Kel.2 Ushul Fiqih
Kel.2 Ushul Fiqih
ABSTRAK
Setiap individu yang sudah berkomitmen di dalam hatinya untuk beriman kepada Allah, dan
agama Islam, pasti sudah mengetahui bahwa sebagai hamba Allah Swt dia memiliki tanggung
jawab atas seluruh tindakannya, tidaklah punya pilihan lain kecuali menjalani kehidupannya
dalam segala hal sesuai dengan ketetapan/peraturan dan hukum Islam. Hukum merupakan
ketetapan sesuatu atas sesuatu, atau meniadakan sesuatu daripadanya. Dalam Islam, selain Al-
Qur’an dan hadits, ada juga dasar/pokok hukum lain yang dijadikan sebagai rujukan dalam
menetapkan hukum dan keputusan, dasar hukum tersebut dikenal dengan nama Ijma’ dan Qiyas.
Ijma’ merupakan suatu proses mengumpulkan perkara dan memberi hukum atasnya serta
meyakininya.
PENDAHULUAN
Setiap individu muslim yang mukallaf memiliki tanggung jawab atas seluruh tindakan/
perbuatan yang dilakukannya, sehingga individu tersebut tidak punya pilihan lain kecuali
menjalani kehidupannya sesuai dengan hukum Islam. Akal sehatnya menuntut bahwa dia mesti
mendasarkan segenap tindakan pribadi dan hubunganhubungannya dengan orang lain atas
ajaran-ajaran Islam dan demi tujuantujuan praktis, mengambil posisi yang dituntut atas dirinya
sendiri, yakni pengetahuan bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mesti mematuhi hukum yang
diturunkan kepada NabiNya. Mengingat akan hal ini, sangatlah penting bahwa dalam kehidupan
manusia harus mengetahui jelas apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Karena itu, jika
semua aturan hukum Islam benar-benar diketahui maka tidak akan ada keraguan sedikitpun
mengenai sikap praktis yang mesti diambil seseorang untuk melaksanakan hukum Islam dalam
situasi tertentu. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor termasuk jauhnya jarak waktu antara
kita dengan zaman ketika hukum Islam ditetapkan. Konsekuensinya, dalam kasus-kasus tertentu
sangat sulit bagi orang awam mengambil keputusan berdasarkan pemahaman hukum Islam.
Ketika memasuki abad ke-2 hijriyah adalah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab
hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum tersebut telah melembaga dalam
masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri, tak pelak lagi
menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan suatu rumusan masalah yaitu
bagaimana kedudukan ijma’ dalam hukum Islam.
PENGERTIAN IJMA’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat untuk melakukan suatu
pekerjaan, atau membuat keputusan terhadap suatu permasalahan. Dalam terminologi ushul fiqh,
ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tertentu terhadap
masalah hukum syariah setelah meninggalnya Nabi saw. Ijmak atau Ijma’ adalah kesepakatan
para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.
Pengertian ijma’ secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para
ulama ushul fiqih. Ibrahim ibn Siyar Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah, merumuskan ijma’
dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari
seseorang.” Akan tetapi, rumusan Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi di
atas.
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara
khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa
ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW., yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam.
Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, Ijma’ tidak diperlukan,
sebab keberadaan Rasulullah SAW sebagai Syari' (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan
ijma'.
Rumusan ini, menurut Al-Amidi, tokoh ushul fiqih Syafi'iyyah, mengikuti pandangan
Imam Asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa ijma' harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh
umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila
disepakati oleh seluruh umat. Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa ijma' adalah:
ُور بَ ْع َد َوفَا ِة ال َّرسُو ِل َعلَى حُ ُكم ِمنَ اَأْلحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة
ِ يع ْال ُمجْ تَ ِه ِدينَ ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ فِي َعصْ ِر ِمنَ ْال ُعص ُ اِتِّفَا
ِ ق َج ِم
Artinya:
"Kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW., akan
suatu hukum syariat yang amali."
2. Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid, meskipun negara dan
kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka
jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun
seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Karena itu, tak
diakui sebagai ijma’, kesepakatan:
Suara terbanyak,
Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan Salaf,
Kesepakatan Ulama Salaf kota Madinah saja,
Kesepakatan Ulama Salaf yang mujtahid dari dua kota Basrah dan Kufah, atau
salah satunya saja,
Kesepakatan Ahli Bait Nabi saja,
Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain
dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’I (diyakini)
keabsahan dan kebenarannya.
Termasuk dalam kategori mujtahid adalah mereka yang ahli dalam “kelompok-kelompok
dalam kalangan umat Islam” yang tidak mengingkari masalah yang termasuk kategori
sudah diketahui secara dzaruri dalam agama.”
3. Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa
terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya. Oleh karena itu, tidak
disyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya, sebab
jika tidak demikian, niscaya tidak mungkin terjadi ijma’, meskipun datangnya hari
kiamat.
Dan tidak disyaratkan, dalam batalnya ijma’, karena wafatnya para mujtahid yang telah
bersepakat itu. Berlakunya ijma’ tidak terbatas pada masa hidup mereka saja. Dalam pada
itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijma’ bisa batal jika seluruh mujtahid
yang bersepakat itu telah meninggal dunia, mengingat bolehnya sebagian mereka
mencabut pendapatnya ketika masih hidup.
4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW. Wafat.
Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi
SAW. Masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.
Kesepakatan tersebut menjadi hujjah jika mendapat persetujuan dari Nabi SAW. Sebab
Beliau sendirilah yang mempunyai wewenang untuk membentuk syari’at pada masanya.
5. Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas
pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat,
di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir
dengan diperolehnya satu pendapat yang bulat, dan masing-masing mereka menyatakan
sepakat dan rela akan keputusan tersebut.
6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itub, benar-benar sepakat
lahir dan batin, bukan-formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat atas suatu
hukum.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada
pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat 5. Aktual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam Al-Quran. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-
Quran dan atau hadis Rasulullah SAW.
MACAM-MACAM IJMA’
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas:
1. Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’shahih, ijma’ qauli atau ijma’
haqiqi
2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan
reaks terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup
di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi:
a. Ijma’ qath’I, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b. Ijma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa
terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:
a. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw.
b. Ijma’ Khulafaurrasyidin, yaitu ijma’yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Tholib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-
empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
c. Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khaththab.
d. Ijma’ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama- ulama Madinah. Ijma’ ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi’I tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam.
e. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama- ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
OBJEK IJMA’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al
Qur’an dan Al Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah
(ibadat yang t tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang
kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada
dasarnya dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
CONTOH IJMA
Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang dipelopori oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak
ada yang memprotes ataupun menolak ijma’ yang dilakukan sahabat Utsman tersebut dan
diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
Shalat tarawih merupakan shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah yaitu 8 rakaat. Sahabat Umar
bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati
oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
Ijmak atau Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi. Secara
etimologi ijma’ mengandung dua arti, yang pertama meamiliki arti kesepakatan. Jumhur ulama’
berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-
Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi
umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Ra’yu merupakan “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan untuk
memberikan solusi terhadap suatu permasalahan hukum yang belum pernah ada sebelumnya di
dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan kaedah yang telah
ditetapkan”. Ijma’ dan qiyas disepakati oleh ulama sebagai dalil yang kuat dalam penemuan
hukum fiqh dalam hal AlQur’an dan sunah tidak menjelaskan hukumnya secara pasti, meskipun
para ulama ber beda dalam kadar penggunaannya. Adapun cara yang lain yai- tu penggunaan
ra’yu secara perseorangan dan tidak mempunyai dasar rujukan kepada nash, para ulama berbeda
paham dalam menempatkannya sebagai sumber atau dalil hukum fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Chairul Uman, dkk. 1998. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Drs. H. Kamal Muchtar, dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI WAKAF.