Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Maserasi Kornea

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Maserasi kornea atau dikenal dengan corneal melting merupakan sebuah bentuk
inflamasi kornea yang melibatkan bagian luar dari kornea. Maserasi kornea jarang terjadi,
biasanya dimediasi oleh penyakit okular imun yang mempunyai karakteristik penipisan kornea,
bahkan bila proses terus berlanjut dapat terjadi perforasi. Maserasi kornea sering berhubungan
dengan berbagai macam faktor seperti penyakit di permukaan okular, penyakit auto imun,
vaskulitis sistemik, post operatif intra okular dan penyakit jaringan ikat, termasuk rheumatoid
arthritis, Granulomatosis Wegener, dan poliarteritis nodosa. Kadang dapat berhubungan dengan
sindrom Sjögren dan psoriasis. Atau berhubungan dengan pemakaian NSAID topikal dengan dosis
toksik terhadap kornea, seperti penelitian yang dilakukan oleh Allan J.Flach. 1,2,3,4

Diagnosis maserasi kornea berdasarkan temuan klinis secara menyeluruh dan analisis
imunologi. Manajemennya membutuhkan lokal konservatif, terapi bedah dan terapi penyakit
sistemiknya. Obat yang digunakan dapat memiliki efek samping yang signifikan, termasuk
penekanan sumsum tulang, dan dapat meningkatkan maserasi kornea itu sendiri. Untuk itu risiko
dan manfaatnya sangat dipertimbangkan, karena maserasi kornea dapat menyebabkan perforasi
sampai kehilangan penglihatan.5,6

Patogenesa maserasi kornea sangat sulit dijelaskan, tapi rupanya ada suatu kombinasi
faktor antara penyakit permukaan okular kronik dengan infiltrasi sel inflamasi. Maserasi kornea
dapat terjadi di sentral atau perifer kornea, tergantung letak anatomi. Defek epitel persisten
dapat memicu terbentuknya infiltrasi sel inflamasi dalam stroma kornea dan menyebabkan
kolagen dan substansi ke bawah oleh kolagenase dan protease lainnya. Stimulasi produksi
kolagenase oleh fibroblas stroma kornea atau keratosit lebih lanjut dapat berkontribusi terhadap
terjadinya degradasi stroma.2,6

Pada makalah ini akan dibahas mengenai anatomi kornea, etiologi dan patogenesa dari
maserasi kornea.

1
BAB II
ANATOMI KORNEA

Kornea merupakan lapisan paling luar dari bola mata, kornea membentuk seperenam
bagian anterior bola mata. Merupakan struktur yang luar biasa, sangat jernih dan tidak
mempunyai pembuluh darah. Kornea manusia mempunyai ujung saraf sensoris, yang akan
memberikan sensibilitas dan rasa nyeri, dan kornea penting dalam proses refraksi, ukuran, bentuk
dan sifat optik dari kornea akan sedikit berubah sesuai usia. 7

Secara histologi, kornea terdiri dari lima lapisan dari luar ke dalam yaitu : epitelium
dengan membran basal, membran Bowman, stroma, membran Descemet dan endotelium. 7

Gambar 1. Lapisan Kornea8

Epitel

Permukaan anterior kornea ditutupi oleh epitel gepeng bertingkat tidak bertanduk.
Tebalnya lebih kurang 50 µm dan merupakan 10% dari seluruh ketebalan kornea. Epitel kornea
terdiri dari 5-6 lapisan yaitu 2,9

 2-3 lapis sel skuamos superfisial


 2-3 lapis sel wing poligonal
 1 lapis sel basal kolumnar

2
Sel superfisial bentuk pipih dan poligonal dengan diameter 30-40 µm. Pada permukaan ditutupi
oleh mikrofili. Struktur ini meningkatkan pengambilan oksigen dan nutrisi dari tear film. Pada
permukaan epitel superfisial terdapat suatu membran yang disebut glikokaliks. Glikokaliks ini
berinteraksi dengan lapisan musin air mata dan membantu mempertahankan struktur tear film.
Sel superfisial epitel kornea dihubungkan oleh desmosom dan tight jungtions yang mencegah
masuknya zat melalui ruang interseluler. Gangguan pada kontinuitas epitel kornea menyebabkan
cairan menembus kornea.2,9,10,

Dibawah sel superfisial epitel kornea terdapat 2-3 lapis sel wing. Lapisan tunggal sel basal
kuboid berada pada membran basal. Diantara berbagai jenis sel epitel kornea hanya sel basal
yang mengadakan aktifitas mitosis. Sel basal epitel kornea melekat pada lamina basal oleh
hemidesmosom. Perlengketan ini meluas ke membran Bowman oleh Anchoring Fibril (kolagen
tipe IV) dan berakhir di anchoring plaque. Anchoring fibril di membran Bowman membentuk
suatu komplek yang mengandung kolagen tipe I yang melekatkan juga epitel dan membran
Bowman ke stroma.2,10,11

Epitel kornea seperti epitel skuamosa bertingkat lainnya mempunyai kemampuan


beregenerasi. Waktu yang dibutuhkan sel basal untuk bermigrasi ke anterior menjadi sel epitel
superfisial kira-kira lima sampai tujuh hari. Meskipun sel epitel bagian basal melekat erat satu
sama lain oleh desmosom, mereka bergerak secara kontinyu dari basal ke arah tear film dan
menghilang.12,13

Gambar 2. Lapisan epitel kornea

3
Membrana Bowman

Lapisan ini terletak dibawah lamina basal dan bagian anterior dari stroma. Merupakan
zona aseluler yang terdiri dari serat kolagen tipe I dan III serta proteoglikan yang tersebar secara
acak. Ketebalan lapisan ini 8-14 mikrometer dan diameter 20-30 mikrometer. Serat kolagen pada
lapisan ini disintesis dan disekresi oleh keratosit stroma. Lapisan membran Bowman jika rusak
tidak beregenerasi tetapi diganti oleh jaringan sikatrik. 8,9

Stroma

Stroma terletak dibawah membran Bowman dan merupakan bagian terbesar dari kornea
yaitu 90% dengan ketebalan 500 mikrometer, kornea mempunyai karakteristik yang kuat, bentuk
yang stabil dan transparan, hal ini disebabkan oleh sifat anatomis dan biokimia dari stroma.
Sususnan yang seragam dan regenerasi yang terus menerus serta degradasi serat kolagen penting
untuk transparansi kornea.9,13

Susunan serat kolagen stroma yang teratur merupakan penentu utama kebeningan
kornea yang dapat dilihat pada mikroskop elektron. Bila terjadi gangguan seperti edema dan
parut stroma dapat menyebabkan hilangnya kebeningan kornea. Serat kolagen terdiri dari 300
lamela merupakan rangkaian paralel pada permukaan kornea. Pergantian molekul kolagen di
kornea terjadi secara perlahan dalam waktu 2-3 tahun. 9,12

Stroma kornea terdiri dari matriks ekstraseluler, keratosit dan serat saraf. Matriks
ektraseluler terdiri dari kolagen dan glikosaminoglikan. Kolagen terdiri dari lebih 70% dari berat
kornea. Kolagen tipe I adalah kolagen utama yang ada di stroma dan diproduksi oleh keratosit.
Selain itu juga terdapat kolagen tipe III, V, VI dalam jumlah yang lebih sedikit. Serat kolagen pada
stroma sangat teratur dengan diameter (22,5 – 35 nm). Jarak antara serat kolagen teratur dan
jaraknya 55-60 nm.13

Berbagai glikosaminoglikan ditemukan antara serat kolagen pada stroma dan semua
glikosaminoglikan berikatan dengan protein inti untuk membentuk proteoglikan.
Glikosaminoglikan yang ditemukan di stroma adalah keratan sulfat, kondroitin sulfat dan
dermatan sulfat. Glikosaminoglikan yang paling banyak pada kornea adalah keratan sulfat yang
membentuk 65% kandungan glikosaminoglikan total. Glikosaminoglikan mempunyai kemampuan
menyerap dan mempertahankan cairan. Jika fungsi pompa endotel rusak maka stroma kornea

4
menebal, menyebabkan gangguan jarak fibril kolagen dan akan menyebabkan pembiasan cahaya
menyebar dan kornea berkabut.9,12,13

Proteoglikan yang ditemukan di stroma lebih banyak dibandingkan jaringan tubuh


lainnya dan berfungsi sebagai homeostasis dan fibrinolisis kolagen. Stroma terdiri dari lebih
kurang 2,4 juta keratosit (sel stroma) yang menempati kira-kira 5% dari volume stroma. Keratosit
terletak antara lamela kornea dan secara ultrastruktur menyerupai fibrosit. Keratosit merupakan
sel yang sangat aktif, banyak mengandung mitokondria, retikulum endoplasmik dan apparatus
golgi. Susunan yang teratur dari keratosit dan makromolekulnya juga diperlukan untuk
transparansi kornea. Transparansi kornea juga tergantung pada kandungan air yang ada di
stroma, yaitu kira-kira 78%. Hidrasi kornea sebagian besar dikontrol oleh barier epitel, endotel
yang utuh dan fungsi dari pompa endotel. 8,13

Membran Descemet

Membran Descemet merupakan lapisan yang terletak antara endotel dan posterior
stroma. Merupakan membrane basal dari endotel kornea. Ketebalannya bertambah sesuai umur.
Saat baru lahir tebalnya 3-4 µm dan saat dewasa menjadi 10-12 µm. Membran Descemet banyak
mengandung kolagen tipe IV. Bagian anterior bergabung dengan kolagen stroma. Membran ini
sangat elastis dan bertahan terhadap aksi enzim proteolitik, sering kali masih intak walaupun
epitel dan stroma rusak.8,11

Endotel

Endotel kornea adalah satu lapis sel yang terletak posterior dari membran descemet dan
terdiri dari sel heksagonal dengan diameter 20 µm, dengan kepadatan sel lebih kurang 3000 sel /
mm2. Jumlah sel berkurang sesuai dengan proses penuaan, dengan perubahan pada penyebaran
dan penipisan sel, hal ini disebabkan karena mitosis dari sel endotel tidak ada. Sel endotel muda
mempunyai nukleus yang besar dan mitokondria yang banyak. Transpor aktif ion pada sel ini
penting untuk transfer air dari stroma kornea dan penting untuk deturgensi dan transparansi
kornea. 8,11

BAB III

5
ETIOLOGI DAN PATOGENESA

Ulserasi kornea dengan penipisan kornea yang cepat progresif atau maserasi, sering
terjadi berhubungan dengan penyakit vaskulitis kronis. Perubahan ini biasanya terjadi di perifer
kornea yang disertai dengan skleritis yang berdekatan. Tapi dapat juga terjadi di sentral atau di
parasentral kornea. Proses ulserasi dan maserasi dapat dimulai dari berbagai faktor,termasuk
faktor lokal, vaskulitis yang dimediasi faktor imun, dan penyakit permukaan okular. 1,2,6

Penyebab / faktor pendukung terjadinya maserasi kornea dapat dikelompokkan seperti


dibawah ini, beserta contohnya5 :

 Penyakit / kondisi kulit


o Herpes zoster

o Psoriasis

o Dermatitis herpetiformis

o Leprosi

 Defisiensi Vitamin

o Defisiensi vitamin A

o Defisiensi vitamin B-2 (Addison pernicious anemia syndrome)

o Pellagra (avitaminosis B-2)

 Gangguan Kolagen

o Poliarteritis nodosa (Kussmaul disease)

o Rheumatoid arthritis (Sjögren syndrome, secretoinhibitory syndrome)

o Skleroderma (progressive systemic sclerosis)

o Sistemik lupus eritematosus (Kaposi-Libman Sacks syndrome)

 Penyakit Sistemik

o Tuberkulosis (scrofulous keratitis)

6
o Infeksi saluran nafas atas

o Gout

o Leprosi (Hansen disease)

o Sarkoidosis

 Obat-obatan

o Terapi steroid

o Stevens-Johnson syndrome (erythema multiforme exudativum)

o Topical nonsteroidal anti-inflammatory agents

 Faktor predisposisi okular

o Phlyctenular keratoconjunctivitis

o Superior limbic keratoconjunctivitis (micropannus)

o Konjungtivitis vernal

 Preexisting corneal dellen. Dellen dapat berkembang karena:

o Pemakaian kontak lens

o Lagoftalmos

o Setelah operasi katarak

o Edema karena konjungtivitis alergi

o Episkleritis

o Tumor Limbal

o Postoperative retinal detachment

o Pinguekula

 Penyembuhan luka kornea yang lambat diikuti maserasi kornea yang terjadi karena
pemberian obat-obatan :

7
o Aldosteron

o Alpha-chymotrypsin

o Azatioprin

o Betametason

o Butakain

o Kokain

o Kortison

o Dexametason

o Fluorometolon

o Fluprednisolon

o Hidrokortison

o Prednisolon

o Sulfasetamid

o Sulfametizol

o Tetrakain

o Triamsinolon

 Ulkus / maserasi marginal ring yang dapat terjadi mengikuti :


o Leukemia akut

o Disentri basiler

o Demam berdarah

o Artritis gonokokal

 Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)

8
Sedangkan dibawah ini adalah kasus-kasus yang dapat menyebabkan maserasi kornea akut 1 :

TABLE : POTENTIAL CAUSES OF ACUTE CORNEAL MELTING


Herpes simplex keratitis
Mooren’s ulcer
Rheumatoid arthritis
Bacterial keratitis
Keratoconjunctivitis sicca
Erythema multiforme
Alkali burn
Anterior-segment dysgenesis
Herpes zoster
Neuroparalytic keratitis
Wound melt/keratoplasty
Pemphigoid
Rosacea keratitis
Thermal burn
Vernal keratoconjunctivitis

Defek pada epitel merupakan awal terjadinya maserasi kornea, kemudian maserasi
berlanjut karena kegagalan reepitelisasi karena infeksi atau proses tropik. Mediator imun dan
enzim kolagenase menyerang stroma terkena, dan sel-sel inflamasi berkembang lebih lanjut
menjadi maserasi ulserativa. Epitel kornea memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga
kesehatan dari permukaan kornea. Hal ini karena kapasitas yang cepat dalam regenerasi sendiri.
Sel progenitor yang penting terletak dilimbus, yang berkembang biak dan bermigrasi ke daerah
penyakit. Sel-sel ini dikenal sebagai sel batang limbal, dan kekurangannya memainkan peran yang
sangat penting dalam masalah post operasi kornea. Setiap keterlambatan dalam reepitelisasi
dapat mendukung maserasi kornea. Misalnya, kerusakan pada kripta limbal dalam dan cadangan
normal sel epitel basal dapat merusak sumber penting untuk reepitelisasi kornea.5,6

Di antara semua defek pada kornea, peradangan kronis dilimbus tampaknya menjadi
pemicu maserasi kornea pasca operasi. Sel-sel induk limbal berfungsi sebagai penghalang
proliferatif antara epitel kornea dan konjungtiva. Kondisi yang sangat merusak sel-sel induk limbal

9
dapat mengakibatkan invasi epitel konjungtiva ke permukaan kornea. Proses konjungtivalisasi
menyebabkan epitel menebal, irreguler, dan tidak stabil yang sering diikuti neovaskularisasi
sekunder dan infiltrasi sel inflamasi. Defek epitel dengan konjungtivalisasi pada permukaan
kornea dapat berlanjut menjadi ulserasi kornea, maserasi dan kehilangan penglihatan.5

Ulkus kornea dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, bersamaan dengan
penyakit kulit atau penyakit jaringan penunjang, atau trauma kimia dan fisika. Toksin bakteri
dapat langsung atau tidak langsung menyebabkan aktivitas kolagenolitik. Spesies pseudomonas
memproduksi protease yang menyebabkan destruksi glikosaminoglikan, juga merupakan respon
seluler tuan rumah, khususnya pada inflamasi akut, yang responsif untuk destruksi kornea.
Patogenesis ulkus stroma non infeksius (melting) dapat disebabkan oleh komplikasi dari trauma
kimia, keratitis herpetik, penyakit vaskuler kolagen dan defisiensi vitamin. 14

Gambar 3. Patogenesa melting kornea14

Ulkus juga diketahui sebagai aksi sekunder dari kolagenase jaringan, permulaan terjadi
pembelahan dari fibril kolagen stroma, diikuti oleh degradasi kolagen dan glikosaminoglikan yang
melibatkan enzim protease, peptidase dan kaptesin. Pada awalnya kehancuran jaringan kolagen
dapat dikontrol oleh jumlah kolagenase dan aktivitas oleh seluler dan humoral aktivator dan
inhibitor.14

Unsur pokok seluler sangat respon terhadap ulkus. Adanya peran sel inflamasi akut
teutama sekali neutrofil. Sel ini terdiri dari satu lusin enzim litik termasuk kolagenase, elastase
dan kaptesin, biasanya ditemukan pada ulkus yang aktif (melting). Pada keratitis interstitial

10
herpes simplek, konsep patogenik ini melibatkan sistem imun yang menghancurkan sel stroma
yang dihasilkan antigen herpes. Adanya neutrofil dan fagosit menyebabkan destruksi jaringan. 14

Pada proses perbaikan destruksi kornea diperlukan keratosit dan pembuluh darah. Reaksi
fibroblas karena adanya partisipasi retikulum endoplasmik pada sekresi kolagen baru untuk
penyembuhan luka, meskipun kehadirannnya pada daerah sentral ulkus sedikit terlambat. Pada
percobaan (kultur sel), aktivitas fibroblas bisa serentak memproduksi kolagen dan menghasilkan
kolagenase, sehingga akan terjadi ulserasi dan perbaikan. 14

Ada juga hipotesa tentang faktor predisposisi timbulnya maserasi kornea yaitu gabungan
dari terhambatnya proliferasi epitel dan peningkatan matrix metaloproteinases (MMPs). Matrix
ekstraselular dari kornea terdiri dari struktur lamela dari fibril kolagen yang tersimpan dalam
glikosaminokligan. Lapisan antara perbatasan lamela merupakan lapisan fibroblas (keratosit),
kadang mengandung makrofag, limfosit dan leukosit polimorfonuklear. Fibroblas kornea
merupakan respon dari pergantian kontinyu dan pemeliharaan matrik dan satu dari mekanisme
perkembangan pergantian matrik yang merupakan keseimbangan lokal antara kolagenase dan
jaringan inhibitornya. Sumber selular dari enzym ini termasuk fibroblas lokal dan serbuan sel
mononuklear.15,16,17

Kornea dengan Periferal Ulseratif Keratitis (PUK) mengalami ketidakseimbangan lokal


antara level dari kolagenase spesifik (MMP-1) dan jaringan inhibitornya (TIMP-1), dan dianggap
ketidakseimbangan ini mempercepat keratolisis kornea yang merupakan tanda dari PUK. 17

Pada penelitian Brejchova dan kawan-kawan, menemukan bahwa peningkatan aktifitas


MMPs pada pasien maserasi kornea dengan diagnosa primary Sjorgen’s syndrome (pSS)
berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang memicu terjadinya konsekuensi yang serius yaitu
perforasi kornea dan kehilangan penglihatan. Peningkatan MMPs ini memicu kerusakan dan
kehilangan ekstraselular matrik (ECM). MMPs dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu
kolagenase, gelatinase, stromelisin, matrilisin, membran MMPs dan lainnya. Pada kornea, MMPs
diproduksi oleh keratosit, sel epitel, monosit dan makrofag. Yang termasuk kolagenase adalah
MMPs 1,8,13 yang terlibat dalam pemecahan kolagen tipe I,II dan III ; gelatinase (MMP 2 dan 9)
yang terlibat dalam penurunan kolagen tipe IV,V dan VI ; stromelisin (MMP3) dan matrilisin
(MMP7), yang mempunyai substansi serupa kolagen tipe IV, prokolagen, colagen cross link,
fibronektin, dan laminin. Pada penelitian Brejchova ini, didapatkan bahwa MMPs dapat
meningkatkan pengaturan terjadinya penurunan barier epitel, yang diikuti oleh terputusnya
membran basemen epitel (sebab utama karena MMP 3,7 dan 9) dan penurunan secara gradual

11
dari stroma,melibatkan MMP 1,3,7,8 dan 9. Setelah stroma benar-benar hilang, terbentuklah
descemetocele, dan akhirnya integritas dari seluruh kornea akan hancur. 18

Hipotesa tentang mekanisme terjadinya maserasi kornea setelah post operatif


berdasarkan beberapa faktor. Pada penelitian Perez dan kawan-kawan, adanya onset maserasi
kornea yang berhubungan dengan operasi katarak adalah fenomena yang didapatkan
berhubungan dengan pasien yang menderita rematoid artritis atau mempunyai penyakit vaskular
kolagen.19

Mekanisme surgically induced corneal melting berdasarkan beberapa hipotesa, yaitu19 :

1. Faktor lokal dan sistemik


Seperti pada :
 Keratokonjungtivitis sikka,
Adanya hubungan antara keratokunjungtivitis sikka dengan maserasi kornea dan
perforasi pada pasien dengan Sjogren syndrome, rematoid artritis dan gangguan
connective tissue lainnya tidak bisa dipungkiri. Pada pasien keratokonjungtivitis
sikka terjadi perubahan kandungan air mata yang menyebabkan jeleknya
penyembuhan epitelial pada permukaan kornea dan meningkatkan lisisnya
kolagen. Selain itu, enzim proteolitik seperti aktivator plasminogen ditemukan
meningkat dalam air mata pada pasien dry eye. Ratio yang abnormal dari
molekul-molekul ini berpotensi terjadinya keratolisis.
 Innervasi neurogenik
Insisi pada limbus dan kornea post operatif dapat mengenai persyarafan sehingga
menyebabkan gangguan mengedip dan berkurangnya sensasi kornea, sehingga
membuat ulserasi lapisan luar kornea. Selain itu, keluarnya faktor neurotrofik
penting dalam penyembuhan luka, sehingga gabungan faktor tadi menyebabkan
erosi bagian epitel, penyembuhan epitel yang terlambat, dan ulserasi.

 Respon imunologi
Analisis histologi jaringan okular pada pasien dengan maserasi kornea setelah
operasi katarak dengan rematoid artritis dan penyakit vaskular kolagen lainnya
menunjukkan adanya reaksi imunologi dalam proses tersebut.
2. Faktor iatrogenik
 Material sutura

12
Beberapa material sutura berpotensial mencetuskan inflamasi pada tempat luka
dan juga menyebabkan timbulnya pembuluh darah baru, proliferasi dan aktivasi
fibroblas. Material sutura yang pernah dilaporkan adalah plaingut, chromic
catgut, polycolic acid, nylon dan silk.
 Lensa intraokular
Dalam hal ini faktor yang berpengaruhnya belum dapat ditemukan. Hanya
disangkakan bahwa pasien dengan rematoid artritis dan gangguan vaskular
kolagen mempunyai resiko terjadinya maserasi kornea.
 Steroid topikal
Steroid topikal mensupresi proses penyembuhan luka dipermukaan okular
dengan menurunkan pembentukan kolagen baru dan menghambat
neovaskularisasi. Sehingga dokter mata perlu mempertimbangkan penggunaan
steroid pada kondisi ini, dengan mempertimbangkan kegunaan secara maksimal
dan memperkecil efek sampingnya.

BAB IV
KESIMPULAN

13
1. Maserasi kornea merupakan sebuah bentuk inflamasi kornea yang melibatkan bagian luar
dari kornea dengan karakteristik penipisan kornea bahkan bila proses berlanjut bisa
terjadi perforasi.
2. Maserasi kornea sering berhubungan dengan berbagai macam faktor seperti penyakit di
permukaan okular, penyakit auto imun, vaskulitis sistemik, post operatif intra okular dan
penyakit jaringan ikat.
3. Peningkatan aktifitas MMPs berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yaitu keratolisis
kornea yang memicu komplikasi serius perforasi kornea sampai kehilangan penglihatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Flach A.J. Corneal Melts Associated with Topically Applied Nonsteroidal Anti Inflammatory
Drugs. In : Tr.Am.Ophthalmology. Soc. Vol.99. 2001. P 205-212.

14
2. Paroli M P et al. Paracentral Corneal Melting in a Patient with Vogt-Koyanagi-Harada’s
Syndrome, Psoriasis, and Hashimoto’s Thyroiditis. In : Ocular Immunology and Inflammation.
Vol 11, no 4. Swets & Zeitlinger. Italy. 2003. P 309-313.
3. Mc Kibbin et al. Incidence of Corneal Melting in Association with Systemic Disease in the
Yorkshire Region, 1995-7. In : Br J Ophthalmology. 1999. P 941-943.
4. Labiris et al. Corneal Melting After Collagen Cross-linking for Keratoconus : a case report. In :
Journal of Medical Case Reports. 2011. P 1-5.
5. Verma A. Postoperative Corneal Melt. Available fromhttp://emedicine.medscape.com.
Update : June 2008.
6. Murgova S et al. Corneal Melting. In : J Biomed Clin Res. Vol 3. Number 1. 2010. P 59-64.
7. American Academy of Ophtalmology. Structure and Function of the External Eye and Cornea.
In : External Eye Disease and Cornea. Basic and Clinical Science course. Section 8: 2011-2012.
P 5-9.
8. AmericanAcademy of Ophtalmology. Cornea. In; Fundamental and Principles of
Ophalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2: San Fransisco. 2011-2012. P 247-
251.
9. Teruko N. Cornea. In Fundamental, Diagnosis and Management. 2 nd edition. Vol 1. Holland
EJ. Philadelpia. 2003. P 3-18.
10.AmericanAcademy of Ophtalmology. The Eye. In; Fundamental and Principles of
Ophalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2: San Fransisco. 2011-2012. P 43-
47.
11.Edelhauser HF, Van H. Corneal and Sclera. In: Duane’s Fondations of Clinical Ophthalmology.
Vol 2. Tasman w. Jaeger EA. Philadelphia. 1994. P 1-22.
12.BenEzra D. Anatomy of The Cornea. In Ocular Surface Inflamation. Colombia. 2003. P 40-42.
13.Gipson IK, Joyce NC, Zieske JD. The Anatomy and Cell Biology of the Human Cornea, Limbus,
Conjungtivaand Adnexa. In The Cornea. 4 nd edition. Smolin and Thoft. Lippincott. Williams.
Philadelphia. 2005. P 2-17.
14.Kenyon K R,et al. Morphology and Pathologic Response in Corneal and Conjunctival Disease.
In : The Cornea. 4 nd edition. Smolin and Thoft. Lippincott. Williams. Philadelphia. 2005. P
103-131.
15.Sule A, et al. Rheumatoid Corneal Melt. In : British Society for Rheumatology. 2002 ; 41. P
705-706.
16.Varma S,et al. The Peripheral Corneal Melting Syndrome and Psoriasis : Coincidence or
Association?. In : British Journal of Dermatology. 1999 ; 141. P 344-346.
17.Squirrell DM,et al. Peripheral Ulcerative Keratitis ‘Corneal Melt’ and Rheumatoid Artritis: a
Case Series. In : British Society for Rheumatology. 1999 ; 38. P 1245-1248.
18.Brejchova K,et al. Matrix Metalloproteinases in Recurrent Corneal Melting Associated with
Primary Sjorgen’s Syndrome. In : Molecular Vision. 2009. P 2364-2372.
19.Perez V L,et al. Sterile Corneal Melting and Necrotizing Scleritis After Cataract Surgery in
Patients with Rheumatoid Arthritis and Collagen Vascular Disease. In : Seminars in
Ophthalmology. 2002 ;Swets & Zeitlinger; vol 17; No 3-4. P 124-130.
20.Johnson C C. Central Corneal Melting Associated with Reformulated Generic Diclofenac in a
Patient with Inferior Fornix Foreshortening. In : Ophthalmology and Eye Disease. 2011. USA. :
3. P 21-24.

15

Anda mungkin juga menyukai