Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Pembelajaran Fiqh Muqāran Dan Implikasinya Terhadap Perilaku Toleransi Santri Di Pesantren Mahasiswi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 104

PEMBELAJARAN FIQH MUQĀRAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PERILAKU TOLERANSI SANTRI DI PESANTREN MAHASISWI


DᾹRUṢ ṢᾹLIHᾹT YOGYAKARTA

STATE ISLAMIC UNIVERSITY


SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

Oleh:

Aviatun Khusna
NIM: 1520410029

TESIS

Diajukan kepada Program Magister (S2)


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar
Magister Pendidikan ( M.Pd ) Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

YOGYAKARTA
2017
ii
iii
iv
v
vi
vii
ABSTRACT

AVIATUN KHUSNA, S. Pd.I. Learning Fiqh Muqāran and Its Implication to


Student’s Tolerance Behavior in Dāruṣ Ṣālihāt Islamic Boarding Female Student
Yogyakarta.
The purposes of the study are to find out: (1) the learning overview of Fiqh
Muqāran in Dāruṣ Ṣālihāt Islamic Boarding Female Student Yogyakarta, (2) the
values of tolerance behavior in learning Fiqh Muqāran, (3) the Fiqh Muqāran’s
learning implication to tolerance behavior of Dāruṣ Ṣālihāt’s female student.
This study was a qualitative research with the focused respondents were the ustadz
and ustadzah who taught Fiqh Muqāran lesson, the students, the head of boarding,
and the daily administrators as the informants who had done the Fiqh Muqāran
learning in shaping student’s tolerance behavior. The data collection was done by
observation, interview and documentation. The analysis used was Miles and
Huberman Model which covered data reduction, data display and drawing
conclusion.
The results of the study were as follows: (1) the learning overview of Fiqh Muqāran
in Dāruṣ Ṣālihāt Islamic Boarding Female Student Yogyakarta, (2) the values of
tolerance behavior in learning Fiqh Muqāran, (3) the Fiqh Muqāran’s learning
implication to tolerance behavior of Dāruṣ Ṣālihāt Islamic Boarding Female
Student Yogyakarta. The overview of learning Fiqh Muqāran in Dāruṣ Ṣālihāt
Islamic Boarding Female Student Yogyakarta was done by involving all boarding
administrators, the head of boarding and the ustadz who came from Indonesian Fiqh
Home (Rumah Fiqih Indonesia). In learning Fiqh Muqāran, the students were
explained about various opinions of ulama about the law of an issues studied and
also the theorem used in determining the law. After that, the students were free to
choose the opinions which were appropriate with the condition of surroundings and
society. The values of tolerance behavior in learning Fiqh Muqāran were as
follows: (1) respect others’ opinions, (2) admit people right, (3) agree in
disagreement, (4) understand the phenomenon happened in society, (5) do not
blame a difference opinions, and (6) tolerant on furū issues. Learning Fiqh
Muqāran in Dāruṣ Ṣālihāt Islamic Boarding Female Student Yogyakarta implicated
the student’s tolerance behavior. This was proved by their behavior before learning
Fiqh Muqāran lesson and after it. The students were more tolerant when there was
a group or someone who disagreed with them, especially in fiqh issues.
Keywords: Fiqh Muqāran, tolerance

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543b/u/1987, tanggal 22
Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Keterangan
Nama Huruf Latin
Arab
‫ا‬ Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba’ b Be

‫ت‬ Ta’ T Te

‫ث‬ ṡa’ ṡ Es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim J Je

‫ح‬ ḥa ḥ ha (dengan
bawah)
titik di

‫خ‬ Kha Kh ka dan ha

‫د‬ Dal D de

‫ذ‬ żal Ż Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ ra’ R Er

‫ز‬ zai Z zet

‫س‬ sin S Es

‫ش‬ syin Sy es dan ye

ix
‫ص‬ ṡad ṣ es (dengan titik dibawah)

‫ض‬ ḍad ḍ de (dengan


dibawah)
titik

‫ط‬ ṭa’ ṭ te (dengan titik dibawah)

‫ظ‬ ẓa’ ẓ zet (dengan


dibawah)
tiitk

‫ع‬ ‘ain ‘ koma terbalik di atas

‫غ‬ gain G ge

‫ف‬ fa’ F Ef

‫ق‬ qaf Q Qi

‫ك‬ kaf K ka

‫ل‬ lam L El

‫م‬ mim M Em

‫ن‬ nun N En

‫و‬ wawu W We

‫ه‬ ha’ H Ha

‫ء‬ hamzah ‘ Apostrof

‫ي‬ ya’ Y Ye

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis rangkap

‫متعقدين‬ Ditulis Muta’aqqidīn

x
‫عدة‬ Ditulis ‘iddah

C. Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis

‫هبة‬ Ditulis Hibbah

‫جزية‬ Ditulis jizyah

(ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap
ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali
apabila dikehendaki lafal aslinya)
Apabila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis dengan h.

‫كرامه األولياء‬ Ditulis Karāmah al-auliyā’

2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan
dammah ditulis t.

‫زكاة الفطر‬ Ditulis zakātul fiṭri

D. Vokal Pendek
________ ditulis i
____’___
ditulis a
_____ُ__
ditulis u

xi
E. Vokal Panjang

fathah + alif ditulis a

‫جاهلية‬ ditulis jāhiliyyah

fathah + ya’ mati


ditulis a

‫يسعى‬ ditulis yas’ā

kasrah + ya’ mati ī


ditulis

‫كرمي‬ ditulis karīm

dammah + wawu mati


ditulis ī

‫فروض‬ ditulis furūd

F. Vokal Rangkap

fathah + ya’ mati ditulis ai

‫بينكم‬ ditulis bainakum

fathah + ya’ mati


ditulis au

‫قول‬ ditulis qaulun

xii
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof

‫أأنتم‬ ditulis a’antum

‫أعدت‬ ditulis u’idat

‫لئن شكرمت‬ ditulis la’in syakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam


a. Bila diikuti Huruf Qamariyah

‫القران‬ ditulis al-Qur’ān

‫القياس‬ ditulis al-Qiyās

b. Bila diikuti Huruf Syamsiyah ditulis dengan menggandakan huruf syamsiyah


yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.

‫االسماء‬ ditulis as-Samā’

‫الشمس‬ ditulis asy-Syams

xiii
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

‫ذوي الفروض‬ ditulis żawī al-furūd

‫أهل السنة‬ ditulis ahl as-sunnah

xiv
KATA PENGANTAR

َّ ‫الر ْْحن‬
‫الرحِيْ ِم‬
‫ْ ه‬
َّ ِ‫اّلل‬ ‫بِس ِم‬
ِ
َّ َ ْ َ ‫َّ ه‬ َ َْ َْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ ‫َ َْ ْ ُ ه َ ه‬
ُّ ‫لَع ا ُ ُم ْور‬
‫ادلنْ َيا َو ه‬
‫ َواش َه ُد ان‬.‫ أش َه ُد ان َلا َِهل ا َِلاّلل‬.‫ادلِي ْ ِن‬ ِ ‫ وبِهِ نستعِي و‬.‫ب العال ِمي‬
ِ ‫اْلمد ِّللِ ر‬
َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َّ َ ُ َ َ ْ ‫ُ َ َّ ً َ ُ ْ ُ ه َ ه ُ َّ َ ه َ َ ه‬
.‫ ا َّما بَ ْع ُد‬.‫ي‬ ِ‫ اللهم ص ِل وسل ِم لَع ُمم ٍد ولَع ا ِهل ِ وصحبِهِ اْجع‬.ِ ‫ُممدا رسول اّلل‬

Puji dan syukur tidak lupa dipanjatkan kehadirat Allah Swt yang telah

melimpahkan kenikmatan serta kasih sayang-Nya kepada kita semua. Shalawat dan

salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah

membimbing kita menuju jalan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Penyusunan Tesis ini merupakan kajian tentang pembelajaran fiqh muqāran

di Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat. Penulis menyadari bahwa dalam

penyusunan tesis ini tidak adakan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan

dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

2. Bapak Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Islam Konsentrasi Pendidikan

Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

3. Bapak Dr. H. Tulus Musthofa, Lc selaku Dosen Pembimbing Tesis

4. Bapak Dr. H. Tasman Hamami, Selaku Dosen Penasehat Akademik

5. Segenap Dosen dan Karyawan Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

xv
6. Bapak Miftakhussurur dan Ibu Narsinah tercinta yang senantiasa memberikan

semangat, motivasi, dan do’a untuk penyelesaian tesis ini. Terima kasih atas

semua yang bapak ibu lakukan, semoga Allah Swt memberikan pahala dan

barakahnya. Serta adikku yang tercinta Danial Izzat yang telah mengajarkanku

agar dapat memberikan keteladanan sebagai seorang kakak

7. Umi Masbihah dan Abi Syatori selaku pengasuh pesantren Mahasiswi Darush

Shalihat Yogyakarta. Terima kasih banyak atas ilmu tentang kehidupan selama

penulis berada disana.

8. Para ustadz dari Rumah Fiqh Indonesia. Terima kasih banyak atas semua ilmu

yang telah diberikan. Banyak ilmu yang belum penulis ketahui sebelum belajar

fiqh kepada mereka.

9. Suamiku, mas Diyono. Terima kasih banyak untuk dukungan dan motivasinya.

Semoga perjuangan ini untuk menyelesaikan studi ini akan berbuah dengan

amal kebaikan.

10. Pengurus Harian Darush Shalihat (ammah Farida, ammah Annasikhah, ammah

Ajeng) dan kakak delapan (Ika, Puthy, Muthiah, Fitri, Eep, Ria, Leni, Tya,

Lilis, Satri, Nurul, Uci, Rodhi, Shofi, Hilda, Ummah), semoga Allah kuatkan

langkah kaki kita untuk terus berkhidmat di Rumah Cahaya.

11. Adik-adikku Darush Shalihat angkatan sembilan (Ita, Rahma, Hikmah, Diki,

Aci, Diah, Syakira, Liana, Tita, Yanti, Syifa, Nasrah, Adzka, Nisa Rabbani,

Devi, dan yang lainnya), semoga Allah istiqomahkan kalian untuk terus

menebar kebaikan dimanapun berada.

xvi
12. Teman-temanku di PAI Reguler angkatan 2015 (dea, mba ifa, ita, mba ulin,

mba ida, mba nur, mas mail, mas imam, bahar, mas kholil dan lainnya). Terima

kasih atas ilmu dan dukungannya sehingga penulis semangat untuk

menyelesaikan penyusunan tesis ini. Semangat kawan, kejarlah cita-cita

setinggi langit. Semoga kita dipertemukan kembali di waktu dan tempat yang

terbaik.

13. Teman-teman di LDK UIN Sunan Kalijaga dan PPK Fakultas Saintek UIN

Sunan Kalijaga yang memberikan semangat untuk penyelesaian tesis ini.

14. Semua pihak yang telah ikut berjasa dalam penyusunan tesis ini yang tidak

mungkin disebutkan satu persatu.

Semoga amal baik yang telah diberikan dapat diterima disisi Allah SWT

dan mendapat limpahan rahmat dari-Nya. Aaamiin.....

Yogyakarta, Januari 2017


Penyusun

Aviatun Khusna, S.Pd.I


NIM. 1520410029

xvii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii
BEBAS PLAGIASI ..................................................................................... iii
PERNYATAAN BERJILBAB ................................................................... iv
PENGESAHAN DEKAN ............................................................................ v
PERSETUJUAN TIM PENGUJI .............................................................. vi
NOTA DINAS PEMBIMBING .................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................... viii
TRANSLITERASI ...................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................. xv
DAFTAR ISI ................................................................................................ xviii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxi

BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
E. Kajian Pustaka ......................................................................... 11
F. Metode Penelitian .................................................................... 22
G. Sistematika Pembahasan .......................................................... 33

BAB II : KERANGKA TEORITIK ......................................................... 34

A. Fiqh Muqāran .......................................................................... 34


1. Pengertian Fiqh Muqāran ................................................... 34
2. Metode dalam Pembelajaran Fiqh Muqāran ....................... 38
3. Faedah Mempelajari Ilmu Fiqh Muqāran ............................ 40
4. Langkah-langkah Penelitian Fiqh Muqāran ....................... 42
B. Ikhtilāf dalam Fiqh ................................................................... 44
1. Pengertian ............................................................................ 44
2. Latar Belakang Timbulnya Ikhtilāf ..................................... 47
3. Macam-macam Ikhtilāf ....................................................... 49
4. Prinsip-prinsip dalam Ikhtilāf .............................................. 52
5. Sikap Imam Madzhab terhadap Ikhtilāf ............................... 53
C. Perilaku Toleransi .................................................................... 54
1. Konsep Sikap dan Perilaku ................................................. 54
2. Perilaku Toleransi ................................................................ 69
3. Pengertian Nilai ................................................................... 72
4. Nilai-nilai Toleransi ............................................................ 72

xviii
5. Pendidikan Nilai dalam Perilaku Toleransi ......................... 76
6. Peran Lembaga dalam Menanamkan Perilaku Toleransi .... 81

BAB III : GAMBARAN UMUM PESANTREN MAHASISWI


DᾹRUṢ ṢᾹLIHᾹT ...................................................................... 84

A. Letak dan Keadaan Geografis .................................................. 84


B. Sejarah Berdiri dan Proses Perkembangan .............................. 85
C. Visi dan Misi Pesantren ........................................................... 89
D. Struktur Organisasi .................................................................. 91
E. Program Pendidikan dan Kurikulum Pesantren ....................... 94
F. Keadaan Ustadz/dzah, Santri, dan Pengurus Harian ................ 102
G. Keadaan Sarana dan Prasarana ................................................ 113

BAB IV : PEMBELAJARAN FIQH MUQĀRAN TERHADAP SANTRI DI


PESANTREN MAHASISWI DᾹRUṢ ṢᾹLIHᾹT .................. 117

A. Pelaksanaan Pembelajaran Fiqh Muqāran di Pesantren


Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta ........................................ 117
1. Latar belakang pembelajaran fiqh muqāran .......................... 117
2. Rincian Materi Pembelajaran Fiqh Muqāran ....................... 120
3. Buku yang Digunakan dalam pembelajaran Fiqh Muqāran . 157
4. Metode Pembelajaran Fiqh Muqāran ................................... 167
5. Langkah-langkah Penelitian dalam Pembelajaran
Fiqh Muqāran ......................................................................... 174
B. Implikasi Pembelajaran Fiqh Muqāran Terhadap Perilaku
Toleransi Santri Di Pesantren Mahasiswi
Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta ......................................................... 168
1. Pembentukkan Perilaku Toleransi dalam Pembelajaran
Fiqh Muqāran ....................................................................... 176
2. Pembentukkan Perilaku Toleransi dalam Pembelajaran
Fiqh Muqāran menurut Teori Fazio...................................... 199
3. Pengukuran Perilaku Toleransi Santri dalam Pembelajaran
Fiqh Muqāran ....................................................................... 202
4. Implikasi Pembelajaran Fiqh Muqāran Terhadap Perilaku
Toleransi Santri ..................................................................... 207

BAB V : PENUTUP .................................................................................... 207


A. Kesimpulan ............................................................................ 207
B. Saran-saran ............................................................................ 209
C. Kata Penutup ......................................................................... 210

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................


LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................

xix
DAFTAR TABEL

Tabel I : Kesamaan dan Perbedaan Penelitian

Tabel II : Program Santri

Tabel III : Jadwal Kelas Dāruṣ Ṣālihāt

Tabel IV : Data Pengajar Fiqh Muqāran

Tabel V : Data Santri Dāruṣ Ṣālihāt

Tabel VI : Data Musyrifah Dāruṣ Ṣālihāt

Tabel VII : Materi Fiqh Semester 1

Tabel VIII : Materi Fiqh Semester 2

Tabel IX : Materi Fiqh Semester 3

Tabel X : Materi Dauroh fiqh Bagian 1

Tabel XI : Materi Dauroh fiqh Bagian 2

xx
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Pedoman Pengumpulan Data

Lampiran II : Dokumentasi Gambar Buku yang digunakan dalam

Pembelajaran fiqh

Lampiran III : Dokumentasi Gambar Tulisan Nama-nama Ulama

Lampiran IV : Dokumentasi Foto Kegiatan Pembelajaran fiqh muqāran

Lampiran V : Catatan Lapangan

Lampiran VI : Kartu Bimbingan Tesis

Lampiran VII : Surat Izin Penelitian

Lampiran VIII : Surat Rekomendasi Penelitian

Lampiran IX : Sertifikat TOEC

Lampiran X : Sertifikat IKLA

Lampiran XI : Daftar Riwayat Hidup Penulis

Lampiran XII : Surat Permohonan Kesediaan Pembimbing Tesis

Lampiran XIII : Dokumentasi Tertulis pertanyaan santri dalam kegiatan

dauroh fiqh.

xxi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam berkembang dengan berbagai macam paham dan

aliran. Meskipun demikian, antara muslim yang satu dengan muslim yang

lainnya tetap merupakan saudara. Munculnya aliran yang beragam terjadi

karena perbedaan penafsiran dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang

berbeda-beda pula. Di satu sisi, umat Islam harus menjunjung tinggi

persaudaraan (ukhuwwah) karena yang mengikat persaudaraan diantara

mereka adalah Islam. Salah satu wujud kerukunan adalah adanya kemauan

untuk saling membantu, menolong dan saling menghargai satu sama lain.

Dalam sejarah umat Islam, hal yang merusak keutuhan umat dan

melemahkan kekuatan kaum muslimin adalah sikap jumud (beku) dan

tafarruq (berpecah belah). Fenomena fanatisme madzhab dan sikap

bertahan dalam tradisi tanpa sumber pengetahuan dan kebenaran yang

memadai masih mewarnai umat Islam, khususnya di Indonesia. Oleh

karena itu, tugas ulama dan cendekiawan muslim adalah memberi

pencerahan dan pendewasaan kepada umat dalam menyikapi perbedaan

pendapat (khilāfiah) dalam masalah keagamaan sepanjang hal tersebut

tidak menyentuh prinsip pokok akidah. 1

1
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Beda Pendapat di Tengah Umat sejak Zaman Sahabat
hingga Abad keempat, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hal. vii-viii

1
Adanya perbedaan pendapat telah masuk ke dalam seluruh aspek

kehidupan umat Islam diantaranya melalui pikiran, akidah, konsep,

pandangan, perasaan, perilaku, moral, pola hidup, cara berinteraksi, gaya

berbicara, cita-cita, visi jangka panjang maupun jangka menengah. Seolah-

olah, segala sesuatu yang ada pada umat ini, seperti berbagai kewajiban,

larangan dan ajaran, mendorong pada munculnya ikhtilāf yang tidak dapat

dipungkiri menyebabkan terjadinya permusuhan serta perselisihan.2

Pada umumnya, Perbedaan yang terjadi dalam masalah-masalah

cabang (furū’) dan ijtihad fiqh. Bukan dalam masalah inti, dasar dan

akidah. 3 . Karena itu, umat Islam perlu mengetahui perbedaan pendapat

yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Dalam persoalan

khilāfiah, umat Islam perlu didorong dan diarahkan dengan berpegang

teguh kepada dalil yang lebih kuat, meski harus meninggalkan tradisi 4.

Perbedaan pendapat dalam Islam terdiri dari dua macam yaitu

perbedaan pendapat yang tercela dan perbedaan pendapat yang terpuji.

Perbedaan pendapat yang terpuji adalah perbedaan pendapat yang fair,

yang memberdayakan akal secara intensif untuk membahas sisi-sisi suatu

masalah, meneliti aspek-aspeknya yang beragam dan membandingkan

dalil-dalil dengan setiap konotasinya agar dapat muncul suatu pendapat

atau pandangan yang bisa mendekatkan pemahaman orang lain pada suatu

2
Thaha Jabir Fayyadh al-Awani, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), hal.10
3
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan: Muqaddimah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing,
2015), hal. 428
4
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Beda Pendapat di Tengah Umat sejak Zaman Sahabat hingga
Abad keempat, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hal. vii-viii

2
masalah dan membantu memperlihatkan hal-hal lain yang masih ada

kaitannya dengan obyek masalah tanpa mengklaim itulah pendapat final

yang tidak boleh ditentang. Adapun perbedaan pendapat yang tercela ialah

perbedaan pendapat yang membawa perpecahan yakni perbedaan pendapat

yang mengubah lingkup corak teoritis menjadi corak praktis dengan

mengharuskan orang lain untuk mengikuti dan menaatinya. Model

perbedaan pendapat seperti ini bisa mengancam barisan persatuan umat

Islam.5

Dilihat dari berbagai aspek, perbedaan merupakan kondisi alami

(fiṭrah) manusia dibawa manusia sejak lahir. Mustahil jika terbentuk

sebuah sistem kehidupan dan membangun interaksi sosial di antara

manusia yang sama rata dalam berbagai hal. Perbedaan yang jika dilihat

secara jernih bisa memupuk kesuburan akal seorang muslim dan

mempertajam daya analisisnya, saat ini berubah menjadi daya negatif yang

mengkhawatirkan karena sikap dan perilaku kaum muslim sendiri.6

Perselisihan kaum muslim terkadang melampaui batas, sampai

seseorang atau sekelompok umat Islam menganggap orang lain atau

kelompok lain sebagai musyrik karena berbeda pendapat dengannya.

Kelompok pertama memberi jaminan keamanan seolah mereka kelompok

yang paling benar dibanding kaum muslim yang lain dalam pandangan dan

ijtihad atas hal yang cabang (furū’) yang bersifat parsial. Dengan

5
Jamal Sulthan, Masalah-masalah Khilāfiah dan Jalan Keluarnya, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), hal.27-28
6
Thaha Jabir Fayyadh al-Awani, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), hal.10-11

3
demikian, sangat sulit menghindar dari perlakuan kasar kelompok tersebut.

Perbedaan cara pandang diatas merupakan ikhtilāf yang rawan dan

didominasi oleh hawa nafsu dalam jiwa seseorang. Pikiran dan anggota

badannya telah terkungkung oleh hawa nafsu. Mereka telah kehilangan

daya pandang dan penglihatannya serta telah melupakan akhlak-akhlak

islami. Penyakit tersebut mendorong ke dalam fanatik buta yang berbahaya

sehingga dunia di sekitarnya menjadi gelap.7

Umat Islam sudah banyak kehilangan nilai berharga karena

mempermasalahkan perbedaan di sekitar hal yang mandūb dan mubāh,

Tidak mengherankan, mereka semangat dalam adu argumen dan berselisih,

namun etika dan moral dari semua itu telah dilupakan sehingga saling

bertengkar dan terjadi permusuhan antar sesama umat Islam. Sementara

itu, pendapat-pendapat yang bersifat ijtihadi dan madzhab-madzhab fikih

yang dihasilkan oleh ulama yang cakap dalam melakukan ijtihad telah

berpindah tangan kepada tangan-tangan para muqallid yang bodoh dan

fanatik buta. Sehingga tumbuh sikap berselisih dalam pemikiran dan

bersikap fanatik terhadap kelompok politik. Setiap kelompok yang berbeda

berusaha menta’wil ayat dan hadis untuk diselaraskan dengan jalan pikiran

mereka.8

Perilaku umat Islam tersebut sangat berbeda dengan teladan yang

dicontohkan oleh ulama-ulama salaf seperti imam Syafi’i, Imam Malik,

Imam Hambali dan sebagainya ketika berbeda pendapat. Perbedaan dalam

7
Ibid., hal.17
8
Ibid., hal.18

4
cara pandang dan pikiran diantara mereka tidak mengakibatkan terjadinya

perpecahan. Mereka hanya ber-ikhtilāf dan tidak ber-tafarruq. Ulama salaf

memahami bahwa mempererat tali batin lebih utama dibanding mengejar

target dan tujuan yang lebih besar. Mereka berusaha menghilangkan dan

membersihkan penyakit jiwa dari dalam diri mereka sebagaimana

disebutkan dalam sebuah riwayat ketika ada seorang laki-laki yang pernah

diberitakan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat bahwa dia termasuk

ahli surga. Ketika sahabat meneliti perilaku dan amal orang tersebut,

ternyata dia tidak pernah tidur karena banyak ibadah, namun hatinya tidak

ada rasa dengki kepada muslim yang lain. Perilaku tersebut yang dicontoh

oleh para ulama salaf.9

Diantara sebab utama perselisihan dan perpecahan di kalangan


kelompok-kelompok aktivis kebangkitan Islam ialah perselisihan
dalam masalah cabang-cabang fikih yang timbul akibat beragamnya
sumber dan aliran dalam memahami naṣ (teks) dan meng-istimbāt
(menyimpulkan) hukum yang tidak ada naṣnya. Perselisihan ini terjadi
antara pihak-pihak yang memperluas dan mempersempit, antara pihak
yang memperketat dan memperlonggar, antara pihak-pihak yang
cenderung kepada zahir naṣ dan yang cenderung kepada ra’yi
(rasional), antara orang yang mewajibkan semua orang untuk bertaqlid
kepada madzhab dan pihak yang melarang kepada orang untuk
bermadzhab. Disamping itu, ada yang bersikap moderat; yang
membolehkan orang awam bertaqlid tanpa membatasi madzhab
tertentu dan menekankan kepada setiap orang yang terpelajar agar
menyempurnakan kekurangannya sehingga mampu
mempertimbangkan dalil-dalil dan men-tarjīh (menyeleksi mana yang
lebih kuat) antara pendapat yang ada, serta melakukan ijtihād
menyangkut masalah yang baru.10

9
Ibid., hal.19
10
Yusuf Qardhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, Memahami
Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang, (Robbani Press: Jakarta, 2007),
hal. 20-21

5
Perbedaan yang rawan dijadikan perbedaan misalnya ketika

menentukan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha dengan memakai metode

Ru’yah ataupun dengan melalui hisab11. Masalah-masalah lain yang sering

diperdebatkan dalam umat Islam yaitu dalam masalah shalat seperti

melepaskan kedua tangan atau bersedekap, bacaan basmalah dipelankan

atau dikeraskan atau tidak dibaca sama sekali. Duduk istirahat dan turun

untuk bersujud dengan kedua tangan sebelum lutut atau sebaliknya, Qunut

dalam shalat shubuh, apa saja yang membolehkan jama’ antara dua shalat

dan lain sebagainya. Sementara dalam masalah puasa seperti menentukan

awal Ramadhan dan Idul Fitri, apakah dengan rukyah satu orang saja atau

dengan orang banyak ataukah dilakukan dengan hisab dan masalah-masalah

dalam ibadah selainnya.12

Agar umat Islam terhindar dari perpecahan, maka hendaknya

berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Dengan

memahami petunjuk Nabi dan berpegang teguh kepadanya, akan

mendapatkan petunjuk dan mengetahui agamanya. Sehingga dapat terhindar

dari perpecahan. Cara yang lain yaitu dengan mengikuti jalan salāfuṣṣālih,

yaitu sahabat, tabi’in, dan imam-imam agama dari kalangan ahlussunnah

wal jamaah serta mendalami dan memahami agama yang didapat dari para

ulama dengan jalan dan metode ilmu yang benar.13

11
Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, (Malang: UIN Malang
Press, 2008), hal. 237
12
Yusuf Qardhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, Memahami
Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang, (Robbani Press: Jakarta, 2007),
hal. 21
13
Naser Abdulkarim, Perpecahan Umat Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), hal. 7-8

6
Krisis moral yang menjadi penghambat untuk persatuan umat Islam,

tidak akan hilang kecuali dengan cara mereformasi cara pikir mereka,

mengembalikan tatanan intelektual yang sebenarnya mengarah kepada akal-

akal umat Islam, mengurut kembali prioritas yang selama ini hilang dan

membangun generasi yang akan datang dengan situasi tersebut.14 Salah satu

caranya adalah dengan mendalami ilmu agama (Tafaqquh fiddīn).

Bentuk Tafaqquh fiddīn diantaranya adalah dengan mempelajari ilmu

fiqh khususnya yang membahas perbedaan pendapat para ulama terhadap

suatu masalah ijtihadiyah yang disertai dengan sumber hukumnya masing-

masing. Studi ini merupakan studi yang paling banyak manfaatnya dan

paling tinggi nilainya. Dengan sistem ini, menjadi luaslah fiqh Islam yang

dapat dijangkau dan dapat diketahui secara nyata sebab-sebab perbedaan

pendapat antara para imam tersebut15. Dan menjadi penggerak yang kuat

dalam mendidik akhlak seseorang sehingga akan tumbuh sikap anti fanatik

terhadap perbedaan pendapat yang ada. Sikap anti fanatik tersebut

merupakan wujud kerukunan yang ditandai dengan adanya kemauan untuk

saling membantu, menolong dan saling menghargai satu sama lain

(tasamuh/toleransi)

Pembelajaran fiqh yang didalamnya terdapat banyak sekali perbedaan

terhadap masalah-masalah yang furū’ yang apabila tidak disikapi secara

bijak akan dapat mengakibatkan perseteruan, perselisihan, perpecahan

14
Yusuf Qardhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, Memahami Perbedaan
yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang, (Robbani Press: Jakarta, 2007), hal. 20
15
Hasbi Ash-Ashiddieqy, Pengantar Ilmu Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hal.5

7
bahkan sampai kepada pembunuhan sebagaimana yang telah diuraikan

sebelumnya. Pembelajaran fiqh yang didalamnya terdapat argumen/alasan

para imam mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah

dengan argumen yang berpedoman pada Al-Quran dan sunnah Rasulullah

Saw disebut dengan pembelajaran fiqh Muqāran (fikih perbandingan).

Sumber hukum syara’ yang paling asasi hanyalah Al-Qur’an dan As-

Sunnah, akan tetapi karena metode, daya dan kemampuan yang dimiliki

masing-masing ulama berbeda-beda, maka hasil ijtihadnya pun akan

berbeda-beda pula. Namun perbedaan itu terbatas hanya pada hal-hal yang

furū’ yang memang sengaja dibiarkan guna menjadi rahmat bagi umat

Islam, terutama bagi orang-orang yang tidak mampu berijtihad. Mereka

dapat memilih salah satu dari pendapat-pendapat yang dihasilkan para

mujtahid berdasarkan galiannya dari sumber-sumber hukum tersebut.16

Pembelajaran fiqh Muqāran dilaksanakan di sebuah lembaga

pendidikan berbasis dakwah yaitu Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt yang

merupakan sebuah pesantren mahasiswi di kota Yogyakarta yang berdiri

sejak 18 tahun yang lalu. Pesantren ini berorientasi agar bisa menghasilkan

peradaban umat Islam yang tercermin pada ilmu dan kemuliaan akhlak para

santri, juga umat Islam pada umumnya. Penelitian ini akan membahas

pelaksanaan pembelajaran fiqh Muqāran secara mendalam serta

keterkaitannya dengan nilai-nilai yang diharapkan dapat menyelesaikan

permasalahan umat Islam sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

16
Muslim Ibrahim, Fiqih Muqāran, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 2

8
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat disusun rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana Pembelajaran Fiqh Muqāran di Pesantren Mahasiswi Dāruṣ

Ṣālihāt Yogyakarta?

2. Apa saja nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran Fiqh Muqāran di

Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta?

3. Bagaimana Implikasi Pembelajaran Fiqh Muqāran Terhadap Perilaku

Toleransi Santri di Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dari rumusan masalah tersebut diatas adalah:

1. Untuk Menjelaskan Pembelajaran Fiqh Muqāran di Pesantren Mahasiswi

Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta.

2. Untuk Menjelaskan nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran Fiqh

Muqāran di Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta

3. Untuk Menjelaskan Implikasi Pembelajaran Fiqh Muqāran Terhadap

Perilaku Toleransi Santri di Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt

Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan khazanah bagi

pengembangan bidang pendidikan agama Islam khususnya dan fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya terkait dengan penanaman

9
perilaku toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya untuk dapat melakukan

pembelajaran fiqh yang dapat memberikan pengaruh positif untuk

peserta didiknya, terutama dalam hal menyikapi perbedaan pendapat

seseorang atau kelompok yang berbeda pendapat dengannya.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi para pendidik

(khususnya yang mengajar mata pelajaran fiqh) untuk dapat

mengembangkan strategi dan metode dalam mengajarkan mata

pelajaran fiqh.

c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pijakan dan pertimbangan

dalam memberikan solusi terkait dengan karakter generasi saat ini serta

masukan positif bagi antisipasi dan alternatif problem karakter

tersebut.

d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

Pengurus Harian Pesantren Darush Shalihat dalam mengevaluasi

kegiatan pembelajaran fikih yang sekiranya masih perlu untuk

ditingkatkan maupun dikembangkan agar senantiasa dinamis dengan

kondisi karakter santri yang ada.

e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

terhadap peneliti dan para pembaca dan masyarakat umum akan

10
pentingnya pembelajaran Fiqh Muqāran untuk menanamkan karakter-

karakter positif terhadap generasi muda bangsa Indonesia.

E. Kajian Pustaka

Setelah dilakukan pencarian terhadap penelitian maupun tulisan

tentang judul penelitian ini, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang

berkaitan terhadap judul penelitian ini. Diantaranya:

1. Tesis Khamid Mashudi tahun 2012, Program studi Pendidikan Islam

konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Pascarsarjana UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul: Pemberdayaan Kinerja Guru

dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Berbasis Karakter “Tasamuh”

(Studi Kasus di SMP Negeri 5 Yogyakarta), memberikan kesimpulan:

untuk mengetahui kinerja guru maka kepala sekolah melakukan

supervise terhadap guru dalam bentuk penilaian kinerja guru yang

dilakukan setiap satu semester sekali. Bentuk-bentuk kasus yang

menghambat kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan di

SMP Negeri 5 Yogyakarta adalah 1) Adanya sebagian guru yang

mendapatkan tugas secara terus menerus. 2) Tidak saling mendukung

disaat guru melakukan kegiatan kesiswaan, akibatnya guru yang

bersangkutan terkesan bekerja sendiri. 3) Karakter menyalahkan disaat

sebagian guru mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. 4)

kurangnya koordinasi antar pemegang program sehingga kadang terjadi

kegiatan yang bersamaan sehingga dukungan kurang optimal. 5)

Adanya perbedaan pandangan guru dalam menanamkan faham ke-

11
Islaman pada anak, sehingga pelaksanaan kegiatan ke-Islaman kurang

optimal. 6) Syukuran yang dimungkinkan akan memberatkan. 7)

Kurang adanya kebersamaan antara masing-masing MGMP dalma

mewujudkan tujuan kompetensinya dalam penguasaan media

pembelajaran. 9) Bagi guru atau pegawai yang tidak menduduki jabatan

strategis, cenderung berkarakter masa bodoh atau apatis. 10) Adanya

permasalahan dalam pembagian jam belajar sehingga terjadi

kesenjangan antara guru yang mendapatkan tunjangan sertifikasi dan

yang tidak, karena sebagian belum terpenuhi 24 jam mengajarnya.

Dengan pendekatakan karakter tasamuh yang diterapkan di SMP Negeri

5 Yogyakarta, mampu menyelesaikan beberapa kasus kinerja guru

dalam meningkatkan mutu pendidikan yang dapat diketahui dengan

adanya komitmen diri bahwa segala sesuatu akan selesai jika dilakukan

dengan menggunakan sifat santun yaitu toleransi/tenggangrasa, bekerja

dengan professional, tetap menjadi manusia yang selalu beribadah,

menerapkan sistem bagi rizki, tertanamnya sebuah perbedaan pendapat

sebagai rahmat, kebebasan mengeluarkan pendapat, melakukan kerja

sama dan keadilan, dukungan penuh terhadap kebenaran, tetap

berusaha dan lapang dada, menjalin silaturrahmi dan persamaan hak,

amanah serta memiliki wawasan masa depan menuju peningkatan

kinerja bersama sehingga segala penyakit hati akan dapat diantipasi

dengan baik.17

17
Khamid Mashudi, Pemberdayaan Kinerja Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

12
2. Tesis Arif Shaifudin tahun 2015, program studi Pendidikan Islam

konsentrasi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam (MKPI)

program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul:

Manajemen Peserta Didik Berbasis Pesantren dalam Pembentukan

Karakter (Studi Atas MA Salafiyah Mu’adalah Pondok Tremas Pacitan)

memberikan kesimpulan: manajemen peserta didik berbasis pesantren

dalam pembentukan karakter di MA Salafiyah Mu’adalah

menggunakan tiga langkah strategi yaitu, moral knowing, moral feeling,

dan moral action. Dan dalam aplikasinya menggunakan empat fungsi

manajemen yaitu: (1) Perencanaan: (a) menentukan nilai-nilai karakter

yang melaksanakan pembiasan dalam perilaku keseharian, (b)

melakukan sosialisasi, (c) mempersiapkan program harian, dan (d)

melaksanakan pembiasaan dalam perilaku keseharian. (2)

Pengorganisasian: membentuk struktur organisasi melalui Tim Majelis

Ma’arif. (3) Pelaksanaan: merencanakan empat program, yaitu: (a)

sistem formal, (b) sistem non formal, (c) sistem organisasi, (d) sistem

vokasional. (4) Pengawasan: pengawasan langsung dan melalui evaluasi

Kepala sekolah bersama Dewan Majelis Ma’arif. Keberhasilan

manajemen peserta didik berbasis pesantren dalam pembentukan

karakter ini dapat dilihat dari ketercapaian indikator yang ada di

lapangan, yaitu ada sembilan nilai karakter: religius, jujur, tasamuh,

disiplin, mandiri, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli

Berbasis Karakter “Tasamuh” (Studi Kasus di SMP Negeri 5 Yogyakarta), Tesis, (Program studi
Pendidikan Islam konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Pascarsaja UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2012), hal. vi

13
lingkungan, dan hormat/menghargai. Sedangkan faktor pendukung dan

penghambat manajemen peserta didik berbasis pesantren dalam

pembentukan karakter di MA Salafiyah Mu’adalah berdasarkan analisis

SWOT ditemukan faktor pendukungnya yaitu: (a) motivasi kyai, ustadz

dan siswa yang menunjang, (b) media pembelajaran yang memadai, (c)

iklim dan tradisi pesantren yang mendukung, (d) figurasi kyai dan

ustadz sebagai teladan konkrit, (e) program vokasional dengan media

yang memadai, dan (f) komunikasi yang akrab antara lembaga dengan

masyarakat. Sedang faktor penghambat meliputi: (a) komponen

pendidikan belum sinergis, (b) standar perawatan media pembelajaran

belum memadai, (c) tradisi pesantren dengan corak kesederhanaannya,

(d) minimnya budaya kritis, (e) efektivitas kegiatan belum merata, dan

(f) budaya negatif dari luar.18

3. Skripsi Istiqomah Fajri Perwita tahun 2014, jurusan Pendidikan Agama

Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta yang berjudul: Strategi Guru PAI dalam Membina Sikap

Toleransi Antar Umat Beragama Terhadap Siswa SMP N 1 Prambanan

Klaten, memberikan kesimpulan: (1) kondisi sikap toleransi siswa di

SMP N 1 Prambanan Klaten terbilang sudah sangat baik. Hal ini

dibuktikan dengan adanya sikap menerima dalam hidup berdampingan

dengan warga sekolah yang heterogen, menghormati dan menghargai

18
Arif Shaifudin, Manajemen Peserta Didik Berbasisi Pesantren dalam Pembentukan
Karakter (Studi Atas MA Salafiyah Mu’adalah Pondok Tremas Pacitan, Tesis, (Program studi
Pendidikan Islam konsentrasi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam (MKPI), Program
Pascarsaja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), hal. ix

14
perbedaan keyakinan orang lain, menjalin kerjasama dalam bidang

sosial, seperti adanya ekstrakurikuler dan acara sekolah. (2) Strategi

guru PAI dalam membina sikap toleransi terhadap siswa SMP N1

Prambanan Klaten melalui dua tahap yaitu: 1) pembinaan dalam

kegiatan pembelajaran meliputi: a) pemanfaatan sumber belajar, b)

memilih Gaya Guru Mengajar yang baik, c) Penerapan variasi metode

dan memilih metode yang sesuai, d) menciptakan komunikasi guru

dengan siswa, e) penerapan evaluasi berkelanjutan. 2) Pembinaan di

luar kelas dengan memberikan contoh sikap toleransi di lingkungan

sekolah, seperti hidup berdampingan dengan semua warga sekolah,

bekerjasama dengan semua warga sekolah untuk menerapkan senyum,

sapa dan salam serta bekerjasama dalam bidang sosial. 19

4. Edi Susanto, Pluralitas Agama : Meretas Toleransi Berbasis

Multikulturalisme Pendidikan Agama.20 Tulisan ini mendeskripsikan

model-model keberagamaan dan implikasinya terhadap kerukunan

beragama pada realitas keberagamaan yang pluralistik. Dengan

model keberagamaan instrinsik inklusif humanis fungsional,

kerukunan dalam konteks pluralitas agama akan terwujud dengan lebih

sejati dan genuine (asli). Untuk mewujudkan pola keberagamaan

tersebut, pendidikan agama berbasis multikultural merupakan

kemestian di tengah realitas kehidupan yang sedemikian plural

19
Istiqomah Fajri Perwita, Strategi Guru PAI dalam Membina Sikap Toleransi Antar Umat
Beragama terhadap Siswa SMP N 1 Prambanan Klaten, Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), hal. viii
20
Edi Susanto, “Pluralitas Agama : Meretas Toleransi Berbasis Multikulturalisme Pendidikan
Agama”, Jurnal Tadris STAIN Pamekasan, Volume 1. Nomor 1 tahun 2006, hal.42

15
dalam segala segmen. Terdapat beragam pola atau model manusia

dalam menghayati dan memeluk agamanya. Gordon W. Allport

mengidentifikasinya secara bipolar, yakni beragama secara

ekstrinsik dan beragama secara intrinsik. Model yang pertama lebih

memandang agama sebagai something to use but not to live

(sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan). Agama

digunakan untuk menunjang motif-motif lain, seperti kebutuhan

akan status, rasa aman ataupun kebutuhan akan harga diri. Orang

yang beragama dengan cara ini, rajin melaksanakan bentuk-bentuk

luar (ritualitas) dari agama, tetapi kurang menghayati nilai-nilai

substantifnya. Orang bisa saja rajin shalat, sering naik haji dengan ONH

Plus misalnya, tetapi tidak memahami apa hakikat shalat dan hajinya,

sehingga tidak banyak berdampak positif bagi perbaikan

kepribadiannya. Cara beragama seperti ini kata Alpor, memang erat

hubungannya dengan penyakit mental, sekaligus pula tidak akan

melahirkan tatanan madanî (tatanan yang menjunjung tinggi nilai-

nilai. Dengan memfokuskan pada aspek tersebut, tidak berarti penulis

mengabaikan faktor penyebab lain seperti dominasi politik dan

politik kepentingan, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan,

sentimen ras dan antar golongan, sekaligus hanya menegaskan

agama sebagai satu-satunya sumber konfliks. Bahkan sebaliknya,

kebencian, fitnah dan berbagai perilaku destruktif lainnya masih

akan tetap berlangsung. Akan tetapi pada pola beragama yang

16
kedua, intrinsik, agama dipahami sebagai comprehensive

commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh

aspek kehidupan manusia. Agama dipahami tidak hanya berhenti

pada ritualitas eksternal, namun juga dihayati nilai substantifnya

bagi perbaikan nilai-nilai kepribadian dan kemanusiaan. Dalam

konteks cara beragama seperti ini, akan berdampak positif bagi

perwujudan tata kehidupan madani.

5. Nurotun Mumtahanah, Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren dalam

Meningkatkan Profesionalisme Santri. 21 Tulisan ini membahas tentang

pesantren sebagai sebuah lembaga yang menghasilkan lulusan tidak

hanya ulama atau pemimpin agama, tetapi juga pemimpin bangsa yang

bertakwa dan profesional yang bergerak di bidang tertentu dan dijiwai

dengan semangat moralitas agama sebagaimana yang dicita-citakan

oleh pendidikan nasional. Pada pengembangan sistem pendidikan

pesantren, siswa (santri) wajib memiliki komitmen yang kuat untuk

profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyeru (da’i)

kepada kebenaran. Dikatakan profesional apabila memiliki sikap

dedikatif tinggi untuk tugas-tugasnya, komitmennya untuk berproses

menjadi lebih baik, bekerja yang berkualitas, dengan selalu

meningkatkan dan memperbarui model atau cara bekerja sesuai dengan

tuntutan zamannya. Sistem pendidikan pesantren telah terintegrasi oleh

elemen antara Islam yang bercirikan Indonesian, ilmu pengetahuan dan

21
Nurotun Mumtahanah,”Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren dalam Meningkatkan
Profesionalisme Santri”, Jurnal STAI Al Hikmah Tuban Vol 5, No 1 tahun 2015.

17
sistem pendidikan terpadu seperti diproyeksikan sebagai alternatif

untuk mengatasi tuntutan masyarakat sipil. Profesionalisme santri

adalah komitmen untuk belajar disiplin Islam dan umum di pesantren

selain menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai bekal hidup di

masyarakat nantinya. Jadi mereka diharapkan mampu menghadapi

tantangan apapun di era global ini. Pada saat ini, profesionalisme santri

harus selalu ditingkatkan sebagai modal dalam menegakkan Islam di

tengah-tengah kehidupan yang berkembang pesat dan berubah.

6. Rusli, Pedagogi Usul al-Fiqh berbasis Pendidikan Perdamaian Di Era

Multikultural.22Tulisan ini membahas tentang peran usūl al -fiqh dalam

mengkonstruksi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang humanis untuk

membangun pendidikan perdamaian (peace education) di era

multikultural saat ini. Uṣūl al- fiqh dipercaya sebagai sumber nilai

dan perubahan, dan telah memainkan peran yang signifikan dalam

memulai reformasi-reformasi dalam bidang hukum dan pranata sosial

karena adanya tekanan-tekanan konteks dan integritas keagamaan.

Nilai-nilai yang terdapat dalam sumber hukum Islam, seperti Al-

Qur’an, sunnah, ijma‘, qiyas, istiṣlāh, istihsān, sadd aẕ-ẕarī‘ah, dan

maqāṣid asy-syarī‘ah, diterjemahkan ke dalam masyarakat dan

diterapkan secara menyeluruh di dalam lembaga-lembaga pendidikan.

Nilai-nilai ini ditransmisikan kepada para peserta didik melalui

metode-metode seperti dialog, kerja sama, pemecahan masalah dan

22
Rusli, “Pedagogi Uṣūl al-Fiqh berbasis Pendidikan Perdamaian Di Era Multikultural”,
Jurnal Ulul Albab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Vol. 20 No. 2 tahun 2013.

18
pembuatan batasan yang demokratis. Dalam mentransfer pengetahuan

dan nilai-nilai ini, seorang pendidik harus berpijak pada dua pendekatan

yang sangat penting yaitu: pertama, mendorong sikap hormat terhadap

perbedaan, dengan berpijak pada konsep bahwa pendidikan sebagai

cermin (mirror), jendela (window), dan percakapan (conversation);

kedua, melakukan aktivitas kelas yang lebih kooperatif berbasis pada

asas keadilan dan persamaan.

7. Dody S. Truna, Id‘ā’ al-ḥaq wa ḥudūd al-tasāmuḥ fī tarbīyat al-

Islāmīyah: Dirāsah awwalīyah fi al-kutub al-muqarrarah li tadrīs

māddah al-Islāmīyah bi al-jāmi‘āt al-Indūnīsīya.23Tulisan ini berfokus

pada pernyataan klaim kebenaran dan toleransi beragama dari para

penulis Muslim dari buku pelajaran Pendidikan Agama Islam bagi

siswa di tingkat tersier di Indonesia. Tujuannya adalah untuk

mempelajari bagaimana ajaran Islam, menurut pandangan mereka,

merumuskan batas-batas toleransi dalam interaksi di antara penganut

agama yang berbeda. Mereka percaya bahwa formulasi ini

dimaksudkan untuk membela Islam dari sinkretisme, kemunafikan, dan

bid'ah dan untuk membantah konsep toleransi terbatas dalam

pandangan para pendukung pluralisme dan multikulturalisme. Sisi

pertama adalah 'pembela', untuk memanggil mereka sebagai kelompok

yang menentang pluralisme dan multikulturalisme, dan yang kedua

adalah 'pendukung' pluralisme dan multikulturalisme.


23
Dody S. Truna,” Id‘ā’ al-ḥaq wa ḥudūd al-tasāmuḥ fī tarbīyat al-Islāmīyah: Dirāsah
awwalīyah fi al-kutub al-muqarrarah li tadrīs māddah al-Islāmīyah bi al-jāmi‘āt al-Indūnīsīya”,
Jurnal Studia Islamika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Volume 20 No. 3 tahun 2013

19
Tabel. 1.1 Kesamaan dan Perbedaan Penelitian

No Nama Judul Penelitian Kesamaan Perbedaan

1 Khamid Pemberdayaan Sama-sama Karakter tasamuh


Mashudi Kinerja Guru dalam membahas diterapkan dalam
Meningkatkan karakter pemberdayaan kinerja
Mutu Pendidikan Tasamuh guru dalam
Berbasis Karakter (toleransi). meningkatkan mutu
“Tasamuh” (Studi Karakter pendidikan. Bukan
Kasus di SMP tasamuh dapat dalam pembelajaran
Negeri 5 menyelesaikan fiqih seperti yang
Yogyakarta) masalah terkait penulis akan lakukan.
dengan mutu
pendidikan.
2 Arif Shaifudin Manajemen Peserta Pembentukan Fokus penelitian yang
Didik Berbasis karakter melalui dilakukan tentang
Pesantren dalam pembelajaran di manajemen peserta
Pembentukan pesantren. Ada 3 didik terhadap
Karakter (Studi langkah strategi sembilan nilai
Atas MA Salafiyah yang dilakukan karakter. Tidak
Mu’adalah Pondok moral knowing, memfokuskan pada
Tremas Pacitan) moral feeling, nilai salah satu
dan moral karakter.
action. Sama-
sama terdapat
nilai karakter
tasamuh.
3 Istiqomah Fajri Strategi Guru PAI Sama-sama Strategi guru PAI
Perwita dalam Membina membahas dalam membina sikap
Sikap Toleransi tentang toleransi. toleransi terhadap
Antar Umat yang terbilang siswa SMP melalui
Beragama Terhadap sudah sangat dua tahap yaitu:
Siswa SMP N 1 baik. Dibuktikan pembinaan dalam
Prambanan Klaten dengan adanya kegiatan pembelajaran
sikap menerima meliputi: pemanfaatan
dalam hidup sumber belajar,
berdampingan memilih gaya guru
dengan warga mengajar dan
sekolah yang Pembinaan di luar
heterogen, kelas dengan
menghormati memberikan contoh
dan menghargai sikap toleransi di
perbedaan yang lingkungan sekolah.
ada. Dalam penelitian yang
akan dilakukan,

20
peneliti memfokuskan
tentang kajian fiqih
dalam menanamkan
karakter toleransi.
4 Edi Susanto. “Pluralitas Agama : Sama-sama Toleransi yang
Meretas Toleransi membahas digunakan berbasis
Berbasis sebuah multikulturalisme
Multikulturalisme keberagamaan pendidikan agama dan
Pendidikan dalam sebuah tidak
Agama”, pendapat. memfokuskannya pada
Jurnal Tadris Perbedaan tidak salah satu agama,
STAIN Pamekasan, dijadikan alasan namun antar agama.
Volume 1. Nomor untuk Dalam penelitian ini,
1. 2006 “ menimbulkan toleransi mencakup
konflik dan dalam beragama,
perpecahan, bukan antar agama.
akan tetapi
sebagai
perbaikan bagi
nilai-nilai
kepribadian dan
kemanusiaan.
5 Nurotun “Pengembangan Pesantren Sistem pendidikan
Mumtahanah Sistem Pendidikan menjadi wadah pesantren terintegrasi
Pesantren dalam bagi santri dalam oleh elemen Islam
Meningkatkan belajar disiplin yang bercirikan
Profesionalisme ilmu agama Indonesian, ilmu
Santri”
sebagai bekal pengetahuan dan
Jurnal STAI Al
hidup di sistem pendidikan
Hikmah Tuban Vol
masyarakat terpadu seperti
5, No 1 tahun 2015,
nantinya. diproyeksikan sebagai
alternatif untuk
mengatasi tuntutan
masyarakat sipil.
Sementara,
pnelitian yang dikukan
penulis pada elemen
islam saja yaitu
pembelajaran fiqh dan
implementasinya
terhadap perilaku
toleransi.
6 Rusli “Pedagogi Usul al- Peran uṣūl al - Nilai-nilai yang
Fiqh berbasis fiqh dalam terdapat dalam
Pendidikan mengkonstruksi sumber hukum Islam,
Perdamaian Di Era nilai-nilai seperti Al-Qur’an,

21
Multikultural”. pendidikan yang sunnah, ijma‘, qiyas,
Jurnal Ulul Albab mampu istiṣlāh, istihsān, sadd
UIN Maulana Malik menghargai aẕ-ẕarī‘ah, dan
Ibrahim Malang perbedaan, maqāṣid asy-
Vol. 20 No. 2 tahun keadilan dan syarī‘ah,diterjemahkan
2013, persamaan. ke dalam masyarakat
dan diterapkan secara
menyeluruh di dalam
lembaga-lembaga
pendidikan.
Sementara, penelitian
penulis tidak semua
nila-nilai tersebut
digunakan, hanya yang
menjadi rujukan dari
ulama yang digunakan
sebagai landasan
hukum.
7 Dody S. Truna. “Id‘ā’ al-ḥaq wa Membahas Tulisan ini berfokus
ḥudūd al-tasāmuḥ fī toleransi yang pada pernyataan klaim
tarbīyat al- dapat membela kebenaran dari para
Islāmīyah: Dirāsah ajaran Islam dari penulis Muslim dari
awwalīyah fi al- kemunafikan buku pelajaran
kutub al- dan bid'ah. Pendidikan Agama
muqarrarah li tadrīs Islam bagi siswa
māddah al- tingkat tersier di
Islāmīyah bi al- Indonesia. Sementara
jāmi‘āt al- penelitian yang
Indūnīsīya”. dilakukan penulis
Jurnal Studia fokus pada
Islamika UIN Syarif pembelajaran fiqh
Hidayatullah yang diambil dari
Jakarta, Volume 20 pendapat ulama.
No. 3 tahun 2013.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research)

karena sumbernya dengan melihat atau menganalisa kenyataan di

lapangan. Penelitian ini merupakan data kualitatif (qualitative

22
research). Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan utama yaitu

menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore) dan

menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).24

Pada umumnya, jangka waktu penelitian kualitatif cukup lama,

karena tujuan penelitian kualitatif bersifat penemuan. Bukan sekedar

pembuktian hipotesis seperti dalam penelitian kuantitatif. Namun

demikian, kemungkinan jangka penelitian berlangsung dalam waktu

yang pendek apabila data yang ditemukan sudah jenuh. Lamanya

penelitian akan bergantung pada keberadaan sumber data, interes, dan

tujuan penelitian. Selain itu juga tergantung pada cakupan penelitian

dan bagaimana peneliti mengatur waktu yang digunakan dalam setiap

hari atau setiap minggu. 25

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

mendeskripsikan pembelajaran Fiqh Muqāran dan implementasinya

terhadap perilaku toleransi santri di Pesantren Mahasiswi Darush

Shalihat Yogyakarta.

Untuk mendapatkan data yang lengkap dan dapat memberikan

makna terhadap jawaban dari permasalahan yang diajukan, maka

dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan fenomenologi.

Fenomenologi diartikan sebagai pengalaman subyektif atau

24
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010). Hal. 60
25
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 24

23
pengalaman fenomenologikal yaitu studi tentang kesadaran dari

perspektif seseorang.26

3. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

mengambil berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara.

Ketika mengambil dari setting-nya, penulis mengumpulkan data

secara alamiah (natural setting) misalnya ketika di pesantren dengan

ustadz dan ustadzah pada saat pembelajaran fiqih, pengurus harian,

musrifah maupun ketika diskusi-diskusi yang dilakukan santri.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

observasi, wawancara (interview), dan dokumentasi.

a) Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para

ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta

mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. 27

Data itu dikumpulkan dan seringkali dengan bantuan berbagai alat

yang canggih sehingga memperoleh hasil maksimal.

Dalam penelitian ini, observasi digunakan untuk mengamati

peserta didik dan objek yang terkait dengan penelitian untuk

kemudian dilaporkan agar bisa didapatkan hasil yang diharapkan.

Sebelum melakukan observasi, penulis telah menyiapkan

26
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hal. 29
27
Ibid., hal. 64

24
instrumen yang berupa item-item tentang kejadian atau tingkah

laku yang digambarkan akan terjadi.

b) Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data apabila

peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan

permasalahan yang harus diteliti serta apabila ingin mengetahui

hal-hal dari responden yang lebih mendalam28. Wawancara dalam

penelitian ini digunakan untuk melakukan studi pendahuluan dan

menemukan jawaban permasalahan yang harus diteliti. Jumlah

responden yang diteliti sedikit dan membutuhkan jawaban lebih

mendalam dari responden sehingga digunakan cara ini.

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan wawancara

terstruktur dan tidak terstruktur (terbuka). Oleh karena itu, dalam

melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan

instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis.

Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi

pertanyaan yang sama dan pengumpul data mencatatnya. Dengan

wawancara terstruktur ini pula, pengumpulan data dapat

menggunakan beberapa pewawancara sebagai pengumpul data.

Dengan wawancara tidak terstruktur digunakan untuk

mendapatkan informasi mendalam untuk subyek yang diteliti.

28
Ibid., hal. 72

25
c) Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya dari

seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan

harian sejarah kehidupan, biografi, peraturan, kebijakan, dan lain

sebagainya. Sedangkan dokumentasi merupakan pelengkap dari


29
penggunaan metode observasi dan wawancara. Teknik

pengumpulan data yang mempunyai ciri yang spesifik bila

dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan

kuesioner.

Metode dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk

mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berhubungan

dengan penelitian seperti dalam buku pelajaran fiqh, catatan

santri tentang materi yang dipelajari dalam fiqh, brosur

penerimaan santri baru, video dan audio pembelajaran fiqh,

catatan-catatan pemandu terkait kegiatan pembelajaran fiqh, dan

lain sebagainya.

4. Subyek dan Sumber data penelitian

Subyek penelitian adalah orang yang mengetahui, berkaitan dan

menjadi pelaku dari suatu kegiatan yang diharapkan dapat memberikan

informasi. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah pengurus harian,

29
Ibid., hal. 82

26
musyrifah, ustadz dan ustadzah yang mengampu fiqh muqāran dan

santri pesantren mahasiswi Darush Shalihat.

Sedangkan yang dijadikan sumber dalam penelitian ini yaitu

orang yang memberikan informasi atau informan yang memiliki

kapasitas memberikan informasi sesuai dengan permasalahan

penelitian. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah teknik pengambilan

sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang

yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau

mungkin dia sebagai penguasa hingga akan memudahkan peneliti

menjelajahi obyek sosial yang diteliti.30

Dalam melakukan sebuah penelitian, peneliti mengumpulkan

data dari sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian. Adapun

sumber data penelitian yang akan penulis ambil yaitu:

a. Pengasuh Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt

b. Santri Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt yang berasal dari

berbagai kampus di Yogyakarta (UIN, UGM, UNY, UST, UPN,

UMY, dan UII). Santri angkatan Sembilan yang memperoleh

pelajaran fiqh muqāran.

c. Pengurus harian Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt

d. Musyrifah (pemandu) Dāruṣ Ṣālihāt

e. Ustadz dan Ustadzah mata pelajaran Fiqh

30
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D,
(Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 300

27
5. Metode analisis data

Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, perlu

digarap oleh peneliti. Dalam tesis ini Analisis data selama di lapangan

menggunakan model Miles dan Huberman31 :

1) Reduksi Data (Data Reduction)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup

banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Makin

lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan makin banyak,

kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data

melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih

hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,

dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan

demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran

yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan

pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

2) Penyajian Data (Data Display)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Melalui penyajian data, maka data

terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga akan

mudah difahami dan merencanakan kerja selanjutnya. Dalam

penyajian data, selain dengan teks naratif, juga dapat berupa grafik,

31
Ibid., hal. 337

28
matrik, tabel. Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk

teks naratif dan tabel.

3) Verifikasi (Conclusion Drawing)

Yaitu menarik kesimpulan berdasarkan temuan dan

melakukan verifikasi data. Kesimpulan awal yang dikemukakan

masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-

bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya.

Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai

verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap

awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten

dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan,

maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang

kredibel.32 Penulis telah melakukan verifikasi salah satunya dengan

mengunjungi tempat penelitian terhitung mulai bulan Januari 2015

sampai bulan Mei 2016. Ketika penulis kesana, penulis

mendapatkan data yang mendukung terhadap hipotesis penulis.

6. Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian, seringkali ditekankan pada

uji validitas dan reliabilitas. Validitas merupakan derajad ketepatan

antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat

dilaporkan oleh penelitian. Dengan demikian, data yang valid adalah

32
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2014), hal. 99

29
data “yang tidak berbeda” antara data yang dilaporkan oleh peneliti

dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian.33

Terdapat dua macam validitas penelitian, yaitu validitas internal

dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajad

akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai. Sedangkan

validitas eksternal berkenaan dengan derajad akurasi apakah hasil

penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi

dimana sampel tersebut diambil. Bila sampel penelitian representatif,

instrumen penelitian valid dan reliabel, cara mengumpulkan dan

analisis data benar, maka penelitian akan memiliki validitas eksternal

yang tinggi.34

Dalam hal reliabilitas berkenaan dengan derajad konsistensi dan

stabilitas data atau temuan. Maka apabila peneliti lain mengulangi atau

mereplikasi dalam penelitian pada obyek yang sama dengan metode

yang sama, maka akan menghasilkan data yang sama. 35

Selain kriteria validitas dan reliabilitas, ada kriteria lain yaitu

obyektifitas yang berkenaan dengan “derajad kesepakatan” atau

“interpersonal agreement” antar banyak orang terhadap suatu data.

Apabila ada 100 orang, terdapat 99 orang menyatakan bahwa terdapat

warna merah dalam penelitian itu, sedangkan satu orang menyatakan

warna lain, maka data tersebut adalah data yang obyektif.36

33
Ibid., hal. 117
34
Ibid., hal. 118
35
Ibid., hal. 118
36
Ibid., hal. 118

30
Dalam pengujian keabsahan data, metode peneltian kualitatif

meliputi: uji credibility (validitas internal), transferability (validitas

eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmabiliy

(obyektivitas). Adapun penjelasannya sebagai berikut37:

a. Uji Kredibilitas

Bermacam-macam cara pengujian kredibilitas data

(kepercayaan terhadap hasil data hasil penelitian) dilakukan dengan

perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam

penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus

negatif, dan member check.

b. Pengujian Transferability

Transferability atau validitas eksternal menunjukkan derajad

ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di

mana sampel tersebut diambil. Nilai transfer ini berkenaan dengan

pertanyaan hingga mana hasil penelitian dapat diterapkan atau

digunakan dalam situasi lain.

Agar orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatif

sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian

tersebut, maka peneliti dalam membuat laporannya harus

memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat

dipercaya.

37
Ibid., hal. 121-131

31
c. Pengujian Depenability

Depenability atau reliabilitas yaitu ketika penelitian

kualitatif dapat diulangi/direplikasi dalam proses penelitian

tersebut. Uji Depenability dilakukan dengan melakukan audit

terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh

auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit

keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.

Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah/fokus, memasuki

lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisisi data,

melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus

dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika proses penelitian tidak

dilakukan tetapi datanya ada, maka penelitian tersebut tidak

reliabel.

d. Pengujian Konfirmability

Pengujian Konfirmability dalam penelitian kualitatif mirip

dengan uji dependability sehingga pengujiannya dapat dilakukan

secara bersamaan. Menguji Konfirmability berarti menguji hasil

penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Apabila hasil

penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan,

maka penelitian tersebut telah memenuhi standar Konfirmability.

32
G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan di dalam penyusunan tesis ini terdiri dari

lima bab yaitu :

1. Bab I berisi Pendahuluan. Bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Kajian

Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Uraian dalam

bab ini yang kemudian menjadi kerangka berpikir dalam melaksanakan

penelitian.

2. Bab II berisi Kerangka Teoritik. Bab ini menjelaskan fiqh muqāran,

toleransi dan ikhtilāf fiqhiyyah sebagai pisau analisis data yang

diperoleh dari penelitian di lapangan.

3. Bab III berisi tentang Gambaran Umum Pesantren Mahasiswi Dāruṣ

Ṣālihāt. Pembahasan pada bagian ini difokuskan pada Letak dan

Keadaan Geografis, Sejarah Berdiri dan Proses Pengembangan, Visi

dan Misi, Struktur Organisasi, Program Pendidikan dan Kurikulum

Pesantren, Keadaan Pengajar dan Pelaksana Harian, Keadaan Santri dan

Sarana-Prasarana yang ada di Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt.

4. Bab IV berisi uraian hasil penelitian tentang Pembelajaran Fiqh

Muqāran dan Implikasinya Terhadap Perilaku Toleransi Santri di

Pesantren Mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta.

5. Bab V Penutup merupakan bagian akhir dari tesis yang meliputi

kesimpulan, saran dan kata penutup.

33
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam bab-bab di atas, dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pembelajaran fiqh muqāran di pesantren mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt

Yogyakarta melibatkan semua pengurus pesantren, musyrifah

(pemandu) dan para ustadz yang didatangkan dari Rumah Fiqih

Indonesia yang bertempat di Jakarta. Sebelum melaksanakan

pembelajaran fiqh muqāran, langkah-langkah yang dilakukan pesantren

yaitu dengan membekali para santri melalui kegiatan yang bertujuan

agar mereka mengenal ulama-ulama fiqh, memahami dasar-dasar ilmu

fiqh serta adanya perbedaan dalam fiqh yang dimulai dari kegiatan

dauroh penerimaan santri baru sampai dengan kegiatan belajar mengajar

fiqh.

Pembelajaran fiqh muqāran yang paling sering dilaksanakan yaitu

pada saat dauroh fiqh, meskipun santri juga tetap diajarkan tentang fiqh

muqāran dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pesantren. Berbagai

ilmu yang berkaitan dengan fiqh muqāran seperti uṣūl fiqh, ‘ulūmul

hadiṡ, pengenalan terhadap madzhab, dan ikhtilāf dalam fiqh. Dalam

mempelajari fiqh muqāran, santri diberikan penjelasan tentang beragam

pendapat para ulama tentang hukum dari suatu masalah yang sedang

224
dikaji beserta dalil yang mereka pakai dalam menentukan hukum

tersebut. Setelah itu, santri diberikan kebebasan untuk memilih pendapat

yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat tersebut berada.

2. Nilai-nilai toleransi yang terdapat pada pembelajaran fiqh muqāran di

pesantren mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt Yogyakarta antara lain :

a. Menghormati pendapat orang lain

b. Mengakui hak setiap orang

c. Agree in Disagrement (setuju dalam perbedaan)

d. Memahami fenomena yang terjadi di masyarakat

e. Tidak menyalahkan pendapat yang berbeda, dan

f. Toleran pada masalah-masalah yang furū.

3. Pembelajaran fiqh muqāran di pesantren mahasiswi Dāruṣ Ṣālihāt

Yogyakarta berimplikasi terhadap perilaku toleransi santri. Hal ini

dikarenakan adanya perbedaan perilaku sebelum dan sesudah mengikuti

pembelajaran fiqh muqāran. Pada umumnya, sebelum mengikuti

pembelajaran tersebut santri merasa paling benar, menganggap adanya

perbedaan merupakan suatu kesalahan dan sesuatu yang aneh, banyak

pertanyaan tentang sebab terjadinya perbedaan, menyalahkan kelompok

yang berbeda pendapat dengannya dan berpandangan negatif terhadap

kelompok maupun seseorang yang berbeda pendapat dengannya.

Perilaku-perilaku tersebut berubah menjadi perilaku yang lebih toleran

setelah para santri belajar fiqh muqāran di Dāruṣ Ṣālihāt.

225
B. Saran-saran

1. Bagi Ustadz dan Ustadzah Pengampu Pembelajaran Fiqh Muqāran

a. Keberhasilan pembelajaran fiqh muqāran sangat ditentukan oleh

keberhasilan ustadz dan ustadzah dalam mengajarkan materi sesuai

dengan langkah-langkah dalam pembelajaran yang efektif. Untuk

menanamkan perilaku toleransi dari pembelajaran ini tentu bukanlah

suatu hal yang mudah mengingat backround santri yang berasal dari

berbagai macam latar belakang pendidikan. Oleh karena itu,

pembelajaran yang telah dipersiapkan secara matang melalui media

dan metode yang sudah ada harus tetap dipertahankan maupun

dikembangkan agar hasil yang diharapkan sesuai dengan yang

diharapkan.

b. Ustadz dan ustadzah sebagai pengampu pembelajaran fiqh muqāran

harus memiliki kemampuan dalam memberikan keteladanan kepada

santri agar dapat berperilaku toleran terhadap siapapun yang beda

pandangan/pendapat dengan mereka. Hal ini disebabkan agar uswah

hasanah tersebut dapat mendorong santri agar dapat mencontoh

perilaku-perilaku terpuji dari ustadz dan ustadzah, khususnya

terutama yang terkait dengan perilaku toleransi.

c. Pembentukan perilaku toleransi santri melalui pembelajaran fiqh

muqāran yang dilaksanakan oleh ustadz dan ustadzah merupakan

proses keseluruhan antara pesantren, masyarakat dan lingkungan

kampus yang dilakukan secara berkesinambungan. Sehingga ustadz

226
dan ustadzah harus siap ketika dihadapkan pada kondisi perubahan

lingkungan tersebut.

2. Bagi Pengurus Harian dan Musyrifah Dāruṣ Ṣālihāt

a. Menjaga kekompakan dalam melaksanakan tugas dan amanah

merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian

kinerja yang produktif. Oleh karena itu, hendaknya saling

memberikan motivasi dan membantu satu sama lain jika dalam

perjalanannya mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas yang

diberikan. Sebab, pembentukkan perilaku toleransi bukan hanya dari

ustadz dan ustadzah saja, namun butuh intervensi dari semua pihak

terutama dari pengurus harian dan musyrifah yang setiap harinya

membersami santri Dāruṣ Ṣālihāt dalam belajar fiqh muqāran

maupun dalam kegiatan selainnya.

b. Komunikasi maupun kordinasi dengan ustadz dan ustadzah sebelum

pembelajaran dimulai dibutuhkan agar pembelajaran dapat berjalan

lebih efektif. Misalkan terkait dengan media dan metode

pembelajaran ketika mengajarkan fiqh muqāran. Kordinasi bisa

dilakukan lewat lisan, tulisan maupun dengan alat komunikasi.

C. Kata Penutup

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan seru sekalian alam yang telah

melimpahkan begitu banyak nikmat kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan tesis ini. “Tiada gading yang tak retak”, manusia tidak

luput dari kesalahan. Penulis menyadari, dalam menyelesaikan tugas akhir

227
ini masih terdapat banyak kekurangan disana-sini sehingga penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam

membuat karya tulis ilmiah yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi positif untuk

memajukan pendidikan di Indonesia (khususnya pesantren) sehingga

dapat mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas intelektualnya namun

cerdas dari segi akhlak dan budi pekertinya. Ᾱmīn yā rabbal ‘ālamīn.

228
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Naser, Perpecahan Umat Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1994

Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah, Beda Pendapat di Tengah Umat sejak Zaman


Sahabat hingga Abad keempat (pengantar Suryadharma Ali),
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010

Al-Banna, Hasan, Majmu’atu Rasa’il Hasan Al-Banna, Solo: Era Adicitra


Intermedia, 2012

Ahmad Zarkasyi, “Selain Empat Madzhab”, dalam www.rumahfiqih.com ,


diakses tanggal 06 Februari 2017

Al-Awani, Thaha Jabir Fayyadh, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam,


Bandung: Pustaka Hidayah, 2001

Alwan Khoiri, dkk, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2005

Amin, Ahmad, Etika, Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Anshory, Isnan, Jika Semua Memiliki Dalil, Bagaimana Aku Bersikap?, Jakarta:
Rumah Fiqih Publishing, 2016

Ansory, Isnan, Mengenal Ilmu-ilmu Syar’i dan Skala Prioritas dalam Belajar
Islam, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2016

Arfan, Abbas, Geneologi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam, Malang:


UIN Malang Press, 2008

Ash-Ashiddieqy, Hasbi, Pengantar Ilmu Perbandingan Madzhab, Jakarta:


Bulan Bintang, 1975

Azwar, Saifuddin, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2005

Azzam, Abdullah, Akidah Landasan Pokok Membina Umat, Jakarta:: Gema


Insani Press, 1993

Borba, Michele, Membangun Kecerdasan Moral Tujuh Kebajikan Utama Agar


Anak Bernoral Tinggi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008

Daradjat, Zakiah, Metodik khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bina


Aksara, 1995
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan Yang
terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang
Tercerai, Bandung: Alfabeta, 2007

Hasyim, Umar, Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan Wajib Bermadzhab


dan Pintu Ijtihad Tertutup?, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995

Hasyim, Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai


Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya: Bina
Ilmu, 1991

Hujajul Aslaf dan Abu Abdirrahman, “Al-Qaulul Hasan fī Ma’rifatil Fitān”,


dalam www.asysyariah.com, diakses tanggal 16 November 2016

Ibrahim, Muslim, Fiqih Muqāran, (akarta: Erlangga, 1991

Khon, Abdul Majid, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam
dari Masa ke Masa, Jakarta: Amzah, 2013

Mansur, Sufa’at, Toleransi dalam Agama Islam, Yogyakarta: Harapan Kita,


2012

Mashudi, Khamid, Pemberdayaan Kinerja Guru dalam Meningkatkan Mutu


Pendidikan Berbasis Karakter “Tasamuh” (Studi Kasus di SMP
Negeri 5 Yogyakarta), Tesis, (Program studi Pendidikan Islam
konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Pascarsaja UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Modep Pendidikan Karakter,


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013

Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter Rekonstruksi Teoritik dan Praktik,


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Mukhzinji, Ahmad, Al’adlu wat-Tasāmuh Al-Islām, Makkah: Maktabah Darusy


Syuruq, 1987

Mumtahanah, Nurotun, “Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren dalam


Meningkatkan Profesionalisme Santri”, Jurnal STAI Al Hikmah
Tuban Vol 5, No 1 tahun 2015

Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis


Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2011

Mustofa, A, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997

Moelong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya,


2000
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 1996

Nashir, Ibrahim, At-Tarbiyatul Akhlāqiyah, Oman: Darul Wail, 2006

Perwita, Istiqomah Fajri, Strategi Guru PAI dalam Membina Sikap Toleransi
Antar Umat Beragama terhadap Siswa SMP N 1 Prambanan Klaten,
Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014

Rusli, “Pedagogi Usūl al-Fiqh berbasis Pendidikan Perdamaian Di Era


Multikultural”, Jurnal Ulul Albab UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang Vol. 20 No. 2 tahun 2013

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid (Terjemahan),


Jakarta: Akbar Media, 2013

Sarlito Sarwono & Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial, Jakarta: Salemba


Humanika, 2009

Sarwat, Ahmad, Seri Fiqih Kehidupan : Muqaddimah, Jakarta: Rumah Fiqih


Publising, 2015

Sati, Pakih, Jejak Hidup dan Keledanan Imam 4 Madzhab, Yogyakarta :


Galangpress, 2014

Sulthan, Jamal, Masalah-masalah Khilafiah dan Jalan Keluarnya, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 1997

Susanto, Edi, “Pluralitas Agama : Meretas Toleransi Berbasis Multikulturalisme


Pendidikan Agama”, Jurnal Tadris STAIN Pamekasan, Volume 1.
Nomor 1 tahun 2006

Shaifudin, Arif, Manajemen Peserta Didik Berbasisi Pesantren dalam


Pembentukan Karakter (Studi Atas MA Salafiyah Mu’adalah Pondok
Tremas Pacitan, Tesis, (Program studi Pendidikan Islam konsentrasi
Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam (MKPI), Program
Pascarsaja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2010

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2014

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,


dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2014

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang:


Widya Kampus, 2012
Suryanto dkk, Pengantar Psikologi Sosial, Surabaya: Airlangga University
Press, 2012

Truna, Dody S, ” Id‘ā’ al-ḥaq wa ḥudūd al-tasāmuḥ fī tarbīyat al-Islāmīyah:


Dirāsah awwalīyah fi al-kutub al-muqarrarah li tadrīs māddah al-
Islāmīyah bi al-jāmi‘āt al-Indūnīsīya”, Jurnal Studia Islamika UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Volume 20 No. 3 tahun 2013

Qardhawi, Yusuf, Fiqih Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, Memahami


Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang dilarang,
Robbani Press: Jakarta, 2007
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara
A. Wawancara dengan ustadz/ustadzah:
1. Bagaimana gambaran pembelajaran fiqh muqaaran yang dilakukan di Darush
Shalihat?
2. Materi-materi apa saja yang diajarkan dalam pembelajaran fiqh muqaaran?
3. Apa latar belakang dilaksanakannya pembelajaran fiqh muqaaran?
4. Indikator toleransi seperti apa yang dapat dilihat dalam pembelajaran fiqh
muqaaran?
5. Bagaimana strategi yang digunakan untuk menyampaikan materi yang dapat
menumbuhkan perilaku toleransi?
6. Bagaimana iklim pembelajaran yang diciptakan untuk mengembangkan perilaku
toleransi santri?
7. Bagaimana bentuk keteladanan perilaku toleransi yang dilakukan ustadz terhadap
santri?
8. Bagaimana cara ustadz mengetahui santri yang telah memiliki perilaku toleransi?
9. Apa metode yang ustadz lakukan apabila terdapat santri yang belum memiliki
perilaku toleransi?

B. Wawancara dengan Musyrifah:


1. Kegiatan apa yang dapat dilakukan agar dapat mengembangkan perilaku toleransi
santri dalam pembelajaran fiqh muqaaran?
2. Bentuk pendampingan seperti apa yang anda lakukan untuk menanamkan perilaku
toleransi santri dalam pelajaran fiqh?
3. Apakah tersedia buku yang menunjang pembentukan perilaku toleransi santri?
4. Apakah lingkungan pesantren menunjang pembentukan toleransi santri?
5. Apakah hubungan pesantren dan masyarakat menunjang pengembangan toleransi
santri?
6. Sejauh pengamatan musyrifah terhadap santri, apakah iklim di kampus masing-
masing santri menunjang perilaku toleransi mereka?

C. Wawancara dengan santri Darush Shalihat angkatan 9:


1. Karakter apa saja yang didapatkan setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqaaran?
2. Apakah pembelajaran fiqh yang kalian ikuti mempunyai pengaruh terhadap
perilaku toleransi?
3. Sebelum mengikuti pembelajaran fiqh, bagaimana pandangan anda terhadap
kelompok yang berbeda madzhab dengan kelompok anda?
4. Setelah mengikuti pembelajaran fiqh, bagaimana pandangan dan pendapat anda
dengan berbagai macam perbedaan di dalam ibadah yang sifatnya furu’?
5. Apakah dengan karakter toleransi dapat memberikan solusi untuk masalah di negeri
ini yang terkait dengan perpecahan antar kelompok?
6. Setelah mempelajari fiqh, bagaimana pandangan anda terhadap ulama empat imam
madzhab?
7. Apa yang anda ketahui tentang toleransi dalam agama islam?
8. Apa saja nilai-nilai dalam toleransi yang didapatkan setelah belajar fiqh muqaaran?

Pedoman Observasi
1. Letak geografis Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
2. Situasi dan kondisi lingkungan Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
3. Kurikulum dan pembelajaran Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
4. Sarana dan prasarana Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
5. Kondisi Santri dan musyrifah Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
6. Perilaku toleransi santri Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta

Pedoman Dokumentasi
1. Identitas Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
2. Letak geografis Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
3. Sejarah dan perkembangan Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
4. Struktur Organisasi Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
5. Sarana dan prasarana Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta
6. Data keadaan ustadz/ustadzah, musyrifah dan santri Pesantren Mahasiswi Darush
Shalihat Yogyakarta
7. Dokumentasi/foto kegiatan-kegiatan, slogan yang terkait dengan perilaku toleransi
Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat Yogyakarta.
Gambar Nama-nama Ulama yang ditempel di Pintu Kamar Santri
Catatan Lapangan 1
Metode Pengumpulan Data : Observasi

Hari/Tanggal : November 2016


Pukul : 14.00-selesai
Lokasi : Ruang Tata Usaha
Sumber : Pegawai Tata Usaha

Deskripsi Data :
Hari ini penulis menyerahkan surat izin penelitian dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kepada Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat
untuk melakukan penelitian. Penulis sudah melakukan pra penelitian di pesantren tersebut
sejak bulan Desember tahun 2015.
Interpretasi Data:
Dari Kegiatan tersebut merupakan langkah lanjutan untuk lebih memahami tema
penelitian yang penulis lakukan di Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat.
Catatan Lapangan 2
Metode Pengumpulan Data : Dokumentasi

Hari/Tanggal : 03 November 2016


Pukul : 12.00-selesai
Lokasi : Kalasan (tempat peneliti tinggal)
Sumber : Mba Kiki Sakina (Musyrifah)

Deskripsi Data :
Narasumber dari dokumentasi ini adalah mba Kiki Sakina selaku musyrifah Darush
Shalihat. Dokumentasi yang dikumpulkan berupa rundown kegiatan pembelajaran fiqh dan
latar belakang dilaksanakannya kegiatan tersebut.
Interpretasi Data:
Dari dokumen tersebut, peneliti mendapatkan data tentang kegiatan pembelajaran
fiqh dan latar belakang dilaksanakannya kegiatan tersebut. Peneliti mendapatkan data
dengan cara dikirim email oleh mba kiki karena beliau sedang berada di luar kota.
Catatan Lapangan 3
Metode Pengumpulan Data : Dokumentasi

Hari/Tanggal : 09 November 2016


Pukul : 08.00-selesai
Lokasi : Ruang Kelas Pesantren
Sumber : Mba Fitri Cahyani (Musyrifah)

Deskripsi Data :
Narasumber dari dokumentasi ini adalah mba Fitri Cahyani selaku musyrifah
Darush Shalihat. Dokumentasi yang dikumpulkan berupa kurikulum kegiatan
pembelajaran fiqh, evaluasi serta catatan rapat dari kegiatan tersebut.
Interpretasi Data:
Dari dokumen tersebut, peneliti mendapatkan data tentang kurikulum kegiatan
pembelajaran fiqh, evaluasi serta catatan rapat dari kegiatan tersebut. Peneliti mendapat
dokumen berupa kertas yang berisi catatan-catan terkait data tersebut.
Catatan Lapangan 4
Metode Pengumpulan Data : Dokumentasi

Hari/Tanggal : November 2016


Pukul : 14.00-selesai
Lokasi : Ruang Tata Usaha
Sumber : Pegawai Tata Usaha

Deskripsi Data :
Hari ini penulis menyerahkan surat izin penelitian dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kepada Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat
untuk melakukan penelitian. Penulis sudah melakukan pra penelitian di pesantren tersebut
sejak bulan Desember tahun 2015.

Interpretasi Data:
Dari kegiatan tersebut merupakan langkah lanjutan untuk lebih mendalami tema penelitian
yang penulis lakukan di pesantren mahasiswi Darush Shalihat.
Catatan Lapangan 5
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : 4 Desember 2016


Pukul : 14.30-selesai
Lokasi : Masjid Mujahidin UNY
Sumber : Miftakhul Fitria Ningrum

Deskripsi Data :
Penulis tidak sengaja bertemu dengan Miftakhul Fitria Ningrum, Santri Darush
Shalihat angkatan 9. Beliau bercerita bahwa hari Sabtu tanggal 3 Desember, mereka
menonton aksi bela Islam 3 dari bada shubuh sampai jam 11 pagi dengan diselingi
penguatan materi dari Ummi maupun pemandu. Mereka sangat tertarik untuk melihat video
tersebut dari awal sampai akhir. Isi dari video itu adalah orasi maupun ceramah dari ustadz
yang sangat menyinggung tentang fiqh Muqaaran.

Interpretasi Data:
Dari kegiatan tersebut semakin menguatkan tentang adanya penanaman perilaku
toleransi dalam pembelajaran fiqh muqaaran. Salah satunya melalui metode watching
video. Berdasarkan wawancara dengan santri tersebut, mereka kagum dengan
kebijaksanaan ulama dalam menetapkan suatu masalah terkait shaf shalat dan perbedaan
yang selama ini terjadi di masyarakat. Ulama menghimbau agar perbedaan itu bukan untuk
menjadi alasan perpecahan, karena umat Islam adalah saudara dalam islam dan iman.
Catatan Lapangan 6
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : 25 November 2016


Pukul : 12.54-selesai
Lokasi : Ruang Kelas Darush Shalihat
Sumber : Asri Indriani

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Islam Indonesia dengan mengambil Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan
2014.
Penulis bertanya tentang pembelajaran fiqh muqāran yang diikuti mempunyai
pengaruh terhadap perilaku toleransi. Informan menjawab: “Jelas ada. Karena kita tahu
tentang perbandingan madzhab karena sudah belajar tentang fiqh empat madzhab. Ketika
kita melihat seorang perempuan tidak pakai kaos kaki, saya beranggapan mungkin dia
Hanafi. Ada ustadz besar yang cukup terkenal di daerahku tapi keluarganya yang
perempuan tidak memakai kaos kaki, mungkin dia pakai madzhab Hanafi”.
Penulis bertanya lagi tentang bagaimana pandangan sebelum mengikuti
pembelajaran fiqh, terhadap kelompok yang berbeda madzhab dengan kelompok anda,
informan menjawab: “Merasa biasa saja. Karena dari kecil diajari mama untuk menerima
perbedaan. Tapi masih saja ada perasaan kenapa dia seperti itu. Masih timbul pertanyaan.
Kalau sekarang, sudah lebih biasa saja”.
Interpretasi Data:
1. Informan merasa memiliki perilaku toleransi setelah belajar fiqh muqāran karena
didalamnya dipelajari tentang fiqh empat madzhab. Contoh toleransinya ketika dia
menyikapi seseorang yang tidak memakai kaos kaki memakai madzhab Hanafi. Tidak
menyalahkan kenapa tidak memaka kaos kaki.
2. Sebelum belajar fiqh muqāran, informan merasa biasa ketika terdapat kelompok yang
berbeda dengannya karena sudah ditanamkan oleh keluarganya namun masih timbul
pertanyaan. Setelah belajar fiqh muqāran, informan merasa lebih biasa dan sudah
memahami kenapa kelompok tersebut berbeda madzhab.
Catatan Lapangan 7
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : 23 Desember 2016


Pukul : 14.26-selesai
Lokasi : Jabal Rahmah (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Asy-Syifa Rahma Halim

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Kedokteran Umum angkatan 2014.
Penulis bertanya tentang karakter apa saja yang didapatkan setelah mengikuti pembelajaran
fiqh muqāran, informan menjawab: “Lebih berhati-hati, misal ketika wudhu diniatkan pas
awal memulai wudhu agar sah wudhunya dan sah shalatnya. Banyak ilmu yang baru tahu
disini. Niat puasa juga benar-benar dilakukan, ketika sudah adzan ya jangan makan. Ketika
di kampus menemukan madzhab yang berbeda, tidak langsung mempertanyakan, karena
sudah paham bahwa madzhab ada empat. Tidak langsung menjudge kalau mereka itu salah.
Jadi paham batas-batas toleransinya seperti apa”.
Interpretasi Data:

1. Setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, informan merasa lebih berhati-hati


dalam melakukan suatu ibadah. Niatnya benar-benar dilakukan ketika diawal.
2. Informan tidak mudah menjudge ataupun menyalahkan kelompok yang berbeda
madzhab dengannya karena sudah memahami kenapa terjadi perbedaan.
3. Informan memahami batas-batas toleransi dalam Islam.
Catatan Lapangan 8
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : 23 Desember 2016


Pukul : 14.26-selesai
Lokasi : Jabal Rahmah (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Asy-Syifa Rahma Halim

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Kedokteran Umum angkatan 2014.
Penulis bertanya tentang apakah pembelajaran fiqh yang diikuti mempunyai
pengaruh terhadap perilaku toleransi, informan menjawab: “Berpengaruh, ketika di
kampus, ada yang pengetahuan shalatnya berbeda dengan kita. Tidak langsung
menyalahkan. Tapi ketika itu hal-hal yang mendasar, misal kakinya kelihatan saat shalat,
akan diingatkan”.
Penulis bertanya lagi tentang bagaimana pandangan sebelum mengikuti pembelajaran fiqh
terhadap kelompok yang berbeda madzhab dengan kelompoknya, informan menjawab:
”Menganggapnya hal itu sesuatu yang perlu dipertanyakan. Kenapa seperti itu, kenapa
berbeda-beda, bukankah Rasul mengajarkannya yang sama. Ketika melihat ada telunjuk
yang bergerak dan ada yang tidak ketika tasyahud, yang benar yang mana. Dulu banyak
pertanyaan, tapi tidak langsung menganggap bahwa itu salah. Di kampus, yang mengisi
kajian tentang satu madzhab aja, ketika bertanya tentang masalah fiqh, disalahkan karena
hanya 1 persepektif saja”.
Interpretasi Data:

1. Setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, informan memiliki perilaku toleransi


dan tidak mudah menyalahkan ketika ada perbedaan antar kelompok.
2. Setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, Informan memiliki banyak pertanyaan
terkait masalah-masalah fiqh dan ketika bertanya ke orang yang lebih paham, belum
bisa memahamkan karena hanya dilihat dari satu persepektif saja.
Catatan Lapangan 9
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Sabtu, 26 November 2016


Pukul : 21.40-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Miftakhul Fitria Ningrum

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil Jurusan Bimbingan Konseling
angkatan 2013.
Penulis bertanya tentang karakter apa saja yang didapatkan setelah mengikuti
pembelajaran fiqh muqāran, informan menjawab:” Fiqh merupakan esensi ilmu tentang
bagaimana menyikapi perbedaan. Jadi, paham tentang madzhab, jadi tahu alurnya kenapa
terjadi perbedaan. Perbedaan adalah suatu keniscayaan agar lebih bisa menghargai dan
menghindari perpecahan serta tidak menyalahkan yang lain. Sekarang sudah bisa
menjelaskan ketika ada yang tanya”.
Penulis bertanya lagi tentang, apa yang anda ketahui tentang toleransi dalam agama islam,
informan menjawab: “Toleransi dalam Islam tidak mungkin terjadi perbedaan pada hal
yang ushul seperti shalat lima waktu, shalat maghrib tidak mungkin shalat jadi empat
rakaat. Jadi, jangan sampai bermusuhan. Ketika ada perbedaan yang akan terjadi
perpecahan, itu merupakan sesuatu yang memalukan”.

Interpretasi Data:
1. Karakter yang didapatkan setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, informan
mendapatkan ilmu tentang bagaimana menyikapi perbedaan, memahami tentang
madzhab dan dapat menghargai ketika ada perbedaan.
2. Informan memahami toleransi dalam Islam bukan pada sesuatu yang ushul (pokok)
seperti jumlah raka’at shalat, sehingga tidak perlu dipermasalahkan ketika perbedaan
tersebut bukan pada hal-hal yang ushul.
Catatan Lapangan 10
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Sabtu, 26 November 2016


Pukul : 21.40-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Miftakhul Fitria Ningrum

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil Jurusan Bimbingan Konseling
angkatan 2013.
Penulis bertanya tentang Penulis bertanya tentang apakah pembelajaran fiqh yang diikuti
mempunyai pengaruh terhadap perilaku toleransi, informan menjawab:” Iya, jelas. Karena
itu yang aku dapatkan banget. Waktu Madrasah Aliyah dulu, ada pelajaran fiqh tapi hanya
sekedar tahu. Sekarang belajar fiqh di DS, belajar perbedaan sehingga bisa muncul perilaku
toleransi. Tentang bid’ah dalam masyarakat sedikit lebih paham dalam menyikapi bid’ah
itu. Sekarang sudah tidak sepaneng banget. Tidak merasa kagetan ketika ada orang yang
bertanya, “dalilnya mana?” sudah tidak terlalu kaget sama dalil. Sekarang lebih paham jika
kita tidak bisa merujuk ke Qur’an dan hadist langsung, karena kita muqallid. Pas dauroh
kemarin, saya semangat banget. Totalitas buat belajar fiqh. Pas dauroh selesai, materinya
langsung saya ketik agar meresapnya semakin kuat. Karena materinya direkam, jadi bisa
cerita langsung ke mereka (masyarakat), jadi merasa senang”.

Interpretasi Data:
1. Informan merasa mempunyai perilaku toleransi setelah mengikuti pembelajaran fiqh
muqāran karena didalamnya diajarkan tentang perbedaan serta tentang fenomena di
masyarakat seperti bid’ah dan bagaimana cara menyikapinya.
2. Informan tidak merasa kaget ketika ada yang bertanya tentang dalil, karena dia
menyadari tidak bisa langsung merujuk kepada Al-Quran dan Hadist. Informan merasa
dirinya sebagai muqallid yang harus ikut kepada pendapat ulama.
Catatan Lapangan 11
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Selasa, 20 Desember 2016


Pukul : 13.00-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Warisatul Ilmi

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Biologi angkatan 2013.
Penulis bertanya tentang karakter apa saja yang didapatkan setelah mengikuti pembelajaran
fiqh muqāran, informan menjawab:” Lebih berhati-hati, merasa untuk menyempurnakan
ibadah yang dilakukan dari materi yang pernah dipelajari, seperti wudhu, rukunnya ada 6
telapak tangan, muka, tangan, rambut kepala, kaki dan tertib dan ditambah sunnah-sunnah
yang lain. Misal di fakultas, di skretariat organisasi ada tikus, saya membersihkannya dulu
agar tidak terkena najis. Sekarang sudah tambah takut ketika mau ibadah, karena takut kena
najis. Fiqh itu unik karena disana banyak belajar tentang perbedaan. Tidak terlalu fanatik
pada taraf yang sesuai. Fiqh itu unik karena disana banyak belajar tentang perbedaan. Tidak
salah, karena mereka dasarnya ini. Kita manut sama madzhab A terus yakin pada ibadah
yang dilakukan karena sudah tahu urutannya dari madzhab-madzhab tersebut. Karena
sudah tahu dasarnya.”.

Interpretasi Data:
1. Karakter yag didapat informan setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, yaitu
lebih berhati-hati misalnya tentang najis dan merasa perlu untuk menyempurnakan
ibadah dari materi-materi yang telah dipelajari.
2. Informan memiliki perilaku tidak fanatik karena masing-masing madzhab memiliki
dasarnya. Dan mereka sudah mempelajari tentang perbedaan-perbedaan yang ada.
Catatan Lapangan 12
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Sabtu, 29 November 2016


Pukul : 10.45-selesai
Lokasi : Kamar Al-Baqarah
Sumber : Rahma Amaliah

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan mengambil Jurusan Teknik Sipil
angkatan 2014.
Penulis bertanya tentang karakter apa saja yang didapatkan setelah mengikuti pembelajaran
fiqh muqāran, informan menjawab:” Jadi lebih ingin tahu. Ternyata dulu pahamnya ilmu
fiqh itu saklek. Ternyata ada murā’atul ikhtilāf dan lebih luas. Disini, pembawaan dari
ustadz menarik dan sejarah fiqh itu juga dijelaskan. Semuanya ada ketentuannya, tidak
boleh secara logika. Kalau najis ketentuannya seperti ini, thaharah seperti ini jadi lebih
berhati-hati dalam bersikap. Contoh dalam kebiasaan ketika ke kamar mandi memakai
sandal dan seterusnya.

Interpretasi Data:
1. Karakter yang didapat informan setelah mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, yaitu
lebih berhati-hati dalam bersikap misalnya memakai sandal ke dalam kamar mandi
untuk menghindari terkena najis.
2. Informan merasa memiliki sikap tidak kaku dalam belajar fiqh karena didalamnya
banyak terjadi perbedaan.
Catatan Lapangan 13
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Selasa, 20 Desember 2016


Pukul : 13.00-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Warisatul Ilmi

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Biologi angkatan 2013.
Penulis bertanya tentang apakah pembelajaran fiqh muqāran yang kalian ikuti mempunyai
pengaruh terhadap perilaku toleransi, informan menjawab:” Sangat mempengaruhi. Dulu
saya pernah mengaji kesana-sini. Ketika sedang liburan, saya keliling di Jogja. Saya
bingung ketika pertama kali ke Jogja lalu melihat banyak kelompok, karena di tempat
asalku yaitu NTB hanya ada kelompok NU dan Muhammadiyah. Akhirnya saya mengaji
di berbagai kelompok-kelompok itu dan akhirnya tinggal disini. Disini (Dāruṣ Ṣālihāt)
diajarkan sama ummi, sebelum kita menjadi hafiżah (penghafal Quran), kita diajarkan fiqh
terlebih dahulu. Menurut saya, itu sudah pas banget. Karena ketika saya di fakultas, masih
ada yang belum bisa menerima perbedaan. Setelah belajar fiqh di DS, saya bisa dekat
dengan semua kalangan. Dan tidak menyalahkan kelompok/orang yang berbeda dengan
kita. Jika aku pegang madzhab ini, insyaAllah benar. Mereka yang berbeda juga punya
pegangan, bisa jadi mereka yang benar. Saya merasa sudah sangat toleransi, sudah merasa
nyaman ketika komunikasi dengan orang yang berbeda harakah.”

Interpretasi Data:
1. Informan merasakan sudah memiliki perilaku toleransi setelah mengikuti
pembelajaran fiqh muqāran, terutama ketika melihat banyak kelompok. Dan
memahami tentang pentingnya belajar fiqh sebelum belajar Qur’an.
2. Informan menganggap kelompok yang berbeda dengannya mempunyai pegangan
sehingga bisa jadi benar. Dengan bersikap toleransi, informan merasa nyaman ketika
berkomunikasi dengan orang yang berbeda harakah.
Catatan Lapangan 14
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Selasa, 20 Desember 2016


Pukul : 13.00-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Warisatul Ilmi

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Biologi angkatan 2013.
Penulis bertanya tentang sebelum mengikuti pembelajaran fiqh, bagaimana
pandangan anda terhadap kelompok yang berbeda madzhab dengan kelompok anda,
informan menjawab:”Pandangan melihat hal itu, kenapa orang-orang ini berbeda, pusing
aku melihatnya. Kalau sudah islam, ya sudah islam saja. kenapa mereka tidak bersatu
membangun islam bersama-sama. Tapi aku juga berfikir tidak mungkin orang-orang itu
membuat kelompok tapi tanpa tujuan. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan mereka karena
aku tidak punya ilmu. Sebelumnya aku mengaji ke suatu kelompok yang mereka tidak
memakai hadist ahad. Aku jadi tambah bingung. Aku bertanya ke bude yang di kelompok
selain kelompokku. Aku hanya bisa heran karena bingung mau menyalahkan tapi tidak
punya ilmu.”

Interpretasi Data:
Sebelum mengikuti pembelajaran fiqh, informan merasa aneh ketika melihat orang-
orang yang berbeda. Menurutnya ketika sudah Islam, harus sama dan tidak ada perbedaan.
Namun dia tidak bisa menyalahkan karena merasa belum punya ilmu dan tidak mungkin
mereka membuat kelompok tanpa tujuan.
.
Catatan Lapangan 15
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Selasa, 20 Desember 2016


Pukul : 13.00-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Yanti Nurhasanah

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Ilmu dan Industri Peternakan 2014.
Penulis bertanya tentang karakter apa saja yang didapatkan setelah mengikuti
pembelajaran fiqh muqāran: ” Hati-hati dalam memakai hadis, menghargai orang yang
berbeda dengan kita, tidak mengkafirkan orang lain, lebih bisa positive thinking dan
menghargai dan mencintai ulama serta tidak menyepelekan mereka.”

Interpretasi Data:
Setelah mengikuti pembelajaran iqh muqāran, informan lebih bisa bersikap dan
berfikir positif terhadap kelompok yang berbeda dengannya.
Catatan Lapangan 16
Metode Pengumpulan Data : Wawancara

Hari/Tanggal : Selasa, 20 Desember 2016


Pukul : 13.00-selesai
Lokasi : Selasar Jabal Tsur 1 (Nama Zone di Darush Shalihat)
Sumber : Yanti Nurhasanah

Deskripsi Data :
Informan merupakan santri Darush Shalihat angkatan IX yang berasal dari
Universitas Gadjah Mada dengan mengambil Jurusan Ilmu dan Industri Peternakan 2014.
Penulis bertanya tentang apakah pembelajaran fiqh muqāran yang kalian ikuti
mempunyai pengaruh terhadap perilaku toleransi, informan menjawab: ”Ya, jelas sekali.
Karena dulu sebelum belajar, saya hanya mengetahui beberapa madzhab. Ketika belajar
fiqh, belajar madzhab. Ketika ada yang berbeda, tidak apa-apa. Itu saudara kita.
Toleransinya akan semakin tinggi.”
Penulis bertanya lagi tentang pandangan anda sebelum belajar fiqh muqāran
terhadap kelompok yang berbeda madzhab dengan kelompok anda, informan menjawab:
“Merasa aneh. Kenapa Islam beda-beda. Aku pernah mendengar tentang 70 golongan. Aku
terlalu percaya diri bahwa aku termasuk dalam golongan itu. Yang berbeda. Jangan-jangan
dia sesat. Karena aku belum tau. Dulu aku berfikir bahwa mereka itu salah”.

Interpretasi Data:
1. Informan merasakan memiliki perilaku toleransi setelah belajar fiqh muqāran.
2. Sebelum mengikuti pembelajaran fiqh muqāran, informan merasa aneh ketika melihat
perbedaan. Merasa menganggap dirinya termasuk dalam 70 golongan dan
menganggap orang lain sesat dan salah.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Aviatun Khusna


Tempat/tanggal lahir : Cilacap, 01 November 1993
Alamat Email : aviakhusna.ak@gmail.com
No. Hp : 085799154925
Alamat Rumah : Desa Pageralang RT 02 RW XI, Kemranjen, Banyumas, Jawa
Tengah
Alamat Kantor : Jl. Nusa Indah, Gandok, Caturtunggal, Depok, Sleman, DIY
Nama Ayah : Miftakhussurur
Nama Ibu : Narsinah
Nama Suami : Diyono, S.Kom.I

B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. TK Pertiwi Pageralang, tahun lulus 2000
b. SD Negeri 2 Pageralang, tahun lulus 2005
c. Mts Wathoniyah Islamiyah, tahun lulus 2008
d. MA Wathoniyah Islamiyah, tahun lulus 2011
e. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun lulus 2014
2. Pendidikan Non Formal

C. Riwayat Pekerjaan
1. Guru Al-Qur’an di SD Baitussalam Prambanan Tahun 2013
2. Guru PAI di SMK Negeri Tempel
3. Mahasiswa Pendamping di Program PPK Fakultas Sanitek UIN Sunan Kalijaga tahun
2012-2014
4. Guru PAI di SMP TahfidzQu Yogyakarta tahun 2015-sekarang
5. Guru Qur’an di SD Al-Islam Tambakbayan

D. Prestasi/Penghargaan
1. Juara 1 Paralel kelas II di MAWI Kebarongan pada tahun 2010
2. Mahasiswi Tercepat Terbaik Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga tahun 2014
3. Juara 3 lomba menulis artikel Bahasa Arab di Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga tahun
2012
4. Juara 2 lomba menulis di KAMMI UIN Sunan Kalijaga 2012

E. Pengalaman Organisasi
1. Anggota UKM Kordiska UIN Sunan Kalijaga tahun 2011
2. Anggota Forum Lingkar Pena Yogyakarta 2013
3. Sekretaris Departemen Medjar LDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2012
4. Sekretaris Departemen Kajian LDF Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2012
5. Sekretaris Departemen Humas KAMMI Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013

F. Minat Keilmuan: Keagamaan


G. Karya Ilmiah
1. Buku: -
2. Artikel:
a. Peran Ibu dalam Membangun Peradaban (2012)
b. Muhasabah di Akhir Tahun (artikel bahasa Arab di acara lomba Pusat Bahasa UIN
Sunan Kalijaga 2012)
3. Penelitian
a. Peran Mentoring Agama Islam Terhadap Pendidikan Nilai Dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Peserta Didik di
SMA Negeri 1 Yogyakarta (Skripsi 2014)
Dokumentasi Beberapa Pertanyaan Santri dan Jawaban Ustadz Pada Acara
Daurohtanggal 21-22 Januari 2017 yang disampaikan oleh
Ustad Ahmad Zarkasyi, Lc1

1. Kondisi realita masyarakat saat ini, mahasiswa melihat Jogja itu kota pelsajar yang
sangat hijau. Lihat saja broadcast kajian itu tiap hari dari subuh sampai malam itu selalu
ada. Intinya saat ini sangat banyak majelis ilmu, tetapi mengapa dengan segitu
banyaknya ustadz dan ustadzah, masalah-masalah yang kecil saja belum terselesaikan?
Jadi orang belajar, ya belajar saja. Tidak ada yang kemudian fokus ekonomi, sehingga
ekonomi kita tak kunjung membaik. Politik juga. kemudian banyak yang
berkesimpulan bahwa para ulama itu hanya terfokus kepada ilmu tentang ibadah
(hablumminallah). Padahal, apabila kita belajar imam mazhab, mereka juga belajar
tentang hal keduniaan.
Jadi, realitanya juga teman-teman kami serta masyarakat di luar sana justru banyak
yang kemudian bertanya soal hukum ini kepada yang dengan-dengan belum memiliki
ilmu (seperti kita). Karena memang kita yang tiap hari bersentuhan langsung dengan
mereka. Misal juga nanti dokter, dia juga kemungkinan besar akan ditanya pasiennya.
Jadi, kita yang tidak memiliki basic pesantren, belajar ilmu ini juga baru kemarin di
DS, kemudian bingung. Ini dalilnya bagaimana?
Jawab :
Dari jenderal sudirman,“Kamu tidak akan menang kecuali kamu kuat kamu tidak
akan kuat kecuali apabila kamu bersatu, kamu tidak akan bersatu apabila kamu tidak
sering silaturahmi.” Hal yang perlu dipertayakan, majelis ilmu isinya apa? Karena
sebenarnya masalah shalat itu bukannya tidak beres. Sudah beres dari dulu, hanya saja
diungkit-ungkit lagi. Apabila kalian memang belum memiliki kapasitas untuk
mejelaskan dalil, maka jangan seperti orang yang sudah ahli. Tetapi, ketika posisi
kalian sebagai penyampai materi akan lebih bagus. Karena kewajiban kita berdakwah.
Tetapi kalian jelaskan menurut imam ini begini, menurut kitab ini begitu. Secara jelas
dan bereferensi dan juga dengan bahasa personal yang tidak menggurui.
Salah satu alasan bagi masyarakat bertanya kepada kalian mungkin karena apabila
bertanya kepada ustadz itu munculnya gap. Jadi, mereka lebih menyukai bertanya
kepada teman yang sejawat. Mereka (masyarakat) bertanya untuk mencari kenyamanan
dan ketenangan yang hanya akan didapat apabila bertanya kepada yang sejawat. Maka,
“Penari yang baik itu yang mengerti irama gendang.”
Jangan tersenyum kepada orang buta, jangan berbisik kepada orang tuli. Mengapa?
Sia-sia kita dengan teman kita itu biasanya lebih cocok, se-frekuensi. Mungkin
kebanyakan ustadz bahasanya terlalu tinggi. Misalnya ada pengajian ibu-ibu, ustadznya
menyampaikan soal kebijakan luar negeri kita. Kita sebagai penyampai harus tahu
irama gendang. Berbicara dengan ibu-ibu, dengan mahasiswa, caranya
menyampaikannya pasti berbeda. Sebisa mungkin obrolannya tidak menyakiti.

1
Dokumentasi tulisan santri pada acara fiqh pada tanggal 21-22 Januari 2016
2. Ketika dalam bermazhab berbeda, memang kita harus menerima, tetapi terkadang di
masyarakat timbul keresahan begini, iya berbeda sih, tetapi kok bedanya jauh gitu
(seperti perbedaan dalam mazhab Hanafi yang cenderung bertentangan dengan mazhab
lain)?
Jawab :
Pendapat Imam mazhab adalah tuntunan untuk kita dalam mengamalkan. Satu yang
ingin kita capai yaitu : ketanangan dalam ibadah kepada Allah. Jadi, harus dibedakan
antara mengamalkan dan menyampaikan. Kita menyampaikan itu tidak harus
diamalkan. Kita menyampaikan sesuatu kebaikan, misalnya tentang hukum Islam,
boleh dan sah-sah saja kita menyampaikan yang paling sesuai untuk dia, walaupun itu
tidak kita lakukan karena mungkin kurang sesuai. Termasuk ketenangan dalam
bersosialisasi. Menyampaikan perbedaan itu harus. Tetapi harus melihat terlebih
dahulu apa yang harus diedukasikan terlebih dahulu. Apakah cukup kita terangkan
fatwanya para ulama atau perlu penjelasan juga mengenai perbandingan mazhab.
Ustadz tidak boleh egois juga. Penari yang baik itu yang mengerti irama gendang.
Jangan sampai penyampaian kita membuat perpecahan, tetapi muatan yang
disampaikan juga harus jujur, utuh, tidak ditutup-tutupi atau bohong. Contoh kisahnya
adalah kaidah Ibnu Mas’ud (ulama zaman itu) dan Utsman bin Affan (pemimpin
negara waktu itu) yang berbeda pendapat saat shalat jama’. Hal yang perlu diperhatikan
dalam penyampaian :
a. Hati-hati
b. Apakah masyarakat sudah teredukasi atau belum.

2. Pendapat memakai kaos kaki wajib. Kita selama ini menggembar-gemborkan bahwa
memakai kaos kaki wajib. Padahal itu masih khilafiyah. Sekarang, banyak syiar-syiar
yang seperti itu melalui poster, panflet, medsos, dan sebagainya. yang mewajibkan
memakai kaos kaki (menutup kaki). Apakah sebaiknya kita lanjutkan atau bagaimana
ketika sekarang kita tahu ada beberapa pendapat yang tidak mewajibkan?
Jawab :
Dilanjutkan saja, tetapi dengan catatan tanpa ada tendensi yang fanatis atau saklek
atau bisa juga mensyiarkannya dengan menyebutkan "Ini pendapat jumhur ulama".
Jadi, tidak mutlak dan mengembalikannya sebagai fatwa jumhur ulama. Sehingga,
tendensinya bukan merendahkan pendapat lain. Di poster biasanya yang satu di
centang, yang satu di coret gitu. Jika seperti itu, seakan-akan pendapat yang satunya itu
bukan dari Al-Quran dan sunnah. Padahal kita tahu yang berpendapat seperti itu juga
bukan orang sembarangan.
3. Bagaimana memilih diantara pendapat yang berbeda?
Jawab :
Ketika ada perbedaan pendapat, maka kita milih yang bikin kita tenang. Tetapi juga
tidak boleh berdasarkan nafsu.
Ada beberapa alternatif mengenai pendapat yang harus kita ambil :
 Mazhab Hanbali : yang paling susah dan keras bagi kita. Karena esensi ibadah
wajib butuh effort.
 Imam Ghazali dan beberapa ulama lain : Pendapat yang paling ringan.
- (dari Aisyah, H.R. Ahmad) --> nabi tidak diberi 2 pilihan kecuali beliau
memilih yang paling mudah.
- dalilnya "Allah itu suka yang ringan-ringan saja, selama pendapat yang
ringan itu tidak diikuti dengan hawa nafsu" (kata Imam Ghazali)
 Pendapat Imam Syatibi : dengan ijtihad, maka dipilih mana yang paling benar
menurut kita, yang paling menenangkan bagi kita. Karena terkadang kita
menemukan yang meringkankan tetapi hati tidak tenang. Kita pilih berdasarkan
kata hati.
 Pendapat keempat : ikuti mazhab nasional (daerahnya) karena lebih nyaman
dari segi sosial dan jalur penyampaian ilmunya ada (jalurnya lebih jelas).
4. Ustadz mengatakan apabila kita harus memahami dalil dalam setiap gerak shalat, maka
shalat kita sekarang tidak sah semua. Karena kita tidak tahu itu dalilnya apa saja. Tetapi
di buku Muqaddimah Bab 6, disebutkan ada taqlid yang haram yaitu taqlid tentang
hukum syara’. Hukum syara’ itu ada 2 macam, yaitu : 1. Hukum Syara’ yang Qath’i
(kita tidak boleh taqlid) dan (2) Hukum Syara’ yang diketahui dengan penelitian dan
mencari dalil seperti hal-hal furu’iyah. Maksud dari pengertian itu bagaimana Ustadz?
Jawab :
Dalam masalah qath’i itu tidak boleh bertaqlid. Maklum minaddiini bi dhoruurah.
Wajibnya shalat, wajibnya zakat, yang bisa diperoleh tanpa mempelajari ilmu lebih
dalam. Jangankan kita, bahkan orang kafir saja tahu. Allah sudah mengilhamkan itu
kepada setiap manusia. Untuk masalah dzanninya itu baru yang taqlid. Shalat
hukumnya wajib, kita tahu. Tetapi hal yang dzanni seperti doa iftitah, dan sebagainya
itu kita mengikuti Imam yang memahami dalilnya.

5. Najis pada anjing, Apakah najis ada pada sebagian tubuhnya atau seluruh tubuhnya?
bagaimana cara menyucikannya? setahu saya ada pebedaan. Pada umumnya najis
anjing ada pada air liurnya. Sedangkan babi terdapat pada seluruh tubuhnya. Cara
menyucikan keduanya berbeda. Apabila air liur anjing dengan menggunakan tanah
sedangkan babi cukup dengan antiseptic. Apakah itu benar ?
Jawab :
Ada hadits “Apabila anjing menjilat, maka cucilah dengan 7 kali”. Perkara thaharah itu
perkara ta’abbudiy, perkara ritual yang tidak ada alasannya. Jika dalam wahyu
dikatakan mencuci sebanyak 7 kali. Maka, kita mencucinya 7 kali. Lantas, jika kita
bertanya “Mengapa harus 7 kali, bukannya mencuci sebanyak 1 kali saja sudah bersih?”
jawabannya, karena wahyunya memeritahkan sebanayk 7 kali. Begitupula anjing
dikatakan najis, karena memang dalam wahyu Allah mengatakan demikian. Sama
halnya dengan hukum memakan babi yaitu haram. Alasan pengharamannya bukan
karena babi itu menyebabkan penyakit, tetapi karena memang Allah yang
memerintahkan. Perkara karena babi menyebabkan penyakit dan seterusnya hanyalah
tambah saja. Lantas, mengapa orang-orang nonis yang memakan babi jauh lebih sehat
dibandingkan kita ? Kembali lagi, ini adalah perkara taa’bbudy yang tidak ada
alasannya. Perkara ada penelitian yang menyatakan bahwa babi itu memang banyak
membawa dampak yang buruk bagi tubuh, itu boleh-boleh saja. Tetapi tidak boleh
dijadikan sebagi tujuan. Alasan kita tidak memakan babi harus bertujuan untuk
mengikuti wahyu.
Contoh :
- Mengusap khuf, thaharah tujuannya untuk membersihkan, tetapi menyapu atasnya
bukan bawahnya. Padahal yang kotor bawahnya.
- Mengeluarkan air kencing, yang menyebabkan seseorang berhadats kecil. Jika
dilogikakan, air kencing yang dikeluarkan itu jumlah banyak. Kemudian air
kencing yang dikeluarkan hukumnya najis. Tetapi, kawajibannya hanya berwudhu.
Sementara itu, orang yang mengeluarkan air mani yang hanya beberapa cc dan tidak
najis. Tetapi kewajibannya adalah bersuci dengan mandi besar. Seharusnya, kecil
ya kecil. Besar ya besar.
- Ketika mengeluarkan angin (kentut), kita dihukumi berhadats. Kemudian
kewajiban kita bersuci dengan berwudhu. Saat kita wudhu, yang kita basuh adalah
wajah, dan seterusnya. Apabila difikir-fikir, yang kentut pantat kok yang diusap
muka. Apa salahnya muka ?

Keharaman dan kenajisan anjing hukumnya jelas.


a. Menurut Imam Syafi’I dan beberapa Imam dari madzhab Hambali, Anjing najis
seluruh tubuhnya. Karena dalam hadits, air liur itu jika terkena bejana atau
terkena tangan, maka dicuci sebanyak 7 kali. Air liur ada di dalam tubuh.
Kemudian, keluar melalui pori-pori kulit dan ketika keluar, air liur itu sampai ke
rambut-rambut ditubuh anjing tersebut. Maka, rambut anjing najis. Sehingga
seluruh kulit anjing menjadi najis.
b. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, bagian yang najis dari anjing
hanya air liurnya saja dan ketika anjing masih hidup, anjing tidak najis. Jadi,
ketika terkena jilatan anjing, maka dicuci sebanyak 7 kali dan salah satunya
dengan tanah. Pendapat konservatif bahwa tanah tidak bisa diganti seperti
dengan sabun, dan seterusnya. Walaupun ulama kontemporer mengatakan bisa
karena tujuan 7 kali itu untuk menyucikan, maka media apapun yang penting
suci bisa digunakan. Tetapi, beberapa ulama Syafi’I sendiri, termasuk beberapa
guru-guru ustadz mengatakan bahwa tanah itu tidak bisa digantikan (tetap harus
ada). Perbedaan terjadi karena perbedaan dalam memahami teks Al-Qur’an.
Kemudian masalah babi, para ulama berbeda pendapat termasuk dalam
madzhab Imam Syafi’I sendiri. Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi
mengatakan bahwa “Kita tidak memiliki dalil bahwa babi itu najis. tetapi yang
kita jadikan dalil adalah qiyas aulawi (skala prioritas). Mengapa ? Anjing itu
dikatakan najis salah satunya kerana kotor dan liar. Babi jauh lebih kotor dan
liar. Dan Babi diharamkan secara teks oleh Allah SWT walaupun teksnya
mengharamkan makan bukan menstatusi babi najis. Maka yang dijadikan dalil
oleh Imam Syafi’I adalah qiyas dengan anjing. Sehingga, cara mensucikannya
juga dengan yaitu sebanyak 7 kali dengan tanah.
Dalam Sharah Muslim, disebutkan bahwa boleh mencuci najis yang penting
sampai najis hilang. Ini dalam pandangan Imam Nawawi sendiri. Artinya,
dalam pandangan madzhab Syafi’I, cara menyucikan najis diperdebatkan.
Apakah mengikuti anjing atau hanya sampai hilang, Mengapa ? karena najis
anjing dan najis babi menganologikakan kepada najis anjing masih belum
dikonfirmasi oleh ulama-ulama Syafi’I yang lain. tetapi dalam madzhab lain,
babi dengan seperti najis yang lain yaitu tidak harus 7 kali, cukup sampai
sisanya hilang.
Apabila mislanya anjing telah menjadi tulang, apakah masih najis ? tetapi
awetannya sudah diformalin ?
Jawab : ada namanya istihalah yaitu perubahan satu bentuk ke bentuk lain yang
zatnya juga berubah. Misalnya, kotoran itu najis, kemudian dimakan oleh ikan
lele. Ikan lele ditangkap manusia. Kotoran yang makan lele berubah menjadi
daging lele. Lantas, apakah perubahan bentuk dari kotoran menjadi daging
menjadikan hukum kotoran tersebut berubah ? Dalam madzhab Imam Syafi’I,
hukum kotoran tidak berubah. Jika asalnya najis, berubahpun hukumnya tetap
najis. Maka memakan lele dalam madzhab Imam Syafi’I boleh dengan syarat
ikan lele dikarantina. Jika ditangkap dari empang, maka dilihat dulu empang itu
bersih atau gk ? dulu, di Pesantren ustadz juga ada lele. tetapi kolam lele itu
hasil akumulasi kotoran santri. Jadi, semua wc santri bermuara ke kolam
sebagai subtiteng pengganti. Kemudian, jika lele itu akan dimasak, maka lele
dikarantina dulu. Dimasukkan ke dalam kolam bersih sekian hari, baru
dijadikan santapan. “Dari Santri untuk Santri”.
Jadi, menurut Imam Syafi’I, tulang walaupun sudah namanya tulang, tetapi
tulang tersebut berasal dari babi. Maka tulang tersebut tidak berubah status
hukumnya. Sedangkan menurut madzhab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah,
istiharah mengubah hukum. Misalnya, Khamar hukumnya najis. Tetapi, jika
khamar didiamkan selama sekian hari, maka khamar menjadi cuka. Karena
telah berubah bentuk, maka hukum meminum cuka boleh.
6. Apakah hewan yang diawetkan najis ? Air musyammas yang siangnya terkena
matahari, apakah kepada malamnya tetap tidak boleh digunakan ?
Jawab :
Hewan yang menjadi bangkai hukumnya najis kecuali ikan dan belalang atau
hewan yang sebelum mati disembelih atas nama Allah, maka ketika menjadi bengkai
tidak najis.
Air musyammas itu makruh digunakan untuk bersuci ketika masih ada panasnya.
Jika panasnya sudah hilang dan sisa sinar sudah tertutupi oleh dinginnya malam. Maka
airnya otomatis berubah. Sehingga airnya berubah menjadi air yang tidak musyammas.
Sebab dimakruhkannya air adalah karena panasnya.
7. Apa hukumnya mengambil mata kuliah tetang cara berternak babi ?
Jawab :
Apabila memang kita substrik dengan pendapat Imam Syafi’I bahwa Babi itu
najis, maka apa yang kita lakukan memiliki resiko. Baju terkena najis, sehingga setelah
pulang praktikum. Bukan cuma cuci tetapi kudu mandi. Inilah salah satu hukmah
perbedaan. Dalam suatu kondisi kita bisa melihat bahwa pendapat ini lebih
memsudahkan karena kondisi memaksa kita untuk memilih. Sama seperti orang yang
tawaf, jika mengikuti Imam Syafi’I, bersentuhan dengan yang bukan mahrom
wudhunya batal. Maka, tawafnya gak rampung-rampung. Sehingga, dalam kasus ini
pendapat madzhab Imam Ahmad lebih cocok untuk dipakai. Untuk memsudahkan
kita. karena jika sekiranya studi kita bisa rusak gara-gara tidak mengambil mata kuliah
itu, maka diambil saja mata kuliahnya dengan catatan kita menganggap bahwa babi
seperti pendapat madzhab lain (selain Syafi’I) tidak najis dan yang najis hanya air
liurnya. Dengan catatan kita memakai pendapat itu karena alasan darurat bukan karena
mengikuti hawa nafsu. Sebanarnya hati kita memang sulit menerima, kita telah
terpapar wawasan Syafi’I yang sangat kental. Sampai-sampai hal-hal seperti anjing
dan babi sangat melekat di otak kita. sehingga ketika kita mendengar kata anjing dan
babi, wahnya luar biasa. Padahal sebenarnya tidak begitu sepetrti Negara lain yang
memang sejak awal tidak disajarkan madzhab Syafi’I. Mereka melihat anjing dan babi
dengan saja. Intinya bagaimana agar air liurnya tidak mengenai kita. Dalam hal ini,
mungkin kita mengambil pendapat yang berbeda dalam hal ini kita mengambil
pendapat Imam Malik dan Hanafi tidak apa-apa. Karena banyak mudorot ketika kita
tetap strik dan banyak manfaat ketika kita mengambil pendapat Imam Maliki. Intinya,
kembali ke pilihan diri mahasiswi. Jika seandainya mata kuliah itu tidak bermanfaat,
maka boleh dilaporkan ke dekan. Kumpulkan tanda tangan seluruh mahasiswa muslim
bahwa mereka menolak adanya mata kuliah itu.

BAB MANDI

1. Kapan waktu pelaksanaan mandi sebelum sholat ied? Awalnya adalah ketika terbit
matahari. Mazhab Imam Malik itu tidak ada jeda mandi dengan berangkat. Jadi
setelah mandi dan rapi2 diri langsung berangkat.
2. Batas nifas? Bedanya dengan darah wiradah (darah yang keluar ketika bayi keluar)
salah satu imam bahwa pecah ketuban itu masuk nifas. Nifas paling cepat sehari
semalam. Kemudian maksimal 60 hari. Selebihnya darah istihadoh. Normalnya 40
hari. Sama kayak hamil. Hamil itukan paling cepat 6 bulan paling lama 2 tahun. Di
mazhab imam malik lamanya hamil 3 tahun. Karena imam syafi'i di kandungan 2
tahun.
3. Bagaimana wanita haid yang potong kuku dan potongan rambut? Di syafi'i di
makruhkan saja. Tapi beberapa ulama menganjurkan dikumpulkan dan diikuti
mandi. Karena nanti ketika diakhirat nanti bakal datang anggota tubuh yang bilang
belum disuciin, padahal ketika masuk akhirat semua dalam keadaan suci. Tapi ini
bukan sebuah kewajiban. Artinya kalau sulit jangan capek2 nyari mereka yang
emang susah dicari.
BAB NAJIS

1. Ada tiga jenis yang keluar selain darah, ada mani, madzi, wadhi (setelah kencing, eh
keluar lagi setetes dua tets). Jadi semua yang keluar dari kemaluan najis kecuali air
mani. Madzi itu kalau tinggi syahwatnya keluar madzi. Pasangan sebelum melakukan
hubungan, nah ketika syahwatnya tinggi, keluar madzi. Mani itu diujung syahwat. .
2. Tata cara menghingkan najis yang melekat di diri. Intinya hilang bau, warna dan bau.
Kalau digosok2 gak ilang, ini dimaafkan. Tinta bukan najis. Kalau tatoan, bukan najis,
tapi dosa. Untuk wudhunya sah atau tidak, dasarnya adalah air itu tidak masuk dalam
tubuhnya, lihat dulu cat tato itu menutupi pori-pori untuk masuknya air. Kalau nutupi
ya tidak sah, kalau tidak menutupi, ya sah.
3. Kenapa untuk beristinja' bisa pakai batu? Karena memang Nabi saw melakukan itu.
Apakah ada ilat untuk bisa diqiyaskan dengan benda lain? Bisa selama bentuknya
padat. Misal, tisu. Istijmal (istinja' dengan menggunakan batu atau sejenisnya,
syaratnya benda itu padat dan tidak hancur untuk dipakai bersuci. Dan merupakan
benda suci, tidak kasar (karena bisa melukai), dan tidak halus (tidak bisa mengangkat
najis). Harus minimal 3 batu. Tapi dalam Fathul Qorib itu tidak harus 3 batu cukup 1
batu dengan 3 sapuan sisi yang berbeda.intinya kalau satu batu bisa dipakai dengan 3
sisi yang berbeda, maka bisa digunakan. Tapi kan susah. Maka 3 batu. Kalau dengan
satu batu, najis yang ada di satu sisi tidak nyamber ke sisi yang lain, maka itu kan harus
batu yang besar. Intinya bisa diqiyaskan yang penting bukan benda cair.
4. Kenapa tidak boleh buang air dekat pohon? Inilah islam dengan ramatan lil 'alamin.
Perilaku demikian adalah sebuah kemakruhan khawatir pohonnya tidak berbuah/tidak
nyaman untuk berteduh karena ada cairan itu. Termasuk membuang air di atas lubang.
Karena khawatir ada semut di dalamnya. Inilah Islam, aturannya bisa bermanfaat atau
melindungi tumbuhan dan hewan. Kalau binatang dikasihi, apalagi manusia. Islam itu
penuh kasih sayang, jangan galak2. Maka budaya bunuh2an itu tidak ada dalam ajaran
agama Islam. Bahkan kita diajari tentang bagaimana untuk jaga silahturahmi. Pertama,
tetap jaga silahturahmi dan jangan putuskan silahturahmi. Kedua, beri hadiah keorang
yang tidak kita sukai. Ketiga maafkan. Jadi bukan “saya lebih baik dari dia”, karena
itu kata2 iblis ketika menolak perintah Allah swt untuk sujud ke Nabi Adam as.
Nangisnya orang yang bertaubat itu lebih baik dari dzikirnya orang sholih. Karena
nangisnya itu menimbulkan ketaatan, dari pada ketaatan yang menghasilkan
kesombongan. Kata Nabi saw jangan memendam dendam.

BAB NIAT
1. Apakah dalam satu ibadah puasa bisa lebih dari dua niat? Kalau puasa sunnah,
diniatkan atau tidak, tetap dapat. Jadi dalam ibadah2 sunnah diijinkan, ketika kita
masuk masjid lagi adzan, kita tunggu kemudian setelah adzan kita sholat sunnah
qobliah, nah sholat tahiyyatul masjid udah kerangkum dalam sholat qobliyah. Karena
menurut mazhab Syafi'i, sholat tahiyaatul masjid itu sholat ketika dia baru masuk
masjid. Pun dengan puasa. Tapi untuk mayoritas ulama mazhab berpendapat puasa
wajib tidak bisa dibarengi dengan puasa sunnah. Tapi kalau kata ulama azhari
membolehkan merangkapnya puasa wajib dengan puasa sunnah.
2. Bagaimana mengganti merubah niat dari munfarid ke imam ketika di tepuk? Dalam
sholat terjamaah syaratnya itu makmum harus niat jadi makmum, sedang imam tidak
di syaratkan niat jadi imam. Berubah atau tidaknya kita jadi imam tetap sah asal
makmum niat jadi makmum. Kalau imam berniat sholat jamaah tapi niat sendiri maka
dia pahala sendiri. Dan imam yang berjamaah niat jamaah maka dapat pahala jamaah.
Dan di imam syafi'i tidak mensyaratkan adanya persamaan niat antara imam dengan
makmum. Misal sholat tarawih sudah berjalan sedang kita baru datang maka ketika
kita ingin sholat isya', maka boleh kita jamaah dengan imam yang lagi sholat taraweh
itu. Yang dimaksud dengan menyelisihi imam adalah gerakannya bukan pada niat. Ini
karena di jaman dulu sahabat sholat berjamaah selain di masjid nabawi punya langgar
pribadi. Dan mereka sholat juga disana. Ketika Nabi saw berdzikir di Masjid Nabawi,
datang orang masuk ke Masjid Nabawi untuk sholat dan melihat kanan kiri untuk
berjamaah. Kemudian Rasul saw menawarkan sedekah diri dengan sholat berjamaah
dengan orang itu. Sahabat sholat sunnah dan orang itu sholat fardhu.
3. Saya sedang puasa sunnah syawal tapi belum qodho. Kemudian dapat saran dari guru
saya untuk mengganti niat puasa. Ini bagaimana ya? Sebenarnya menjalankan puasa
sunnah sedangkan belum selesai puasa qodhonya maka itu tidak apa2, tapi sangat
dianjurkan untuk puasa qodho dulu. Sedangkan Imam Ahmad mensyaratkan puasa
qodho dulu. Tapi soal merubah niat sunnah ke wajib itu tidakbisa. Karena udah beda
adab niatnya. Sesama puasa sunnah bisa dirubah niatnya sampai sebelum dzuhur. Tapi
kalau sunnah ke wajib tidak bisa karena puasa wajib diniatkan sebelum fajar. Dan
emang udah beda.
4. Najis itu kan membatalkan wudhu, cairan apapun yang keluar dari dua lubang itu.
Kalau misalkan kita mengikuti bahwa keputihan tidak najis (IMAM NAWAAWI), itu
tetap batal kah wudhuya? Batal, apapun yang keluar. Memang tidak najis, tapi tetap
harus wudhu. Kemudian, bagaiman kalau terus2an keluar seperti darah istihadhoh
bagaimana ini ustadz? Berarti disumpel dulu.

You might also like