Kalimantan Timur

Alois Raimund Hein
DIE BILDENDEN KÜNSTE BEI DEN DAYAKS AUF BORNEO
Wien: Alfred Holder, 1890

https://drive.google.com/file/d/14rpVWbXMpzcFkUTkiyFJ3f8KQ55s4qBs/view?usp=drivesdk

#borneo
#dayak
#budaya
#senibudaya
#kesenian
#antropologi
#arkeologi
#sejarah
#sejarahdayak
#sejarahborneo
#sejarahindonesia
#sejarahnusantara
#catatanindonesia
#catatannusantara

THE HOME-LIFE OF BORNEO HEAD-HUNTERS: ITS FESTIVALS AND FOLK-LORE

William Henry Furness,

Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 1902

Unduh : bit.ly/3H5mY2p

#borneo
#dayak
#antropologi
#etnografi
#sosial
#budaya
#kesenian
#sejarah
#sejarahborneo
#sejarahdayak
#sejarahindonesia
#sejarahnusantara
#catatanindonesia
#catatannusantara

https://www.instagram.com/p/CWFFXYuvD76/

https://drive.google.com/file/d/1ozfaVdJ_ctKLqLZ--53MCKO5FUR2BGwj/view

bit.ly/3H5mY2p

Abstrak
Pelestarian terhadap jenis karya sastra terutama sastra lisan yang hampir memudar dalam masyarkat perlu terus dilakukan salah satunya adalah dengan penelitian kajian sastra lisan. Melalui pendekatan pustaka dan pengambilan data di lapangan dengan cara wawancara, penelitian kualitatif ini dilakukan dengan tujuan mengkaji kritik moral yang terdapat dalam sastra lisan daerah Kalimantan Timur terutama yang berasal dari suku Dayak, Kutai dan Banjar. Data diperoleh melalui penuturan para narasumber dalam bahasa asli kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap sastra lisan yang dikaji mengandung berbagai nilai moral terutama yang terlihat dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan
sesama manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam berbagai aspek-aspek kehidupan seperti keluarga, alam dan sosil. Kandungan nilai-nilai moral di dalam karya sastra lisan dapat memotivasi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik sebab masyarakat dapat memetik pelajaran positif sebagai tauladan dalam kehidupan melalui tokoh-tokoh yang diperlihatkan di dalam cerita.
Kejujuran, kehati-hatian dalam bertutur kata dan bertindak, tanggung jawab, kreativitas, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan merupakan bagian dari nilai moral yang mewakili hubungan manusia dengan dirinya di dalam karya sastra lisan yang dikaji. Menjaga hubungan baik antar sesama umat manusia juga dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti toleransi, saling gotong-royong, apresiasi
terhadap hasil karya cipta orang lain, serta saling menghormati antar sesama. Di dalam kehidupan keluarga, pesan moral yang muncul dalam cerita juga mengajarkan tentang kewajiban anak untuk selalu menghormati dan berbakti kepada kedua orang tua. Sebagai perwujudan rasa syukur akan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
manusia wajib meningkatkan kepedulian terhadap alam semesta dengan menjaga kelestarian lingkungan alam, mematuhi larangan untuk tidak melakukan perburuan secara berlebihan, dan selalu memanjatkan doa dan hanya percaya akan pertolongan sang Khalik. Menjauhi sikap iri atau dengki atas keberhasilan orang lain juga merupakan pesan moral lain yang dapat dipetik dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa.

Pariwisata adalah bisnis yang ready to use. Pasarnya pun jelas dan sudah sejak lama pariwisata menjadi sumber devisa yang mampu menyerap lapangan kerja karena akan membuka kesempatan berusaha pada masyarakat di sekitarnya.
Begitu juga dengan Kalimantan Timur. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Kalimantan Timur memiliki potensi budaya dan pariwisata yang tak kalah menariknya dengan daerah tujuan wisata lain di Indonesia. Daerah ini memiliki obyek wisata yang beragam, baik wisata alam, agrowisata, maupun wisata budaya.
Dengan potensi wisata seperti ini, sektor pariwisata di Kalimantan Timur tergolong primadona dalam menghasilkan devisa negara. Pariwisata Kalimantan Timur membunyai prospek yang baik dan masih dapat dikembangkan secara lebih optimal.
Kondisi infrastruktur yang tidak memadai dan minimnya sosalisasi menjadi kendala utama dalam pengembangan pariwisata di Kalimantan Timur.

For all Indonesian rock art lovers, I offer the Indonesian version of the book "Borneo, Memory of the Caves". The book is still available in print, but it is expensive to send to the archipelago. Enjoy ... Please share, enjoy but not reprint ! © Kalimanthrope.com
The english and the french versions are available(see links above)

Untuk semua pecinta seni cadas Indonesia, saya menawarkan versi Indonesia dari buku "Borneo, Memory of the Caves". Buku ini masih tersedia di media cetak, tetapi mahal untuk dikirimkan ke kepulauan. Nikmati ... Silakan berbagi, nikmati tetapi tidak cetak ulang! © Kalimanthrope.com

Borneo: Memory of the Caves is the account of an extraordinary adventure, told by the protagonists who made the exceptional discovery of the rock art murals of Kalimantan which are over ten thousand years old. Their findings shed new light on how populations developed between Southeast Asia and Australia.
Since 1988, in mission after mission, a profile of Borneo's ancient populations has emerged, suggesting not only their similarities with the Aboriginal people of Australia, but also the particular relationships they developed with the caves, by creating rock art characterized by an abundance of negative hands. Close to two thousand such hands discovered to date allow for new interpretations of this universal motif.
In this magnificently illustrated work, we discover not only the richness and complexity of an ancient region of the world, but also how today, this heritage is endangered.
http://boutique.felis.tv/en/books/20-book-borneo-memory-of-the-caves-97829536616.html

Novel by Usup
Ikuti kisah Sindi. Seorang perempuan kelas 6 SD, yang selalu menunggu sang ayah diterminal bus,
Setiap malam. Ayahnya yang bekerja  ditambang, tak kunjung tiba sudah beberapa hari, hingga Sindi merasa sedih.  Sindi memiliki keinginan, jika ayahnya datang, Sindi akan mengajaknya ke Swalayan, untuk membeli es krim, lalu menghabiskan waktu menonton tv.
Sindi, tinggal bersama sang nenek, yang berjualan ditoko kuenya sendiri, Sindi selalu membantu neneknya menjadi kasir. Sang nenek selalu, membelokan persoalan jika Sindi, bertanya soal sang ayah. Inilah membuat Sindi harus mencaritahu sendiri
akan kabar kepastian sang ayah.
Sebuah kalimat, dari sang ayah untuk Sindi. ‘’ Hanya Langitlah Batasnya! ‘’ Menjadi sesuatu yang selalu diingat oleh Sindi, sampai Sindi tahu akan kehidupan sebenarnya.
Kisah ini, menyajikan sesuatu ringan, kekuatan alur cerita, serta genre yang pas untuk masa sekarang bagi anak-anak kita sudah lama tidak pergi bersekolah. Dari kisah ini, anak-anak membutuhkan gairah rasa cerita baik, untuk menjaga perasaan mereka terhadap hidup sendiri, orang tua, serta  rasa cinta.

In Central Borneo. Travel from Pontianak to Samarinda Part I
https://www.instagram.com/p/CFdk-2GgPBw/
Anton Willem Nieuwenhuis,
IN CENTRAAL BORNEO, REIS VAN PONTIANAK NAAR SAMARINDA, EERSTE DEEL
Leiden: E.J. Brill, 1900
https://drive.google.com/file/d/1ErlfZHWSY-7WT4RxVj4-d3_Hk8oDe5yN/view?usp=drivesdk

In Central Borneo. Travel from Pontianak to Samarinda Part II
https://www.instagram.com/p/CFf_YkLgCVW/
Anton Willem Nieuwenhuis,
IN CENTRAAL BORNEO, REIS VAN PONTIANAK NAAR SAMARINDA, TWEEDE DEEL
Leiden: E.J. Brill, 1900
https://drive.google.com/file/d/1kjyrXC7BaPZgxyb01ep4-P0efYxC33gZ/view?usp=drivesdk

https://linktr.ee/CatatanNusantara

NIEUWENHUIS DAN EKSPLORASI KOLONIAL DI BORNEO BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
http://pustaka45.blogspot.com/2009/10/nieuwenhuis-di-borneo-barat.html


Pada abad ke 19 dimulailah tahap baru dalam sejarah kolonial, yang berakar pada situasi yang telah berkembang sejak pertengahan abad ke 18 ketika Inggris dan Belanda, dengan menggunakan kekerasan atau intimidasi, berhasil mendapat kedudukan di Borneo. Beberapa petualang, seperti Alexander Hare di banjarmasin (1812), James Erskine Murray di Kutai (1844), James Brooke (1842) dan Robert Burn (1848) di Sarawak, berupaya mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri, yang satu lebih berhasil daripada yang lain. Lain halnya dengan Muller (1825) dan Dalton (1828) yang menjelajahi Borneo atas nama negara mereka.

Walaupun sampai saat itu Belanda mengacuhkan Borneo demi pulau-pulau lain yang lebih menguntungkan, sukses James Brooke di Sarawak membangkitkan minat baru. Di bagian selatan, pada 1840-an, Belanda memaksa para sultan di pesisir menandatangani perjanjian niaga, kemudian membuat mereka mengakui perwalian pemerintah Belanda. Maka eksplorasi-eksplorasi pertama ke pedalaman dapat dimulai dengan sungguh-sungguh: Schwaner di Barito, van Lijnden, Veth, dan von Kessel di kapuas, Weddik di Mahakam.

Menjelang pertengahan abad ke 19, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan perdagangan di muara semua sungai besar. Tentara mereka terpaksa melakukan intervensi terhadap sultan-sultan yang memberontak, seperti dalam Perang Banjarmasin (1859-1863), kemudian dalam Perang Wangkang (setelah 1870), serta terhadap suku-suku yang bersikap bermusuhan di hulu-hulu sungai, seperti suku Ot Danum dan Tebidah (di 1890-an).

Since 2003, a French-Indonesian archaeological research project, coordinated by the National Research Center for Archaeology (Indonesia) and the University of Toulouse (France), has been developed in the karstic region of East Kalimantan (Mangkalihat Peninsula, Indonesia) to investigate human occupation processes during prehistory. Within the context of debates about the population history of Island South-East Asia (ISEA), the Kalimantan region remains poorly documented and understood. When authors mention this region it is usually with regard
to its strategic location facing the Wallace line on the edge of Sundaland, as a gateway from Sunda to Sahul during the late Pleistocene period, or as part of models of the diffusion of the Neolithic cultural complex from Taiwan and the Philippines and the Malay Peninsula. Such dis-
cussions lead us to expect that archaeological investigation of Kalimantan will provide new data that may lead to the reappraisal of the role of this region during Holocene prehistory and the associated cultural and population diffusion processes. Archaeological research in the Liang Abu rock shelter (East Kalimantan) led to the discovery and analysis of a pottery assemblage including red-slipped, cord-marked and incised pottery sherds, radiocarbon dated to 1672±21 BP and 1524±22 BP. In order to discuss our findings we undertake a reappraisal of the pottery material and associated radiocarbon dates from archaeological sites on Borneo Island, which provide us with an appropriate framework for a comparative analysis. This allows us to to include the inland region of Kalimantan in the technological network of Neolithic Island South East Asia.

Foto-foto yang diambil oleh ahli geologi Swiss Wolfgang Leupold (1895–1986) telah memotret sumber etnografis yang sungguh berharga dalam koherensi sejarah dan geografis. Tepat karena karateristik gambar yang bersifat pribadi ini, adalah bukti spesifik lintas sejarah Swiss – Indonesia pada awal abad ke-20an, dan dalam waktu yang sama juga sebagai dokumentasi foto sejarah yang menarik dengan kandungan nilai estetis tinggi.

In 2018, East Kalimantan's Human Development Index (HDI) has reached 75.83 or an increase of 0.71 points compared to the previous year's HDI which was 75.12.The Central Statistics Agency (BPS) of East Kalimantan Province released data on the Human Development Index in Bumi Etam which was ranked third nationally after DKI Jakarta and Yogyakarta. Based on this, this research was aimed to analyze the factors that are thought to influence the HDI, namely, the realization of direct government spending, GRDP at current prices, investment (trillions of rupiah) and the open unemployment rate (TPT). This research uses multiple linear regression analysis with the data used is the data of the Province of East Kalimantan in 2018 taken from BPS. The result of the research shows that the p-value is 0.001853 <α=0.05, which means that there is a positive and significant effect on HDI. While other factors have no effect on HDI. HDI is an important indicator in development. Therefore, the government and society must strive to increase the HDI every year. Economic growth, income distribution, population control, poverty alleviation, and improvement of health and education services are very much needed in order to increase HDI.

Novel by Usup
Ikuti kisah Sindi. Seorang perempuan kelas 6 SD, yang selalu menunggu sang ayah diterminal bus,
Setiap malam. Ayahnya yang bekerja  ditambang, tak kunjung tiba sudah beberapa hari, hingga Sindi merasa sedih.  Sindi memiliki keinginan, jika ayahnya datang, Sindi akan mengajaknya ke Swalayan, untuk membeli es krim, lalu menghabiskan waktu menonton tv.
Sindi, tinggal bersama sang nenek, yang berjualan ditoko kuenya sendiri, Sindi selalu membantu neneknya menjadi kasir. Sang nenek selalu, membelokan persoalan jika Sindi, bertanya soal sang ayah. Inilah membuat Sindi harus mencaritahu sendiri
akan kabar kepastian sang ayah.
Sebuah kalimat, dari sang ayah untuk Sindi. ‘’ Hanya Langitlah Batasnya! ‘’ Menjadi sesuatu yang selalu diingat oleh Sindi, sampai Sindi tahu akan kehidupan sebenarnya.
Kisah ini, menyajikan sesuatu ringan, kekuatan alur cerita, serta genre yang pas untuk masa sekarang bagi anak-anak kita sudah lama tidak pergi bersekolah. Dari kisah ini, anak-anak membutuhkan gairah rasa cerita baik, untuk menjaga perasaan mereka terhadap hidup sendiri, orang tua, serta  rasa cinta.

Dayak individuals and groups engage in “plural ecologies” which are characterized by different ways of integrating humans and non-humans as well as by different conceptualizations of “nature”, “land”, and “development”. This is exemplified by two struggles for the maintenance of customary rights in East Kalimantan: a rather forlorn dispute over land with a coal mining company and a promising attempt to secure customary rights to a forested mountain area. Focusing on individual and collective actors allows to address how people appropriate and engage with different and partly contradictory ontological assumptions.

If Europe has long been perceived as the cradle of art, with the spectacular sites of Chauvet, Lascaux or Altimara, it is in Southeast Asia that the oldest cave paintings of humanity have been dated. And these last years, the discoveries are multiplying!

Si l'Europe a longtemps été perçue comme le berceau de l'art, avec les sites spectaculaires de Chauvet, Lascaux ou Altimara, c'est en Asie du Sud-Est qu'ont été datées les peintures rupestres les plus anciennes de l'humanité. Et ces dernières années, les découvertes se multiplient!

Dalam kurun waktu tiga tahun berturut turut terdapat aktivitas banjir di Damai kota, Kutai barat, Kalimantan timur yang terjadinya tidak menentu. Mean Annual Flood adalah salah satu metode dalam pemecahan masalah yang terjadi di lingkungan permukiman masyarakat damai kota, Kutai barat.

Groupers and snappers are two demersal fish groups that are currently experiencing heavy fishing pressure both for the live reef fish trade and as fresh or processed fisheries commodities across the Coral Triangle. The purpose of this study was to assess the status of grouper and snapper fisheries in the Bontang region, East Kalimantan, Indonesia using Ecosystems Approach to Fisheries Management (EAFM) indicators. The assessment followed the Indonesian EAFM Assessment Guidelines methodology, with 6 Domains (Fisheries Resources, Habitat and Ecosystems, Fishing Technology, Social, Economy, and Governance) and 32 indicators. Data were collected through a desk study and site visits including key informant interviews, direct observation and secondary data collection. With the exception of the Social Domain, at least one indicator in each Domain was in the Very Poor category, and three indicators were in the Poor category. Management policies and actions are needed to maintain the overall Good status and address the issues threatening sustainability.

Isu perpindahan ibukota negara ke Provinsi Kalimantan Timur mulai hangat diperbincangkan setelah pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2019 di parlemen saat menyampaikan Pidato Kenegaraan. Terdapat beberapa pokok yang harus diperhatikan untuk mengidentifikasi fundamental pembangunan yang dimiliki oleh daerah yaitu : (1) peningkatan laju pertumbuhan ekonomi daerah; (2)

Anton Willem Nieuwenhuis,
QUER DURCH BORNEO: ERGEBNISSE SEINER REISEN IN DEN JAHREN 1894, 1896-1897, UND 1898-1900 - ZWEITER TEIL

https://drive.google.com/file/d/1ykfgJdBN70vTs4RMvu8WcYAwh35nFKvQ/view?usp=drivesdk

Across Borneo: Results of his trips in the years 1894, 1896-1897, and 1898-1900

#borneo
#kalimantan
#dayak
#sukudayak
https://www.instagram.com/p/CEDQwu2gSQK/

https://linktr.ee/CatatanNusantara

NIEUWENHUIS DAN EKSPLORASI KOLONIAL DI BORNEO BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
http://pustaka45.blogspot.com/2009/10/nieuwenhuis-di-borneo-barat.html


Pada abad ke 19 dimulailah tahap baru dalam sejarah kolonial, yang berakar pada situasi yang telah berkembang sejak pertengahan abad ke 18 ketika Inggris dan Belanda, dengan menggunakan kekerasan atau intimidasi, berhasil mendapat kedudukan di Borneo. Beberapa petualang, seperti Alexander Hare di banjarmasin (1812), James Erskine Murray di Kutai (1844), James Brooke (1842) dan Robert Burn (1848) di Sarawak, berupaya mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri, yang satu lebih berhasil daripada yang lain. Lain halnya dengan Muller (1825) dan Dalton (1828) yang menjelajahi Borneo atas nama negara mereka.

Walaupun sampai saat itu Belanda mengacuhkan Borneo demi pulau-pulau lain yang lebih menguntungkan, sukses James Brooke di Sarawak membangkitkan minat baru. Di bagian selatan, pada 1840-an, Belanda memaksa para sultan di pesisir menandatangani perjanjian niaga, kemudian membuat mereka mengakui perwalian pemerintah Belanda. Maka eksplorasi-eksplorasi pertama ke pedalaman dapat dimulai dengan sungguh-sungguh: Schwaner di Barito, van Lijnden, Veth, dan von Kessel di kapuas, Weddik di Mahakam.

Menjelang pertengahan abad ke 19, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan perdagangan di muara semua sungai besar. Tentara mereka terpaksa melakukan intervensi terhadap sultan-sultan yang memberontak, seperti dalam Perang Banjarmasin (1859-1863), kemudian dalam Perang Wangkang (setelah 1870), serta terhadap suku-suku yang bersikap bermusuhan di hulu-hulu sungai, seperti suku Ot Danum dan Tebidah (di 1890-an).


In Central Borneo. Travel from Pontianak to Samarinda Part I
https://www.instagram.com/p/CFdk-2GgPBw/
Anton Willem Nieuwenhuis,
IN CENTRAAL BORNEO, REIS VAN PONTIANAK NAAR SAMARINDA, EERSTE DEEL
Leiden: E.J. Brill, 1900
https://drive.google.com/file/d/1ErlfZHWSY-7WT4RxVj4-d3_Hk8oDe5yN/view?usp=drivesdk

In Central Borneo. Travel from Pontianak to Samarinda Part II
https://www.instagram.com/p/CFf_YkLgCVW/
Anton Willem Nieuwenhuis,
IN CENTRAAL BORNEO, REIS VAN PONTIANAK NAAR SAMARINDA, TWEEDE DEEL
Leiden: E.J. Brill, 1900
https://drive.google.com/file/d/1kjyrXC7BaPZgxyb01ep4-P0efYxC33gZ/view?usp=drivesdk

This article reviews historical processes of frontier-making (and re-making) in a region of central Borneo that was and still is on the margins of state control. Contributing to discussions about the ‘assemblage’ character of frontiers as zones of the ‘not yet’, this case study demonstrates how complex and eclectic historical legacies have gone on to produce a palimpsest of experiences and public memories that are currently being reinscribed in the context of ‘frontierisation in the second degree’. This ‘afterlife’ of the historical frontier zone is discussed in relation to its significance for competing visions of regional identity-building and claims of political suzerainty.

Abstrak Sejak dasawarsa 1990-an, partisipasi telah menjadi metode utama bagi korporasi tambang multinasional untuk menanggulangi konflik dengan warga terdampak tambang. Akan tetapi, konflik, termasuk bentrokan sengit, masih banyak terjadi. Sumber pustaka mendokumentasikan beragam pengaruh dari mekanisme partisipatif itu-menghasilkan kompromi, memperparah konflik, atau bahkan menciptakan peluang konflik baru-tetapi masih sedikit sumber pustaka yang menjelaskan keragaman itu. Tesis ini menjelaskan keragaman itu, berkenaan dengan (a) faktor-faktor yang menyertai rancangan dan penerapan mekanisme partisipatif oleh perusahaan tambang multinasional dan (b) faktor-faktor yang menentukan bagaimana, kapan, dan mengapa warga terdampak tambang berpartisipasi atau tidak berpartisipasi. Saya menggunakan konsep "modes of participation" untuk menganalisis bagaimana landasan kelembagaan dan ideologis untuk partisipasi berpengaruh terhadap siapa yang dapat berpartisipasi, tentang persoalan apa, dan kapan dilakukan. Saya berpendapat bahwa mekanisme partisipatif, termasuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pembangunan masyarakat bukanlah sekedar hasil dari etika perusahaan atau sekedar strategi pencitraan hijau sebagaimana yang sering ditampilkan. Sesungguhnya partisipasi adalah mekanisme kuasa untuk menanggulangi perwujudan konflik yang beresiko bagi profitabilitas perusahaan dan menciptakan hubungan sosial yang memudahkan akumulasi ekstraktif. Data kualitatif diambil dari penelitian lapangan pada tiga studi kasus di Indonesia-calon tambang pasir besi pesisir Kulon Progo di Yogyakarta, tambang emas Gosowong milik Newcrest Mining di Maluku Utara, dan tambang emas bekas Kelian milik Rio Tinto di Kalimantan Timur. Kasus-kasus ini diletakkan di dalam analisis tentang tata kelola sendiri korporasi global yang timbul sebagai tanggapan atas krisis legitimasi yang lebih luas. Temuan

Rencana pemindahan Ibu kota negara Indonesia telah resmi dinyatakan pada tanggal 28 Agustus 2019 oleh Presiden Republik Indonesia ke provinsi Kalimantan. Usulan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke lokasi lain sebenarnya telah didiskusikan sejak kepresidenan Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Para pemimpin negara ini mendukung ide untuk membuat pusat politik dan administrasi untuk Indonesia yang baru, dikarenakan masalah lingkungan dan overpopulasi di Jakarta. (Wikipedia)
Presiden pun menjelaskan bahwa Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi yang paling strategis sebagai ibu kota karena berada di tengah-tengah Indonesia. Untuk daerah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara juga sudah memiliki infrastruktur yang memadai dan terletak dekat dengan kota besar yang telah berkembang yakni Balikpapan dan Samarinda. Ibu kota baru ini direncanakan akan berkonsep desain forest city yang serba canggih, cerdas, modern dan berkelas internasional.

Banjarmasin since 1526 has become a trading port as well as the main spice route on the island of Borneo and the central region of the archipelago. The Sultanate of Banjar as a political authority with a capital city in Banjarmasin, grew and developed as a center for Islamic religion-based education. Malay Arabic script is used as a teaching instrument. The use of the Malay Arabic script was later expanded to become a means of documenting the culture and past of local entities. Banjar hegemony extends its influence to the Kutai Kertanegara Sultanate in eastern Kalimantan. Two manuscripts in Arabic-Malay script, namely Hikayat Banjar and Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara contain historical values about the tolerance between adherents of various religions/beliefs and adaptation of old cultures to new cultures with Islamic orientation. This article aims to describe and analyze the process of cultural negotiation between Hinduism and Islam that took place peacefully and harmoniously in Kalimantan in the 16th century AD. Using historical research methods, the main sources of this study are two Arabic-Malay scripts. First, Hikayat Banjar, which was written around the 1800s. Second, the Letter of Salasilah Raja in Kutai Kertanegara or popularly called Salasilah Kutai written by a Banjarnese who worked as a clerk for the Kutai Sultanate in 1849. Results of the study show that the presence of Islam as a new religion and dogma in southern and eastern Kalimantan generally accommodates old traditions and cultures. The arrival of Islam did not erase the Hindu culture that had been inherent for generations in the Banjar and Kutai entities. Cultural negotiation in an accommodating way is one of the factors of fertilizing and identifying Islam in the Banjar and Kutai communities.

The Kedang Pahu river is one of the tributaries of the Mahakam river. The research plan is located in Damai District, West Kutai Regency, East Kalimantan province. Recently, the Damai Kota and Damai Seberang areas have flooded activities that have caused the surrounding settlements to flood to residential areas and block existing road access. Planning analysis and knowing the annual flood elevation is very necessary. The analysis uses the method of calculating the mean annual flood (MAF) as the search for the average annual flood discharge data and the search for the average annual elevation. Data validation using simple linear regression method produces a correlation coefficient of 58.67% or R value = 0.5867. The analysis results in the value of Q1 or the 1st year period, the mean annual flood rate of the average annual flood discharge is 2576.0695 m³/second and the value associated with the magnifying factor (GF) is the average annual flood discharge rate of Q5=3014,00 m³/ sec, Q10 = 3529.22 m³/sec, Q20 = 4095.95 m/sec, Q50 = 5049.10 m³/sec, Q100 = 5847.68 m³/sec, Q200 = 6852.34 m³/sec, Q500 = 8423.75 m³/sec & Q1000 = 9917.87 m³/sec. The results of the analysis at HEC-RAS 5.07 based on manning analysis showed the elevation values were Q1=18.47m, Q5=18.85m, Q10=18.86m, Q20=19.18m, Q50=19.74m & Q100=19.99m. Researchers only show elevations up to Q100 or the 100th year because of limited data and the accuracy of the data reviewed.

Groupers and snappers are two demersal fish groups that are currently experiencing heavy fishing pressure both for the live reef fish trade and as fresh or processed fisheries commodities across the Coral Triangle. The purpose of this study was to assess the status of grouper and snapper fisheries in the Bontang region, East Kalimantan, Indonesia using Ecosystems Approach to Fisheries Management (EAFM) indicators. The assessment followed the Indonesian EAFM Assessment Guidelines methodology, with 6 Domains (Fisheries Resources, Habitat and Ecosystems, Fishing Technology, Social, Economy, and Governance) and 32 indicators. Data were collected through a desk study and site visits including key informant interviews, direct observation and secondary data collection. With the exception of the Social Domain, at least one indicator in each Domain was in the Very Poor category, and three indicators were in the Poor category. Management policies and actions are needed to maintain the overall...

Since 2003, a French-Indonesian archaeological research project, coordinated by the National Research Center for Archaeology (Indonesia) and the University of Toulouse (France), has been developed in the karstic region of East Kalimantan (Mangkalihat Peninsula, Indonesia) to investigate human occupation processes during prehistory. Within the context of debates about the population history of Island South-East Asia (ISEA), the Kalimantan region remains poorly documented and understood. When authors mention this region it is usually with regard to its strategic location facing the Wallace line on the edge of Sundaland, as a gateway from Sunda to Sahul during the late Pleistocene period, or as part of models of the diffusion of the Neolithic cultural complex from Taiwan and the Philippines and the Malay Peninsula. Such dis- cussions lead us to expect that archaeological investigation of Kalimantan will provide new data that may lead to the reappraisal of the role of this region during...

To show how the Bugis’s art of not being governed informs their ideas about compensation, this paper discusses the frontier culture and Bugis’s self-identification as sovereign and not belonging to the state, while at the same time being the state for their own subjects. I also include an overview and analysis of the role of the government to show that by systematically neglecting the Mahakam Delta in terms of planning and regulation, it allowed this frontier culture to evolve and protract. The government failed to develop and implement clear policies that could have fostered an environmentally more sustainable and socially more just future for the people of the Mahakam Delta. The paper identifies these perceptions of injustices and situate them in the Bugis culture of sovereignty and people’s relations with the state. This paper is of particular importance for policy making on the issue of access to justice in the aquaculture frontiers of Indonesia.