Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

PENDAHULUAN

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai merupakan komoditas pangan utama setelah padi dan jagung.

Berdasarkan posisi produksi kedelai pada tahun 2009 sebesar 1 juta ton,

pemerintah mencanangkan swasembada kedelai pada 2014 dengan target produksi

2,7 juta ton atau meningkat rata-rata 20,05%/tahun. Perkedelaian di Indonesia

menghadapi permasalahan utama, antara lain: (1) meningkatnya impor kedelai

untuk memenuhi kebutuhan nasional; (2) lebarnya senjang produktivitas di tingkat

petani dengan potensi genetik kedelai karena sebagian besar petani belum

menggunakan varietas unggul baru yang toleran cekaman biotik dan abiotik, serta

teknik pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu; (3)

menurunnya produksi karena berkurangnya area tanam kedelai akibat persaingan

penggunaan lahan dengan jagung; dan (4) nilai kompetitif kedelai dalam negeri

semakin merosot karena membanjirnya kedelai impor yang harganya lebih murah

(Kemtan 2009).

Salah satu ancaman dalam upaya meningkatkan produksi kedelai adalah

serangan hama. Serangga yang berasosiasi dengan tanaman kedelai di Indonesia

mencapai 266 jenis, yang terdiri atas 111 jenis hama, 53 jenis serangga kurang

penting, 61 jenis serangga predator, dan 41 jenis serangga parasit. Dari 111 jenis

serangga hama tersebut, 50 jenis tergolong hama perusak daun, namun yang

berstatus hama penting hanya 9 jenis. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 9

jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan

salah satu jenis hama pemakan daun yang sangat penting. Kehilangan hasil akibat

serangan hama tersebut dapat mencapai 80%, bahkan puso jika tidak
2

dikendalikan. Usaha pengendalian hama di tingkat petani hingga kini masih

mengandalkan insektisida, namun kurang efektif (Mawarto, 2008).

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) merupakan salah satu hama daun yang

penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang

tanah, kubis, ubi jalar, kentang. S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase

vegetatif yaitu memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun

saja dan pada fase generatif dengan memakan polong–polong muda. Spodoptera

litura merupakan serangga hama yang terdapat di banyak negara seperti

Indonesia, India, Jepang, Cina, dan negaranegara lain di Asia Tenggara. Ulat

grayak (S. litura) bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang luas

sehingga berpotensi menjadi hama pada berbagai jenis tanaman pangan, sayuran,

buah dan perkebunan (Lestari, 2013).

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) merupakan hama penting tanaman

kedelai. Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat mencapai 85%,

bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (puso). Kerusakan daun yang

diakibatkan oleh serangan hama tersebut dapat mengganggu proses fotosintesis.

Sampai saat ini pengendalian ulat grayak masih mengandalkan insektisida.

Frekuensi aplikasi insektisida perlu diperhitungkan agar tidak merusak

lingkungan. Penggunaan insektisida kimia yang berlebihan dan terusmenerus akan

mengurangi populasi musuh alami seperti parasitoid dan predator, di samping itu

akan menimbulkan masalah resistensi maupun resurjensi hama utama maupun

hama lainnya. Pengendalian terhadap S. litura di samping menggunakan

insektisida kimia berdasarkan ambang kendali, diharapkan juga dilakukan melalui

berbagai taktik pengendalian, di antaranya dengan pemanfaatan patogen serangga


3

yang mempunyai spektrum daya bunuh spesifik, tidak membunuh parasitoid,

predator, dan tidak mencemari lingkungan (Bedjo, 2004).

Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) merupakan salah

satu virus patogen yang menginfeksi ulat grayak. SlNPV ditemukan oleh Arifin

dari hasil pengamatan terhadap ulat grayak mati terinfeksi patogen di sentra

produksi kedelai di Brebes dan Lampung Tengah pada tahun 1984. SlNPV efektif

mengendalikan ulat grayak dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai

bioinsektisida dalam skala komersial. Tulisan ini menyajikan inovasi teknologi

bioinsektisida SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak dalam rangka mendukung

swasembada kedelai (Arifin, 2012).

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui cara

pengaplikasian Bioinsektisida S/NPV serta kandungan zat kimia yang dapat

mengendalikan ulat grayak pada tanaman kedelai (Glycine max (L) Merill.)

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat

mengikuti praktikum di Laboratorium Pengendalian Hama Terpadu Program

Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.


4

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kedelai

Kedudukan tanaman kedelai menurut Hasanah (2015) dalam sistematik

tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut :Kingdom: Plantae;

Divisi: Spermatophyta; Sub-divisi: Angiospermae; Kelas: Dicotyledonae; Ordo:

Polypetales; Famili: Leguminosae (Papilionaceae); Sub-famili: Papilionodeae;

Genus : Glycine; Spesies: Glycine max (L) Merill.

Biji merupakan komponen morfologi kedelai yang bernilai ekonomis.

Bentuk biji kedelai beragam dari lonjong hingga bulat, dan sebagian besar kedelai

yang ada di Indonesia berkriteria lonjong. Pengelompokan ukuran biji kedelai

berbeda antarnegara, di Indonesia kedelai dikelompokkan berukuran besar (berat

>14 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji), dan kecil (< 10 g/100 biji). Di Jepang

dan Amerika biji kedelai berukuran besar jika memiliki berat 30 g/100 biji. Biji

sebagian besar tersusun oleh kotiledon dan dilapisi oleh kulit biji (testa). Antara

kulit biji dan kotiledon terdapat lapisan endosperm (Muchlish, 2016).

Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan

akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga

seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil.

Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air

tanah yang terlalu tinggi. Pertumbuhan akar tunggang dapat mencapai panjang

sekitar 2 m atau lebih pada kondisi yang optimal, namun demikian, umumnya

akar tunggang hanya tumbuh pada kedalaman lapisan tanah olahan yang tidak

terlalu dalam, sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh pada

kedalaman tanah sekitar 20-30 cm. Akar serabut ini mula-mula tumbuh di dekat
5

ujung akar tunggang, sekitar 3-4 hari setelah berkecambah dan akan semakin

bertambah banyak dengan pembentukan akar-akar muda yang lain

(Sarwanto, 2005).

Tanaman kedelai berbatang pendek (30-100 cm), memiliki 3-6

percabangan dan berbentuk tanaman perdu. Pada pertanaman yang rapat

seringkali tidak terbentuk percabangan atau hanya bercabang sedikit. Batang

tanaman kedelai berkayu, biasanya kaku dan tahan rebah, kecuali tanaman yang

dibudidayakan di musim hujan atau tanaman yang hidup di tempat yang

ternaungi. Pertanaman determinate memiliki karakteristik tinggi tanaman pendek

sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah

daun teratas sama besar dengan daun batang tengah, dan berbunga serentak.

Pertanaman indeterminate memiliki karakteristik tinggi tanaman sedang sampai

tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah, agak melilit dan beruas

panjang, daun teratas lebih kecil dari daun batang tengah, dan pembungaan terjadi

secara bertahap mulai dari bagian pangkal ke bagian atas (Hasanah, 2015).

Daun kedelai terbagi menjadi empat tipe, yaitu: (1) kotiledon atau daun

biji, (2) dua helai daun primer sederhana, (3) daun bertiga, dan 4) profila. Daun

primer berbentuk oval dengan tangkai daun sepanjang 1-2 cm, terletak

berseberangan pada buku pertama diatas kotiledon. Setiap daun memiliki

sepasang stipula yang terletak pada dasar daun yang menempel pada batang. Tipe

daun yang lain terbentuk pada batang utama, dan pada cabang lateral terdapat

daun trifoliat yang secara bergantian dalam susunan yang berbeda. Anak daun

bertiga mempunyai bentuk yang bermacam-macam, mulai bulat hingga lancip.

Ada kalanya terbentuk 4-7 daun dan dalam beberapa kasus terjadi penggabungan
6

daun lateral dengan daun terminal. Daun tunggal mempunyai panjang 4-20 cm

dan lebar 3-10 cm. Tangkai daun lateral umumnya pendek sepanjang 1 cm atau

kurang. Dasar daun terminal mempunyai dua stipula kecil dan tiap daun lateral

mempunyai sebuah stipula. Setiap daun primer dan daun bertiga mempunyai

pulvinus yang cukup besar pada titik perlekatan tangkai dengan batang. Pulvini

berhubungan dengan pergerakan daun dan posisi daun selama siang dan malam

hari yang disebabkan oleh perubahan tekanan osmotik di berbagai bagian pulvinus

(Muchlish, 2016).

Tanaman kacang-kacangan, termasuk tanaman kedelai, mempunyai dua

stadia tumbuh, yaitu stadia vegetatif dan stadia reproduktif. Stadia vegetatif mulai

dari tanaman berkecambah sampai saat berbunga, sedangkan stadia reproduktif

mulai dari pembentukan bunga sampai pemasakan biji. Tanaman kedelai di

Indonesia yang mempunyai panjang hari rata-rata sekitar 12 jam dan suhu udara

yang tinggi (>30° C), sebagian besar mulai berbunga pada umur antara 5-7

minggu. Tanaman kedelai termasuk peka terhadap perbedaan panjang hari,

khususnya saat pembentukan bunga. Bunga kedelai menyerupai kupu-kupu

(Sarwanto, 2005).

Syarat Tumbuh

Iklim

Kedelai tergolong tanaman hari pendek, yaitu tidak mampu berbunga bila

panjang hari (lama penyinaran) melebihi 16 jam, dan mempercepat pembungaan

bila lama penyinaran kurang dari 12 jam. Tanaman hari pendek pada kedelai

bermakna bahwa hari (panjang penyinaran) yang semakin pendek akan

merangsang pembungaan lebih cepat. Lamanya periode gelap (tanpa sinar)


7

menentukan dan mengatur faktor induksi pembungaan. Faktor penginduksi

pembungaan tersebut disebut florigen yang disinthesa pada daun, dan

ditranslokasikan ke organ bakal bunga melalui ploem. Tanaman kedelai yang

tidak mengalami periode gelap akan tumbuh vegetatif terusmenerus, tidak mampu

membentuk bunga (Sumarno, 2012).

Sensitifitas kedelai terhadap perubahan suhu tergantung pada fase

pertumbuhan. Suhu udara minimum untuk pertumbuhan vegetatif adalah 10 °C,

untuk pembentukan polong dan biji adalah 15 °C. Suhu yang sesuai untuk kedelai

pada fase perkecambahan adalah 15–22 oC, fase pembungaan 20–25 oC, dan pada

fase pemasakan 15–22 oC. Peningkatan suhu udara pada siang hari dari 30 oC

menjadi 35 °C selama 10 jam dari fase pembungaan hingga pemasakan

menyebabkan penurunan hasil 27%, akan tetapi peningkatan suhu pada malam

hari dari 20 menjadi 30 oC tidak berpengaruh terhadap hasil dan komponen hasil

(Taufiq, 2015).

Di Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran

rendah samapi ketinggian 900 meter diatas permukaan laut (dpl). Meskipun

demikian telah banyak varietas atau genotipe kedelai dalam negeri maupun

introduksi yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ± 1

200 m dpl. Kedelai biasanya ditanam di daerah dengan garis lintang 550 LU atau

550 LS, pada ketinggian dari permukaan laut sampai dengan 2 000 mdpl

(Ningrum, 2011).

Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara RH

75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan

kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan polong hingga
8

panen. Suhu udara yang agak rendah (20-22°C) dan udara kering pada saat panen

sangat ideal bagi pelaksanaan panen sehingga biji kedelai bermutu tinggi. Di alam

tropika Indonesia, kondisi udara seperti tersebut tidak mudah diperoleh, namun

apabila cuaca kering, tidak ada hujan dan tidak ada kabut selama pematangan

polong merupakan kondisi yang cukup ideal untuk panen kedelai

(Sumarno, 2012).

Kedelai lebih adaptif pada kondisi CO2 atmosfer tinggi. Peningkatan

konsentrasi CO2 dari 349 μL menjadi 700 μL meningkatkan laju pertukaran

karbon (C), menurunkan laju transpirasi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan

air, serta sebagian besar C terpartisi ke dalam bentuk pati. Kedelai yang

ditumbuhkan pada CO2 atmosfer yang tinggi menunjukkan laju pertumbuhan

yang lebih tinggi, luas daun yang lebih besar, dan hasil yang lebih tinggi.

Peningkatan CO2 atmosfer pada suhu rendah menyebabkan pertumbuhan kedelai

lebih baik. Namun sebaliknya, setiap peningkatan suhu 1oC menurunkan hasil

kedelai 17% (Taufiq, 2015)

Tanah

Secara umum kedelai tidak sesuai ditanam pada tanah bertekstur lempung

berstruktur berat dan berdrainase buruk, dan tidak susuai pada tanah berpasir

berstruktur ringan, sangat porus sehingga tidak mampu menyimpan kelembaban

tanah. Lahan dengan dua karakteristik ekstrim tersebut memerlukan ameliorasi

(pembenah) tanah, menggunakan bahan organik atau pupuk kandang dalam

jumlah yang banyak untuk dapat ditanami kedelai. Pada skala luas, ameliorasi

bahan organik dengan takaran tinggi tidak ekonomis, sehingga tidak dianjurkan

untuk usaha produksi secara komersial (Agus, 2005).


9

Suhu tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, utamanya saat

fase perkecambahan. Untuk mendapatkan perkecambahan biji yang baik, suhu

tanah harus lebih tinggi dari 10 oC. Suhu tanah optimal untuk perkecambahan biji

adalah 24,2–32,8 °C. Pemadatan tanah juga berpengaruh terhadap pembentukan

bintil akar. Pada kondisi tanpa mulsa, jumlah bintil akar meningkat dengan makin

padatnya tanah, namun terjadi sebaliknya jika diberi mulsa (Kasai, 2008).

Pada umumnya kedelai menghendaki tanah yang berstruktur remah

dengan keasaman sedang (pH 5-7) (Baharsjah, 1992). Nilai pH ideal bagi

pertumbuhan kedelai dan bakteri Rhizobium adalah 6.0-6.8. Apabila pH diatas 7.0

tanaman kedelai mengalami klorosis sehingga tanaman menjadi kerdil dan

daunnya menguning. Sementara pada pH di bawah 5.0 kedelai mengalami

keracunan Al, Fe, dan Mn, sehingga pertumbuhannya terganggu. Untuk

menaikkan pH, dilakukan pengapuran misalnya dengan Kalsit (CaCO3), Dolomit

(CaMg(CO3)2), atau kapur bakar. Pemberian kapur dilakukan sekitar 2-4 minggu

sebelum tanam (Ningrum, 2011).

Benih kedelai yang ditanam harus mendapat kelembaban tanah dan

mampu menyerap air setara dengan 50% dari bobot setiap biji kedelai, untuk

dapat berkecambah (Scott and Aldrich 1970). Kelembaban tersebut akan

diperoleh apabila benih yang ditanam kontak langsung dengan partikel tanah yang

gembur dan lembab. Kelembaban tanah yang tinggi, berkisar antara 80100%

kapasitas lapang, diperlukan pada saat benih ditanam hingga berkecambah dan

tanaman berdaun tunggal muncul di permukaan tanah (1-12 hari setelah tanam)

(Sumarno, 2012).
10

Penilaian toleransi kedelai terhadap salinitas beragam tergantung

parameter dan pembanding yang digunakan. Berdasarkan penurunan bobot kering

tanaman dan kandungan N tanaman pada tingkat salinitas 50 dan 100 mM NaCl,

kedelai tergolong toleran dibandingkan kacang tunggak, kacang hijau, dan faba-

bean. Berdasarkan pengujian salinitas dari ECe 0,8 hingga 7,0 dS/m, kedelai

termasuk mempunyai sensitivitas sedang dibandingkan dengan jagung, tomat, dan

kentang (Taufiq, 2015).

Biologi Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura)

Siklus Hidup

Spodoptera litura betina meletakkan telur secara berkelompok pada

permukaan daun, tiap kelompok telur terdiri atas ± 350 butir. Kelompok telur

tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung

imago betina (Miyahara et al., 1971).Telur akan menetas sekitar 4 hari dalam

kondisi hangat atau sampai dengan 11 atau 12 hari jika musim dingin. Larva yang

baru menetas akan tinggal sementara ditempat telur diletakkan, beberapa hari

setelah itu larva akan mulai berpencar (Nakasuji, 1976). Kalshoven (1981)

menyebutkan bahwa larva S. litura terdiri dari 5 periode instar. Instar 1 berumur

sekitar 2-3 hari, instar 2 sekitar 2-4 hari, instar 3 sekitar 2-5 hari, instar 4 sekitar

2-6 hari, dan instar 5 sekitar 4-7 hari (Lestari, 2013).

Umur larva mulai dari instar-1 sampai instar-6 sekitar 12-15 hari. Larva

yang baru menetas makanannya dari daun yang ditempati telur dalam bentuk

berkelompok, kemudian menyebar dengan menggunakan benang yang keluar dari

mulutnya dan pindah dari tanaman ke tanaman lain. Larva S. litura mempunyai

warna yang berbeda-beda.Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian
11

sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan larva instar terakhir terdapat kalung

(bulan sabut) warna hitam gelap pada segmen abdomen ke empat dan sepuluh

(Fattah, 2015)

Ulat grayak bersifat polifag dari berbagai jenis tanaman pangan, tanaman

industri, dan hortikultura. Kemampuan makannya besar. Selama periode ulat

instar VI yang berlangsung 3-4 hari, dua ekor ulat mampu menghabiskan sebatang

tanaman kedelai stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan

sebatang tanaman stadium pembentukan polong (Arifin, 2012).

Pada umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di

dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat

kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60

hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang

berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat

betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur (Marwoto, 2008).

Kepompong terbentuk di dalam ronggarongga tanah, berwarna coklat.

Stadium pupa berlangsung selama 7–10 hari dengan rata-rata 8,5 hari. Stadium

ngengat berlangsung selama 1–13 hari dengan rata-rata 9,3 hari. Daur hidup S.

litura dari telur hingga ngengat bertelur berlangsung selama 28 hari. Peluang

hidup dari telur hingga larva instar-1, awal kepompong, dan awal ngengat

berturut-turut 94%; 15%; dan 11% (Tengkano, 2005).

Gejala Serangan Ulat Grayak

Fase subsisten. Sebelum tahun 1940an, petani jarang menggunakan

insektisida sehingga populasi ulat grayak dan hama lainnya berada dalam keadaan

seimbang karena diatur oleh faktor pengendali alamiah (fisik dan biologis). Untuk
12

mencegah serangan hama, petani memanfaatkan teknik budi daya dan cara

mekanis (Pengumpulan serangga hama) (Arifin, 2012)

Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa

epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak

tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di

permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok.

Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis

dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan

menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto, 2008).

Kedelai berbunga rata-rata pada umur 36 hari setelah tanam (HST) dan

fase generatif berkisar dari 46–51 hari. Banyaknya bunga kedelai yang terbentuk

dan bunga yang menjadi polong dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan.

Berdasarkan fase pertumbuhannya sistem deskripsi fase pertumbuhan tanaman

kedelai khususnya untuk tipe indeterminit yang dibagi ke dalam 11 tingkatan.

Reaksi tanaman terhadap kerusakan pada berbagai tahap pertumbuhan dan bagian

tanaman berbeda-beda (Tengkano, 2005).

Larva yang masih muda (instar 1-3) merusak daun dengan meninggalkan

sisa-sisa pada epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Berbeda halnya

dengan instar 4-6, gejala serangan pada daun tidak meninggalkan transparan atau

sisa-sisa bagian epidermis pada bagian atas dan tulang daun, melainkan terbentuk

lubang-lubang daun yang ukurannya besar (Fattah, 2015).

Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa

epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak

tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di


13

permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok.

Serangan berat menyebabkan tanaman rusak karena daun dan buah habis dimakan

ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan

menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Yarnisah, 2008).


14

APLIKASI BIOINSEKTISIDA S/NPV UNTUK MENGENDALIKAN ULAT

GRAYAK (Spodoptera litura) (Lepidoptera:Noctidae) PADA TANAMAN

KEDELAI (Glycine max (L) Merril)

Dasar Pengendalian Ulat Grayak

Dalam konsep PHT, pengendalian hama dilakukan dengan berbagai cara

yang dipadukan secara serasi untuk menurunkan populasi hama, kemudian

mempertahankannya pada tingkat yang dapat ditoleransi. Tujuannya adalah untuk

menurunkan status hama, menjamin pendapatan petani, melestarikan lingkungan,

dan menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo dan Higley 1992).

Karena status hama ditentukan oleh serangga dan tanaman, strategi pengendalian

hama ditekankan pada modifikasi salah satu atau keduanya (Arifin, 2012)

Strategi tanpa pengendalian. Strategi ini diterapkan pada kondisi

agroekosistem stabil karena populasi hama berada di bawah AE. Strategi

menurunkan populasi hama. Strategi ini diterapkan untuk dua situasi. Pertama,

bila berdasarkan pengalaman populasi hama akan melampaui AE maka untuk

tujuan preventif, sebelum tanam harus dilakukan upaya mengubah lingkungan

menjadi tidak disukai hama. Kedua, bila dalam kondisi normal populasi hama

akan berada di atas AE sepanjang musim maka untuk tujuan kuratif harus

disiapkan tindakan pengendalian (Setiani, 2012).

Strategi mengurangi kerentanan tanaman. Strategi pemanfaatan varietas

tahan tidak mengurangi populasi hama secara langsung, tetapi sangat berarti

karena tanaman dapat menolak atau mentoleransi hama. Strategi ini dapat disertai

dengan meningkatkan vigor tanaman melalui pengaturan pengairan dan

pemupukan (Marwoto, 2008)


15

Strategi kombinasi. Strategi yang mengkombinasikan upaya penurunan

populasi hama dan kerentanan tanaman ini menguntungkan karena jika satu teknik

gagal, teknik lainnya dapat membantu mengendalikan hama. Selain itu, efektivitas

suatu teknik pengendalian dapat ditingkatkan jika digunakan secara bersama

dengan teknik lainnya (Tengkano, 2005).

Pengendalian dengan teknik budi daya, misalnya (a) menggilir tanaman

kedelai dengan jagung atau padi; (b) menanam kedelai dan jagung secara

berselang-seling pada petak berbeda; (c) menanam kedelai varietas Ijen yang

toleran terhadap serangan ulat grayak; dan (d) menanam varietas Dieng sebagai

tanaman perangkap. 2. Pengendalian hayati, misalnya (a) mengkonservasi

parasitoid Snellenius manila dan predator Lycosa pseudoannulata; dan (b)

memperbanyak dan melepas patogen serangga (virus Borelinavirus litura)

(Fattah, 2015).

Dinamika Perkembangan Ulat Grayak

Dinamika perkembangan ulat grayak pada sistem produksi kedelai dapat

diklasifikasikan ke dalam lima fase, yakni: Fase subsisten. Sebelum tahun 1940an,

petani jarang menggunakan insektisida sehingga populasi ulat grayak dan hama

lainnya berada dalam keadaan seimbang karena diatur oleh faktor pengendali

alamiah (fisik dan biologis). Untuk mencegah serangan hama, petani

memanfaatkan teknik budi daya dan cara mekanis (pengumpulan serangga hama)

(Setiani, 2012).

Fase eksploitasi. Pada tahun 1950-an, insektisida golongan organoklorin,

organofosfat, dan karbamat mulai diintroduksikan di Indonesia. Program

perlindungan tanaman dikembangkan dengan mengaplikasikan insektisida


16

tersebut untuk mengatasi berbagai jenis hama. Program ini terbukti efektif dan

memberikan hasil panen yang memuaskan. Oleh karena itu, petani cenderung

mengeksploitasi insektisida secara maksimal dan berjadwal (Rimadhani, 2013).

Fase krisis dan bencana. Setelah fase eksploitasi berlangsung beberapa

tahun, pada saat petani cenderung mengaplikasikan insektisida secara berlebihan,

muncul masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida, resurjensi hama,

perubahan status hama sekunder menjadi hama utama, dan residu insektisida pada

tanaman. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan petani tentang

sifat-sifat dasar insektisida kimia dan kemungkinan terjadinya dampak negatif

yang ditimbulkan (Yarnisah, 2008).

Fase pengendalian terpadu. Mengingat dampak negatif insektisida, pada

tahun 1970-an, pemerintah mulai memikirkan program pengendalian ulat grayak

berdasarkan prinsip ekologis dan ekonomis. Program yang dikenal dengan PHT

ini memadukan secara serasi beberapa teknik pengendalian yang cocok.

Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan insektisida dan mengelola

populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan tanaman secara ekonomis

(Tengkano, 2005).

Fase pertanian organik. Memasuki abad ke-21, masyarakat mulai

menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian pupuk anorganik, insektisida

kimia, dan hormon tumbuh. Program pengendalian ulat grayak dilakukan dengan

menggunakan bahan-bahan alami, seperti insektisida nabati dan patogen serangga

(bakteri, virus, cendawan, dan nematoda). Tujuannya adalah untuk menjamin

kedelai aman dikonsumsi (food safety), ramah lingkungan (eco-labelling), dan

mengandung nutrisi tinggi (Samsudin, 2016).


17

Pengertian Bioinsektisida S/NPV

Secara umum virus serangga dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu

virus yang mempunyai Inclusion Body (IB) dan virus Non Inclusion Body (tanpa

IB). Inclusion Body merupakan badan pembawa virus yang terbuat dari matriks

protein, dan mempunyai bentuk seperti kristal tidak beraturan. Matriks protein

inilah yang sering disebut dengan Polyhedral Inclusion Body (PIB) (Amico 1997).

PIB dapat dilihat dengan mikroskop biasa, di dalam standardisasi PIB digunakan

sebagai satuan untuk menentukan konsentrasi dan dosis NPV (Bedjo, 2004).

Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) merupakan salah

satu agens hayati yang telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida. Virus

patogen serangga ini mempunyai beberapa sifat menguntungkan, antara lain: (1)

memiliki inang spesifik, yakni ulat grayak; (2) tidak membahayakan organisme

bukan sasaran dan lingkungan; (3) dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak

terhadap insektisida; dan (4) kompatibel dengan komponen pengendalian lainnya

(Arifin, 2012).

Virus entomopatogen sebagian besar masuk kedalam 5 genera virus yaitu

Baculovirus, Poxvirus, Iridovirus, Enterovirus, dan Rhabdovirus. Dari kelima

genera ini genus Baculovirus yang terpenting karena termasuk didalamnya

kelompok virus terbesar yaitu (Nuclear Polyhedrosis Virus) yang banyak

digunakan sebagai agens hayati (Rimadhani, 2013).

NPV (Nuclear-Polyhydrosis virus) adalah virus pathogen serangga

berbentuk batang dan terdapat di dalam benda inklusi yang disebut polihedra.

Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, terdapat didalam inti sel yang rentan

dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hypodermis dan matriks
18

trakea. NPV memiliki sifat menguntungkan antara lain: a. Inangnya spesifik, b.

tidak membahayakan musuh alami, manusia dan lingkungan. c. dapat mengatasi

masalah resistensi hama terhadapa insektisida dan d. kompatibel dengan taktik

PHT lainnya (Setiani, 2012).

NPV memperbanyak diri di dalam inti sel (nucleus) serangga inang. Untuk

dapat menginfeksi sel serangga inang, polihedra NPV harus tertelan bersama

dengan pakan yang dikonsumsinya melalui alat mulut, kemudian pada saluran

pencernaan akan menginfeksi inti sel inang. Gen gp64 yang terdapat pada protein

selubung NPV memegang peranan penting sebagai reseptor pengikat sel serangga

inang yang kinerjanya dimediasi oleh kondisi pH rendah dan masuk ke dalam sel

inang melalui proses endositosis (Samsudin, 2016).

Gejala Infeksi Bioinsektisida S/NPV

NPV akan melakukan replikasi atau memperbanyak diri di dalam inti sel

inangnya. Oleh karena itu infeksi NPV harus tertelan bersamasama pakan yang

dikonsumsi melalui mulut terus ke pencernaan. Dalam pencernaan ini NPV

menginfeksi nucleus sel-sel yang peka terutama lapisan epitel ventrikulus dan

hemosit yang berada dalam haemocoel S. litura. Infeksi NPV dalam tubuh

serangga dapat terjadi jika usus serangga pada kondisi alkalis (pH > 9)

(Bedjo, 2004).

SlNPV memiliki daya bunuh lambat. Kematian ulat terjadi pada 4-11 hari

setelah aplikasi sehingga ulat masih mampu merusak tanaman. Ada empat cara

untuk mempercepat daya bunuh, yakni: (1) mengaplikasikan SlNPV pada saat ulat

masih muda, (2) menggunakan strain SlNPV yang lebih virulen; (3)

mengkombinasikan SlNPV dengan insektisida kimia atau biologis; dan (4)


19

mengembangkan SlNPV rekombinan dengan cara menyisipkan gen spesifik yang

bersifat racun ke dalam genom SlNPV (Arifin, 2012).

Serangga inang yang terinfeksi NPV akan mengalami abnormalitas secara

morfologi, fisiologi dan perilaku. Di alam kematian larva akibat terinfeksi NPV

sering ditemukan dengan tanda tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai

semu bagian abdomen menempel pada daun atau ranting tanaman membentuk

huruf ‚V‛ terbalik. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut

dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau penyakit ulat ujung pohon (tree

top)( Samsudin, 2016).

Larva yang terinveksi NPV kemudian disimpan dalam lemari pendingin

sebagai persediaan bahan pembuatan larutan NPV untuk keperluan perlakuan

dalam percobaan. Larva yang terinfeksi diambil sesuai perlakuan kemudian

dihaluskan dengan blender lalu dicampur air 100 ml, disaring dengan kain muslin.

Kemudian larva ulat grayak sehat diletakkan pada tanaman tembakau, masing-

masing tanaman diletakkan 5 ekor larva. Aplikasi virus dilakukan terhadap larva

instar 2 dan 4 (Rimadhani, 2013).

Nuclear Polyhydrosis virus menginfeksi inang melalui dua tahap. Pada

tahap pertama NPV menyerang usus tengah, kemudian pada tahap selanjutnya

pada rongga tubuh(hameocoel) serta oragn-organ tubuh lainnya. Pada infeksi

lanjut NPV juga menyeran sel darah (leucosit dan limfosit), trakea, hypodermis,

dan sel lemak. Nuclear Polyhydrosis Virus akan melakukan replikasi atau

memperbanyak diri didalam sel inangnya. Oleh karena itu infeksi NPV harus

tertelan bersama-sama pakan yang dikonsumsi melalui mulut lebih dahulu,

kemudian melalui alat pencernaan inilah NPV yang menginfeksi nucleus yang
20

peka terutama lapisan epitel ventrikulus dan hemosit yang berada dalam hameocel

ulat grayak (Yarnisah, 2008).

Aplikasi Bioinsektisida S/NPV untuk Mengendalikan Ulat Grayak

(Spodoptera litura) (Lepidoptera:Noctidae) pada Tanaman Kedelai

(Glycine max (L) Merill.)

Sampai saat ini, SlNPV belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah

diketahui potensi biotiknya yang tinggi dan efektif, serta telah berhasil

dikembangkan sebagai bioinsektisida dengan biaya relatif murah sehingga

memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala komersial. Efektivitas SlNPV

terhadap ulat grayak telah diuji pada tanaman kedelai di lapangan (Arifin, 2012).

Penelitian untuk mempercepat kinerja NPV dan meningkatkan virulensi

serta kisaran inangnya telah dilakukan dengan memanfaatkan teknologi biologi

molekuler. Rekayasa genetik pada Autographa californica NPV (AcNPV) dengan

membuang gen EGT dapat mengurangi aktifitas makan dari S. frugiperda yang

terinfeksi virus rekombinan tersebut dan mematikan 30% lebih cepat dari larva

yang terinfeksi wild-type AcNPV, sedangkan Lymantria dispar NPV (LdNPV)

yang dibuang gen EGT dilaporkan mematikan larva L. dispar rata-rata 20% lebih

cepat dibandingkan yang terinfeksi LdNPV asalnya (Samsudin, 2016).

SlNPV isolat dari Lampung efektif mengendalikan larva S. litura instar-1

sampai instar-3 dengan tingkat kematian 80%, lebih rendah bila dibandingkan

dengan isolat JTM97c. Isolat JTM97c sangat efektif mengendalikan larva, dengan

tingkat kematian mencapai 100%. Cendawan entomopatogen M. Anisopliae

berpotensi tinggi sebagai salah satu agens hayati dalam pengendalian ulat grayak

dengan tingkat mortalitas mencapai 83%. NPV telah berhasil diproduksi secara
21

besar-besaran dengan menggunakan teknologi tinggi di Amerika Serikat, Rusia,

dan Finlandia. Harga produk NPV tersebut sangat mahal karena biaya produksi

mahal (Tengkano, 2005).

Pemanfaatan NPV sebagai agens hayati sangat efektif untuk

mengendalikan S. litura. NPV ini didapat dengan cara mengambil dan

memperbanyak virus yang berasal dari hama tersebut. Efektifitas NPV sangat

dipengaruhi oleh sinar ultra violet yang dipancarkan sinar matahari, karena sinar

ultra violet dapat menyebabkan penurunan efektifitas NPV, demikian juga suhu

lingkungan berpengaruh terhadap aktifitas NPV. Oleh karena itu untuk

aplikasinya diperlukan formula yang mengandung bahan pelindung atau ajuvant

yang tahan terhadap sinar ultra violet sehingga keefektifian NPV dapat

dipertahankan (Bedjo, 2004).

Agar berspektrum luas dan virulen terhadap berbagai jenis hama

Lepidoptera, SlNPV dapat dipadukan dengan HaNPV untuk mengendalikan ulat

pemakan polong (Helicoverpa armigera) pada kedelai. Nilai LC50 SlNPV untuk

ulat grayak dan HaNPV untuk ulat pemakan polong tidak berbeda nyata dengan

standar. Bioinsektisida SlNPV diaplikasikan dengan alat semprot yang umum

digunakan untuk mengaplikasikan insektisida. Apabila kepadatan populasi ulat

grayak relatif tinggi, aplikasi sebaiknya diulang 12 minggu kemudian

(Arifin, 2012).
22

KESIMPULAN

1. Strategi pengendalian hama ditekankan pada modifikasi salah satu atau

keduanya yakni :Strategi tanpa pengendalian, Strategi menurunkan

populasi hama, Strategi mengurangi kerentanan tanaman, Strategi

kombinasi.

2. Dinamika perkembangan ulat grayak pada sistem produksi kedelai dapat

diklasifikasikan ke dalam lima fase, yakni: Fase subsisten, Fase

eksploitasi, Fase krisis dan bencana, Fase pengendalian terpadu, Fase

pertanian organic.

3. Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) merupakan salah

satu agens hayati yang telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida.

4. Ada empat cara untuk mempercepat daya bunuh, yakni: (1)

mengaplikasikan SlNPV pada saat ulat masih muda, (2) menggunakan

strain SlNPV yang lebih virulen; (3) mengkombinasikan SlNPV dengan

insektisida kimia atau biologis; dan (4) mengembangkan SlNPV

rekombinan

5. Efektifitas NPV sangat dipengaruhi oleh sinar ultra violet yang

dipancarkan sinar matahari, karena sinar ultra violet dapat menyebabkan

penurunan efektifitas NPV, demikian juga suhu lingkungan berpengaruh

terhadap aktifitas NPV.


23

DAFTAR PUSTAKA

Agus, B. D. 2005. Pengendalian Ulat Grayak Pada Tanaman Kedelai. Fakultas


Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Arifin, M. 2012. Bioinsektisida SlNPV Untuk Mengendalikan Ulat Grayak


Mendukung Swasembada Kedelai. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.

Bedjo. 2004. Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV)


Untuk Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) Pada
Tanaman Kedelai. Bul. Palawija No. 7 & 8: 1–9. Balai Penelitian
Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Malang.

Fattah, A. 2015. Siklus Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura, F) dan Tingkat
Serangan pada Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Sulawesi Selatan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.

Hasanah, N. 2015. Tugas Terstruktur Tanaman Kedelai. Fakultas Pertanian


Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto.

Kasai, M. S. 2008. Analisis Perkembangan Ulat Grayak Pada Budidaya Tanaman


Kedelai (Glycine max (L) Merr.). Universitas Brawijaya. Malang.

Kemtan (Kementerian Pertanian). 2009. Rancangan Rencana Strategis


Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.
184 hlm.

Lestari, S, T. B. Ambarningrum. 2013. Tabel Hidup Spodoptera litura Fabr.


dengan Pemberian Pakan Buatan yang Berbeda. Jurnal Sain Veteriner 31
(2) ISSN: 0126-0421. Fakultas Biologi Universitas Jendral Soedirman.
Purwokerto.

Marwoto. 2008. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill).


Universitas Hasanudin. Makassar.

Maworto. 2008. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak


(Spodoptera litura Fabricius) Pada Tanaman Kedelai. Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang.

Muchlish, M. 2016. Biologi Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-


kacangan dan Umbi-umbian. Malang.

Ningrum, W. S. 2011. Analisis Pertumbuhan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Di


Bawah Cekaman Naungan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
24

Rimadhani, A. S. 2013. Virulensi Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) Terhadap


Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera : Noctuidae) Pada
Tanaman Tembakau Deli Di Rumah Kaca. Jurnal Online
Agroekoteknologi Vol.1, No.3. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara. Medan.

Samsudin. 2016. Prospek Pengembangan Bioinsektisida Nucleo Polyhedro Virus


(NPV) Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan Di Indonesia.
Balai Penelitian Tanaman Industri dan penyegar. Sukabumi.

Sarwanto, A. S. 2005. Teknik Pengendalian Hama Ulat Grayak Pada Tanaman


Kedelai (Glycine max (L) Merr.). Universitas Hasanudin. Makassar.

Setiani, A. 2012. Potensi SL-NPV (Spodoptera Litura-Nuclear Polyhydrosis


Virus) dalam Mengendalikan Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada
Tanaman Kedelai. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Sumarno. 2012. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia.


Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Taufiq, A. 2015. Respons Tanaman Kedelai Terhadap Lingkungan Tumbuh.


Buletin Palawija No. 23: 13–26. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian. Malang.

Tengkano, W. 2005. Ulat Grayak Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera:


Noctuidae) Pada Tanaman Kedelai Dan Pengendaliannya. Bul. Palawija
No. 10: 43–52. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-
umbian. Malang.

Yarnisah, A. 2008. Uji Patogenesitas Beberapa Isolat S/NPV Terhadap Tingkat


Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Tanaman Kedelai
(Glycine max (L) Merill). Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negri. Malang.

Anda mungkin juga menyukai