Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 24

At-Ta’dib. Vol. 15. No.

1, June 2020 Available online at:


ISSN: 0216-9142 https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/index
DOI: http://dx.doi.org/10.21111/at-tadib.v15i1.4882 e-ISSN: 2503-3514

The Urgency of Religious Education and its Implications for the Concept of
Human in the Islamic Worldview
Dedy Irawan
Universitas Darussalam Gontor
Dedy93irawan@gmail.com

Received Mei 9, 2020/Accepted June 12, 2020

ABSTRACT

This paper departs from the problem of education in Islamic countries, especially
Indonesia, which began secular by changing religious education as private matter. This is
caused by the westernization of knowledge which has been spread by the West since
colonialism and has been influential until now. This is all due to the fact that Muslim scientists
themselves are lack of understanding on the differences in human concepts in the perspectives
of Islam and the West, even though both have different human notions. This is due to the
different sources of knowledge between Islam and the West, so that it affects the difference in
perspective between the two in viewing humans. The source of knowledge in the West itself is
only adopted from "ratio and senses", while the source of knowledge in Islam comes from not
only from "ratio and senses" but also from "khabar sadiq (al-Qur'an and hadith) and intuition.
Islam considers that religious education is urgent because it has implications for human
concepts. of course this is different from the West where the source of knowledge does not
include aspects of religion. That is why through a literature study with descriptive analytic
methods, this paper tries to explain the differences in human concepts between the West and
Islam, and explains the urgency of religious education and its implications for human concepts
in the Islamic worldview. It is hoped that it can be raised in scientific discussions after seeing
the proliferation of misconceptions due to the swift flow of Western hegemony in the current
millennial era

Keyword: Religious Education, Spirit (Rūh), Psychoanalysis, Behaviorism, Humanism

79
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Urgensi Pendidikan Agama dan Implikasinya Terhadap Konsep Manusia


dalam Worldview Islam

A. PENDAHULUAN

Dalam situs “Sinar Pagi Indonesia” dengan tema “Politikus PDIP : Pendidikan Agama
di Indonesia Dihapus Saja Supaya Maju”. Alasannya, Singapura sudah melarang untuk
pengajaran agama di Sekolah sekitar pada 22 tahun lalu. Hasilnya sangat berpengaruh karena
dengan penghapusan pendidikan agama di sekolah, Australia berhasil mempunyai penduduk
negeri yang dikenal sebagai orang yang tertib, disiplin dan juga toleran padahal mereka terdiri
dari berbagai macam etnik, bahasa dan juga agama. Hal ini dikatakan oleh Eksekutif Megawati
Intitute, dan Musdah Mulia dalam akun facebooknya. Menurut politikus PDI Perjuangan ini,
Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong telah menegaskan bahwa pemerintah tak akan
mengijinkan pelajaran agama masuk ke dalam sekolah.“Sejak PM Lee Kuan Yew ditetapkan
bahwa agama urusan pribadi, bukan urusan sekolah atau negara. Keputusan itu diambil karena
Lee Kuan Yew melihat pengajaran agama justru menimbulkan perpecahan dan konflik, bukan
perdamaian, ungkap Musdah. Karena itu menurutnya pendidikan agama di Indonesia alangkah
baiknya dihapus saja supaya bisa mencontoh negara yang sudah sukses, salah satu contohnya
adalah Australia, tutup Musdah.1

Dari ungkapan Megawati dan Musdah Mulia diatas jelas sekali mereka tidak
memahami urgensi pendidikan agama dan implikasinya terhadap konsep manusia khususnya
dalam perspektif Islam dan Barat, sehingga menurut mereka pendidikan agama di Indonesia
alangkah baiknya dihapus saja supaya bisa mencontoh negara Australia (Barat). Padahal negara
ini mempunyai perspektif yang berbeda tentang konsep manusia dibandingkan dengan Islam.

Hal ini dipertegas oleh Harun Nasution yang berpandangan bahwa perbedaan utama
konsep tentang manusia menurut pandangan Barat dan Timur (Islam) adalah di Barat manusia
dipandang sebagai tubuh dan otak (akal), sementara di Timur manusia dilihat sebagai tubuh,
akal, dan hati nurani (qalb).2 Istilah hati nurani (qalb) inilah yang dimaksud imam al-Ghazali

1
Silahkan lihat di: https://sinarpagiindonesia.com/2017/06/17/politikus-pdip-pendidikan-agama-di-
indonesia-dihapus-saja-supaya-maju/
2
Harun Nasution dalam Abdul Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002), h. 64.

80
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

sebagai “rūh” dan ruh inilah esensi manusia sebenarnya.3 Oleh karenanya, ruh inilah yang
menjadi perbedaan pandangan (worldview) tentang konsep manusia antara Islam dan Barat.

Maka dari itu, khusus terhadap pendidikan secara ontologis perbedaan ini tampak pada
pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Jika pendidikan Islam memandang peserta didik
sebagai makhluk Allah dan sosial yang memiliki potensi sesuai dengan fitrahnya.4 pada redaksi
fitrah juga harus diperhatikan bahwa terkadang yang dimaksud dengan fitrah adalah ruh. 5
Sedangkan, dalam al-Qur’an (surat 5:3, dan surat 7: 172) dijelaskan bahwa fitrah manusia
adalah sebagai makhluk yang ingin beragama. Karena itu pendidikan agama dan lingkungan
beragama perlu disediakan bagi manusia.6 Artinya, pendidikan agama adalah makanan bagi
ruh karenanya pendidikan agama perlu disediakan. Bukan malah sebaliknya dengan
menghapuskannya dan menyingirkannya ke dalam kehidupan privat, sehingga ruh manusia
menjadi kosong dan hampa akan pendidikan agama sebagaimana yang telah terjadi di dunia
Barat Modern.

Berangkat dari problematika Inilah sebenarnya inti dari tulisan ini dibuat. Sehingga
perbedaan kedua cara pandang yang timbul akibat misconceptions tentang konsep manusia
dapat dihindari. Memahami kondisi demikian, maka diperlukan pengetahuan dan perbedaan
tentang konsep manusia secara mendalam antara perspektif Barat dan Islam. Sehingga,
manusia dalam Islam dapat dipandang secara holistik dan ditempatkan pada porsi dan potensi
masing-masing secara benar dalam pendidikannya. Sehingga, terwujudlah apa yang
diharapkan al-Ghazali sebagai manusia sempurna (insān kāmil atau kamālu al-insān)7, yang
mampu mengintegrasikan antara potensi rasio dan qalb-nya untuk mengetahui Allah karena
dengan ilmu Allah itulah seorang mampu mencapai derajat insān kāmil. Oleh karena itu,
pendidikan agama dalam Islam sangat dibutuhkan untuk mencapai derajat insan kamil.

B. Konsep Manusia Perspektif Barat

3
Abu Hamid al-Ghazali, Kimiya’ As-Sa’adah, dalam kitab, Rasa’il Al-Ghazali;Buku Kedua, Terj.
Kamran A Irsyadi (Jakarta: Diadit Media, 2008), hal. 259.
4
Mustafa, Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat dari Sudut Metodologi Keilmuan, Jurnal
IQRA’ Volume 3 Januari - Juni 2007, h. 28.
5
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 64. Lihat juga: Mishbah Yazdi, Amuzesy ‘Aqaid, (Qum: Syerkat-e Cap
wa Nasyr-e Bain al-Milal, 1381 H), Cetakan Ketujuh, h. 44.
6
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami ; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan
manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 23-24.
7
Lihat: Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ulum al-din, (Beirut: Dar al-ma’rifah, 1980), Juz III, hal.9.

81
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Manusia dalam bahasa inggris disebut man (berasal dari bahasa Anglo-Saxon, mann),
apa arti dasar dari kata inipun tidak jelas, tetapi pada dasarnya bisa dikaitkan dengan kata mens
dalam bahasa Latin, yang berarti “ada yang berpikir”. Dalam bahasa Yunani manusia disebut
anthropos, yang arti dasarnya pun tak begitu jelas. Semula anthropos diartikan “seseorang yang
melihat ke atas”, akan tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk mengartikan “wajah
manusia”. Dan akhirnya homo dalam bahasa Latin yang berarti “orang yang dilahirkan diatas
bumi (humus)”.8 Dengan melihat definisi diatas, maka tidaklah mengherankan jika definisi
manusia di Barat adalah suatu hal yang sangat ambigu alias rancu9, sehingga sulit menemukan
kesamaan dalam satu bentuk definisi yang utuh tentang manusia.

Pembicaraan tentang manusia sebenarnya di Barat sudah berlangsung lama, bahkan


telah dimulai sejak zaman Aristoteles, Plato, Socrates, Plotinus, dan tokoh-tokoh Yunani kuno
lainnya, dengan cara yang kompleks dan beragam. Namun kenyataanya, hingga hari ini pun di
Barat diskursus tentang manusia masih saja berlangsung. Psikologi, Sosiologi, Antropologi
misalnya, hingga hari ini, mereka masih tetap konsen berbicara dan selalu mempelajari
manusia dari berbagai sisinya, disebabkan lobang–lobang misteri pada manusia banyak yang
belum terungkap. Karenanya, disini penulis hanya membatasi konsep manusia dalam
perspektif psikolog di Barat yang paling populernya terbagi menjadi tiga mazhab yaitu
Psikoanalisa yang digagas oleh Sigmund Freud, Behaviorisme oleh James Watson, dan
Humanistik oleh Abraham Maslow.10 Berikut perinciannya:

1. Konsep Manusia Perspektif Mazhab Psikoanalisa

Manusia dalam pandangan mazhab psikoanalisa hanya dilihat sebagai makhluk yang
dikuasai oleh sistem unconsciousness (ketidaksadaran) dalam dirinya.11 Menurut Sigmund
Frued (w. 1939 M) pendiri mazhab tersebut, struktur jiwa manusia terdiri dari tiga sistem dasar,
yaitu id, ego dan super ego.12 Sementara itu, psikis manusia juga memiliki tiga kesadaran,
yaitu: consciousness (kesadaran) preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (tidak

8
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 565
9
Donald M. Borchert (Ed), Encyclopedia of Philosophy, (USA: Thomson Gale, 2006), hal. 481
10
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2007), hal.3.
11
Psychoanaylisis a form of psychoterapy developed by and based on the theories of sigmund freud in
which theses free associations onto the therapist. The therapist analyzes these remarks and overcomes resistance
to the interpretations of the client by using the energies of the transference, which ultimately help the patient
remake emotional which have kept him or her functioning as if the present were a repetition of the past. David
Matsumoto, The Cambridge Dictionary Of Psychology, (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), hal.
408.
12
Sigmund Freud, On Creativity and Unconscious, (New York: Harper & Row, 1958), hal.15, Calvin S.
Hall and Gardner Lindzey, Theories of Personality, (New York: John Wiley and Sond, 1970, Cet.II), hal.59.

82
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

dasar). Ruth Snowden, seorang psikolog asal Inggris menjelaskan dalam bukunya yang
berjudul Freud: A Beginner’s Guide:

“Sigmund Freud emphasized the importance of the unconscious mind, and a primary
assumption of Freudian theory is that the unconscious mind governs behavior to a
greater degree than people suspect. Indeed, the goal of psychoanalysis is to make the
unconscious conscious.” [Freud: A Beginner’s Guide, p.127].13

Menurut Freud, wilayah yang paling besar dalam psikis manusia itu adalah wilayah
unconsciousness. Wilayah inilah yang mengendalikan seluruh sistem prilaku manusia. Di
dalam wilayah unconsciousness sistem id bersemayam. Sistem id ini merupakan dimensi psikis
yang mengandung instink-instink bawaan, nafsu-nafsu primer, dan pengalaman-pengalaman
troumatis masa kanak-kanak, utamanya umur dibawah lima tahun. Ini kemudian yang
dipandang sebagai penguasa bagi tingkah laku manusia.14

Cara pandang Psikoanalisa tentang jiwa manusia adalah secara vertikal ke bawah,
sehingga disebut juga dengan depth psychology atau dengan istilah populernya top down.15
Karenanya, menurut Psikoanalisa yang memotivasi manusia untuk berbuat dan berprilaku
adalah dorongan-dorongan mencari kepuasan yang bersumber dari id yang berada dalam
unconsciousness (ketidakdasaran). Id berisikan nafsu-nafsu primitif, libido seksual atau naluri
seks yang berasal dari instink eros, pengalaman traumatis yang tertekan, bergejolak dahsyat,
dinamis, liar, enerjik dan tidak pernah reda. Inilah yang menggerakkan manusia untuk
melakukan sesuatu.16

Formula prilaku didasarkan pada konsep homeostatis, yaitu konsep prilaku yang
bersumber pada equiblirium, yaitu kebutuhan keseimbangan. Prilaku muncul didorong oleh
ketegangan internal yang terjadi akibat disequiblirium (ketidak-seimbangan) psikis, seperti
lapar, haus, dorongan seks dan lain-lain. Sehingga manusia segera membutuhkan
penyeimbang, yaitu makanan, minuman, hubungan seks dan lain-lain. Maka muncullah prilaku
manusia untuk menghilangkan ketegangan dan melahirkan kembali keseimbangan internal.

13
Lihat: Ruth Snowden, Freud: A Beginner’s Guide, (London: Hodder & Stoughton, 2000), hal.127.
Lihat juga: Calvin S. Hall and Gardner Lindzey, Theories of Personality, (New York: Jhon Wiley and Sond,
1970), hal. 130.
14
Jika id mengandung dorongan-dorongan instink biologis dan pengalaman-pengalaman traumatis masa
kanak-kanak; maka ego merupakan kesadaran terhadap realitas kehidupan; dan super ego merupakan kesadaran
normatif. Lihat: David A. Statt, The Concise Dictionary Of Psychology, (New York: Routledge, 1998), 108.
15
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi....., hal.296.
16
Sigmund Freud, A General Introduction To The Psychoanalysis, (Massachusetts: Clark University,
1920), hal.175.

83
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Disinilah peran ego untuk dapat menyalurkan kebutuhan id itu sesuai dengan kebutuhan yang
ada; dan peran super ego untuk dapat menyeleksi pemuasannya sesuai dengan norma-norma
yang ada pada lingkungan tersebut.17

Dari sini bisa disimpulkan bahwa motivasi utama manusia dalam berprilaku menurut
mazhab psikoanalisa adalah untuk memuaskan dorongan atau tuntunan yang bersumber dari
dimensi id. Semua tingkah laku manusia apa pun bentuk dan jenisnya selalu berhubungan
dengan id. Karena isi utama id adalah libido seksual, maka motivasi utama manusia juga adalah
untuk memuaskan dorongan libido seksual tersebut.

2. Konsep Manusia Perspektif Mazhab Behaviorisme

Berbeda dengan madzhab yang pertama, aliran Behaviorisme menolak bahwa


perbuatan manusia didominasi oleh dorongan libido seksual. Menurutnya, hal itu akan
berimplikasi pada tingkah laku manusia yang stagnan. Padahal dalam analisa Behaviorisme,
tingkah laku manusia mudah berubah karena dipengaruhi faktor lingkungan sekitarnya. Hal ini
persis seperti yang diungkapkan oleh Burrhus Frederic Skinner (1904-1990), tokoh utama
Behaviorisme. Ia mengatakan:

“The ideal of behaviorism is to eliminate coercion: to apply controls by changing the


environment in such a way as to reinforce the kind of behavior that benefits
everyone.”18

Selanjutnya, Skinner kembali menegaskan bahwa manusia berbuat sesuatu dalam


lingkungannya adalah untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan
pemenuhan kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak
enak. Segala tindakan manusia dapat dimengerti dalam kerangka pemikiran itu. Begitupula
dengan John Broadus Watson (1878-1958), penggagas utama lahirnya aliran Behaviorisme,
mengatakan bahwa aksi dan reaksi manusia terhadap suatu stimulus hanyalah dalam kaitan
dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia tidak mempunyai will power.
Ia hanyalah sebuah robot yang bereaksi secara mekanistik atas pemberian hukuman dan hadiah.

17
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi....., hal.310.
18
Menurut Skinner, “Idealisme Behaviorisme adalah untuk menghilangkan pemaksaan: menerapkan
kontrol dengan mengubah lingkungan sedemikian rupa untuk memperkuat jenis perilaku yang menguntungkan
semua orang.” Lihat: Robert M. Goldenson, The Encyclopedia of Human Behavior, (New York: Doubleday &
Company, 1995), hal.74.

84
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Untuk itu, tugas utama psikolog adalah menciptakan atau mengkondisikan lingkungan yang
kondusif untuk membentuk tingkah laku yang baik.19

Untuk membuktikan konsepnya Watson pernah mengatakan bahwa, berilah saya 20


anak yang sehat dan normal niscaya saya akan menjadikannya orang yang menuruti kehendak
saya. Saya dapat membuatnya menjadi ahli mesin, dokter, pedagang dan sebagainya, sesuai
dengan kehendak saya.20

Mazhab Behaviorisme memandang bahwa jiwa manusia merupakan mesin otomatis


yang rumit, kompleks dan canggih. Jiwa itu pada mulanya kosong, dan diisi dengan
pengalaman secara sedikit demi sedikit. Pengalaman-pengalaman itu berhubungan satu dengan
lainnya melalui proses asosiasi secara otomatis. Hubungan itu berbentuk kausalitas, hubungan
tempat, waktu dan hubungan perbandingan. Pengalaman yang memiliki kesamaan akan
berhubungan saling mendekat dan pengalaman yang berbeda akan saling menjauh. Jiwa
manusia dipandang bersifat netral-pasif. Netral artinya bahwa jiwa manusia tidak memiliki
pembawaan yang baik atau buruk. Sedangkan pasif berarti bahwa jiwa manusia laksana benda
mati yang tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri,
melainkan sangat terikat dengan lingkungannya. Kemudian dalam jiwa manusia ada empat
dimensi yang membentuknya yang berasal dari pengalaman-pengalaman; yaitu dimensi
kognisi (cipta), afeksi (rasa), konasi (karsa) dan psikomotor (karya).21 Berbeda dengan
Psikoanalisa yang memandang struktur jiwa manusia secara vertikal ke bawah, maka
Behaviorisme melihat susunan struktur jiwa itu secara horizontal atau setara dengan dimensi-
dimensi lainnya.

Lebih lanjut mazhab Behaviorisme menyimpulkan bahwa motivasi utama manusia


berperilaku adalah untuk menyesuasikan diri dengan lingkungannya, baik fisik (alam) maupun
lingkungan sosial (budaya, norma dan politik). Ini merupakan konsekuensi logis dari
pandangan mereka terhadap manusia secara umum, dan jiwa secara khusus yang kosong,
reaktif, responsif, determenistik dan mekanistik. Manusia adalah budak lingkungannya, maka
manusia selalu didikte oleh lingkungannya, termasuk dalam bertingkah laku.

19
D. Schultz, Theories of Personality, (California: Cole Publishing Company, 1972), hal.31.
20
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan,
(Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004), hal.239.
21
Nashori Fuad, Agenda Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 24.

85
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Selain itu, jiwa manusia juga banyak dipengaruhi oleh prinsip hedonisme, yaitu
keinginan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan.22
Hal ini dapat diterangkan dengan munculnya konsep operant conditioning (pembiasaan
terkondisi), dan konsep reinforcement (penguatan tingkah laku) baik yang positif maupun yang
negatif. Berdasarkan konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tingkah laku manusia
tidak ada hubungannya dengan konsep baik dan buruk, benar salah, apalagi halal dan haram.
Tingkah laku manusia semata-mata dihubungkan dengan kenikmatan dan kesenangan.
Sedangkan etika, moral, nilai dan agama sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah untuk
dianggap sebagai hal yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pada konteks ini jiwa manusia
tidak berbeda dengan binatang dalam hal memberikan respon terhadap stimulus dari
lingkungan untuk melahirkan tingkah laku. Karena itu, penganut Behavioris melakukan
penelitian pada jiwa binatang untuk menganalisis prilaku manusia.23

3. Konsep Manusia Perspektif Mazhab Humanisme

Berbeda dengan dua madzhab sebelumnya yang menyimpulkan bahwa prilaku manusia
karena dorongan libido seksual dan pengaruh lingkungan luar, maka madzhab ketiga ini
berpandangan bahwa manusia adalah makhluk unik (khas dan istimewa) yang berbeda dengan
binatang.24 Psikologi Humanisme menolak atas penyamaan psikis manusia dengan hewan.
Menurut madzhab ini, pada diri manusia terdapat karakteristik insani, seperti gagasan,
kreatifitas, nilai, kesadaran diri, tanggung jawab, hati nurani, makna hidup, pengalaman
transenden, rasa malu, rasa cinta, semangat, humor, rasa seni dan lain-lain. Manusia sebagai
makhluk unik juga memiliki kemauan, kebebasan dan potensi untuk memecahkan persoalan
hidupnya. Artinya, Humanisme menitikberatkan pada makna hidup atau hasrat untuk hidup
bermakna sebagai motif asasi manusia.25

Manusia diyakini memiliki kemampuan khusus yakni, self-detachment dan self-


trancendent yang keduanya mencerminkan adanya kebebasan dan rasa tanggung jawab. Pada
gilirannya karakteristik eksistensi manusia dapat disimpulkan pada; sprituality (keruhanian),
freedom (kebebasan) dan responsibility (rasa tanggungjawab).26 Berdasarkan itu, ada tiga

22
Robert M. Goldenson, The Encyclopedia of ....., hal. 75.
23
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi....., hal.289-312.
24
Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.207.
25
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islami; Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal.68-69.
26
Hanna Djumhana Bastaman, ‘Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi
Victor E. Frankal’, dalam Jurnal Ulum al-Qur`an, No.03, Vol. V, Tahun 1994, hal.14-21.

86
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

asumsi dasar tentang konsep manusia, yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan,
yaitu; a) the freedom of will (kebebasan ber-kehendak); b) the will to meaning (kehendak untuk
hidup bermakna); dan c) the meaning of life (makna hidup).

Manusia dalam pandangan mazhab Humanisme sebagai satu kesatuan yang utuh antara
raga, jiwa dan spiritual. Susunan struktur psikis manusia terdiri dari dimensi somatis (raga),
psikis (kejiwaan) dan neotik (kerohanian) atau disebut juga dengan dimensi spiritual. Adapun,
susunan struktur jiwa manusia dalam kajian Humanisme adalah secara vertikal ke dalam atau
dari luar ke dalam, karena itu psikologi ini sering juga disebut sebagai height psychology. Yaitu
cara memandang struktur jiwa manusia secara vertikal ke dalam, maka susunan struktur jiwa
manusia adalah; dimensi somatis (raga), psikis (jiwa) dan neotik (ruhani atau spritual).27

Jiwa manusia memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak, ketiga aspek ini melahirkan
karakteristik jiwa manusia, berupa gagasan, kreatifitas, nilai, pengalaman transenden, rasa
malu, cinta, semangat dan sebagainya. Di sisi lain ketiga aspek ini juga memunculkan kemauan
dan kebebasan dan potensi untuk memecahkan persoalan hidup. Selanjutnya juga mendorong
untuk mengedepankan keyakinan akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang berlaku
umum dan untuk seluruh umat manusia. Abraham Maslow (w. 1970 M) sebagai salah pendiri
mazhab Humanisme mengatakan,

“Humanistic psychologists believe that every person has a strong desire to realize
their full potential, to reach a level of ‘self-actualization’.” [Abraham H. Maslow,
Farther Reaches of Human Nature, p. 299].

Maslow menjelaskan bahwa motivasi manusia dalam bertingkahlaku adalah untuk


memenuhi kebutuhan bertingkat dan aktualisasi diri (self actualization). Menurutnya, manusia
dalam hidupnya senantiasa berada dalam ketidakpuasan; karena setiap kepuasan yang
diperoleh pada suatu saat, segera akan disusul oleh kebutuhan yang lain, itulah kebutuhan
bertingkat. Kebutuhan terendah adalah kebutuhan fisik (physiology needs) dan tertinggi adalah
kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs). Maslow menandaskan bahwa kebutuhan
tertinggi inilah yang menjadi pendorong dan memotivasi manusia dalam bertingkah laku. 28

Sejalan dengan hal tersebut jika dilakukan analisa perbandingan mengenai sifat dasar
manusia, mazhab Humanisme menilai manusia memiliki sifat baik dan buruk. Psikoanalisa

27
Laura A. King, Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),
hal.22.
28
Bastaman, “Dari Antroposentris ke Antropo-Religus-Sentris; Telaah Kritis atas Psikologi
Humanistik” Dalam Mengembangkan Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hal.78-87

87
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

menilai manusia adalah buruk. Sedangkan Behaviorisme melihat manusia adalah netral
tergantung stimulus yang berasal dari luar.29

Dari sini bisa disimpulkan bahwa manusia dalam pandangan mazhab humanisme
dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh antara raga, jiwa dan spiritual yang tidak berdimensikan
agama. Susunan struktur psikis manusia terdiri dari dimensi somatis (raga), psikis (kejiwaan)
dan neotik (kerohanian) atau disebut juga dengan dimensi spiritual. Hal ini tentunya berbeda
dengan kedua mazhab sebelumnya dalam hal memandang motivasi diri manusia. Psikoanalisa
memandang bahwa sumber motivasi manusia adalah dalam dirinya, yaitu dimensi id,
sedangkan Behaviorisme melihat motivasi berasal dari luar yaitu, lingkungan dengan konsep
stimulus dan reinforcement. Selain itu dalam mazhab Psikoanalisa prilaku manusia berfungsi
untuk memuaskan dorongan libido seksual, sedangkan menurut Behaviorisme bertujuan untuk
mendapatkan kenikmatan (hedonistik).

C. Konsep Manusia Perspektif Islam

Ketika berbicara tentang manusia, al-Qur'an memperkenalkan istilah kunci (key term)
yang digunakan untuk menunjukkan arti pokok manusia, yaitu al-insān, basyar, Banī Adam
dan al-nās.30 Secara etimologi, ula`ma berbeda pendapat tentang asal katanya. Sebagian
mengatakan bahwa al-insan berasal dari akar nawasa yang berarti bergerak, ada juga yang
mengatakan berasal dari kata uns, anasa yang berarti jinak dan tampak, dan ada juga yang
berkata dari kata nasiya yang berarti lupa.31 Artinya, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak, atau pelupa. Menurut Quraish Shihab, kata al-insan digunakan al-Qur'an
untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang
berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan
kecerdasan.32 Dengan kata lain, al-insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas
manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Bahkan, semua konteks insan menunjuk pada
sifat-sifat psikologis atau spiritual manusia.

29
Arthur Reber, Dictionary of Psychology, (New York: Penguin Books, 1985), hal.195
30
Kata An-Naas dalam al-Qur’an 241 kali, al-Insan 65 kali, Ins 18 kali, Unasun 5 kali, anaasiyyu 1 kali
dan Insiyyan 1 kali, kata bani Adam terulang dalam al_qur’an sebanyak 7 kali dan Basyar 37 kali. Silahkan lihat:
Burlinan Abdullah, Ragam Perilaku Manusia Menurut Al-Qur’an, (Palembang: PT Kuala Musi Raharja, 2000),
h.15. lihat juga: M. Ali Sibram Malisi, Konsep Manusia dalam Al-Qur’an, Jurnal Tasamuh, Vol 4, No. 2,
(2012), h.2.
31
Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Haim, al-Tibyan fī Tafsīr Garīb al-Qur’ān (al-Qāhirah: Dār
al-Sahābah, 1992), Cet. I, h. 56.
32
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 280.

88
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Hal ini tentunya berbeda dengan istilah basyar yang digunakan al-Qur’an hanya untuk
menjelaskan manusia sebagai makhluk materi yang terdiri dari kulit yang tampak pada tubuh
(fisik) manusia.33 Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak
keturunan Adam (bani Adam) secara keseluruhan.34 Hal ini dikarenakan, secara semantik kata
basyar dan bani Adam, ditinjau dari makna yang dikandungnya memiliki makna yang sama,
yaitu berkisar pada aspek materil dari manusia. Adapun, kata al-Nas dalam al-Qur’an lebih
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Hal ini, bisa dilihat dalam seluruh ayat
yang menggunakan kata, Yā ayyuha nl-nās.35 Dari keempat istilah diatas (al-insān, basyar,
Bani Adam dan al-nās) setidaknya juga menggambarkan berbagai dimensi dan potensi dari
manusia, yang terdiri dari jasad dan jiwa (rūh).

Karenanya, ketika berbicara tentang konsep manusia dalam Islam, maka tidak akan
lepas dari pembahasan tentang “jasad dan jiwa (ruh)”. Hal ini, sebagaimana pandangan Ibnu
Sina yang mengemukakan bahwa manusia terdiri atas badan dan jiwa (ruh). Jiwa adalah
substansi ruhani yang masuk ke dalam tubuh, sehingga ia hidup. Kemudian tubuh ini dijadikan
alat untuk memperoleh pengetahuan, sehingga menjadi sempurna dan mengenal Tuhannya dan
segala hakekat yang menunjukkan kekuasaan Tuhan dan kepada-Nyalah jiwa itu kembali dan
berada dalam kebahagiaan yang abadi.36

Begitupun, al-Ghazali yang menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai


makhluk yang terdiri dari jasad dan jiwa (ruh), yang dapat diketahui dengan wawasan spritual.
Namun, menurutnya jiwa (ruh)-lah, yang menjadi inti hakiki manusia, yang ia sebut dengan
istilah hati nurani (qalb) atau dengan istilahnya yang populer “lathīfah rabbaniyah rūhāniyah
(makhluk spritual berdimensi ketuhanan yang sangat halus tempat bersarangnya ruh)”.37
Karenanya, istilah-istilah yang digunakan al-Ghazali untuk itu adalah “qalb, ruh, nafs, dan
‘aql.” Setiap istilah menurutnya mempunyai dua makna, yang satu berarti “jiwa atau ruh
(metafisik)” dan yang satu lagi untuk “badan (fisik)”, sedang makna kedua berbeda untuk
masing-masing istilah.38 Pandangannya inipun diikuti oleh al-Attas, yang memandang bahwa

33
Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), Cet. I, h. 11.
34
Aisyah bint al-Syati’, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an, terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), h. 1-2.
35
Muhammad Tholchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, (Jakarta: Listafariska Putra, 2004), h.
131-132.
36
Lihat: Ahmad Fuad al-Ahwaniy, al-Falsafah al-Islāmiyah (Kairo: Dār al-Qalām, 1962), h. 148.
37
. Al-Ghazali, Ihyā’ Ulūmuddīn, (Beirut: Dār al-Ma’rīfah, t.t), Jil. III, h. 3.
38
. Al-Ghazali, Ihyā’ Ulūmuddīn, (Beirut: Dār al-Ma’rīfah, t.t), Jil. III, h. 3. Lihat juga: M. Abul Quasem,
Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 37.

89
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh. Menurut al-Attas realitas yang
mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang dikenal sebagai manusia bukanlah
perubahan dari jasadnya, melainkan dari ruhnya. Artinya, ruh merupakan esensi dari manusia.
Hal ini dikarenakan ruh adalah tempat bagi sesuatu yang intelijibel dan dilengkapi dengan
fakultas yang memiliki sebutan berlainan dalam keadaan yang berbeda, yaitu “ruh (ruh), jiwa
(nafs),hati (qalb), dan intellek (aql)”. Setiap sebutan menurutnya memiliki dua makna, yang
satu merujuk pada aspek-aspek jasad ataupun kebinatangan dan yang satu lagi pada aspek
keruhanian.39 Al-Attas menegaskan perbedaan model dari kesatuan ini:

“Dengan demikian, ketika bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual
dan pemahaman, ia (ruh) disebut “intellek (aql)”, ketika mengatur tubuh ia disebut
“jiwa (nafs)”, ketika sedang mengalami pencerahan intuisi ia disebut “hati (qalb)”, dan
ketika kembali ke dunianya yang abstrak, maka ia disebut “ruh”. Pada hakikatnya, ia
selalu aktif memanifestasikan dirinya dalam keadaan-keadaan ini. 40

Karenanya, dimensi rohani yang disebut dengan al-nafs (jiwa) yang memiliki unsur-
unsur; al-nafs, al-aql, al-qalb, al-ruh. Unsur-unsur ini membentuk struktur yang sistematis,
utuh, integritas dan sempurna, inilah struktur jiwa manusia dalam pandangan psikologi Islam. 41

Ruh inilah yang menjadi faktor pembeda antara manusia dengan binatang. Manusia
memiliki derajat lebih tinggi dari binatang karena adanya ruh ini. Oleh karenanya, didalam
(QS. 23: 12-14) terdapat istilah “khalqan akhar” pada ayat ke-14 yang artinya “makhluk yang
berbentuk lain”, ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia berbeda dengan makhluk lainnya,
seperti hewan, karena di dalam jiwanya terdapat dimensi ruh. Proses perkembangan fisik dan
jiwa manusia dalam ayat di atas sama dengan binatang. Tetapi semenjak manusia menerima
ruh, maka ia menjadi berbeda dan lain karena ia memiliki ruh.42 Hal ini dikarenakan ruh adalah
al-aql al-awwal (akal pertama), maka faktor inilah yang menyebabkan manusia lebih tinggi
derajatnya dibanding dengan malaikat.43 Ia merupakan makna atau esensi sesungguhnya dari

39
Syed M.N. Al-Attas. “Prolegomena to The Metaphysics of Islam”. (Kuala Lumpur: Prospecta.1995).
p. 143-146.
40
Wan Moh Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas,
terj. Hamid Fahmy Zarkasyi dkk (Bandung : Mizan, 2003), h. 94.
41
. Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 306.
42
Ibid., h. 137.
43
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 45.

90
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

manusia44, yang berasal dari percikan nur Ilahi.45 Karenanya, al-Ghazali menyebutnya dengan
istilah “lathifah rabbaniyah (makhluk spritual rabbani/Tuhan yang sangat halus)”.

Ibnu Qayyim dalam kitab al-Rûh menggunakan istilah “ruh dan nafs” untuk pengertian
yang sama, yaitu jiwa, karena memang begitu menurut pendapat jumhur Ulama. Adapun
perbedaan antara ruh dan jiwa (nafs) hanyalah perbedaan pada sifatnya dan bukan pada
dzatnya. Jika ruh disifatkan dengan kehidupan badan, maka jiwa disifatkan dengan kemulian
badan karena kemampuannya untuk bergerak dan melakukan berbagai hal yang tidak akan
mampu dilakukan badan jika tanpa keberadaan jiwa atau ruh.46

Karenanya, Ibnu Qayyim menegaskan bahwa ruh itu adalah substansi yang bersifat
“nûrani, alawy, khâfy, hayyun, mutaharrik” atau jism (jasad) yang mengandung nur, berada di
tempat yang “tinggi, lembut, hidup dan dinamis”. Jism yang lembut ini menembus substansi
anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api pada kayu bakar. Selama
anggota tubuh dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari
jism lembut ini, maka jism lembut ini akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian
tubuh tersebut. Kemudian pengaruh itu akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak, dan
keinginan.47 Menurutnya, ruh inilah yang naik dari dalam hati ke otak, yang kemudian
membentuk proses yang selaras untuk menerima kekuatan menghapal, berpikir dan
mengingat.48 Sehingga, tanpa adanya ruh manusia tidak akan dapat berpikir dan merasa. 49
Menurut Ibnu Qayyim ruh ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan di dalam
hati.50 Karenanya, dalam pandangan al-Ghazali ruh itu adalah hati atau yang biasa disebut
dengan mata hati dan ruh inilah esensi manusia sebenarnya. Dikarenakan ia adalah esensi mulia
yang berakar pada esensi para malaikat dan berasal dari Hadirat Ilahi, dari tempat itu ia datang
dan ke tempat yang sama ia kembali.51

44
Ahmad Kholil, Merengkuh Bahagia Perspektif Tasawuf dan Psikologi, (Malang: UIN-Maliki Press,
2007), h. 164.
45
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 45.
46
Ibnu Qayyim al-Jauziah, Ruh li Ibnil Qayyim; Terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2000), h. 310.
47
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Rūh, Tahqiq: Sayyid Jamili, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1986), h. 276.
48
Ibid.
49
Ahmad Mubarok, Pendakian Menuju Allah, Bertasawuf dalam Hidup Sehari-hari, (Jakarta: Khazanah
Baru, 2002), h. 128.
50
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Rūh,................, h. 276.
51
Abu Hamid al-Ghazali, Kimiya’ As-Sa’adah, dalam kitab, Rasa’il Al-Ghazali;Buku Kedua, Terj.
Kamran A Irsyadi (Jakarta: Diadit Media, 2008), hal. 259.

91
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ruh inilah yang membedakan antara konsep
manusia dalam Islam dan Barat. Dimensi al-ruh dan al-fitrah juga merupakan tempat
bersarangnya bibit rasa keagamaan dan dimensi ini pula yang luput sama sekali dari jangkauan
psikologi psikoanalisa, behaviorisme dan humanisme. Hal ini dikarenakan dalam mazhab
psikoanalisa, dan behaviorisme masalah agama tidak dikaitkan sama sekali dengan diri
manusia, dikarenakan dalam pandangan psikolog psikoanalisa, dan behaviorisme orang
beragama adalah orang yang mengidap penyakit jiwa. Hal ini dapat dipahami karena kedua
mazhab psikologi tersebut tidak mengakui agama sebagai kebutuhan jiwa manusia, namun
sebaliknya menganggap agama sebagai gangguan dan penyakit jiwa.52 Karena itu wajar jika
pendidikan agama tidak masuk hitungan kedua mazhab ini.

Adapun mazhab humanisme, walaupun dalam konsep manusianya menyinggung neotik


(kerohanian) atau disebut juga dengan dimensi spiritual sebagaimana dijelaskan diatas. Akan
tetapi Hanna Djumhana memberikan analisis bahwa makna spiritual dalam psikologi
humanistik ini menguraikan bahwa pengertiannya sama sekali tidak memandang konotasi
agama, tetapi dimensi ini diyakini sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna
hidup dan potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang
sejauh ini masih terabaikan dalam kajian psikologi. 53 Tentunya hal ini jauh berbeda dengan
Islam yang memandang bahwa makna spiritual (ruh) sangat berkonotasi agama. Oleh karena
itu, tegaslah sekarang mengapa teori-teori psikologi itu (psikoanalisa, behaviorisme dan
humanisme) tidak mampu menjangkau hakikat keberagamaan manusia, karena memang
konsep dasar struktur psikisnya tidak dapat menampung hakikat prilaku keberagamaan
tersebut.54 Sehingga, wajar jika pendidikan agama di Barat dihapuskan. ini semua disebabkan
perbedaan cara pandangnya terhadap konsep manusia yang tidak melibatkan aspek ruh dan
korelasinya dengan agama.

Hal ini tentu dikarenakan, ketiga mazhab psikologi Barat tersebut dalam memandang
struktur psikis manusia nampak bahwa konsep yang dikedepankan masih reduksionis,
terpenggal, parsial dan belum selesai. Karena memang landasan sumber utama konsep ilmu
dalam peradaban Barat hanya bersandarkan kepada rasio dan indera, serta keraguan yang

52
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 146.
53
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), h. 53.
54
. Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi Islami:..., h. 314.

92
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

diperkuat oleh spekulasi filosofis55, dan hanya terkait dengan kehidupan sekular yang
memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, konsep dan
nilai-niai etika dan moral serta kebenaran yang diatur oleh rasio manusia, berubah terus-
menerus.56 Karena sumber utama konsep ilmu di Barat hanya diukur lewat manusia “Human
is measure of all thing’s” yang sifatnya fisik, maka wajar jika mereka menafikan peran wahyu
yang sifatnya metafisika. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Immanuel Kant bahwa
metafisika tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada panca indra.57 Karenanya, ia
menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis. 58

Berbeda tentunya dengan psikologi Islam yang membangun konsep struktur manusia
berdasarkan pemahaman agama yang sifatnya metafisis dan pemaknaan ayat-ayat al-Quran
yang dapat mengakomodir konsep tersebut sepanjang dapat ditempatkan secara proporsional
dalam sistem struktur jiwa manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa pendidikan agama dalam
Islam sifatnya sangatlah urgen karena ia berimplikasi terhadap ruh.

D. Urgensi Pendidikan Agama Serta Implikasinya Terhadap Ruh


Pendidikan agama dalam Islam sangatlah urgen. Sebagaimana, yang dinyatakan oleh
al-Ghazali bahwa pendidikan agama dan hukum mempelajari ilmu agama adalah fardhu ain
(wajib), sedangkan ilmu umum fardhu kifāyah.59 Alasannya, karena didalam ilmu agama
terdapat pembahasan tentang ilmu mukasyafah yang bertujuan untuk mendidik jiwa (rūh)
dengan cara mensucikannya dari kotoran dan penyakit-penyakit hati.60 Karena dengan kesucian
jiwa (rūh) ia mampu berdekatan dan menyaksikan (musyāhadah) keagungan Tuhannya.

Menurut Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya “Pendidikan Ruhani” pendidikan
dalam agama Islam seharusnya memuat beberapa aspek dalam pengembangan manusia.
Pertama, pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyah). Kedua, pendidikan akhlak (tarbiyah

55
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau
Pinang: Penerbit Universitas Sains Malaysia, 2006), p. 9. Sedangkan mengenai intuisi, Barat secara umum telah
menyempitkan serta mereduksi makna di dalamnya hanya pada pengamatan inderawi, emosional, dan kesimpulan
logis yang direnungkan oleh pikiran manusia di mana maknanya secara tiba-tiba dapat dipahami. Akan tetapi,
semua itu hanyalah dugaan saja karena tidak ada bukti yang dapat memperjelas hal tersebut dan juga dengan
adanya penyangkalan terhadap fakultas intuitif seperti hati.
56
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Seculerism, (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua. 1993).
h. 133-135.
57
Adian Husaini, et. al. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013). Hal. 8.
58
Justus Hanack, Kant’s Theory of Knowledge, Pen. M. Holmes, (London: Macmilan, 1968), p. 14245.
59
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ulum al-din, (Beirut: Dar al-ma’rifah, 1980). Jil. I, h. 13-16.
60
Ibid., Jil. I, h. 19.

93
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

khuluqiyyah). Ketiga, pendidikan intelektual (tarbiyyah aqliyah). Keempat, pendidikan fisik


(tarbiyah jasadiyah). Kelima, pendidikan agama (tarbiyah diniyah). Keenam, pendidikan sosial
(tarbiyah ijtima’iyah). Ketujuh, pendidikan politik (tarbiyah siyasiyah). Kedelapan, pendidikan
jihad (tarbiyah jihadiyah). Kesembilan, pendidikan estetika (tarbiyah jamaliyah).61

Pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyah) merupakan aspek mendasar dalam pendidikan


Islam. Hal itu dikarenakan, segala bentuk pendidikan Islam mengarah pada pembentukan
akhlak mulia. Padahal, akhlak mulia tidak bisa dicapai jikalau ruh sebagai penggerak jasad
tidak dididik. Akan tetapi malah sebaliknya, pendidikan ruhani kurang mendapatkan perhatian
dari cendekiawan Islam. Hal ini bisa dilihat dari jarangnya studi-studi dan kajian tentang
pendidikan ruhani. Padahal sejatinya, esensi manusia adalah ruhnya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Ghazali bahwa ruh adalah esensi dan asal anak adam.62

Menurut Ibnu Sahnun sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, “pendidikan ruhani adalah
suatu yang penting untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Pendidikan ruhani
ditekankan untuk membentuk kepribadian anak agar memiliki kepribadian yang sempurna.” 63
Karenanya, Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlāni menekankan aspek pengabdian kepada Allah
(ibadah) sebagai tujuan pendidikan ruhani, ia mengutip surat al-Dzāriyat ayat 56 sebagai
landasan tujuan tersebut.64 Selain, itu ia menegaskan pula bahwa tujuan tersebut identik dengan
tujuan manusia diciptakan, yaitu supaya mengenal Allah (ma’rifatullah).65 Sebagai dasarnya
ia mengutip sebuah hadis Qudsi, di mana Allah melalui rasul-Nya berfirman bahwa Dia adalah
perbendeharaan yang tersembunyi (kanz makhfi). Dia suka dikenali, lalu Dia menciptakan
makhluk supaya dikenali.66 Begitupun dengan al-Ghazali, ruh yang ia sebut juga dengan istilah
hati (qalb) adalah sarana untuk mengetahui Allah. Oleh karena itu menurut al-Ghazali ruh
bukan merupakan badan, juga bukan sifat melainkan unsur substansi malaikat. 67 Karena itu
wasilah untuk mengenalkan peserta didik kepada Tuhannya adalah dengan menyediakan dan

61
Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani. (Jakarta : Gema Insani, 2002), h. 11.
62
Abu Hamid al-Ghazali, Kīmiyāu as-Sa’ādah, dalam kitab Rasa’il Al-Ghazali, Terj. Kamran A Irsyadi
(Jakarta: Diadit Media, 2008), h. 260.
63
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 57.
64
Abd al-Qādir al-Jīlāni, Sirr al-Asrār wa Mazhar al-Anwār, (Mishr: Mathba’ah al-Bahīyah al-Misrīyah,
t.t), h. 10.
65
Abd al-Qādir al-Jīlāni, Al-Ghunyah lī Thālibi Tharīq al-Haq: fī al-Akhlāk wa al-Tashawuf wa āl-Adab
al-Islāmiyah,, (Mishr: al-Maktabah al-Sya’biyah, t.t), Juz I, h. 5.
66
Abd al-Qādir al-Jīlāni, Sirr ... Op. Cit., h. 10.
67
Abu Hamid al-Ghazali, Kīmiyāu as-Sa’ādah, dalam kitab Rasa’il Al-Ghazali,..... h. 260.

94
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

memfasilitasi pendidikan agama serta tidak menyingkirkannya kedalam kehidupan privat


sebagaimana yang terjadi di Barat Modern khususnya.

Hal ini dikarenakan, tujuan pendidikan ruhani dalam Islam menurut Ali Abdul Halim
Mahmud adalah untuk mengajarkan ruh bagaimana menjaga, mengenal, memperbaiki dan
mengembangkan relasinya dengan Allah SWT melalui jalan menyembah dan merendah
kepada-Nya, taat dan tunduk kepada manhaj-Nya.68 Untuk itu menurut Muhammad Quthb,
pendidikan agama dalam Islam harus mampu menyentuh aspek ruhani peserta didik. Dengan
sentuhan tersebut, proses pendidikan Islam akan mampu memberikan bimbingan kepada
peserta didiknya, sehingga memiliki hubungan individual-vertikal yang harmonis.69 Dari sini
dapat dipahami bahwa ruh itu memiliki hubungan kepemilikan dan asal dengan Allah.
Hubungan kepemilikan dan asal tersebut mengisyaratkan bahwa ruh merupakan dimensi jiwa
manusia yang bernuansa ilahiyah. Karena itu, al-Ghazali menyebutnya dengan istilah “lathīfah
rabbaniyah rūhāniyah (makhluk spritual berdimensi ketuhanan yang sangat halus, tempat
bersarangnya ruh)”.70

Implikasinya dalam kehidupan manusia adalah aktualisasi potensi luhur batin manusia
berupa keinginan mewujudkan nilai-nilai ilahiyah yang tergambar dalam al-asma al-husna
(nama-nama Allah) dan berperilaku agama (makhluk agamis). Ini sebagai konsekuensi logis
dimensi ruh yang berasal dari Allah, maka ia memiliki sifat-sifat yang dibawa dari asalnya
tersebut.71 Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Sehingga, manusia
menjadi makhluk yang semi samawi-ardhi, yaitu makhluk yang memiliki unsur-unsur alam
dan potensi-potensi ketuhanan. Ini semua sebagai akibat karena manusia memiliki dimensi
yang bersumber dari Tuhan. Karena memang ia (ruh) berasal dari percikan nur Ilahi.72

Lebih dari itu implikasi dari pendidikan agama, manusia mampu mengaktualisasikan
potensinya secara optimal untuk sampai pada martabat “insān kāmil” yang mampu menyerap
nama-nama dan sifat-sifat Allah secara potensial dan menafikan sifat-sifat manusia dalam
dirinya.73 Hal ini tentunya dapat dicapai dengan memilih jalan takwa karena ia akan

68
Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani. (Jakarta : Gema Insani, 2002), h. 69-70.
69
Muhammad Quthb, Manhāj al-Tarbiyah al-Islāmiyah. (Mishr: Dār al-Syurūq, 1993)), h. 13.
70
. Al-Ghazali, Ihyā’ Ulūmuddīn, (Beirut: Dār al-Ma’rīfah, t.t), Jil. III, h. 3.
71
Baharuddin Hasibuan, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 146.
72
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 45.
73
Abdul Karim al-Jili, al-Insān al-Kāmil fī Ma’rifati al-Awākhir wa al-Awāil, (Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1997) h. 210-11

95
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

senantiasa membersihkan dirinya (tazkiyatun nafs/ruh). Dengan jiwa yg bersih, akan


melahirkan sifat syukur, sabar, penyantun, penyayang, bijaksana, suka bertaubat, lemah lembut
dan amanah. Serta implikasi yang menakjubkan dari itu adalah kebahagiaan (sa’adah) dalam
hati berupa ketenangan dan ketentraman setelah upaya menyucikan jiwa.Sebab, jika fondasi 74
akidah untuk penyucian jiwa telah tertanam di dalam jiwa seperti iman kepada qadā dan qadr
serta ridha kepada-Nya, maka ia tidak akan merasa gelisah dan berkeluh kesah disaat mendapat
bencana juga tidak akan menjadi sombong disaat makmur.75

Karena itu, penghapusan dimensi ruh yang bersifat spritual dalam konsep manusia di
Barat berimplikasi pada penghapusan pendidikan agama yang berarti juga pendidikan ruh yang
telah dijalankan di Barat. Hal ini ternyata telah menjadikan manusia modern di Barat kian
dihinggapi rasa cemas, gelisah dan ketidak bermaknaan dalam hidupnya. 76 Mereka telah
kehilangan dimensi transendental atau visi keilahian sehingga mudah sekali dihinggapi
kehampaan spritual.77 Sebagai akibatnya, manusia modern menderita keterasingan (alienasi)78,
baik teralienasi dari dirinya, dari lingkungan sosialnya maupun teralienasi dari Tuhannya.
Sehingga, wajar saja jika angka bunuh diri di negara-negara Barat sangat tinggi.

Sebagai contoh, kasus yang terjadi di kota Amsterdam pada tahun 1932, siang itu terjadi
bunuh diri masal satu keluarga yang dilakukan oleh seorang Profesor atheis tulen yang sangat
memuja akal, rasio dan ilmu pengetahuan dari Amsterdam yang dibangga-banggakan oleh
pengikutnya, dialah Profesor Paul Ehrenfest. Namun siapa sangka di atas puncak kejayaannya
tiba-tiba ia bunuh diri, tak cukup bunuh diri sendiri, namun ia juga membunuh anak dan
istrinya. Ia bunuh diri disebabkan oleh ketidakpuasannya terhadap rasio, akal dan ilmu
pengetahuan yang dituhankannya, ia merasa tidak mendapatkan apa-apa selain hidup yang
absurd, gamang dan penuh kecemasan. Karena itu, ia harus mengakhiri hidupnya, karena
baginya hidup tidak lagi bermakna. Ia mati dengan tragis serta meninggalkan surat yang

74
M. Kholid Muslih, et. Al, Worldview Islam: Pembahasan tetnttang Konsep-Konsep Penting dalam
Islam, (Ponorogo: Pusat Islamisasi Ilmu dan UNIDA Gontor Press, 2018), h.221.
75
Dr. Anas Ahmad Karzon. “Tazkiyatun Nafs, Gelombang Penyucian Jiwa Menurut Quran dan Sunnah”.
Terj. Emiel Threeska (Jakarta : Akbar Media. 2010) p. 343
76
Hanna Djumhana Bastaman, Dimensi Spritualitas Dalam Teori Psikologi, dalam (Ulumul Qur’an no.
4 vol. V tahun 1994), hal. 16.
77
Jhon De Lucca (Ed.), Reason And Experience: Dialogues in Modern Philoshopy (San Francisco:
Freeman Cooper & CO, 1972), hal. 5. Dikutip dari buku : Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia
Modern, (Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 4.
78
Dalam psikologi sosial istilah, ‘alienasi’ biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah keadaan di
mana seseorang merasa asing dari dirinya sendiri dan berpaling dari sekitarnya sehingga mendorong orang itu
untuk bersikap bermusuhan terhadap orang lain atau masyarakat. Lihat: David Matsumoto, The Cambridge
Dictionary of Psychology, (Cambridge: Cambridge University Press), p. 28.

96
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

bertuliskan “Mir felt Gott vertranen. Religion it ist notig aber wen sie nicht moglicht ist, der
kauneben zugrunde gehen,” yang artinya (Yang saya tidak miliki adalah kepercayaan kepada
Tuhan. Padahal itu perlu, seseorang mungkin binasa karena hal ini, karena tidak beragama).”
Kisah ini akhirnya dipublikasikan di majalah “Paedagogische Studien”.79 Bukan hanya
Profesor Paul Ehrenfest yang mati secara tragis dengan bunuh diri di Barat, sederet nama tenar
berikut ini juga mati bunuh diri karena jiwanya kosong dan merasa hidupnya tak lagi bermakna
seperti “Marylin Monroe, Michael Jackson, Curt Cobain (musikus), Dale Carnegie (motivator),
Jess Livermore, Leon Fraster, Ivan Kreuger (Pengusaha), Nietzche, Kiekegard (Filsuf)” adalah
orang-orang yang merasakan penderitaan hidup tanpa makna, karena menanggalkan Tuhan
(tidak beragama) dalam hidupnya, mereka mati dengan batin penuh luka.80

Kasus-kasus diatas adalah lukisan bagaimana tsunami kehidupan menyerang batin


seseorang, memorak-porandakan jiwanya, tatkala nilai-nilai agama dan ke-Tuhanan mulai
ditinggalkan. Tak jauh berbeda dengan kondisi tersebut sejarah telah mencatat, bahwa bangsa
dan peradaban tinggi manapun yang melepaskan unsur-unsur Ilahiah (ke-Tuhanan) dan agama
pasti akan mengalami tragedi peradaban. 81 Sebagaimana yang telah terjadi oleh bangsa
Tsamud, aad, Madyan, Saba, Israel, kaum nabi Nuh, Luth. Meski peradaban mereka hadir
dalam wujud fisik yang memukau, tapi hakikatnya rapuh dan kosong. Dan inilah yang akan
terjadi dengan peradaban modern saat ini, di puncak prestasinya peradaban modern justru
terancam jatuh pada titik kehancurannya.

Hari ini bisa dilihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat
tidak sejalan dengan seimbang dengan keselarasan hidup, alam dan kedamaian manusia di
muka bumi ini. Semua itu mengakibatkan ketidaknyamanan, stres bahkan depresi sehingga
sering berujung pada keputus-asaan dan bunuh diri. Karena itu, untuk menyeimbangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tidak sinergi ini diperlukan ilmu agama beserta pendidikannya
sebagai penyeimbangnya.

Karenanya, dalam upaya mendidik anak, al-Ghazali lebih memfokuskan pada upaya
untuk mendekatkan anak kepada Allah. Setiap bentuk apapun dalam kegiatan pendidikan harus
mengarah kepada pengenalan dan pendekatan anak kepada Sang Pencipta. 82 Disinilah tampak

79
A.M.Saefuddin dkk, On Islamic Civilization ; Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang
Sempat Padam, Laode M. Kamaluddin (Ed), (Semarang: UNISSULA PRESS, 2010), h. vii-ix.
80
Ibid., h. x.
81
Ibid., h. xi.
82
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Muassasah al-Hibly, 1967), Jil. I, h. 59.

97
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

jelas perbedaan prinsip dasar antara pandangan filosof Barat pada umumnya dengan pandangan
al-Ghazali dalam melihat hakekat manusia. Filosof Barat memandang manusia sebagai
makhluk yang bersifat antroposentris, sedangkan al-Ghazali memandang manusia sebagai
makhluk yang bersifat teosentris.83 Sehingga, dalam pendidikan Islam tujuan dari pendidikan
tidak hanya mencerdaskan fikiran sebagaimana konsep progresivisme,84 melainkan ia juga
berusaha bagaimana membimbing, mengarahkan, meningkatkan dan mensucikan hati untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, dalam pendidikan yang dididik bukan hanya aspek
kognitif saja melainkan aspek afektif yang bersifat spritual juga, sehingga terciptalah manusia
sempurna (insān kāmil).

Oleh karena itu, agar tidak salah langkah saat dalam mengarungi dunia, agama harus
menjadi pijakan. Hidup dengan berpedoman pada agama itulah jalan kebahagiaan sejati. Kaya
atau miskin, penguasa atau rakyat jelata, sukses atau gagal tidak menghalanginya untuk hidup
bahagia. Karena baginya, semuanya merupakan jalan untuk menggapai kebahagiaan sejati di
akhirat nanti.85 Dari sini bisa disimpulkan, bahwa pendidikan agama dalam Islam amatlah
urgen, karena dengannya ruh mampu mengenal, mengetahui serta mengabdikan diri kepada
Tuhannya. Lebih dari itu, ia mampu mengaktualisasi potensi-potensi yang bersifat ketuhanan
dalam dirinya sehingga ia mampu mencapai derajat manusia sempurna (insān kāmil).

E. KESIMPULAN
Dalam Islam manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, yang membawa misi
hidup di dunia, yaitu misi menyembah Allah dan memakmurkan dunia. Ia telah dilebihkan di
atas makhluk-makhluk yang lain. Demi menjaga kedudukan manusia yang mulia dan tinggi
ini, Allah SWT. menyariatkan untuknya ajaran agama berupa Islam yang akan menjamin
keselamatan dan kebaikan hidupnya sebagai manusia di dunia dan akhirat. Dengan demikian,
ia tidak bisa disamakan begitu saja dengan binatang atau diukur dengan hasil observasi
terhadap binatang.

Psikoanalisa memandang manusia sebagai sosok makhluk yang hidup dorongan-


dorongan (id) dan sangat ditentukan oleh masa lalunya. Konsep ini dipandang terlalu
menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, sehingga
terkesan pesimistis dalam pengembangan diri manusia. Sementara aliran Behavioristik
memandang manusia sebagai sosok makhluk yang sangat mekanistik karena kelahirannya tidak
membawa apapun (netral), sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh lingkungan atau
hasil lingkungan (pasif). Sedangkan aliran Humanistik memandang manusia sebagai sosok

83
Imam Syafi’ie, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali; Pendekatan Filosofis Paedagogis, (Yogyakarta:
Duta Pustaka, 1992), h. 24.
84
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Ofset. 1997), h. 31.
85
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2015), hal. 16.

98
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga dipandang sebagai penentu tunggal
yang mampu memainkan peran Tuhan (play-God).

Adapun, Islam mengakui keterbatasan aspek biologis dan karakter dasar psikis
manusia, mengakui peran serta lingkungan (sosio-kultural), mengakui keunggulan potensi
rohaniah dan aspek spiritual dalam kehidupannya. Manusia tidak hanya dikendalikan oleh
masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan
lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik
tetapi juga potensi buruk (terbatas). Dengan konsep manusia yang lebih utuh dan komprehensif
ini kiranya psikologi Islam hadir untuk memberi jawaban yang lebih akurat terhadap segala
problematika psikis yang dialami manusia.

Lebih dari itu, konsep manusia dalam psikologi Islam mencakup aspek biologis, psikis,
sosiologis, dan spriritual. didalamnya terdapat aspek ruh sebagai esensi manusia dan ruh inilah
yang menjadi pembeda antara konsep manusia di Barat dan Islam. Untuk mengembangkan ruh
yang memiliki potensi ilahiah ini maka diperlukan media berupa pendidikan agama.
Alasannya, karena didalam ilmu agama terdapat pembahasan tentang ilmu mukasyafah yang
bertujuan untuk mendidik jiwa (rūh) dengan cara mensucikannya dari kotoran dan penyakit-
penyakit hati. Sehingga dengan kesucian jiwa (rūh) ia mampu mewujudkan nilai-nilai ilahiyah
yang tergambar dalam al-asma al-husna (nama-nama Allah) dan berperilaku agama (makhluk
agamis). Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Sehingga, manusia
menjadi makhluk yang semi samawi-ardhi, yaitu makhluk yang memiliki unsur-unsur alam
dan potensi-potensi ketuhanan.

99
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Burlinan. 2000. Ragam Perilaku Manusia Menurut Al-Qur’an, Palembang: PT


Kuala Musi Raharja.
Al-Ahwaniy, Ahmad Fuad. 1962. al-Falsafah al-Islāmiyah. Kairo: Dār al-Qalām.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Seculerism, Kuala Lumpur: ISTAC, edisi
kedua.
_____________________________. 2006. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam,
Pulau Pinang: Penerbit Universitas Sains Malaysia.
_____________________________. 1995 “Prolegomena to The Metaphysics of Islam”. Kuala
Lumpur: Prospecta.
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1980. Ihya’ ulum al-din. Beirut: Dar al-ma’rifah. Juz III.
____________________. 2008. Kimiya’ As-Sa’adah, dalam kitab, Rasa’il Al-Ghazali;Buku
Kedua, Terj. Kamran A Irsyadi Jakarta: Diadit Media.
Al-Haim, Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad. 1992. al-Tibyan fī Tafsīr Garīb al-Qur’ān.
al-Qāhirah: Dār al-Sahābah.
Al-Jauziah, Ibnu Qayyim. 1986. al-Rūh, Tahqiq: Sayyid Jamili, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
____________________. 2000. Ruh li Ibnil Qayyim; Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.
Al-Jīlāni, Abd al-Qādir. t.t. Al-Ghunyah lī Thālibi Tharīq al-Haq: fī al-Akhlāk wa al-Tashawuf
wa āl-Adab al-Islāmiyah,, Mishr: al-Maktabah al-Sya’biyah.
____________________. t.t. Sirr al-Asrār wa Mazhar al-Anwār, Mishr: Mathba’ah al-
Bahīyah al-Misrīyah.
Al-Jili, Abdul Karim. 1997. al-Insān al-Kāmil fī Ma’rifati al-Awākhir wa al-Awāil, Beirut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Syati’, Aisyah bint. 1999. Manusia dalam Perspektif al-Qur’an, terj. Ali Zawawi Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Barnadib, Imam. 1997. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Ofset.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1994. Dimensi Spritualitas Dalam Teori Psikologi, dalam
Ulumul Qur’an no. 4 vol. V.
_______________________. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______________________.‘1994. Dimensi Spiritual dalam Teori Psikologi Kontemporer:
Logoterapi Victor E. Frankal’, dalam Jurnal Ulum al-Qur`an, No.03, Vol. V.
Bastaman. 1994. “Dari Antroposentris ke Antropo-Religus-Sentris; Telaah Kritis atas
Psikologi Humanistik” Dalam Mengembangkan Paradigma Psikologi Islami,
Yogyakarta: Sipress.
Borchert, Donald M. (Ed). 2006. Encyclopedia of Philosophy. USA: Thomson Gale.
Daud, Wan Moh Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi dkk. Bandung : Mizan.
Freud, Sigmund. 1920. A General Introduction To The Psychoanalysis, Massachusetts: Clark
University.
Freud, Sigmund. 1958. On Creativity and Unconscious, New York: Harper & Row.
Fuad, Nashori. 2002. Agenda Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goldenson, Robert M. 1995. The Encyclopedia of Human Behavior, (New York: Doubleday
& Company.
Hamka, 2015. Tasawuf Modern, Jakarta: Republika.
Hamka, 2016. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Gema Insani.

100
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Hanack, Justus. 1968. Kant’s Theory of Knowledge, Pen. M. Holmes, London: Macmilan.
Hasan, Muhammad Tholchah. 2004. Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta:Listafariska
Putra.
Hasibuan, Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi
dari al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasibuan, Baharuddin. 2007. Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustakan Pelajar.
https://sinarpagiindonesia.com/2017/06/17/politikus-pdip-pendidikan-agama-diindonesia-
dihapus-saja-supaya-maju/
Husaini, Adian et. al. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani.
Kartono, Kartini. 1999. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Karzon, Dr. Anas Ahmad. 2010. “Tazkiyatun Nafs, Gelombang Penyucian Jiwa Menurut
Quran dan Sunnah”. Terj. Emiel Threeska. Jakarta : Akbar Media.
Kholil, Ahmad. 2007. Merengkuh Bahagia Perspektif Tasawuf dan Psikologi, Malang: UIN-
Maliki Press.
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif, Jakarta: Salemba
Humanika.
Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
Lindzey, Calvin S. Hall and Gardner. 1970. Theories of Personality, New York: John Wiley
and Sond. Cet.II.
Lucca, Jhon De (Ed.). 1972. Reason And Experience: Dialogues in Modern Philoshopy. San
Francisco: Freeman Cooper & CO. Dikutip dari buku : Maksum, Ali. 2003. Tasawuf
Sebagai Pembebasan Manusia Modern, Surabaya: Pustaka Pelajar.
Mahmud,Ali Abdul Halim. 2002. Pendidikan Ruhani. Jakarta : Gema Insani.
Malisi, M. Ali Sibram. 2012. Konsep Manusia dalam Al-Qur’an, Jurnal Tasamuh, Vol 4, No.
2.
Matsumoto, David. 2009. The Cambridge Dictionary Of Psychology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Mubarok, Ahmad. 2002. Pendakian Menuju Allah, Bertasawuf dalam Hidup Sehari-hari,
Jakarta: Khazanah Baru.
Muslih, M. Kholid et. Al. 2018. Worldview Islam: Pembahasan tetnttang Konsep-Konsep
Penting dalam Islam, Ponorogo: Pusat Islamisasi Ilmu dan UNIDA Gontor Press.
Mustafa. 2007. Perbedaan Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat dari Sudut Metodologi
Keilmuan. Jurnal IQRA’ Volume 3 Januari - Juni.
Nashori, Djamaludin Ancok dan Fuad. 1994. Psikologi Islami; Solusi Islam atas Problem-
Problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun, dalam Abdul Halim Soebahar. 2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam
.Jakarta: Kalam Mulia.
Quasem, M. Abul. 1988. Etika Al-Ghazali, terj. J. Mahyudin, Bandung: Pustaka.
Quthb, Muhammad. 1993. Manhāj al-Tarbiyah al-Islāmiyah. Mishr: Dār al-Syurūq.
Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Jakarta: Paramadina.
Reber, Arthur. 1985. Dictionary of Psychology, New York: Penguin Books.
Saefuddin, A.M. dkk. 2010. On Islamic Civilization ; Menyalakan Kembali Lentera Peradaban
Islam Yang Sempat Padam, Laode M. Kamaluddin (Ed), Semarang: UNISSULA
PRESS.
Schultz, D. 1972. Theories of Personality, California: Cole Publishing Company.
Shihab, M.Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Snowden, Ruth. 2000. Freud: A Beginner’s Guide, London: Hodder & Stoughton.
Statt, David A. 1998. The Concise Dictionary Of Psychology, New York: Routledge.

101
Jurnal At-Ta’dib Vol. 15. No 1, June 2020

Suralaga, Fadilah dkk. 2005. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN
Jakarta Press.
Susanto,A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah.
Syafi’ie, Imam. 1992. Konsep Guru Menurut Al-Ghazali; Pendekatan Filosofis Paedagogis,
Yogyakarta: Duta Pustaka.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islami ; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yazdi, Mishbah. 1381. Amuzesy ‘Aqaid. Qum: Syerkat-e Cap wa Nasyr-e Bain al-Milal.
Cetakan Ketujuh.

102

You might also like