Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Kronotop Kontra Politik dan Visualitas Korban dalam Film Dokumenter: Kajian Antropologi Media Aryo Danusiri Departemen Antropologi, Universitas Indonesia dan Harvard University danusiri@gmail.com Abstract This article is my retrospective account on the making of one of my testimonial documentaries, “Kameng Gampoeng Nyang Keunong Geulawa” (The Village Goat that Takes the Beating, 1999) which was commissioned by a human rights-defender NGO based in Jakarta. The aim was to offer critical views on the Aceh conflict to the Indonesian public. By using chronotopes (Bakhtin, 1981) as the analytical tool, I delineate the way the Indonesian state and its military constituted a dominant view of Aceh as the Other by applying a semiotic model of authoritarian nationalism that circulated in the public sphere. As the counter-politics, I developed particular testimony chronotopes as a strategy to capture victims’ points of view as embodied experience. In my reflection, I argue that instead of producing a complex visuality of the Aceh actors as human beings, my portrayal of the victims had taken on a sustained oppressor-victim binary opposition view which framed victims as the articulation of singular experience. This study contributes to the emerging interest in media anthropology and the study of non-mainstream film genres and independent cinema works. Keywords: Aceh, Chronotopes, Cinema, Counter-politics, Documentary of Testimony, Independent, Nationalism-Separatism Ketika menyampaikan ulasannya mengenai situasi Asia Tenggara dan konsep kebudayaan sebagai alat analisis antropologi pada tahun 1999, Mary Steedly menulis bahwa wilayah ini berada dalam situasi tidak pasti karena perubahan yang terjadi dalam skala besar dan cepat, serta berakhir dengan krisis multidimensional pada akhir dekade ‘90-an. Steedly melihat bahwa dalam kajian mereka, banyak ahli Asia Tenggara tidak lagi berfokus pada kebudayaan sebagai konsep untuk mendefinisikan entitas sosial, tetapi kebudayaan sebagai alat politik negara. Operasi kekuasaan tersebut dapat dicermati dalam tiga situs: gender, politik kebudayaan, dan praktik-praktik kekerasan (Steedly, 1999). Salah satu praktik yang tidak kalah penting sejak dekade ‘90-an adalah perkembangan media massa. Perhatian pada media menjadi penting tidak saja karena proses privatisasi media arus utama dimulai di era ini, tetapi juga karena negara dan sektor privat menggunakan media massa sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mendisiplinkan masyarakat lewat berbagai jenis tayangan yang mereka produksi. Di era Reformasi (masa pasca-kejatuhan Suharto 1998) kebebasan media menjadi indeks dari Indonesia baru yang demokratis. Media mengalami perkembangan yang memungkinkannya menjadi teknologi untuk mengonstitusi formasi sosial-politik alternatif. “Memberdayakan ruang publik” 136 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 adalah kata kunci yang bersirkulasi dalam berbagai program pelatihan, penerbitan, advokasi demokratisasi, dan desentralisasi media (mulai dari media cetak hingga elektronik) yang didanai oleh berbagai agensi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) international. Fokus dari artikel ini adalah refleksi saya atas proses pembuatan dokumenter Kameng Gampoeng yang Keunong Geulawa (Kambing Kampung Yang Kenal Pukul) yang diproduksi tahun 1999. Dokumenter tersebut menyajikan testimoni korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama konflik bersenjata di Aceh. Topik ini memiliki arti penting dalam beberapa hal. Pertama, dokumenter ini merupakan bagian dari maraknya penggunaan video sebagai media kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, merupakan satu bentuk program pemberdayaan media era Reformasi. Sampai saat ini sektor pembangunan (development sector) dan organisasi-organisasi humanitarian masih memegang peranan penting dalam produksi video-video dokumenter. Video dokumenter testimoni menjadi instrumen bagi kerja-kerja pembelaan HAM dan gerakan sosial di tingkat global karena dianggap ampuh untuk merepresentasikan korban kekerasan dan subjek-subjek marginal lainnya (petani, orang miskin, dan lain sebagainya). Kedua, genre testimoni adalah genre paling populer dalam produksi video 1 dokumenter di Indonesia. Genre ini tidak saja mendominasi dokumenter produksi LSMLSM, tetapi juga menjadi pilihan bentuk ekspresif dari sineas-sineas senior di Indonesia (Hanan, 2012). Ketiga, dalam situasi “kekacauan pasca-kolonial” (postcolonial disorders) (Good, Hyde, Pinto, & Good, 2008), yaitu situasi kontradiktif yang dialami oleh negara maupun warganya akibat—salah satunya—pengalaman kolonialisme, dokumenter memainkan peranannya di Indonesia. Konflik Aceh senantiasa terkait dengan sejarah masa kolonial dan memperlihatkan negara dalam kondisinya yang kontradiktif: kuat sekaligus rapuh. Bagaimana kemudian dokumenter sebagai media kontra-politik memainkan perannya dalam proses demokratisasi pascakolonial? Video Kameng Gampoeng masih terus diputar di ruang-ruang publik baik di Indonesia maupun di kancah internasional.1 Terakhir kali video ini diputar di program “Kreativitas Bercerita mengenai Represi Hak Asasi” yang dikuratori oleh Jonathan Manullang.2 Saya menulis artikel ini dengan tujuan untuk berbagi pengalaman dan pandangan atas problem representasi korban dalam dokumenter testimoni. Saya sebut sebagai refleksi karena tulisan ini adalah campuran antara ingatan saya tentang proses pembuatan dan proses sosial politik yang melingkupinya dengan pembahasan saya mengenai konteks tema dan genre Pada bulan Desember 2018, saya menjadi salah juri kompetisi dokumenter pendek Festival Film Dokumenter di Yogyakarta, yaitu festival dokumenter tertua di Indonesia dan Asia Tenggara. Dari lima film dokumenter finalis yang kami nilai, tiga diantaranya menggunakan moda testimoni di dalamnya dan satu dokumenter yang terlihat jelas sebagai dokumenter testimoni. 2 Video Kameng Gampoeng bisa bersirkulasi dengan baik diberbagai ruang publik. Video ini terseleksi untuk ditayangkan pada Jakarta International Film Festival pertama pada tahun 2000 dan Amnesty Film Festival di Amsterdam, Belanda pada tahun 2001. Terkahir video ini diputar di konferensi Sign of Crisis New York University (2007) dan Arkipel Film Festival (2015) di Jakarta. 137 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 dokumenter. Selain itu, saya juga melengkapinya dengan literatur-literatur baru yang relevan. Hingga saat ini memang sedikit tulisan akademis mengenai praktik dokumenter sosial-politik di Indonesia. Tulisan ini sendiri dapat memberikan kontribusi dalam konteks perdebatan metodologis terkait dokumenter, terutama dalam proses produksinya. Dokumenter dalam Tinjauan Antropologi Media Antropologi media pada awalnya memusatkan perhatian pada media sebagai produk nasional dan meneliti bagaimana media merepresentasikan kebudayaan nasional. Pada periode ini, kebudayaan nasional dipahami sebagai kesatuan maknamakna yang solid yang entah bekerja secara sistemik atau disiplinaristik membentuk subjek warga negara lewat proses-proses transmisi media teknologi. Karya-karya antropologi media ini umumnya berfokus pada media-media arus utama, seperti film, televisi, industri musik, atau koran dan majalah. Perubahan yang dihasilkan oleh teknologi digital mendorong para antropolog untuk berpikir ulang mengenai supremasi teori kebudayaan nasional. Perubahan ini juga membuka periode baru dalam melihat media sebagai proses mediasi yang beruntun (concantenative). Kata kunci teknologi digital adalah partisipasi, yang menjadikan kebudayaan nasional sebagai kerja yang takpernah-selesai dalam ruang-ruang bersama. Komunikasi lewat media bukan lagi sekadar praktik “transmisi” ataupun “ritualistik” (Carey, 1992) dari kebudayaan nasional. Namun, kebudayaan nasional menjadi peristiwa media itu sendiri. Konstitusinya terfragmentasi karena dihasilkan lewat kerjakerja mediasi dari media teknologi yang partisipatif. Dalam pendekatan kontemporer ini, perhatian antropolog telah dialihkan pada aspek-aspek yang sebelumnya diabaikan, yakni pada media-media non-arus utama, serta pada aspek material dan teknologi dari media. Brian Larkin (2008), misalnya, memilih meneliti bioskop ketimbang film; Mary Steedly (2013) memilih “B movies” ketimbang film-film arus utama; Patricia Spyer (2002) melihat media skala kecil/taktis (small scale/tactical media) ketimbang media massa. Sejalan dengan kecenderungan tersebut, dalam artikel ini saya berfokus pada film dokumenter sebagai medium sinema non-industrial yang sering diabaikan, baik dalam sirkulasi jaringan formal maupun dalam kajian film Indonesia. Bila kita bicara mengenai genre dalam sinema dokumenter, maka penting untuk menimbang keluhan Stella Bruzzi (2006), bahwa genre dalam dokumenter sesungguhnya membatasi perkembangan dokumenter itu sendiri, alih-alih mengadopsi inovasi-inovasi yang terjadi. Bruzzi menyasar moda-moda (atau genre) dalam dokumenter yang diciptakan oleh Bill Nichols di tahun 1980-an sebagai persoalan karena sudah dipercaya bukan sebagai “salah satu cara” dalam membuat dokumenter, namun “satusatunya cara” (Bruzzi, 2006: 3). Bruzzi menyarankan interogasi terhadap genre-genre dokumenter agar bisa menangkap heterogenitas perkembangan medium sinematik ini. Antropolog media, W. J. T. Mitchell (2005), menyarankan agar proses menginterogasi imaji sebaiknya tidak 138 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 dilakukan dengan memperkirakan kuasa imaji dalam politik secara berlebihan, namun sebaliknya, memperlakukan imaji sebagai subjek subaltern dan mulai dengan pertanyaan agar imaji dapat bersuara. Dengan sikap bertanya inilah kita bisa meninggalkan sikap apriori terhadap kekuatan imaji dan mulai menggali posibilitas dan potensialitas dari imaji (Mitchell, 2005: 34). Dalam artikel ini saya akan berbagi mengenai pergulatan saya dengan visibilitas genre dokumenter testimoni, yaitu formasi hierarkis antara the visible (yang-terlihat) dan the invisible (yang-tak-terlihat). Formasi tersebut tidak inheren melekat pada genre testimoni sebagai instrumen, tetapi dikonstruksi dalam negosiasinya dengan konteks sosial politik yang melingkupi produksi dokumenter itu sendiri. Namun demikian, sebagai proses komunikatif, pembahasan pembuatan dokumenter ini tidak fokus pada aspek politiknya (aspek bagaimana pesan/makna yang baku ditransmisi kepada penonton), melainkan aspek pada “puitik”-nya (Carey, 1992). Aspek puitik terkait dengan proses mempraktikkan genre sebagai proyek penyampaian berulangulang (iterability) (Derrida, 1972) ke dalam konteks baru untuk bisa mengonstruksi makna yang baru. Oleh karena itu, mengikuti Bakhtin (1981), genre di sini saya pahami sebagai kronotop (chronotopes), yaitu model semiotik hubungan antara ruang dan waktu yang menopang representasi. Efikasi sebuah karya dokumenter ditentukan oleh kemampuan sang pembuat karya untuk mengonfigurasi beragam kronotop dalam berbagai modalitas keterhubungan: kesejajaran, perbandingan, pertentangan dan lain sebagainya (Alatas, 139 2016; Stasch, 2011). Kronotop memproduksi subjek karena “[t]he image of man is always instrically chronotopic” (Bakhtin, Wright, & Holquist, 1981: 85). Karakter lain dari kronotop ialah konstruksinya selalu dipraktikkan melalui kerangka kerja partisipasi (participation frameworks), apakah itu dalam “dunia penulis” atau “dunia pembaca dan pendengar” (Bakhtin, Wright, & Holquist, 1981: 257). Dalam mengonstruksi teks audio-visualnya, seorang sineas akan mengantisipasi penontonnya sehingga kronotop dalam teks selalu berada dalam hubungan “dialogis” (Bakhtin, Wright, & Holquist, 1981: 256) dengan kronotop publik—atau yang disebut oleh Agha (2007) sebagai mass-mediated chronotopes—yang menjadi konteks komunikasinya. Produksi dokumenter merupakan proses sosial (Bakhtin, Wright, & Holquist, 1981). Artinya, proses merekonstruksi kronotop dilakukan lewat pembangunan hubungan di antara para aktor (publik, nonpublik, dan sub-publik) yang diacu dan terlibat dalam proses produksi dengan kronotop-kronotop dalam kerangka partisipasi masing-masing. Di ruang publik, Aceh direpresentasikan sebagai liyan (the other) di bawah dominasi kronotop “nasionalisme otoritarian” yang diproduksi oleh negara dan disirkulasi oleh media massa. Kronotop dominan ini menciptakan jarak dengan para korban di Aceh sebagai sosok pasif yang sekadar bagian dari massa atau kerumunan yang diproduksi oleh Order Baru. Di ruang publik juga, pemerintah dan tentara Indonesia merepresentasikan orang-orang Aceh yang terlibat dalam konflik bersenjata dengan kronotop mereka sebagai “gerakan separatis”. Dengan demikian, mereka ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 ditampilkan sebagai “pengacau” yang berada di luar waktu linear pembangunan bangsa, sehingga harus ditertibkan. Kronotop kontrapolitiiknya berupa kronotop “reformasi” yang mendefinisikan waktu saat ini sebagai periode baru yang demokratis dan berbeda dari periode Orde Baru yang otoriter. Kedua kronotop ini berada dalam hubungan kontradiktif dan saling membatalkan. Kedua kronotop ini—kronotop nasionalisme otoritarian dan kronotop reformasi— mendefinisikan korban dengan cara berbeda dan menjadi pijakan saya dalam membuat video Kameng Gampoeng. Proses pembuatan video kemudian mengarahkan saya untuk memikirkan, apakah mungkin memahami korban sebagai subjek politik di luar kedua kronotop yang bertentangan ini? Kronotop Dominan: Pra-Produksi Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, proses pembuatan dokumenter bukanlah proses terisolasi, melainkan proses sosial yang melibatkan berbagai aktor sosial untuk menghasilkan teks yang bermakna sesuai dengan karakter medium representasinya. Mengonstruksi kronotop adalah bagian dari proses pembuatan tersebut yang pada gilirannya menjadi pedoman dalam merepresentasikan secara koheren wakturuang dan subjek dari momen sejarah tertentu (Bakhtin et al., 1981: 243). Upaya merepresentasikan Aceh dan para korban DOM tergantung pada kronotop-kronotop mengenai Aceh yang beredar di ranah publik, yaitu kronotop-kronotop yang dimediasi oleh media massa. Oleh karena itu, dokumenter 3 yang dihasilkan adalah artikulasi dari matriks kronotop-kronotop yang bersifat publik yang dikonfigurasi lewat produksi dokumenter tersebut. Aceh di tahun 1999 diliputi krisis politik dan kekerasan militer yang bertautan dengan reformasi politik yang baru saja terjadi di Indonesia. Dimotori oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), suara yang terdengar dari Aceh pun menggaungkan semangat untuk merdeka sebagai negara berdaulat yang terpisah dari Republik Indonesia. Saat itu, teriakan merdeka tidak saja dilantangkan dari Aceh di ujung barat Indonesia, tapi juga dari Papua di ujung timur. Berawal dari tuntutan rakyat Aceh agar pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) segera dicabut, pada 6 Agustus 1998 Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mencabut status DOM di Aceh. Akan tetapi, sehari setelah itu ratusan tentara nonorganik dikirim dari Medan dan Jakarta ke Aceh dengan alasan untuk mengatasi “kaum separatis” yang semakin bergerak dan berkembang (Kompas, 3 Agustus 1999). Selama periode tersebut, berita-berita di media massa nasional cetak maupun elektronik dipenuhi dengan kisah-kisah dalam konflik politik Aceh. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) menjadi stasiun TV swasta yang gencar memberitakan konflik Aceh dengan materi-materi visual yang eksklusif. Hal ini bisa terjadi karena departemen pemberitaannya (yang terkenal dengan nama program berita “Seputar Indonesia”) memiliki koresponden khusus di Lhokseumawe, Aceh, yaitu Umar HN, seorang wartawan senior yang sebelumnya bekerja untuk harian Waspada di Medan.3 Chik Rini, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” https://www.pantau.or.id/?/=d/161 diakses 1 Maret 2019 140 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Rupanya tidak hanya untuk RCTI saja, Umar juga memasok rekaman-rekaman berita untuk kantor berita asing. Rekaman-rekaman yang diproduksi oleh Umar inilah yang kemudian menjadi dasar saya dalam proyek pembuatan film dokumenter pertama saya mengenai Aceh. Pada bulan Juli 1999, seorang kawan memberi tahu saya bahwa ELSAM (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat) yang bergerak di bidang HAM (hak asasi manusia) dan berkantor di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tengah mencari seorang videografer untuk proyek dokumenter kampanye mereka. Saya kemudian bertemu dengan direkturnya, Ifdhal Kasim, yang menjelaskan bahwa mereka merencanakan pembuatan video kampanye mengenai berbagai pelanggaran HAM di Aceh yang dilakukan oleh tentara Indonesia. Bahan yang telah mereka sediakan meliputi beberapa rekaman video seputar pelanggaran HAM yang diproduksi oleh Umar HN. Tragedi Simpang KKA, Kuburan Massal Beutong, dan Penyerangan Kampung Kandang adalah rekaman-rekaman utama dalam koleksi tersebut. Setelah dijelaskan lebih detail mengenai spesifikasi video yang mereka inginkan dan rincian pembiayaan yang telah mereka persiapkan, saya pun memikirkan lebih lanjut produksi video kampanye tersebut. Pada dasarnya, ELSAM ingin membuat sebuah video kampanye untuk menanggapi kejadian-kejadian krisis politik di Aceh dan memberikan pendidikan publik mengenai pelanggaran HAM. Diharapkan video dokumenter kampanye yang dihasilkan berdurasi pendek dan cocok sebagai pemantik diskusi dalam kegiatan-kegiatan perencanaan program kampanye. 141 Keesokan harinya, lewat telepon saya meminta waktu untuk bertemu lagi dengan Ifdhal Kasim. Dalam pertemuan tersebut, saya menjelaskan tanggapan saya terhadap desain video kampanye mereka. Pertama, rekaman berita dari Umar HN hanya berfokus pada peristiwa-peristiwa besar pelanggaran HAM, sehingga upaya mengembangkan rekamanrekaman tersebut menjadi sebuah video dokumenter yang dapat memberikan perspektif kritis di luar perspektif dominan yang direproduksi media massa nasional menjadi terbatas. Kedua, oleh karenanya, saya menawarkan pendekatan alternatif, yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan para korban kekerasan. Penawaran saya berdasarkan pendekatan etnografis yang mengedepankan pertemuan tatap muka dengan informan dan mengalami secara langsung situasi mencekam yang terjadi. Saya menggunakan istilah jurnalistik “wawancara” yang saya anggap cukup populer untuk mengartikulasi bahwa bentuk usulan video yang akan saya buat melampaui video esai politik yang awalnya direncanakan oleh ELSAM. Ketiga, saya sampaikan bahwa telah tersedia teknologi baru di dunia sinema berupa teknologi digital. Dengan anggaran relatif terjangkau, teknologi ini dapat menghasilkan kualitas tinggi yang layak untuk tontonan publik. Dengan nada persuasif saya sampaikan bahwa dengan menambahkan sedikit dana produksi yang telah dianggarkan, ELSAM bisa mendapatkan video dokumenter dengan mutu muatan yang lebih istimewa dan kualitas sinema yang prima. Desain video dokumenter yang saya tawarkan adalah artikulasi dari interseksi antara kronotop nasionalisme otoritarian tentang Aceh dan kronotop reformasi tentang ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Indonesia baru. Secara politik, kronotop otoritarian tentang Aceh adalah perspektif dominan yang bersirkulasi di ruang-ruang publik. Model waktu-ruang ini mengutamakan imajinasi keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai cara memahami konflik Aceh, yaitu meletakkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebagai subjek bersenjata yang bertujuan mempertahankan keteraturan (order), sedangkan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sebagai pihak yang menciptakan kekacauan (disorder) sehingga layak untuk diperangi. Di lain pihak, GAM juga menggunakan logika yang serupa untuk mengonstruksi eksistensi Aceh Merdeka sebagai entitas etno-nasional yang jelas. Oleh karena itu, mereka menyuarakan dirinya sebagai sosok yang membebaskan rakyat Aceh dari tekanan dan eksploitasi Indonesia yang kolonialis, kejam, dan tamak (lihat AlChaidar, Ahmad, & Dinamika, 1999). TNI sebagai bagian dari RI mengklaim sebagai entitas yang sah, demokratis, dan representasi dari entitas bangsa Indonesia yang homogen. Kronotop nasionalisme otoritarian sebagai varian dari kronotop nasionalisme memiliki karakter yang sama dalam chronotpolitics-nya, yaitu pengaturan komunitas yang disebut “bangsa” hanya dapat dimungkinkan dalam sebuah entitas kebangsaan yang baru bila keberagamannya disatukan dalam sebuah linearitas waktu yang baru—dalam terminologi Anderson (2006), politik waktu ini melibatkan “waktu kosong yang homogeny” (homogenous empty time). Kronotop seperti ini menghasilkan dua subjek yang saling bertentangan: penindak dan perusuh. Ketimbang mengakui eksistensi GAM sebagai musuh yang berdaulat, TNI menyebut dirinya sebagai Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) dan menjadikan GAM sebagai sosok liyan (the other) dengan sebutan GBPK (Gerombolan Bersenjata Pengacau Keamanan) (Kompas, 16 Juli 1999). Adapun GAM melakukan hal serupa dengan menggunakan metafora dan alegori sejarah, seperti hikayat perang sabil, untuk menstrukturkan bahwa inilah momen untuk bangkit dan melawan kaphe (penjajah). Perang dalam sejarahnya selalu merupakan teater kekerasan yang digelar di ruang publik dan secara semiotik membutuhkan penandaan oposisi biner sebagai dasar lakonnya. Kronotop reformasi merupakan konsepsi yang melihat waktu setelah kejatuhan Suharto sebagai waktu yang berbeda dari sebelumnya. Ada patahan antara waktu Orde Baru dan pasca-Orde Baru. Dalam kata pengantar salah buku seri Transitional Justice (Bronkhorst, 2002), ELSAM memberikan kerangka waktu terhadap makna penerbitan buku tersebut: “SETELAH lebih 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militer yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upayaupaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah.” Waktu reformasi bukanlah waktu bagi otoritarianisme, tetapi waktu bagi keterbukaan dan demokrasi. Oleh karena kronotop adalah kategori, maka ELSAM mengadvokasi bahwa pelanggaran HAM masa lalu seharusnya menjadi elemen penting dari kategori waktu-ruang reformasi, seperti 142 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 halnya kebebasan berbicara atau supremasi sipil juga menjadi bagian dari era ini. Subjek yang diproduksi oleh kronotop ini adalah “korban” dan advokasi korban adalah penting mengingat dalam kronotop otoritarian, korban dianggap sebagai subjek yang tak-terlihat. Maka, langkah awal dalam pemulihan hakhak korban adalah bagaimana mereka bisa memberikan kesaksian sehingga dapat mengungkap ingatan traumatik mereka sebelum proses reparasi diberikan (Kasim, 2003: 123). Pembuatan dokumenter adalah aktivitas semiotik yang melibatkan kronotop beserta proses konstruksi konfigurasi multikronotop. Aktivitas ini selalu terjadi dalam kerangka kerja partisipan (Agha, 2007: 322). Pada saat itu, apa yang ada di hadapan saya adalah konstitusi korban dalam konstelasi dua kronotop yang saling bertentangan. ELSAM menginginkan kronotop reformasinya tentang korban diekspresikan melalui film dokumenter dengan menggunakan news footages dari televisi. Saya menolak hal ini karena menurut kerangka kerja semiotik saya, film adalah bagian dari kronotop reformasi yang seharusnya menjadi artikulasi baru yang independen di luar media arus utama, termasuk TV. Reformasi sesungguhnya membuka ruang baru bagi para pembuat film untuk bisa membuat film di luar logika representasi yang direproduksi oleh media kapitalistik. Dalam kerangka kerja partisipasi ini, saya membangun asosiasi semiotik antara kronotop reformasi dari ELSAM dengan kronotop film independen, sehingga bisa memberikan makna baru mengenai korban sebagai alternatif penggambaran korban oleh 143 berita-berita televisi (yang banyak mengikuti kronotop nasionalisme milik negara). Secara teknologis, teknologi video digital berkembang pesat di akhir 1990-an dan mulai menjadi medium sinematik yang sah. Lebih dari sekadar teknologi “batu pijakan”, teknologi ini memberikan perspektif baru dalam dunia sinema. Istilah film independen ketika itu sangatlah lekat dengan teknologi video digital ini karena membuka peluang bagi para sineas untuk bisa menjelajah wilayah estetika dan tema baru secara mandiri, karena secara ekonomis lebih terjangkau. Dogme 95 Vow of Chastity yang dimotori oleh sekelompok sineas Denmark adalah contoh gerakan sinema baru yang merayakan keabsahan video digital sebagai medium ekspresi sinematik dan dihargai oleh komunitas sinema dunia. Mereka membuat manifesto yang menjelaskan aturan-aturan khas dalam pembuatan film. Inti dari manifesto tersebut adalah meminimalkan artifisialitas dalam pembuatan film, seperti melarang penggunaan properti dan set tambahan di lokasi, hanya menggunakan lampu yang tersedia secara alami di lokasi, hingga kamera merekam adegan secara apa adanya dengan gaya hand-held. Sekilas seperangkat aturan tersebut seperti metodemetode dalam gaya dokumenter observasi yang mengutamakan perekaman pengalaman ketubuhan subjek dalam proses-proses sosial politik. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan Festival Film-Video Independen Indonesia pada tahun 1999 menekankan kesejajaran medium film dan video sebagai medium sinematis dengan meninggalkan perspektif lama yang melihat film dan video dalam hubungannya yang ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 hierarkis.4 Dalam konteks wacana video etnografi, harapan untuk bisa mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru juga disampirkan pada teknologi video digital. Selain memberikan kebebasan secara finansial dalam produksi video etnografi, kamera video digital juga bisa memberikan perspektif baru dalam mengonstruksi keintiman antara antropolog dan subjeknya (Bakhtin, Wright, & Holquist, 1981: 85). Kamera video digital memberikan mobilitas baru bagi antropolog untuk menjelajah kemungkinan baru dalam ranah metodologis maupun praktis. Membuat film dokumenter yang berfokus pada korban konflik bersenjata sebagai subjek adalah reaksi terhadap kronotop nasionalisme militeristik yang saya jelaskan di atas. Sikap untuk tidak berpihak pada salah satu entitas yang bertikai, tetapi berpihak pada korban yang terjebak dalam konflik, adalah suatu keniscayaan dalam advokasi politik kritis. Keberpihakan terhadap korban adalah perspektif yang pada saat itu disirkulasikan oleh kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) serta aktivis politik dan HAM, termasuk ELSAM. “Korban” menjadi kategori politik yang memiliki daya kritis baru pasca-reformasi. Visibilitas korban tidak saja hadir secara diskursif, tetapi juga secara institusional lewat pembentukan berbagai “tim pencari fakta”. Pada tanggal 23 September 1999, beberapa hari sebelum saya berangkat untuk merekam gambar di Aceh, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan diskusi publik dengan judul “Dimensi Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata: Landasan Hukum Internasional”. Poin-poin yang disampaikan adalah soal keberpihakan pada korban sebagai tindakan imperatif karena mereka dipahami sebagai pihak yang tak berdaya. Dalam konteks memperhatikan dimensi kemanusiaan dalam konflik bersenjata, Anne-Sophie Gindroz dari International Committee of the Red Cross menegaskan bahwa tugas lembaga kemanusiaan adalah memastikan kebutuhan dasar para korban terpenuhi tanpa terlibat secara politik dalam pertikaian. Korban selalu dilupakan dalam pertikaian politik, sehingga advokasi terhadap keberadaan mereka menjadi penting, seperti dikatakan dalam salah satu makalah yang dipresentasikan, “Yang menjadi perhatian kita sekarang ini adalah jatuhnya korban dari mereka yang lemah dan tidak berdaya membela dirinya sendiri. Dalam waktu yang cukup lama korban-korban tersebut dipandang sekadar sebagai catatan kaki….” (Bahar, 1999: 1). Pada penutup makalahnya, Bahar (1999) mengingatkan pentingnya membela kelompok terlemah dalam pertikaian bersenjata, yaitu perempuan, orang tua, dan anak-anak. Salah satu ikon yang banyak diungkap dan dijadikan fokus dalam gugatan para aktivis dan lembaga pembela HAM dalam kasus konflik Aceh adalah “gampoeng janda”. Istilah ini merujuk kepada kampung yang penghuninya dominan kaum perempuan dan anak-anak karena para lelaki dan suami pergi meninggalkan kampung, baik secara paksa maupun atas kemauan sendiri, terkait 4 Misalnya saja, pemerintah secara resmi menyelenggarakan dua festival film berbeda untuk dua medium berbeda yaitu Festival Film Indonesian (FFI) dan Festival Sinetron Indonesia (FSI) yang memberikan supremasi lebih kepada FFI sebagai festival utama. 144 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 dengan operasi militer. Subjek laki-laki adalah subjek yang paling rentan menjadi sasaran militer untuk diculik dan diinterogasi dengan kekerasan karena ditengarai memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan “para pengacau”. Ada banyak kampung yang dapat diidentifikasi sebagai gampoeng janda, salah satu yang paling populer ialah Kampung Cot Keng yang terletak di Kabupaten Pidie. Gampoeng janda inilah yang kemudian menjadi lokasi dari figur utama kronotop dokumenter saya. Dokumenter Testimoni Partikular Sebagai Kontra Politik: Proses Perekaman Menurut kronotop nasionalisme militeristik yang bersikulasi secara dominan di ruang publik (berita koran, TV, dan bentuk pertunjukkan publik lainnya), Aceh adalah ruang untuk berperang dan menindak para perusuh negara. Sebagai akibatnya, korban yang mendiami ruang yang sama (Aceh) juga dijadikan liyan yang atau kesezamanannya (coevality) telah disangkal (Fabian, 1983). Hal ini saya temui, misalnya ketika seorang kawan merasa aneh dengan niat saya untuk bersusah payah shooting dokumenter di daerah konflik seperti Aceh. Katanya, “Mengapa kamu ingin pergi ke Aceh? Biarkan saja Aceh merdeka. Daerah kecil yang sok!” (Danusiri, 2004). Oleh karena itu, dalam kerangka kerja saya, merekam kesaksian korban adalah sebuah chronopolitics karena saya hadir di waktu-ruang yang sama dengan para korban DOM Aceh sehingga bisa menghasilkan representasi tandingan terhadap kronotop militeristik. Kronotop yang saya konstruksi melalui proses perekaman saya sebut 145 kronotop testimoni partikular—kronotop kontra-politik yang memaknai pengungkapan lokalitas dan partikularitas dari kesaksian korban sebagai hal penting dan mendesak dalam konteks Indonesia pasca-Suharto dengan tidak menciptakan jarak dengan korban, namun justru mengonstruksi pemahaman yang intim. Perekaman (shooting) di Aceh hanya dilakukan oleh saya dan kamerawan, yaitu Rachmat Syaiful. Kami membawa kamera Mini-DV VX1000, tipe kamera yang pada saat itu sangat populer di kalangan pembuat dokumenter sebagai kamera dengan kualitas gambar terbaik namun ringan karena bentuknya berupa kamera genggam (handycam). Situasi di lapangan memang tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Dua aktivis LSM yang berbasis di Banda Aceh, Evi Zain (waktu itu tergabung di Forum LSM Aceh) dan Yusrizal (Koalisi NGO HAM), bergabung dalam tim dokumenter. Kami bergerak ke Pidie, tapi ternyata kami tidak bisa mengakses Kampung Cot Keng yang menjadi target. TNI berseliweran di mana-mana dan “kontak” (perang senjata terbuka) sedang merebak di berbagai daerah di Pidie yang memang ditengarai sebagai basis utama GAM. Setelah melalui perjalanan hampir tiga jam dengan minibus dari Banda Aceh, kami berhenti di pusat Kecamatan Mutiara di Pidie. Pada saat itu saya dan tim hanya bisa mengakses sejauh titik itu. Kekecewaan meliputi wajah-wajah kami karena tidak bisa mendatangi kampung yang telah kami rencanakan. Waktu yang kami miliki saat itu kurang dari 15 hari untuk perekaman. Solusi yang ditawarkan oleh Evi adalah beralih ke Kampung Tiro di Kecamatan Tiro/Truseb ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 sebagai lokasi perekaman. Kampung ini terkenal karena namanya yang diasosiasikan dengan Tengku Hasan di Tiro (1925-2010), salah satu pendiri GAM. Daerah ini juga masuk ke dalam periode DOM pertama atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia banyak terjadi di daerah ini karena seringnya perang bersenjata terjadi. Setelah DOM berakhir, justru daerah Tiro dianggap “aman” karena kontak senjata lebih banyak terjadi di daerah lain di seputar Kabupaten Pidie. Kami akhirnya setuju untuk menjadikan daerah ini lokasi baru perekaman dokumenter. Harapannya, kami bisa menemukan aktoraktor yang bersedia berbagi kesaksian dan pengalaman luka mereka sebagai korban konflik. Kami menginap di puskesmas Kecamatan Tiro/Truseb yang dikepalai oleh Dokter Taufik yang berasal dari Medan. Kami disarankan untuk tidak melakukan aktivitas perekaman secara terbuka, terutama untuk menghindari pantauan militer yang berkantor di markas koramil (komando rayon militer), tak jauh dari puskemas. Kami menyewa mobil bak terbuka dan pergi menuju ke arah Pegunungan Bukit Barisan untuk menemui para korban di permukiman Blang Keudah yang berjarak sekitar 30 menit dari puskesmas. Dari informasi yang didapatkan Evi dan Yusrizal, daerah Blang Keudah inilah salah satu daerah yang memiliki tingkat keparahan tinggi dalam menghadapi teror tentara Indonesia di masa DOM I. Daerah pegunungan adalah daerah strategis untuk GAM bersembunyi dan bermarkas, sehingga masyarakat yang hidup di sekitar pegunungan kerap menjadi target operasi TNI karena dicurigai membantu atau menjadi anggota GAM. Tidak banyak penduduk yang masih tinggal di perkampungan karena sebagian besar sudah mengungsi ke Masjid Abu Daud Beureuh di kota Kecamatan Mutiara. Beberapa orang dan keluarga masih tinggal di kampung untuk beberapa hari karena mengerjakan sawah mereka (Blang Keudah memiliki areal pertanian yang subur). Tidak mudah mencari para korban yang bersedia bersaksi di depan kamera. Mereka yang bersedia terdiri atas para korban yang dekat dengan mantan pemimpin desa dan memiliki informasi yang baik mengenai situasi keamanan terkini. Sesuai dengan desain video dokumenter, prioritas kami adalah untuk merekam kesaksian luka perempuan, baik yang secara langsung atau tidak langsung, mengalami kekerasan oleh militer Indonesia. Saya bersikeras untuk tinggal di kampung agar bisa merekam tidak saja kesaksian korban, namun juga kehidupan terkini keseharian mereka. Atas saran orang kampung, hal itu tidak dimungkinkan karena akan membahayakan keamanan tim dokumenter maupun orang-orang yang masih tinggal di kampung. Akhirnya kami hanya bisa ulang-alik antara puskesmas tempat kami menginap dan area permukiman Blang Keudah untuk menemui para aktor. Ketegangan terjadi antara saya dengan kamerawan, Rachmat Syaiful, tentang bagaimana merekam kesaksian para korban. Syaiful memilih untuk fokus pada aspek lisan yang dituturkan oleh para korban mengenai kesaksian, luka, dan ingatan akan kekerasan yang mereka alami, sedangkan saya tertarik pada hubungan antara aspek kelisanan dan kehidupan sehari-hari mereka. Setelah 146 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 berdiskusi, akhirnya kami menyepakati untuk menentukan terlebih dahulu praktik keseharian yang hendak direkam sesuai dengan jadwal yang direncanakan dan bukan praktik keseharian yang direkam oleh kamera tanpa antisipasi. Akan tetapi, upaya melakukan penjadwalan secara terperinci tidaklah memungkinkan dalam situasi perekaman yang penuh kewaspadaan. Bahkan pada suatu titik kami harus memperpendek rentang waktu perekaman dan segera meninggalkan kampung demi alasan keamanan. Para aktor yang kami rekam kesaksiannya dibagi atas korban pelanggaran berat dan korban pelanggaran sosial ekonomi. Selain itu, kami juga merekam penjelasan dari beberapa aktor mengenai kehidupan di Tiro selama masa operasi militer. Kami diperkenalkan oleh Ridwan, mantan staf desa dan teman Dokter Taufik, kepada para aktor sebagai mahasiswa dan orang LSM—dua identitas yang pada saat itu dikonotasikan sebagai aktor perubahan Aceh.5 Tiap aktor dipersilakan memilih sendiri lokasi untuk mereka menyampaikan kesaksian dan menunjukkan luka sebagai korban. Aisyah— suami dan dua anaknya dibunuh oleh tentara karena dituduh sebagai anggota GAM— memilih untuk bersaksi di depan rumahnya saja. Adapun Usman dengan penuh semangat mengajak kami untuk mendatangi sebuah “rumah Aceh” yang terletak di pinggir permukiman. Rumah kayu khas Aceh ini adalah tempat yang dijadikan markas Batalion Infrantri 126 selama operasi. Mardiyah yang mendengar ini juga ikut ke lokasi, bahkan kemudian mengarahkan kami untuk pergi ke 5 Pintu Satu, yaitu lokasi markas Kopassus (Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat) yang dijadikan tempat interogasi dan penyiksaan para korban. Di lokasi inilah Mardiyah memperagakan bagaimana dia dituduh telah membantu GAM dengan menyediakan beras dan diinterogasi dengan penyiksaan. Kelompok pemuda yang dipimpin Faisal dan Ismet memperagakan bagaimana mereka dipaksa untuk jaga malam dan dilatih militer untuk membantu tentara beroperasi. Dalam keseluruhan perekaman ini, ingatan atas pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan yang dialami oleh para aktor dipertunjukkan tidak saja dalam ekspresi ketubuhan, tetapi juga melalui pertunjukkan “geografi teror” di daerah Tiro. Lewat mobilitas dari lokasi ke lokasi yang diarahkan oleh para aktor, tim dokumenter bisa merasakan dan menyaksikan bahwa teror yang dibangun oleh militer Indonesia saat DOM dilakukan dengan mengubah Tiro menjadi lanskap pengecualian (landscape of exception) yang mengubah kehidupan warga kampung sebagai warga negara menjadi hidup yang hampa (bare life) sehingga mereka diingkari hak-haknya dan bisa dibunuh (Agamben, 1998). Kronotop sebagai “ekspresi spasiotemporal” (temporal-spatio expression) adalah leitmotif yang dapat menjadikan segala sesuatu menjadi bermakna, sebagaimana ditegaskan oleh Bakhtin (1981: 258), “Consequently, every entry into the sphere of meanings is accomplished only through the gates of the chronotope.” Bagaimana orang Tiro memahami perubahan kampung mereka menjadi geografi teror? Ada dua folklor yang SIRA (Sentra Informasi Refrendum Aceh) adalah satu lembaga sipil yang punya peran besar dalam perubahan politik di Aceh yang terdiri dari mahasiwa, aktivis dan santri. 147 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 disampaikan kepada saya: Hikayat Perang Sabil (dalam versi lokal Tiro) dan pepatah kameng gampoeng. Dalam hikayat perang jelas disebutkan bahwa periode penerapan DOM di Aceh adalah “masa yahudi duk rumoh geudong” (masa gelap di rumah geudong). Rumah geudong menjadi penanda dari geografi teror yang berlangsung di kampung Tiro. Masyarakat selalu bertanya kenapa mereka yang selalu dijadikan sasaran penyiksaan? Pepatah “kameng glee nyang pajoh jagung, kameng gampoeng nyang keunong geulawa, ” (kambing gunung yang makan/curi jagung, kambing kampung yang kena pukul) menjadi metafora yang mereka gunakan untuk menjelaskan pengalaman buruk mereka. Mobilitas kami menjelajahi kampung untuk menemui para aktor kemudian tersendat ketika kami menemukan bahwa rumah penyiksaan di Pulo Kenari sudah runtuh. Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa rumah itu tiba-tiba berubah menjadi puingpuing rata dengan tanah. Dua hari kemudian datang pesan kepada kami bahwa Komandan Koramil ingin bertemu dengan saya. Syaiful segera menyembunyikan kaset-kaset hasil perekaman dan Ismet yang juga tinggal di puskesmas selama proses perekaman menyembunyikan kertas teks Hikayat Perang Sabil di balik pelapis dinding. Saat saya berkunjung ke kantor koramil, saya jelaskan bahwa kami sedang melakukan penelitian mengenai kondisi ekonomi masyarakat pascaDOM. Untuk memperkuat penjelasan tersebut, saya pun menunjukkan surat pengantar dari ELSAM yang menyatakan hal ini.6 Kami berunding setelahnya dan memutuskan untuk segera kembali ke Banda Aceh dalam dua hari ke depan. Suasana politik memang mulai genting karena tuntutan agar dilaksanakan referendum di Aceh semakin masif dikampanyekan oleh SIRA dan mahasiswa di Aceh.7 Adegan terakhir yang kami rekam adalah adegan Faisal, Ismet, dan tim pemuda memperagakan pelatihan ala militer yang dipaksakan oleh TNI kepada mereka. Selain itu, kami juga merekam Teungku Iskandar mempertunjukkan pembacaan Hikayat Perang Sabil di sebuah dataran yang agak tinggi menjauh dari perkampungan. Teungku Iskandar sengaja memilih tempat yang sepi tersembunyi karena hikayat tersebut telah menjadi simbol perlawanan politik yang populer. Kami meninggalkan Tiro dua hari lebih cepat dari yang kami rencanakan. Korban sebagai Montase: Proses Editing Proses editing dengan teknologi digital belum sepenuhnya tersedia pada saat itu di Jakarta. Dono, sang editor, harus mengalihkan rekaman dari kaset Mini-DV ke kaset Betacam karena alat untuk memutar kaset Mini-DV belum tersedia. Proses dimulai dengan membuat catatan tentang seluruh adegan yang telah direkam. Saya sebagai sutradara, kemudian bekerja membuat skenario baru untuk menyusun kisah dalam bentuk video dokumenter pendek. 6 Surat izin ini sudah saya persiapkan sebelumnya dan tidak menyebutkan soal pelanggaran HAM. Akhirnya pada tanggal 8 November 1999, SIRA berhasil membuat demonstrasi besar menuntut referendum Aceh. Skala demonstrasi ini berhasil memaksa elit politik dan agama di Aceh untuk ikut mendukung pilihan referendum (lihat Reid, 2004) 7 148 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Sebagaimana tergambar pada judulnya, video dokumenter ini menggunakan folklor sebagai leifmotif ekspresi spasiotemporal dalam menstrukturkan aspek naratif film—suatu strategi yang terinspirasi dari film dokumenter Moving the Mountain (sutradara Michael Apted, 1994) tentang protes tahun 1989 di Tiananmen Square, Beijing. Film dibuka dengan memperlihatkan situasi kampung pasca-Jenderal Wiranto mencabut DOM namun mengirimkan tentara PPRM untuk menebar teror baru. Hasilnya adalah padi yang rusak terbengkalai dan penduduk kampung pergi mengungsi ke kota. Lewat adegan di pengungsian Masjid Abu Daud Beureuh, Pidie, ditampilkan situasi pengungsian yang tidak layak. Sekuen Satu: strukturnya adalah interfase antara Teungku Iskandar membacakan Hikayat Perang Sabil di atas bukit dengan para aktor mempertunjukkan kesaksian dan luka mereka yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Pada babak ini tampil Aisyah (suami dan dua anak lelakinya dibunuh di depan matanya sendiri), Kartini (anak lakinya diciduk oleh tentara), Mardiyah dan Usman (keduanya dicurigai membantu GPK/Gerakan Pengacau Keamaan—istilah pemerintah Indonesia untuk GAM—dan mengalami interogasi dan penyiksaan fisik). Sekuen Kedua: dibuka dengan adegan anak perempuan Aisyah yang menjelaskan apa yang terjadi pada ibunya setelah peristiwa penembakan terjadi. “Orang kampung diam saja. Mereka menjaga jarak dengan kami. Mereka mau dihubungkan dengan kami atau GPK,” Fatimah, sang anak, menjelaskan dalam bahasa Aceh. Fokus dari bagian ini adalah menjelaskan kepada para penonton 149 bahwa situasi daerah Tiro yang dikuasai oleh tentara membuat penduduk susah bekerja dan bergerak di luar rumah, terutama bagi mereka yang sawahnya dekat dengan pegunungan. Hal ini menggambarkan pelanggaran hak sosial-ekonomi dari diberlakukannya operasi militer. Pada bagian inilah ditampilkan adegan-adegan kesaksian dari para pemuda Tiro yang dipaksa ikut latihan militer dan berjaga keamanan di kampung. Lewat penjelasan Dokter Taufik, penonton menjadi tahu bahwa sejak tertembaknya Danramil (Komandan Rayon Militer) dan seorang dokter puskesmas di tahun 1989, tidak ada lagi dokter yang ditempatkan di Puskesmas Tiro. Bila pada sekuen pertama moda representasinya adalah gabungan antara moda puitik dan moda pertunjukkan (performance), maka pada sekuen kedua moda yang utama adalah ekspositoris (penjelasan). Masalah kemudian muncul: bagaimana menutup dokumenter ini? Di lapangan, Evi pada suatu waktu bercanda dengan Azimah, putri remaja Aisyah. Oleh karena mereka bercanda dalam bahasa Aceh, saya tanyakan apa yang mereka tertawakan. Setelah mendengar penjelasan mereka, saya pun memutuskan untuk merekam ulang percakapan satire itu dengan kamera. Adegan yang tervisualisasi ialah: Evi bertanya, “Kapan akan menikah?” Dijawab oleh Azimah, “Setelah merdeka, bila ada yang mau.” Evi kembali bertanya, “Kenapa setelah merdeka?” Dengan cekikikan, Azimah menjawab, “Lebih baik menikah setelah itu. Untuk apa menikah kalau terus khawatir? Bagaimana kalau tentara mengambil suami saya dan dia disiksa? Saya akan jadi janda. Saya jadi sedih. Jadi, lebih baik merdeka dulu.” ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Setelah melihat antusiasme anak-anak Aisyah dalam menjawab pertanyaan semacam ini, Evi dan saya menanyakan pertanyaan serupa ke aktor-aktor lain. Namun, percakapan pendek Evi dengan Azimah tetap menjadi adegan yang menarik bagi saya tanpa terlalu paham sepenuhnya ketika itu kenapa saya sedemikian tertarik dengan adegan tersebut. Ketertarikan saya terhadap adegan satire itu bisa dipahami dalam beberapa perspektif. Pertama, berkenaan dengan cara korban sebagai subjek diproduksi oleh kronotop nasionalisme otoritarian. Dalam studinya terhadap pelaporan Majalah Tempo tahun 2001 mengenai konflik Aceh, Siegel (2002) fokus pada pandangan kelas menengah yang tidak peduli terhadap konflik tersebut dan setuju pada penanganan militeristik dengan mengirimkan pasukan lebih banyak ke Aceh (ini tercermin dari polling pendapat pembaca Tempo). Salah satu karakter dari nasionalisme Orde Baru ialah mengubah pandangan terhadap “kelas bawah” (underclass) dari “rakyat”—yang berarti “kekuatan politik aktif” (an active political force) yang khas Orde Lama—menjadi “massa”—yang berarti kerumunan—sebagai konsekuensi dari ideologi persatuan bangsa. Siegel (2002) menunjukkan bahwa ketika Tempo melaporkan berita mengenai konflik, rakyat Aceh digambarkan hanya sebagai korban-korban pasif (“Acehnese are passive victims”) yang apolitis tanpa aliansi politik yang jelas. Bahkan tidak dijelaskan oleh Tempo bahwa korban yang kebanyakan petani menjadi simpati kepada GAM justru karena teror TNI; dan tidak dijelaskan pula bahwa para mahasiswa sesungguhnya tidak setuju dengan politik GAM yang berkarakter etnonasionalisme (Siegel, 2002). Kronotop testimoni partikular dalam dokumenter Kameng Gampoeng adalah kronotop tandingan yang mengedepankan korban bukan sebagai subjek yang pasif. Satire Azimah mengungkapkan hal itu. Azimah bukanlah korban sebagaimana yang dilaporkan oleh Tempo: pasif, anonim, dan tidak perlu dijelaskan posisi politiknya karena bagian dari “massa” yang apolitis belaka. Justru sebaliknya, Azimah adalah bagian dari rakyat yang bisa memiliki pemikiran politik, sehingga dia menjadi bagian dari kekuatan politik baru. Humor satire sebagai strategi politik memiliki kekuatan dalam hal “… mengombinasi kepolosan dan keseriusan sebagai cara yang bisa mengubah hubunganhubungan dan melampaui rasionalitas” (Sorensen, 2008). Azimah paham bahwa menurut rasionalitas negara, TNI akan bisa menjaga keamanan nasional dengan baik dan keamanan akan segera tercipta. Dengan satire, Azimah melakukan kontra-logika dengan meng-irasionalitas-kan retorika negara yang me-rasionalitas-kan keamanan Aceh sebagai strategi yang penting bagi stabilitas teritorial tentara dalam memelihara eksistensi mereka. Sebagai tanggapan atas homogenisasi dan netralisasi korban sebagai massa/kerumunan, maka pada bagian akhir video saya mengonstruksi sebuah montase (montage) yang mengindividualisasi setiap aktor dalam mengungkapkan pemaknaan mereka terhadap hubungan antara pengalaman kekerasan yang mereka alami dengan situasi politik Aceh kontemporer. Dengan demikian, sekuen terakhir dibuka dengan Hikayat Doda Idi yang dinyanyikan oleh seorang nenek di pengungsian di 150 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Beureun—lagu pengantar tidur anak yang diliputi oleh kisah kepahlawanan perang melawan kaphe (penjajah) dan digunakan dalam naratif film karena popularitasnya pada saat itu sebagai media ungkap keluhan orang Aceh terhadap kekerasan militer (Al Chaidar, 1998). Hal ini memperjelas struktur naratif atas waktu dalam dokumenter: hikayat masa lalu mengarakterisasi geografi teror di dalam dua sekuen awal (sekuen ke-1 & 2), sedangkan hikayat masa kini yang dipenuhi imajinasi kemerdekaan adalah gambaran sekuen penutup (sekuen ke-3). Sekuen penutup menjukstaposisi kumpulan wawancara dengan tujuh aktor dan potongan-potongan imaji yang menggambarkan situasi teror militer serta ekspresi merdeka dan referendum. Kumpulan terakhir ini terdiri atas footage berita TV mengenai pelanggaran HAM Simpang KKA, Kampung Kandang, dan Beutong, dan juga grafiti jalanan tentang referendum, ditambah satu imaji pengibaran bendera GAM (yang di lapangan kami rekam karena keinginan Ismet dan kawan-kawan untuk menyertakan imaji tersebut di dalam video dokumenter). Lima aktor di awal sekuen memberikan pernyataan bahwa mereka ingin merdeka atau referendum diselenggarakan agar bisa lewat dari teror. Pernyataan Kartini dan satire Azimah menutup sekuen tersebut. Kartini, dalam adegan, hanya diam ketika ditanya, “Ibu mau apa?” Setelah diam sejenak, Kartini menjawab, “saya tidak tahu mau jawab apa.” Sejenak kemudian pengarahan datang dari anak lelakinya agar Kartini menjawab dengan aspirasi ingin berpisah dengan Indonesia dan Jawa. Jukstaposisi ini hendak memberikan persepsi bahwa ada “hubungan yang 151 transparan” antara aspirasi kemerdekaan dengan pengalaman luka dari para aktor. Montase adalah metodologi editing yang tujuannya “mengidealisasikan ruang-waktu” (idealization of space and time) (Umberto Barbaro dikutip Chanan, 2000) karena waktu dan ruang mengalami pengorganisasian baru lewat teknik editing, terlepas dari realitas waktu-ruang saat perekaman, demi mengungkap sebuah makna yang ideal. Montase selalu identik dengan dokumenter ekspositoris karena memiliki tujuan “… to impose its terpretation of an event on the spectator” (Bazin, 2005: 26). Dengan demikian, transparansi hubungan antara pernyataan para aktor dengan ikon-ikon kemerdekaan dan referendum adalah hasil konstruksi saya sebagai pembuat film. Kebisuan Kartini saat ditanya soal masa depan dan satire Azimah menunjukkan bahwa korban dan pengalaman teror bukanlah fenomena yang sederhana dan mudah dideteksi. Video dokumenter ini telah mengonstruksi visibilitas para aktor sebagai korban DOM dengan testimoni dan pemeragaan pengalaman teror dan kekerasan yang mereka alami. Dari visibilitas ini diharapkan penonton/publik bisa memahami dimensi dari para aktor sebagai korban politik. Namun, apakah para aktor tersebut hidup hanya sebagai korban? Dimensi kemanusiaan dari para aktor hanya mendiami dan tinggal di ranah invisibilitas dari video dokumenter— tersembunyi dari saya sebagai sineas dan penonton. Kronotop nasionalisme telah menjadikan korban sekadar “massa/kerumunan”, sehingga mereka tidak terdengar suaranya di Jakarta (Siegel, 2002). Kendati demikian, tak dimungkiri bahwa visibilitas korban dalam dokumenter ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 ini turut melanggengkan reproduksi dari oposisi biner “penindas–korban” (oppressor– victim) dan gagal untuk memahami multidimensionalitas subjek politik yang disebut korban itu. Bagaimana faktor kelas, gender, dan etnisitas berperan dalam proses rekonstruksi subjektivitas korban? Bukankah korban itu tidak hanya orang Aceh saja, namun juga petani Jawa yang hidup di Aceh yang juga menjadi korban kekerasan GAM?8 Dualisme TNI–korban Aceh juga telah mengukuhkan eksistensi GAM sebagai “single bad guys”, menafikan keragaman dan pertentangan dalam tubuh GAM, dan pada gilirannya mereduksi porsi tanggung jawab (liability) negara dalam penyelesaian kasus HAM masa lalu (Drexler, 2006). Lantas, model partikularitas macam apa yang saya praktikkan dalam dokumenter ini? Montase pada prinsipnya adalah mengombinasi unit-unit ke dalam suatu komposisi waktu dan ruang yang baru demi produksi makna yang baru. Bila kita ikuti pandangan MacDougall (1998) bahwa gaya sinema adalah teori pengetahuan, maka montase adalah model pengetahuan yang memahami yang-partikular sebagai unit yang berkarakter atau berdimensi tunggal, sehingga bisa dengan mudah dijukstaposisi dengan unit partikular lain untuk bisa memberikan gambaran mengenai totalitasnya. Partikularitas dalam model konstruksi partwhole ini melihat unit sebagai manifestasi dari totalitas keutuhan (whole). Individu dalam model ini memiliki kronotop yang abstrak karena muncul sebagai subjek yang mewakili generalisasi ketimbang mengartikulasikan keberagamannya. 8 Sebaliknya, kronotop partikularitas dalam etnografi, saya berargumen, adalah memahami subjek dalam kontinuitas, seperti yang diajukan oleh Abu-Lughod (1991) dengan kategori “etnografi dari yangpartikular” (ethnographies of the particular). Partikularitas semacam ini tidak melihat subjektivikasi sebagai proses yang transparan, melainkan melihat individu dalam ruang dan waktu konkret senantiasa bergulat dengan proses menjadi subjek yang secara objektif dipaksakan oleh institusi-institusi sosial politik. Dengan demikian, antara individu (aktor sosial) dengan subjek (sosial atau politik) tidak terdapat hubungan langsung dan transparan, melainkan senantiasa dalam proses negosiasi yang kompleks dalam ruang waktu yang konkret. Saya sebut sebagai kontinuitas karena para aktor hidup dalam multidimensi individualitasnya yang berkesinambungan sebagai spektrum. Epilog Dari dua kontras pemahaman mengenai mengenai partikularitas di atas, saya menunjukkan bahwa video dokumenter Kameng Gampoeng hanya fokus pada penunggalan dimensi para aktor ke dalam satu tipe, yaitu korban DOM Aceh. Satire Azimah dan kebisuan Kartini telah membangkitkan rasa ingin tahu saya untuk memahami pengalaman mereka dan para aktor lainnya melampaui identitas mereka sebagai korban. Dengan memahami spektrum individualitas mereka dan bagaimana mereka bergulat dengan perubahan hubungan-hubungan sosial berkenaan dengan posisi subjektif mereka https://www.liputan6.com/news/read/57093/warga-desa-kem-gam-membantai-transmigran 152 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 sebagai korban dan aktor sosial, kita bisa memahami bahwa bagi seseorang, menjadi korban kekerasan HAM bukan hanya disrupsi dalam keseharian, tetapi juga bagian dari keseharian yang terus berlanjut (Das, 2008: 195). Sinema, sebagai medium sensori, seharusnya bisa mengungkap visibilitas spektrum tersebut dan bukan menyembunyikannya. Ucapan Terima Kasih Tulisan ini saya dedikasikan kepada almarhum Professor Mary Steedly (December 16, 1946 - January 4, 2018) yang senantiasa membimbing dan menginspirasi saya hingga akhir hayatnya. Terima kasih kepada Professor Byron Good yang telah memberikan waktu kepada saya untuk bisa menuliskan karya ini. Saya juga ucapkan terima kasih kepada dua reviewer anonim. Terakhir, saya ucapkan terima kasih sebagai tim yang memungkinkan film dokumenter dalam tulisan ini bisa terwujud. Mereka adalah Ifdhal Kasim, Sandra Moniaga, Ichwandiardono, Rachmat Syaiful, Thoersi Argeswara, Dwi Koendoro BR, Cik Dewasih, Dini Aulia, Sugiyanto, Evi Zain, Yusrizal, Ayi Sarjevo dan Renati Adriani. Referensi Abu-Lughod, Lila. 1991 “Writing against Culture,” in Richard G. Fox (ed.), Recapturing Anthropology: Working in the Present. Santa Fe, N.M.: School of American Research Press, Pp. 137– 62. Agamben, G. 1998 Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Stanford University Press. Agha, A. 2007 "Recombinant Selves in Mass Mediated Spacetime." Language & Communication 27(3): 320-335. Alatas, I. F. 2016 "The Poetics of Pilgrimage: Assembling Contemporary Indonesian Pilgrimage to Ḥaḍramawt, Yemen." Comparative Studies in Society and History, 58(03): 607–635. https://doi.org/10.1017/S0010417516000293 Al-Chaidar, Ahmad, S. M., & Dinamika, Y. 1999 Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, 1989-1998. Pustaka Al-Kautsar. 153 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Anderson, B. 2006 Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso. Bakhtin, M. M., Wright, J., & Holquist, M. 1981 The dialogic imagination: Four essays. University of Texas Press. Bazin, A. 2005 What Is Cinema? (1976th ed.). University of California Press. Bronkhorst, D. 2002 Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di berbagai Negara. ELSAM Jakarta. Bruzzi, S. 2006 New Documentary. Routledge. Carey, J. W. 1992 Communication as Culture: Essays on Media and Society. Psychology Press. Das, V. 2008 "Violence, Gender, and Subjectivity." Annual Review of Anthropology 37(1): 283– 299. https://doi.org/10.1146/annurev.anthro.36.081406.094430 Derrida, J. 1972 "Signature Event Context," in A. Bas (trans.), Margins of Philosophy (1982nd ed.). Chicago: Univ. of Chicago Press, Pp. 307–330. Drexler, E. 2006 "History and Liability in Aceh, Indonesia: Single Bad Guys and Convergent Narratives." American Ethnologist 33(3): 313–326. https://doi.org/10.1525/ae.2006.33.3.313 Good, M.-J. D., Hyde, S. T., Pinto, S., & Good, B. J. 2008 Postcolonial Disorders. University of California Press. Hanan, D. 2012 "Observational Documentary Comes to Indonesia," in T. Baumgartel (ed.), Southeast Asian Independent Cinema, Pp. 105–116. https://doi.org/10.5790/hongkong/9789888083602.003.0009 154 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Kasim, I. (ed.). 2003 Kebenaran vs. keadilan: Pertanggungjawaban pelanggaran HAM di masa lalu. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Larkin, B. 2008 Signal and Noise: Media, Infrastructure, and Urban Culture in Nigeria. Duke University Press. MacDougall, D. 1998 Transcultural Cinema. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=hoxUQaz3cuEC&printsec=frontcover&dq=Mac Dougall+Ethnographic&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjVkMeD8srhAhVNFHIKHUhJ CTQQ6AEIKjAA#v=onepage&q=MacDougall%20Ethnographic&f=false 2001 "Renewing Ethnographic Film: Is Digital Video Changing the Genre?" Anthropology Today 17(3): 15–21. https://doi.org/10.1111/1467-8322.00060 Mitchell, W. J. T. 2005 What Do Pictures Want?: The Lives and Loves of Images. University of Chicago Press. Reid, A. 2004 Spyer, P. 2002 "War, Peace and the Burden of History in Aceh." Asian Ethnicity 5(3): 301–314. https://doi.org/10.1080/1463136042000259761 "Fire without Smoke and Other Phantoms of Ambon’s Violence: Media Effects, Agency, and the Work of Imagination." Indonesia 74: 21. https://doi.org/10.2307/3351523 Stasch, R. 2011 "Textual Iconicity and the Primitivist Cosmos: Chronotopes of Desire in Travel Writing about Korowai of West Papua: Chronotopes of Desire in Travel Writing about Korowai of West Papua." Journal of Linguistic Anthropology 21(1): 1–21. https://doi.org/10.1111/j.1548-1395.2011.01080.x Steedly, M. 1999 "The State of Culture Theory in the Anthropology of Southeast Asia." Annual Review of Anthropology 28(1): 431–454. https://doi.org/10.1146/annurev.anthro.28.1.431 155 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 2013 "Transparancy and Apparition: Media Ghosts of Post-New Order Indonesia," in School of Advanced Research Advanced Seminar Series. Images That Move, Pp. 257– 294. Santa Fe: SAR Press. 156