Sejarah Melayu

Everyone knows Singapore as the Lion City and the story behind of a Palembang prince, Sang Nila Utama, sighting a lion on this island that was first published 200 years ago in John Leyden's translation of the Malay classic Sejarah Melayu. But few people have actually read the Sejarah Melayu to realise the fairytale-like claims of Singapore's supposed medieval founder as a descendant of Alexander the Great, and the son of an Indian king who tried to conquer China and a princess from underwater; or that the creature he purportedly saw was not described as a lion, but a chimera with a red body, black head, white breast, and was a little larger than a he-goat. And barely anyone remembers the days when respectable residents of Singapore scoffed at suggestions that Singapore's name has anything to do with the Felis Leo.


Decoding Sejarah Melayu daringly challenges the assumption that the Sejarah Melayu records Singapore's pre-modern past, which has been held since Sir Stamford Raffles arrived in 1819 and declared himself at the "ancient Capital of the Malay kings". It seeks to grasp what is the Sejarah Melayu and how its accounts of Singapore as Temasek and Singapura were written, critically re-examines key historical text such as the Malay epic Hikayat Hang Tuah, Tomé Pires' Suma Oriental and 14th century Chinese travelogue Daoyi Zhilue, and makes an expansive study into other sources in Malay, Javanese, Chinese, Vietnamese, Siamese, Arabic, Portuguese, Dutch, French, and the English language to discover clues to ancient Singapore's long hidden past. This is a book that will profoundly change understandings of Singapore's history and identity.

ABSTRAK Upu Daeng lima Bersaudara berikut keturunannya tercatat memiliki pengaruh luar biasa di Kerajaan Riau Lingga. Mereka adalah anak Daeng Rilakka yang merupakan keturunan dari La Maddusila, seorang Raja Luwu di tanah Bugis. Silsilah atau ranji keturunan mereka disebut dalam sejumlah sumber, termasuk sumber-sumber Melayu. Setidaknya terdapat dua sumber Melayu yang bercerita tentang asal usul mereka, yaitu naskah Tuhfat Al-Nafis dan Silsilah Melayu Bugis yang ditulis pada abad ke-19 oleh Raja Ali Haji. Pada artikel ini terdapat dua isu penting, pertama adalah menganalisa silsilah Upu Daeng Lima Bersaudara dari kedua sumber, serta kedua menganalisa penulisan silsilah tersebut dari sudut pandang historiografi. Rangkaian penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang dimulai dari heuristik, verifikasi sumber, iintreprestasi dan historiografi. Secara umum, Tuhfat Al-Nafis dan Silsilah Melayu Bugis sudah mulai ditulis dengan menggunakan metode penulisan sejarah, hanya saja ...

Taking classic stories from Asia and the West, Pop! Lit for Kids reimagines them into easy-to-read stories that provide the perfect introduction to classic tales. The most well-loved stories from around the world have been adapted into a form that will excite and entertain children everywhere. Readers can embark on new adventures with famous beloved storybook characters. In addition, the books come to life with augmented reality features, giving readers an enhanced experience that they'll never forget!

Once upon a time: A small boy saved the island of Singapura from a terrifying garfish attack. A clever Melakan Prime Minister outwitted a Chinese Emperor. A poor coolie was challenged by a water demon to do the unthinkable. These are all stories of valour, wit and intrigue from the literary Malay Annals. Handed down and cherished from generation to generation. Now made accessible to modern readers.

ISBN 978-981-123-331-9

The present paper explores the shifting roles and understandings of the Singapore Straits from the latter Middle Ages until the opening decades of the eighteenth century. In pursuing this task, I will develop a set of basic questions that historicize and problematize the roles, functions and understandings of the Straits across the centuries, and also tease out historical and historiographical paradigms shaping and underpinning the understanding of the region’s past. In pursuing this programme I will make use of a broad range of sources including chronicles and histories, letters and treaties, navigational instructions and travel literature, as well as (European) cartography of the 16th to 18th centuries. In order to gain deeper appreciation of the multi-faceted roles and understandings of the Singapore Straits across the longue durée, I  not only adduce and evaluate materials of European colonial origin, but importantly also heed special attention to sources of Asian origin in general, and specifically to materials that have originally been written in Arabic, Malay, Chinese and have been made accessible to the wider reading public in various contemporary translations. The modes of enquiry and the insights brought to paper here differ both in terms of scope and objectives from my earlier findings expounded in The Singapore and Melaka Straits published in 2010.

Tulisan ini merupakan satu pengamatan dan sorotan terhadap naskah yang bertajuk Kita Dengan Islam: Tumbuh Tiada Berbuah yang merupakan kumpulan karya terpilih tulisan Syed Hussein Alatas. Antara perbahasan dalam naskah ini adalah perihal pemikiran relativisme dan rasionalisme, keperluan orang Melayu dan umat Islam untuk berfikir bagi memajukan bangsa, juga apa yang didefinisikan sebagai kemajuan masyarakat. Alatas turut meninjau hubungan Islam dengan seni, sastera dan budaya. Alatas juga mengkritik beberapa tokoh termasuk Maududi, Hamka, dan Tan Malaka, juga organisasi seperti Parti Islam Se-Malaysia (PAS). Tujuan keseluruhan tulisan beliau ini adalah untuk melahirkan manusia Islam yang baharu.

English Title: Land, Power, and Trade: The Dynamic of Relation between Kerinci People and Islamic Kingdoms Around It XVI-XIX Century. Buku ini mengupas hubungan orang Kerinci dengan Kesultanan Jambi dan Indrapura berdasarkan bukti naskah-naskah kuno yang disimpan di Kerinci.

Nasi orang dagang - mengisahkan asal usul nasi dagang, satu nasi yang cukup popular di negeri Terengganu. Di mana asal nasi ini dari orang Bugis yang berdagang ke Terengganu. Di mana pada setiap menjelangnya hari raya, Sultan Terengganu mengarahkan semua rakyat jelata termasuk orang dagang, buat masakan dan bawa ke masjid untuk diinfaqkan. Pak Galesong dan Mak Kembang bercadang mahu membuat Burasak dan Lepat, sejenis masakan tradisi orang Bugis, tapi atas sesuatu sebab yang tak diduga, apa yang dirancang tak menjadi. Mereka pada mulanya bimbang kiranya Tuanku Sultan murka, tapi sebaliknya Tuanku Sultan amat suka menikmati hidangan itu dan Tuanku Sultan mengelar masakan itu Nasi Orang Dagang.

This paper written in Malay revisits conventional knowledge about the textual origins of the Sejarah Melayu and argues that it was crafted in its current textual form in or around 1612-13 as a joint project of Raja Bongsu, Tun Sri Lanang as well as possibly the latter's son.

Upu Daeng Lima Bersaudara and their descendants were noted to have an extraordinary influence in the Riau Lingga Kingdom. They are the children of Daeng Rilakka who is a descendant of La Maddusila, a King of Luwu in the land of Bugis. Their genealogy is mentioned in some of Malay sources. There are at least two Malay sources telling about their origins that are the Tuhfat Al-Nafis and the Silsilah Melayu Bugis manuscripts written in the 19th century by Raja Ali Haji. In this article, there are two important issues. The first is to analyze the genealogy of Upu Daeng Lima Bersaudara from both sources and the second is to analyze the writing of the genealogy from a historiographical perspective. The historical research method was used in this research starting from heuristic, source verification, interpretation and historiography. In general, Tuhfat Al-Nafis and Silsilah Melayu Bugis have been written by using the historical writing method, but the method itself has not been applied consistently for all narration, especially those related to genealogy. However, the difference in the number of names in the genealogy of the two books indicated that Raja Ali Haji in Tuhfat al-Nafis began to verify to the sources used.


Upu Daeng lima Bersaudara berikut keturunannya tercatat memiliki pengaruh luar biasa di Kerajaan Riau Lingga. Mereka adalah anak Daeng Rilakka yang merupakan keturunan dari La Maddusila, seorang Raja Luwu di tanah Bugis. Silsilah atau ranji keturunan mereka disebut dalam sejumlah sumber, termasuk sumber-sumber Melayu. Setidaknya terdapat dua sumber Melayu yang bercerita tentang asal usul mereka, yaitu naskah Tuhfat Al-Nafis dan Silsilah Melayu Bugis yang ditulis pada abad ke-19 oleh Raja Ali Haji. Pada artikel ini terdapat dua isu penting, pertama adalah menganalisa silsilah Upu Daeng Lima Bersaudara dari kedua sumber, serta kedua menganalisa penulisan silsilah tersebut dari sudut pandang historiografi. Rangkaian penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang dimulai dari heuristik, verifikasi sumber, iintreprestasi dan historiografi. Secara umum, Tuhfat Al-Nafis dan Silsilah Melayu Bugis sudah mulai ditulis dengan menggunakan metode penulisan sejarah, hanya saja hal tersebut belum diterapkan secara konsisten untuk seluruh narasi, terutama terkait silsilah. Sekalipun demikian, perbedaan jumlah nama dalam silsilah pada kedua kitab itu mengindikasikan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis mulai menerapkan verifikasi terhadap sumber yang digunakan.

Di samping substansinya yang sarat akan etika manusia pada lingkungan, ada “nama-nama” penting di sekitar kajian mengenai Prasasti Talang Tuo yang cukup unik untuk dikulik lebih dalam. Setelah melihat spirit kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan alam, meskipun telah banyak yang mengulas, tidak ada salahnya kita kembali membaca idealisme kehidupan individu ataupun bermasyarakat yang menjadi harapan dalam Prasasti Talang Tuo.

This paper takes a closer look at documents, memorials and briefs of Dutch, German, Portuguese, and Spanish-language origin to explore and reconstruct the dynamics of trade of Batu Sawar. This served as the royal residence of the Johor rulers between the late 1580s and at least until 1609/12. I will argue that in the early 17th century political and economic life at the Johor court at Batu Sawar was dominated by the interests of Raja Ali Jalla bin Abdul Jalil’s four surviving sons, of whom two played an especially important role in forging Batu Sawar’s commercial life: Raja Siak in terms of the trade in pepper and bezoars from Sumatra and Raja Bongsu in terms of the trade in rough diamonds.

“Upu Tanderi Burung Daeng Rilakka, ialah yang mengembara ke sebelah barat,” tulis Raja Khalid ibni Raja Hassan al-Haji dalam kitab Thamaratul Matlub Fi Anuaril Qulub. Walaupun bukan gelombang pertama dalam catatan migrasi orang Bugis ke kawasan Melayu, akan tetapi kedatangan mereka memberi warna dalam perkembangan sejarah di kawasan itu. Hadirnya para bangsawan Bugis tidak hanya mempengaruhi kondisi sosial masyarakat, lebih dari itu, sepak terjang anak-anak Daeng Rilakka ikut mempengaruhi kondisi perpolitikan kerajaan yang berkuasa masa itu. Budaya merantau yang melekat pada salah satu etnis yang ada di Indonesia itu agaknya membentuk karakter yang kuat pada setiap pribadi perantau Bugis. Kekuatan tekad orang-orang Bugis digambarkan dalam peribahasa “Pura ba’bara sompe’ku, pura tangkisi golingku, kulebbirirengngi telling natoalie,” yang berarti telah terkembang layarku, telah terikat kemudiku, aku memilih tenggelam dari pada kembali. Sekalipun secara harfiah Daeng Rilakka bersama kelima anaknya tidaklah tenggelam, akan tetapi hingga akhir hayat, mereka berada di Tanah Melayu. Tinggalan-tinggalan yang tersebar di kawasan Sungai Carang, berkaitan erat dengan pemerintahan Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga pada kurun akhir abad ke-17 hingga akhir abad 18. Pasca beralihnya kekuasaan ke tangan Tengku Sulaiman bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, maka para daeng mulai terlibat dalam kekuasaan. Selain sultan sebagai pimpinan tertinggi dalam sistem pemerintahan kerajaan, posisi jabatan pun ditambah, apabila sebelumnya setelah sultan terdapat Bendahara Kerajaan, maka pada masa Sultan Sulaiman terdapat posisi Yang Dipertuan Muda. Posisi ini diisi oleh keturunan Bugis, diawali dengan Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuan Muda I.

The changing identity discourses of race, gender, and language in postcolonial Malaysia form the focus of this chapter, which examines how Hang Li Po—a legendary Chinese princess who was said to have married the Sultan of Melaka in the fifteenth century—has been translated via drama and performance in two contemporary plays produced more than a decade apart: a 1982 Malay-language bangsawan (Malay opera) titled Puteri Li Po (Princess Li Po) by Rahmah Bujang and a 1998 multilingual monodrama titled Hang Li Poh—Melakan Princess by Ann Lee. Revised as a historical figure in Malaysian textbooks, Hang Li Po has been ideologically positioned in ways that bear critical implications for Malaysian Chinese identity and Chinese-Malay relations in the nation space. Drawing on performance translation in the analysis of the dramatic appropriations and revisions of Hang Li Po, this chapter thus considers how both plays critically engage with local and/or global discourses of their time, and what they reveal in terms of the translational politics of identity and representation. In the analysis, the questions of how Malaysia as an idea is imagined and articulated, and what it means to be Malaysian, are also addressed.