Resiliensi

Coronavirus (COVID-19) telah berdampak kepada seluruh dunia, hal ini
menyebabakan kecemasan, ketakutan dan stress secara global. Dampak yang dirasakan
manusia berbeda-beda tergantung dari resiliensi seseorang. Reseiliensi dapat
membantu seseorang tetap aman, baik dan efektif saat situasi krisis seperti kondisi saat
ini yaitu Pandemi COVID-19. Tujuan literature ini untuk mengidentifikasi pentingnya
resiliensi pada kondisi wabah covid-19 saat ini.

Sekolah merupakan lembaga yang dapat memberikan pengaruh paling besar bagi kebanyakan siswa-siswanya dalam meningkatkan resiliensi (Doll, 2013). Diperlukan adanya intervensi tingkat sekolah terutama yang mengambil perspektif pencegahan. Terdapat dua kelompok faktor pelindung yang terkait dengan resiliensi pada siswa, yaitu yang bersifat internal dan eksternal. Program sekolah yang dirancang untuk mendorong ketahanan dapat digunakan sebagai mekanisme penyokong faktor internal dengan bekerja di tingkat siswa (individu). Faktor eksternal dapat ditingkatkan melalui penerapan perubahan lingkungan sekolah. Dalam meningkatkan resiliensi siswa, perlu diperhatikan juga resiliensi guru karena pekerjaan mereka dapat menjadi sumber stres dan membahayakan resiliensi mereka sendiri. Juga efektivitas guru dalam meningkatkan kompetensi sosial dan emosional serta resiliensi siswa secara langsung dipengaruhi oleh kesejahteraan sosial dan emosional serta resiliensi guru itu sendiri. Siswa maupun guru perlu dilatih untuk memiliki faktor-faktor yang dapat mengembangkan resiliensi mereka.
Kata Kunci: resiliensi, sekolah, siswa, guru.

ABSTRAK Dalam menjalankan tugas anggota KSR dituntut untuk mampu bertahan dalam segala situasi bencana yang disebut resiliensi. Salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah self-efficacy. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada anggota KSR-PMI di Jakarta Barat dalam penanggulangan bencana banjir. Rancangan penelitian ini adalah studi komparatif non-eksperimental dengan teknik stratified purposive sampling dengan sample 100 anggota KSR-PMI Jakarta Barat. Self-efficacy diukur menggunakan skala self-efficacy dengan besaran reliabilitas (α)=0,950 dengan 50 item valid. Resiliensi diukur dengan menggunakan skala besaran resiliensi dengan reliabilitas (α)=0,918 dengan 38 item valid. Berdasarkan hasil uji regresi linear diperoleh pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi sebesar Y=37,063 + 0,565x dengan sig (p) = 0,000 ; p < 0,05, yang artinya hipotesis diterima. Diketahui juga tingkat anggota KSR dengan resiliensi rendah lebih banyak dibandingkan dengan resiliensi tinggi. Jenis kelamin dan usia anggota KSR berpengaruh terhadap resiliensi. ABSTRACT In their duties, KSR members are required to be able to survive in any disaster situation called resilience. One of the factors that affect resilience is self-efficacy. The purpose of this study was to determine the effect of self-efficacy toward the resilience of KSR-PMI members in West Jakarta in flood disaster countermeasure. The study design is a comparative study of non-eksperimental with stratified purposive sampling with a 100 KSR-PMI West Jakarta members as sample. Self-efficacy was measured using self-efficacy scale with the amount of reliability (α) = 0.950 with 50 items valid. Resilience was measured using a scale of magnitude of resilience with reliability (α) = 0.918 with 38 items valid. Based on test results obtained by linear regression influence of self-efficacy toward the resilience is Y = 37.063 + 0.565x with sig (p) = 0.000; p <0.05, which means that the hypothesis is accepted. Also known more KSR member had low resilience level compared to those with high resilience level. Gender and age of members of KSR affect the level of resilience.

Penelitian yang dibukukan ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di tujuh propinsi serta merumuskan peluang pengembangan PKH di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, kondisi RTSM pasca PKH lebih baik daripada kondisinya sebelum PKH, meskipun di beberapa propinsi justru mengalami penurunan status sosial ekonomi dan penurunan ketangguhan (resiliensi) Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Penelitian ini mendiskusikan dan merekomendasikan, antara lain, sebagai berikut: (1) Asumsi filosofis dan etis mengenai orang miskin perlu didudukkan kembali secara tepat sebagai landasan pelaksanaan PKH; (2) Dalam pelaksanaannya, PKH perlu memperhatikan rantai proses yang nampak dalam analisis jalur, sejak pemberian bantuan sampai dengan peningkatan partisipasi RTSM dalam bidang pendidikan dan kesehatan; (3) Unit sasaran program adalah keluarga, bukan rumah tangga, karena keduanya memuat pengertian yang berbeda; (4) Berdasarkan kenyataan belum tercapainya korelasi prediktif positif PKH, exit peserta PKH tahun 2007 sebaiknya ditunda; (5) Peserta PKH harus dikondisikan sejak awal bahwa dalam jangka waktu tertentu, mereka akan mengalami exit; (6) Sebagai ujung tombak, deskripsi kerja pendamping membutuhkan reorientasi dan/atau revitalisasi, mengarah pada fokus perubahan perilaku keluarga peserta program PKH kepada hal-hal yang bersifat produktif dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosialnya; (7) Terkait dengan validitas data peserta PKH (exclusion and inclusion errors), petugas pendata sebaiknya melibatkan masyarakat setempat sehingga sasaran program lebih tepat; (8) PKH sebagai program perlindungan sosial diintegrasikan ke dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional; (9) Perpanjang bantuan akses pendidikan anak-anak dari RTSM hingga jenjang SLTA.

Sering kali kita menemukan pekerja yang sangat mudah patah dan putus asa pada waktu me ghadapi situasi yang sulit, baik di pekerjaan maupun di kehidupan sehari-harinya. Ia merasa apa yang dihadapinya sangat berat dan dia sudah berusaha untuk mengatasinya tetapi sampai belum berhasil. Tidak hanya itu, ia bahkan sering kali menyalahkan lingkungan dan orang lain mengapa hal ini terjadi pada dirinya, hal ini menyebabkan ia tidak berusaha lagi untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Sementara itu, ada juga individu-individu yang ulet, tekun, tegar dan tidak mudah menyerah bila menghadapi kesulitan, masalah, bahka kegagalan dalam hidup. Bila menghadapi masalah, kesulitan dan kegagalan, individu tersebut akan berusaha untuk bangkit dan mencoba serta berjuang kembali sampai ia berhasil. Kondisi di mana seseorang tidak mudah patah dan berusaha bangkit dari kegagalan yang dihadapinya disebut dengan resiliensi. Resiliensi memiliki peran penting bagi pengembangan individu, karyawan. maupun organisasi, karena dengan adanya sikap dan perilaku yang resilien maka individu akan tidak mudah menyerah serta bangkit kembali dari kepurukan yang dideritanya. Hal ini didukung pula oleh Rao (2010) yang menyatakan bahwa resiliensi ditempat kerja berhubungan dengan kebahagiaan di tempat kerja. Topik relisiliensi itu sendiri sudah sekitar satu dekade ramai dibahas oleh para pakar psikologi, khususnya psikologi positif, dan perilaku organisasi antara lain adalah
Luthans dkk., (2007; 2015) dengan menyatakan bahwa resiliensi merupakan salah satu sikap dan perilaku yang perlu dimiliki oleh seseorang yang merupakan salah satu dimensi dari modal psikologis, yang terdiri dari harapan, efikasi, resiliensi, dan opti- misme (HERO). Pernyataan ini ditunjang pula oleh beberapa penulis mengenai resiliensi (jackson dkk., 2007; Zolli & Healy, 2012) yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan alat penting bagi seseorang untuk dapat bertahan di dunia kerja. Selain itu, Garbarino (2011) juga menyatakan dalam bukunya bahwa resiliensi merupakan kosep psikologi positif yang akan merubah seseorang menjadi lebih baik.

Reivich dan Shatte (2002) mendenifisikan resiliensi sebagai kemampuan hidup untuk merespon dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan adversity atau  trauma, dimana hal tersebut sangat penting untuk mengendalikan tekanan hidup sehari-hari seseorang.(Reivich dan Shatte 2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk Resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. Hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki tujuh kemampuan tersebut dengan baik.Menganalisis rencana tesis dengan menggunakan pyramid question. Salah satu alat pengajaran yang mudah ditempatkan di tangan seorang guru adalah pertanyaannya. Namun banyak guru menggunakannya dengan ceroboh atau gagal melihat kemungkinannya untuk mempromosikan pembelajaran yang efektif (Aweke, 2015).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel resiliensi memoderasi pengaruh kepuasan karyawaan terhadap intensi turnover. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan golongan 4 dan 5 atau pada jabatan kepala bagian dan supervisor yang bekerja di PT. Untung Bersama Sejahtera yang merupakan karyawan tetap, dengan sampel sebanyak 100 responden. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.Teknik pengumpulan data dengan kuesioner.Analisis data menggunakan teknik analisis Moderated Regression Analysis (MRA) dengan bantuan SPSS.Hasil analisis data menunjukkan bahwa resiliensi bukan sebagai variabel moderating yang mempengaruhi kesejahteraan terhadap kinerja karyawan. Kata kunci : Resiliensi, kepuasan kerja, intensi turnover.

Calvert K and Simandan D (2010) Energy, space, and society: a reassessment of the changing landscape of energy production, distribution, and use Journal of Economics and Business Research XVI(1), pp. 13-37.
ABSTRACT: While geography has always mattered for the energy sector, the relative effects of location and distance on the economics of energy regimes are increasing as we begin to deploy more renewable energy technologies. This reintroduction of the friction of distance is leading to an energy landscape that is far different from fossil-based regimes. The new energy paradigm, based as it is upon the physics and the economics of renewable energy, is being reflected in the landscape as distributed, decentralized, and diversified patterns of energy generation. Because the increased use of renewable energy technologies is beginning to change the spatial patterns of political and socioeconomic activities, a thorough understanding of these patterns is crucial to increasing the socio-political acceptability of new technologies and to avoiding the socially costly unintended consequences of policy and investment decisions.  This paper proposes a theoretical foundation upon which economists and economic geographers could scaffold their analyses of the spatial characteristics of the economics of energy use.  To this end, we bring together two complementary conceptualizations of economic geography: firstly, as the study of the effects of location and distance on energy economics, and secondly, as the study of the ways in which political, economic, and technological energy-related practices give rise to particular spatial patterns of socio-economic welfare. We end the paper by developing the concept of energy rationality and showing how it relates to discussions of metarationality, common sense, and wisdom.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel resiliensi memoderasi pengaruh kepuasan karyawaan terhadap intensi turnover. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan golongan 4 dan 5 atau pada jabatan kepala bagian dan supervisor yang bekerja di PT. Untung Bersama Sejahtera yang merupakan karyawan tetap, dengan sampel sebanyak 100 responden. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.Teknik pengumpulan data dengan kuesioner.Analisis data menggunakan teknik analisis Moderated Regression Analysis (MRA) dengan bantuan SPSS.Hasil analisis data menunjukkan bahwa resiliensi bukan sebagai variabel moderating yang mempengaruhi kesejahteraan terhadap kinerja karyawan. Kata kunci : Resiliensi, kepuasan kerja, intensi turnover. 1. Latar Belakang Dewasa ini isu perpindahan karyawan (employee turnover)merupakan salah satu topik yang senantiasa menarik dan dianggap penting bagi ilmuan maupun praktisi.employee turnover merupakan topik yangmenarik dan dianggap penting karena employee turnoverdapat mempengaruhijalannya organisasi secara keseluruhan. Tingginya tingkat turnover karyawan telah menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan. Woods dan Macaulay (1989) menjelaskan bahwa turnover yang tinggi pada perusahaandapat mengganggu operasi, melahirkan permasalahan moral

ABSTRAK Permasalahan yang sering dihadapi mahasiswa ketika ingin mendapat gelar sarjana adalah skripsi. Skripsi merupakan tugas akhir yang ditempuh oleh mahasiswa sebagai syarat untuk wisuda dan untuk meraih gelar S1. Pada umumnya seseorang mendapat gelar sarjana dengan kurun waktu 4 tahun, namun ada pula yang menyelesaikan studi S1 kurang atau lebih dari 3,5 tahun. Mereka yang cepat mampu melewati hambatan, dan mereka yang lambat cenderung menunda mengerjakan skripsi. Kemampuan untuk melewati hambatan-hambatan tersebut termasuk orang-orang yang memiliki resiliensi yang baik. Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Salah satu pendekatan yang dipandang tepat untuk meningkatkan resiliensi adalah rational emotive behavior theraphy.Dengan terapi ini, dapat membantu mahasiswa untuk berfikir secara rasional dan dapat menyelesaikan permasalahan atau hambatan-hambatan yang dialami saat menyusun skripsi. Kata kunci :konseling islami, terapi rasional emotif behavior, resiliensi ABSTRACT Problems that are often faced by students when you want to get a college degree is the thesis. Thesis is the final project is taken by students as a requirement for graduation and for a degree S1. In general, someone got a bachelor's degree with a period of 4 years, but there is also completing studies S1 is less or more than 3.5 years. They were quickly able to pass through the barriers, and they are slow tend to delay send in pursuit thesis. The ability to pass these barriers include people who have a good resilience. Resilience is the ability to cope with and adapt to the severe events or problems that occur in life. One approach that is deemed appropriate to increase resilience is rational emotive behavior theraphy. With this therapy, can help students to think rationally and be able to solve the problems or obstacles encountered when writing his thesis.

Kondisi tidak menentu akibat pandemi covid-19 saat ini, memunculkan dampak pada berbagai aspek kehidupan, misalnya pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Dampak tersebut dapat menimbulkan ‘kesulitan’, yang menuntut setiap individu untuk mampu beradaptasi. Kemampuan beradaptasi terhadap ‘kesulitan’ akibat pandemi berkaitan dengan resiliensi. Resiliensi mengacu pada penyesuaian psikologis yang positif terhadap kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan, di mana masing-masing individu memiliki kadar resiliensi yang berbeda satu sama lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran resiliensi terhadap kesehatan mental, termasuk saat pandemi covid-19. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian berupa studi kepustakaan (library research). Resiliensi, sebagai penyesuaian psikologis dalam menghadapi setiap perubahan, berdampak pada kondisi kesehatan mental. Maka dari itu, penting untuk mengetahui tentang resiliensi psikologis demi tercapainya kesehatan mental yang optimal. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan fakta-fakta secara komprehensif, yang selanjutnya dapat dijadikan referensi dalam kajian resiliensi dan kesehatan mental.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada anggota Resimen Mahasiswa Mahasurya JawaTimur angkatan LXVII tahun 2014. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan skala CD-RISC untuk mengukur variabel resiliensi sedangkan variabel self-efficacy diukur dengan skala yang dibuat oleh peneliti berdasarkan kajian teori yang ada. Populasi dalam penelitian ini adalah Menwa aktif di lingkungan Resimen Mahasiswa Mahasurya Jawa timur tahun 2014 yaitu berjumlah 343 yang kemudian diambil sebagai sampel dengan menggunakan purposive sampling atau sampel bertujuan dengan mengambil 50 orang. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah bahwa ada pengaruh yang positif atau signiflkan maka (F hitung = 6,202 &gt; F tabel = 4,03) antara self-efficacy dengan resiliensi. Pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada anggota Menwa sebesar 11,4% sedangkan sisanya 88,6% dipengaruhi oleh faktor lain.

A paper published in the British Journal of Psychology has been chosen as one of the six most interesting psychology papers of 2015 by The New Yorker. ‘Best friends and better coping: Facilitating psychological resilience through boys’ and girls’ closest friendships’ by Rebecca Graber, Rhiannon Turner and Anna Madill was published in in June. It reported a study of 409 students aged between 11 and 19 from three schools and two colleges in Yorkshire that served catchment areas with poor socioeconomic status. The students completed psychological assessments of the quality of their closest friendship, their resilience in the face of adverse experiences and how they typically coped with problems. Both boys’ and girls’ best friendships facilitated effective ways of coping (such as planning, reframing an issue in a positive way and using emotional support) that helped them develop resilience in the face of complex challenges. A significant gender difference also emerged. Counter intuitively, girls’ best friendships had a slight tendency to promote risky and ineffective ways of coping with adversity (such as self-blame and substance use), but boys’ best friendships did not.

Revista electrónica para la promoción de la resiliencia.

"Ir más allá, del momento y espacio presentes. Dejar una huella que no se ata a su instante de inscripción, y es llevada al futuro, a una nueva oportunidad de florecer, de proteger, de reproducir los vuelos e ideas. Cual colibrí, como picaflor, que vuela ligero y fácil, con la delicadeza del viento en sí, acercándose y amando a las flores más delicadas, sin mover siquiera uno de sus pétalos pero llevando las semillas y néctar a distancia. Trascender es transformarse, pero permanecer en esencia. Trascender es volar..."
En este número contamos con la colaboración de: Concepción Martínez Vázquez, Marta Velázquez Gil, José Luis Gonzalo Marrodán, Neffetari Karín Herrera Olguín, Adelia Setto (entrevista), Íñigo Martínez de Mandojana, Ana Cristina Cortinas Trujillo y F. Javier Romeu Soriano.

My dissertation contributes to a body of knowledge useful for understanding the evolution of subsistence economies based on agriculture from those based on hunting and gathering,
as well as the development of formal rules and norms of territorial ownership in hunter- gatherer societies. My research specifically combines simple formal and conceptual models with the empirical analysis of large ethnographic and environmental data sets to study feedback processes in coupled forager-resource systems. I use the formal and conceptual models of forager-resource systems as tools that aid in the development of two alternative
arguments that may explain the adoption of food production and formal territorial ownership among hunter-gatherers. I call these arguments the Uncertainty Reduction Hypothesis and the Social Opportunity Hypothesis. Based on the logic of these arguments, I develop expectations for patterns of food production and formal territorial ownership documented in the ethnographic record of hunter-gatherer societies and evaluate these expectations with
large ethnographic and environmental data sets. My analysis suggests that the Uncertainty Reduction Hypothesis is more consistent with the data than the Social Opportunity Hypoth-
esis. Overall, my approach combines the intellectual frameworks of evolutionary ecology and resilience thinking. The result is a theory of subsistence change that integrates elements of three classic models of economic development with deep intellectual roots in human ecology: The Malthusian, Boserupian and Weberian models. A final take home message of my study is that evolutionary ecology and resilience thinking are complemen-
tary frameworks for archaeologists who study the transition from hunting and gathering to farming.

This article develops a " polymorphic " approach to policy analysis, that is, an approach that draws on multiple forms of spatial reasoning. Specifically, the proposed framework deploys scale and network not merely as epistemological devices that make sense of " horizontal " and " vertical " politico-institutional structures , but as co-constitutive ontological processes that involve an ever-shifting interplay among legacies, rhythms, and events. This polymorphic approach, we argue, facilitates the identification and the examination of the mobilization of social networks and of the attendant cross-scalar interactions that must be articulated whenever a given policy is framed as a sensible and politically viable place-based solution. The novel conceptual framework is then applied to the empirical investigation of the formulation of the complex moral, political, and economic environment that enabled the emergence of Ontario's controversial Ethanol in Gasoline Regulation. Our polymorphic approach reveals how this regulation is a (failed) attempt to reconcile Canada's legacy as a resource-based economy and Ontario's legacy as a manufacturing-based economy where value is added, with the need for more rational and less harmful resource extraction and for greener fuels that can sustain the current order. We build on the lessons drawn from this case study to suggest that our approach has wider applicability in that it can help create a process-oriented, dynamic, and multi-dimensional geography of policy-making.

Despite the fruitful of researches have been undertaken on resilience, there is less understanding of how adult internal migrants may overcome the risks and adversities they face in urban life. This study was to investigate the level of resilience among Bataknese and Minangkabaunese young adulthood men as internal migrants who live in poor neighborhood in Jakarta as well as examined their religiosity and resilience differences. For this purpose, ex post facto quantitative method was used. Demographic characteristics of education level, age, and residence status were controlled. Purposive sampling was adopted to select participants. Data collection instruments used in the quantitative study included a demographic data form, Resilience scale and Religiosity scale. The analysis of data included assessments of correlations, t-tests, and MANOVA. The results showed that there was a statistically significant difference in religiosity and resilience between two ethnics. Contrary to expected results, religiosity negatively correlated with resilience both among all respondents and each ethnic group. These findings and limitations of this study are discussed with reference to methodological issues and theoretical considerations toward a comprehensive interpretation of results and possibilities for further research on resilience among internal migrants in Indonesia.

Amanecí muy dispuesto a terminar la semana con entusiasmo, me preparé para el baño, me arreglé y perfumé y salí, con un suspiro profundo y decidido, rumbo a la clínica. Ahí empezó la realidad urbana: se me cerró un auto mientras sacaba el mío del estacionamiento, se frenó bruscamente y sin hacer mayor indicación (ni las luces traseras le funcionaban) el transporte colectivo que se movía delante de mí, tardé 12 minutos en atravesar el segundo semáforo, me desplacé muy lentamente a lo largo de la avenida principal para llegar, con los gritos de un motociclista que me pasó desapercibido al girar, luego de haber puesto mi intermitente derecha, al estacionamiento de la oficina. Llegué casi temblando por el esfuerzo de conducirme de mi casa a mi centro de trabajo, como otros tantos millones de habitantes de la gran urbe, como una estadística más, como un sinsentido de la justificación de nuestro diario acontecer. Fue cuando me senté en mi espacio y pude repasar, con gran asombro, todo lo que había sucedido en las primeras dos horas de la mañana y que motivaron que comparta este relato con ustedes. La salud de la mujer es, en sí misma, un tema que despierta inquietudes, incertidumbre, delicadeza y, en ocasiones, sentido de urgencia y desesperación ¡a eso súmenle el desastre emocional de vivir y trasladarse dentro de la " civilización " ! Por ello, resulta imprescindible y apropiado, invitar a nuestros lectores (porque es para hombres y mujeres) a realizar, con nuestro apoyo, Imprimación Positiva. Imprimación Positiva® es una metodología desarrollada por Francisco Javier de Legarreta Lores durante sus estudios de doctorado en psicología y reúne la magia de las matemáticas con la psicología para permitir, mediante un curso muy breve de ocho sesiones (al costo totalmente accesible de nuestras consultas), recuperar los mayores recursos individuales para encontrar la mejor versión de sí misma, en cada persona. Imprimación Positiva® es un recorrido por la ciencia y el bienestar que transforma permanentemente la vida de nuestras clientas y sus familiares o conocidos que deciden aprovechar nuestro recurso innovador de forma que se encuentran, antes de lo que imaginan (y, por tanto, antes de concluir las ocho sesiones) en una perspectiva de vida absolutamente plena y atractiva para convivir en el trabajo, la casa, el estudio y con las amistades con una gran sonrisa e historia de éxito personal desarrollada desde la experiencia propia y con la constancia de otras muchas personas que han disfrutado este recurso académico. Las historias más comunes de dificultades familiares y laborales, las depresiones más dramáticas e, incluso, algunas afecciones de salud que normalmente requerirían atención médica especializada, han encontrado solución y han sido remontadas por participantes a lo largo de más de 18 meses de práctica docente-terapéutica con estas experiencias de aprendizaje, creación de quien escribe estas líneas. Ven con nosotros y atrévete a vivir en plenitud de recursos, a sorprenderte con tu propia capacidad para transformar tus circunstancias y entorno ¡la decisión está en tus manos, aprovecha el momento y cambia tu expectativa de crecimiento y desarrollo personal!

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebab-sebab menurunnya resiliensi anak
jalanan dan mendeskripsikan pula faktor-faktor yang membuat anak tergolong memiliki resilensi atau
tidak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan rancangan
studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak jalanan yang bersekolah di Rumah Singgah
Diponegoro Surabaya.
Pengumpulan datanya menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Dari hasil
penelitian yang dilakukan didapatkan kemampuan resiliensi subjek penelitian keempat Subjek
memiliki kemampuan dari tujuh aspek resiliensi dengan kekuatan yang berbeda-beda. Kondisi
ekonomi dan kasih sayang orangtua menjadi beberapa sebab anak turun ke jalan. Diusia mereka yang
seharusnya digunakan menuntut ilmu di sekolah masih menjadi tugas besar para pendidik. Tidak
semua anak jalanan yang bersekolah memiliki kemampuan resiliensi yang baik, sebagaiamana hasil
dari penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum anak jalan di Rumah Singgah
Diponegoro memiliki kemampuan yang baik dan terdapat satu Subjek yang tidak resilien. Adanya
perbedaan pada kekuatan tersebut disebabkan oleh latar belakang keluarga, asal mula anak turun ke
jalan yang berbeda serta pergaulan di sekolah.