Jurnal Agroteknologi, Vol. 5 No. 1, Agustus 2014 : 17 - 24
RESPON TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA DOSIS
BOKASHI SAMPAH PASAR DENGAN DUA KALI PENANAMAN SECARA VERTIKULTUR
(Response of Mustard (Brassica juncea L.) with application of several doses of market waste bokashi
in twice planting on verticulture system)
AULIA RANI ANNISAVA, LESTI ANJELA, BAKHENDRI SOLFAN
Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Kampus Raja Ali Haji Jl. H.R. Soebrantas Km 16 Pekanbaru PO Box 1004, Pekanbaru 28293
Telp.: +62-761-562051, Fax: +62-761-562052
E-mail: aulia_dda@yahoo.com; lestianjela_07@yahoo.co.id; bakhendri@uin-suska.ac.id
ABSTRACT
Mustard is one of the horticultural crops that have commercial value and nutritious. The
research was done in September to December 2013 in Faculty of Agriculture and Animal Sciences
Experimental Garden, State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau. This research was carried
out to study the doses of market waste bokashi, planting period and the interaction both of them to
planting mustard plants in verticulture system. Randomized Complete Block Design (RCBD) with five
replications was used. Treatments involved two factors, i.e. market waste bokashi doses (0, 150, 300,
450 and 600 g per gutters) and planting period (first and second). Observations were done on six
morpho-agronomic characteristics, i.e. plant height, number of leaves, leaf length, leaf width, canopy
wet weight and canopy dry weight. The results showed that the giving of bokashi 300 g/gutters in the
first planting period gives the best results on plant height (28,88 cm), number of leaves (8,28 strands),
leaf length (16,30 cm), leaf width (12,93 cm) and canopy wet weight (37,98 g). Bokashi 600 g per
gutters on the second planting period gave similar results by using bokashi 300 g per gutters in the
first planting period.
Keywords: mustard crop, bokashi, verticulture.
PENDAHULUAN
Sawi adalah salah satu tanaman
hortikultura yang mempunyai nilai komersial
dan prospek yang cukup cerah. Jumlah
penduduk Indonesia yang semakin bertambah,
serta meningkatnya kesadaran akan kebutuhan
gizi menyebabkan bertambahnya permintaan
akan sayuran terutama sawi. Hal ini terjadi
karena sawi memiliki kandungan gizi yang
cukup tinggi. Setiap 100 g sawi terdapat protein
2,30 g; lemak 0,30 g; karbohidrat 4,00 g; Ca
220,00 mg; P 38,00 mg; Fe 2,90 mg; vitamin A
1.940,00 mg; vitamin B 0,09 mg; dan vitamin C
102 mg (Yulia et al., 2011).
Perhatian
masyarakat
terhadap
lingkungan beberapa tahun terakhir ini menjadi
meningkat karena semakin dirasakannya
dampak negatif penggunaan bahan-bahan
kimia. Bahan-bahan kimia yang selalu
digunakan untuk alasan produktivitas dan
ekonomi ternyata saat ini lebih banyak
menimbulkan dampak negatif baik bagi
kehidupan manusia maupun lingkungan
sekitarnya.
Penggunaan pupuk, pestisida, dan
bahan kimia lainnya yang terus menerus dapat
merusak biota tanah, menimbulkan resistensi
hama dan penyakit, serta dapat mengubah
kandungan vitamin dan mineral komoditi
sayuran dan buah. Hal ini tentunya jika
dibiarkan lebih lanjut akan berpengaruh fatal
bagi siklus kehidupan, bahkan jika sayuran atau
buah yang tercemar tersebut dimakan oleh
manusia secara terus menerus, tentunya akan
menyebabkan kerusakan jaringan tubuh,
bahkan kematian.
Menurut Riyan (2010) pupuk anorganik
yang selalu digunakan petani dapat diganti
dengan pupuk organik yang dapat dibuat
sendiri dari bahan-bahan alami seperti
penggunaan
pupuk
bokashi
yang
menggunakan EM-4. Bokashi dapat dibuat dari
bahan jerami, hijauan, sampah dan pupuk
kandang. Effective microorganisms-4 yang
disingkat EM-4 merupakan kultur campuran
dari berbagai organisme yang menguntungkan
bagi pertumbuhan dan produksi tanaman.
Penggunaan bokashi dan EM-4 secara
perlahan-lahan
dapat
mengurangi
17
Respon Tanaman Sawi (Aulia Rani Annisava, dkk)
ketergantungan terhadap kebutuhan pupuk dan
pestisida kimia.
Menurut Widodo et al. (2010) sampah
merupakan permasalahan utama yang dapat
ditemukan hampir di semua pasar tradisional di
Indonesia. Sebagian besar orang beranggapan
bahwa sampah merupakan benda sisa,
sehingga perlu dibuang ke suatu tempat karena
bisa mengganggu. Gangguan yang ditimbulkan
dapat berupa bau tidak sedap, terganggunya
estetika dan keindahan pemukiman, serta
gangguan kesehatan karena sampah bisa
menjadi media berkembangbiaknya kuman dan
penyakit. Sebenarnya, sampah organik bisa
digunakan sebagai salah satu bahan dalam
pembuatan bokashi. Hasil penelitian Sudibyo et
al. (2006) menunjukkan bahwa analisis
kandungan N, P dan K pada bokashi sampah
pasar yang sudah dicampur dengan tanah
menunjukkan kandungan unsur hara N 1,80%;
P 0,02%; dan K 0,02%.
Hasil
penelitian
Noferi
(2009)
memperlihatkan bahwa pemberian dosis
bokashi 5,4 ton per hektar pada tanaman sawi
merupakan perlakuan terbaik yang terlihat dari
semua parameter yang diamati. Hasil penelitian
Annisava
(2013)
menunjukkan
bahwa
pemberian bokashi + ekstrak daun sirsak
terfermentasi merupakan perlakuan terbaik
untuk pertumbuhan tanaman kailan yang
meliputi tinggi tanaman, jumlah daun per
tanaman, bobot basah tanaman, masing–
masing sebagai berikut 27,20 cm; 8,58 helai
dan 355,77 g.
Selain penggunaan bahan kimia, petani
juga
memiliki
permasalahan
tentang
ketersediaan lahan pertanian yang beberapa
tahun belakangan ini dialihfungsikan sebagai
tempat pemukiman dan perkebunan. Masalah
ini dapat diatasi dengan melakukan inovasi
untuk bertanam pada lahan sempit yaitu
dengan sistem penanaman secara vertikultur.
Menurut Mulatsih et al. (2003), vertikultur
diambil dari istilah verticulture dalam bahasa
lnggris (vertical dan culture) artinya sistem
budidaya pertanian yang dilakukan secara
vertikal atau bertingkat. Cara bercocok tanam
secara vertikultur ini sebenarnya sama saja
dengan bercocok tanam di kebun atau di
sawah. Perbedaannya terletak pada lahan yang
digunakan. Misalnya, lahan 1 m2 mungkin
hanya bisa untuk menanam 5 tanaman, namun,
dengan sistem vertikultur bisa untuk 20
tanaman.
18
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di lahan
percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau yang beralamat di Jl. H.R. Soebrantas KM
15
Panam,
Pekanbaru.
Penelitian
ini
dilaksanakan pada bulan September sampai
Desember 2013.
Bahan yang digunakan pada penelitian
ini adalah benih sawi, sampah organik yang
diambil dari Pasar Panam, pupuk kandang
ayam, sekam padi, dedak padi, EM-4, dan
tanah dari lahan percobaan Fakultas Pertanian
dan Peternakan Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau. Alat yang digunakan
adalah rak vertikultur, cangkul, parang, pisau,
sendok, meteran, gembor, handsprayer,
timbangan digital, gelas ukur, ember, tali rafia,
kamera, dan alat tulis.
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 2
faktor. Faktor yang pertama adalah dosis
bokashi sampah pasar (B) yang terdiri dari 5
taraf perlakuan yaitu B0= Tanpa pemberian
pupuk bokashi (kontrol), B1= 150 g/talang (15
ton/ha), B2= 300 g/talang (30 ton/ha), B3= 450
g/talang (45 ton/ha), B4= 600 g/talang (60
ton/ha). Faktor yang kedua adalah periode
penanaman (P) yang terdiri dari 2 taraf
perlakuan yaitu P1= Penanaman Pertama, P2=
Penanaman Kedua. Diperoleh 10 kombinasi
perlakuan dan dilakukan 5 kali pengulangan
sehingga diperoleh 50 unit percobaan pada
penelitian ini.
Pembuatan bokashi dimulai dengan
membuat larutan stok terlebih dahulu. Larutan
stok dibuat dengan mencampurkan larutan gula
dan EM-4 ke dalam air dengan perbandingan
50 ml larutan gula : 50 ml EM-4 : 1 liter air,
kemudian didiamkan satu kali 24 jam. Sampah
organik (sisa sayuran) yang diperoleh dari
pasar dicacah kecil dengan ukuran 2 cm,
dikeringanginkan, kemudian dicampur dengan
kotoran ayam dan sekam padi (2:1:1). Setelah
itu disiram dengan larutan stok secara perlahan
pada adonan (campuran bahan organik) secara
merata sampai kandungan air mencapai 30%.
Selanjutnya adonan diletakkan di atas terpal
yang kering dengan ketinggian minimal 15-20
cm, kemudian adonan ditutup dengan terpal.
Diusahakan suhu tidak lebih dari 40 0C. Bila
suhu lebih dari 400C suhu diturunkan dengan
cara membolak-balik adonan tersebut. Bokashi
siap digunakan setelah tujuh hari proses
fermentasi, yang ditandai dengan warna hitam,
gembur, tidak panas dan beraroma khas
fermentasi.
Jurnal Agroteknologi, Vol. 5 No. 1, Agustus 2014 : 17 - 24
a) Proses Pembuatan
Bokashi
b) Bokashi
Persemaian dilakukan pada wadah
persemaian. Penanaman dilakukan sebanyak
dua kali, oleh karena itu maka persemaian juga
dilakukan sebanyak dua kali yaitu persemaian
pertama dilakukan dua minggu sebelum bibit
dipindahkan
pada
rak
vertikultur
dan
persemaian kedua dilakukan dua minggu
sebelum sawi periode penanaman pertama
dipanen.
Rak vertikultur terbuat dari talang air
yang disusun bertingkat dengan penopang
terbuat dari kayu dengan model seperti anak
tangga. Panjang talang 100 cm, lebar 13 cm,
dan tinggi 11 cm. Talang kemudian disusun
pada kayu tersebut secara vertikal menyerupai
tangga sebanyak 5 talang untuk satu rak
vertikultur dengan jarak antar talang yaitu 30
cm. Pada percobaan ini menggunakan 5
ulangan, maka terdapat 5 unit rak vertikultur.
Pemberian perlakuan dosis bokashi
hanya dilakukan satu kali yaitu pada
penanaman periode pertama, pemberian
perlakuan dilakukan pada saat pengisian media
tanam pada rak vertikultur atau seminggu
sebelum tanaman sawi ditanam pada rak
vertikultur. Dosis bokashi yang diberikan pada
tanaman sawi yaitu tanpa pemberian bokashi
(kontrol), 150 g/talang, 300 g/talang, 450
g/talang, dan 600 g/talang.
Pemindahan dan penanaman tanaman
sawi pada rak vertikultur dilakukan apabila bibit
sudah memiliki 4 helai daun atau 2 minggu
setelah semai. Bibit yang digunakan dipilih
yang
seragam.
Penanaman
dilakukan
sebanyak dua kali, maka penanaman kedua
dilakukan segera setelah tanaman periode
pertama dipanen.
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari
dengan
menggunakan
gembor
untuk
mencukupi ketersediaan air bagi tanaman sawi.
Penyiangan dilakukan secara manual apabila
terdapat gulma yang tumbuh di sekitar tanaman
sawi. Pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT) dilakukan dengan cara
preventif. Pada penelitian ini pengendalian OPT
tidak menggunakan zat-zat kimia, melainkan
menggunakan Ekstrak Tanaman Terfermentasi
(ETT) dengan menggunakan daun sirsak (125
g) + daun salam (125 g). Daun sirsak dan daun
salam dipotong-potong kemudian diblender dan
dimasukkan ke dalam botol plastik yang
memiliki ukuran 1,5 liter. Setelah itu
ditambahkan 1 liter air, 50 ml larutan gula, dan
50 ml EM-4, diaduk secara perlahan kemudian
diamkan selama 10-14 hari pada tempat yang
tidak terkena cahaya matahari langsung.
Pengecekkan gas dilakukan secara rutin,
apabila gas terbentuk, maka dikeluarkan secara
perlahan. ETT sudah dapat digunakan apabila
gas tidak lagi terbentuk. Penyiraman ETT mulai
dilakukan 3 hari setelah tanam dengan
konsentrasi ETT yang diberikan adalah 2,50
ml/liter air dengan frekuensi penyiraman 3 hari
sekali.
Pemanenan dilakukan pada umur 25 hari
setelah tanam. Pemanenan dilakukan dua kali
yaitu pada umur 25 hari setelah tanam pada
masing-masing periode tanam. Parameter yang
diamati adalah tinggi tanaman (cm), jumlah
daun (helai), panjang daun terpanjang (cm),
lebar daun terlebar (cm), bobot basah tajuk (g),
dan bobot kering tajuk (g). Pengamatan seluruh
parameter dilakukan pada saat panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinggi Tanaman
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi pemberian dosis bokashi
dengan periode penanaman terhadap tinggi
tanaman sawi.
Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman Sawi Pada
Pemberian Beberapa Dosis Bokashi
Dengan Dua Kali Penanaman
Tinggi Tanaman (cm)
Dosis
Bokashi
Penanaman
Penanaman
(g/talang)
Pertama
Kedua
0
15,83 f
12,14 g
150
24,36 bc
14,72 fg
300
28,88 a
16,38 ef
450
21,30 cd
19,49 d
600
19,13 de
26,02 ab
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut UJD
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bokashi dengan dosis 300 g/talang
pada penanaman pertama merupakan hasil
terbaik untuk tinggi tanaman sawi (28,88 cm),
tidak berbeda nyata dengan dosis bokashi 600
g/talang pada penanaman kedua (26,02 cm),
namun berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Tinggi tanaman terendah diperoleh
pada perlakuan tanpa pemberian bokashi pada
penanaman kedua (12,14 cm), namun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan pemberian
bokashi dosis 150 g/talang pada penanaman
kedua (14,72 cm). Menurut Ryan (2010),
19
Respon Tanaman Sawi (Aulia Rani Annisava, dkk)
penambahan bokashi pada tanaman sawi akan
meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun,
dan bobot basah sawi. Ini berarti bahwa
penggunaan pupuk bokashi lebih baik dari pada
tanpa penggunaan pupuk bokashi seperti
terlihat pada penelitian ini.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Annisava (2013), bahwa pemberian
bokashi 1000 g/plot (32 tanaman), dimana
dosis bokashi yg didapat lebih kurang 30
g/tanaman sudah optimal untuk pertumbuhan
dan hasil tanaman kailan. Menurut Lakitan
(2010), ketersedian unsur hara yang terlalu
banyak dapat menyebabkan keracunan pada
tanaman, namun pada penelitian ini pemberian
dosis bokashi yang terlalu banyak hanya
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
tanaman (kerdil). Hal ini diduga karena pupuk
yang digunakan adalah pupuk organik,
sehingga resiko keracunan pada tanaman tidak
terjadi. Namun, dosis bokashi yang tinggi lebih
baik untuk tanaman pada penanaman periode
kedua, hal ini diduga bahwa pada penanaman
kedua ketersediaan unsur hara cukup bagi
tanaman karena pada penanaman pertama
sudah mengalami pengurangan unsur hara.
2. Jumlah Daun
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi pemberian dosis bokashi
dengan periode penanaman terhadap jumlah
daun tanaman sawi.
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman
Sawi Pada Pemberian Beberapa
Dosis Bokashi Dengan Dua Kali
Penanaman
Jumlah Daun (helai)
Dosis
Bokashi
Penanaman
Penanaman
(g/talang)
Pertama
Kedua
0
5,92 de
5,44 e
150
7,12 b
5,48 e
300
8,28 a
5,84 de
450
6,52 bc
6,20 cd
600
6,28 cd
7,88 a
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut UJD
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bokashi dengan dosis 300 g/talang
pada penanaman pertama merupakan hasil
terbaik untuk jumlah daun tanaman sawi (8,28
helai), tidak berbeda nyata dengan dosis
bokashi 600 g/talang pada penanaman kedua
(7,88 helai), namun berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Jumlah daun terendah
diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian
bokashi pada penanaman kedua (5,44 helai),
20
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
pemberian bokashi dosis 150 g/talang pada
penanaman kedua (5,48 helai) dan tanpa
pemberian bokashi pada penanaman pertama
(5,92 helai). Hal ini diduga karena caisim telah
mengalami kejenuhan hara, sehingga akar
tidak mampu menyerap hara secara optimal.
Pemberian unsur hara terutama unsur nitrogen
yang cukup bagi tanaman dapat menghasilkan
daun yang lebih baik (Lakitan, 2010).
Hasil analisis bokashi sampah pasar
yang
digunakan
pada
penelitian
ini
menunjukkan bahwa bokashi mengandung
6,50% N; 1,47% P; 12,12% K; 8,54% C; serta
pH 7,98 (BPTP Riau, 2013). Ini berbeda
dengan penelitian Sudibyo et al. (2006) yang
memperlihatkan bahwa bokashi sampah pasar
yang
digunakan
dalam
penelitiannya
mengandung N 1,85 %; P 0,02%; K 0,02%;
serta pH 6,5. Ini berarti bahwa kandungan
unsur hara pada pupuk bokashi tergantung
pada bahan dasar yang digunakan dalam
pembuatan pupuk, apabila bahan dasarnya
berbeda, maka berbeda pula kandungan unsur
hara pada pupuk tersebut.
3. Panjang Daun Terpanjang
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi pemberian dosis bokashi
dengan periode penanaman terhadap panjang
daun terpanjang tanaman sawi.
Tabel 3. Rata-rata Panjang Daun Terpanjang
Tanaman Sawi Pada Pemberian
Beberapa Dosis Bokashi Dengan Dua
Kali Penanaman
Panjang Daun Terpanjang (cm)
Dosis
Bokashi
Penanaman
Penanaman
(g/talang)
Pertama
Kedua
0
8,70 ef
6,40 g
150
13,14 b
8,00 f
300
16,30 a
8,91 def
450
11,97 bc
10,04 de
600
10,54 cd
13,62 b
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut UJD
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bokashi dengan dosis 300 g/talang
pada penanaman pertama merupakan hasil
terbaik untuk panjang daun terpanjang tanaman
sawi (16,30 cm), dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Panjang daun terpanjang
terendah diperoleh pada perlakuan tanpa
pemberian bokashi pada penanaman kedua
(6,40 cm).
Lakitan (2010) berpendapat bahwa untuk
memperoleh hasil tanaman yang baik harus
tersedia unsur hara yang cukup, bahan organik
Jurnal Agroteknologi, Vol. 5 No. 1, Agustus 2014 : 17 - 24
mengandung unsur hara mikro dan makro yang
dibutuhkan tanaman. Selain menambah
kandungan unsur hara, pupuk organik juga
dapat meningkatkan populasi dan aktifitas
mikroorganisme tanah, sehingga tata udara
lebih baik yang akan menunjang terhadap
proses penyerapan unsur hara menjadi lebih
mudah. Ketersedian unsur hara merupakan hal
yang sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, karena kandungan
unsur hara akan membantu memperlancar
proses metabolisme tanaman diantaranya
proses fotosintesis sehingga fotosintat yang
dihasilkan tinggi yang selanjutnya dapat di
translokasikan ke seluruh bagian tanaman
akibatnya
akan
berpengaruh
pada
pertumbuhan panjang daun.
4. Lebar Daun Terlebar
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi pemberian dosis bokashi
dengan periode penanaman terhadap lebar
daun terlebar tanaman sawi.
Tabel 4. Rata-rata Lebar Daun Terlebar
Tanaman Sawi Pada Pemberian
Beberapa Dosis Bokashi Dengan Dua
Kali Penanaman
Lebar Daun Terlebar (cm)
Dosis
Bokashi
Penanaman
Penanaman
(g/talang)
Pertama
Kedua
0
6,66 e
4,51 f
150
9,93 bc
5,79 e
300
12,93 a
6,82 de
450
9,64 c
8,08 d
600
11,18 b
8,18 d
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut UJD
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bokashi dengan dosis 300 g/talang
pada penanaman pertama merupakan hasil
terbaik untuk lebar daun terlebar tanaman sawi
(12,93 cm), dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Lebar daun terlebar
terendah diperoleh pada perlakuan tanpa
pemberian bokashi pada penanaman kedua
(4,51 cm). Hasil penelitian Adil et al. (2006)
menunjukkan bahwa pupuk kompos hanya baik
digunakan untuk satu musim. Pada musim
kedua pertumbuhan tanaman tidak optimal,
sehingga butuh penambahan kompos. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian ini, dimana
lebar daun terlebar tanaman sawi pada
penanaman pertama lebih baik dari penanaman
kedua, dan dosis bokashi 300 g/talang pada
penanaman pertama menunjukkan hasil terbaik
yang diikuti oleh dosis 600 g/talang pada
penanaman kedua. Hal ini diduga bahwa
dengan pemberian dosis bokashi 600 g/talang
masih menyisakan unsur hara untuk tanaman
pada penanaman kedua sedangkan
dosis
bokashi 300 g/tanaman sudah habis diserap
tanaman pada penanaman pertama. Menurut
Fahrudin (2009), lebar daun merupakan hasil
dari pertumbuhan vegetatif. Luas daun dan
jumlah klorofil yang tinggi akan menyebabkan
fotosintesis berjalan lancar.
5. Bobot Basah Tajuk
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi pemberian dosis bokashi
dengan periode penanaman terhadap bobot
basah tajuk tanaman sawi.
Tabel
5. Rata-rata Bobot Basah Tajuk
Tanaman Sawi Pada Pemberian
Beberapa Dosis Bokashi Dengan Dua
Kali Penanaman
Bobot Basah Tajuk (g)
Dosis
Bokashi
Penanaman Penanaman
(g/talang)
Pertama
Kedua
0
8,27 ef
2,61 f
150
22,31 c
4,68 ef
37,98 a
300
6,51 ef
17,91 cd
450
11,34 de
11,11 de
30,00 b
600
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut UJD
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bokashi dengan dosis 300 g/talang
pada penanaman pertama merupakan hasil
terbaik untuk bobot basah tajuk (37,98 g), dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Bobot basah tajuk terendah diperoleh pada
perlakuan tanpa pemberian bokashi pada
penanaman kedua (2,61 g) namun tidak
berbeda nyata dengan pemberian bokashi 150
g/talang pada penanaman kedua (4,68 g),
pemberian bokashi 300 g/talang pada
penanaman kedua (6,51 g), dan tanpa
pemberian bokashi pada penanaman pertama
(8,27 g). Ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Syukur (2005) yang menyatakan
bahwa pemberian pupuk kandang sapi 20
ton/ha berpengaruh nyata meningkatkan bobot
segar tajuk, namun apabila takaran pupuk
kandang sapi ditingkatkan akan menyebabkan
penurunan bobot segar tajuk. Pada umumnya
bobot basah tajuk dipengaruhi oleh tinggi
tanaman, jumlah daun, panjang daun
terpanjang, dan lebar daun terlebar. Semakin
besar angka yang didapat pada parameter
tersebut makan semakin meningkat pula bobot
basah yang didapat pada tanaman sawi.
6. Bobot Kering Tajuk
21
Respon Tanaman Sawi (Aulia Rani Annisava, dkk)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat interaksi pemberian dosis bokashi
dengan periode penanaman terhadap bobot
kering tajuk tanaman sawi.
Tabel
6. Rata-rata Bobot Kering Tajuk
Tanaman Sawi Pada Pemberian
Beberapa Dosis Bokashi dengan Dua
Kali Penanaman
Bobot Kering Tajuk (g)
Dosis
Bokashi
Penanaman
Penanaman
(g/talang)
Pertama
Kedua
0
0,53 fg
0,27 g
150
1,05 cd
0,54 fg
300
1,96 b
0,69 dfg
450
0,93 cdf
1,31 c
600
0,75 df
2,61 a
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut UJD
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bokashi dengan dosis 600 g/talang
pada penanaman kedua merupakan hasil
terbaik untuk bobot kering tajuk (2,61 g), dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Bobot kering tajuk terendah diperoleh pada
perlakuan tanpa pemberian bokashi pada
penanaman kedua (0,27 g), namun tidak
berbeda nyata dengan tanpa pemberian
bokashi pada penanaman pertama
(0,53 g),
pemberian bokashi 150 g/talang penanaman
kedua (0,54), dan pemberian bokashi 300
g/talang pada penanaman kedua (0,69 g).
Penanaman Sawi Periode Pertama
Menurut
Ruhukail
(2011)
bahwa
penggunaan bokashi dengan memanfaatkan
EM-4 memberikan pengaruh terhadap bobot
kering tanaman karena mikroorganisme yang
terkandung dalam EM-4 melakukan fungsinya
masing-masing, yaitu memperbaiki sifat fisik
dan biologi tanah, menyediakan unsur hara
yang dibutuhkan tanaman dan menyehatkan
tanaman, meningkatkan produksi tanaman dan
menjaga kestabilan produksi.
Bobot kering tajuk yang meningkat pada
penanaman kedua disebabkan oleh kerasnya
batang sawi pada penanaman kedua
dibandingkan dengan penanaman pertama. Hal
ini terjadi karena unsur hara K pada bokashi
masih tersedia bagi tanaman saat penanaman
kedua, ini sejalan dengan hasil analisis yang
telah dilakukan, dimana unsur K lebih banyak
terkandung dalam pupuk bokashi sampah
pasar yang dilakukan pada penelitian ini.
Lakitan (2010), menyatakan bahwa unsur hara
K dapat memperkuat dan memperkokoh
tanaman, serta lebih tahan terhadap serangan
hama dan penyakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
1. Pemberian bokashi 300 g/talang pada
periode penanaman pertama menunjukkan
peningkatan terhadap tinggi tanaman (28,88
cm), jumlah daun (8,28 helai), panjang daun
terpanjang (16,30 cm), lebar daun terlebar
(12,93 cm) dan bobot basah tajuk (37,98 g).
2. Pemberian bokashi 600 g/talang pada
periode penanaman kedua memberikan
hasil yang sama dengan pemberian bokashi
300 g/talang pada periode penanaman
pertama.
Saran:
1. Budidaya sawi sebaiknya dilakukan secara
organik menggunakan bokashi sampah
pasar dosis 300 g/talang dengan sistem
vertikultur.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan
untuk melakukuan penelitian mengenai
pupuk bokashi sampah pasar pada
tanaman yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Penanaman Sawi Periode Kedua
22
Adil,W.H., N. Sunarlim dan I. Roostika. 2006.
Pengaruh tiga jenis pupuk nitrogen
terhadap tanaman sayuran. Jurnal
Biodiversitas, 7(1): 77-80.
Annisava,
A.R.
2013.
Optimalisasi
pertumbuhan dan kandungan vitamin C
kailan
(Brassica
alboglabra
L.)
menggunakan bokashi serta ekstrak
tanaman
terfermentasi.
Jurnal
Agroteknologi, 3(2): 1-10.
Jurnal Agroteknologi, Vol. 5 No. 1, Agustus 2014 : 17 - 24
BPTP Riau. 2013. Analisis N, P, K dan pH
bokashi sampah pasar.
Fahrudin, F. 2009. Budidaya caisim (Brassica
juncea L.) menggunakan ekstrak teh dan
pupuk
kascing.
Skripsi.
Jurusan
Budidaya Pertanian. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Lakitan, B. 2010. Dasar-Dasar Fisiologi
Tumbuhan. PT Raja Gafindo Persada.
Jakarta. 205 hal.
Mulatsih, R.T., W. Slamet dan F. Kusmiati.
2005.
Perbaikan
Kualitas
dan
Perancangan Alat Pembibitan Sayuran
dengan Teknik Vertikultur. Laporan Akhir
Pelaksanaan
Kegiatan
Pengabdian
kepada Masyarakat Program Vucer.
Fakultas
Peternakan.
Universitas
Diponegoro. Semarang.
Noferi, A. 2009. Pemberian beberapa dosis
bokashi terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman sawi. Agroteknologi
(Abstract).
Riyan, I. 2010. Respon tanaman sawi (Brasica
juncea L.) akibat pemberian pupuk NPK
dan penambahan bokashi pada tanah
asal Bumi Wonorejo Nabire. Jurnal
Agroforestri, 4(4): 310-315.
Ruhukail, N.L. 2011. Pengaruh penggunaan
EM-4 yang dikulturkan pada bokashi dan
pupuk anorganik terhadap produksi
tanaman kacang tanah (Archis hypogaea
L.) di Kampung Wanggar Kabupaten
Nabire. Jurnal Agroforestri, 6(2): 114120.
Sudibyo, M., P. Prastowo, M. Nugrahalia,
Idramsa dan Aryeni. 2006. Pemanfaatan
sampah pasar sebagai bahan dasar
bokashi
untuk
pupuk
tanaman
hortikultura.
Laporan
Penelitian.
Universitas Negeri Medan.
Syukur, A. 2005. Pengaruh pemberian bahan
organik terhadap sifat-sifat tanah dan
pertumbuhan caisim di tanah pasir pantai.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, 5 (1):
30-38.
Widodo, S., S.E. Naryono, A. Santosa dan B.
Setiyono. 2010. Pengelolaan sampah
pasar pedesaan berbasis teknologi
bokashi
sebagai
solusi
masalah
lingkungan dan kelangkaan pupuk
menuju kesejahteraan anggota kelompok
tani. Usulan Program Ipteks Bagi
Masyarakat. Fakultas Teknik. Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Yulia, A.E., Murniati dan Fatimah. 2011.
Aplikasi pupuk organik pada tanaman
caisim untuk dua kali penanaman. Jurnal
Sagu, 10(1): 14-19.
23
Respon Tanaman Sawi (Aulia Rani Annisava, dkk)
---
24
Volume 5 Nomor 1, Agustus 2014
PRINT ISSN 2087-0620
ONLINE ISSN 2356-4091
ISOLASI DAN ENUMERASI BAKTERI TANAH GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT.
TAMBANG HIJAU KECAMATAN TAMBANG KABUPATEN KAMPAR
Mokhamad Irfan ......................................................................................................................................
1-8
PENGARUH PEMBERIAN MYOINOSITOL DAN ARANG AKTIF PADA MEDIA SUB KULTUR
JARINGAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium SP)
Pebra Heriansyah, Trinop Sagiarti, Rover .......................................................
9-16
RESPON TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA DOSIS
BOKASHI SAMPAH PASAR DENGAN DUA KALI PENANAMAN SECARA VERTIKULTUR
(Response of Mustard (Brassica juncea L.) with application of several doses of market waste
bokashi in twice planting on verticulture system)
Aulia Rani Annisava, Lesti Anjela, Bakhendri Solfan ..........................................................................
17-24
PEMBERIAN MIKROORGANISME SELULOLITIK (MOS) PADA APLIKASI TANDAN KOSONG
KELAPA SAWIT TERHADAP PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.) DI TBM-II
(Giving of cellulolytic microorganisms application oil palm empty fruit bunch to the growth of oil palm
(Eleis guineensis Jacq.) in TBM-II)
Toni Kasmir Lumbantoruan, Gusmawartati, Sampoerno ........................................................................
25-28
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) DENGAN PEMBERIAN
RHIZOBIUM DAN PUPUK UREA PADA MEDIA GAMBUT
(Growth and yield of soybean (Glycine max (L.) Merill) with application of rhizobium and nitrogen
fertilizer on peat media)
Indah Permanasari, Mokhamad Irfan, Abizar ..........................................................................................
29-34
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI PENAMBAT NITROGEN NON-SIMBIOTIK TANAH
GAMBUT CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU
Rahel Kaburuan, Hapsoh, Gusmawartati ...............................................................................................
35-39