Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
FENOMENOLOGI Tugas mata kuliah Integrasi Islam dan Sains Tuti Marlina 14760006 PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan hidayah serta karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju ajaran penuh berkah yakni Agama Islam. Pada kesempatan kali ini, penulis akan menyusun makalah untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Integrasi Islam dan Sains yang dibimbing oleh Dr. H. Ahmad Khudori Saleh, M.Ag. penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan kita tentang rasionalisme serta mendapatkan barakah dari ilmu yang kita dapatkan. Serta tidak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen pembimbing dan semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini. Semoga amal baik kita mendapat balasan dari-Nya. Untuk terakhir kalinya, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharap kririk dan saran yang bersifat membangun, sehingga makalah ini bisa menambah kemanfaatan. Malang, 13 Desember 2014 Penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar isi ii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang iii Topik Pembahasan v Tujuan Penulisan Makalah v BAB II PEMBAHASAN Pengertian Fenomenologi 1 Kesadaran yang Terarah pada Kenyataan 3 Fenomenologi sebagai Metode dalam Filsafat Husserl 4 Fenomenologi sebagai Ajaran 13 Realisme dan Idealisme dalam Ajaran Husserl 22 BAB III PENUTUP Kesimpulan 27 DAFTAR PUSTAKA 29 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini. Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu – individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog. Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu kata saja sudah dapat memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai. Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan. Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Berdasar asumsi ontologis, penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami fenomena atau realitas tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi antara subjek dengan realitas akan dikaji melalui sudut pandang interpretasi subjek. Sementara itu dari sisi aksiologis, nilai, etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam pengungkapan makna akan interpretasi subjek. http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi Dalam makalah ini, penulis akan berusaha mengugkap faham fenomenologi dari tokohnya (Husserl). Agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Topik Pembahasan Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka topik pembahasan yang akan dikaji dalam makalah ini berkaitan tentang: Apa Pengertian Fenomenologi? Bagaimana Kesadaran yang Terarah pada Kenyataan? Bagaimana Metode yang digunakan oleh Husserl? Bagaimana Fenomenologi sebagai Ajaran? Bagaimana Realisme dan Idealisme dalam Ajaran Husserl? Tujuan Penulisan Makalah Sesuai dengan topik pembahasan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah: Dapat mengertahui pengertian Fenomenologi. Mengetahui Kesadaran yang Terarah pada Kenyataan. Mengetahui Metode yang digunakan oleh Husserl. Mengetahui bagaimana Fenomenologi sebagai Ajaran. Mengetahui Realisme dan Idealisme dalam Ajaran Husserl. BAB II PEMBAHASAN Pengertian Fenomenologi Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam Bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta:Kencana, 2005) hal. 179 Fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata atau semu. Kebalikannya kenyataan. Juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti di atas berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu harus di amati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak harus berupa kejadian-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya. Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berfikir yang kritis. Pemikiran yang demikian besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945 dalam bidang ilmu pengetahuan positif. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2001) hal. 122 Dalam dunia filsafat sering dipakai kata fenomenon. Namun pemakaian kata fenomenon itu sekaligus juga dipakai dalam berbagai macam arti. Dr. Harun Hadiwijono mencatat adanya berbagai pemakaian kata “fenomenon” dan juga berbagai arti yang diberikan terhadap pemakaian kata itu. Pertama, kata fenomenon atau gejala dapat dipertentangkan dengan “kenyataan”. Fenomenon bukanlah hal yang nyata, tetapi hal yang semu. Dengan demikian kata fenomenon berarti “semu”. Kedua, kata fenomenon dapat dipakai sebagai lawan “bendanya sendiri”. Dengan demikian fenomenon atau gejala berarti “penampakan”. Sebagai contoh, penyakit (bendanya sendiri) menampakkan diri pada gejala demam, panas atau pilek. Ketiga, kata fenomenon dapat dipakai untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang dapat diamati dengat alat indra. Dalam arti ini kata fenomenon dipakai dalam ilmu pengetahuan. Di dalam filsafat fenomenologi ketiga arti fenomenon yang dikemukakan di atas tidak dapat dipakai. Tiga arti fenomenon itu tidak sesuai dengan arti fenomenon sebagaimana dimaksudkan oleh para penganut filsafat fenomenologi. Koento Wibisono, dkk. Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta:Universitas Terbuka, Depdikbud, 1994) hal. 9.13-9.14 Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sachen (to the things). Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri. Akan tetapi “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat sendirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenchau, melihat (secara intuitif) hakikat gejal-gejala. Juhaya S. Praja, Ibid., hal. 179-180. Yang perlu dijelaskan di sini adalah masalah dapat diketahuinya fenomen itu. Menurut para filsuf penganut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus diamati dengan indra. Fenomen dapat juga “dilihat” secara rohani, tanpa lewat indra. Demikian pula fenomen tidak perlu berupa suatu peristiwa. Menurut Dr. Harun Hadiwijono, menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas dihadapan kita. Perlu dicatat di sini –sebagai perbandingan- pemakaian fenomen oleh filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804): Menurut Kant, yang dapat dikenal manusia hanyalah fenomenon dan bukan numenon. Manusia hanya mengenal fenomen-fenomen dan bukan realitas itu sendiri (Bahasa Jerman das Ding an sick). Bagi Kant dan juga para penganut Empirisme Inggris, yang tampak bagi manusia ialah semacam tirai yang menyelubungi kenyataan di belakangnya. Yang dapat dikenal manusia adalah pengalaman batinnya sendiri, sebagai akibat dari kenyataan di luar diri manusia yang tidak dapat diketahui. Bagi Kant, fenomen adalah sesuatu yang menunjuk kepada realitas, yang tidak dikenal in se (pada dirinya). Kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas. Filsafat fenomenologi dewasa ini sangat terkenal dan terutama disekitar tahun 50-an. Para filsuf eksistensialisme juga dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Kesadaran yang Terarah pada Kenyataan Menurut Husserl, kesadaran sesuai dengan kodratnya terarah pada kenyataan (realitas). Kalau manusia itu sadar berarti dia sadar akan sesuatu. Menurut istilah teknis yang dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional, intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Karena kesadaran ditandai dengan intensionalitas, maka fenomen harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Kalau dikatakan “kesadaran bersifat intensional” ini sama artinya dengan “kenyataan menampakkan diri”. Intensionalitas dan fenomen adalah korelatif. Dr. Toety Heraty menyebutkan adanya proses objektifikasi dan identifikasi dalam hubungannya dengan intensionalitas. Pertama-tama lewat intensionalitas itu terjadi objektivikasi. Ini berarti unsur dalam arus kesadaran menunjuk pada suatu objek atau terhimpun pada satu objek. Dengan demikian tampilnya objek itu, karena data tersebut kini terhimpun, sedang biasanya merupakan sekedar data indra yang terlepas data dengan yang lain. Dengan perantaraan intensionalitas data tersebut dihubungkan dengan suatu objek yang tidak tercakup dalam pengarahan intensionalitas itu sendiri, melainkan terletak di luar kegiatan pengarahan tersebut. Berikutnya lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Ini sebagai akibat dari objektifikasi tadi. Artinya, berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektifikasi tadi. Dengan demikian intensionalitas menunjukkan kemampuannya untuk mengadakan sintesis sedemikian rupa sehingga berbagai aspek, segi dan tahap pada satu objek akan berintegrasi sebagai unsur-unsur yang berhimpun pada satuan yang identik. Istilah teknis lain yang bertalian dengan fenomen dan intensionalitas adalah “konstitusi” (Inggris: constitution). Dr. K. Bertens menjelaskan konsepsi Husserl tentang hubungan antara fenomen, kesadaran dan konstitusi. Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan kenyataan, maka dapat dikatakan bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang mungkin tampaknya kenyataan. Dunianya dikonstitusi oleh kesadaran. Ini tidak berarti kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia, melainkan hanyalah bahwa kesadaran harus hadir pada dunia supaya penampakan dunia dapat berlangsung. Di mana letaknya kebenaran? Kebenaran hanya mungkin dalam korelasi dengan kesadaran. Yang disebut kenyataan itu tidak lain dari dunia sejauh dianggap benar, maka kenyataan harus dikonstitusi oleh kesadaran. Proses konstitusi ini berlangsung dalam penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Konstitusi adalah kegiatan dari kesadaran manusia. Sebagai contoh adalah proses persepsi (pencerapan). Saya melihat suatu gunung. Sebetulnya yang saya lihat itu selalu suatu perspektif dari gunung, artinya saya melihat gunung itu dari salah satu sisi dari gunung itu. Misalnya dari timur, barat, utara, atau dari atas. Tetapi bagi persepsi yang ada pada saya gunung tadi adalah sintesis dari semua perspektif. Fenomenologi sebagai Metode dalam Filsafat Husserl Edmund Husserl dilahirkan di Prossnitz (Moravia) pada tahun 1859. Pada masa hidupnya dia pernah menjadi guru besar di Halle Gottingen dan Freiburg (i.B.). ahli pikir yang sangat giat bekerja itu mengakhiri hidupnya pada tahun 1938. Bersama-sama dengan Berson, Husserl adalah tokoh yang sangat besar pengaruhnya dalam alam pikiran dewasa ini. Dari karangan-karangannya, yang sangat banyak jumlahnya belum semua diterbitkan, dan tentang yang sudah diterbitkan itu, penyelidikan belum selesai. Barangkali nanti akan tampak lebih lagi jasa-jasa raksasa-pikir itu kepada bangsa manusia. Sebagai buku yang terkenal kami sebut: Logische Untersuchungen. Untuk mengerti metode Husserl harus kita ingati dulu tujuannya. Tujuan Husserl ialah untuk menerangkan, bahwa pengertian kita itu betul-betul mempunyai “Rechtsanspruch auf Gegestandlichkeit”. Artinya: kita mengerti, dan dalam pengertian itu kita berkata bahwa pengertian itu mempunyai objek (Gegenstand). Akan tetapi betulkah itu? Dengan ini sebetulnya dipersoalkan kebenaran pengerian kita pada umumnya. Dan yang dengan langsung dimaksud oleh Husserl terutama ialah kebenaran ilmu pengetahuan pada khususnya. Untuk mencari pemecahan soal ini harus dilihat pendirian kita sehari-hari dalam mengalami pengertian. Mungkin disitu ada hal-hal yang menggelapkan, yang mempersukar atau merintangi tercapainya kebenaran. Kita mempunyai pendirian yang biasa dan spontan, atau dengan istilah Husserl: “naturliche Einstellung”. Apakah itu isinya? “Saya sadar akan dunia (Welt) yang meluas dengan tak terbatas, yang selalu menjadi dan sudah jadi dengan tak berhenti-hentinya”. Saya sadar akan dunia, itu artinya terutama bahwa dunia dengan langsung nampak (anschaulich) kepadaku, bahwa dunia ku-alami. Aku melihat, aku mendengar, aku meraba-raba, aku menangkap dunia dengan macam-macam cara dengan inderaku, dan karena itu maka dunia itu dengan langsung ada di depanku (furmich einfach da). Dengan kata-kata ini Husserl mulai paparannya tentang pendirian kita sehari-hari dalam mengalami pengertian. Hewan-hewan, manusia, barang-barang, pendek kata apa yang termuat dalam pengelaman kita sehari-hari, semua itu dengan spontan kita akui sebagai objektif. Jika kita rumuskan, maka keyakinan kita itu dapat dikatakan demikian: “Die Welt ist als Wirklinchkeit immer da”. Teraglah sekarang apa yang disebut pendirian yang biasa itu. Akan tetapi pengertian itu bagi filsuf belum cukup. Untuk memperoleh kebenaran yang sesempurna-sempurnanya ia harus berpikir, ia harus bermenung atas keadaan itu. Sebab dalam pendirian yang spontan itu termuat juga unsur-unsur yang subyektif. Barang siapa hendak mengerti barang-barang itu sendiri, barangsiapa menghendaki penangkapan “reine Wesenschau”, harus berani meninggalkan pendirian yang biasa itu. Kesibukan ini oleh Husserl dinamakan “phanomenologische reduction”. Reduksi artinya penyaringan. Apakah yang disaring? “Erlebnisse” atau pengalaman-pengalaman kita. Dan jika “sudah” disaring, apakah nanti yang tinggal? Hanya fenomenon dalam wujud yang semurni-murninya. Untuk mengerti jalan pikiran Husserl ini ingatlah, bahwa sebelum diadakan penyaringan, pertemuan kita dengan realitas itu disebut fenomenon, atau lebih singkat: fenomen. Akan tetapi fenomen itu belum murni. Barang-barang nampak kepada kita. Dalam pendirian yang biasa, kita tidak mempunyai minat kecuali atas barang-barang. Barang-barang itu kita bicarakan, karena nampak. Akan tetapi penampakan atau fenomen seakan-akan tidak kita hiraukan. Dengan kata lain demikian: dalam mengalami fenomen kita tidak terutama memandang fenomen, melainkan memandang “barang yang dibelakangnya”. Jadi, yang kita utamakan: ialah realitas, yang diluar, dan tidak fenomennya sendiri yang ada di dalam kesadaran kita. Dengan cara lain lagi: kita mengalami fenomenon atau penampakan realitas kepada kita. Fenomen itu selalu menunjuk barang di luar kesadaran kita. Kita biasanya terus begitu saja tertarik kerealitas, dan karena “hanyut”, maka kita terus saja mengakui ini dan itu.dalam semua itu pengertian kita sebetulnya tidak murni. Kita mempunyai banyak prasangka (assumption), kita mempunyai banyak perasaan, kita mempunyai pendirian yang tertentu dsb. Semua itu kita masukkan saja dalam pengertian kita. Sekarang untuk mencapai pengertian yang murni kita harus berani hanya melihat fenomen qua fenomen. Bagaimanakah jalannya? Lihatlah, fenomen itu selalu berkata: aku ini ada. Dengan istilah Husserl: fenomen selalu menyodorkan “Seinsgeltungnya”. Akan tetapi manusia tidak, atau paling sedikit: tidak boleh menyerah saja! Manusia (masing-masing dari kita) dalam semua pengalaman selalu dan sangat cenderung untuk mengadakan “affirmasi” atau mengakui: ya ini memang ada, itu memang begitu, dsb. Nah, itu harus ditahan. Janganlah berkata begini dan begitu, janganlah dikatakan suatu keputusan (Urteil). Tahanlah semua keputusan. Tundalah tiap-tiap pikiran tentang ada di luar kesadaran. Pandanglah saja apa yang kita alami saja dalam kesadaran kita. Perkataan menahan, menunda sebetulnya kurang tepat. Yang kami maksud ialah istilah Husserl “Einklammern”, yang bias kita terjemahkan dengan “mengurung”. Demikianlah jelasnya: jika kita membaca sebuah uraian yang sukar, maka untuk mengerti intisarinya, kita memasang banyak tanda kurung. Hal-hal yang kita anggap kurang perlu, kita kurung dulu. Aneka sebab yang diajukan, kita kurung dulu. Sebab apa? Sebab kita hanya hendak mengerti inti sari uraian dulu. Demikianlah juga yang kita lakukan dengan Husserl, jika kita mengadakan penyaringan secara fenomenologis. Fenomen itu dapat dipandang menuru dua sudut. Sudut pertama ialah: fenomen selalu menunjuk keluar, atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Janganlah itu sekali-kali dipikir, demikianlah Husserl. Fenomen itu juga dapat dipandang dari lain sudut: ialah menurut hubungannya dengan kesadaran kita. Fenomen selalu melekat dalam kesadaran kita, selalu “immanent” atau berada dalam kesadaran kita. Dalam mengadakan penyaringan seperti yang dimaksudkan oleh Husserl, kita harus hanya memandang sudut yang terakhir ini saja! Jadi fenomen harus kita pandang sebagai fenomen saja. Jadi di sini fenomen tidak lagi berarti: Nampaknya barang-barang, melainkan ejala atau penampakan di depan kesadaran manusia. Dan apakah yang tinggal seseudah penyaringan itu? Hanya fenomen yang semurni-murninya. Dalam memandang suatu hal, katakana saja misalnya, agama, bahasa, adat-istiadat, kita kerapkali penuh dengan pendapat-pendapat dari orang lain, misalnya dari nenek moyang kita, dari ilmu pengetahuan, dsb. Semua itu sudah kita kurung. Juga pendapat-pendapat dan perasaan-perasaan kita sendiri sudah kita kurung. Semua hubungan dengan luar kesadaran sudah kita kurung. Jadi kita hanya melihat fenomen belaka, fenomen semurni-murninya. Sudah selesaikah jalan Husserl? Belum. Sekarang tibalah saatnya untuk mengadakan pembersihan yang ke dua, yang oleh Husserl disebut: Ideation, atau membuat idea. Perbuatan ini juga disebut reduction, akan tetapi sekarang bukan lagi phanomenologisch, melainkah “eidetisch”, artinya: dalam dan dengan penyaringan itu kita sampai ke eidosnya, sampai ke-intisarinya, sampai ke-yang sejatinya atau Wesennya. Sebab itu hasil dari penyaringan itu disebut juga “Wesenschau”, artinya: di sini kita melihat hakekatnya dari sesuatu. Dan ini, hanya inilah pengertian yang sebenarnya, demikian Husserl. Untuk terangnya kami ajukan suatu contoh, misalnya pandangan tentang manusia. Banyak sekali dalil-dalil yang sudah disiarkan oleh filsafat-filsafat. Banyak juga dalil-dalil dari tradisi, juga ilmu penetahuan, misalnya bahwa manusia itu hanya sama saja dengan kera, dsb. Semua itu harus dikurung saja. Tinggallah manusia seperti gejala yang kita alami. Itu harus kita analisa. Gemuk atau kurus, merah atau putih, bagus atau jelek, semua itu harus dilihat apakah masuk intisari atau tidak. Yang sekiranya tidak masuk intisari harus dikurung saja. Dengan demikian kita sampai ke-eidos atau idea tentang manusia. Di sini idea bukanlah idea yang khusus, yang konkret. Bukan, di sini kita sampai ke-idea yang niscaya, jadi yang mengatakan hakekat atau intisari yang sejatinya dari realitas yang kita sebut manusia itu. Orang tidak perlu setuju dengan seluruh pikiran Husserl. Akan tetapi haruslah kita akui, bahwa jalan (methodos) yang dipaparkan oleh Husserl itu sangat berguna dalam semua ilmu pengetahuan yang memandang manusia dan kehidupannya, pada umumnya dalam (Geisteswissenschaften). N. Drijarkara S.J. Percikan Filsafat, (P.T. Pembangunan Jakarta) hal. 119-122. Fenomonologi Husserl dimaksudkan untuk menjadi suatu ilmu yang deskriptif. Yaitu ilmu yang memberikan deskripsi atas fenomena yang dikenal oleh kesadaran secara langsung. Sebagai ilmu, ia bercorak bukan empiris dan tidak merupakan deskripsi atas fakta-fakta yang dijadikan sasaran pengamatan. Tujuannya adalah untuk mengadakan deskripsi atas fenomena dengan menangkap hakikatnya secara langsung. Fenomenologi bermasud menangkap esensi secara intuitif tanpa melalui pertimbangan, penalaran, ataupun sebagai hasil dari suatu proses penyimpangan. Bagaimana dapat diperoleh atau dicapai hakikat segala sesuatu itu? Ini dapat dilakukan dengan usaha yang disebu reduction atau reduksi. Reduksi dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia penyaringan. Husserl membedakan adanya tiga macam reduksi: Reduksi Fenomenologis Reduksi Eidetis Reduksi Fenomenologi-Transendental. Reduksi Fenomenologis Dalam kehidupan sehari-hari kita cenderung untuk mengandaikan bahwa dunia itu sungguh-sungguh ada sebagaimana kita amati dan kita jumpai. Secara diam-diam kita mempercayai adanya dunia itu. Di dalam reduksi fenomenologis kita harus menyaring semua pengalaman kita. Untuk apa ini dilakukan? Supaya kita memperoleh fenomen dalam wujudnya yang murni. Telah dikatakan bahwa benda-benda nampak di depan manusia. Fenomen atau gejala yang menyodorkan diri sebagai hal yang secara nyata ada itu tidak dapat kita terima begitu saja. Janganlah dengan tergesa-gesa kita mengadakan “ada”. Keputusan yang akan kita nyatakan hendaknya kita tempatkan dalam tanda kurung. Sesudah itu kita harus memandang atau menilik apa yang kita alami dalam kesadaran. Apa yang sementara ditempatkan dalam tanda kurung tadi? Yaitu pandangan adat, agama, ilmu. Dalam bukunya Pertjikan Filsafat, Prof. Dr. N. Drijakara S.J. juga juga membahas masalah ini. Dan yang menyebabkan kabut itu tidak hanya realitas yang kita hadapi, melainkan juga kita sendiri. Konsepsi-konsepsi kita, cara-cara kita berfikir, suasana hidup kita kadang-kadang merupakan kabut tebal. Dan konsepsi-konsepsi kita, cara-cara kita berpikir, suasana hidup kita kadang-kadang merupakan kabut tebal. Dan konsepsi-konsepsi, cara-cara berpikir, suasana dan sebagainya yang menggelapkan itu aslinya tidak hanya dari kita sendiri, melainkan juga ditanam, dimasukkan kedalam hati nurani kita oleh zaman yang kita alami. Kalau tindakan ini sudah berhasil dilakukan, maka akan dapat ditemukan fenomen atau gejala yang sebenarnya. Kita akan mengalami gejala dalam dirinya sendiri. Koento Wibisono, dkk. Ibid., hal. 9.15-9.17 Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan fenomena atau penampakan. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah riil atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas diluar kita. Akan tetapi yang dituju oleh Fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjektivitas diseingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut fenomenomogis. Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Reduksi Eidetis Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eidetis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki. Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya. Juhaya S. Praja, Ibid., hal. 181-182 Pembersihan kedua, oleh Husserl disebut Ideation, atau membuat ide. Perbuatan ini juga disebut reduction, akan tetapi sekarang bukan lagi fenomenologis, melainkan eidetis, artinya: dalam dan dengan penyaringan itu kita sampai ke eidosnya, sampai ke intisarinya, sampai ke yang selanjutnya, atau wesennya. Sebab itu hasil dari penyaringan itu disebut juga “wesenchau”, artinya: di sini kita melihat hakekatnya dari sesuatu. Dan ini, hanya inilah pengertian yang sebenarnya. Misalnya dalam contoh “manusia” yang dikemukakan di atas. Selama kita hidup pernah membaca, mendengar berbagai pendapat atau komentar tentang “manusia”. Pendapat itu dapat dikemukakan oleh orang kebanyakan, orang pandai atau bahkan pandangan tentang rumah yang dikemukakan secara ilmiah. Semua pandangan atau pendapat itu ditempatkan dalam tanda kurung dulu, kita tunda dulu. Yang tinggal adalah “manusia” seperti gejala yang kita alami. Inilah yang harus kita analisis. Manusia itu gemuk atau kurus, warna kulitnya hitam atau putih, rupanya bagus atau jelek, semuanya itu harus dilihat apakah termasuk inti manusia ataukah tidak. Yang tidak termasuk inti harus ditempatkan dalam kurung. Dengan demikian kita sampai pada eidos atau idea atau hakikat manusia. Reduksi Fenomenologi-Transendental Reduksi transendental ini tidak lagi menyangkut objek atau fenomen dan tidak dengan hal-hal yang menampakkan diri pada kesadaran. Reduksi ketiga ini dapat dikatakan Wende Zum Subject (pengarahan ke subjek), dan tentang terjadinya penampakan sendiri dan tentang hakikatnya dalam kesadaran. Dengan kata lain metode fenomenologi tersebut diterapkan pada subjek sendiri dan perbuatannya, kepada kesadaran yang murni. Telah dikemukakan, bahwa dunia yang nampak kepada kita tidak dapat memberikan kepastian bahwa pengertian kita tentang realitas adalah benar. Dunia tidak dapat memberikan kebenaran kepada kita. Supaya ada kepastian akan kebenaran pengertian kita –demikian menurut Husserl- kita harus mencarinya dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang dengan sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita yang senantiasa berhubungan dengan dunia benda di luar diri kita. Aku kita senantiasa berada dalam situasi jasmaniah tertentu, umpamanya: aku sedang duduk, sedang membaca, sedang bercakap-cakap dan lain sebagainya. Pengalaman ini tidak termasuk “aku” kita yang sejati. “aku” di dalam pengalaman ini adalah “aku yang empiris”, yang dikenai oleh dunia kebendaan (materiil). Oleh karena itu untuk sementara waktu “aku empiris” ini harus kita tempatkan dalam tanda kurung atau kita saring dulu. Setelah “aku yang empiris” kita beri tanda kurung, akan tinggal “kesadara yang murni” yang tidak empiris lagi, atau “aku yang murni”, yang tidak empiris lagi. Artinya, yang mengatasi segala pengalaman, yang transendental. Koento Wibisono, dkk. Ibid., hal. 9.17-9.18 Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. Kesadaran disini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transcendental, yaitu yang ada bagi diriku di dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental. Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya tidak jelas maknanya bagi seseorang yang tetap hidup di hutan, atau dalca tidak akan dipahami maknanya kecuali oleh sebagian orang-orang india bagian selatan. Objek yang disadari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindari ini, Husserl membuat reduksi, lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia yang umum). Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “aku” transcendental dari subjek berubah menjadi “aku” transcendental antar subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis. Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, di dalam sistem filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transcendental seperti digambarkan di atas. Dan diceritakan bahwa hal itu bertentangan dengan tujuan semula. Namun, bagaimana jalan keluar yang ditempuhnya dalam menyelesaikan masalah itu akhir hayatnya, tidaklah jelas. Pada umumnya pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkan idealism transcendental. Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama. Kita harus melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung. Pendekatan fenomenologi ini sangat besar pengaruhnya di dalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga pendekatan ini digunakan dalam ilmu-ilmu social dan matematika. J.F. Donceel, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam bukunya, Philosophical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan pendekatan fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik, kebudayaan-kebudayaan dan agama. Juhaya S. Praja, Ibid., hal. 182-185 Fenomenologi sebagai Ajaran Di muka telah dipaparkan Fenomenologi sebagai metode atau jalan untuk mencapai kebenaran. Pada pokoknya metode itu menganjurkan dua hal: yang pertama negative, ialah janganlah dikatakan dulu ada atau tidak adanya obyek yang dimengerti. Yang kedua, sudut positif, ialah: pandang dan analisislah “Erlebnisse” selengkap-lengkapnya. Yang dimaksud dengan Erlebnisse ialah: pengalaman-pengalaman. Yang kita sadari, dalam mana barang-barang nampak kepada kita. Selanjutnya akan kami paparkan analisa pengertian kita menurut Husserl. Maka untuk mulai, ingatlah apa yang telah dikatakan tentang “naturliche Einstellung” atau pendirian biasa. Di situ kita yakin, bahwa pengertian kita obyektif, artinya mengenai obyek di luar pengertian. Apakah yang menjadi alas an keyakinan itu? Alasannya ialah “Urerfahrung” atau pengalaman dasar, yang kita sebut “Wahrnemung” atau kontak kita dengan dunia luar. Dalam Logische Untersuchungen hal ini diterangkan demikian. Jika kita menggunakan kata, kata itu mempunyai arti (Bedeutung). Arti itu adadua macam. Yang satu: intendierende Bedeutung, atau arti yang menunjuk dari jauh. Di sini orang tidak melihat dari barangnya. Yang lain ialah: erfullende Bedeutung. Di sini manusia melihat dengan mata kepala sendiri. Misalnya jika kita sambil memegang bunga mawar, berkata: Alangkah indahnya bunga ini. Di sini manusia mengalami “Sinnliche Wahrnemung”. “Wahrnemung” itu macam-macam, misalnya bila kita dalam daya khayalan kita menggambar-gambar bunga mawar itu juga semacam Wahrnemung. Akan tetapi yang pokok dan yang menjadi dasar ialah: “Sinnliche” atau “Sinnliche Wahrnemung” tadi, ialah penangkapan yang langsung dengan (panca) indera. Dalam Wahrnemung itu kita menjadi sadar tentang suatu objek. Obyek kita tangkap betul-betul dengan dirinya sendiri (in seiner leibhaftigen Selbstheit). Apakah yang kita lihat dalam aksi kita seprti Wahrnemung itu. Aksi itu mempunyai sifat istimewa yang menghubungkan dengan barang luar. Sifat ini disebut: “intentional” atau “das Gerichtet-sein auf Gegenstandliches” artinya: menuju kesuatu obyek. Sampai sekarang barangkali gambaran pengertian manusia, yang disini dilihatkan dalam Wahrnemung, nampaknya sangat sederhana. Akan tetapi tidak demikianlah halnya. Pengertian kita, juga Wahrnemung adalah sangat kompleks. Jika kita melihat meja sambil berputar-putar di sekitarnya, kita tetap berkata: aku melihat meja itu. Jadi obyek kita anggap tetap sama. Padahal sambil kita berputar-putar itu, berganti-gantilah juga penangkapan kita. Dan beralih-alihlah juga obyek kita. Pada lain waktu kita melihat sesuatu, yang kita sangka manusia dan kita berteriak: “Hai itu manusia”. Akan tetapi, nyatalah sebentar lagi bahwa itu bukan manusia, melainkan arca. Di sini pandangan tidak berubah, melainkan obyeknyalah yang berubah. Di sini kompleks aksi-aksi (Wahrnemungen) kita tetap akan tetapi obyeknya menjadi lain. Apakah yang dapat kita simpulkan dari pandangan ini? Suatu soal! Ingatilah dulu, bahwa obyek pengertian kita seperti (in so weit) Nampak dalam kesadaran kita itu kita sebut noema. Nampaklah di atas bahwa Noema bisa tetap satu. Meskipun penangkapan ada banyak dan berubah-ubah. Dan dalam pada itu obyek yang di luar kita pun kita anggap satu dan sama (identiek). Sekarang soalnya ialah: bagaimanakah hubungan antara pengertian dan Noema. Dan lebih-lebih: Bagaimanakah hubungan antara obyek di luar? Lihatlah dulu das Ding atau barang di luar kita sebagai obyek pengertian kita. Barang itu kita anggap berhadapan atau “Gegenuberstehendes” dengan kita. Dengan langsung kita mengerti obyek luar itu, sehingga kita selalu berkata: Saya melihat “das Ding selbst”, saya melihat barangnya sendiri, saya melihat barang luar (aussere Gegenstand). Dalam Wahrnemung kita mengerti dengan langsung “das Ding an sich” dan intellek kita seolah-olah bersifat reseptif atau menerima. Untuk terangnya, bandingkanlah Wahrnemung dengan permainan daya khayal kita sendiri. Di situ kita melihat gambaran-gambaran yang ada pada kita, yang ada dalam kita dan kita sadar, bahwa kita tidak melihat dunia luar. Sebaliknya di sini: kita tidak menangkap sesuatu yang ada dalam kita, melainkan obyek atau barang yang di luar. Jadi, janganlah dikatakan, bahwa dalam penangkapan (Wahrnemung) kita melihat gambar lebih dulu dalam kita, dan “sesudah” itu lantas kita membandingkan dengan obyek di luar. Jika kita membandingkan dengan obyek luar itu artinya kita sudah melihat. Justru di sini soalnya, ialah: bagaimanakah kita melihat obyek luar itu? Bagaimanakah obyek luar itu bisa nampak kepada kita dalam kesadaran kita? Untuk memecahkan soal ini kita harus meninjau dulu soal lain, ialah apakah yang disebut obyek itu. Husserl menerangkan demikian: tentang meja itu saya lihat banyak hal. Misalnya besarnya, panjangnya, lebarnya, bentuknya dsb. Tiap-tiap dari yang saya lihat itu tidak merupakan meja. Juga tidak jumlahnya. Namun saya berkata: Aku melihat meja. Jadi meja adalah pemangku atau subyek dari semua itu. Semua yang dapat saya katakan itu adalah Noemata dan ada noema satu yang sentral, yang terjadi pemangku semuanya. Itulah obyek. Obyek bisa betul-betul ada, atau bisa juga tidak ada. Jika betul-betul ada, kita sebut: obyek transenden, artinya ada betul di luar pikiranku. Demikianlah keterangan tentang obyek. Kembalilah sekarang soalnya, bagaimanakah obyek transenden itu bisa nampak kepada kesadaran kita? ada betulkah obyek itu? Ingatilah contoh kita di atas. Segala sesuatu yang dapat dikatakan tentang meja itu, bukanlah meja. Akan tetapi semua itu kita satukan dalam meja. Nampaklah di sini, bahwa intellek kita bertindak secara konstruktif, intellek kita membuat obyek. Jadi menangkap (Wahrnemung) itu berarti mengkonstruksi atau membuat. Dengan demikian, maka menjadi lebih sulit lagilah soalnya. Bagaimanakah pengertian kita betul-betul obyektif, mengenai barang-barang yang betul ada, atau realitas? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus lebih lanjut mengikuti analisa Husserl. Dalam Wahrnemung itu barangbarang nampak kepada kita. mengapakah nampak? Nampaknya itu disebabkan oleh kegiatan kita atau oleh barangnya sendiri? Jika sudah terang sebabnya, maka dapatlah ditanyakan, cukupkah sebab itu untuk mempertanggungjawabkan keyakinan kita, bahwa kita benar-benar menyentuh realitas? Jadi apakah yang menyebankan barang-barang nampak kepada kita? yang dimaksud dengan barang-barang ialah realitas dunia, yang selalu kita hadapi. Kita yakin betul-betul, bahwa kita hidup ditengah-tengah realitas dunia. Perbuatan-perbuatan kita sehari-hari berdasarkan keyakinan itu. Jadi kita mempunyai kepastian tentang dunia. Dan kepastian ini tidak kita peroleh dengan pemikiran yang berbelit-belit, tidak kita tarik sebagai kesimpulan dari kepastian lain. Kepastian itu adalah originaif, artinya ada sebagai dasar. Namun jika kita berpikir betul-betul, demikianlah Husserl, maka nampaklah, bahwa tidak ada kepastian yang sepenuhnya. Sebab apa? Sebab dari barang-barang dunia (Dingwelt) tidak ada satupun yang pernah akan dapat kita mengerti dengan penuh. Tambahkanlah bahwa dari barang-barang dunia itu tidak ada suatupun yang akan pernah bisa nampak secara definitif. Apakah kesimpulan dari analisa ini? Apa yang kita sebut dunia tidak mungkin memberi alasan, bahwa pengertian kita itu betul-betul mengenai realitas. Barangkali dasar itu harus kita cari dalam aksi kita sendirikah? Kita ini selalu ada dalam arus yang terus-menerus, yang kita sebut: Erlebnise atau pengalaman-pengalaman yang sadar. Jadi apakah yang istimewa dalam Erlebnise sebagai obyek pengertian? Erlebnise itu kita tangkap dengan sekaligus. Di sini tidak ada sudut-sudut, seperti bila kita melihat meja. Di sini obyek kita mengerti dengan “adekwat” atau dengan penuh. Dari kebenaran ini disimpulkan, bahwa kita harus mencari dasar keyakinan dan kepastian kita dalam: Erlebnise kita sendiri. Bagaimanakah caranya? Kita harus mengadakan penyaringan yang terakhir. Semua yang berhubungan dengan unsur yang tidak tentu harus kita “kurung” dulu. Sekarang ingatilah, bahwa Erlebnise mengalami kita sendiri ini selalu berhubungan dengan “Dingwelt” atau dunia jasmani. Masing-masing dari kita tentu terus-menerus mengalami “AKU”nya sendiri. Akan tetapi “AKU” yang demikian itu tentulah ada di dalam situasi jasmani yang tertentu. Misalnya, AKU sekarang sedang duduk, AKU sekarang sedang mendengarkan suara, AKU sekarang sedang merasakan enak atau tidak enak dsb. Semua Erlebnise itu harus kita tempatkan di antara dua tanda kurung dulu. Demikian juga AKU yang hanya “empiris” atau AKU yang dalam Erlebnise itu. Sebab terjangkit oleh Dingwelt, jadi tidak tentu. Sesudah itu apakah yang masih tinggal “was kann denn ubrig bleiben?” tanya Husserl. Hanya “reines Bewusstsein, reines Ich”, artinya kessadaran yang tidak empiris lagi, AKU yang di atas segala pengalaman! Dengan demikian kita mengerti “das ich” yang transendental atau diatas segala yang tidak tentu, di atas segala yang merupakan Ding welt. Dan semua Erlebnise dari Ich yang transendental itu adalah transendental juga. Dengan demikian, diketemukanlah “absolut apodiktische Voraussetzung” atau dasar yang pasti dan tak dapat dibantah lagi dari semua-muanya. Bagaimanakah pengertian kita bisa dipertanggungjawabkan, manakah dasar yang pasti dengan mutlak dari kebenaran kita? demikianlah pertanyaan Husserl. Dia sampai ke realitas, ialah realitas dari sang AKU yang ada di atas segala pengalaman atau transendental. Jalan ke realismekah? Atau ke idealisme? Pada pokoknya, filsafat Husserl adalah “Idealisme transendental”. Tran-sen-den-tal I-de-a-lis-me! Apakah isinya? Untuk menerangkan pokok filsafat Husserl itu kita kembali sebentar kepercayaan dasar dari Husserl. Dalam mengerti kita selalu yakin, bahwa kita mengerti “Ding”, suatu barang. Adakah Ding itu betul-betul? Karena Ding juga selalu diakui sebagai sesuatu dalam realitas maka lebih umum soalnya ialah: adakah realitas itu? Demikianlah obyek penyelidikan Husserl. Dengan demikian dipersoalkanlah dasar dari obyektivitas dan kepastian pengertian kit. Apakah yang menyebabkan pengertian kita itu betul-betul mengenai “barang-luar” dan dengan pasti? Dengan kata lain, apakah yang menyebabkan keyakinan kita yang mutlak itu tentang adanya barang-barang luar? Tentulah bukan barang luar. Sebab dunia luar tidak pernah bias tentu. Tiap-tiap pengalaman kita tentang dunia luar bisa bohong. Jadi dengan berdasarkan itu saja kita belum boleh mengakui bahwa keyakinan kita itu benar. Apakah yang masih tinggal? Hanya “das ICH” atau AKU dari manusia. Pun dalam pengakuan ini manusia masih harus berhati-hati. Das ICH yang secara konkrit Nampak dalam kesadaran itu pun belum boleh diakui adanya. Yang boleh diakui adanya dengan dengan mutlak ialah: Das ICH yang di atas semua situasi yang konkret, di luar segala pengalaman. Nah, itulah arti istilah transcendental, ialah di atas dan di luar pengalaman.-dunia-jasmani ini. Sekarang “transendental” itu di hubungkan dengan das ICH. Nanti akan nampak hubungannya dengan Idealisme. Jadi, satu-satunya realitas yang boleh dan harus diakui dengan mutlak ialah realitas dari das ICH itu. Das ICH itu ada betul-betul dan sadar akan diri sendiri. Berada dengan sadar, itulah yang ada secara mutlak. Sekali lagi, yang dimaksud dengan sadar di sini bukan kesadaran kita sehari-hari, yang terjangkit dengan kejasmanian itu. Itu tidak tentu, jadi tidak atau belum boleh diakui adanya. Yang dimaksud ialah kesadaran yang supra-empiris, yang di atas semua pengalaman, jadi sekali lagi: yang transendental. Itulah kesadaran yang mutlak dari ICH atau sang AKU yang mutlak. Berada dengan kesadaran yang mutlak itu tidak bisa di luar pikiran. Jadi tidak bisa dimungkiri. Sebab itu tidak bisa tidak ada. Maka dari sebab itu adanya itu dengan: niscaya, dengan harus. Itulah ada yang pertama atau primair. Mengapa di sebut pertama atau primair? Sebab ada dari lain-lainnya harus di sebut kedua atau sekundair. Harus di sebut kedua atau sekundair karena tak mungkin ada sendiri. Jadi adanya itu muncul dari ada yang mutlak dan primair itu. Janganlah kita dengan tergesa-gesa menyimpulkan, bahwa semua yang disebut “ada dengan cara yang sekundair” itu ada betul-betul ada dalam arti yang biasa itu. Sebab: mungkin pikiran Husserl berlainan. Apakah yang dimaksud oleh Husserl dengan ada yang sekundair itu? Jika kita berkata: aku melihat suatu benda, misalnya bunga, apakah yang dapat kita tunjuk dalam kesadaran kita? banyak noemata atau tangkapan yang merupakan kompleks: misalnya bentuk, warna, bau harum dsb. Akan tetapi tidak ada suatu noema pun yang identik atau sama dengan Ding ini atau itu. Panjang, lebar, berat, berkaki empat, semua itu adalah noemata atau tangkapan kita tentang meja. Akan tetapi, substantif atau benda meja, bukanlah itu semua. Kesimpulan: jadi jika Aku berkata “meja itu ada, bunga itu ada”, ada itu alasannya dari AKU sendiri. Kita mengakui bahwa ada “raumlich-zeitliche Welt” atau dunia yang ber-ruang atau berwaktu, demikianlah Husserl dalam bukunya yang berkepala Ideen zu einer reinen Phanomenologi. Dunia tadi kita sebut realitas dan kita anggap terdiri dari banyak realitas yang masing-masing berdiri sendiri (Einzelrealitaten). Semua itu jika dipandang menurut artinya, tak lain dan tak bukan: adanya hanyalah karena dipandang sebagai ada (bloss intentionales Sein), jadi hanyalah karena berhadapan dengan kesadaran.... dan di luar itu, janganlah disebut ada, daruber hinaus Welt tadi hanya “ein nichts”. Dalam tempat lain Husserl mengatakan, bahwa “alles Seiende” segala yang ada itu pada akhirnya (sebenarnya) hanyalah ada karena berhadapannya dengan “die transzendentale Subjectivitat” artinya Sang AKU yang transendental (di luar segala pengalaman) tadi dengan kesadarannya, yang di luar pengalaman pula. “Sie aber ist in sich und fur sich” hanya subyektivitas itulah yang ada dalam diri sendiri dengan sadar dan pengertian diri. Menurut arti yang biasa dari percakapan kita tentang ada dan tidak ada (der gemeine Sinn der Seinsrede), yang kita sebut ada itu lebih dahulu realitas di luar itu. Akan tetapi arti itu harus dibalik. Realitas dari pengalaman kita itu hanya ada yang sekundair. Apa yang kita sebut realitat, baik dari barang satu persatu maupun dari seluruh dunia, enthbehrt wesenmassig .... der Selbstandigkeit, atau: sebetulnya pada hakekatnya tidak ada sendiri, demikianlah Husserl. Semua jika dipandang betul-betul adalah “gar nichts”, tidak ada sama sekali. Adanya hanya sebagai “nur Intentionales, nur Bewusstes, nur Erscheinendes”, atau hanya sebagai sesuatu yang dimengerti, disadari, dan nampak. Barangkali kita masih bisa bertanya demikian: dengan menganalisa Ding, Husserl sampailah ke pendirian seperti yang dipaparkan d atas. Akan tetapi bukanlah Husserl sendiri mengatakan, bahwa di samping ada itu juga apa yang disebut noemata atau tangkapan-tangkapan, seperti bundar, panjang, lebar, harum, warna, dsb. Jadi tentang noemata, apakah yang harus dikatakan? Bukankan itu merupakan realitas tersendiri? Untuk mengupas hal itu, baiklah kita ingati sekali lagi, bahwa realitas di luar kesadaran tidak boleh di akui, sebab tidak punya alasan sama sekali. Jadi yang dipandang hanya noemata sebagai isi kesadaran, Apakah itu? Jawabannya: itu tidak merupakan realitas yang berdiri sendiri. Adakah noemata di luar kesadaran? Tidak! Tidak mungkin. Jadi, noemata itu hanyalah disadari-nya itu. “Sein Esse besteht ausschliesslich in seinem percipi”. Yang disebut ada di sini tak lain dan tak bukan hanyalah: disadari, dilihat, lain tidak, demikianlah Husserl. Nampaklah sekarang apa yang disebut idealisme. Idealisme adalah suatu filsafat, yang mengajarkan bahwa yang ada itu hanya Kesadaran dan di luar itu tidak ada sesuatu alias nihil, demikianlah juga ajaran Husserl. Idealisme itu adalah transendental. Istilah ini mempunyai banyak arti. Akan tetapi di sini yang dimaksud ialah: di atas atau diluar semua pengalaman kita. pengalaman biasa, yang kita terima dengan pendirian biasa atau naturliche Einstellung, tidak mengatakan bahwa dunia, bahwa alam semesta itu seperti yang dikatakan oleh renungan fenomenologis itu. Akan tetapi menurut pandangan yang sedalam-dalamnya, demikianlah Husserl, secara transendental, jadi di atas dan di luar semua pengalaman kita, pada hakekatnya: dunia atau alam semesta itu tak lain dan tak bukan hanyalah seperti yang kita ketemukan itu. Jika demikian, bagaimanakah menurut Husserl bentuk atau struktur seluruh alam itu? Untuk terangnya kami tunjuk dulu skema dan idealism Hegel. Menurut Hegel seluruh alam semesta itu adalah pelaksanaan yang sedang menjadi, jadi sedang berjalan. Pelaksanaan dari apa atau siapa? Dari Yang Mutlak. Semua yang ada itu terpencar-pencar, jumlah kejadian dan perbuatan adalah berjuta-juta. Akan tetapi semua itu satu, hanya satu dan satu-satunya yang ada. Yang Mutlak itu menjadi sadar karena dan dalam dan dengan dialektik atau perubahan, yang taka da henti-hentinya itu. Yang Mutlak itu tidak berada sendiri, tidak ada di luar menjadinya, jadi adanya ialah menjadi itu. Bagi Husserl tidak demikian. Yang Mutlak itu ada dan ada sendiri betul-betul, bahkan satu-satunya yang ada. Yang menjadi dasar dan asal dari semua ialah Yang Mutlak itu. Apakah atau siapakah itu? Das ICH atau Das Bewusstsein yang transcendental atau di luar semua pengalaman. Dari kesadaran yang transcendental itu “membual” seluruh alam. Di sini kata “membual” nampak kurang tepat. Harus kita koreksi sedikit. Membual hanya untuk menunjuk keluarnya, munculnya kesadaran. Akan tetapi tidak menunjuk sesuatu yang betul-betul mengalir dan meningglakan. Sebab alam semesta yang kita sebut membual itu tidak berada di luar kesadaran. Membualnya kesadaran berarti membualnya alam semesta dalam dan dari kesadaran itu. Juga AKU yang sekarang berpikir dan merasakan ini. Aku yang empiris atau terlibat dalam macam-macam pengalaman dan rasa-rasa ini, akupun membual dalam kesadaran yang mutlak itu, demikianlah Husserl. Akan tetapi karena terlibat dalam macam-macam pengalaman yang konkret itu, maka aku tidak mengerti yang sebenarnya. Hanya dengan meninggalkan semua itu aku yang empiris bisa mengerti apakah ia itu sebetulnya. Sebetulnya untuk mengikuti pikiran Husserl kita harus menutup telinga, menutup mata melupakan kedua kaki kita, yang berdiri di atas tanah dan memadamkan rasa-rasa kita semua. Akan tetapi, lantas pengertian apakah yang masih tinggal? Pengertian manusiakah itu? Pengertian tentang realitas, yang transendental, bagaimanakah itu dapat ditegakkan jika harus lepas sama sekali dari pengalaman? Kesampingkanlah semua yang empiris dan akuilah yang supra-empiris atau transendental saja, demikianlah perbuatan Husserl. Akan tetapi bukankah itu loncatan? Dan bukankah loncatan, yang barangkali merupakan sailo mortale? Dengan kata-kata ini kami hanya hendak mengatakan, bahwa filsafat Husserl itu sebagai sistem tidak tanpa kontradiksi. Dia sendiripun merasakan kontradiksi itu, seperti ternyata dalam percobaan-percobaan untuk keluar dalam buku yang diterbitkan terakhir (1930). Realisme dan Idealisme dalam Ajaran Husserl Untuk menyelami pikiran Husserl itu maka pada akhir bulan April tahun 1975, di kota Paris, diselenggarakan suatu symposion Fenomenologi yang berlangsung selama satu minggu. Para pengunjungnya adalah ahli-ahli, yang memiliki pengertian yang khusus tentang filsafat Husserl. Dalam suasana intellektuil yang sangat tinggi itu, berbicara dan berdebatlah tokoh-tokoh Fenomenologi, yang terkenal dari Eropa Barat. Dengan sambil lalu kita kemukakan, bahwa peristiwa tersebut adalah gejala hidup kebudayaan, yang bagi kita masih hanya tinggal dalam dalam cita-cita. Marilah kita meminjam beberapa pikiran dari symposion internasional tersebut, untuk memandang soal realism dan idealisme dalam ajaran Husserl. Metode Fenomenologis, seperti yang dijalankan oleh Husserl menemui puncaknya dalam pengakuan sebagai berikut: yang boleh dan harus di akui hanyalah “das ICH” yang transendental dengan “Bewusstsein”nya, yang transendental pula. Dengan demikian Husserl jatuh dalam idealisme. Akan tetapi soalnya ialah: bagaimanakah keyakinan Husserl yang sebetulnya? Tenggelam sama sekalikah ia dalam idealisme? Kita mulai mengupas soal tersebut dengan mengajukan pandangan Prof. Dr. Eugen Fink (Freiburg), yang dulu sebagai asisten bertahun-tahun berdekatan dengan Husserl. Beginilah jalan pikiran Prof. Fink. Manusia itu pada dasarnya bersatu dengan “semesta-ada”. Artinya semua ada itu merupakan kesatuan dan manusia termuat dalam kesatuan itu. Mengalami diri sendiri berarti mengalami diri sendiri dengan kesatuannya dengan semesta-ada itu. Itulah hubungan manusia yang primair, yang terdasar, yang mendahului hubungan manapun juga seperti misalnya hubungan subyek-obyek. Apakah tugas filsafat? Tugas filsafat ialah berpikir tentang manusia dalam hubungannya dengan semesta-ada itu. Akan tetapi bagaimanakah filsafat melakukan tugas? Dengan menggunakan sebagian dari pengalaman kita sebagai alat atau medium. Dengan sendirinya apa yang dijadikan medium itu tidak dijadikan thema atau obyek permenungan. Kita tidak bisa berpikir tentang seluruh lingkaran (cirkel) kecuali dengan berpikir tentang satu sektor, akan tetapi sektor yang dijadikan medium itu tidak dipikir. Lihatlah hal ini dalam Fenomenologi Husserl. Husserl berhasrat memperlihatkan obyektifitas pengertian manusia. Untuk maksud itu “naturliche Einstellung” dianalisa, jadi dijadikan medium. Akan tetapi karena yang dipentingkan itu hanya obyektivitasnya, maka dilupakanlah aspek psikologis dari Einstellung tadi. Hal itu berarti kurang memperhatikan kesatuan kita yang sudah ada dengan dunia. Kita selalu sibuk menganyam kehidupan kita dalam dunia dan duniapun selalu kita anyam dalam kehidupan kita. berlainan dari Martin Heidegger, demikianlah Prof. Fink, Husserl kurang memperhatikan segi-segi yang termuat dalam kejadian ini. Jadi dalam mencapai obyektivitas, Husserl melupakan sumber obyektivitas. Akibatnya: pandangan Husserl tentang fenomen sendiri, tentang pengalaman dan mengalami diri sendiri dan dunia, masih pincang, masih belum lengkap. Mengingat ini, maka sebetulnya kita tidak boleh begitu saja menetapkan bahwa Husserl itu idealis atau realis, demikian Prof. Fink. Sebaliknya, Prof. P. Igarden dari Krakau, seorang sarjana yang sudah lama sekali berkecimpungan dalam Fenomenologi, mempertahankan bahwa Husserl dengan metodenya itu jatuh dalam idealisme transendental, dan tidak akan bisa keluar bagaimanapun juga. Untuk menerangkan pendapatnya, Prof. Igarden mengupas pengertian tentang apa yang disebut “Konstitution” dalam ajaran Husserl, yang dapat kita terjemahkan dengan “membentuk”, “membangun”, “mengadakan”, “membuat”. Ratusan kali Husserl menggunakan kata Konstitution, demikianlah Prof. Igarden. Akan tetapi belum pernah menyelidiki dan menetapkan betul-betul apakah tepatnya yang dimaksud dengan istilah itu. Akan tetapi Husserl mengatakan bahwa Bewusstesein itu bersifat “intentional”, artinya: “meng-arah ke”. Akan tetapi “meng-arah ke” itu tidak berarti kearah obyek di luar. Karena diluar Bewusstesein tidak ada apa-apa, “meng-arah ke” atau intentional berarti memprodusir, dan memang istilah Konstitution oleh Husserl juga diganti dengan Production. Akan tetapi jika demikian, bagaimanapun juga kita menerangkan Konstitution, tak mungkinlah kita keluar dari idealisme transendental, seperti yang diajarkan oleh Husserl itu. Pendapat itu diterima juga oleh Alfred Schutz dari New York, meskipun thema yang dibahas olehnya hanya mengenai pandangan Husserl tentang adanya manusia-manusia lain dan hidup kita bersama. Sebagai telah kita ketahui Husserl pada akhirnya sampai ke-pengakuan, bahwa yang bisa dikatakan ada dengan pasti itu hanya “AKU transendental”. Meskipun dengan keterangan yang belum cukup, dikatakan juga, bahwa dari AKU yang transendental itu “membual” aku yang empiris itu. Dengan demikian, maka adanya manusia-manusia lain menjadi problem. Bagaimanakah manusia yang satu bisa mengerti adanya manusia yang lain? Setiap filsuf menurut Husserl hanya bisa mengakui adanya diri sendiri. Tentang manusia lain tidak dapat dikatakan apa-apa. Jadi filsafat hanya berupa “egologi” atau uraian tentang diri sendiri. Masyarakat, kebudayaan, hidup bersama tidak lagi mempunyai dasar. Jika pendirian Husserl diikuti sepenuhnya, maka kata-kata ini tidak mempunyai arti sama sekali. Demikianlah deadlock yang harus dihadapi oleh Husserl. Dan memang dalam percobaannya untuk meloloskan diri dari kebuntuan ini, hemat kami tidak berhasil .... kecuali dengan inkonsekwensi atau mematahkan pendiriannya. Untuk menghadapi interpretasi-interpretasi tersebut tampil ke mukalah Pater H. Van Breda, direktor dari Husserlarchief dari Louvain (Belgia). Prof Van Breda adalah spesialis-Husserl yang terkenal. Marilah kita lihat betul-betul apa yang terjadi dengan Reduktion atau penyaringan, demikianlah Prof Van Breda. Dengan mengadakan Reduktion kita menjadi sadar betul tentang kita sendiri dan tentang obyek. Di situ secara resmi atau formil kita pikir dengan jelas adanya hubungan: Subyek-Obyek. Dengan jalan ini, dan hanya dengan jalan inilah, problem tentang ada atau realitas bisa nampak. Bagaimanapun juga, analisa Husserl tidak mungkin membawa kita ke Bewusstesein yang tidak berhubungan dengan dunia. Mengingat ini maka tidak boleh begitu saja dikatakan,bahwa pendirian Husserl tentu menjerumuskan ke idealisme. Juga prof. A. De Waelhens (Louvain) membawa soal realisme-idealisme dalam ajaran Husserl. Menurut De Waelhens pendirian Fenomenologi sudah dengan sendirinya mematahkan pertentangan: realisme-idealisme. Manusia menghadapi problem tentang pengertiannya sendiri. Pertanyaannya ialah: mengerti realitaskah aku? Dan realitas yang betul-betul ada di luarku? Barangsiapa terhadap pertanyan ini berdiri sebagai fenomenologi, dengan sendirinya sudah memberi pemecahan secara realis. Sebab apakah? Sebab ia mencari alasan pengertiannya dalam realitas, seperti yang dia alami. Akan tetapi janganlah juga kita menggambarkan pengertian kita dengan cara yang salah. Mengeri tidak berarti pasif saja. Mengerti juga mempunyai sifat konstitutif, artinya: membentuk. Hal ini nampak dalam pengertian bilangan atau jumlah. Kita hanya mengerti bilangan dengan membilang. Hal ini terjadinya secara intuitif, bila kita melihat jumlah kecil, misalnya 2 ekor kerbau. Akan tetapi jika 50 ekor ...., jumlah 50 hanya terjadi karena kita menghitung. Jadi kita membentuk jumlah, dan pengertian kita adalah konstitutif. Nampaklah disini bahwa sifat konstitutif atau membentuk sekali-kali tidak berarti bahwa budi kita melahirkan obyeknya. Pikiran kita tidak melahirkan kerbau-kerbau yang kita lihat itu. Sebetulnya tidak hanya dalam mengerti bilangan, melainkan dalam semua pengertian, kita bersifat konstitutif. Sebab kita selalu memberi arti kepada barang-barang. Dengan demikian kita bersatu dengan barang-barang. Sebab itu jika kita meneliti pengertian kita tentang realitas itu, sudah mengandung pengakuan, yang praktis bahwa kita bersatu dengan realitas. Demikianlah juga Husserl, dengan berbicara tentang Konstitution dia sudah mengakui kesatuannya dengan realitas dan terjadinya pengertian kita, demikianlah uraian Prof. De Waelhens. Merleau Ponty, mahaguru Sorbonne yang sangat terkenal itu bertanya apakah interpretasi de Waelhens itu tidak terlalu optimist. Memang mengatakan, bahwa pengertian kita bersifat konstitutif, tidak niscaya berarti jatuh kedalam idealisme. Akan tetapi apakah arti istilah itu dalam ajaran Husserl? Dalam ajaran Husserl memang ada corak-corak yang tidak bisa tidak memberi kesan bahwa filsuf besar itu meluncur ke arah idealisme. Akan tetapi sebaliknya, adanya percobaan-percobaan untuk meneliti pengertian kita tentang sesama manusia, adanya unsur-unsur yang selalu mencari realitas, memberi kesan, bahwa Husserl sebetulnya belum selesai dengan pergulatannya untuk mencapai keterangan tentang pengertian kita. jadi dia tidak tenggelam dalam idealisme, akan tetapi “nyaris” dari idealisme pun tidak! Mengerti, berpikir, bukankah itu pengalaman kita sehari-hari? Manusia mengerti, dan dia yakin bahwa dia mengerti realitas betul-betul. Rupa-rupanya hal ini tidak membawa soal. Akan tetapi jika dipandang betul-betul, maka nampaklah dunia yang penuh rahasia. Manusia tak mungkin puas dengan keadaan itu. Adanya serba-soal merupakan tantangan baginya. Dan bergulatlah manusia, bergulat untuk mencapai keterangan tentang pengertiannya, tentang diri sendiri, tentang alam semesta, tentang dasar yang terakhir.... itulah sebetulnya isi perjuangan Husserl. Kita kagum akan kebesarannya, akan tetapi juga melihat tragik dalam usahanya. Yang tentu: kita mengerti bahwa manusia harus bergulat untuk mencapai kebenaran. Dengan kesan ini kita meninggalkan Husserl. N. Drijarkara S.J. Ibid., hal. 122-133 BAB III PENUTUP Kesimpulan Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam Bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Menurut Husserl, kesadaran sesuai dengan kodratnya terarah pada kenyataan (realitas). Kalau manusia itu sadar berarti dia sadar akan sesuatu. Menurut istilah teknis yang dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional, intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Karena kesadaran ditandai dengan intensionalitas, maka fenomen harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Kalau dikatakan “kesadaran bersifat intensional” ini sama artinya dengan “kenyataan menampakkan diri”. Intensionalitas dan fenomen adalah korelatif. Fenomonologi Husserl dimaksudkan untuk menjadi suatu ilmu yang deskriptif. Yaitu ilmu yang memberikan deskripsi atas fenomena yang dikenal oleh kesadaran secara langsung. Sebagai ilmu, ia bercorak bukan empiris dan tidak merupakan deskripsi atas fakta-fakta yang dijadikan sasaran pengamatan. Tujuannya adalah untuk mengadakan deskripsi atas fenomena dengan menangkap hakikatnya secara langsung. Fenomenologi bermasud menangkap esensi secara intuitif tanpa melalui pertimbangan, penalaran, ataupun sebagai hasil dari suatu proses penyimpangan. Untuk memperoleh atau mencapai hakikat segala sesuatu, dapat dilakukan dengan usaha yang disebu reduction atau reduksi. Reduksi dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia penyaringan. Husserl membedakan adanya tiga macam reduksi: Reduksi Fenomenologis (menyaring semua pengalaman kita untuk memperoleh fenomen dalam wujudnya yang murni) Reduksi Eidetis (penyaringan atau penempatan di dalam kurung dari segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena) Reduksi Fenomenologi-Transendental (menerapkan pada subjek sendiri dan perbuatannya, kepada kesadaran yang murni) Pada pokoknya metode atau jalan untuk mencapai kebenaran itu menganjurkan dua hal: yang pertama negative, ialah janganlah dikatakan dulu ada atau tidak adanya obyek yang dimengerti. Yang kedua, sudut positif, ialah: pandang dan analisislah “Erlebnisse” selengkap-lengkapnya. Yang dimaksud dengan Erlebnisse ialah: pengalaman-pengalaman. Yang kita sadari, dalam mana barang-barang nampak kepada kita. Metode Fenomenologis, seperti yang dijalankan oleh Husserl menemui puncaknya dalam pengakuan sebagai berikut: yang boleh dan harus di akui hanyalah “das ICH” yang transendental dengan “Bewusstsein”nya, yang transendental pula. DAFTAR PUSTAKA Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta:Kencana, 2005) Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2001) Koento Wibisono, dkk. Dasar-Dasar Filsafat, (Jakarta:Universitas Terbuka, Depdikbud, 1994) N. Drijarkara S.J. Percikan Filsafat, (P.T. Pembangunan Jakarta) 34