Barotrauma

Permanent neuropsychological changes such as memory disturbances and depression have been found in professional divers, even in those who have never had decompression sickness. The changes are probably the result of intravascular gas bubbles insufficient to cause acute symptoms. We examined amateur divers with long histories of self-contained underwater breathing apparatus diving by magnetic resonance imaging and compared them with normal controls. Hyperintense lesions of the subcortical cerebral white matter and degenerative changes of the cervical disks were significantly more common in the divers. 27 of 52 divers had a total of 86 focal hyperintensities versus 10 of 50 controls with 14 focal hyperintensities (p < 0.01). 32 divers had at least one degenerated intravertebral disc versus 9 controls (p < 0.0001). These results suggest that amateur divers are at risk of accumulating lesions in the central nervous system and in cartilage.

The body of a 44-year-old scuba diver was examined using postmortem multislice computed tomography (MSCT) and magnetic resonance imaging (MRI), and findings were verified by subsequent autopsy. The goal was to find out whether the important pathomorphological findings for the reconstruction of events and the identification of cause and manner of death could be identified using modem digital cross-sectioning techniques. The findings of a massive vital decompression with pulmonary barotrauma and lethal gas embolism were identified in the radiological images. MSCT and MRI were superior to autopsy in the demonstration of the extent and distribution of gas accumulation in intraparenchymal blood vessels of internal organs as well as in areas of the body inaccessible by standard autopsy.

A diving fatality at the extreme depth of 264 m fresh water is described. The diver was equipped with an underwater video camera which recorded events leading to his death. These events corroborated predictions about respiratory complications at extreme pressure made by early researchers. Review of the video and relevant literature resulted in the following physiological interpretation: an increase in respired gas density during descent caused a progressive increase in resistance to flow in both the airways and the breathing circuit. Initially, this was associated with a shift to ventilation at higher lung volumes, a relative degree of hypoventilation, and mild permissive hypercapnia. The promotion of turbulent airway flow by increasing gas density resulted in effort-independent expiratory flow at lower flow rates than usual. The consequent inability to match ventilation to the demands of physical work at the bottom precipitated a spiraling crisis of dyspnea, increasing PaCO2, and w...

Abstrak Tujuan artikel ini ditulis adalah untuk memberikan informasi atau ilmu pengetahuan kepada para nelayan tradisional mengenai cedera barotrauma yang sering terjadi di kalangan para nelayan dan bagaimana mereka bisa mengatasi cedera telinga ini. Pokok pikiran yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mengenai pengenalan tentang barotrauma dan apa saja hal yang menyebabkan barotrauma dan cara mengatasi barotrauma. Selain itu, kami juga akan membahas terkait safety diving yang benar mengingat masih banyak para nelayan tradisional yang belum mengetahui hal ini. Metode penelitian yang akan dipakai adalah review literature dan juga library study untuk mengumpulkan data-data dan juga materi terkait dengan barotrauma ini. Berdasarkan hasil pengolahan data dari berbagai literatur dan jurnal yang telah saya baca, masih banyak nelayan, terutama nelayan tradisional, yang tidak mengetahui barotrauma. Hal ini disebabkan para nelayan tidak diberikan ilmu yang cukup mengenai safety diving yang tepat dan masih kurangnya perhatian pemerintah terkait kasus tersebut. Dengan pembuatan artikel ini akan menjadi solusi dari permasalahan ini. Artikel ini akan membantu para nelayan untuk mengetahui lebih lanjut terkait barotrauma dan juga memberikan ilmu safety diving yang tepat agar para nelayan dapat meminimalisir cedera telinga ini atau yang biasa disebut dengan barotrauma. Kata kunci: Barotrauma, safety diving, nelayan, cedera telinga. A. Latar Belakang Indonesia merpakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah daerah perairan. Hal ini membuat negara Indonesia menjadi negara maritim dan sebagian penduduknya bekerja sebagai nelayan. Beberapa daerah pesisir Indonesia masih menggunakan cara tradisional dalam memperoleh hewan laut, terutama saat pengambilan hewan laut yang terdapat di dasar laut seperti ikan, lobster, teripang ,abalone, dan mutiara. Karena hal ini, tidak sedikit para nelayan yang mengalami gangguan pendengaran atau yang biasa disebut dengan barotrauma. Barotrauma adalah kerusakan jaringan telinga akibat ketidakmampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah dengan lingkungan. Barotrauma telinga dapat terjadi apabila penyelaman tanpa melaksanakan ekualisasi tekanan telinga tengah dengan cara yang benar. Barotrauma telinga berulang dalam periode lama dapat menyebabkan gangguan kapasitas recoiling serabut elastis membran timpani menjadi irreversible, sehingga dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Perubahan tekanan mendadak di ruang telinga tengah dapat diteruskan ke telinga dalam sehingga dapat menyebabkan kerusakan telinga dalam, bahkan ketulian.

Abstrak Tujuan artikel ini ditulis adalah untuk memberikan informasi atau ilmu pengetahuan kepada para nelayan tradisional mengenai cedera barotrauma yang sering terjadi di kalangan para nelayan dan bagaimana mereka bisa mengatasi cedera telinga ini. Pokok pikiran yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mengenai pengenalan tentang barotrauma dan apa saja hal yang menyebabkan barotrauma dan cara mengatasi barotrauma. Selain itu, kami juga akan membahas terkait safety diving yang benar mengingat masih banyak para nelayan tradisional yang belum mengetahui hal ini. Metode penelitian yang akan dipakai adalah review literature dan juga library study untuk mengumpulkan data-data dan juga materi terkait dengan barotrauma ini. Berdasarkan hasil pengolahan data dari berbagai literatur dan jurnal yang telah saya baca, masih banyak nelayan, terutama nelayan tradisional, yang tidak mengetahui barotrauma. Hal ini disebabkan para nelayan tidak diberikan ilmu yang cukup mengenai safety diving yang tepat dan masih kurangnya perhatian pemerintah terkait kasus tersebut. Dengan pembuatan artikel ini akan menjadi solusi dari permasalahan ini. Artikel ini akan membantu para nelayan untuk mengetahui lebih lanjut terkait barotrauma dan juga memberikan ilmu safety diving yang tepat agar para nelayan dapat meminimalisir cedera telinga ini atau yang biasa disebut dengan barotrauma. Kata kunci: Barotrauma, safety diving, nelayan, cedera telinga. A. Latar Belakang Indonesia merpakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah daerah perairan. Hal ini membuat negara Indonesia menjadi negara maritim dan sebagian penduduknya bekerja sebagai nelayan. Beberapa daerah pesisir Indonesia masih menggunakan cara tradisional dalam memperoleh hewan laut, terutama saat pengambilan hewan laut yang terdapat di dasar laut seperti ikan, lobster, teripang ,abalone, dan mutiara. Karena hal ini, tidak sedikit para nelayan yang mengalami gangguan pendengaran atau yang biasa disebut dengan barotrauma. Barotrauma adalah kerusakan jaringan telinga akibat ketidakmampuan menyamakan tekanan ruang telinga tengah dengan lingkungan. Barotrauma telinga dapat terjadi apabila penyelaman tanpa melaksanakan ekualisasi tekanan telinga tengah dengan cara yang benar. Barotrauma telinga berulang dalam periode lama dapat menyebabkan gangguan kapasitas recoiling serabut elastis membran timpani menjadi irreversible, sehingga dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Perubahan tekanan mendadak di ruang telinga tengah dapat diteruskan ke telinga dalam sehingga dapat menyebabkan kerusakan telinga dalam, bahkan ketulian.

Inner ear barotraumas and decompression sickness (DCS) may cause acute vestibular symptoms in divers. The result may be irreversible damage to the vestibular end organs or their central connections. We examined a group of offshore divers in order to find out how many divers experience vestibular symptoms later in life and how this was related to occupational history and objective findings. A questionnaire was sent to 230 offshore divers (mean age 52 yr) and 166 age-matched non-diving controls. Most of the divers had retired from diving. A subgroup (n=96) of the divers was referred for examination, including a clinical otoneurological examination, electronystagmography, bithermal caloric tests, and platform posturography. In addition, 42 of the controls were examined. The prevalence of dizziness (28%), spinning vertigo (14%), and unsteady gait (25%) was significantly higher in divers than controls (p < 0.0005). These symptoms were strongly associated with a previous history of DCS...

A piecewise regression approach was used to objectively quantify barotrauma injury thresholds in two physoclistous species, Murray cod Maccullochella peelii and silver perch Bidyanus bidyanus, following simulated infrastructure passage in a barometric chamber. The probability of injuries such as swimbladder rupture, exophthalmia and haemorrhage, and emphysema in various organs increased as the ratio between the lowest exposure pressure and the acclimation pressure (ratio of pressure change, R (NE:A)) reduced. The relationship was typically non-linear and piecewise regression was able to quantify thresholds in R (NE:A) that once exceeded resulted in a substantial increase in barotrauma injury. Thresholds differed among injury types and between species but by applying a multispecies precautionary principle, the maintenance of exposure pressures at river infrastructure above 70% of acclimation pressure (R (NE:A) of 0⋅7) should protect downstream migrating juveniles of these two physoclistous species sufficiently. These findings have important implications for determining the risk posed by current infrastructures and informing the design and operation of new ones.

This study presents six cases of headache that appeared only during flights and was not associated with other headache forms. The cases had severe headache attacks during some flights, when the plane was landing and taking off, with a unilateral and generally orbital and/or supraorbital localization. The attacks lasted between 15 and 20 min on average and recovered spontaneously, without any accompanying sign. We think that barotrauma caused by pressure changes in the cabin during take-off and landing could affect ethmoidal nerves (branching from the ophthalmic branch of the trigeminal nerve) that carry the senses of the mucosa on the inner surface of the paranasal sinuses, and/or nociceptors in ethmoidal arteries, thereby activating the trigeminovascular system and leading to headache.