Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 1:
1.
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 9:
1.
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk
melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d.
pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f.
Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.
Ketentuan Pidana
Pasal 113:
1.
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100. 000. 000 (seratus juta rupiah).
2.
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500. 000. 000,00 (lima ratus juta rupiah).
3.
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1. 000. 000. 000,00 (satu miliar rupiah).
4.
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4. 000. 000. 000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui
membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat
perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100. 000. 000,00 (seratus juta rupiah).
Tim Editor :
Novi Anoegrajekti
Heru S.P. Saputra
Titik Maslikatin
Sudartomo Macaryus
www.penerbitombak.com
2018
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
Copyright© Novi Anoegrajekti, dkk. 2018
Diterbitkan oleh Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI)
Komisariat Jember dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
bekerja sama dengan Penerbit Ombak, Desember 2018
Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55599
Tlp. 085105019945; Fax. (0274) 620606
e-mail: redaksiombak@yahoo. co. id
facebook: Penerbit OmbakTiga
www. penerbitombak. com
PO. 813. 12. '18
Editor: Novi Anoegrajekti, Heru S.P. Saputra, Titik Maslikatin, Sudartomo Macaryus
Tata letak: Aditya Pradana
Sampul: Tim Ombak dan Muhammad Zamroni
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2018
xvi+911 hlm.; 16 x 24 cm
ISBN: 978-602-258-507-7
DAFTAR ISI
Pengantar Editor ~ viii
Kata Pengantar Ketua Hiski Pusat ~ xi
Kata Pengantar Dekan FIB Universitas Jember ~ xiii
WACANA UTAMA
Prof. Dr. I.B. Putera Manuaba, M.Hum. ~ 3
Dr. Aprinus Salam, M.Hum. ~ 13
Prof. Dr. Djoko Saryono, M. Pd. dan Dr. Endah Imawati ~ 27
WACANA 1: SASTRA DAN MEDIA SOSIAL
1. Novi Anoegrajekti, Sunarti Mustamar, Sri Mariati ,
Sudartomo Macaryus ~ 43
2. Sukarno ~ 59
3. Romdhi Fatkhur Rozi ~ 76
4. Anicleta Yuliastuti dan Rommel Utungga Pasopati ~ 86
5. Muta’allim ~ 98
6. Agung Nurdianto ~ 112
7. R. Nidhom Muhamad ~ 127
8. Qurrotu Ayunin ~ 141
9. M. Minladun Hakim ~ 153
10. Ans Prawati Yuliantari ~ 164
11. Kholidatul Imaniyah ~ 157
WACANA 2: SASTRA DAN INDUSTRI KREATIF
1. Heru S.P. Saputra, Edy Hariyadi, Titik Maslikatin ~ 189
2. Bambang Aris Kartika ~ 200
3. Endang Waryanti dan Dini Novi Cahyati ~ 215
4. Umilia Rokhani ~ 228
5. Ika Febriani ~ 237
6. Zahratul Umniyyah ~ 252
7. Ifa Lathifah ~ 266
8. Yunita Anggraini ~ 273
9. Nailatul Iffah ~ 285
10. Imro’atus Sholiha ~ 296
v
vi
11.
12.
13.
14.
15.
16.
HISKI Komisariat Jember-FIB Universitas Jember
Mohammad Erlangga ~ 307
Antariksawan Jusuf ~ 318
Eko Sri Israhayu ~ 327
Ali Imron Al-Ma’ruf dan Farida Nugrahani ~ 339
Sarjinah Zamzanah ~ 350
Titik Maslikatin, Novi Anoegrajekti, Heru S.P. Saputra, Sri Mariati, Sunarti
Mustamar, Asri Sundari, Christanto Puji Raharjo, Zahratul Umniyyah,
Dewi Angelina ~ 364
WACANA 3: KELISANAN SEKUNDER, KOMIK, DAN SASTRA
PERJALANAN
1. Sudartomo Macaryus, Novi Anoegrajekti, Yanuar Nurdiansyah ~ 381
2. Basuki Sarwo Edi ~ 391
3. Muji ~ 406
4. Sukatman ~ 414
5. Andy Suryadi, Tsabit Azinar Ahmad, Nyenyep Dwi Prastowo ~ 433
6. Agus Purwati Ningsih ~ 446
7. Didik Hariyono ~ 459
8. Sulistiyowati ~ 466
9. Siti Jamilatul Maliha ~ 475
10. Noviarini Indah Astuti ~ 493
11. Achmad Naufal Irsyadi ~ 502
12. Wiwien Widyawati Rahayu ~ 514
13. Putut Handoko, dan Cahyaningsih Pujimahanani ~ 522
14. Nur Fauzan Ahmad ~ 533
15. Tantrie Leonita ~ 547
16. Hat Pujiati, Irana Astutiningsih, Eko Suwargono ~ 559
WACANA 4: BAHASA, BUDAYA, DAN PENDIDIKAN BERBASIS MEDIA
1. Kusnadi ~ 577
2. Bambang Wibisono ~ 594
3. Mutmainnah dan Iqbal Nurul Azhar ~ 610
4. Sainul Hermawan ~ 623
5. Asrumi ~ 631
6. Retno Winarni, Nurhadi Sasmita, Sunarlan, Mrs. Ratna Endang Widuatie,
Tri Chandra Aprianto ~ 643
7. Latifatul Izzah, Suharto, Neneng Afiah ~ 657
8. Akhmad Sofyan, Panakajaya Hidayatullah, Ali Badrudin ~ 669
9. Mei Artanto, Panakajaya Hidayatullah, Sigit Setiawan ~ 689
10. Sukapti ~ 698
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Asri Sundari ~ 710
Didik Suharijadi, A. Erna Rochiyati S., Budi Suyanto ~ 723
Endang Komsatun dan Mochammad Darwis ~ 733
Ilzam Mahfudurido ~ 749
Abdul Wahid ~ 762
Selamet Supriyadi ~ 777
Chrisdianto Wibowo Kamandoko ~ 789
Pipiet Palestin Amurwani ~ 800
Alivia Davy Ratu Pericha ~ 808
Mainike Silvi Rety Badian ~ 824
Tri Iriani dan Mochammad Darwis ~ 837
Agustina Dewi S., Akhmad Sofyan, Dewi Angelina ~ 850
Ekna Satriyati ~ 861
Soekma Yeni Astuti dan Selly Kurniawan ~ 872
Bayu Mitra A. Kusuma dan Theresia Octastefani ~ 890
INDEKS ~ 900
vii
MELAWAN ASIMILASI BUDAYA:
BAHASA MELAYU SEBAGAI BASIS
PERLAWANAN SOSIAL DAN POLITIK
IDENTITAS DI THAILAND SELATAN
Bayu Mitra A. Kusuma dan Theresia Octastefani
Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs)
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS)
Universitas Gadjah Mada
bayu.kusuma@uin-suka.ac.id
theresiaoctastefani@ugm.ac.id
Abstrak
Thailand adalah sebuah negara monarki di Mainland Asia
berpenduduk mayoritas etnis Thai beragama Budha dan sebagian
kecil etnis Melayu beragama Islam. Pada umumnya, Melayu Muslim
di Thailand tinggal di wilayah selatan atau eks Kesultanan Patani
Raya. Sebagai kelompok minoritas, Melayu Muslim di Thailand
dalam catatan sejarahnya kerap mendapatkan diskriminasi di
berbagai aspek. Salah satu bentuk diskriminasi terberat adalah
kebijakan asimilasi budaya yang diterapkan secara paksa sejak rezim
Jenderal Phibul Songkhram, dimana dalam kebijakan tersebut Thai
Budha ditetapkan sebagai budaya dan identitas tunggal. Kebijakan
tersebut membawa konsekwensi berupa larangan penggunaan
nama, bahasa, dan identitas Melayu lainnya. Bahkan Bahasa Melayu
dilarang digunakan terutama di sektor formal seperti bahasa
pengantar sekolah dan instansi pemerintah. Kondisi tersebut
mengakibatkan masyarakat Melayu Muslim melakukan perlawanan
sosial yang kemudian direspon secara represif oleh pemerintah
hingga menimbulkan konflik berkepanjangan. Situasi tersebut tak
berubah hingga rezim Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang juga
mengeluarkan statement menyudutkan penggunaan bahasa Melayu.
Dalam konflik tersebut, Melayu Muslim bukan hanya menggunakan
bahasa sebagai sarana perlawanan sosial, namun juga sebagai simbol
politik identitas untuk menunjukkan eksistensi bahwa mereka tetap
mampu bertahan di tengah berbagai tekanan.
Kata kunci: asimilasi budaya, bahasa melayu, perlawanan sosial,
politik identitas
890
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
891
A. PENDAHULUAN
Thailand adalah sebuah negara berbentuk monarki yang secara geografis
terletak di antara benua Australia dan daratan mainland Asia. Kondisi geografis
tersebut membuat posisi Thailand menjadi strategis dan mudah dijangkau
untuk kegiatan perdagangan maupun penyebaran agama di masa lampau.
Mayoritas penduduk Thailand beragama Budha aliran Theravada. Sedangkan
sebagian kecil lainnya memeluk agama Islam dan Konghucu. Meskipun
Islam di Thailand merupakan agama minoritas yang populasinya kurang
dari lima persen penduduk, namun Islam di Thailand merupakan minoritas
yang berkembang cepat (Aphornsuvan, 2003:3). Populasi Muslim Melayu di
Thailand mayoritas berada di wilayah selatan meliputi Provinsi Pattani, Yala
dan Narathiwat ditambah dengan sebagian Satun dan Songkhla. Atau dengan
kata lain mereka umumnya tinggal di wilayah eks Kesultanan Patani Raya yang
pernah berdaulat sebelum dianeksasi oleh Kerajaan Siam. Wilayah tersebut di
era modern berbatasan langsung dengan negara Malaysia.
Relasi mayoritas dan minoritas di berbagai belahan dunia sangatlah
dinamis sekaligus rentan terhadap munculnya konflik, tak terkecuali pada
kehidupan masyarakat Muslim. Di Timur Tengah misalnya, pada masa awal
Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam, Muslim sebagai kelompok
minoritas yang mendapatkan perlakuan represif di kota Makkah memutuskan
hijrah ke Abyssinia dan Madinah (Siddiqi, 2006). Adapun di Asia Tenggara,
kawasan Thailand Selatan yang menjadi basis masyarakat Melayu Muslim
juga merupakan sebuah daerah rawan konflik dengan latar belakang gesekan
budaya. Apalagi Thailand beberapa kali dipimpin oleh rezim perdana menteri
yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat Melayu Muslim, meskipun
sebenarnya harus diakui juga bahwa Thailand memiliki raja yang dipandang
bijaksana seperti Bhumibol Adulyadej yang dua tahun lalu mangkat. Namun
perlu diingat bahwa dalam sistem monarki konstitusional atau monarki yang
tidak absolut, raja adalah seorang kepala negara yang berfungsi sebagai simbol,
sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri.
Salah satu rezim perdana menteri yang paling diskriminatif bahkan represif
adalah rezim Jenderal Phibul Songkhram dimana masyarakat Melayu Muslim
dipaksa menjalankan kebijakan asimilasi budaya (Mahmud, 2004:2). Dalam
kebijakan asimilasi tersebut Melayu Muslim dipaksa untuk menanggalkan
identitas mereka dan mengganti dengan segala bentuk identitas bercorak Thai.
Salah satu dampak yang paling mencolok dari kebijakan asimilasi budaya sang
jenderal adalah Bahasa Melayu yang merupakan bahasa ibu dari masyarakat
setempat dilarang untuk digunakan, terutama dalam hal-hal yang sifatnya
formal seperti bahasa pengantar pelajaran di sekolah dan dalam sistem
administrasi pemerintahan. Dilarang menggunakan bahasa ibu yang telah
892
HISKI Komisariat Jember-FIB Universitas Jember
digunakan secara turun temurun secara sepihak dan mendadak, masyarakat
Melayu Muslim pun kemudian melakukan perlawanan untuk membela
etnisnya yang dirugikan.
Berdasarkan kronologi peristiwa di atas dapat dilihat bahwa dalam
perjalanan sejarahnya Bahasa Melayu telah menjadi basis perlawanan sosial
dan sarana memperkuat politik identitas masyarakat lokal. Karena itu menjadi
menarik untuk menelisik secara lebih detail tentang bagaimanakah masyarakat
Melayu Muslim minoritas di Thailand Selatan melawan kebijakan asimilasi
budaya yang diterapkan oleh rezim penguasa. Serta kemudian bagaimanakah
bentuk perlawanan sosial dan politik identitas yang mereka lakukan untuk
mempertahankan budaya mereka seperti penggunaan Bahasa melayu dalam
berbagai aktivitas sehari-hari.
Terkait kajian ini, ada beberapa penelitian terdahulu yang layak menjadi
rujukan. Pertama, penelitian Phaosan Jehwae (2014) dari Fatoni University yang
menyatakan bahwa dasar pendidikan menurut konstitusi Kerajaan Thailand
tidak memperbolehkan penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan
bahasa pengantar dalam semua mata pelajaran. Bahasa Melayu hanya sedikit
diangkat penggunaannya dalam konteks kepentingan politik Kerajaan Thailand,
sebagai bagian dari upaya menjaga kestabilan politik di Thailand Selatan.
Kedua, penelitian dari Suwilai Premsrirat (2008) dari Mahidol University yang
memberikan pernyataan bahwa banyak ketakutan terjadi di Thailand selatan
bahwa pendidikan umum akan digunakan untuk menhancurkan bahasa lokal
dan identitas agama. Salah satu strategi agar ketakutan tersebut tidak muncul
berlebihan adalah dengan mengupayakan adanya program bilingual atau dual
bahasa. Namun itupun baru sebatas digunakan di tingkat lokal, tidak untuk
diangkat ke tingkat nasional. Ketiga, penelitian yang merupakan tesis doktoral
dari Norizah Binti Ardi (2005) di Universiti Malaya yang mengemukakan bahwa
Bahasa Thai digunakan sebagai bahasa resmi dan bahasa kenegaraan, sedangkan
Bahasa Melayu hanya digunakan secara terbatas dalam lingkup kekeluargaan
dan keagamaan saja. Adapun positioning kajian ini terhadap beberapa penelitian
terdahulu tersebut adalah mencoba untuk mengungkap aspek yang belum
banyak diungkap, yaitu penggunaan Bahasa Melayu sebagai basis perlawanan
sosial dan politik identitas.
B. MUSLIM DI THAILAND: ANTARA DUA KELOMPOK
BESAR
Secara umum Islam memang merupakan agama mayoritas di Asia
Tenggara dengan kantong utama berada di wilayah kepulauan seperti
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Akan tetapi sebaliknya, Islam
adalah agama minoritas di mainland Asia yang telah dihuni oleh penganut
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
893
Hindu dan Budha jauh sebelum Islam datang sekitar abad ke-9 (Aphornsuvan,
2003:7). Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal kajian ini bahwasanya
Muslim Melayu di Thailand mayoritas hidup di wilayah selatan terutama
Provinsi Pattani sebagai kantong utama. Bahkan di Provinsi Pattani saja,
populasi Muslim mencakup 80% dari keseluruhan Muslim di seluruh wilayah
Thailand (Kusuma dan Octastefani, 2016:34).
Dalam perkembangan kehidupannya, masyarakat Muslim di Thailand
dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu golongan yang terasimilasi
(assimilated group) dan golongan yang tidak terasimilasi (unassimilated group).
Assimilated group adalah golongan yang terasimilasi atau berbaur dengan
kaum mayoritas yaitu masyarakat Thai Budha dalam berbagai bidang tatanan
kehidupan kecuali masalah keagamaan. Mereka berdiaspora ke berbagai
wilayah Thailand secara dinamis. Sedangkan unassimilated group adalah
golongan masyarakat Muslim yang tidak berbaur dengan Thai Budha. Mereka
hanya bergaul dengan komunitasnya sendiri di Thailand Selatan dengan alasan
mereka harus menjaga kultur Melayu Islam pada berbagai aspek seperti nama,
bahasa, dan adat istiadat. Mereka berpikir bahwa pergaulan dengan komunitas
lain dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap eksistensi budaya asli
mereka.
Alasan dari kondisi tersebut dapat dilacak secara historis. Namun
sebelumnya kita perlu memahami terlebih dahulu perbedaan antara Pattani
dan Patani. Pattani (dengan dua huruf t) berarti sebagai sebuah provinsi di
negara Thailand modern, sedangkan Patani (dengan satu huruf t) berarti
sebuah kesultanan berdaulat sebelum dianeksasi oleh Kerajaan Siam. Pada
saat itu Kerajaan Siam terus menerus berusaha menguasai Patani dengan
agresi namun selalu gagal. Sampai pada pemerintahan Sultan Muzhaffar,
Kesultanan Patani menuju zaman keemasannya sehingga semakin menarik
Siam untuk kembali menyerang dan akhirnya dapat menguasainya setelah
perang bertahun-tahun (Alwi, 2011:139-140). Kerajaan Siam memiliki ambisi
besar untuk menganeksasi wilayah Kesultanan Patani karena merupakan
daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah sekaligus strategis sebagai
bandar perniagaan, bahkan hingga saat inipun kita masih bisa melihat sisa-sisa
kebesaran Patani sebagai pelabuhan yang ramai. Dari aneksasi inilah awal mula
benturan yang melibatkan kelompok etnis Melayu Muslim dengan kebijakan
represif rezim penguasa Thailand dimana benturan tersebut masih terjadi
sampai saat ini berupa darurat militer.
894
HISKI Komisariat Jember-FIB Universitas Jember
C. REZIM PHIBUL SONGKHRAM DAN THAKSIN
SHINAWATRA
Kebijakan asimilasi budaya di Thailand mulai diberlakukan pada saat
Jenderal Phibul Songkhram menjabat sebagai perdana menteri dalam
kurun waktu 1938-1944 dan 1947-1957. Kebijakan paling chauvinistik oleh
Songkhram dijalankan pada termin pertama kekuasaan pemerintahannya,
saat dia mengubah nama Kerajaan Siam menjadi Kerajaan Thai (Suaedy,
2018:117). Kebijakan asimilasi budaya ini dipandang oleh Songkhram sebagai
kebijakan nasionalisasi budaya Thailand dan menjadi kebijakan primer
negara. Songkhram berpandangan bahwa nasionalisme harus diciptakan
dari kesamaan yang tunggal dan meniadakan perbedaan. Dalam kebijakan
asimilasi budaya ala Songkhram, Bahasa Thai menjadi elemen penting yang
diasimilasikan ke seluruh penjuru Thailand, termasuk di wilayah selatan
yang kemudian menciptakan resistensi dari masyarakat Melayu Muslim yang
berbahasa Melayu sebagai alat komunikasi sehari-harinya (Kusuma, 2015:11).
Pelarangan penggunaan Bahasa Melayu di sektor formal mengakibatkan
banyak Melayu Muslim yang gagal masuk sekolah negeri untuk mengakses
pendidikan. Kalaupun ada yang berhasil masuk, di dalam sekolah pun
masyarakat Melayu Muslim dilarang menggunakan bahasa Melayu dalam
percakapan sehari-hari di luar jam pelajaran sekalipun. Hal yang sama
juga terjadi bila seorang Melayu Muslim ingin masuk ke dalam birokrasi
pemerintahan negara. Bukan hanya bahasa yang harus berubah, nama pun
bahkan harus disesuaikan dengan menginternalisasikan unsur Thai, mirip
dengan kebijakan terhadap etnis Tionghoa pada masa Orde Baru Soeharto
di Indonesia. Kebijakan Songkhram tersebut didukung oleh sistem politik
di Thailand yang absolut. Sistem tersebut dalam pemerintahan Thailand
disebut dengan “politik birokrasi” dimana rezim penguasa memiliki hak untuk
mengontrol seluruh aspek kehidupan Melayu Muslim secara ketat. Namun
kebijakan tersebut tak lantas membuat masyarakat lokal menurut begitu saja.
Justru Bahasa Melayu menjadi simbol perlawanan sosial yang menolak tunduk
pada kebijakan sepihak rezim penguasa. Perlawanan sosial tersebut, baik
yang berupa perlawanan bersenjata maupun perundingan, terus berlangsung
hingga saat ini.
Rezim perdana menteri Thailand lainnya yang juga sangat diskriminastif
terhadap Melayu Muslim adalah Thaksin Shinawatra. Seorang konglomerat
media telekomunikasi yang kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai
perdana menteri pada tahun 2001 sampai 2006 sebelum digulingkan
oleh kudeta militer. Meskipun pada faktanya Shinawatra berjasa dalam
pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
wilayah selatan Thailand, namun fakta tersebut ternoda oleh tindakannya
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
895
sendiri. Shinawatra mencetuskan dua statemen kontroversial bahwa: pertama,
orang Thailand adalah mereka yang beragama Budha. Kedua, kalaupun tidak
beragama Budha mereka harus menggunakan bahasa Thai. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa menurutnya apabila seseorang memeluk agama
Islam, orang tersebut baru bisa disebut orang Thai hanya jika menggunakan
bahasa Thai dalam kesehariannya. Sedangkan apabila seseorang beragama
Budha, menggunakan bahasa apapun tetaplah dianggap sebagai orang Thai.
Dengan demikian jelas bahwa mereka yang beragama Islam dan menggunakan
Bahasa Melayu dalam kesehariannya akan menjadi warga negara yang tersisih.
Di bawah rezim Shinawatra pula darurat militer kembali diberlakukan di
wilayah selatan meliputi tiga provinsi dengan mayoritas Muslim dan belum
dicabut hingga saat ini.
D. BAHASA MELAYU SEBAGAI BASIS PERLAWANAN
Bahasa merupakan salah satu unsur yang menunjukkan sebuah identitas
jati diri seseorang atau sekelompok orang agar orang lain dapat mengenalnya
dengan mudah. Bahasa juga memiliki peranan penting dalam kehidupan
manusia, dimana bahasa membantu seseorang membentuk struktur dasar
persepsi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi seharihari. Sejak dahulu, masyarakat Muslim di Thailand Selatan mempunyai satu
bahasa yang menjadi identitas mereka yaitu bahasa Melayu Patani – atau oleh
sebagian masyarakat lokal disebut Bahasa Jawi (perpaduan Arab-Melayu) –
yang memiliki beberapa perbedaan dialek sesuai dengan lokasi masing-masing.
Rezim penguasa Thailand selalu menggunakan alasan nasionalisme
versi mereka dalam menjalankan kebijakan asimilasi budaya dengan berbagai
cara. Namun masyarakat Muslim Melayu juga memiliki berbagai cara untuk
melakukan perlawanan sosial dalam rangka mempertahankan eksistensi
Bahasa Melayu. Mereka memiliki jargon “hilang bahasa hilanglah bangsa”.
Salah satu contoh adalah eksistensi Majalah Azan, sebuah majalah berbahasa
Melayu dengan tulisan aksara Jawi sebagai bahasa pengantarnya. Majalah ini
mewarnai kehidupan sosial Melayu Muslim di Thailand Selatan sejak tahun
1975. Terbitnya majalah tersebut berkat sekumpulan jurnalis dan intelektual
Melayu yang memiliki kesadaran cinta akan bahasanya. Mereka mengumpul
berbagai artikel dan kemudian mencetaknya untuk dipasarkan dengan target
penjualan masyarakat Melayu Muslim. Meskipun harus diakui bahwa editing
dan layout dari Majalah Azan ini secara kualitas masih belum sempurna dan
tertinggal cukup jauh dari media cetak lainnya di Thailand. Namun setidaknya
keberadaan dari majalah ini mampu menunjukkan bahwa masyarakat Melayu
Muslim mampu memberikan perlawanan sebagai kontra narasi dari kampanye
nasionalisme versi rezim penguasa.
896
HISKI Komisariat Jember-FIB Universitas Jember
Majalah ini banyak membahas tentang pemikiran-pemikiran sosial
maupun spiritual oleh para intelektual Melayu Muslim terkait perlawanan
terhadap upaya pemerintah menghapus Bahasa Melayu di dunia pendidikan
baik di sekolah negeri maupun sekolah keagamaan Islam untuk diganti dengan
Bahasa Thai dengan tujuan menghasilkan generasi penerus masa depan yang
berkomunikasi dengan Bahasa Thai sebagai identitas nasional. Perlawanan
masyarakat Melayu Muslim terhadap kebijakan rezim penguasa merupakan
bagian dari upaya menyelamatkan identitas etnisitas sekaligus religiusitas
mereka. Mereka khawatir masuknya kurikulum Thai ke dalam sistem
pendidikan agama Islam akan mengakibatkan historitas Melayu Muslim
terlupakan di dalam masyarakatnya sendiri (Feigenblatt, 2010:57). Dominasi
Bahasa Thai dan dihilangkannya Bahasa Melayu akan membuat etnis ini krisis
identitas di masa depan. Oleh karena itu keberadaan Majalah Azan menjadi
sangat bermakna. Persebaran majalah ini berguna untuk menyampaikan
pemikiran para intelektual kepada masyarakat secara luas. Dengan demikian
diharapkan kesadaran untuk mempertahankan eksistensi Bahasa Melayu
dapat dimiliki oleh seluruh masyarakat Muslim Melayu sehingga kekuatan
perlawanan sosial menjadi semakin besar.
Konflik di Thailand Selatan ini selain berbicara tentang perlawanan sosial
juga erat kaitannya dengan politik identitas, dimana terjadi benturan pengaruh
antar kelompok disebabkan kebijakan diskriminatif yang menimbulkan
kekerasan dan konflik etnis (Kusuma, 2017:44). Atau dengan bahasa yang
lebih mudah, politik identitas selalu terkait dengan rasisme, bio-feminis dan
lingkungan (Heller dalam Abdillah, 2002:22). Terbukti dengan munculnya
kelompok-kelompok yang ingin membawa Pattani menjadi negara merdeka
terpisah dari Kerajaan Thailand seperti Barisan Revolusi Nasional (BRN)
dan Patani United Liberation Organization (PULO). Meskipun masih perlu
diperjelas kembali adalah apakah organisasi-organisasi itu benar-benar ingin
memisahkan diri secara politik, atau apakah mereka hanya menggunakan isu
pemisahan negara supaya memicu rakyat kecil untuk bangkit dengan memakai
senjata, padahal tujuan asli organisasi hanya untuk mendapatkan keuntungan
dalam bernegosiasi (Aeusrivongse, 2005).
Apa yang terjadi terhadap minoritas Melayu Muslim di Thailand dapat
dikatakan sebagai kekerasan kultural. Kekerasan kultural yang dimaksud
adalah aspek budaya, ranah simbolik eksistensi kita – ditunjukkan oleh
agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan yang bersifat empirik
dan ilmu pengetahuan yang bersifat formal – yang dapat digunakan untuk
menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau struktural (Galtung,
2003:429). Perubahan sosial dan lingkungan akibat kebijakan asimilasi
budaya berdampak buruk terhadap kehidupan Melayu Muslim. Bahkan dapat
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
897
dikatakan bahwa kebijakan asimilasi budaya adalah suatu bentuk perang
psikologis untuk melemahkan moral spirit masyarakat Melayu Muslim dalam
mempertahankan eksistensi budayanya.
Namun dibalik semua fakta tersebut, ada sebuah berita menggembirakan,
belakangan ini muncul upaya-upaya yang bagus dari sejumlah kalangan
pemuda dan mahasiswa Melayu Muslim Thailand. Mereka nampak gusar dan
lelah dengan konflik berkepanjangan yang telah berlangsung sangat lama.
Para mahasiswa yang aktif menggelar pertemuan untuk membahas masalahmasalah kebangsaan itu mendesak kedua belah pihak untuk segera bertemu
dalam satu meja dan menciptakan kesepakatan perdamaian permanen yang
dapat diterima kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat Melayu
Muslim. Hasilnya, walaupun masih dalam keadaan terdesak, Bahasa Melayu di
Thailand Selatan terus bertahan dan menampakkan masa depan yang sedikit
cerah. Sebagai contoh, Bahasa Melayu juga mendapat tempat di beberapa
universitas di Thailand. Tentu kita semua berharap solusi damai dapat segera
terwujud agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap Melayu Muslim di Thailand
Selatan dan Bahasa Melayu terus eksis sebagai khazanah kekayaan bahasa di
Thailand khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya.
E. SIMPULAN
Bahasa adalah salah satu unsur penting untuk menunjukkan sebuah
identitas atau jati diri. Seperti masyarakat Muslim di Thailand Selatan yang
menggunakan Bahasa Melayu sebagai identitas etnisnya. Namun eksistensi
bahasa tersebut terancam seiring munculnya kebijakan asimilasi budaya yang
mulai diberlakukan sejak rezim Jenderal Phibul Songkhram. Sang jenderal
berpandangan bahwa nasionalisme harus diciptakan dari kesamaan yang
tunggal. Dalam kebijakan tersebut, Bahasa Thai menjadi elemen penting yang
diasimilasikan termasuk di wilayah selatan hingga menciptakan resistensi.
Rezim lainnya yang juga sangat diskriminastif adalah Thaksin Shinawatra
dimana dia mencetuskan statemen kontroversial yang secara tidak langsung
menyatakan bahwa mereka yang beragama Islam dan menggunakan Bahasa
Melayu dalam kesehariannya menjadi warga negara yang tersisih.
Rezim penguasa selalu menggunakan nasionalisme versi mereka sebagai
alasan dalam menjalankan kebijakan asimilasi budaya. Masyarakat Melayu
Muslim pun melawan dengan berbagai cara untuk mempertahankan eksistensi
bahasa ibu mereka seperti melalui penerbitan Majalah Azan, sebuah majalah
berbahasa Melayu dengan tulisan aksara Jawi. Meskipun kualitas editing
dan layout dari majalah ini tertinggal cukup jauh dari media cetak lainnya
di Thailand, namun keberadaan majalah ini mampu menunjukkan bahwa
masyarakat Melayu Muslim mampu melawan sebagai kontra narasi dari
898
HISKI Komisariat Jember-FIB Universitas Jember
kampanye nasionalisme versi rezim penguasa. Hal ini agar masyarakat Melayu
Muslim memiliki kesadaran bersama untuk mempertahankan eksistensi
bahasanya. Selain tentang perlawanan sosial, masalah ini juga erat kaitannya
dengan politik identitas yang dibuktikan dengan munculnya kelompokkelompok yang ingin membawa Pattani menjadi negara merdeka seperti
BRN dan PULO. Namun perlu perlu diperjelas kembali motif mereka untuk
memisahkan diri secara politik, antara mempertahankan identitas Melayu
atau sebatas mencari keuntungan dari proses negosiasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera.
Aeusrivongse, Nidhi. 2005. “Pemahaman terhadap Situasi di Thailand Selatan
Melalui Perspektif Pemberontakan Seributahunan.” Dalam Kyoto
Review of Southeast Asia Issue 6.
Alwi, Al-Habib. 2001. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta: Lentera
Basritama.
Aphornsuvan, Thanet. 2003. History and Politics of the Muslim in Thailand.
Bangkok: Thammasat University.
Ardi, Norizah Binti. 2005. “Sikap Terhadap Bahasa Melayu dan Penggunaannya
di Kalangan Pelajar Universiti di Selatan Thailand.” Tesis Doktoral,
Kuala Lumpur: Universiti Malaya.
Feigenblatt, Otto von. 2010. “The Muslim Malay Community in Southern
Thailand: A Small People Facing Existential Uncertainty.” Ritsumeikan
Journal of Asia Pacific Studies Vol. 27.
Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan
dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.
Jehwae, Phaosan. 2014. “Dilema Bahasa Melayu Sebagai Bahasa Pengantar
Pembelajaran di Pondok Pesantren Patani Thailand Selatan.” Dalam
Ta’dib: Journal of Islamic Education Vol. XIX No. 2.
Kusuma, Bayu Mitra A. 2017. “Islam, Asymmetric Policy, and Social Conflicts:
The State’s Role as a Root of Radicalism in the Philippines and Thailand.”
Dalam IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies Vol. 1 No.
1.
Kusuma, Bayu Mitra A. dan Octastefani, Theresia. 2016. “Patani United
Liberation Organization: From Jihad to Local Politics Movement.”
Dalam The Indonesian Journal of Public Administration Vol. 2 No. 1.
Kusuma, Bayu Mitra A. 2015. “Dialectics of Islam, Politics and Government in
SASTRA DAN PERKEMBANGAN MEDIA
899
Southeast Asian Countries: A Comparison of Indonesia and Thailand”,
dipresentasikan di 6th Graduate School of UIN Sunan Kalijaga and Georg
August Universitat Gottingen Joint International Conference on Islamic
Studies Revisited, Yogyakarta, 27-30 Oktober.
Mahmud, Nik Anuar Nik. 2004. Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1885-1954,
Negeri Sembilan: Saremban.
Premsrirat, Suwilai. 2008. “Language for National Reconciliation: Southern
Thailand”, dalam Enabling Education Network Issue 12.
Siddiqi, M. Yasin Mazhar. 2006. The Prophet Muhammad SAW: A Role Model for
Muslim Minorities, Leicestershire: The Islamic Foundation.
Suaedy, Ahmad. 2018. Islam, Minorities, and Identity in Southeast Asia. Depok:
Inklusif Cideq dan ISAIs UIN Sunan Kalijaga.
INDEKS
INDEKS NAMA PENULIS
A
Afiah, Neneng 657
Ahmad, Nur Fauzan 533
Ahmad, Tsabit Azinar 433
Al-Ma’ruf, Ali Imron 299, 339, 349
Amurwani, Pipiet Palestin 800
Angelina, Dewi S. 364, 850
Anggraini, Yunita 273
Anoegrajekti, Novi 43, 193, 194, 199,
364, 381
Artanto, Mei 689
Asrumi 631
Astuti, Noviarini Indah 493
Astuti, Soekma Yeni 872
Astutiningsih, Irana 559
Ayunin, Qurrotu 141
Azhar, Iqbal Nurul 610
B
Badian, Mainike Silvi Rety 824
Badrudin, Ali 669
C
Cahyati, Dini Novi 215
D
Darwis, Mochammad 733, 837
E
Edi, Basuki Sarwo 391
Erlangga, Mohammad 307
F
Febriani, Ika 237
H
Hakim, M. Minladun 153
Handoko, Putut 522, 531
Hariyadi, Edy 189
Hariyono, Didik 459
Hariyono, Didik 459
Hat Pujiati 559
Hermawan, Sainul 623
Hidayatullah, Panakajaya 669, 689
I
Iffah, Nailatul 285
Imaniyah, Khilidatul 175
Iriani, Tri 837
Irsyadi, Achmad Naufal 502
Israhayu, Eko Sri 327
Izzah, Latifatul 657
Jusuf, Antariksawan 318, 324
K
Kamandoko, Chrisdianto Wibowo 789
Kartika, Bambang Aris 200
Komsatun, Endang 733
Kurniawan, Selly 872
Kusnadi 219, 225, 577
Kusuma, Bayu Mitra A. 890
Lathifah, Ifa 266
Leonita, Tantrie 547
M
Macaryus, Sudartomo 43, 193, 194, 199,
381, 431
Mahfudurido, Ilzam 749
Maliha, Siti Jamilatul 475
Mariati, Sri 43, 364
Maslikatin, Titik 189, 364
Muhamad, R. Nidhom 127
Muji 406
Mustamar, Sunarti 43, 364
Muta’allim 98
Mutmainnah 610
N
Ningsih, Agus Purwati 446
Nugrahani, Farida 339
Nurdianto, Agung 112
Octastefani, Theresia 890
P
Pasopati, Rommel Utungga 86
Pericha, Alivia Davy Ratu 808
Pujimahanani, Cahyaningsih 522
900
ISBN 602-258-507-4
9 786022 585077