wa
as-Sunnah, 2008
al-Qurthûbi, Abû Abdillâh Muhammad ibn Muhammad, al-Jamî’ li Ahkâm Al-Qur’an,
Cairo: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1962.
al-Qusyairiy, Muslim Ibn al-Hajjâj Abu al-Hasan, al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar bi
Naql al-‘Adl ila al-‘Adl Ilâ Rasulillah saw., Bairut: Dar at-Turâts al-Islâmî, t.th.
al-Qusyairi, Abdul Karîm bin Hawâzin Abdul Mâlik, Lathâif al-Isyârât, Dâr al-Mishriyyah
al-‘Ammah li al-Kitâb, t.th.
Qutub, Sayyid, Ibrâhîm Husein asy-Syaribi, Fî Zhilâl Al-Qur’an, Kairo: Dâr asy-Syurûq,
1412 H.
at-Thahir, Hamid Ahmad, Kisah Para Nabi, Bandung: Irshad Baitus Salam, 2006.
at-Tirmidzî, Muhammad ibn Isa ibn Syûrah ibn Mûsa ibn Dhahhâk, al-Jâmi’ al-Kabîr, Sunan
at-Tirmidzî, Bairut: Dâr al-Gharbî al-Islâmî, 1998.
ats-Tsa’lâbî, Ahmad ibn Muhammad, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr Al-Qur’ân , Bairut: Dâr
Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arâbi, 2002
at-Tunisi, Muhammad ath-Thahir ibn ‘Asyûr, at-Tahwîr wa at-Tanwîr, Tahrîr al-Makna al-
Sadîd wa Tanwîr al-‘Aql al-Jadîd min Tafsîr Al-Qur’an al-Majîd, Tunis: Dâr at-Tunisi-
yah li an-Nashr, 1984.
at-Tustari, Abû Muhammad Sahl ibn ‘Abdillah ibn Yûnus, Tafsîr at-Tustarî, Bairut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1423 H
Umar, Abû Hafsh Sirâjuddîn, al-Lubâb fî Ulûm Al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1998
al-Umari, Husein Ibn Abdillah (et.al), Syams al-‘Ulûm wa Dawâ’ Kalâm al-‘Arab min al-
Kulûm, Bairut: Dâr al-Fikr al-Muashir, 1999
Uzer Usman, Moh. Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remadja Rosdakarya, 2001
al-Wâhidî, Abu al-Hasan ibn Ali ibn Muhammad, al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, Di-
maskus: Dâr al-Qalam, 1995
al-Warghami, Muhammad ibn Muhammad Ibn ‘Arafah, Tafsîr al-Imâm Ibn ‘Arafah, Tunisia,
Markaz al-Buhûts bi al-Kulliyyât at-Tunisiyah, 1986.
Webster, Merriam, www.merriam-webster.com/dictionary/care, diunduh pada 10 Januari 2015
Zahrah, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Musthafâ Abû, Zahrât at-Tafâsir, Bairut:
Dâr al-Fikr, t.th.
az-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim ibn Mahmud, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh at-Tanzîl,
Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1407 H.
az-Zarqâni, Muhammad al-‘Adzhîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Kairo, Matba’ah
Isa al-Bâbi al-Halabî wa Syirkât, t.th.
az-Zuhaylî, Wahbah Ibn al-Musthafâ, Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-
Manhâj, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998.
az-Zuhaili, Wahbah al-Musthafâ, Tafsîr al-Wasîth li az-Zuhailî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422
H.