Cerpen Cita-Citaku
Cerpen Cita-Citaku
Cerpen Cita-Citaku
Saat orang-orang bertanya kepadaku apa cita-citaku, aku selalu diam tak
menjawab dan mengubris pertanyaan itu, bahkan terkadang aku tidak
mempedulikannya. Mungkin di zaman sekarang, kebanyakan para
remaja sudah tau apa cita-cita dan tujuan hidup mereka. Tapi tidak
dengan diriku, ya inilah aku Adelia Anastasia seorang pelajar tingkat
akhir di SMP Anak Bangsa sekolah yang lumayan terkenal di kotaku.
Teman-temanku menganggap bahwa aku adalah anak yang periang dan
asik jika diajak main, ya itu memang benar. Di sekolah, kerjaanku hanya
bermain bersama teman-temanku, aku tak pernah serius mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh guru. Boro-boro belajar memegang buku
saja aku jarang, ada ulangan saja aku tak pernah tahu. Kalau diibaratkan
hidupku seperti air yang mengalir tak tau arah.
Sejak kecil, aku sudah mengikuti berbagai macam les akademik maupun
non akademik, seperti les piano, menyanyi, bahkan sampai les papan
seluncur, hingga les mata pelajaran lainnya seperti matematika dan
kawan-kawannya. Tapi, dengan mengikuti banyak les aku tak pernah
menemukan bayangan apa rencana dan jadi apa aku nanti di masa depan.
Hari-hariku dipenuhi oleh kegiatanku yang super sibuk. Di pagi hari,
aku di antar ibu ke sekolah, siang ibu mengantarku ke tempat les piano
setelah itu, aku lanjut les menyanyi kemudian les pelajaran matematika
hingga malam, setiap hari Jum’at sampai Sabtu aku les papan seluncur.
Oleh sebab itu, aku tidak pernah mengikuti pelajaran di sekolah.
Kegiatan ku yang super sibuk membuat diriku menjadi malas saat
berada di sekolah. Aku tidak terlalu peduli dengan nilai-nilai pelajaran,
toh kesuksesan kan tidak tergantung pada nilai pelajaran saja. Aku
menganggap bahwa sekolah adalah tempat bermain, aku semangat pergi
ke sekolah karena untuk bertemu teman-teman bukan karena semata-
mata menuntut ilmu. Aku tak pernah berpikir apa yang harus kulakukan
di hari esok kepada diriku sendiri.
---------
Rabu sore ketika Ibuku mengantarku ke tempat les piano dengan mobil .
Saat di perjalanan, aku bertanya “Bu, Adel kan udah kelas 9 nih, bentar
lagi kan mau lanjut SMA. Tapi masih ngga tau kemana dan ngambil
jurusan apa bu. Menurut ibu bagaimana?”
“Kalau menurut ibu, untuk SMA tidak masalah mau yang mana akan
lebih baik jika kamu memilih untuk masuk SMA terbaik, tapi kalau
jurusan pilih yang sesuai mata pelajaran yang kamu minati kalau kamu
minatnya misalnya ke IPS silahkan pilih jurusan IPS begitu juga yang
lainnya. Agar kamu bisa mengikutinya dengan baik” ujar ibu kepadaku
“Nah itu dia bu, Adel belum tau apa sebenarnya pelajaran yang Adel
minati.”
“Masa sih? Nggak mungkin kamu ngga tau. Kamu jagonya di pelajaran
apa? Adel kamu ini udah banyak ikut les, les piano, nyanyi, matematika”
Tanya ibu kepadaku dengan nada yang sedikit terkejut.“Adel ngga tau
bu jago di pelajaran apa. Lagi pula kan ikut les juga belum tentu suka
sama pelajarannya” jawabku sambil mengendikkan bahu.
“Aduuh Adel, jadi ibu selama ini antar jemput kamu ke tempat les itu
sia-sia dong. Ampun deh sama kamu taunya cuma main terus.” Kata
ibuku sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Ya udah bu kalau begitu
Adel masuk dulu, lesnya udah mau mulai.” Aku menyalam tangan ibu
lalu masuk ke ruangan tempat les itu.
Seperti itulah ibu, jika sudah berbicara pasti akan banyak sekali hal-hal
yang akan di bahas. Oleh karena itu, aku langsung pamit. Jika tidak
ceramah ibu pasti akan masih berlanjut.
Keesokan paginya di sekolah, Bu Reni guru wali kelasku meminta kami
untuk menyebutkan cita-cita kami para murid-muridnya. Teman-
temanku ada yang berkata ingin menjadi dokter, polisi, tentara, insinyur,
dan sebagainya, tibalah giliranku untuk menjawab “Aku belum punya
cita-cita bu..” kataku. “Loh, kenapa Adel? Lihat temanmu semua mereka
sudah tau apa cita-cita mereka, dengan kita mengetahui apa cita-cita
kita, kita jadi tahu kemana kita melangkah. Kalian kan sebentar lagi
akan SMA sudah seharusnya tahu agar nanti tidak salah arah. kamu
kenapa belum punya rencana Adel?” ujar Bu Reni dengan nada yang
kecewa.
“Gimana ya bu, aku rasa cita-cita itu bukan menjadi sesuatu yang benar-
benar harus kita rencanakan, aku yakin selama kita melakukan suatu hal
dengan baik pasti kita bisa bu.” Aku berkata seperti itu karena itu adalah
kata-kata yang aku percayai dalam hidupku.
“Aduuh Adel, maksud ibu bukan begitu. Sebagai seorang pelajar
tentunya kita harus memiliki rencana apa yang akan kita lakukan untuk
hari esok. Jangan sampai kamu ketinggalan dari teman-temanmu, coba
lihat lagi kiri kanan kamu, semuanya sudah punya rencana dan cita-cita
mereka. Ingat ya Adel dengan kita memiliki rencana untuk kehidupan
kita esok maka kita tak akan kehilangan arah lagi.” Jelas bu Reni
kepadaku
Sejak saat itu, entah kenapa aku mulai terintimidasi dengan diriku
sendiri. Aku mempertanyakan siapa aku sebenarnya, sebagai pelajar,
sebagai manusia dan apa tujuanku hidup di dunia ini. Kalau orang-orang
bertanya kepadaku “Adel, setelah lulus Smp, kamu mau kemana?”, aku
akan menjawab lanjut SMA. “Jurusan apa dan di mana?” aku tidak tahu,
aku tidak punya bayangan sama sekali akan lanjut sekolah di mana dan
jurusan apa. Yang aku tahu adalah aku ingin waktu dan energi yang aku
habiskan, kegiatan yang aku lakukan itu untuk orang lain. Maksudnya
aku tidak mau semua yang aku lakukan itu hanya untuk diriku sendiri.
Aku tidak mau jadi orang yang egois. Aku tidak mau aku pergi ke
sekolah hanya semata-mata mencari ilmu dan mendapat gelar si ini atau
apapun, karena aku berpikir bahwa sia-sia hidupku kalau aku hanya
memikirkan diriku sendiri. Sejatinya manusia hidup di dunia itu untuk
saling tolong-menolong dan itu yang harus aku lakukan. Menolong
diriku sendiri dan orang lain juga.
Di satu sisi, aku rasa perkataan Bu Reni kemarin ada benarnya juga.
Sebagai pelajar tentunya kita sebaiknya memiliki rencana apa yang akan
kita lakukan untuk hari esok. Tapi, di sisi lain pula aku tak pernah
merasa tertinggal dengan teman-temanku yang sangat ambisius dalam
mencapai cita-cita mereka. Aku lihat terkadang mereka merasa tidak
puas dengan hasil dari usaha mereka sendiri karena hasilnya tidak sesuai
dengan ekspetasi mereka. Padahal sebenarnya itu adalah hal yang
kurang baik. Sebaiknya jangan berekspetasi terlalu banyak terhadap
hasil yang akan kita dapatkan nantinya, karena itu adalah hal yang tidak
dapat ditebak. Terlalu ambisius untuk menggapai sesuatu pun akhirnya
kita lupa kalau sebenarnya tugas manusia itu hanya berusaha,
bertawakkal dan berikhtiar. Dengan begitu tidak akan terbentuk
ekspektasi, merasa kalau kita sudah kalah atau tertinggal dari teman
ataupun orang lain yang ada di sekitar kita dan lain-lain.
Akhirnya seiring dengan berjalannya waktu aku sadar bahwa kita
sebagai manusia harus memiliki tujuan hidup kita sendiri. Dengan
begitu, nantinya kita akan memiliki panduan kemana kita akan
melangkah nantinya.