Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter Imam Sydih I
Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter Imam Sydih I
Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter Imam Sydih I
ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
PONDOK PESANTREN:
Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter
Imam SyDIH¶i
Abstract
85
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
PENDAHULUAN
86
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
pembangunan di era otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam upaya mewujudkan
tujuan pembangunan nasional terutama sektor pendidikan. Terlebih, dalam kondisi bangsa
yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral menjadi pelopor sekaligus inspirator
pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih
bernilai dan bermakna.Seiring dengan keinginan yang luhur dalam membina dan
mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus
melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara
lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu
mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.Dalam tulisan ini,
penulis akan membahas tentang (a) Sejarah pesantren dan perkembangannya,(b) pesantren
antara harapan dan tantangan,(c) Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren(d) format
pesantren masa depan.
87
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
E-ISSN: 2528-247
89
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
E-ISSN: 2528-247
mengajarkan pelajaran umum, seperti; bahasa Indonesia, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah,
disini tampaknya sudah mulai adanya sistem klasikal di pesantren. Selanjutnya di awal abad
20 misalnya, Gontor mempelopori berdirinya pesantren yang menekankan aspek kaderisasi
pendidikan Islamdan menejemen terbuka (open menegement). Di pesantren ini santri dibekali
dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga kelak ia bisa
berwirausaha dan membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi sedemikian
rupa.Dibukanya sistem madrasah di pesantren sejak abad 20-an, merupakan salah satu ciri
menghilangnya santri kelana dan diterapkannya sistem klasikal merubah pandangan santri
terhadap ketergantungan kepada ijazah formal sebagai hasil belajarnya. Meskipun pada saat
itu pesantren telah mengalami perubahan, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas
dibandingkan dengan sekolah umum. Menurut Dhafier ada dua alasan mengapa pesantren
lambang mengadakan perubahan, pertama kyai masih mempertahankan dasar-dasar tujuan
pendidikan pesantren, yaitu untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Kedua, belum
memiliki tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan (Dhafier, 1982, p. 38).
Barangkali perubahan sistem ini yang membuat pesantren hingga kini tetap survive ditengah-
tengah masyarakat, meskipun ada faktor lain yang menjadikan tetapsurvive-nya pesantren,
seperti; (1) menjadi alternatif bagi calon siswa dan mahasiswa yang gagal PSB masuk dalam
sekolah umum atau UMPTN/ PMB, (2) tradisi pesantren yang merakyat ± tidak elitis- sebagai
modal berharga bagi pengembangan pendidikan pesantren yang humanis, (3) keampuhan
pesantren sebagai benteng kultur dan agama bagi generasi muda, dan (4) memiliki ikatan dan
keakraban yang kuat dengan dengan masyarakat sekitarnya (Azra, 1997, p. 109).
Sampai akhir abad 20, sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan.
Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu
umum. Selain itu juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu,
seperti khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, ketrampilan atau kaderisasi gerakan-gerakan
Islam.Perkembangan model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan
elemen-elemennya. Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama, pesantren modern
memiliki kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup canggih.
Dengan tidak meninggalkan tradisi, abad21 ini, pesantren terus mengadakan
pembaharuan-pembaharuan baik di bidang kelembagaan maupun menejemennya, hal ini
seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman.Oleh karena itu, di era sekarang ini banyak
ditemukan model-model pesantren di Indonesia yang nyaris berbeda design bangunannya
dengan pesantren-pesantren klasik. Melihat perubahan-perubahan ini, dengan meminjam
91
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
pendapat Manfred Ziemek, maka tipe-tipe persantren di Indonesia dapat digolongkan sebagai
berikut.
1.Pesantren Tipe A, yaitu pesantren yang sangat tradisional. Pesantren yang masih
mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang
berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak
pesantrennya dan jenis pesantren inilah yang masih tetap eksis mempertahankan tradisi-
tradisi pesantren klasik dengan corak keislamannnya (Laode Ida: 1996: 13). Masjid
digunakan untuk pembelajaran Agama Islam disamping tempat shalat. Pesantren tipe ini
biasanya digunakan oleh kelompok-kelompok tarikat. Olek karena itu, pesantrennya
disebut pesantren tarikat. Namun mereka tidak tinggal dimasjid yang dijadikan pesantren.
Para santri pada umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah kyai atau
dirumah kyai. Tipe pesantren ini sarana fisiknya terdiri dari masjid dan rumah kyai, yang
pada umumnya dijumpai pada awal-awal berdirinya sebuah pesantren (Ziemek, 1986).
2. Pesantren Tipe B, yaitu pesantren yang mempuyai sarama fisik, seperti; masjid, rumah
kyai, pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri, utamanya adalah bagi santri
yang datang dari daerah jauh, sekaligus menjadi ruangan belajar. Pesantren ini biasanya
adalah pesantren tradisional yang sangat sederhana sekaligus merupakan ciri pesantren
tradisional (Ziemek, 1986). Sistem pembelajaran pada tipe ini adalah individual (sorogan),
bandungan, dan wetonan.
3. Pesantren tipe C, atau pesantren salafi ditambah dengan lembaga sekolah (madrasah, SMU
atau kejuruan) yang merupakan karakteristik pembaharuan dan modernisasi dalam
pendidikan Islam di pesantren. Meskipun demikian, pesantren tersebut tidak
menghilangkan sistem pembelajaran yang asli yaitu sistem sorogan, bandungan, dan
wetonan yang dilakukan oleh kyai atau ustadz (Prasidjo, 2001, p. 4).
4. Pesantren tipe D, yaitu pesantren modern,Pesantren ini terbuka untuk umum, corak
pesantren ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem
pendidikanmaupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan sistem
pembelajaran sudah menggunakan sistem modern dan klasikal. Jenjang pendidikan yang
diselenggarakan mulai dari tingkat dasar (barangkali PAUD dan juga taman kanak-kanak)
ada di pesantren tersebut sampai pada perguruan tinggi. Di samping itu, pesantren modern
sangat memperhatikan terhadap mengembangkan bakat dan minat santri sehingga santri
bisa mengekplor diri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing (Nizar, 2007). Hal
yang tidak kalah penting adalah keseriusan dalam penguasaan bahasa asing, baik bahsa
92
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
Arab dan Inggris maupun bahasa internasional lainnya. Sebagai contoh misalnya,
pesantren Gontor, Tebuireng dan pesantren modern lainnya yang ada di tanah air.
5. Pesantren tipe E, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi
memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di
luar pesantren. Pesantren tipe ini,dapat dijumlai pada pesantren salafi dan jumlahnya di
nusantara relatif lebih kecil dibandingkan dengan tipe-tipe lainnya.
6. pesantren tipe F, atau PD¶KDG µ$O\, tipe ini, biasanya ada pada perguruan tinggi agamaatau
perguruan tinggi bercorak agama. Para mahasiswa di asramakan dalam waktu tertentu
dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh perguruaan tinggi,mahasiswa wajib
mentaati peraturan-peraturan tersebut bagi mahasiswa yang tinggal di asrama atau PD¶KDG.
Sebagai contoh, PD¶KDG µaly UIN Malang yang telah ada sejak tahun 2000 dan semua
mahasiswa wajib diasramakan selama satu tahun. Kemudian PD¶KDG µDO\ IAIN Raden
Intan Lampung yang telah berdiri sejDN \DQJ ODOX 7XMXDQ GDUL PD¶KDG µDO\ WHUVHEXW
adalah untuk memberikan pendalaman spiritual mahasiswa dan menciptakan iklim kampus
yang kondusif untuk pengembangan bahasa asing(Visi, Misi, dan Tradisi: 2012: 5-6)
Melihat keaneka ragaman pesantren tersebut diatas, maka Abdullah Syukri Zarkasyi
berpendapat bahwa pesantren sejak berdirinya hingga perkembangannya dewasa ini,
pesantren dapat dikategorikan menjadi tiga macam bentuk, yaitu: Pertama, pesantren
tradisional yang masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama, pembelajaran kitab, sampai
kepada permasalahan tidur, makan dan MCK-nya, serta kitab-kitab PDUDML¶-nya biasa disebut
kitab kuning (Zarkasyi, 1998, p. 220). Kedua, pesantren semi modern, yaitu pesantren yang
memadukan antara pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pembelajaran
disamping kurikulum pesantren tradisional dalam kajian kitab klasik juga menggunakan
kurikulum Kemenag dan kemendiknas. Ketiga, pesantren modernyang kurikulum dan sistem
pembelajarannya sudah tersusun secara modern demikian juga menejemennya. Disamping itu,
menurut Zarkasyi pesantren modern sudah didukung ITdan lembaga bahasa asing yang
memadai (Zarkasyi, 1998). Termasuk PD¶KDG µDO\ dikategorkanbentuk pesantren modern.
93
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
kaderisasi ulama' dan sebagai pemelihara budaya Islam. Dua unsur tambahan tersebut perlu
ditekankan sebab seorang ulama' bukan sekedar orang yang memiliki penguasaan ilmu yang
tinggi, tetapi juga harus disertai dengan kemampuan mengamalkan ilmu tersebut.Hal senada
juga dikemukakan oleh Tholkhah Hasan mantan menteri agama RI, bahwa pesantren
seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-
nilai Islam (Islamic vaues); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol
sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social
engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu,
menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-
tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik,
sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change
(http://www.searchresults.com/web?l=dis&q=telaah+pesantren+dari+masa+kemasa&o=APN
10645A. Di akses tanggal 20 November 2012)
Pesantren sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Hampir kita temukan
masyarakat di sekitar pesantren relatif lebih bagus dibandingkan dengan masyarakat yang
jauh dari pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran pesantren dalam membangun masyarakat
melalui pesan-pesan agama. Jaringan (network) pesantren kepada masyarakat lebih dititik
beratkan kepada ikatan orang tua, santri dengan pesantren, atau jaringan thariqah yang ada
pada pesantren tertentu. Jaringanthariqah ini biasanya memiliki hubungan lebih kuat dengan
pesantren ketimbang hanya hubungan orang tua santri pada umumnya. Hubungan-hubungan
semacam ini yang membuat masyarakat merasa dekat dan senang terhadap keberadaan
pesantren, ditambah lagi pesantren mampu menunjukkan dan mempertahankan kualitas dan
kuantitasnya ditengah-tengah masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren
menyelenggarakan pendidikan sekolah, (madrasah, sekolah umum, kejuruan, dan perguruan
tinggi) serta pendidikan luar sekolah berupa kursus-kursus keahlian (life skill), untuk
menunjang kehidupan santri pasca mengikuti pendidikan pesantren, karena pesantren tidak
mencetak santrinya untuk menjadi pegawai pemerintah (PNS), tetapi lebih menitik beratkan
kepada kemandirian santri yang tidak meng-ekor atau menjadi beban orang/lembaga lain.
Karena itu, pesantren selalu membekali pendidikan kewirausahaan kepada santrinya sesuai
dengan bentuk life skill yang diberikan oleh masing-masing pesantren.
Proses rekrutmen santri, juga beraneka ragam. Ini menunjukan bahwa pesantren adalah
lembaga untuk semua. Menurut Nizar sebagai lembaga pendidikan dan sosial, pesantren tidak
94
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
pernah membeda-bedakan status sosial bagi calon santri maupun tamu yang datang (Nizar,
2007, p. 288). Hal semacam ini berbeda dan sulit ditemukan pada jenis lembaga pendidikan
yang lain. Seringkali pada lembaga-lembaga pendidikan (sekolah), terlebih lagi era sekarang
ini,status sosial sangat menentukan dimana anak itu sekolah dan dari kasta mana saja mereka
yang datang ke lembaga sekolah tersebut. Kiprah pesantren yang demikian itu, dalam
berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah,
selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama serta pengembangan keilmuan
Islam.Di samping fungsi tersebut, menurut Mansyur Suryanegarapesantren juga memiliki
peran yang sangat besar dalam merespon ekspansi politik kolonial Belanda (Suryanegara,
1998). Semangat juang dalam mengusir kaum penjajah di tanah air lebih banyak dikibarkan
dari pesantren atau kaum santri dengan semangat jihad dan hubb-u al- wathan min al-
imanmereka berani mati melawan penjajah.
95
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
E-ISSN: 2528-247
seperti madrasah, sekolah, dan bahkan universitas. Sekalipun pendidikan modern telah masuk
ke pesantren, akan tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan.
Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk
memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi adalah
suatu bentuk keniscayaan tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren (al-
muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah). Tradisi yang
dimaksud untuk selalu dipertahankan oleh pesantren adalah pengajaran agama secara utuh.
Pendidikan pesantren sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja
terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah dan universitas pada
umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para santri dapat memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Pendidikan pesantren adalah
pendidikan Islam yang berusaha mengantarkan para santri menjadi alim dan shalih, bukan
menjadi pegawai atau pejabat.
Dalam perkembangannya ke depan, yang harus selalu diingat adalah bahwa pesantren
harus tetaS PHQMDGL ³UXPDK´ dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai
dengan perkembangan zaman dan tuntutan masa. Selain itu, ilmu yang diajarkan di pesantren
harus memiliki pola perpaduan (umum-agama) yang dilandasi karakteristik keilmuan Islam
melalui kajian ayat-ayat qauliyah dan qauniyah, yang bersumber dari Allah SWT, untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat duniawi dan ukhrawi, dan berlaku umum untuk semua
komunitas manusia, realistis, dan terpadu (integral); artinya tidak membeda-bedakan pada
dimensi keilmuannya, serta universal sehingga dapat melahirkan konsep-konsep keilmuwan
di segala bidang dan semua kebutuhan manusia. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah
pesantren yang merupakan pendidikan berbasis agama (Islam), harus mampu memaksimalkan
DVSHN GD¶ZDK NDUHQD GD¶ZDK PHUXSDNDQ EDJLDQ GDUL ,VODP GDQ Widak bisa dipisahkan dengan
ilmu-ilmu keislaman.
97
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan membangun
masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan
manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia
yang tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal
pesantren, juga harus didukung oleh pemerintah secara serius sebagai proses pembangunan
manusia seutuhnya. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses
pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun mewujudkan tujuan
pembangunan nasional terutama sektor pendidikan. Terlebih, dalam kondisi yang tengah
mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk
dan mengembangkan nilai-nilai moral, dengan basic agama harus menjadi pelopor sekaligus
inspirator pembangunan moralbangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa
melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau
kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh
kemurnianlembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-
ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.Sekalipun belakangan issu terorisme dienduskan
dari kalangan pesantren, sebenarnya faham semacam itu tidak pernah diajarkan di lembaga
pesantren. Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan
Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok
dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan,
seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja
keterampilan. KeJLDWDQQ\D WHUDQJNXP GDODP ³Tri Dharma Pondok pesantren´ \DLWX
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat;
dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
Agaknya perlu dicermati, bahwa pemaknaan pesantren masa lalu perlu ditinjau
kembali atau perlu redefinisi dan reinterprestasi. Pesantren pada masa lalu yang dipahami
sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana santrinya tinggal bersama dan belajar
dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan kyai (Zarkasyi,
1998, p. 18). Pondokatau asrama para santri pada masa lalu biasanya berupa bangunan yang
terbuat dari bambu,atau bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik
dan beratap rumbia. (Steenbrink, 1994, p. 781). Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di
98
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis
pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan
dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi
berganti baju dari salafiyah ke PX¶DV\LU (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan
nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji.Maka,
idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan
mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafiannya. Pengkajian kitab kuning sebagai ciri
khas pendidikan pesantren sepatutnya diajarkan sejak jenjang Ibtidaiyah sampai Aliyah
sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra
seperti kursus komputer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk
mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk
mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustadz-ustadz, ulama dan fuqoha yang
mumpuni.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni
(a) munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); (b)
penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain
dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan
reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama
atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah
didikan dan pengawasan para guru pembimbing. Tanpa disadari, sesungguhnya sekolah-
sekolah itu merusaha meniru pola pendidikan pesantren, yang ternyata lulusan pesantren tidak
kalah mutunya dengan lulusan sekolah-sekolah umum. Di sisi lain, sistem pesantren ternyata
lebih unggul dalam membentuk kepribadian (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003: 2009:
101)santri, hal ini dibuktikan hingga sekarang belum ditemukan kasus santri tawuran antar
santri atau pesantren, demikian juga dengan sekolah-sekolah umum. Sementara itu, tawuran
antar pelajar pada sekolah-sekolah umum seakan-akan menjadi tontonan masyarakat yang
hampir setiap waktu terjadi tawuran (Tempo.Co : 2012). Kekuatan pesantren dalam
membentuk kepribadian santri sebagaimana telah dikemukakan, tidak terlepas dari sistem
boarding school yang telah lama diterapkan dalam pendidikian pesantren.Disini mereka
dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama
mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama, tak lupa merekamengekspresikan seni
bugaya dan ketrampilan lainnya di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi
99
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai
ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama,
lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang sama pula. Dalam khazanah pendidikan
kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua (Azra, 1997, p. Xxiii).
Secara tradisional jejakboarding school dapat kita selami dalam dinamika kehidupan
pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah
banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran
boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu
konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang
religiusitas masyarakat. Ada tiga alasan mengapa perlu boarding school, yaitu:
1. Lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian
besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan
lama bertempat tinggal dengan keluarga besar atau marga telah lama bergeser kearah
masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku
masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.
Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa
lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan intelektual dan moralitas anak.
2. Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan
di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas
yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga
mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada
tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang
tuanya.
3. Cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah.
Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin
religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai
kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya
ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin
hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan
generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua
mencarikan sistem pendidikan alternatif.
100
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
101
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
102
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017 P. ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-247
DAFTAR PUSTAKA
103