PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan posisi produksi kedelai pada tahun 2009 sebesar 1 juta ton,
petani dengan potensi genetik kedelai karena sebagian besar petani belum
menggunakan varietas unggul baru yang toleran cekaman biotik dan abiotik, serta
penggunaan lahan dengan jagung; dan (4) nilai kompetitif kedelai dalam negeri
semakin merosot karena membanjirnya kedelai impor yang harganya lebih murah
(Kemtan 2009).
mencapai 266 jenis, yang terdiri atas 111 jenis hama, 53 jenis serangga kurang
penting, 61 jenis serangga predator, dan 41 jenis serangga parasit. Dari 111 jenis
serangga hama tersebut, 50 jenis tergolong hama perusak daun, namun yang
jenis serangga hama pemakan daun, ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan
salah satu jenis hama pemakan daun yang sangat penting. Kehilangan hasil akibat
serangan hama tersebut dapat mencapai 80%, bahkan puso jika tidak
2
Ulat grayak (Spodoptera litura F.) merupakan salah satu hama daun yang
penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang
tanah, kubis, ubi jalar, kentang. S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase
vegetatif yaitu memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun
saja dan pada fase generatif dengan memakan polong–polong muda. Spodoptera
Indonesia, India, Jepang, Cina, dan negaranegara lain di Asia Tenggara. Ulat
grayak (S. litura) bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang luas
sehingga berpotensi menjadi hama pada berbagai jenis tanaman pangan, sayuran,
kedelai. Kehilangan hasil akibat serangan hama tersebut dapat mencapai 85%,
mengurangi populasi musuh alami seperti parasitoid dan predator, di samping itu
satu virus patogen yang menginfeksi ulat grayak. SlNPV ditemukan oleh Arifin
dari hasil pengamatan terhadap ulat grayak mati terinfeksi patogen di sentra
produksi kedelai di Brebes dan Lampung Tengah pada tahun 1984. SlNPV efektif
Tujuan Penulisan
mengendalikan ulat grayak pada tanaman kedelai (Glycine max (L) Merill.)
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat
TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk biji kedelai beragam dari lonjong hingga bulat, dan sebagian besar kedelai
>14 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji), dan kecil (< 10 g/100 biji). Di Jepang
dan Amerika biji kedelai berukuran besar jika memiliki berat 30 g/100 biji. Biji
sebagian besar tersusun oleh kotiledon dan dilapisi oleh kulit biji (testa). Antara
Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan
akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga
seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil.
Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air
tanah yang terlalu tinggi. Pertumbuhan akar tunggang dapat mencapai panjang
sekitar 2 m atau lebih pada kondisi yang optimal, namun demikian, umumnya
akar tunggang hanya tumbuh pada kedalaman lapisan tanah olahan yang tidak
terlalu dalam, sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh pada
kedalaman tanah sekitar 20-30 cm. Akar serabut ini mula-mula tumbuh di dekat
5
ujung akar tunggang, sekitar 3-4 hari setelah berkecambah dan akan semakin
(Sarwanto, 2005).
tanaman kedelai berkayu, biasanya kaku dan tahan rebah, kecuali tanaman yang
sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah
daun teratas sama besar dengan daun batang tengah, dan berbunga serentak.
tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah, agak melilit dan beruas
panjang, daun teratas lebih kecil dari daun batang tengah, dan pembungaan terjadi
secara bertahap mulai dari bagian pangkal ke bagian atas (Hasanah, 2015).
Daun kedelai terbagi menjadi empat tipe, yaitu: (1) kotiledon atau daun
biji, (2) dua helai daun primer sederhana, (3) daun bertiga, dan 4) profila. Daun
primer berbentuk oval dengan tangkai daun sepanjang 1-2 cm, terletak
sepasang stipula yang terletak pada dasar daun yang menempel pada batang. Tipe
daun yang lain terbentuk pada batang utama, dan pada cabang lateral terdapat
daun trifoliat yang secara bergantian dalam susunan yang berbeda. Anak daun
Ada kalanya terbentuk 4-7 daun dan dalam beberapa kasus terjadi penggabungan
6
daun lateral dengan daun terminal. Daun tunggal mempunyai panjang 4-20 cm
dan lebar 3-10 cm. Tangkai daun lateral umumnya pendek sepanjang 1 cm atau
kurang. Dasar daun terminal mempunyai dua stipula kecil dan tiap daun lateral
mempunyai sebuah stipula. Setiap daun primer dan daun bertiga mempunyai
pulvinus yang cukup besar pada titik perlekatan tangkai dengan batang. Pulvini
berhubungan dengan pergerakan daun dan posisi daun selama siang dan malam
hari yang disebabkan oleh perubahan tekanan osmotik di berbagai bagian pulvinus
(Muchlish, 2016).
stadia tumbuh, yaitu stadia vegetatif dan stadia reproduktif. Stadia vegetatif mulai
Indonesia yang mempunyai panjang hari rata-rata sekitar 12 jam dan suhu udara
yang tinggi (>30° C), sebagian besar mulai berbunga pada umur antara 5-7
(Sarwanto, 2005).
Syarat Tumbuh
Iklim
Kedelai tergolong tanaman hari pendek, yaitu tidak mampu berbunga bila
bila lama penyinaran kurang dari 12 jam. Tanaman hari pendek pada kedelai
tidak mengalami periode gelap akan tumbuh vegetatif terusmenerus, tidak mampu
untuk pembentukan polong dan biji adalah 15 °C. Suhu yang sesuai untuk kedelai
pada fase perkecambahan adalah 15–22 oC, fase pembungaan 20–25 oC, dan pada
fase pemasakan 15–22 oC. Peningkatan suhu udara pada siang hari dari 30 oC
menyebabkan penurunan hasil 27%, akan tetapi peningkatan suhu pada malam
hari dari 20 menjadi 30 oC tidak berpengaruh terhadap hasil dan komponen hasil
(Taufiq, 2015).
rendah samapi ketinggian 900 meter diatas permukaan laut (dpl). Meskipun
demikian telah banyak varietas atau genotipe kedelai dalam negeri maupun
200 m dpl. Kedelai biasanya ditanam di daerah dengan garis lintang 550 LU atau
550 LS, pada ketinggian dari permukaan laut sampai dengan 2 000 mdpl
(Ningrum, 2011).
75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan
kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan polong hingga
8
panen. Suhu udara yang agak rendah (20-22°C) dan udara kering pada saat panen
sangat ideal bagi pelaksanaan panen sehingga biji kedelai bermutu tinggi. Di alam
tropika Indonesia, kondisi udara seperti tersebut tidak mudah diperoleh, namun
apabila cuaca kering, tidak ada hujan dan tidak ada kabut selama pematangan
(Sumarno, 2012).
air, serta sebagian besar C terpartisi ke dalam bentuk pati. Kedelai yang
yang lebih tinggi, luas daun yang lebih besar, dan hasil yang lebih tinggi.
lebih baik. Namun sebaliknya, setiap peningkatan suhu 1oC menurunkan hasil
Tanah
Secara umum kedelai tidak sesuai ditanam pada tanah bertekstur lempung
berstruktur berat dan berdrainase buruk, dan tidak susuai pada tanah berpasir
jumlah yang banyak untuk dapat ditanami kedelai. Pada skala luas, ameliorasi
bahan organik dengan takaran tinggi tidak ekonomis, sehingga tidak dianjurkan
tanah harus lebih tinggi dari 10 oC. Suhu tanah optimal untuk perkecambahan biji
bintil akar. Pada kondisi tanpa mulsa, jumlah bintil akar meningkat dengan makin
padatnya tanah, namun terjadi sebaliknya jika diberi mulsa (Kasai, 2008).
dengan keasaman sedang (pH 5-7) (Baharsjah, 1992). Nilai pH ideal bagi
pertumbuhan kedelai dan bakteri Rhizobium adalah 6.0-6.8. Apabila pH diatas 7.0
(CaMg(CO3)2), atau kapur bakar. Pemberian kapur dilakukan sekitar 2-4 minggu
mampu menyerap air setara dengan 50% dari bobot setiap biji kedelai, untuk
diperoleh apabila benih yang ditanam kontak langsung dengan partikel tanah yang
gembur dan lembab. Kelembaban tanah yang tinggi, berkisar antara 80100%
kapasitas lapang, diperlukan pada saat benih ditanam hingga berkecambah dan
tanaman berdaun tunggal muncul di permukaan tanah (1-12 hari setelah tanam)
(Sumarno, 2012).
10
tanaman dan kandungan N tanaman pada tingkat salinitas 50 dan 100 mM NaCl,
kedelai tergolong toleran dibandingkan kacang tunggak, kacang hijau, dan faba-
bean. Berdasarkan pengujian salinitas dari ECe 0,8 hingga 7,0 dS/m, kedelai
Siklus Hidup
permukaan daun, tiap kelompok telur terdiri atas ± 350 butir. Kelompok telur
tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung
imago betina (Miyahara et al., 1971).Telur akan menetas sekitar 4 hari dalam
kondisi hangat atau sampai dengan 11 atau 12 hari jika musim dingin. Larva yang
baru menetas akan tinggal sementara ditempat telur diletakkan, beberapa hari
setelah itu larva akan mulai berpencar (Nakasuji, 1976). Kalshoven (1981)
menyebutkan bahwa larva S. litura terdiri dari 5 periode instar. Instar 1 berumur
sekitar 2-3 hari, instar 2 sekitar 2-4 hari, instar 3 sekitar 2-5 hari, instar 4 sekitar
Umur larva mulai dari instar-1 sampai instar-6 sekitar 12-15 hari. Larva
yang baru menetas makanannya dari daun yang ditempati telur dalam bentuk
mulutnya dan pindah dari tanaman ke tanaman lain. Larva S. litura mempunyai
warna yang berbeda-beda.Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian
11
sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan larva instar terakhir terdapat kalung
(bulan sabut) warna hitam gelap pada segmen abdomen ke empat dan sepuluh
(Fattah, 2015)
Ulat grayak bersifat polifag dari berbagai jenis tanaman pangan, tanaman
instar VI yang berlangsung 3-4 hari, dua ekor ulat mampu menghabiskan sebatang
tanaman kedelai stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan
dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat
kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60
hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang
berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat
Stadium pupa berlangsung selama 7–10 hari dengan rata-rata 8,5 hari. Stadium
ngengat berlangsung selama 1–13 hari dengan rata-rata 9,3 hari. Daur hidup S.
litura dari telur hingga ngengat bertelur berlangsung selama 28 hari. Peluang
hidup dari telur hingga larva instar-1, awal kepompong, dan awal ngengat
insektisida sehingga populasi ulat grayak dan hama lainnya berada dalam keadaan
seimbang karena diatur oleh faktor pengendali alamiah (fisik dan biologis). Untuk
12
mencegah serangan hama, petani memanfaatkan teknik budi daya dan cara
epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak
Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis
dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan
Kedelai berbunga rata-rata pada umur 36 hari setelah tanam (HST) dan
fase generatif berkisar dari 46–51 hari. Banyaknya bunga kedelai yang terbentuk
dan bunga yang menjadi polong dipengaruhi oleh varietas dan lingkungan.
Reaksi tanaman terhadap kerusakan pada berbagai tahap pertumbuhan dan bagian
Larva yang masih muda (instar 1-3) merusak daun dengan meninggalkan
sisa-sisa pada epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Berbeda halnya
dengan instar 4-6, gejala serangan pada daun tidak meninggalkan transparan atau
sisa-sisa bagian epidermis pada bagian atas dan tulang daun, melainkan terbentuk
epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak
Serangan berat menyebabkan tanaman rusak karena daun dan buah habis dimakan
ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan
dan menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo dan Higley 1992).
Karena status hama ditentukan oleh serangga dan tanaman, strategi pengendalian
hama ditekankan pada modifikasi salah satu atau keduanya (Arifin, 2012)
menurunkan populasi hama. Strategi ini diterapkan untuk dua situasi. Pertama,
menjadi tidak disukai hama. Kedua, bila dalam kondisi normal populasi hama
akan berada di atas AE sepanjang musim maka untuk tujuan kuratif harus
tahan tidak mengurangi populasi hama secara langsung, tetapi sangat berarti
karena tanaman dapat menolak atau mentoleransi hama. Strategi ini dapat disertai
populasi hama dan kerentanan tanaman ini menguntungkan karena jika satu teknik
gagal, teknik lainnya dapat membantu mengendalikan hama. Selain itu, efektivitas
kedelai dengan jagung atau padi; (b) menanam kedelai dan jagung secara
berselang-seling pada petak berbeda; (c) menanam kedelai varietas Ijen yang
toleran terhadap serangan ulat grayak; dan (d) menanam varietas Dieng sebagai
(Fattah, 2015).
diklasifikasikan ke dalam lima fase, yakni: Fase subsisten. Sebelum tahun 1940an,
petani jarang menggunakan insektisida sehingga populasi ulat grayak dan hama
lainnya berada dalam keadaan seimbang karena diatur oleh faktor pengendali
memanfaatkan teknik budi daya dan cara mekanis (pengumpulan serangga hama)
(Setiani, 2012).
tersebut untuk mengatasi berbagai jenis hama. Program ini terbukti efektif dan
memberikan hasil panen yang memuaskan. Oleh karena itu, petani cenderung
perubahan status hama sekunder menjadi hama utama, dan residu insektisida pada
berdasarkan prinsip ekologis dan ekonomis. Program yang dikenal dengan PHT
populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan tanaman secara ekonomis
(Tengkano, 2005).
kimia, dan hormon tumbuh. Program pengendalian ulat grayak dilakukan dengan
Secara umum virus serangga dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
virus yang mempunyai Inclusion Body (IB) dan virus Non Inclusion Body (tanpa
IB). Inclusion Body merupakan badan pembawa virus yang terbuat dari matriks
protein, dan mempunyai bentuk seperti kristal tidak beraturan. Matriks protein
inilah yang sering disebut dengan Polyhedral Inclusion Body (PIB) (Amico 1997).
PIB dapat dilihat dengan mikroskop biasa, di dalam standardisasi PIB digunakan
sebagai satuan untuk menentukan konsentrasi dan dosis NPV (Bedjo, 2004).
satu agens hayati yang telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida. Virus
patogen serangga ini mempunyai beberapa sifat menguntungkan, antara lain: (1)
memiliki inang spesifik, yakni ulat grayak; (2) tidak membahayakan organisme
bukan sasaran dan lingkungan; (3) dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak
(Arifin, 2012).
berbentuk batang dan terdapat di dalam benda inklusi yang disebut polihedra.
Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, terdapat didalam inti sel yang rentan
dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hypodermis dan matriks
18
NPV memperbanyak diri di dalam inti sel (nucleus) serangga inang. Untuk
dapat menginfeksi sel serangga inang, polihedra NPV harus tertelan bersama
dengan pakan yang dikonsumsinya melalui alat mulut, kemudian pada saluran
pencernaan akan menginfeksi inti sel inang. Gen gp64 yang terdapat pada protein
selubung NPV memegang peranan penting sebagai reseptor pengikat sel serangga
inang yang kinerjanya dimediasi oleh kondisi pH rendah dan masuk ke dalam sel
NPV akan melakukan replikasi atau memperbanyak diri di dalam inti sel
inangnya. Oleh karena itu infeksi NPV harus tertelan bersamasama pakan yang
menginfeksi nucleus sel-sel yang peka terutama lapisan epitel ventrikulus dan
hemosit yang berada dalam haemocoel S. litura. Infeksi NPV dalam tubuh
serangga dapat terjadi jika usus serangga pada kondisi alkalis (pH > 9)
(Bedjo, 2004).
SlNPV memiliki daya bunuh lambat. Kematian ulat terjadi pada 4-11 hari
setelah aplikasi sehingga ulat masih mampu merusak tanaman. Ada empat cara
untuk mempercepat daya bunuh, yakni: (1) mengaplikasikan SlNPV pada saat ulat
masih muda, (2) menggunakan strain SlNPV yang lebih virulen; (3)
morfologi, fisiologi dan perilaku. Di alam kematian larva akibat terinfeksi NPV
sering ditemukan dengan tanda tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai
semu bagian abdomen menempel pada daun atau ranting tanaman membentuk
huruf ‚V‛ terbalik. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut
dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau penyakit ulat ujung pohon (tree
dihaluskan dengan blender lalu dicampur air 100 ml, disaring dengan kain muslin.
Kemudian larva ulat grayak sehat diletakkan pada tanaman tembakau, masing-
masing tanaman diletakkan 5 ekor larva. Aplikasi virus dilakukan terhadap larva
tahap pertama NPV menyerang usus tengah, kemudian pada tahap selanjutnya
lanjut NPV juga menyeran sel darah (leucosit dan limfosit), trakea, hypodermis,
dan sel lemak. Nuclear Polyhydrosis Virus akan melakukan replikasi atau
memperbanyak diri didalam sel inangnya. Oleh karena itu infeksi NPV harus
kemudian melalui alat pencernaan inilah NPV yang menginfeksi nucleus yang
20
peka terutama lapisan epitel ventrikulus dan hemosit yang berada dalam hameocel
Sampai saat ini, SlNPV belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah
diketahui potensi biotiknya yang tinggi dan efektif, serta telah berhasil
terhadap ulat grayak telah diuji pada tanaman kedelai di lapangan (Arifin, 2012).
membuang gen EGT dapat mengurangi aktifitas makan dari S. frugiperda yang
terinfeksi virus rekombinan tersebut dan mematikan 30% lebih cepat dari larva
yang dibuang gen EGT dilaporkan mematikan larva L. dispar rata-rata 20% lebih
sampai instar-3 dengan tingkat kematian 80%, lebih rendah bila dibandingkan
dengan isolat JTM97c. Isolat JTM97c sangat efektif mengendalikan larva, dengan
berpotensi tinggi sebagai salah satu agens hayati dalam pengendalian ulat grayak
dengan tingkat mortalitas mencapai 83%. NPV telah berhasil diproduksi secara
21
dan Finlandia. Harga produk NPV tersebut sangat mahal karena biaya produksi
memperbanyak virus yang berasal dari hama tersebut. Efektifitas NPV sangat
dipengaruhi oleh sinar ultra violet yang dipancarkan sinar matahari, karena sinar
ultra violet dapat menyebabkan penurunan efektifitas NPV, demikian juga suhu
yang tahan terhadap sinar ultra violet sehingga keefektifian NPV dapat
pemakan polong (Helicoverpa armigera) pada kedelai. Nilai LC50 SlNPV untuk
ulat grayak dan HaNPV untuk ulat pemakan polong tidak berbeda nyata dengan
(Arifin, 2012).
22
KESIMPULAN
kombinasi.
pertanian organic.
rekombinan
DAFTAR PUSTAKA
Fattah, A. 2015. Siklus Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura, F) dan Tingkat
Serangan pada Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Sulawesi Selatan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.