Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Jurnal Kel. 4 Lafadz Amar Dan Nahy

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan – ISSN: xxxx-xxxx (p), xxxx-xxxx (e)

Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

LAFADZ AMAR DAN NAHY


Aeni Sri Hasanah 1, Ajeng Asti Trihapsari 2, Alfi Adzka Dzikrillah 3, Angga
Muhamad Nurdiman 4, Dinda Salsabilla Noegroho 5, Faizal Jely Nugraha 6

1 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia


Email: aenisrihasanah@gmail.com
2 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: ajengasti722@gmail.com
3 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: alfiadzka20@gmail.com
4 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: anggamn10102@gmail.com
5 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: dinda8062@gmail.com
6 Uiversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

Email: Faizalpengaisbungsu@gmail.com

Abstract
Usul fiqh as a methodological knowledge of extracting law has an important
role, especially in the science of Islamic law or the knowledge of fiqh. The
discussion in terms of language or lughawiyah studies, is very important to
study because the sources of Islamic law, namely the Qur'an and al-Hadist, use
Arabic which has many meanings contained therein. The science of Ushul Fiqh
is a science that is indispensable for every Muslim, especially to know the laws
of events or new things that did not happen at the time of the Prophet
Muhammad. Because the times are always evolving, while the Qur'an and
Hadith will no longer be added and changed because everything is already
included in the Qur'an. The activity of understanding or interpreting the Qur'an
requires the existence of rules which include linguistic settings, one of which
will be discussed in this journal, namely, commands (amar) and prohibitions
(nahy) in this case are usually expressed in an imperative style, but There are
other occasions when the past tense is used as a substitute. Understanding Amr
and nahy along with the accompanying rules is very important in which the aim
is to understand and sort out verses in the form of commands and verses in the
form of prohibitions in order to avoid any erroneous meanings.
Keywords: Kaidah; Amar; Nahy
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

Abstrak
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari
segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena
sumber hukum islam yaitu al- Qur’an dan al-hadist menggunakan bahasa arab
yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih
adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim terutama untuk
mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an
dan Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena
memangsegalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur’an. Kegiatan pemahaman
atau penafsiran Al-Qur’an diperlukan adanya suatu kaidah-kaidah yang
didalamnya mencakup pengaturan kebahasaan salah satunya yang akan dibahas
dalam jurnal ini yaitu, perintah (amar) dan larangan (nahy) dalam hal ini
biasanya diungkapkan dengan gaya bahasa imperatif, tetapi ada kesempatan lain
digunakan kalimat lampau sebagai pengganti. Memahami Amr dan nahy berikut
dengan kaidah-kaidah yang menyertainya sangatlah penting yang mana
tujuannya untuk memahami dan memilah ayat yang berupa perintah dan ayat
yang berupa larangan agar terhindar dari adanya pemaknaan yang keliru.
Kata Kunci: Kaidah; Amar; Nahy

Pendahuluan
Penggunaan bahasa arab pada sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist
sehingga didalamnya mempunyai banyak makna yang terkandung baik makna
yang tersirat maupun makna yang tersurat. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang
sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan
mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui
hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa
Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Quran dan
Hadits sudah tidak akan mengalami penambahan atau perubahan didalamnya.
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam
atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah yang
didalamnya mencakup kaidah-kaidah dengan tujuan agar terhindar dari adanya
pemaknaan yang keliru, antara perintah dengan larangan yang biasanya
diungkapkan dengan gaya bahasa imperatif, tetapi dalam beberapa ayat lain
digunakan juga kalimat lampau sebagai pengganti. Memahami Amr dan nahy
sangatlah penting berikut dengan pengaturan-pengaturan atau kaidah-kaidah
yang menyertainya.

2
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Pembahasan

I. Lafadz Amar (Perintah)


Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan
suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang
memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh
semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar
merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya
orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali
Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang
menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya
lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa
orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang
disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.

A. Bentuk-bentuk Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar
berbentuk sebagai berikut:
1. Berbentuk Fi’il Amar /perintah langsung
َ َّ َ
‫الصلوة‬ ‫َوا ِق ْي ُموا‬
“Dan dirikanlah Shalat………”
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syari’i datang dalam bentuk
amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya
menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan
kepastian. Allah Berfirman:
َ ُ َّ َ ْ
‫َوال ُمطلقت َي َتَّب ْص َن‬
"Wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu)…….”
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk
menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab
menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar dan

3
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk


mewajibkannya. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia
menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan
untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata
sebelum dan sesudahnya). Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah
(keterkaitan/hubungan) yang dapat memalingkan shighat perintah dari
makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai
dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah
(pembolehan).

2. Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar. Misalnya,


firman Allah:
ْ ْ ُ َّ ْ
‫َول َيط َّوف ْوا ِبال َب ْي ِت ال َع ِت ْي ِق‬
“Dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”.
(QS.Al-Hajj: 29)

3. Isim Fi’il Amr. Misalnya, firman Allah:


ُ ُ َْ ُ َ
‫َعل ْيك ْم انف َسك ْم‬
“Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
4. Masdar pengganti fi’il. Misalnya, firman Allah:
َ ْ
‫َو ِبال َو ِالد ْين ِإ ْح َسان‬
“Dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)

5. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya
ْ َ ‫َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ ْي‬
‫ف از َو ِاج ِه ْم‬ ِ ‫قد ع ِلمنا ما فرضنا علي ِهم‬
“Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50)
َ ‫يي َا ُّي َها َّالذ ْي َن ا َم ُن ْوا ُكت‬
ِّ ‫ب َع َل ْي ُك ُم‬
‫الص َي ُام‬ ِ ِ
”Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu
berpuasa”.(QS. Al Baqarah: 183)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dandigunakan
untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahuidari susunan
kalimatnya.

4
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

B. Kaidah-kaidah Amar (Perintah)


Kaidah-kaidah ilmu Ushul digunakan untuk mengetahui keinginan atau
maksud dari sebuah redaksi yang bagi orang awam sedikit
membingungkan. Misalnya sebuah kata perintah (amr) atau larangan
(nahy), akan bisa diterjemahkan maknanya apabila ada kata yang
mendukung kata yang lainnya atau kata itu akan berubah arti dari arti
sebenarnya jika dikaitkan keadaan subjek dan objek yang dibicarakan.
Sebagai contoh, perintah (amar), yang artinya: Tuntunan melakukan
pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah
(kedudukannya). Yang lebih tinggi kedudukannya dalam hal ini adalah
Allah dan yang lebih rendah kedudukannya adalah manusia (mukallaf).
Jadi Amr ialah perintah Allah Swt yang harus dilakukan oleh ummat
manusia yang mukallaf. Misalnya: wa aqiimush shalata… (QS. Al
baqarah: 43). Dan dirikanlah shalat!
Amar itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar
pengambilan atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian
kita kenal dengan istilah kaidah. Amar mempunyai beberapa kaidah:
• Al ashlu fil amri lil wujub. Maksudnya pada dasarnya amr itu
menunjukkan wajib. Setiap amr atau perintah itu menunjukkan
hukum wajib, kecuali ada petunjuk yang menunjukkan arti selain
wajib.
• Amr menunjukkan arti sunnah. Seperti Firman Allah:
Hendaklah kamu buat perjanjian (menebus diri) dengan mereka
(hamba sahaya), jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka
(QS. An-Nur: 33)
• Amr menunjukkan arti irsyad lil irsyad atau petunjuk. Seperti
Firman Allah: Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
(hutang)untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu
menuliskannya (QS. Al-Baqarah: 282)
• Amr menunjukkan arti ibahah atau mubah. Seperti firman
Allah: Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam yaitu fajar (QS. Al Baqarah: 187)
• Amr menunjukkan arti tahdid (ancaman)
• Amr menunjuk pada arti ikram (memuliakan)
• Amr menunjukkan pada arti taskhir (penghinaan). Misalnya
pada kalimat “Jadilah kamu kera yang hina (QS.Al Baqaarah: 65)
• Amr menunjukkan pada ta'jiz (melemahkan)

5
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

• Amr menunjukkan pada arti taswiyah (mempersamakan)


• Amr menunjukkan pada arti doa atau permohonan. Seperti
Firman Allah: Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa
neraka (QS. Al Baqarah 201)
Terakhir ada amr yang menunjukkan kepada arti iltimas, yaitu ajakan
seperti kata-kata kepada kawan-kawan sebaya kerjakalah ~ misal: tolong
ambilkan baju itu, datang dong kepesta ulang tahunku ….dll. Dari
pembahasan kaidah-kaidah amar dalam ushul fiqh diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa setiap kata perintah belum tentu menentukan
sebuah hukum wajib, bisa jadi kata perintah itu berarti memohon,
mengajak, petunjuk, anjuran, mengharapkan, dll.
C. Amar pada Shalawat Nabi
Dalam shalawat kepada Nabi, yang berarti memohon doa keselamatan,
kesejahteraan dan rahmat untuk junjungan Nabi Muhammad Saw.
Misalnya pada Firman Allah: Sesungguhnya Allah dan malaikat-
malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya (QS. Al Ahzab: 56).
Mari kita kaji surat Al Ahzab: 56, tentang shalawat kepada Nabi. Pada
ayat tersebut terdapat kalimat bahwa Allah bershalawat kepada Nabi.
Kemudian para malaikat, dan selanjutnya Allah memerintahkan orang-
orang mukmin untuk bershalawat kepada Nabi. Arti shalawat adalah
doa, memberi berkah, dan ibadat. Shalawat Allah kepada Muhammad,
berarti Allah memberi berkah, penghargaan, dan menempatkan
Rasulullah yang mulia disisi-Nya. Kemudian shalawat Malaikat kepada
Muhammad: Adalah memberi salam penghormatan atas diangkatnya
kemuliaan dan kerasulan Muhammad, sebagaimana penghormatan
malaikat kepada Nabi Adam as.
Dikarenakan Allah selalu memberikan shalawat (keberkatan, kemuliaan,
(kebesaran), maka ummat Muhammad hanya mengharapkan agar
shalawat Allah itu tetap langgeng untuk beliau dan keluarganya,
walaupun shalawat orang-orang mukmin tiada artinya bagi Muhammad
karena beliau telah medapatkan curahan rahmat dan keberkatan itu
langsung dari Allah selamanya. Sesungguhnya Allah bershalawat
(memberi keselamatan, keberkatan, penghargaan, kebahagiaan) kepada
Muhammad dan keluarganya…(QS. Al Ahzab 56)

6
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Perhatikan kata shalawat Allah kepada Muhammad pada ayat tersebut


diatas, bagaimana menurut anda kalau kata shalawat diartikan berdoa,
Apakah Allah akan berdoa untuk Muhammad?? kepada siapa??
Berkata Al Hulaimi dalam Asy syu'ab tegasnya, pengertian shallu alaihi-
bershalawat-lah kepadanya, ialah: ud'u rabbakum bish shalati alaihi..
mohonlah kamu kepada Tuhanmu supaya melimpahkan shalawat
kepadanya.
Penghormatan kepada presiden bukan berarti kehormatan presiden itu
akan bertambah atau berkurang kalau anda tidak menghormatinya,
karena kedudukan presiden itu adalah tempat yang paling terhormat di
suatu negara. Sebagai rakyat seharusnyalah kita mengormati dan
menghargai presiden sebagaimana Allah telah memuliakan orang yang
diangkat derajatnya sebagai presiden. Sebab orang tersebut tidak akan
menjadi presiden tanpa pertolongan dan kasih sayang-Nya. Untuk itu
hargailah dan bersyukurlah kita telah memiliki presiden.
Logika anda yang menyebutkan bahwa mana mungkin bahwa seorang
rakyat yang menderita memerintahkan presiden untuk menaikkan
pangkat dan gajinya sang panglima sementara diri kita yang menderita
masih kekurangan.
Setelah anda membaca uraian mengenai kaidah ushul, mari kita coba
membandingkan makna kata perintah yang terdapat dalam Alqur'an,
yang apabila membaca ayat tersebut tidak memahami kaidahnya maka
artinya akan rancu. Misalnya kata perintah yang berbunyi:
"Allahumma dammir man ada aka wa ada ad dien” Ya Allah hancurkan
orang yang mengganggu Engkau dan yang mengganggu agamamu.
“Allahumma shayyiba naafi'a” Ya Allah turunkanlah hujan yang berguna
(QS. Al Adzkar:81)
“Rabbana aatina fid dunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina
adzabannar” Ya Allah datangkan kepada kami kebaikan di dunia, dan
kebaikan di akhirat (QS. Al Baqarah: 201)
Seperti apa yang telah diurai diatas, bahwa kata perintah atau Amr secara
umum merupakan tuntutan melakukan suatu pekerjaan dari yang lebih
tinggi kepada yang lebih rendah (kedudukannya)
Akan tetapi kalau anda perhatikan bentuk yang di gunakan redaksi ayat
dan hadist diatas menggunakan kata perintah, seperti kata dammir
(hancurkan), shayyiba (turunkan hujan), atina fiddunya hasanah
(datangkan kepada kami kebaikan)……

7
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

Kalau melihat kaidah ushul secara umum dalam kasus diatas, seharusnya
yang lebih tinggi memerintahkan yang rendah derajatnya. Akan tetapi
ayat diatas telah mengguna-kan kata perintah dari bawah keatas (dari
hamba kepada Tuhan). Apakah hal ini akan diartikan memerintah
Allah?? Tentu tidak. Akan tetapi amar disini berarti doa.
Kemudian bandingkan dengan kata shalawat yang juga artinya berdoa
atau memberikan berkah. Apakah kita akan memberikan berkah kepada
Rasulullah yang telah tercurahkan dari Allah swt?? Apakah kita juga
termasuk memerintahkan Allah untuk memberikan berkah kepada
Rasulullah?? Atau apakah Rasulullah butuh shalawat kita agar beliau
mendapat Rahmat dari Allah. Padahal Rasulullah telah dijamin syurga
oleh Allah. Apakah kita akan tetap menterjemahkan kata shalawat
berarti doa untuk Nabi??
Baiklah saya akan meneruskan pengertian shalawat dengan mengambil
makna yang lain agar tampak jelas pengertian shalawat bahwa Rasulullah
tidak membutuhkan rahmat ataupun doa ummatnya.
Bersabda Nabi: Barang siapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah
bershalawat untuknya sepuluh kali (HR Muslim dari Abu Hurairah, Al Mirqah
II :5), Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang
diperintah berjalan dimuka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya.
Mereka menyampai-kan kepadaku (sabda nabi) akan segala salam yang
diucapkan oleh ummatku. (HR. Ahmad, An Nasaiy & Ad Damrimy Syarah Al
Hishn, Al Mirqah II:6), Barang siapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh
kali dan dipetang hati sepuluh kali mendapatkan ia syafaatku pada hari kiyamat
(HR. At Thabrany Al Jami'), Manusia yang paling utama terhadap diriku pada
hari kiyamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku (HR At
Thurmudzy)
Semakin jelas bahwa arti shalawat pada hadist diatas, bahwa Rasulullah
tidak membutuhkan rahmat ataupun doa dari kita, akan tetapi justru
Rasulullah yang akan memberikan pertolongan nanti dihari kiamat
apabila kita sering memberikan salam atau shalawat penghormatan
kepada beliau. Dan Allah juga memberikan shalawat kepada orang yang
bershalawat kepada Rasulullah.
Hadist yang mengatakan bahwa: Barang siapa yang bershalawat untukku
sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali (HR Muslim dari
Abu Hurairah)
Hadist inilah yang menguatkan bahwa Allah bershalawat kepada siapa
saja, bukan hanya kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Untuk
lebih tegasnya kita perhatikan bacaan shalawat dalam tahiyyat shalat. at
tahiyyatul mubarakatush shalawatu thoyyibatulillah, assalamu alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh, asssalamu'alaina wa'ala

8
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

ibaadillahish shalihin. Terjemahan bebasnya: Salam hormat, keberkahan,


shalawat yang terbaik untuk Allah, keselamatan atasmu wahai nabi serta
rahmat dan keberkatan, juga salam hormat kepada para ahli ibadah yang
shalih…..
Tahiyyat berarti penghormatan dan kita bershalawat kepada Allah yang
berarti kita memuja Allah, kemudian menghormati Nabi dan yang
terakhir menghormati orang-orang yang shalih. Itulah arti shalawat,
dimana kata itu bisa berarti berbeda jika penempatan kata tersebut
berbeda.
Seperti uraian diatas tadi, kata perintah tidak harus berarti memerintah
dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, akan tetapi kata
perintah bisa berarti memohon, meminta pertolongan, anjuran,
memberikan khabar (seperti iklan/promosi), menghina, meremehkan,
penjelasan dll.
Dalam uraian mengenai amar pada shalawat nabi yang mudah-mudahan
pembaca diberi kemudahan untuk memahaminya. Sehingga kita semua
yang sedang ghirah belajar agama berhati-hatilah dengan doktrin agama
yang terkadang tidak menempatkan makna yang sebenarnya, sehingga
tidak menguraikan secara objektif sesuai kata aslinya. bukan
diterjemahkan menurut keinginan nafsu golongannya.

II. Lafadz Nahy (Larangan)


Nahy menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u),
sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan
sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan
suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari
kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang
yang berakal itu untuk tidak berbuat salah. Menurut Abdul Hamid Hakim
menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan
kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya
dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah:
َ َ َ ُ ً َ ْ َ َ ِّ ُ ُ ْ َ َ َ
‫اعفة‬ ‫وَلتأ كلوا الربا أضعافا مض‬
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”.
(QS. Ali Imran: 130)

9
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

Karena Lata’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram,


maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah
hukum asli dari nahi. Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka
nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan
hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang
memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli
itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat,
bahwa nahi adalah haram.

A. Bentuk-bentuk Nahy (Larangan)


Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat
larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
َ ُ ْ َ َ َ َّ ُ َ ْ َ َ ُ َ َ ْ َّ َ ُّ َ َ
‫الصالة َوأنت ْم ُسك َارى‬ ‫ياأيها ال ِذين امنوا َلتقرب‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat
dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa
bentuk diantaranya:
1) Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
َْ ُ ُْ َ
‫َل تف ِسد ْوا ِف اْل ْرض‬
Artinya: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS.
Al Baqarah: 11).
2) Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah
meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
‫الر َبوا‬ َ ّ ‫َو َا َح َّل‬
ِّ ‫الل َو َح َّر َم‬
Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. (QS. Al Baqarah: 275).

B. Kaidah-kaidah Nahy
Seperti halnya amr, dalam memahami nahy yang sering dijumpai dalam
nash Al-Qur’an dibutuhkan juga adanya kaidah-kaidah atau rambu-
rambu didalam memahaminya, dintara kaidah-kaidah itu adalah:1
1) Nahy menuntut adanya Tahrim, Disegerakan dan Terus-menerus
(Selamanya). Dalam kaidah ini terdapat tiga hal: pertama; Pada

1 Khalib bin Utsman. Qawaid Tafsir, hal. 509-517

10
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

hakikatnya asal nahy adalah untuk menunjukkan hokum haram dan


ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil/qarinah yang
menunjukkan. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa ketika Allah
menunjukkan/menampilkan dengan bentuk larangan maka itu pasti
ada manfaat bagi yang kena taklif dan ada kerusakanya atau
madharat didalamnya. Kedua, adanya larangan itu menunjukkan
atas kesegerahan untuk dipatuhi, dengan kata lain apa yang dilarang
wajib dijauhi secepat mungkin. Ketiga, tuntutan lafadz nahy berlaku
untuk selamanya. Perintah Allah atas apa yang dilarang tidak bisa
berubah kecuali ada dalil yang dapat menghilangkan dan
memberikan pembatasan waktu. Contoh dalam kaidah ini dapat
diambil dari surat al-An’am (6): 151 ‫ولا تأ كلوا الربا أضعا فا مضا عفھ ول‬
‫رض مرحا‬. ‫ تمش في األ‬Dalam ayat ini menunjukkan bahwa haram
memakan riba, harus dijauhi dengan segera dan berlaku selamanya
sampai kapanpun (dawam)
2) Nahy atas sesuatu yang tidak dapat dihindari mengandung dilalah
atas nahy yang diharuskan (menjahui) dalam proses awal. Maksud
dari kaidah ini adalah ketika Allah memakai kalimat dalam Al Qur’an
yang menunjukkan larangan tidak tegas, maka hal itu menunjukkan
hal yang sangat haram, seperti dalam surat al-Isra: 32.‫ول تقربوا الزني‬
Dalam ayat ini memakai larangan-Nya dengan kata-kata ‫ول تقربوا‬
(jangan mendekati), hal ini mengandung pengertian yang sangat
penting dan dalam yaitu larangan atas zina, karena mendekati saja
Allah sudah melarangnya apalagi melakukanya. Contoh lain dalam
surat al-An’am : 151 ‫ول تقربوا الفواحش ما طھر منھا وما بطن‬
3) Jika Syari’ mencegah atas sesuatu (secara umum), maka berlaku atas
sebagianya, begitu juga dengan amr, jika syari’ memerintahkan atas
sesuatu maka berlaku atas keseluruhanya juga. Kaidah ini
mengandung pengertian bahwa ketika syari’ memerintahkan untuk
melakukan sesuatu maka pasti ada manfaatnya dan dalam hal
kebagusan, oleh karena itu diharuskan untuk melakukan semuanya.
Berbeda dengan nahy, ketika syari’ melarang melakukan maka hal itu
mengharuskan untuk dihilangkan karena ada madharatnya atau
karena kotor (khabts) dan adanya larangan itu berlaku umum yaitu
semua bagian-bagiannya-pun haram kecuali ada pengecualian,
seperti larangan Allah atas anjing maka semua bagian dari anjing itu
haram, seperti juga khamr. Contoh larangan syari’ seperti dalam
surat al-Maidah: ‫ ولحم الخنزیر وما اھل لغیر هلل‬3 ‫حرمت علیكم المیتة و الدم‬......
Dalam ayat ini dijelaskan hal-hal yang diharamkan secara mutlak itu
berlaku atas semua bagian-bagianya, baik sebagian itu sedikit atau
banyak, diharamkan bangkai maka haram juga kain kafanya,
lemaknya, dagingnya dan bagian yang lain kecuali ada dalil yang

11
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

mengecualikannya seperti mengulitinya. Sedangkan contoh amr yang


berlaku atas keseluruhanya seperti dalam surat al-Baqarah: ‫ي تنكح‬ ‫حت ا‬
23 ‫ زوجا غیره‬Dalam ayat ini diharuskan menyempurnakan akad dan
dukhul bersamaan.
4) Hadirnya Nahy atas insya’2 dengan bentuk khabar itu lebih mendalam
dari pada dengan bentuk insya’ itu sendiri. Maksudnya ketika ada
pernyataan yang mengandung insya tapi dengan bentuk khabar maka
syari’ menginginkan agar segera dilakukan, baik itu mengenai
perintah atau larangan. Hal ini seprti kaidah: 1) datangnya nahy
dengan bentuk khabar (seperti nafi tapi yang dimaksudkan nahy) dan
yang ke 2) datangnya amr dengan bentuk khabar. Contoh Nahy yang
menggunakan bentuk khabar, al-Baqarah: ‫ فسوق ول‬197 ‫فال رفث ول‬
‫ج‬
‫ جدال في الح ا‬sedangakan amr yang menggunakan bentuk khabar
adalah surat al-Baqarah: 22 ‫والمطلقا ت یتربصن بأ نفسھن ثال ثة قروء‬
5) Nahy itu menunjukkan kerusakan (fasad )3 Setiap larangan atau nahy
menghendaki ditinggalkanya perbutan yang dilarang itu, bila
perbuatan itu dilakukanya berati itu melakukan pelanggaran
terhadap yang melarang dan karenanya ia patut mendapat dosa atau
celaan. Oleh karena itu secara jelas dikatakan bahwa adanya
keputusan adanya nahy itu karena adanya fasad baik dalam hal
ibadah, muamalah, aqad ataupun yang lain, dan secara tegas Allah
mengharamkan hal yang sudah dilarang-Nya, karena Allah sendiri
tidak menyukai akan kerusakan, tetapi jika syari’ telah melarang
tetapi masih dilakukan maka tidak akan mendapat ridha dari syari’,
seperti meminang pinangan orang lain, hal ini dilarang dan jika
dilakukan maka tidak akan mendapat ridha dari Allah.
Akibat dari larangan itu bisa berubah kalau ada qarinah yang
membatalkannya, tetapi pada dasarnya dalam nahy itu ada dua
macam yaitu, pertama; nahy yang dengan jelas dan langsung
mengandung kerusakan seperti larangan Allah dalam surat an-Nisa’
‫)لتقربوا الصالة وأنتم سكا ري‬kedua; larangan Allah yang tidak
mengandung kerusakan secara langsung seperti larangan
melaksanakan shalat di daerah ghasaban, atau memakai emas dan
perak bagi laki-laki. Adapun yang dimaksudkan dengan fasid adalah
tuntutan terhadap tidak sahny perbuatan yang dilarang. Dalam hal
ini para ulama berselisih pendapat tentang fasid atau tidaknya
perbauatan yang dilanggar. Tetapi secara tegas jumhur ulama
berpendapat bahwa suatu larangan bila berlaku dalam hal ibadah

2 Ali al-Jarimi dan Mushtafa Utsman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo,2004), terj. Mujiyo, dkk. 198
3 Fakhruddin ar-Razi, al-Mahshul Fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassah ar-Risalah,

1997), J.I, 115

12
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

maka ibadah yang dilakukan batal, bila larangan itu berupa


muamalah dalam arti umum seperti jual beli diwaktu yang terlarang
maka perbuatan itu tidak jadi fasid, tetapi apabila muamalah itu
melanggar yang khusus seperti jual beli binatang yang masih diperut
maka perbuatan itu menjadi fasid.4
6) Dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
َ ِّ َْ
‫الزن‬ ‫َولَتق َر ُبوا‬
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
C. Sighat Nahy mengandung beberapa pengertian, antara lain:5
• Untuk do’a
َْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ
‫َرَّبنا َلتؤ ِاخذنا ِان ن ِس ْيناا ْواخطأنا‬
“Wahai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami
lupa atau salah”.
• Untuk pelajaran
ُْ َ ََُ ُ ْ ْ َ َ َُْ ْ َ َ
‫اع ْن اش َي َاء ِان ت ْبدلك ْم ت ُسؤك ْم‬‫َلتسئلو‬
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
• Putus asa
ْ َ َ َ
‫َلت ْعت ِذ ُروا ال َي ْو َم‬
“Janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
• Untuk menyenangkan (menghibur)
َ َ ّ َّ ْ َ ْ َ َ
‫الل َم َعنا‬ ‫َلتحزن ِإن‬
“Jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
7) Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya,
seperti:
ّ ْ ْ ُ َ
‫َل ت ْشك ِبالل‬
Artinya: “Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
8) Dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan
dalam setiap waktu. Seperti:
َ ُ ْ َ َ َ َّ َْ َ
‫الصلواة َوانت ْم ُسك َارى‬ ‫َلتق َر ُبوا‬
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An
Nisa’:43).

4 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, hal. 204


5 Hasyim, Principles….185, Muhammad Adib, Tafsir Nusus….J. 2, h.377-378

13
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

D. Makna Nahy
Larangan seperti halnya perintah membawa berbagai variasi makna,
meskipun makna pokok dari nahy adalah menunjukkan suatu yang
haram (‫ )األ صل في النھي التحریم‬tetapi kadangkala keluar dari makna asal
karena ada petunjuk yang menunjukkan tidak hanya mneunjukkan
keharaman, tetapi juga beberapa makna, seperti:6
1. Untuk makruh ( ‫) كراھة‬atau ketercelaan seperti ayat Al Qur’an yang
meminta orang-orang beriman untuk tidak mengharamkan makanan-
makanan yang dihalalkan Allah kepadamu, surat al-Maidah (5): 87 ‫ل‬
‫تحرموا طیبات ما أحل هلل لكم ولا تعتدوا‬
2. Untuk mendidik atau tunutunan ( ‫) إرشاد‬seperti dalam ayat Al-Qur’an
yang meminta orang beriman agar tidak menanyakan masalah-masalah
apabila dijelaskan maka akan menimbulkan kesulitan, surat al-Maidah
(5): 101 ‫ل تسألوا عن أشیاء إن تبدلكم تسؤ كم‬
3. Untuk permohonan ( ‫ ) دعاء‬seperti dalam surat Ali Imran (3): 8 ‫ربنا ل تزغ‬
‫قلوبنا بعد إذ ھدیتنا‬
4. Untuk merendahkan ( ‫) تحقیر‬, seperti dalam surat al-Hijr (15): 88 ‫ل تمدن‬
‫عینیك إلي ما متعنا بھ أزواجا منھم‬
5. Untuk penjelasan akibat ( ‫) بیا ن العا قبة‬, seperti terdapat dalam surat
Ibrahim (14): 42 ‫ول تحسبن هلل غا فال عما یعمل الطا لمون‬
6. Untuk keputua-asaan ( ‫) الیأس‬, seperti terdapat dalam surat al-Tahrim
(66): 7 ‫یا أ یھا الذین أمنوا ل تعتذروا الیوم‬
Oleh karenan nahy dapat membawa berbagai makna, maka para ulama
berbeda pendapat tentang manakah diantara makna-makna itu yang
merupakan makna hakiki, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
makna hakiki dari nahy adalah karahah (ketercelaan), menurut pendapat
jumhur mengatkan bahwa makna hakiki dari nahy adalah untuk tahrim,
tetapi maknanya bisa berubah kalau ada indikasi-indikasi yang
menunjukkan demikian.7

E. Hubungan Amr dan Nahy


Dalam pembahasan secara umum amr dan nahy terbagi menjadi dua yaitu sharih
(jelas) dan ghairu sharih (tudak jelas). Sedangkan yang sahrih itu dibagi lagi menjadi
dua yatu; Pertama, dari segi tidak diperhitungkannya adanya alasan kemaslahatan,
seperti surat al-Jumu’ah: 9) ‫) إذا نودي للصالة من یوم الجمعة فا سعوا إلي ذكرهلل وذروا البی‬.
Adanya perintah dan larangan dalam ayat ini tidak diperhitungkan maksudnya,
ketika ada larangan maka harus dilaksanakan dan kalau ada larangan harus juga

6
Isa Zahran, Al-Muntakhab Fi Ushul Fiqh, (Kairo: Jamiah al-Azhar,1998), hal.117
7
Musthafa Said Khan, Atsarul Ikhtilaf Fi Al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtikaf al-
Fuqaha, (Beirut: Muassash al-Risalah, 1985), h. 339

14
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

ditinggalkan. Kedua, dari sisi pemahamanya amr dan nahy, bahwa syari’
bermaksud adanya amr karena didalamnya terkadung kemaslahatan, dan
adanya nahy karena didalamnya ada suatu ke-fasad-an, dari (surat Al-
Jum’ah: 9) diatas bisa diambil pemahaman bahwa Allah memerintahkan
untuk shalat jum’ah agar seorang hamba selalu menjaga untuk
melaksanakan shalat jum’at tanpa mengabaikannya. Sedangkan adanya
pelarangan jual beli karena itu akan menjadi tersibukkan denganya dan lupa
akan shalat jum’at.
Adapun yang ghairu sharih (tidak jelas) ada sebagai berikut, yaitu;
• Pertama, Amr dengan bentuk ikhbar atas penetapan hukum dan
menunjukkan sharih. Dalam hal ini adanya amr tidak menggunakan
asal sighat amr yaitu dengan fi’il; amr, tetapi berbentuk jumlah khabar
yang mengandung amr secara jelas, seperti terdapat dalam surat al-
Baqarah: 183... ) ‫(یا أیھا الذین كتب علیكم الصیام‬
• Kedua, Amr dengan bentuk pujian atas orang yang telah melakukan
perintah dan celaan atas orang yang melakukan larangan, atau dengan
kata lain bahwa orang yang menjalankan perintah Allah maka akan
mendapat pahala, cinta Allah, dan pujian. Sedangkan orang yang
melanggar perintah-Nya akan mendapat dosa, kebencian dan celaan
dari-Nya, contoh dalam surat an-Nisa’: 13 ‫والذین أمنوا با هلل ورسلھ أو لئك ھم‬
‫ الصد یقون‬dan surat an-Nisa’:14 (‫)من یعص هلل و رسولھ و یتعد حدوده یدخلھ نا را‬8
Selain penjelasan diatas, hubungan amr dan nahy juga tanpak ketika adanya
perintah dan larangan bersamaan. Menurut Khudari Beik bahwa suatu
perbuatan yang disuruh terdapat beberapa lawan kata yang menyalahi
perbuatan yang disuruh itu tidak mungkin keduanya dipertemukan.
Demikian pula bagi suatu perbuatan yang dilarang

Kesimpulan
Pokok dari pada perintah (amr) adalah menunjukkan wajib apabila shighat amr
itu datang secara mutlaq. Uslub (gaya bahasa) seperti menggunakan fi'il amr,
menggunakan kalimat faradla atau kutiba, atau menyebutkan bahwa perbuatan
itu adalah baik atau dijanjikan balasan yang baik. Adapun pokok dari pada
larangan (nahy) itu menunjukkan haram, apabila shighat nahy itu datang secara
mutlaq, Uslub (gaya bahasa) seperti menggunakan fi'il mudlari yang disertai la
nahiyah, menggunakan kalimat naha, haram, tidak halal, menyebutkan bahwa
perbuatan itu adalah dosa, atau perbuatan itu adalah buruk atau jahat.

8
Khalid bin Utsman as-Sabt, Qawaid, hal. 494-499

15
Kelompok 4
Lafadz Amar dan Nahy

Daftar Pustaka
Al-Jarimi, Ali dan Mushtafa Utsman, (2004), Al-Balaghah al-Wadhihah,
Terjemahan Mujiyo, dkk, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Fahimah, Siti. 2018. Kaidah-kaidah Memahami Amr dan Nahy:
Urgensinya dalam Memahami Al-Qur’an. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan
Tafsir, Vol. 1 (1) hal. 6-12.
Hamka, Zainudin. 2017. Kaidah-kaidah Tafsir yang Berhubungan
dengan Amr (Perintah) dan Nahy (Larangan) dalam Al-Qur’an. Ash-Shahabah:
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, vol. 3 (2) hal. 3-5.

16

You might also like