Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MAKALAH PENGANTAR ILMU POLITIK PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA SECARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL KELOMPOK 4 Disusun oleh Chandra Argawan Situmorang Efrat Julianto Reo Febrilita Lombo Gilbert Samuel P Regina Eklesia KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, kami dapat menyusun makalah Pengantar Ilmu Politik. Khususnya tentang “Pembagian Kekuasaan Negara Secara Vertikal dan Horizontal”. Makalah ini dibuat dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran mata kuliah Pengantar ilmu politik. Pemahaman kita sebagai manusia terbatas tetapi dengan makalah ini membuat kami semakin terpacu untuk terus mencari pengertian yang berkelanjutan atas pembelajaran mata kuliah ini. Bukan hanya itu kami harap dengan penulisan mata kuliah ini dapat menambah wawasan kami tentang Konsep ilmu politik agar nantinya dapat kami terapkan dalam kehidupan kami sehari – hari. Kami juga mengucapkan terimakasih terhadap Bapak Prof. Miriam Budiarjo atas bukunya yang berjudul “Dasar – Dasar Ilmu Politik” yang menjadi sumber kami dalam membuat makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap sumber – sumber lain yang terlibat di pembuatan makalah ini yang tidak dapat kami sebutkan. Makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena kami juga masih dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik, koreksi, saran, dan masukan dari para pembaca sekalian. Terimakasih atas perhatianya dan jikalau ada kesalahan kata maupun tulisan Kami mohon maaf karena kami manusia yang jauh dari kata benar. Manado, 5 September 2018 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................... ii BAB I : PENDAHULUAN.................................................................. 1 1.1 Latar Belakang................................................................................. 1 1.2 Rumusan........................................................................................... 2 1.3 Tujuan............................................................................................... 2 BAB II : PEMBAHASAN..................................................................... 3 2.1 Pengantar.......................................................................................... 3 2.2 Negara Konfederasi, Kesatuan, dan Federal................................. 3 2.3 Contoh Integrasi dalam Sejarah...................................................... 5 2.4 Beberapa Macam Negara Federal................................................... 7 2.5 Perkembangan Trias Poltica............................................................ 9 BAB III : PENUTUP............................................................................. 15 3.1 Kesimpulan...................................................................................... 15 3.2 Saran................................................................................................ 16 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dari ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan atas hukum (recstaat). Ajaran negara berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum. Atas dasar pernyataan diatas maka tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang – wenang (arbitary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada negaa berbentuk kerajaan maupun republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan. Oleh sebab itu, negara berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian kekuasaan. Di Indonesia sendiri sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa Indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak terlepas dari ajaran tentang Trias Politika oleh Montesquieu. Dimana membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dimana setiap badan mempunyai fungsi tersendiri dan tidak saling mempengaruhi. Ajaran Trias Politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan yang diatur didalam Undang – Undang Dasar 1946 mengenai adanya pemisahan kekuasaan dan masing – masing kekuasaan tersebut pelaksanaanya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara. Rumusan Masalah Untuk lebih sistematis, maka kami merumuskan masalah – masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut: Apa pengantar pemisahan kekuasaan? Apa perbedaan negara Konfederasi, Kesatuan, dan Federal? Apa contoh integrasi dalam sejarah? Berapa macam negara Federal yang ada di dunia? Bagaimana perkembangan paham Trias Politika? Tujuan Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka beberapa tujuan dari makalah ini, yaitu: Mengetahui pengantar pemisahan kekuasaan. Mengetahui perbedaan Konfederasi, Kesatuan, dan Federal.. Mengetahui contoh intefrasi dalam sejarah. Mengetahui macam – macam negara Federal di dunia. Mengetahui perkembangan paham Trias Politika. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengantar Secara vertical, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut pembedaan fungsi – fungsi pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). 2.2 Negara konfederasi, Kesatuan, dan Negara Federal Pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan atau kekuasaan secara teritorial biasanya mempunyai beberapa contoh hubungan antara lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah di negara kesatuan, atau pemerintah federal dan pemerintah konfederasi. Di dalam teori kenegaraan persoalan tersebut menyangkut persoalan mengenai bentuk negara, dan persoalan negara bersusun yaitu khususnya mengenai federasi dan konfederasi. Persoalan sifat kekuasaan atau sifat federal dari suatu negara sunguh merupakan bagian dari suatu persoalan yang lebih besar, yaitu persoalan integrasi dari golongan – golongan yang berada di dalam suatu wilayah. Integrasi itu dapat diselenggarakan secara minimal atau dapat diselenggarakan secara maksimal. Di dalam teori kenegaraan persoalan tersebut menyangkut persoalan mengenai bentuk negara dan persoalan khususnya mengenai perbedaan negara konfederasi dan negara federal. Di dalam buku General Theory of Law and State karya Hans Kelsen memakai istilah forms of organization baik untuk federasi dan konfederasi maupun negara kesatuan yang desentralistis. Bentuk – bentuk tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut: Konfederasi Menurut L. Oppenheim Konfederasi terdiri dari beberapa negara uang berdaulat penuh untuk mempertahankan kemerdakaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan dasar perjanjian internasional yang diiakui dengan menyelenggarakan beberapa alat tersendiri yang mempunyai kekuasaan terhadap negara – negara konfederasi, tetapi tidak terdahap warga negara negara – negara itu. Kekuasaan alat bersama itu sangat terbatas dan hanya mencakup soalan – persoalan yang telah ditentukan. Negara ,yang tergabung didalam konfederasi tetap merdeka dan berdaulat sehingga konfederasi pada hakikatnya bukanlah sebuah negara. Keanggotaan dari sebuah negara konfederasi tidak mudah untuk dipisahkan ini membuat adanya ketergantungan didalam negara konfederasi. Kesemua hal tersebut menunjukkan kelemahan konfederasi sebagai suatu ikatan kenegaraan dan merupakan ikatan tanpa kedaulatan. Misalnya Parlemen Amerika berhak meminta negara konfederasi pasukan bersenjata dan uang untuk mengadakan perjanjian Internasional. Tetapi kekuatan dari permintaan itu tidak memaksakan negara konfederasi untuk taat. Akan tetapi pada hakikatnya, keputusan itu hanya mengikat pemerintahan didalam negara konfederasi secara tidak langusng warga yang ada di negara itu harus mengikuti keputusan tersebut. Maka perlulah keputusan itu terlebih dahulu dituangkan dalam suatu peraturan perundang – undangan dari negara peserta konfederasi. Negara Kesatuan Menurut C.F.Strong Negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi daerah, tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Jadi, kedaulatanya, baik kedaulatan ke dalam maupun ke luar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Hakikatnya kedaulatan tidak terbagi, atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain dari badan legislatif pusat. Ada dua ciri mutlak dari negara kesatuan yaitu, adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan tidak ada badan – badan lainya yang berdaulat. Intinya negara kesatuan merupakan bentuk negara di mana ikatan serta integrasi paling kokoh. Negara Federal Negara federal merupakan bentuk pertengahan dari dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhanya dan kedaulatan negara bagian. Salah satu prinsip yang dipegang teguh adalah soal – soal yang menyangkut negara dalam keseluruhanya diserahkan pada kekuasaan federal seperti mengadakan perjanjian inernasional atau mencetak uang. Dalam buku K.C. Wheare Federal Goverment: Prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga bagian dalam bidang – bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara – negara bagian diserahkan sama sekali kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi. Tetapi dalam beberapa hal warga negara merasa adanya dua kekuasaan anatara pemerintah federal dan negara bagian. Dalam beberapa hal ia harus menuruti dua pemerintahan. Misalnya apabila Pemerintah Federal memberikan dana subsidi kepada kesehatan di negara bagian secara tidak langsung penggunaan uang tersebut diatur oleh Pemerintah Federal dan Pemerintah negara bagian harus tunduk didalam haknya mendapatkan dana tesebut. Jadi, pada pokoknya ciri terpenting dari feeral bahwa kekuasaan pemerintah dibagi menjadi pemerintah federal dan pemerintah bagian. Menurut C.F. Strong diperlukan dua syarat agar terjadinya negara federal yaitu, adannya perasaaan sebangsa di antara kesatuan –kesatuan politik yang hendak menbentuk federasi itu dan keinginan pada kesatuan – kesatuan politik yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila kesatuan – kesatuan politik itu menghendaki kesatuan negara , maka bukan federasilah yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan. Dalam buku Political Insitusions karya Edward M. Sait mengemukakan bahwa: Negara – negara yang menjadi anggota suatu konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara – negara yang tergabung didalam suatu federasi kehilangan kedaulatanya. Tetapi R. Kranenberg membuat dua kriteria hukum positif yaitu: Negara bagian sesuatu federasi memiliki pouvoir constituant, yakni wewenang membentuk undang – undang dasar sendiri serta wewenang mengatur organisasi sendiri dalam rangka dan batas – batas konstitusi federal. Negara federal, wewenang membentuk undang – udnang pusat untuk mengatur hal – hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi federal. Ditinjau dari segi integrawsi antara keatuan politik maka integrasi negara Federasi lebih rapuh daripada negara Kesatuan. Perbedaan yang lain juga yaitu bahwa dalam negara Federasi desentralisasinya bersifat lebih lunak daripada negara Kesatuan. Perlu adanya sentralisasi kekuasaan supaya kekuatan – kekuatan yang mengancam kekuasaan sekarang dapat dilenyapkan. Apabila ancaman itu tidak terasa lagi maka pemusatan kekuasaan itu dapat diganti dengan desentralisasi, bahkan bisa membentuk sebuah Federasi Menurut Ewad M. Sait, Negara Federal adalah pertumbuhan dari suatu kesatuan negara yang kecil dapat mengadakan persekutuan dengan negara lain untuk keperluan pertahanan tanpa adanya suatu badan yang tetap. Kalau kerja sama itu ternyata memuaskan maka dengan kata lain tercapainya negara federasi. Pertumbuhan seperti yang diuraikan merupakan suatu kecendrungan tetapi ini semua ada karena suatu tujuan bersama untuk adanya penciptaan ketatanegaraan yang baik. Perumbuhan yang diuraikan tadi tidaklah selalu terjadi tetapi sekurang – kurangnya merupakan suatu kecendrungan. Jadi, pada umumnya suatu pemerinta yang bersifat intensif biasanya merupakan akibat dari tekanan dari luar yang bersifat intensif pula. 2.3 Contoh Integrasi dalam Sejarah Amerika: Dalam abad ke – 18 ada 13 negara yang berdaulat; kemudian bersekutu dan berperang melawan Inggris, dan dalam tahun 1781 – 1785 mengadakan konfederasi; mulai tahun 789 merupakan negara konfederasi. Jerman : Sebelum masa Napoleon ada lebih dari 100 negara Jerman berdaulat yang dulu merupakan Negara Romawi Suci yang kemudian menjadi 39 negara yang diperintahkan oleh Napoleon. Setelah Napoleon Meninggal 39 Negara ini mengadakan konfederasi pada tahun 1815 dan pada tahun 1817 mereka secara sah menjadi negara federal. Kemudian kekuasaan pemerintah pusat yang terlalu besar membuat hitler menjadikan bentuk negara kesatuan. Hingga akhirnya Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu menjadi Jerman yang berbentuk federal. Belanda : Pada tahun 1579 mulai dengan konfederasi yang lemah, yaitu United Provinces of The Netherlands, yang terdiri atas tujuh provinsi dan akhirnya menjadi negara kesatuan. . 2.4 Beberapa Macam Negara Federal Tidak ada dua negara federal yang sama. Menurut C.F. Strong, perbedaan – perbedaan itu terdapat dalam dua hal: Cara bagaimana kekuasaan dibagi antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian Badan mana yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Berkaitan dengan poin pertama dapat dijabarkan sebagai berikut: kalau antara pemerintah pusat dan bagian diadakan pembagian tugas materil maka pembagian tugas dalam negara federal dapat dibagi menjadi dua cara tergantung letak dana kekuasaanya(reserve of power): Undang – undang dasar merinci satu per satu kekuasaan permerintah federal (mencetak uang dan mengadakan perjanjian luar negeri), sedangkan sisa kekuasaan yang tidak terperinci diserahkan kepada negara bagian. Jadi, dalam hal ini terperinci kekuasaan dari pemerintah federal dan memperkuat negara – negara bagian. Contoh: Amerika Serikat, Australia, dan Uni Soviet Undang – undang dasar merinci satu per satu kekuasaan pemerintah negara bagian, sedangkan dana kekuasaan diserahkan kepada pemerintah federal. Negara federal semacam ini dianggap kurang ideal atau sempurna karena sifat federalnya tidak sesuai dengan penjelasanya. Perincian pembagian kekuasaan bagian adalah membatasi kekuasaan kekuasaan negara bagian dan memperkuat kekuataan kekuasaan federal. Contoh: Kanada dan India. Berkaitan dengan poin kedua dapat dijabarkan sebagai berikut: wewenang untuk memutuskan persoalan kompetensi antara pemerintah federal dan pemerintah bagian yang diberikan kekuasaan oleh dua badan yaitu mahkamah agung dan dewan perwakilan rakyat federal. Kalau wewenang diberikan oleh makhamah agung federal, maka negara semacam ini lebih sempurna sifat federalnya contoh: Amerika Serikat dan Australia. Kalau wewenang diberikan oleh dewan perwakilan rakyat federal, maka negara semacam ini dianggap kurang sempurna sifat federalnya contoh: Swiss. Federalisme di Amerika Serikat Bentuk federasi di Amerika Serikat dianggap paling sempurna karena mempunyai ciri – ciri yang kuat, yaitu dana kekuasaan terletak di negara – negara bagian dan kedudukan Makhamah Agung Federal sebagai penafsir utama dari undang – undang dalam memutuskan kompetensi antara berbagai tingkat pemerintahan. Sifat federal lebih nampak dalam sususan badan legislatifnya yang terdiri dari dua majelis yaitu House of Representative dan Senat. Kekuataan dari senat lebih besar daripada House of Representative. Ini juga ditandai oleh lama jabatan kekuasaan, Senat memperoleh kekuasaan selama enam tahun berbeda dengan House Of Representative yaitu empat tahun. Undang – undang dasar menetapkan adanya suatu pengadilan federal yang berhak pengadilan tertinggi untuk menyelesaikan persoalan konstitusional. Dalam kedudukanya Makhamah Agung Federal memiliki kedudukan lebih tinggi daripada badan legislatif dan eksekutif. Dalam anggapan para penyusun Undang – Undang Dasar Amerika memamng kekuasaan pemerintah federal terbatas, tetapi perkembangan sejarah telah memutuskan lain. Pertama, tidak ada negara federasi yang dapat keluar dari federasi. Kedua, Semakin hari kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat makin besar karena makin besar juga persoalan soal ekonomi dan politik. Pada pemerintahan Roosevelt saat itu negara sedang mengalami krisis ekonomi. Roosevelt pada waktu itu menyelenggarakan suatu rencana pembangunan besar – besaran di bidang industri, pertanian, dan pekerjaan umum. Tetapi Makhamah Agung saat itu menolak karena menanggap pemerintah pusat terlalu mencampuri kehidupan negara bagian. Akhirnya Roosevelt mencoba menyingkirkan hakim – hakim yang sudah lanjut usia dengan membuat sebuah undang – undang yaitu menyingkirkan hakim – hakim yang umurnya sudah lewat dari 70 tahun apabila ia tidak mengundurkan diri. Diganti oleh hakim – hakim yang dimana menurut ia memiliki persamaan pandangan yang sama dengan ia. Hal ini bertentangan sekali dengan Undang – Undang Dasar Amerika. Senat saat itu juga menolak apa yang diimpikan oleh Presiden Roosevelt. Akan tetapi, kenyataanya bahwa hakim ini secara sukarela mengundurkan diri dari jabatanya. Sehingga diganti oleh hakim – hakim yang sekiranya memiliki pandangan yang sama dengan dia. Tidak lama kemudia Perang Dunia II sehingga pada sendirinya kekuasaan Roosevelt pada waktu itu tendensinya sangat tinggi. Federalisme di Uni Soviet Prinsip federalisme di Uni Soviet ternyata ada didalam susunan badan legislatifnya, terdapat dua majelis tertinggi, yaitu Council of the Union dan Council of the Nationalities. Para majelis ini merupakan perwakilan – perwakilan dari setiap negara bagian. Negara ini terdiri dari 15 negara bagian dan beberapa daerah otonom. Dalam Council of Nationalities setiap negara bagian memiliki 25 wakil, sedangkan daerah otonom juga mempunyai sejumlah wakil tertentu. Dilihat dari sudut dana kekuasaan, federalisme Uni Soviet secara formal bersifat sempurna karena menurut Undang – Undang Dasar Pasal 14 kekuasaan pemerintah federal terperinci, sedangkan dana kekuasaan terletak pada negara bagian. Suatu pembedaan yang besar jelas terhilat federalisme di negara – negara bagian, menurut dua amandemen tahun 1944, wewenang untuk mengurus hubungan luar negerinya sendiri dan mempunyai angkatan bersenjata sendiri. Suatu perbedaan yang paling mencolok dengan federalisme negara – negara barat bahwa negara bagian seperti memiliki kedudukan yang sangat tinggi sekalipun negara itu bukanlah negara berdaulat dalam PBB, tapi mereka seperti mempunyai negara sendiri tanpa ada urusan pemerintah federal. Federalisme di Indonesia Negara Indonesia pernah menetapkan bentuk negara menjadi federasi pada Masa Republik Indonesia Serikat pada Desember 1949 – Agustus 1950. Secara formal bentuk pemerintahan saat itu bersifat sempurna, karena: Kekuasaan pemerintah federal terperinci satu per satu, dan dana kekuasaan terletak pada negara – negara bagian. Dalam hal timbulnya pertentangan antara undang – undang federal dan undang – undang negara bagian, maka Makhamah Agung Federal mempunyai wewenang untuk menyelesaikanya. Tetapi, kekurangan dari sistem itu adalah pemerintah federal tidak dapat memeriksa undang – undang dasar negara bagian sebelum undang – undang dasar negara bagian disahkan. Selain dari itu, dalam praktik ternyata bahwa negara federal, selain negara bagian Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta memainkan peranan yang dominan terhadap negara – negara bagian lainya. Ternyata bentuk kekuasaan ini hanya sementara saja hanya dalam delapan bulan saja bentuk negara ini dibatalkan dan diganti oleh bentuk negara kesatuan. 2.5 Perkembangan Konsep Trias Politika Konsep Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasan legislatif atau kekuasaan membuat undang – undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang – undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang – undang. Doktrin ini pertama kali di kemukakan oleh Montesquieu dan John Locke. John Locke waktu itu membuat buku berjudul Two Treatises on Civil Goverment (1690) sebagai bentuk pertentangan atas kekuasaan absolut Raja Stuart waktu itu. Pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Law). Karena melihat sifat despostis dari raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun sebuah sistem pemerintah dimana hak warga lebih terjamin. Dia menyimpulkan bahwa kekuasan dibagi menjadi tiga bagian yang terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi dan alat perlengkapan. Akan tetapi pandangan John Locke mengenai kekuasaan berbeda dengan Mostesquiue. Montesquiue memaparkan bahwa pembagian kekuasaan dibagi menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh Montesquiue dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau satu badan. “Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan”. Akan tetapi akan jadi malapetaka apabila seorang bangsawa diberi kekuasaan untuk memerintah negara, membuat undang – undang, dan menjalankan fungsi peradilan. Pokoknya Montesquiue dengan teorinya menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang – wenang dari penguasa. Dan hal, itu menurut pandanganya, hanya mungkin tercapai jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut. Doktrin dari Montesquiue mempengaruhi banyak orang amerika pada masa itu untuk merumuskan undang – undang dasarnya. Akhirnya Amerika membuat sebuah peraturan yaitu: presiden Amerika tidak bisa membubarkan badan legislatif; presiden dan menteri tidak bisa merangkap menjadi bagian dari badan legislatif; presiden tidak dapat membimbing badan legislatif seperti menteri. Begitu pula dengan badan yudikatif, seperti Makhamah Agung, mempunyai kedudukan yang bebas, oleh karena para hakim Makhamah Agung, sekali diangkat oleh presiden dan selama berkelakuan baik, memegang jabatanya seumur hidup atau sampai saatnya mengundurkan diri secara sukarela tanpa adanya intervensi – intervensi apapun. Untuk merealisasikan ini dibentuklah sebuah badan yaitu, Para Pembuat Undang – Undang Dasar Amerika yang dimana mereka membuat Undang – Undang yang menjamin tidak adanya kekuasaan yang berlebihan. Akhirnya, dibentuk sebuah sistem pengawasan dan keseimbangan(check and balances). Dalam rangka check and balances ini presiden diberi mau untuk memveto rancangan ini yang sudah disetujui oleh Parlemen, akan tetapi di pihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Parlemen apabila mendapat dukungan dari 2/3 kursi parlemen. Makhamah Agung juga diberi kewenangan untuk check badan legislatif dan badan eksekutif dengan melalui hak uji. Dalam penerapanya sebenarnya Senat memiliki kekuasaan yang sangat besar. Mereka dapat memberhentikan Makhamah Agung apabila terbukti benar melakukan tindak kriminal, Presiden juga hanya dapat melakukan perjanjian Internasional apabila Senat mensahkan perjanjian tersebut, dan kekuasaan ini hanya dimiliki oleh Senat yaitu apabila menyatakan perang. Ini mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan caang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja, tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih efektif. Akan tetapi walau ketiga pembagian kekuasaan tersebut tetap harus dibatasi oleh undang – undang. Banyak negara eropa barat seperti Jerman dan Belanda mengadopsi doktrin ini. Berbeda dengan Inggris yang merupakan negara pencetus doktrin Trias Politika yang dimana pada saat itu Perdana Menteri mencampuri perdebatan di dalam majelis dan Perdana Menteri dapat membubarkan majelis permusyawaratan rakyat waktu itu. Pada waktu itu mulai adanya peraturan bahwa anggota kabinet tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif, kalaupun ia ingin menjadi anggota kabinet atau menteri secara tidak langsung ia harus merelakan kursi kekuasaanya. Menteri juga tidak diperbolehkan berbicara dengan badan legislatif tetapi boleh apabila Menteri dianggap sebagai wakil pemerintah dalam memberikan penjelasan kepada badan legislatif, anggaran negara, kebijakan kabinet, atau rancangan – rancangan undang – undang. Pada abad ke – 20 kekuasaan eksekutif semakin kompleks ditambah adanya Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang dimana pemerintah seakan turut mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh sebab itu eksekutif mulai turut ada di dalam kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam kaitanya mencapai Welfare State seperti Peraturan presiden dan menteri, dan sengketa perumahan dll. Oleh karena itu maka banyak yang menafsirkan bahwa Trias Politika sebagai “pemisahan kekuasaan”, tetapi sebagai “pembagian kekuasaan”. Fungsi – fungsi pokoklah yang dibedakan disini antara badan satu dengan badan yang lainya. Tetapi dalam kelancaran bernegara dibutuhkan koordinasi bersama agar terjadinya keselarasan antara setiap badan tersebut. Trias Politika di Indonesia Walau dalam Undang – Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan asas Trias Politika tetapi dalam UUD tersebut menjelaskan yang namanya Konstiusi yang memiliki pandangan yang sama dengan Trias Politika. Pada BAB III tentang kekuasaan Pemerintah negara, BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dan BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa kekuasaan eksekutif dimana Presiden dibantu oleh Menteri sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makhamah Agung dan badan kehakiman yang lain. Pada hakikatnya ini merupakan sistem presidensial, yang dimana presiden bertanggung jawab kepada Dewan Permusyawaratan Rakyat. Presiden juga tidak bisa membubarkan Dewan Permusyawaratan Rakyat yang sesuai dengan asas Trias Politika. Tetapi pada masa Demokrasi Terpimpin ada usaha untuk mengagalkan asas tersebut. Yang dimana pada saat itu lebih mengenal yang namanya “liberalisme” ditambah dengan adanya Undang – Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mempunyai bunyi “Trias Politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia.” Hal ini bertentangan sekali dengan asas Trias Politika yang dimana saat itu Dewan lembaga legislatif dan Pemimpin Makhamah Agung diberi jabatan Menteri yang membuat dua pembagian kekuasaan ini berada di tangan eksekutif. Lalu pada zaman Orde Baru kepincangan ini akhirnya diluruskan melalui Undang – Undang No. 19 Tahun 1964. Akan tetapi, pada kenyataanya setelah tahun 1970 pemerintah Orde Baru semakin otoriter. Pada masa ini masih mengenal akan ketiga pembagian kekuasaan tetapi terdapat kepincangan yaitu dominasi yang kuat sekali oleh eksekutif. Banyak sekali penyelewengan yang dilakukan oleh eksekutif seperti Presiden dapat dipilih kembali tanpa batas oleh MPR dan DPR menerima semua perundang – undangan yang dilakukan oleh pemerintah. Tumbangnya Orde Baru membawa banyak sekali perubahan dalam segi pembagian kekuasaan. Pada tiga pemerintahan masa reformasi seperti B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri terjadi banyak sekali perubahan dalam segi ketatanegaraan. Peningkatan peran lembaga eksekutif dan yudikatif terus berkembang. Ditambah adanya Sidang Umum MPR tahun 1999 yang mengeluarkan TAP MPR untuk mengamandemen pasal 7 UUD 1945 yang dimana masa jabatan presiden dan wakil presiden yang tidak terbatas diganti masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali masa jabatan. Sementara itu sudah banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam kelembagaan legislatif dan yudikatif sampai sekarang ini. Bab III Penutup 3.1 Kesimpulan Pemisahan kekuasan berarti kekuasaan Negara iu terpisah – pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun fungsinya. Dengan kata lain, pemegang kekuasaan Negara yang meliputi legislatif, eksekurif dan yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama lainya, berdiri tanpa koordinasi dan kerjasama. Setiap lembaga menjalani fungsinya masin – masing. Contohnya Negara yang menganutnya Amerika Serikat yang dalam bentuk negaranya adalah negara federal. Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan Negara itu memang dibagi – bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dapat dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian – bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Contoh negara yang menganutnya adalah Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan. Berbeda lagi dengan pemisahan kekuasaan konfederasi yang dimana setiap negara berada di dalam konfederasi yang memungkinkan adanya kedaulatan yang kuat akan tetapi dalam penerapanya susah sekali karena ada ketergantungan akan negara konfederasi pusat. Contohnya Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) dan Association of Souteast Asian Nations (ASEAN). Oleh sebab itu, pemisahan kekuasaan di dalam pemerintahan dapat melihat secara jelas bagaimana kondisi politik dan demokrasi di dalam suatu negara tersebut serta memberikan kita suatu preferensi dalam cara bagaimana menerapkan sistem pemisahan kekuasaan yang dalam kaitanya ini merupakan sistem ketatanegaraan. Tidak ada sistem pemisahan kekuasaan yang tidak memiliki kelemahan semua tergantung bagaimana negara tersebut mengaplikasikan sebuah sistem kedalam negara tersebut. 3.2 Saran Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, mungkin kita sudah mengenal akan yang namanya Trias Politika yaitu pemisahan kekuasan yang dibagi menjadi tiga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Oleh sebab itu, kita sebagai pemuda bangsa yang akan menjadi tongkat estafet kepimpinan bangsa Indonesia harus mengerti akan hal tersebut. Karena bangsa kita sudah banyak sekali mengalami banyak masalah yang diakibatkan karena banyak sekali penyelewengan akan hal itu. Konstitusionalisme merupakan hal yang mutlak dalam melakukan Trias Politika ketika kita berada di suatu pembagian kekuasaan tersebut, kita tidak boleh melewati koridor – koridor konstitusi yang sudah ada di dalam pembagian kekuasan tersebut. Apabila kita melewati itu sama saja kita menginjak – injak demokrasi dan konstitusi yang ada di dalam negeri ini. Dengan ini penulis mengharapkan adanya pengertian lebih lanjut akan pemisahan kekuasaan ini. Dari setiap bentuk pemisahan negara ini memiliki kelebihan dan kekuasaan akan tetapi semua pada intinya menginginkan adanya kesatuan di dalam negara tersebut. Kami juga berterima kasih kepada Dosen Pengajar Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik yang sudah memberikan kami masukan dan saran dalam penulisan makalah ini. Demikian makalah yang kami tulis ini, kami mengharapkan adanya kritik yang membangun. Sekian dari kami Terima Kasih.   Daftar Pusaka Budiharjo, Miriam, Prof. 2018. Pengantar Ilmu Politik. Penerbit Gramedia. Jakarta Parmadisme. 2012. Konsep Ilmu Politik