LP GGK Dan Hemodialisa
LP GGK Dan Hemodialisa
LP GGK Dan Hemodialisa
Diajukan Oleh:
Maria Giovani Sa Longa
Nim : 24.20.1470
1. Pengertian
2. Etiologi
a. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat menyebabkan
iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah
aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksiskleratik progresif
pada pembuluh darah hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar
yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah nefrosklerosis yaitu saatu
kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati, dikarakteristikan
oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan
penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE
c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai
ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara asceden dari traktus
urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan
kerusakan irreversibel ginjal yang disebut plenlonefritis.
d. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan di
ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefripati
amiliodosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada
dinding pembuluh darah secara serius merusak membran glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
f. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontriksi uretra.
g. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ
lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat kongenetal (hipoplasia renalis)
serta adanya asidosis.
3. Patofisiologi
akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat
ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi
dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan
kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres
oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor
kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis
tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Gambar 2.3 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada Patogan
lintang Ginjal (McAlexander, 2015)
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis
matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel,
dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang
dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi
nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal
antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,
penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi
hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalanmengubah
bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO),
menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun,
dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan
tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara
sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan
mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole
efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga
angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena
banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25- dihydroxyvitamin D
atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca
sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan
menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi
hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia,
resistensi skeletal terhadapPTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback
negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi
PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan
inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena
inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi
resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak
berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan
depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin
yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme
sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis
fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama
bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan
menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest
pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal
tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk
ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion
gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak
terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan
gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah
satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresisisa
nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea
nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat.
Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai
sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan
menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah.
Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT,
dan dapat berkembang menjadi anemia bilapenanganannya tidak adekuat. Uremia
bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin
menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan
memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal
jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia, anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi (Kirana,
2015)
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
5. Manifestasi Klinik
a. Gangguan kardiovaskuler
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekles.
c. Gangguan gastrointestinal
d. Gangguan muskuluskeletal
a. Urine
b. Darah
6) Na ++ serum : menurun
7) K+ : meningkat
8) Mg +/ fosfat : meningkat
7. Penatalaksanaan
c. Pengendalian K+ darah
e. Penanggualan asidosis
h. Pengobatan neuropati
i. Dialisis
2. Tujuan
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien gagal ginjal kronik dangagal
ginjal akut untuk sementara samapai fungsi ginjal pulih (laju filtrasi glomerulus <5
ml).
b. Pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
Hiperkalemia (K+ darah>6 meq/l), Asidosis, Kegagalan terapi konservatif, Kadar
ureum /kreatinin tinggi dalam darah (ureum>200mg%, kreatinin serum>6mEq/l,
Kelebihan cairan, Mual dan muntah yang hebat
c. Intoksikasi obat dan zat kimia
e. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : K+pH darah <7,10 asidosis, Oliguria/an uria
>5 hari, GFR <5ml/i pada CKD, ureum darah >200mg/dl (Wijaya dan Putri, 2017)
Pada umumnya indikasi dialisis pada CKD adalah bila laju filtrasi
glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit, yang di dalam praktekdianggap
demikian bila (TKK)<5mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK
<5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila
dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
d. pH darah <7,1
4. Kontra indikasi
a. Kateter dialisis perkutan yaitu pada vena pulmoralis atau vena subklavikula
9. Komplikasi
Merupakan komplikasi akut yang sering terjadi, dimana insiden 15-30%. Dapat
disebabkan oleh karena penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi
karena energy panas dan obat anti hipertensi.
2. Kram otot
Terjadi 20 % pasien yang menjalankan hemodialisa, dimana penyebabidiopatik,
namun diduga karena kontraksi akut yang dipacu oleh peningkatan volume
ekstrasluler.
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Biografi :identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan, alamat, ruang, identitas
penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no telepon,
asuransi kesehatan (jika ada).
b. Riwayat kesehatan
2) Riwayat kesehatan sekarang : dimulai dri akhir masa sehat, ditulis dengan
kronologis sesuai urutan waktu, dicatat perkembangan dan perjalanan penyakitnya
seperti : faktor pencetus, sifat keluhan (mendadak/berlahan-lahan/terus
menerus/hilang timbul atauberhubungan dengan waktu, lokalisasi dan sifarnya (
menjalar
/menyebar/berpindah/menetap), bearat ringannya keluhan (menetap/cenderung
bertambah atau berkurang), lamanya keluhan, upaya yang dilakukan untuk
mengatasi, keluhan saat pengkajian, diagnosa medik
3) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk mengatasi,
riwayat masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah digunakan.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Buang air besar (BAB) : Frekuensi, waktu, Warna, konsistensi, Kesulitan (diare,
konstipasi, inkontinensia), Buang Air Kecil (BAK)
: Frekuensi, Kesulitan/keluhan (disuria, noktiria, hematuria, retensia,
inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri0 : Mandiri
1: dengan alat bantu 2: dibantu orang
lain
3: dibantu orang lain dan peralatan4: ketergantian /
ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur
Lama tidur : (jam/malam, tidur siang , tidur sore), waktu kebiasaan menjelang
tidur, masalah tidur (insomnia, terbangun dini, mimpi buruk), perasaan setelah
bangun (merasa segar / tidak setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori
Status mental (sadar / tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara: normal, genap,
aphasia ekspresif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memahami, tingkat
ansietas , Pendengaran: DBN,
Perasaan klien tentang dirinya, gambar dirinya, ideal dieinya, harga dirinya, peran
dirinya, ideal dirinya.
8) Pola hubungan peran
12) Mulut dan tenggorokan : Membran mukosa, Keadaan gigi, Tanda radang
(gigi,lidah,gusi), Trismus, Kesulitan menelan, Kebersihan mulut
13) Leher : Trakea simetris atau tidak, Kartoid bruid, JVP, Kelenjar limfe, Kelenjar
tiroid, Kaku kuduk
14) Thorak atau paru : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
3. Intervensi
Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat 1. Sebagai data dasar dalam
jumlah dan tipe intake menentukan intervensi
cairan dan eliminasi selanjutnya
2. Tentukan 2. Untuk mengetahui tindakan
kemungkinan faktor yang tepat untuk mengatasi
resiko dari ketidak masalah
seimbangan cairan
(hipertermia, terapi
diuretik, kelainan
renal, gagal jantung,
diaporesis, disfungsi
hati, dll )
3. Monitor berat badan 3. Mengetahui adakah
keleibihan volume cairan
4. Monitor serum dan 4. Mengetahui kadar cairan dan
elektrolit urine elektrolit
5. Monitor adanya 5. Mengetahui adanya
distensi leher, rinchi, kelebihan volume cairan
eodem perifer dan
penambahan BB
6. Monitor tanda dan 6. Edema dapat menjadi tanda
gejala dari odema kelebiihan cairan
Hemodialysis therapy
1. Bekerja secara 1. Terapi hemodialisa sesuai
kolaboratif dengan prosedur dapat mengurangi
pasien untuk kelebihan cairan dan sisa
menyesuaikan metabolism di tubuh
panjang dialisis,
peraturan diet,
keterbatasan cairan
dan obat-obatan untuk
mengatur cairan dan
elektrolit pergeseran
antara pengobatan.
3. Tujuan : Pressure management
Setelah dilakukan 1. Monitor kulit akan 1. Kemerahan dapat
asuhan keperawatan adanya kemerahan menjadi tanda
selama 3x24 jam kerusakan integritas
diharapkan gangguan kulit.
integritas kulit teratasi 2. Monitor tanda dan 2. Infeksi dapat
dengan gejala infeksi pada menjadikan integritas
area insisi kulit menjadi rusak
Kriteria Hasil: 3. Anjurkan pasien 3. Pakaian yang longgar
1. Tidak ada tanda – menggunakan pakaian dapat mengurangi rasa
tanda infeksi yang longgar nyeri pada kulit yang
2. Ketebalan dan rusak
teksture jaringan
normal 4. Hindari kerutan pada 4. Kerutan di tempat tidur
3. Menunjukan tempat tidur dapat menyebabkan
pemahaman dalam nyeri pada kulit yang
proses perbaikan rusak
kulit dan mencegah 5. Jaga kebersihan kulit 5. Menjaga integritas kulit
terjadinya cidera agar tetap bersih dan agar tetap bagus
berulang kering
4. Menunjukan 6. Mobilisasi pasien 6. Mobilidsasi rutin dapat
terjadinya proses (ubah posisi pasien mencegah dekubitus
penyembuhan luka setiap dua jam sekali)
7. Oleskan lotion atau 7. Lotion dapat
minyak baby oil pada melembabkan kulit
daerah yang tertekan.
4. Tujuan : Nutritional Management
Setelah dilakukan 1. Monitor adanya mual 1. Mual dan muntah dapat
asuhan keperawatan dan muntah menjadi data untuk
selama 3x24 jam menentukan status
nutrisi seimbang dan nutrisi
adekuat. 2. Monitor status nutrisi. 2. Mengetahui adanya
gangguan nutrisi pada
Kriteria Hasil: klien
Nutritional Status 3. Monitor adanya 3. Sebagai data penguat
1. Nafsu makan kehilangan berat badan untuk mengetahui
meningkat dan perubahan status adanya gangguan nutrisi
2. Tidak terjadi nutrisi. 4. Hasil lab dapat menjadi
penurunan BB 4. Monitor albumin, total data pendukung
3. Masukan nutrisi protein, hemoglobin, menentukan intervensi
adekuat dan hematocrit level
4. Menghabiskan yang menindikasikan
porsi makan status nutrisi dan untuk
5. Hasil lab normal perencanaan treatment
(albumin, kalium) selanjutnya.
5. Monitor intake nutrisi 5. Intake nutrisi yang
dan kalori klien. adekuat dapat
meningkatkan status
nutrisi
6. Berikan makanan 6. Makanan sedikit tapi
sedikit tapi sering sering dapat
meningkatkan nafsu
makan klien
7. Berikan perawatan 7. Perawatan mulut dapat
mulut sering meningkatkan nafsu
klien
8. Kolaborasi dengan ahli 8. Diet yang sesuai dapat
gizi dalam pemberian menyeimbangkan status
diet sesuai terapi nutrisi klien
9. Monitor masukan 9. Masukan makanan yang
makanan / cairan dan adekuat dapat
hitung intake kalori meningkatkan status
harian nutrisi klien
Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC
Heardman. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC:
Jakarta
Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling
Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Ika 2015.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei 2018,
melalui
Wijaya dan Putri. 2017. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika