Katalog

Parts Catalogue, Yamaha RX-King (3KAF) Indonesia

Julukan Raja Jalanan, Ini Dia Sejarah Yamaha RX-King di Indonesia

Indra Fikri - Selasa, 20 Agustus 2019 | 20:20 WIB

MOTOR Plus-online.com - Di era 90-an, motor Yamaha RX-King menjadi raja jalanan di Indonesia.

Sebelum ada Yamaha RX-King, padahal jauh sebelum model ini muncul, ada Yamaha sebelumnya yang juga tren pada masanya.

Pada saat itu, motor ini juga sering dicap negatif, karena sering digunakan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti menjambret.

Berikut ini sejarah Yamaha RX-King di Indonesia.

1. Yamaha RX100 (1977)

Nah ini dia sesepuhnya dari keluarga jambret, Yamaha RX100 meluncur pada tahun 1977.

Mesinnya dua tak dengan kubikasi hanya 100cc dengan power 11,5 dk dengan top speed 110 km/jam, terbilang kencang tuh pada masanya!

Yang bikin legendaris, meski punya mesin dua tak konsumsi bensinnya irit banget Sob! Satu liter bisa buat 40 km!

Sebetulnya sebelum RX100, ada RX125 Twin yang dijual di Indonesia pada tahun 1976.

Hanya saja, RX125 Twin bukan keluarga RX karena aslinya bernama RD125 dan hanya ganti nama saja saat masuk Indonesia.

2. Yamaha RX125 (1979)

Nah generasi selanjutnya, GridOto.com bahas RX125 satu silinder yah, bukan yang twin.

Mesin dua tak-nya punya kubikasi asli 123cc yang bisa menyemburkan power sampai 13 dk.

Oh ya, sama seperti RX100, Yamaha RX125 masih dibekali 4 percepatan.

3. Yamaha RX-K (1980)

Power maksimal 17,5 dk dan bisa digeber sampai 150 km/jam, kebut banget pada masanya!

Yamaha RX-K ini merupakan CBU dari Jepang, makanya punya kedok lampu alias bikini fairing.

Sayangnya motor ini kurang laku di pasar Indonesia dan hanya bertahan hingga tahun 1983 saja.

4. Yamaha RX-S (1981)

Kalau bapakmu anak motor yang udah mainan motor dari tahun 1980-an, pasti deh bingung dengan banyaknya seri Yamaha RX yang bertebaran saat itu.

Setelah RX-K, Yamaha kembali meluncurkan RX-S yang punya kubikasi 115 cc.

Sama seperti RX-K, Yamaha RX-S juga didatangkan langsung dari Jepang dari tahun 1981 hingga 1983.

5. Yamaha RX-Special (1983)

Makin bingung lagi nih pecinta motor dua tak di Indonesia ketika Yamaha meluncurkan RX-Special.

Kisahnya mirip dengan RX-K yang menjadi RX-King, ternyata RX-Special memang pengembangan dari RX-S.

Mesinnya sendiri sama dengan yang digunakan pada RX-S.

6. Yamaha RX-King Cobra (1983)

Akhirnya yang sudah ditunggu-tunggu, bisa dibilang inilah motor dua tak Yamaha yang paling legendaris di Indonesia.

Dibuatnya enggak asal-asalan, sebab Yamaha melakukan survey ke berbagai daerah.

Generasi pertama dari Yamaha RX-King diberi julukan Cobra karena bentuk setang dan tangkinya.

Mesin dua taknya masih rakitan Jepang, sedangkan rangkanya rakitan Indonesia.

Ini yang bikin mesin Yamaha RX-King Cobra dengan kode Y1-Y2 jadi incaran pebengkel dan kolektor.

Soal spesifikasi mesinnya, 135cc dengan power maksimal 18,2 dk dan torsinya 15,1 Nm di 8.000 RPM.

7. Yamaha RX-Z (1985)

Ibarat saudara kandung tapi beda jalan hidup, begitulah pengibaratan Yamaha RX-Z dengan RX-King.

Perbedaannya dengan RX King di panjang langkah silinder RX-Z yang 56 x 54 mm, sedangkan RX-King 58 x 50 mm.

Makanya RX-Z punya tagline sang penjelajah, karena memang tarikan napasnya lebih panjang kalau digeber.

Desainnya pakai kedok lampu, undercowl, sampai model knalpotnya bikin RX-Z terlihat lebih modern dan racy dibandingkan RX-King.

Oh ya, ada versi full fairing dari RX-Z yang diberi nama Yamaha RZ-R.

8. Yamaha RX-R (1988)

Baru tau ada Yamaha RX-R? Wajar, populasinya memang sedikit di Indonesia.

Selain itu kurang laku dibanding RX-King karena desainnya sama, tapi kubikasinya lebih sedikit jadi kesannya nanggung banget.

Yamaha RX-R menggunakan mesin 115 cc yang mirip dengan Yamaha RX-Special.

Jaman sekarang, Yamaha RX-R dengan kondisi baik jadi collector's item buat para pecinta Yamaha RX-series karena emang langka banget yang beredar.

9. Yamaha RX-King Master (1996)

Generasi kedua dari Yamaha RX-King ini muncul di tahun 1996 hingga 2001.

Perbedaannya dengan RX-King Cobra, mulai RX-King Master mesinnya sudah dibuat di Indonesia.

10. Yamaha New RX-King (2002)

Nah kalau yang satu ini adalah generasi terakhir dari keluarga RX-King sebab dihentikan produksinya karena regulasi emisi.

Padahal RX-King New ini sudah ada penambahan catalytic converter pada knalpotnya sehingga emisinya bisa ditekan.

Selain itu, karena ada catalytic converter itulah asapnya tidak ngebul seperti generasi lamanya, sehingga sering dikatakan RX-King empat tak karena tak ada asapnya.

Uniknya, lampu depannya balik jadi bulat seperti RX100 dan RX125.

RX-King dengan segala perjalanan panjangnya harus dihentikan di tahun 2008.

Tapi karena namanya sudah terlalu legendaris, justru di zaman now harganya malah menjadi tinggi.

Kalau ada yang kondisinya masih baik, dijamin harganya bisa gila-gilaan.

https://www.motorplus-online.com/read/251824945/julukan-raja-jalanan-ini-dia-sejarah-yamaha-rx-king-di-indonesia?page=all

Pesona Yamaha RX King yang Tak Lekang Oleh Waktu
Ridwan Arifin - detikOto
Jumat, 28 Sep 2018 10:52 WIB

Siapa tak kenal dengan merk RX King, motor yang diberi julukan 'motor jambret' ini masih menghiasi jalanan di Indonesia. Julukan motor jambret disebut karena karakter tarikan dari mesin 2 tak yang kencang, dibalut dengan volume 135 cc, sempat menjadi jaya di era tahun 90an, dan kini berbagai kalangan mulai memburunya.

Meski berumur tua, harganya pun bisa melambung tinggi, tidak ada patokan harga yang pasti apalagi bila kondisinya masih mulus. Pasalnya RX King kini tidak lagi diproduksi oleh Yamaha, walhasil menyebabkan stoknya terbatas namun peminatnya masih banyak.

Sebagai bukti di Otobursa Tumplek Blek 2018, ada salah satu RX-King yang dibanderol Rp 50 juta. RX-King itu milik Gilbert Ciputra dari King's Club Djakarta. Itu adalah RX-King Special Edition lansiran 2003 yang merupakan perayaan hari jadi RX-King ke-20 tahun.

Pemilik RX King kini pun tidak identik dengan orang tua, anak muda pun tampil bangga menungganginya. Seperti Hendar yang baru saja lulus dari bangku SMA, mempunyai RX King Cobra tahun 1994 yang diturunkan dari ayahnya seorang pensiunan tentara.

"Saya disuruh ngerawat motor ini sama bapak, sekarang kan setelah bapak pensiun jadi lurah di kampung," kata Hendar kepada Detikoto.

Menurutnya desain RX King tidak akan dilekang oleh waktu. Pasalnya Hendar sendiri tetap mempertahankan orisinalitas dari RX King.

Untuk diketahui cikal bakal RX King sendiri bisa diendus dari datangnya Yamaha RX K tahun 1980 yang merupakan Completely Built Up (CBU) dari Jepang. Kemudian berlanjut pada series Yamaha RX S (1981), Yamaha RX Special (1983), Yamaha RX King Cobra (1983), RX King Master (1996), dan terakhir Yamaha The New RX-King (2002). Hingga pada akhirnya RX King berhenti produksi di tahun 2008.

https://oto.detik.com/motor/d-4232762/pesona-yamaha-rx-king-yang-tak-lekang-oleh-waktu

Nggak Susah Kok Merawat RX King Lawas
Jumat, 28 Sep 2018 14:13 WIB
Ridwan Arifin - detikOto

RX King disebut sebagai salah satu motor legendaris di Indonesia, sedari tahun 1983 hingga saat ini penampakan motor besutan Yamaha ini masih saja dapat ditemui di setiap sudut jalanan.

Dari segi performa, RX King dibekali kapasitas mesin 135 cc dengan sistem 2 tak. Menjadi primadona sebagai motor sport terlaris di era 90-an, bahkan hingga saat ini.

Percaya nggak nih Otolovers, untuk merawat motor legendaris ini tetap gress ternyata nggak perlu perlakuan istimewa. Hal itu diungkapkan oleh Hendar, salah satu pemilik Yamaha RX King Kobra besutan 1994 yang masih menjaga orisinalitasnya, motornya merupakan turunan dari bapaknya yang seorang pensiunan tentara.

"Kalau RX King saya sendiri paling sering ngecek oli sampingnya, dulu diajarin bapak begitu," kata Hendar kepada detikOto.

Oli samping 2 tak memang bekerja lebih keras dari oli mesin. Pasalnya oli samping sendiri bertugas untuk melumasi transmisi dan kopling.

Ia menambahkan untuk selalu melihat oli samping dalam tabung, jika jarum penunjuk oli samping ada di batas setengah, sebaiknya segera tambahkan sampai penuh.

"Kalau oli mesin paling minimal 2 bulan, soalnya kan ini motor bukan motor capek, konsultasi dulu sama bapak sebelum ganti," ungkap Hendar.

Hendar mengatakan kalau motor RX King jarang dipakai sebaiknya perlu untuk dipanaskan terlebih dahulu.

"Ini penting nih, minimal dihidupin 10 sampai 15 menit-lah," katanya.

Memang pada umumnya bila motor jarang dipakai bukan berarti terhindar dari masalah. Pasalnya jika motor tidak dihidupkan secara lama oli akan mengendap di dasar mesin.

Selain itu, sepeda motor dalam keadaan diam terlalu lama juga bisa penyebab terjadinya karat di dalam tangki karena kondisi bahan bakar yang masih tersisa di dalamnya.

https://oto.detik.com/tips-and-tricks-motor/d-4233107/nggak-susah-kok-merawat-rx-king-lawas

Nah mungkin ada yang masih bertanya2 mengapa VW Safari ini juga dikenal dengan istilah VW Pak Camat. Hampir seluruh pak Camat se-Indonesia menggunakannya. Alasan menggunakan VW Safari adalah ketika itu infrastruktur kota2 belum sebaik sekarang. Guna melaksanakan tugas2nya sebagai abdi negara, Pak Camat butuh kendaraan yang tangguh, fleksibel, bisa diajak dijalanan jelek (sedikit offroad) serta mudah perawatannya.

VW Safari ato VW tipe 181 basisnya adalah kendaraan militer Jerman di perang dunia II, Kubelwagen. VW Safari menggunakan mesin 1500 & 1600 cc dengan girboks 4 tingkat percepatan. Rentang produksi VW Safari mulai tahun 1969 s.d. 1983. Keunikan VW Safari adalah pintu2nya menggunakan bahan baja, jendela2nya bisa dicopot & bahkan kaca depannya bisa dilipat.

Nah karena ketangguhannya menghadapi rintangan di pelosok2 daerah, VW Safari menjadi andalan tugas sehari2 Pak Camat ketika itu. Jika mas bro tertarik dengan VW Safari, rada susah mencari orang yang ngejualnya karena sudah menjadi barang koleksi. Kalopun ada yang ngejualnya, harganya pasti mahal…

https://blognyamitra.wordpress.com/2011/03/23/sedikit-mengenal-mobilnya-pak-camat/

Wystawa odbyła się w 2020 roku w Domu Norymberskim w Krakowie (08.03.2020 – 15.05.2020) z udziałem artystek: Pilar Albarracin, Iwona Demko, Keymo, Jasmin Lothert, Joanna Pawlik, Paulina Poczęta, Yvonne Salzmann, Julischka Stengele, Stoll&Wachall i Agata Zbylut. Była to czwarta z wystaw organizowanych z okazji Dnia Kobiet przez duet kuratorski: Iwonę Demko i Renatę Kopyto. Tym razem tematyka wystawy związana była z ciałem kobiety.
W roku 2020 zsynchronizowano 8 marca otwarcie wystaw w kilku różnych galeriach. Oprócz wystawy w Galerii Domu Norymberskiego odbyły się wystawy w: Galerii Sztuki Off Frame,  UFO Art Gallery oraz Jak zapomnieć. Każda wystawa miała swój niezależny tytuł, kuratorki i artystki. W katalogu znajdują się krótkie informacje o wspomnianych wystawach.

Zusammenfassung Diese Studie beschäftigt sich mit den Frauenfrisuren der griechischen Antike. Obwohl sie nicht ganz anders als moderne Frisuren sind, ziehen sie unsere Aufmerksamkeit auf sich wegen ihrer Vielfältigkeit und des sich im Laufe der Zeit ständig verändernden Charakters. Markante Typen lassen sich unterscheiden, welche sich in zahlreichen Artefakten und Denkmälergattungen verfolgen lassen: die Haarkranz -, die Schopf-, die Scheitelknoten- und die Melonenfrisur Zum besseren Verständnis werden diese vier Haupttypen entsprechenderweise in Vier Kapiteln behandelt. In chronologischer Hinsicht reichen sie vom 5. Jh. v. Chr. bis in die späthellenistische Zeit. Zum Zweck der genauen chronologischen Bestimmung wird jedes Kapitel in drei Abschnitte unterteilt: Münzen, Reliefs und Großplastik. Die numismatischen Belege bieten den notwendigen terminus post quem, was von weiteren Kunstgattungen bestätigt wird. Interessanterweise sind alle oben genannten Frisuren tief in der klassische...

Katalog z wystawy GASTRONOMKI trwającej od 8 do 31 marca  2017 roku w Domu Norymberskim w Krakowie.
Kolejnej z cyklu wystaw z udziałem samych kobiet artystek, kuratorowanych przez Iwonę Demko i Renatę Kopyto.
W wystawie wzięły udział: Bettina Bereś, Pamela Bożek, Iwona Demko, Katerina Geissner, Dorota Hadrian, Terézia Krnáčová, Anna Królikiewicz, Małgorzata Markiewicz, Regina Pemsl, Paulina Poczęta, Judith Samen, Agata Zbylut, Regina Zimmermann.

Katalog z wystawy DECYDENTKI trwającej od 8 do 29 marca  2018 roku w Domu Norymberskim w Krakowie.
Kolejnej z cyklu wystaw z udziałem samych kobiet artystek, kuratorowanych przez Iwonę Demko i Renatę Kopyto. Tym razem projekt artystyczny z okazji 100-lecia uzyskania praw wyborczych przez kobiety w Polsce, Austrii i w Niemczech obejmujący wystawę, spotkania, warsztaty i pokazy filmowe.
Wystawa odbyła się z z udziałem artystek: Bettina Bereś, Pamela Bożek, Susanne Carl, Katrina Daschner, Iwona Demko, Monika Drożyńska, Paulina Górniak, Ute Grabowsky, Grupa 20 minut (Katarzyna Godyń-Skoczylas, Małgorzata Kaczmarska, Elżbieta Sowa), Katharina Gruzei, Dorota Hadrian, Nora Klein, Kolektyw Łaski (Jagoda Kwiatkowska, Anna Shimomura, Julia Golachowska), Maria Kossak, Anna Krenz, Katarzyna Kukuła, Małgorzata Markiewicz, Iza Moczarna-Pasiek, Malwina Niespodziewana, Joanna Pawlik, Paulina Poczęta, Joanna Rzepka-Dziedzic, Magdalena Samborska, Ola Stodółka, Elizabeth Tha­llauer, Emilia Turek, Agata Zbylut i Kolektyw Złote Rączki. Gościnie: Bogna Burska, Valie Export, Zuzanna Janin, Katarzyna Kozyra, Ulrike Rosenbach. Projekt muzyczny: Blanka Dembosz.

Katalog z wystawy KRZĄTACZKI trwającej od 20 marca do 18 kwietnia 2015 roku w Domu Norymberskim w Krakowie.
Pierwsza z cyklu wystaw z udziałem samych kobiet artystek, kuratorowanych przez Iwonę Demko i Renatę Kopyto.
W wystawie wzięły udział: Bettina Bereś, Sian Bonnell, Pamela Bożek-Żurawska, Grażyna Brylewska, Iwona Demko, Dorota Hadrian, Małgorzata Markiewicz, Regina Pemsl, Paulina Poczęta, Ewa Potocka, Anja Schoeller, Pirko Julia Schröder, Katja Then, Teresa Wiechova.

The collection of documents Necile Tevfik accumulated during her lifetime are thus transformed into documentation that describes her and the period in which she lived. In trying to achieve this goal, I put herself forward as an acting female subject with a historical responsibility. Furthermore, this book offers up new fields of study for researchers and academicians.

One of the primary reasons I prepared this study as an annotated archive catalog was to show what kinds of knowledge production can be made based on a small archive such as Necile Tevfik’s collection. In doing so, I employed a feminist methodology to render visible documents of women’s history, the struggles undertaken by the women’s movement, and the figures involved in that struggle. Another driving factor was my desire to make the Necile Tevfik Archive, which I have been working on at various intervals over the years, more accessible, and to introduce the documents it contains to researchers and increase general interest in the archive itself. I hoped that researchers consulting the archive might be able to discover new areas of research and produce new knowledge based on those documents and the information contained in them.

Along with the above mentioned reasons, several other major factors influenced my decision to undertake this study, such as a lack of resources available to researchers of women’s history and others working in the field and the scarcity of catalog studies on special archives of women. Given that the Necile Tevfik Archive is small, I tried to bring to light the historical background of the documents and the Tevfik family network, as well as provide additional information about the documents and the archive by making use of secondary sources.

I provide a general evaluation of the archival documents with the help of secondary sources in the section “Subjects Covered by the Fonds: Documents in the Necile Tevfik Archive (1924-1954)” in which I include a detailed introductory text for each document. As mentioned earlier, the reason I developed that method was to make the archive visible by giving researchers more information, emphasizing the relationships among the archival documents, lending impetus to women’s history studies, and opening up new fields of research. At this point, I would like to clarify what I mean by the latter: Most of the documents pertaining to Necile Tevfik’s life under the headings “Cinema and Scripts,” “Literary Writings/Speeches,” “Family,” “The International Alliance of Women,” and “The 12th International Alliance of Women’s Congress” cover a period between 1924 and 1935, when Necile Tevfik was active in the Union of Turkish Women (UTW), and after 1949 when the UTW was re-established. However, the Union, which is still active today, does not have archives available for the period 1924-1980. Therefore, my emphasis on the UTW’s “lost archives” might play a role as effective as highlighting the existence of the UTW documents in the Necile Tevfik Archive in helping researchers and archivists interested in women’s history locate the rest of the documents.

This book was written through a feminist perspective that considered all the issues discussed above. The main goal, of course, was to create an archive catalogue that presented a collection of materials. However, the aim was also to present a different means and methodology for the development of women’s history, and thereby offer a novel framework for examining and evaluating women’s private collections, as well as propose a fresh outlook on how we can approach archival collections.

****
Kadın Eserleri Kütüphanesi ve Bilgi Merkezi Vakfı "Özel Arşivler Katalog Dizisi"nin 3. katalog çalışması olarak hazırlanan Bir Kadın Arşivini Okuma Denemesi: Necile Tevfik Arşivi Açıklamalı Kataloğu (1924-1954) başlıklı çalışma, Kadın Eserleri Kütüphanesi ve Bilgi Merkezi Vakfı ve İş Bankası Kültür Yayınları ortak yayını olarak yayımlandı. Açıklamalı katalog olarak hazırlanan bu çalışma ile arşivi oluşturan 132 belgenin tanımlarına, kısa anlatımlarına, belgelerde geçen kadın adlarına erişebilirsiniz. Ayrıca kitabın sonunda yer alan tablolar ile, tarihi, dili, türü, konusu, yazı türü, yazarı ve numarasına göre sıralanan belgeleri inceleyebilirsiniz.

Sinema ve Senaryolar, Edebiyat Yazıları, Konuşmaları ve Yazıları, Necile Tevfik ve Ailesi, Türk Kadın Birliği, Uluslararası Kadınlar Birliği, Uluslararası Kadınlar Birliği 12. Kongresi, Türk Kadınlar Birliği ve Diğer Belgeler başlıkları altında sınıflandırılan Necile Tevfik Arşivi, kadın hareketi tarihi yanı sıra sinema tarihi, düşünce tarihi ve siyasi tarih konusunda çalışacak araştırmacılar için de önemli bilgiler içeriyor.

Bu açıklamalı katalogla, Necile Tevfik Arşivi gibi küçük bir arşivden hareketle nasıl bir bilgi üretiminin söz konusu olabileceğini göstermek; kadın tarihinin belgelerini, kadın hareketi mücadelesini ve bu mücadeleyi yürüten isimleri görünür kılmak; arşivin daha erişilebilir olmasını sağlamak ve içerdiği belgeleri araştırmacıya tanıtmak amaçlandı. Böylece arşive başvuran araştırmacı, kataloğun ürettiği bilginin yanı sıra bu belgelerden hareketle yeni araştırma alanları keşfedecek ve yeni bilgilerin üretilmesi sağlanacaktır.

Harrassowitz Verlag Wiesbaden 2017. ISBN 978-3-447-10839-3
(Русская версия каталога:
Daria Barow-Vassilevitch, Marie-Luise Heckmann. Abendländische Handschriften des Mittelalters und der Frühen Neuzeit in den Beständen der Russischen Staatsbibliothek (Moskau).
Harrassowitz Verlag Wiesbaden 2016.)
Каталог рукописей латинского письма Российской государственной (Ленинской) библиотеки. Сост М.-Л.Хекманн и Д.Баров-Василевич. Русская версия Д.Баров-Василевич и Е.Р.Сквайрс.

Volkswagen Official Service Manual Station Wagon Bus Type 2 1968-1979

Volkswagen Kombi dalam Catatan Sejarah Dunia Otomotif

Arief Aszhari
27 Agu 2017

Saat berbicara Volkswagen (VW), pasti tertuju dengan dua model legendarisnya, yakni Beetle (kodok) atau Kombi. Jelas saja, kedua mobil ini memang menjadi senjata andalan pabrikan asal Jerman tersebut untuk sukses di industri otomotif dunia.

Berbicara soal VW Kombi, model ini merupakan cikal bakal dari kendaraan van modern untuk pengangkutan kargo atau penumpang saat ini.

Jika berbicara sejarah VW Kombi, dilansir Wikipedia, ditulis Minggu (27/8/2017), VW jenis ini awalnya diberi kode VW Type 2, menyusul VW Beetle alias Kodok yang diberi kode VW Type 1.

Nama resmi mobil ini sendiri adalah Transporter atau Kombi (nama panjangnya adalah Kombinationskraftwagen), sebuah mobil van yang diperkenalkan pertama kali pada 1950 silam. Mobil ini awalnya berperan sebagai model kedua dari VW, setelah model sebelumnya, VW Beetle, sukses dipasaran.

Ide VW Kombi ini sebenarnya berasal dari importir mobil VW asal Belanda, Ben Pon. Pada 1947, Ben terinspirasi dari troli bermotor di pabrik-pabrik. Kemudian, Ben langsung membayangkan sebuah mobil berbentuk kotak, dengan ruang yang sangat lega untuk mengangkut barang, seperti troli.

Untuk mewujudkan inspirasinya, Ben membuat sketsa dengan menggunakan sasis VW Beetle dan pada 8 Maret 1949, mobil ini ditampilkan pertama kali di Jenewa Motor Show, dan pihak VW menyempurnakan desainnya, untuk kemudian masuk jalur produksi.

Pada akhir 1967, Volkswagen memperkenalkan generasi kedua dari Kombi. Model ini diproduksi di Jerman sampai 1979, sedangkan di Meksiko sampai tahun 1994. Model sebelum 1971 disebut T2a dan setelah 1979 disebut T2b.

Untuk diketahui, di pasar Amerika Serikat, VW Kombi bersaing dengan Ford Econoline, Dodge A100, dan Corvair 95 Corvan. Untuk pasar Eropa mobil ini bersaing dengan Renault Estafette dan Ford Transit.

https://www.liputan6.com/otomotif/read/3072548/volkswagen-kombi-dalam-catatan-sejarah-dunia-otomotif

Katalog ini memaparkan sejumlah obyek wisata yang dapat ditemukan di Desa Minggirsari. Katalog Desa Wisata Minggirsari oleh Noviar Ramadhany Biesse Putri dari Program Studi Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, pada tanggal 20 November 2021-21 November 2021 sebagai luaran tambahan KKN.

Kataloglama, bir bilgi merkezinde mevcut olan her türden bilgi kaynağına
erişimi sağlamak üzere bilgi kaynağını tanımlayıcı girişlerin oluşturulması sürecidir. Bu açıdan katalog bilgi merkezi için vazgeçilmez
kaynakların başında gelir. Matbaacılığın gelişmesiyle birlikte yayınların
artması, kütüphane dermesinin sayıca çoğalmasına neden olmuştur. Bu
da dermenin denetim altına alınmasını ve erişimini zorunlu kılmıştır. Bu
bağlamda bilgi kaynaklarına erişimi sağlayacak çeşitli kataloglama ve sınıflama sistemleri ortaya çıkmıştır. Günümüzde dünyadaki her türden
tüm kütüphaneler denetim ve erişim adına bu sistemleri kullanmaktadır.
Osmanlı Devleti’nde kütüphane katalogları kurulan ilk kütüphaneler ile
birlikte ortaya çıkmıştır. Defter olarak adlandırılan bu kataloglar 17. yüzyıldan itibaren daha da ayrıntılı hale getirilmiştir. Bir kitapsever olduğu
bilinen Sultan II. Abdülhamid 1882 yılında İstanbul’da vakıf kütüphanelerinin sahip oldukları kitapları kayıt altına aldırmış ve kataloglarını hazırlatmıştır. Bu kataloglar II. Abdülhamid döneminde hazırlandıkları için ‘Devr-i Hamîdî Katalogları’ olarak adlandırılmıştır. Türk kütüphaneciliği için çok önemli bir adım olan bu çalışma, 12 yıl sürmüştür. 86 koleksiyondan oluşan 69 kütüphanenin kataloğu, 40 cilt halinde basılmıştır. Devr-i Hamîdî Katalogları’nda kitapların başlığı, numarası, dili, cilt sayısı, yazı türü ile birlikte müellifin adı, ölüm tarihi gibi bibliyografik bilgiler yer almaktadır. Katalogların neredeyse tamamında yer alan bu niteleme alanlarının, kendi içinde belli bir kural ve standarda sahip olduğu; kitapların belirlenen kural ve standart doğrultusunda katalog defterlerine kaydedildikleri görülmektedir. Devr-i Hamîdî Katalogları ile ilgili çalışmalar çoğunlukla kütüphane ve katalog düzeyinde münferit olarak ele alınmıştır. Bu kitabın amaçlarından biri de tüm bu katalogların bir arada yer almasını sağlamaktır. Kitapta, özellikle Osmanlı dönemi vakıf kütüphanelerinin tarihi ile birlikte özellikleri ele alınmış devamında ise kitaba konu teşkil eden Devr-i Hamîdî Katalogları’nın tümü tek tek incelenerek bunlar hakkında bilgiler verilmiştir.

Za Jednosmernu ulicu Waltera Benjamina vezane su dve ljubavi: sovjetska revolucionarka Asja Lacis i marksizam. Iniciran zaljubljenošću u Asju, Benjamin se zaljubio i u marksizam. I Asja i marksizam pokazali su se kao uzaludan ljubavni napor. Uzaludan, bar sa stanovišta doslovnog ispunjenja: Asja mu nije trajno uzvratila ljubav; Benjamin nikada nije postao marksista bez ostatka, vrlo važnog ostatka. No, čak i pogrešne i beznadne ljubavi u stanju su da grade čudesne lavirinte. Upravo takav lavirint je Jednosmerna ulica.

Der Ausstellungskatalog mit dem Titel „Trans fines nostros. Zeugnis der Schriften der Polonica, Hungarica und Slovacica aus den Archivbeständen des Staatlichen Gebietsarchivs in Zámrsk“1 präsentiert ausgewählte Archivalien, die im Rahmen des Internationalen Tages der Archive am 9. Juni 2018 im Staatlichen Gebietsarchiv in Zámrsk ausgestellt wurden. Die Ausstellungsmacher knüpften ganz frei an die Panelausstellung mit dem Titel „Od Vyšehradu do Vyšehradu“ [Von Visegrád nach Visegrád] an. Die Panelausstellung wurde von den Archivverbänden Tschechiens, Polens, Ungarns und der Slowakei (den Ländern der sog. Visegrád-Gruppe) zusammengestellt und veranschaulicht durch die Archivalien die enge Zusammenarbeit und die gemeinsame Geschichte der genannten Länder vom Mittelalter bis zur Gegenwart. Jene Panelausstellung wurde von der Česká archivní společnost [dem Verband Tschechischer Archivare] ausgeliehen und die Ausstellungsmacher (Michal Severa, Michael Skopal und Martin Paukrt) der Parallelausstellung der Originale der Polonica, Hungarica und Slovacica aus den Sammlungen und Beständen des Staatlichen Gebietsarchivs in Zámrsk wurden bei der Ausstellungsgestaltung von den Themenkreisen der Panelausstellung „Od Vyšehradu do Vyšehradu“ inspiriert. Die Originale konnten sich die Interessenten jedoch nur an einem Tag ansehen - am 9. Juni 2018. Wegen der kurzen Ausstellungsdauer und des bedeutenden Aussagewertes der Archivalien haben sich die Autoren entschieden, diesen Ausstellungskatalog zu veröffentlichen, in dem jeder Themenkreis durch einen Einleitungstext ergänzt wurde. Der erste Themenkreis, „Herrscher“, präsentiert die Urkunden dreier Herrscher (der ungarischen Königin Elisabeth von Luxemburg, des Königs von Polen Kasimir IV. Andreas und seines Sohnes, der ungarische und böhmische König, Vladislav II.), wobei der Schwerpunkt auf den persönlichen und dynastischen Unionen liegt. Die Türkenkriege stellten für alle Länder der Visegrád-Gruppe eine Dauergefahr dar. Die Ausstellungsmacher haben diese Gefahr durch königliche Patente sowie die chiffrierten Kriegskorrespondenzen im Themenkreis „Türkenkriege“ illustriert. Das Überschreiten der Landesgrenze (legal und auch illegal) wird durch den Themenkreis „Grenzbewegungen“ beschrieben, der sich nicht nur der Nordgrenze Böhmens widmet, sondern auch der Ankunft der ungarischen Pastoren nach 1781 nach Böhmen. Der Themenkreis „Grenzbewegung“ ergänzt frei den Themenkreis „Grenzen“, der auch den Grenzhandel erfasst. Dem migrierten Adel, der in mehreren Ländern tätig war, wird der Themenkreis „Aktivität des Adels“ gewidmet. Der letzte Themenkreis „Staatsrechtlichkeit“ endet symbolisch mit dem jüngsten Dokument, und zwar mit dem Druck der sog. Martiner Deklaration vom Oktober 1918, mit der die Slowaken dem gemeinsamen Staat (Tschechoslowakei) beitraten. Die Auswahl an Polonica, Hungarica und Slovacika ergänzt die alten Karten von Schlesien, Polen und Ungarn.

Katalog z wystawy "BlasfemINistki" trwającej od 8 do 29 marca 2022 roku w Galerii Domu Norymberskiego w Krakowie. Kolejnej z cyklu wystaw z udziałem samych kobiet artystek, kuratorowanych przez Iwonę Demko i Renatę Kopyto. Tym razem do wystawy zostały zaproszone: JULIA BELOVA, BEATA EWA BIAŁECKA, JULIA CURYŁO, ANNA KRENZ, ALEKSANDRA LIPUT, KLE MENS, AGATA SERAFIN, SUSANNE STIEGELER, KATARZYNA WYSZKOWSKA.
Oprócz wystawy odbyło się też spotkanie z z Moniką Leisch-Kiesl wokół jej książki "Lady Reason and the Writing of History. Livre de la cité des dames Christine de Pizan" (2021), które poprowadziła Monika Drożyńska.

“İLK YAYINIMIZA EFENDİMİZLE BAŞLAMAK…”
“Medeniyetler söz ile, sözler de yazı ile vücut bulur.” derler. Medeniyetlerin tümünde olduğu gibi İslam medeniyetinde de bu hakikat aynen tebârüz etmiş, İslam medeniyeti kutsal bir kelam üzerine kurulmuş, bu ilahi kelamın kul yönüyle algılanan boyutu Kur’an, indirildiği andan itibaren kalemin ucunda ebedileşmiştir. Kutsallık ve ebedilik, ilahi kelamın yazısında insanları mükemmeli aramaya sevk etmiş; nazik, narin, ince zevk sahibi sanatkârların elinde bu yazı, kutsallığın hakikatini en iyi yansıtma gayretine dönüşmüştür.
Bu gayret, İslam medeniyetinin önemli unsurlarından hüsn-i
hat sanatının doğumuna ve bu sanatın zirvelere çıkmasına sebep olmuştur.
DPÜ İlahiyat Fakültesi, ev sahipliğini yaptığı “O’nun Niyâzı” isimli
sergiyle Nebevî duaları hüsn-i hat sanatıyla dikkatlere sunmuştur.
Kurulduğu andan itibaren İslam medeniyeti üzerine araştırmalar ve çalışmalar yapmayı amaçlayan DPÜ İslam Medeniyeti Uygulama ve Araştırma Merkezi (DİMAM) de elinizdeki çalışmasıyla, sergideki eserleri katalog haline getirerek medeniyetimize katkı sağlamayı hedeflemektedir. Bu çalışmanın hazırlanmasında her zaman desteğini sunan Rektörümüze, maddi ve manevi desteğini arkamızda hissettiğimiz DPÜ İlahiyat Fakültesi Dekanı Sayın Prof. Dr. Bilal Kemikli’ye, sergi ve katalog sürecindeki çalışmalarından dolayı Sayın Öğrt. Gör. Semra Güler’e ve diğer kurul üyelerine teşekkürü borç bilirim. Bu kataloğun nice katalogların başlangıcı olması dileğiyle…

Saygılarımla…

Yrd. Doç. Dr. Rifat Türkel
Genel yayın Yönetmeni