Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

IJMA’, RA’YU/NALAR

Agustina Ayu Wulandari


Ozik Rizky Al Ikhsani
Wulandari Cahyaningtyas
Yazid Ilham Al Haqqi

ABSTRAK
Setiap individu yang sudah berkomitmen di dalam hatinya untuk beriman kepada Allah, dan
agama Islam, pasti sudah mengetahui bahwa sebagai hamba Allah Swt dia memiliki tanggung
jawab atas seluruh tindakannya, tidaklah punya pilihan lain kecuali menjalani kehidupannya
dalam segala hal sesuai dengan ketetapan/peraturan dan hukum Islam. Hukum merupakan
ketetapan sesuatu atas sesuatu, atau meniadakan sesuatu daripadanya. Dalam Islam, selain Al-
Qur’an dan hadits, ada juga dasar/pokok hukum lain yang dijadikan sebagai rujukan dalam
menetapkan hukum dan keputusan, dasar hukum tersebut dikenal dengan nama Ijma’ dan Qiyas.
Ijma’ merupakan suatu proses mengumpulkan perkara dan memberi hukum atasnya serta
meyakininya.

PENDAHULUAN
Setiap individu muslim yang mukallaf memiliki tanggung jawab atas seluruh tindakan/
perbuatan yang dilakukannya, sehingga individu tersebut tidak punya pilihan lain kecuali
menjalani kehidupannya sesuai dengan hukum Islam. Akal sehatnya menuntut bahwa dia mesti
mendasarkan segenap tindakan pribadi dan hubunganhubungannya dengan orang lain atas
ajaran-ajaran Islam dan demi tujuantujuan praktis, mengambil posisi yang dituntut atas dirinya
sendiri, yakni pengetahuan bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mesti mematuhi hukum yang
diturunkan kepada NabiNya. Mengingat akan hal ini, sangatlah penting bahwa dalam kehidupan
manusia harus mengetahui jelas apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Karena itu, jika
semua aturan hukum Islam benar-benar diketahui maka tidak akan ada keraguan sedikitpun
mengenai sikap praktis yang mesti diambil seseorang untuk melaksanakan hukum Islam dalam
situasi tertentu. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor termasuk jauhnya jarak waktu antara
kita dengan zaman ketika hukum Islam ditetapkan. Konsekuensinya, dalam kasus-kasus tertentu
sangat sulit bagi orang awam mengambil keputusan berdasarkan pemahaman hukum Islam.
Ketika memasuki abad ke-2 hijriyah adalah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab
hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum tersebut telah melembaga dalam
masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri, tak pelak lagi
menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan suatu rumusan masalah yaitu
bagaimana kedudukan ijma’ dalam hukum Islam.

PENGERTIAN IJMA’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat untuk melakukan suatu
pekerjaan, atau membuat keputusan terhadap suatu permasalahan. Dalam terminologi ushul fiqh,
ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tertentu terhadap
masalah hukum syariah setelah meninggalnya Nabi saw. Ijmak atau Ijma’ adalah kesepakatan
para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.
Pengertian ijma’ secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para
ulama ushul fiqih. Ibrahim ibn Siyar Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazilah, merumuskan ijma’
dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari
seseorang.” Akan tetapi, rumusan Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi di
atas.
Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara
khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa
ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW., yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam.
Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, Ijma’ tidak diperlukan,
sebab keberadaan Rasulullah SAW sebagai Syari' (penentu/pembuat hukum) tidak memerlukan
ijma'.
Rumusan ini, menurut Al-Amidi, tokoh ushul fiqih Syafi'iyyah, mengikuti pandangan
Imam Asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa ijma' harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh
umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila
disepakati oleh seluruh umat. Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa ijma' adalah:
‫ُور بَ ْع َد َوفَا ِة ال َّرسُو ِل َعلَى حُ ُكم ِمنَ اَأْلحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة‬
ِ ‫يع ْال ُمجْ تَ ِه ِدينَ ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ فِي َعصْ ِر ِمنَ ْال ُعص‬ ُ ‫اِتِّفَا‬
ِ ‫ق َج ِم‬
Artinya:
"Kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW., akan
suatu hukum syariat yang amali."

SYARAT-SYARAT DAN RUKUN IJMA’


Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’.
Begitu juga kesepakatan Islam yang belum atau belum mencapai derajat mujtahid fiqih,
meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-
perkara syariat Islam.
Sebagian ulama ada yang mensyaratkan bahwa jumlah mujtahid harus mencapai batas
mutawatir, sehingga tidak mungkin mereka bersekongkol untuk bersepakat dalam suatu
kebatilan atau kedustaan.

2. Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid, meskipun negara dan
kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka
jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun
seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Karena itu, tak
diakui sebagai ijma’, kesepakatan:
 Suara terbanyak,
 Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan Salaf,
 Kesepakatan Ulama Salaf kota Madinah saja,
 Kesepakatan Ulama Salaf yang mujtahid dari dua kota Basrah dan Kufah, atau
salah satunya saja,
 Kesepakatan Ahli Bait Nabi saja,
 Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain
dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka itu tidak qath’I (diyakini)
keabsahan dan kebenarannya.
Termasuk dalam kategori mujtahid adalah mereka yang ahli dalam “kelompok-kelompok
dalam kalangan umat Islam” yang tidak mengingkari masalah yang termasuk kategori
sudah diketahui secara dzaruri dalam agama.”

3. Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa
terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya. Oleh karena itu, tidak
disyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya, sebab
jika tidak demikian, niscaya tidak mungkin terjadi ijma’, meskipun datangnya hari
kiamat.
Dan tidak disyaratkan, dalam batalnya ijma’, karena wafatnya para mujtahid yang telah
bersepakat itu. Berlakunya ijma’ tidak terbatas pada masa hidup mereka saja. Dalam pada
itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijma’ bisa batal jika seluruh mujtahid
yang bersepakat itu telah meninggal dunia, mengingat bolehnya sebagian mereka
mencabut pendapatnya ketika masih hidup.

4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW. Wafat.
Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi
SAW. Masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.
Kesepakatan tersebut menjadi hujjah jika mendapat persetujuan dari Nabi SAW. Sebab
Beliau sendirilah yang mempunyai wewenang untuk membentuk syari’at pada masanya.

5. Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas
pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat,
di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir
dengan diperolehnya satu pendapat yang bulat, dan masing-masing mereka menyatakan
sepakat dan rela akan keputusan tersebut.

6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itub, benar-benar sepakat
lahir dan batin, bukan-formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat atas suatu
hukum.

Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:


1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui I tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,
maka hukum y dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’. Yang

2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada
pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.

3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.

4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat 5. Aktual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam Al-Quran. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-
Quran dan atau hadis Rasulullah SAW.

MACAM-MACAM IJMA’
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas:
1. Ijma’ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’shahih, ijma’ qauli atau ijma’
haqiqi
2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan
reaks terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup
di masanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi:
a. Ijma’ qath’I, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b. Ijma’ dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa
terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu ialah:
a. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw.
b. Ijma’ Khulafaurrasyidin, yaitu ijma’yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Tholib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-
empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi.
c. Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khaththab.
d. Ijma’ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama- ulama Madinah. Ijma’ ahli
Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi
Madzhab Syafi’I tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam.
e. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama- ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

OBJEK IJMA’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al
Qur’an dan Al Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah
(ibadat yang t tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang
kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada
dasarnya dalam Al Qur’an dan Al Hadits.

KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA’


Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah saw sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode,
yaitu
a. Periode Rasulullah saw. Enddanib istamas davivam
b. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khaththab.
c. Periode sesudahnya.
Dapat diambil kesimpulan bahwa:
a. Ijma’ tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad saw.
b. Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab, dan
enam tahun pertama Khalifah Utsman.
c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak
mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun- rukun yang telah ditetapkan di atas,
mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang
berpenduduk Islam.

CONTOH IJMA
 Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang dipelopori oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak
ada yang memprotes ataupun menolak ijma’ yang dilakukan sahabat Utsman tersebut dan
diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
 Shalat tarawih merupakan shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah yaitu 8 rakaat. Sahabat Umar
bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati
oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.

KEDUDUKAN IJMA’ DALAM PEMBINAAN HUKUM ISLAM


Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau
dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an
maupun sunnah.[10] Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi.
Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’
a. Pengangkatan Abu Bakar As- Shiddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal syarat Ijma’

Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:


a. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
c. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah. / ( melakukan atau melaksanakan sesuatu yang belum pernah dilakukan
pada zaman Nabi SAW).
PENGERTIAN RA’YU
Secara etimologi kata (ra’yu) berasal dari bahasa Arab yang berarti “melihat”.4 Secara
terminologi, ra’yu menurut Muhammad Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia
setelah melalui proses berfikir dan merenung.6 Dari definisi yang diungkapkan oleh beberapa
ulama dapat diambil kesimpulan, bahwa ra’yu merupakan “hasil dari suatu perenungan dan
pemikiran yang bertujuan untuk memberikan solusi terhadap suatu permasalahan hukum yang
belum pernah ada sebelumnya di dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan
menggunakan kaedah yang telah ditetapkan”.

BATAS PENGGUNAAN RA’YU


Ra’yu itu dapat digunakan dalam dua hal, yaitu:
 Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali. Dalam hal ini mujtahid
menemukan hukum secara murni dan tidak akan berbenturan dengan ketentuan nash yang
sudah ada karena memang belum ada nashnya Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya
tapi dapat dikaitkan hukumnya kepada lafaz yang ada dalam nash atau yang dinamakan
hukum yang tersirat.
 Dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukan- nya terhadap hukum
tidak secara pasti. Nash hukum dalam ben- tuk ini memberikan kemungkinan-
kemungkinan pemahaman. Jika terdapat kemungkinan pemahaman, maka di sini terdapat
lapangan bagi ra’yu. Pendapat yang muncul dalam bentuk yang tidak akan berbenturan
dengan adil karena memang dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti.

PENGGUNAAN RA’YU SEBAGAI DALIL HUKUM FIQIH


a. Bentuk penggunaan ra’yu itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:Dilihat dari segi
orang yang menggunakannya. Penggunaan ra’yu dalam bentuk ini ada dua cara:
1. Penggunaan ra’yu secara kolektif. Artinya, hukum yang di- tetapkan didasarkan
pada hasil penalaran yang sama atau kesepakatan pendapat dalam menetapkan
hukum. Cara ini disebut ijtihad jama’î.
2. Penggunaan ra’yu secara perseorangan. Artinya, apa yang dapat dicapai oleh
seorang mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa
yang dapat dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama. Cara
penggunaan ra’yu dalam bentuk ini disebut ijtihad fardi.
Dari dua cara penggunaan ra’yu tersebut di atas, yang terkuat dari segi kebenarannya atau
terhindarnya dari kesalahan adalah ijtihad jama’i. Dalam istilah hukum, cara penggunaan ra’yu
dalam bentuk ini disebut ijma
b. Dilihat dari segi ada atau tidaknya dasar rujukan ra’yu itu kepada nash Al-Qur’an atau
sunah.
Dalam hal ini terdapat dua bentuk, yaitu ra’yu yang merujuk kepada nash Al-Qur’an atau
sunah dan ra’yu yang tidak meru- juk secara jelas kepada nash Al-Qur’an atau sunah.
Yang ter- kuat di antara dua cara penggunaan ra ‘yu ini dari segi pencapa ian kebenaran
atau terhindar dari kesalahan adalah ra’yu yang merujuk kepada nash Al-Qur’an atau
sunah. Penggunaan ra’yu dalam bentuk ini dalam istilah hukum disebut qiyas.
Ijma’ dan qiyas disepakati oleh ulama sebagai dalil yang kuat da lam penemuan hukum fiqh
dalam hal AlQur’an dan sunah tidak menjelaskan hukumnya secara pasti, meskipun para ulama
ber beda dalam kadar penggunaannya. Adapun cara yang lain yai- tu penggunaan ra’yu secara
perseorangan dan tidak mempunyai dasar rujukan kepada nash, para ulama berbeda paham
dalam menempatkannya sebagai sumber atau dalil hukum fiqh.
KESIMPULAN

Ijmak atau Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi. Secara
etimologi ijma’ mengandung dua arti, yang pertama meamiliki arti kesepakatan. Jumhur ulama’
berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-
Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi
umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Ra’yu merupakan “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan untuk
memberikan solusi terhadap suatu permasalahan hukum yang belum pernah ada sebelumnya di
dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan kaedah yang telah
ditetapkan”. Ijma’ dan qiyas disepakati oleh ulama sebagai dalil yang kuat dalam penemuan
hukum fiqh dalam hal AlQur’an dan sunah tidak menjelaskan hukumnya secara pasti, meskipun
para ulama ber beda dalam kadar penggunaannya. Adapun cara yang lain yai- tu penggunaan
ra’yu secara perseorangan dan tidak mempunyai dasar rujukan kepada nash, para ulama berbeda
paham dalam menempatkannya sebagai sumber atau dalil hukum fiqh.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Chairul Uman, dkk. 1998. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Drs. H. Kamal Muchtar, dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI WAKAF.

Anda mungkin juga menyukai