Jurnal Kel. 4 Lafadz Amar Dan Nahy
Jurnal Kel. 4 Lafadz Amar Dan Nahy
Jurnal Kel. 4 Lafadz Amar Dan Nahy
Email: ajengasti722@gmail.com
3 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: alfiadzka20@gmail.com
4 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: anggamn10102@gmail.com
5 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: dinda8062@gmail.com
6 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: Faizalpengaisbungsu@gmail.com
Abstract
Usul fiqh as a methodological knowledge of extracting law has an important
role, especially in the science of Islamic law or the knowledge of fiqh. The
discussion in terms of language or lughawiyah studies, is very important to
study because the sources of Islamic law, namely the Qur'an and al-Hadist, use
Arabic which has many meanings contained therein. The science of Ushul Fiqh
is a science that is indispensable for every Muslim, especially to know the laws
of events or new things that did not happen at the time of the Prophet
Muhammad. Because the times are always evolving, while the Qur'an and
Hadith will no longer be added and changed because everything is already
included in the Qur'an. The activity of understanding or interpreting the Qur'an
requires the existence of rules which include linguistic settings, one of which
will be discussed in this journal, namely, commands (amar) and prohibitions
(nahy) in this case are usually expressed in an imperative style, but There are
other occasions when the past tense is used as a substitute. Understanding Amr
and nahy along with the accompanying rules is very important in which the aim
is to understand and sort out verses in the form of commands and verses in the
form of prohibitions in order to avoid any erroneous meanings.
Keywords: Kaidah; Amar; Nahy
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
Abstrak
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari
segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena
sumber hukum islam yaitu al- Qur’an dan al-hadist menggunakan bahasa arab
yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih
adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim terutama untuk
mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an
dan Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena
memangsegalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur’an. Kegiatan pemahaman
atau penafsiran Al-Qur’an diperlukan adanya suatu kaidah-kaidah yang
didalamnya mencakup pengaturan kebahasaan salah satunya yang akan dibahas
dalam jurnal ini yaitu, perintah (amar) dan larangan (nahy) dalam hal ini
biasanya diungkapkan dengan gaya bahasa imperatif, tetapi ada kesempatan lain
digunakan kalimat lampau sebagai pengganti. Memahami Amr dan nahy berikut
dengan kaidah-kaidah yang menyertainya sangatlah penting yang mana
tujuannya untuk memahami dan memilah ayat yang berupa perintah dan ayat
yang berupa larangan agar terhindar dari adanya pemaknaan yang keliru.
Kata Kunci: Kaidah; Amar; Nahy
Pendahuluan
Penggunaan bahasa arab pada sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist
sehingga didalamnya mempunyai banyak makna yang terkandung baik makna
yang tersirat maupun makna yang tersurat. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang
sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan
mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui
hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa
Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Quran dan
Hadits sudah tidak akan mengalami penambahan atau perubahan didalamnya.
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam
atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah yang
didalamnya mencakup kaidah-kaidah dengan tujuan agar terhindar dari adanya
pemaknaan yang keliru, antara perintah dengan larangan yang biasanya
diungkapkan dengan gaya bahasa imperatif, tetapi dalam beberapa ayat lain
digunakan juga kalimat lampau sebagai pengganti. Memahami Amr dan nahy
sangatlah penting berikut dengan pengaturan-pengaturan atau kaidah-kaidah
yang menyertainya.
2
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
Pembahasan
A. Bentuk-bentuk Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar
berbentuk sebagai berikut:
1. Berbentuk Fi’il Amar /perintah langsung
َ َّ َ
الصلوة َوا ِق ْي ُموا
“Dan dirikanlah Shalat………”
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syari’i datang dalam bentuk
amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya
menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan
kepastian. Allah Berfirman:
َ ُ َّ َ ْ
َوال ُمطلقت َي َتَّب ْص َن
"Wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu)…….”
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk
menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab
menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar dan
3
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
5. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya
ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ ْي
ف از َو ِاج ِه ْم ِ قد ع ِلمنا ما فرضنا علي ِهم
“Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50)
َ يي َا ُّي َها َّالذ ْي َن ا َم ُن ْوا ُكت
ِّ ب َع َل ْي ُك ُم
الص َي ُام ِ ِ
”Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu
berpuasa”.(QS. Al Baqarah: 183)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dandigunakan
untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahuidari susunan
kalimatnya.
4
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
5
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
6
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
7
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
Kalau melihat kaidah ushul secara umum dalam kasus diatas, seharusnya
yang lebih tinggi memerintahkan yang rendah derajatnya. Akan tetapi
ayat diatas telah mengguna-kan kata perintah dari bawah keatas (dari
hamba kepada Tuhan). Apakah hal ini akan diartikan memerintah
Allah?? Tentu tidak. Akan tetapi amar disini berarti doa.
Kemudian bandingkan dengan kata shalawat yang juga artinya berdoa
atau memberikan berkah. Apakah kita akan memberikan berkah kepada
Rasulullah yang telah tercurahkan dari Allah swt?? Apakah kita juga
termasuk memerintahkan Allah untuk memberikan berkah kepada
Rasulullah?? Atau apakah Rasulullah butuh shalawat kita agar beliau
mendapat Rahmat dari Allah. Padahal Rasulullah telah dijamin syurga
oleh Allah. Apakah kita akan tetap menterjemahkan kata shalawat
berarti doa untuk Nabi??
Baiklah saya akan meneruskan pengertian shalawat dengan mengambil
makna yang lain agar tampak jelas pengertian shalawat bahwa Rasulullah
tidak membutuhkan rahmat ataupun doa ummatnya.
Bersabda Nabi: Barang siapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah
bershalawat untuknya sepuluh kali (HR Muslim dari Abu Hurairah, Al Mirqah
II :5), Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang
diperintah berjalan dimuka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya.
Mereka menyampai-kan kepadaku (sabda nabi) akan segala salam yang
diucapkan oleh ummatku. (HR. Ahmad, An Nasaiy & Ad Damrimy Syarah Al
Hishn, Al Mirqah II:6), Barang siapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh
kali dan dipetang hati sepuluh kali mendapatkan ia syafaatku pada hari kiyamat
(HR. At Thabrany Al Jami'), Manusia yang paling utama terhadap diriku pada
hari kiyamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku (HR At
Thurmudzy)
Semakin jelas bahwa arti shalawat pada hadist diatas, bahwa Rasulullah
tidak membutuhkan rahmat ataupun doa dari kita, akan tetapi justru
Rasulullah yang akan memberikan pertolongan nanti dihari kiamat
apabila kita sering memberikan salam atau shalawat penghormatan
kepada beliau. Dan Allah juga memberikan shalawat kepada orang yang
bershalawat kepada Rasulullah.
Hadist yang mengatakan bahwa: Barang siapa yang bershalawat untukku
sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali (HR Muslim dari
Abu Hurairah)
Hadist inilah yang menguatkan bahwa Allah bershalawat kepada siapa
saja, bukan hanya kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Untuk
lebih tegasnya kita perhatikan bacaan shalawat dalam tahiyyat shalat. at
tahiyyatul mubarakatush shalawatu thoyyibatulillah, assalamu alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh, asssalamu'alaina wa'ala
8
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
9
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
B. Kaidah-kaidah Nahy
Seperti halnya amr, dalam memahami nahy yang sering dijumpai dalam
nash Al-Qur’an dibutuhkan juga adanya kaidah-kaidah atau rambu-
rambu didalam memahaminya, dintara kaidah-kaidah itu adalah:1
1) Nahy menuntut adanya Tahrim, Disegerakan dan Terus-menerus
(Selamanya). Dalam kaidah ini terdapat tiga hal: pertama; Pada
10
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
11
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
2 Ali al-Jarimi dan Mushtafa Utsman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo,2004), terj. Mujiyo, dkk. 198
3 Fakhruddin ar-Razi, al-Mahshul Fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassah ar-Risalah,
12
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
13
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
D. Makna Nahy
Larangan seperti halnya perintah membawa berbagai variasi makna,
meskipun makna pokok dari nahy adalah menunjukkan suatu yang
haram ( )األ صل في النھي التحریمtetapi kadangkala keluar dari makna asal
karena ada petunjuk yang menunjukkan tidak hanya mneunjukkan
keharaman, tetapi juga beberapa makna, seperti:6
1. Untuk makruh ( ) كراھةatau ketercelaan seperti ayat Al Qur’an yang
meminta orang-orang beriman untuk tidak mengharamkan makanan-
makanan yang dihalalkan Allah kepadamu, surat al-Maidah (5): 87 ل
تحرموا طیبات ما أحل هلل لكم ولا تعتدوا
2. Untuk mendidik atau tunutunan ( ) إرشادseperti dalam ayat Al-Qur’an
yang meminta orang beriman agar tidak menanyakan masalah-masalah
apabila dijelaskan maka akan menimbulkan kesulitan, surat al-Maidah
(5): 101 ل تسألوا عن أشیاء إن تبدلكم تسؤ كم
3. Untuk permohonan ( ) دعاءseperti dalam surat Ali Imran (3): 8 ربنا ل تزغ
قلوبنا بعد إذ ھدیتنا
4. Untuk merendahkan ( ) تحقیر, seperti dalam surat al-Hijr (15): 88 ل تمدن
عینیك إلي ما متعنا بھ أزواجا منھم
5. Untuk penjelasan akibat ( ) بیا ن العا قبة, seperti terdapat dalam surat
Ibrahim (14): 42 ول تحسبن هلل غا فال عما یعمل الطا لمون
6. Untuk keputua-asaan ( ) الیأس, seperti terdapat dalam surat al-Tahrim
(66): 7 یا أ یھا الذین أمنوا ل تعتذروا الیوم
Oleh karenan nahy dapat membawa berbagai makna, maka para ulama
berbeda pendapat tentang manakah diantara makna-makna itu yang
merupakan makna hakiki, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
makna hakiki dari nahy adalah karahah (ketercelaan), menurut pendapat
jumhur mengatkan bahwa makna hakiki dari nahy adalah untuk tahrim,
tetapi maknanya bisa berubah kalau ada indikasi-indikasi yang
menunjukkan demikian.7
6
Isa Zahran, Al-Muntakhab Fi Ushul Fiqh, (Kairo: Jamiah al-Azhar,1998), hal.117
7
Musthafa Said Khan, Atsarul Ikhtilaf Fi Al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtikaf al-
Fuqaha, (Beirut: Muassash al-Risalah, 1985), h. 339
14
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx
ditinggalkan. Kedua, dari sisi pemahamanya amr dan nahy, bahwa syari’
bermaksud adanya amr karena didalamnya terkadung kemaslahatan, dan
adanya nahy karena didalamnya ada suatu ke-fasad-an, dari (surat Al-
Jum’ah: 9) diatas bisa diambil pemahaman bahwa Allah memerintahkan
untuk shalat jum’ah agar seorang hamba selalu menjaga untuk
melaksanakan shalat jum’at tanpa mengabaikannya. Sedangkan adanya
pelarangan jual beli karena itu akan menjadi tersibukkan denganya dan lupa
akan shalat jum’at.
Adapun yang ghairu sharih (tidak jelas) ada sebagai berikut, yaitu;
• Pertama, Amr dengan bentuk ikhbar atas penetapan hukum dan
menunjukkan sharih. Dalam hal ini adanya amr tidak menggunakan
asal sighat amr yaitu dengan fi’il; amr, tetapi berbentuk jumlah khabar
yang mengandung amr secara jelas, seperti terdapat dalam surat al-
Baqarah: 183... ) (یا أیھا الذین كتب علیكم الصیام
• Kedua, Amr dengan bentuk pujian atas orang yang telah melakukan
perintah dan celaan atas orang yang melakukan larangan, atau dengan
kata lain bahwa orang yang menjalankan perintah Allah maka akan
mendapat pahala, cinta Allah, dan pujian. Sedangkan orang yang
melanggar perintah-Nya akan mendapat dosa, kebencian dan celaan
dari-Nya, contoh dalam surat an-Nisa’: 13 والذین أمنوا با هلل ورسلھ أو لئك ھم
الصد یقونdan surat an-Nisa’:14 ()من یعص هلل و رسولھ و یتعد حدوده یدخلھ نا را8
Selain penjelasan diatas, hubungan amr dan nahy juga tanpak ketika adanya
perintah dan larangan bersamaan. Menurut Khudari Beik bahwa suatu
perbuatan yang disuruh terdapat beberapa lawan kata yang menyalahi
perbuatan yang disuruh itu tidak mungkin keduanya dipertemukan.
Demikian pula bagi suatu perbuatan yang dilarang
Kesimpulan
Pokok dari pada perintah (amr) adalah menunjukkan wajib apabila shighat amr
itu datang secara mutlaq. Uslub (gaya bahasa) seperti menggunakan fi'il amr,
menggunakan kalimat faradla atau kutiba, atau menyebutkan bahwa perbuatan
itu adalah baik atau dijanjikan balasan yang baik. Adapun pokok dari pada
larangan (nahy) itu menunjukkan haram, apabila shighat nahy itu datang secara
mutlaq, Uslub (gaya bahasa) seperti menggunakan fi'il mudlari yang disertai la
nahiyah, menggunakan kalimat naha, haram, tidak halal, menyebutkan bahwa
perbuatan itu adalah dosa, atau perbuatan itu adalah buruk atau jahat.
8
Khalid bin Utsman as-Sabt, Qawaid, hal. 494-499
15
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy
Daftar Pustaka
Al-Jarimi, Ali dan Mushtafa Utsman, (2004), Al-Balaghah al-Wadhihah,
Terjemahan Mujiyo, dkk, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Fahimah, Siti. 2018. Kaidah-kaidah Memahami Amr dan Nahy:
Urgensinya dalam Memahami Al-Qur’an. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan
Tafsir, Vol. 1 (1) hal. 6-12.
Hamka, Zainudin. 2017. Kaidah-kaidah Tafsir yang Berhubungan
dengan Amr (Perintah) dan Nahy (Larangan) dalam Al-Qur’an. Ash-Shahabah:
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, vol. 3 (2) hal. 3-5.
16