Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
REVITALISASI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN NAQUIB AL-ATTAS Mendengar istilah/judul di atas kita menjadi teringat kepada seorang tokoh pemikir jenius kelahiran tanah air ini, yakni Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Mungkin ia bukan tokoh terkenal pada masyarakat awam di Indonesia, tetapi bagi kalangan akademisi, figur ini sudah dikenal. Tentu sangat dikenal oleh akademisi yang membidangi ilmu pendidikan (Islam). Al-Attas bisa dikatakan peletak dasar konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan era pra-kemerdekaan Indonesia. Ia putra Nusantara kelahiran Bogor, 1931, pernah mengecap pendidikan Tsanawi di Sukabumi (Jawa), seterusnya ia adalah warga Malaysia. Al-Attas adalah seorang cendikiawan muslim kontemporer telah banyak menulis buku dan monograf dalam bahasa Inggris maupun melayu, dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam lain seperti Bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Prancis, Jerman, Rusia, Jepang dan lain sebagainya. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dapat kita baca seperti Islam dan Sekulerisme, Islam dan Filsafat Sains, konsep Pendidikan Islam, dan lain sebagainya. yang terakhir ini ditulis oleh temannya, Wan Mohd Nor Wan Daud (1998) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia filsafat dan praktek pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas (2003), bisa dikatakan buku pengantar penting mengenal lebih detail sosok Al-Attas juga sumbangan-sumbangan pemikirannya terhadap umat Islam secara umum, khusus rakyat Melayu-Indonesia. Jika kita telusuri lebih jauh biografi Al-Attas juga membaca karya-karyanya yang beraneka ragam disipilin ilmu itu, yang menandakan kualitas keilmuannya, kita akan berkesimpulan ia adalah sang konseptor ulung yang patut dikejawantahkan gagasan maupun konsep tulisannya dalam kehidupan dewasa ini. terakhir, Al-Attas bukan sekedar tokoh konseptor atau perintis teoritis ide pembaharuan tetapi secara nyata implementasi pemikirannya terwujud pada sebuah kampus International di Malaysia, yakni ISTAC (International institute of Islamic Thought and Civilization), ia pendirinya sekaligus rektor pertama sejak 1987. Master Idea Fazlur Rahman, salah seorang sarjana Islam terkemuka, mengatakan “pemikir besar dan orisinil itu adalah seorang yang menemukan gagasan pokok (master idea), yaitu prinsip dasar yang mengandung semua realitas lalu memahaminya sehingga menjadi sesuatu yang baru dan penting. Gagasan pokok itu mengubah dasar-dasar perspektif kita dalam melihat realitas bahkan bisa memberikan solusi yang segar dan jitu terhadap permasalahan-permasalahan lama yang menganggu pikiran manusia (Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998).” Sehingga tidak mengherankan Fazlur Rahman menyebut Al-Attas sebagai pemikir yang “jenius” (Wan Mohd...1998) berdasarkan realita yang telah diperbuatnya masa itu. Upaya islamisasi ilmu pengetahuan akan mampu memberi solusi efektif terhadap dilema yang dihadapi. Al-Attas telah membentuk satu konsep ini, memahaminya secara mendalam, mendeskripsikan dalam teoritis juga melaksanakannya ke dunia praktis. Dilema Pendidikan Kita Telah kita sadari bersama, data menunjukkan kepada kita tentang ‘bobroknya’ mutu pendidikan kita akhir-akhir ini. Ramai penulis juga sudah ‘berkoar-koar’ merumuskan pemikirannya yang secara pesimistik menatap jika dipertahankan sistem pendidikan sekarang maka permasalahan tidak mampu terselesaikan dengan baik. Pertama, secara moralitas ‘kita’ sudah termasuk pada golongan paling memprihatinkan. Perilaku korupsi telah/sedang berbudaya belum terselesaikan sampai sekarang, malahan Aceh pernah dikatakan sebagai daerah terkorup kedua di Indonesia . Upaya praktis untuk mencegah ‘kejahatan’ ini belum ada secara ukuran yang nampak pada hari ini. Kedua, mutu pendidikan kita masih terendah di bawah propinsi lain, juga kualitas kompetensi guru belum mencapai batas maksimal. Ketiga, kurikulum pendidikan belum pernah mampu mengatasi kesenjangan-kesenjangan seperti disebutkan di atas. Keempat, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Aceh belum maksimal melahirkan lulusannya, hal ini dapat dilihat pada persentase setiap lulusan belum ada penempatan kerja yang jelas, mahasiswa cenderung berpikiran kultural normatif yang banyak menunggu ‘uluran tangan pemerintah’ dan orientasi kepada PNS mewabah bagai kumpulan semut pada sehelai daun, ketika digoyang mereka memang menyebar, tapi rumahnya itu tidak lain adalah daun itu. Keempat problematika di atas penulis pikir sudah mewakili masalah-masalah lain yang ada dalam kehidupan kita. Ini merupakan satu “lingkaran setan” yang satu sama lain saling mempengaruhi, baik dalam tataran normatif fungsional maupun konteks historis, yakni permasalahan itu seperti kita bentuk sendiri (internal) secara sadar dan tidak sadar, dari masa kemasa tanpa ada satu konsep yang benar-benar mampu menyelesaikannya. Seperti penulis sebutkan di atas, segenap permasalah itu berangkat dari sistem pendidikan yang belum maksimal. Pendidikan adalah salah satu sarana terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan penanaman nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban. Islamisasi ilmu pengetahuan Kita menjadi miris tatkala ide sekulerisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari Barat sudah diadopsi mentah-mentah oleh umat Islam. Seolah-olah kita tidak ada acuan pijakan tersendiri untuk merespon dan menciptakan ilmu pengetahuan lebih berarti dalam menunggangi kehidupan ini. Sekulerisasi ilmu pengetahuan yang telah berbudaya di Barat cukup meresahkan umat Islam. Di sana acapkali ruang pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama, bahkan secara sadar telah mengkesampingkan nilai-nilai kemanusian itu sendiri. Prospek pemikiran yang bebas nilai (free value) telah merambah ke dalam pemikiran-pemikiran umat Islam dewasa ini. Usaha-usaha sekelompok cendekiawan muslim untuk mengadopsi konsep-konsep seperti Sekulerisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme secara real di lapangan telah tidak mampu menjawab kebutuhan zaman apalagi menyaingi peradaban Barat. Ketika kita menghadapinya (akulturasi budaya) justru sebagian kita menganggap itu adalah yang terpenting, tidak ada jalan lain. Dalam hal ini Al-Attas berpendapat bahwa tidak serta merta kita menolak yang datang dari Barat, ia mencanangkan pendekatan integral yang ditempuh melalui konsep pandangan hidup Islam. Katanya, Barat, kebudayaan asing lainnya harus dilihat dalam konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional, yang berarti bahwa disatu sisi Islam dapat memasukkan atau meminjam konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebuh dahulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi lain menolak ide asing yang tidak diperlukan dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan manapun termasuk Barat. Kenyataan yang ditemukan oleh Al-Attas terhadap kemerosotan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah berangkat dari konsep tarbiyah dan ta’lim. Tarbiyah dan ta’lim dalam pendidikan Islam cenderung tidak bermakna pada sebenarnya atau rancu. Hal ini katanya disebabkan oleh pemaknaan kedua konsep itu yang dirasuki pandangan hidup Barat yang berlandaskan nilai-nilai dualisme, sekulerisme,humanisme dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai Hikmah Ilahiyah. Ia menawarkan konsep Ta’dib. Alasannya kedua konsep tersebut (tarbiyah atau ta’lim) sudah masuk dalam pengertian ta’dib secara asasi, berdasarkan hakikat keberadaan penciptaan manusia itu yang berujung pada pembentukan Insan Kamil. Istilah ta’dib tidak bermakna sama dengan Pendidikan Karakter yang diterapkan akhir-akhir ini di Negara kita. Sekilas yang nampak ke lapangan pendidikan karakter tidak menjamin terselesaikan permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Ini terlihat pada prospek pendidikan yang berorietasi pada lulusan peserta didik saja yang diutamakan, padahal mustahil karakter baik akan tumbuh pada peserta didik sekiranya pendidik tersebut tidak tertanam di dalamnya nilai-nilai universal kebaikan yang merupakan titah Ilahi. Apalagi pendidikan karakter yang diusung bukan atas dasar norma langit (keilahian), tapi berasal dari pemikiran manusia yang gelisah pada zaman ini, yang boleh jadi akan sirna lagi suatu saat. Namun konsep ta’dib berkemungkinan mampu menjawab isu disintegrasi dan degradasi (dekadensi) moral. Sekali lagi bahwasanya hanya dengan proses Islamisaasi Ilmu Pengetahuan umat Islam dapat menghindar dari dominasi pengetahuan Barat tersebut. Al-attas memasukkan konsep kehidupan tasawuf yang menitikberatkan kepada pembentukan karakter (instuisif), yang pada gilirannya akan menjawab dilema-dilema keterbelakangan umat Islam. Jadi ta’dib adalah sebuah konsep sistemik yang diprogramkan al-Attas untuk mendefinisikan atau ulang kaji fungsi dan tujuan pendidikan pada dasarnya. Gagasan Al-Attas ini menjelaskan kepada kita sebuah gerakan aksiologi untuk membentuk pribadi manusia menjadi paripurna (insan kamil), yakni manusia yang dapat diterima disegala tempat dan menjadi pemimpin dirinya sendiri, dan berdampak positif bagi lingkungan (masyarakat), kalau ini sudah terwujud, maka seluruh aspek kehidupan yang lain akan menjadi baik juga. Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan berangkat dari pemahaman bahwa Islam merupakan agama yang paripurna dan tidak ketinggalan konsep untuk memberi kemaslahtan bagi pemeluknya dan kepentingan manusia seluruhnya (rahmatan lil’allamin). Jadi sesuatu yang diinginkan menjadi terwujud jika berangkat pada perubahan sebuah sistem normatif institusi. Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus bergerak dari atas ke bawah (up to down), yaitu menjadi tanggung jawab pemegang kebijakan di sebuah kelembagaan (Negara), tetapi tidak berarti hasil yang dicapai semata-mata bersifat kolektif, itu tidak benar. Pencapaian akhir adalah bukan pada keberhasilan sebuah lembaga tertentu namun pada tiap-tiap pribadi, jadi lebih personal sifatnya. Islamisasi Ilmu Pengetahuan tidak bermakna menemukan kembali semua disiplin ilmu dan mengaitkannya dengan kedua sumber Islam. Seringkali kita diperbedatkan dengan persoalan ini, seperti mengambil mataeri pelajaran lalu mengaitkannya dengan al-Qur’an dan Hadis, padahal bukanlah seperti ini maksud islamisasi itu. Kalau seperti ini terjemahannya maka kerap sekali sebagian orang mengatakan kembali kepada ajaran Islam dalam pemahaman tekstualitas Alquran dan Alhadis. Islamisasi ilmu pengetahuan akan menjadi buntu ketika tidak ditemukan dalil-dalil secara eksplisit dari dari kedua sumber Islam. Ini banyak terdapatkan dalam studi ilmiah efektifitas kedua sumber itu. Padahal Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus diartikan sebagai ukuran dan standarisasi pengalaman-pengalaman kedua sumber itu berdasarkan historisasi (bukan sekedar normatif), juga semangat sebab-sebab keberadaan sebuah tekstual atau semangat universal Ilahiyah. Jadi penerapannya berdasarkan ruhiyah penciptaan manusia yang dikatakan sebagai khalifah dimuka bumi. Selain itu, Al-Attas juga menjelaskan keberadaan Islamisasi sangat erat kaitannya dengan pemaknaan bahasa. Bangsa Melayu-Indonesia pada abad ke 15 telah kaya dengan serapan bahasa Arab, ia merumuskan peranan bahasa waktu itu yang menjadi cikal bakal perkembangan bahasa Melayu dari syair-syair Hamzah Fanshuri. Contoh, ruh berasal dari (ruh bahasa arab), akal (‘aql), kalbu (qalb), paham (fahm), pikir (fikr), ilmu (‘ilm), alam (‘alm), adil (‘adl) dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengadaan istilah bahasa merupakan wacana intelektual untuk menjadikan satu-satu daerah menjadi maju. Kita banyak menggunakan istilah-istilah asing dewasa ini, tanpa disadari bahasa asing itu telah membetuk pola pikir bahkan ideologi kita. Kemudian secara tidak langsung telah memperkosa kosa-kata kita sendiri. Kesenjangan pada PT Perguruan Tinggi (PT) di Aceh yang notabene melahirkan lulusannya setiap tahunnya harus melihat dalam kerangka berpikir seperti di atas. Perguruan tinggi bukan cuma mengukur keberhasilan pada kuantitas lulusannya tetapi harus diprioritaskan apakah yang dilepaskan itu benar-benar sudah dewasa berpikir, sehingga keberadaan mereka tidak dikebiri dalam masyarakat. Al-Attas sangat menekankan bahwa sebuah universitas adalah pusat ilmu pengetahuan, bukan administrasi. Mereka sangat bertanggung jawab pada sebuah tatanan peradaban sebuah bangsa. Menjadikan Aceh maju pada semua bidang berangkat dari perusahaan universitas-uiversitas di Aceh. Namun melirik kepada semangat Al-Attas, perguruan tinggi di Aceh belum maksimal menerapkan master idea ini. Hampir saban tahun setiap universitas di Aceh berlomba-lomba membuka lowongan pendaftaran mahasiswa baru, dan cara yang ditempuh pun berbeda-beda, PTN telah menerima pendaftar dalam jumlah yang besar. PTN kita masih berlomba-lomba dalam hal kuantitas bukan dalam hal kualitas. Yang sangat disayangkan, logika (kognitif) menjadi pelopor mengaktifkan semangat intelektualitas di kampus. Penulis mendapatkan banyak pengalaman selama studi sampai sekarang, dan sering melihat ketidakstabilan-ketidakstabilan emosionalitas para guru-guru di universitas. Kampus “Jantoeng Hate Rakyat Aceh” yang berada di Kopelma masih terdapat misteri pengungkungan kemajuan yang disebabkan oleh sifat kekanak-kanakan segelintir pengajar. Sampai hari ini masih ada dosen yang membuat tugas akhir mahasiswa. Sampai hari ini masih ada dosen yang memperberat/mempersulit mahasiswanya dalam menyelesaikan studi mereka. Tanpa ditanya para dosen sering berkilah bahwa mereka juga korban dari dosen-dosen terdahulu. Ini adalah beberapa pengalaman yang penulis peroleh, meskipun belum dalam bentuk angka-angkat karena tidak berdasarkan penelitian praktis. Semangat menciptakan Aceh menjadi bangsa yang berperadaban maju tetapi budaya-budaya atau sikap atau kepentingan-kepentingan seseorang/sekelompok masih merajai asas Islamisasi Ilmu Pengetahuan itu sendiri maka jangan berharap kemajuan itu terwujud. Sampai kapanpun sekiranya tidak dilaksanakan konsep pendidikan yang menghargai fitrah/bakat setiap orang, maka jangan berharap perubahan dalam sesi kehidupan kita dewasa ini dapat terlaksana dengan baik. Inilah sekelumit pemikiran dari konsep islamisasi ilmu pengetahuan Al-Attas, tentu ini hanya secara garis besar saja, dan sangat bermanfaat jika ditelusuri lebih lanjut dan otomatis diaplikasikan secara praktis dalam kehidupan ini.